Poligami Solusi yang Bermartabat

Poligami Solusi yang Bermartabat

Poligami adalah halal secara Islam. Amalan ini bertujuan untuk berlaku adil terhadap anak-anak yatim. Sebagaimana Firman-Nya, "Jika kamu takut bahwa kamu tidak akan berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang nampak baik bagi kamu, dua, dan tiga, dan empat" (4:3). Maksud kata “perempuan- perempuan” di sini ialah ibu-ibu, atau waris, atau penjaga anak-anak yatim tersebut.

Lalu kemuadian ayat tersebut dilanjutkan dengan "tetapi jika kamu takut bahawa kamu tidak akan berlaku adil, maka satu saja ... ia lebih dekat bagi kamu untuk tidak membuat aniaya". Ketidakadilan dalam poligami mengakibatkan penganiayaan ke atas kaum wanita. Allah benci penganiayaan. Namun, ketidakadilan terhadap isteri- isteri tetap berlaku dalam poligami. Firman-Nya, "Kamu tidak akan boleh berbuat adil di antara isteri-isteri kamu, walaupun kamu ingin sekali" (4:129). Maka, jauhi amalan poligami!

Cara berbuat adil pada isteri-isteri pula ditunjukkan Allah di dalam ayat yang sama, berbunyi "maka janganlah kamu condong dengan seluruh kecondongan sehingga kamu meninggalkannya seperti tergantung" (4:129). “Gantung tak bertali” kerana suami condong pada madu. Itu sering berlaku. Ia dilarang Allah.

Poligami adalah solusi yang lebih bermartabat dari pada kawin kontrak, nikah bawah tangan dan sampai ke masalah perzinahan. Hubungan gelap anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Yahya Zaini dengan seorang pedangdut Maria Eva merupakan salah satu jawaban bahwa banyak penyelewengan yang terjadi di kalangan orang berduit. Terkuaknya kasus kebejatan moral Yahya Zaini dari partai Golkar dengan video pornonya, tampaknya cukup mengguncang Pemerintahan SBY, DPR, dan Golkar serta kredebilitas pejabat kita di mata rakyatnya. Kalau kasus ini terus berlarut, sangat berbahaya bagi kepercayaan rakyat pada mereka semua sehingga perhatian rakyat perlu dibelokkan. Pembelokan ke kasus poligami Aa Gym, bukan ke kasus video porno YZ dan EM yang jelas-jelas menodai prinsip-prinsip moral dan agama. Mengapa bukan UU Pornografi yang segera di revisi ulang, dengan sanksi lebih keras kepada pejabat Negara yang berbuat mesum misalnya? Justru UU Perkawinan yang sudah mapan dan sakral keberadannya selalu diutak-atik?

Pertanyaan mendasar berikutnya adalah haruskah pemerintah ikut campur dalam permasalahan poligami? Kontroversi pro kontra secara meluas terjadi di masyarakat, apalagi setelah pemerintah bertekad untuk memperketat peraturan tentang poligami di masyarakat luas. Pada dasarnya kita harus menyambut baik i’tikad pemerintah dalam meningkatkan pemberdayaan dan perlindungan terhadap kaum perempuan. Kita akan berdebat panjang tentang masalah poligami ini, karena sudut pandang permasalahannya berbeda, dan sulit untuk menentukan titik temu jika tetap bersih kukuh terhadap pendapat masing-masing. Namun perlu kita ketahui bersama bahwa negara ini diselimuti oleh berbagai permasalahan yang jauh lebih penting untuk diprioritaskan dari isu poligami. Skala prioritas sangat diperlukan untuk menciptakan bangsa ini bermartabat diantara bangsa-bangsa yang lain. Sudah seharusnya pemerintah untuk melakukan introspeksi dalam menentukan masalah-masalah priritan dan sekelumit permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Kalau masalah poligami dijadikan sekala prioritas untuk selalu diperbincangkan, maka dikhawatirkan akan terjadi kontroversi yang berkepanjangan serta perpecahan dan akan menimbulkan masalah-masalah baru.

Kejernihan pemerintah dalam menangani berbagai permasalahan bangsa sangat diharapkan oleh masyarakat. Pemerintah diharapkan tidak mengkompori isu-isu kecil yang sebenarnya bisa diatasi oleh masyarakat. Isu poligami hendaknya di usung secara positif, mengingat dampak yang akan terjadi jika poligami diperketat peraturannya. Tindakan asusiala sudah pasti bisa diprediksi akan meningkat jika keinginan seseorang untuk berpoligami selalu dikekang. Apabila bangsa ini lengah terhadap permasalahan-permasalahn besar yang harus dijadikan skala prioritas dalam penyelesaiannya, maka bangsa ini akan semakin terpuruk. Dari keterpurukan inilah bangsa lain akan lebih leluasa untuk mengeruk sumber kekayaan kita diberbagai tanah air di indonesia. Sampai kapan keadaan ini akan terhenti?

Poligami VS Perzinahan

Contributed by Dasril Guntara Sumber: www.ppsdms.org

Poligami VS Perzinahan

Oleh: Dasril Guntara*

Aneh kalau orang-orang di negeri ini merasa canggung dengan poligami atau sebenarnya sok cangung, seolah-olah poligami adalah hal yang sangat baru di negeri ini. Fenomena poligami yang kembali menjadi buah bibir di tengah masyarakat Iindonesia ini barang kali adalah suatu pertanda bahwa negeri ini memang benar- benar sudah terjangkit “sakit jiwa”.

Jika bicara pada tataran kebudayaan di Indonesia, seorang suami yang beristri lebih dari satu adalah hal yang lumrah bahkan tak jarang di beberapa sistem budaya masyarakat Indonesia, hal seperti itu merupakan suatu kebutuhan dan keharusan bagi seorang istri. Perihal poligami pada dasarnya merupakan fenomena klasik terutama bagi masyarakat yang kegiatan produksinya masih bertumpu pada sektor perladangan atau sistem pertanian tradisional. Seorang istri apalagi jika sang suami adalah orang yang cukup terpandang dalam komunitasnya akan merasa tertolong bila sang suami memiliki istri lebih dari satu, karena dengan begitu segala pekerjaan yang di emban olehnya akan terbantu dengan kehadiran istri-istri suaminya yang lain. Bukan hanya itu saja, terkadang kecenderungan memiliki istri lebih dari satu bukan hanya pada masalah kebutuhan melainkan adalah bagian dari nilai-niali kebudayaan masyarakat itu sendiri, mungkin saja orang-orang diluar masayarakat tersebut ada yang merasa aneh, akan tetapi demikianlah local Knowladge dari masyarakat yang bersangkutan, dan orang lain tidak dapat mengkalim bahwa pemahaman itu merupakan suatu bentuk eksploitasi individu alih-alih mencemooh kebudayaan masarakat tersebut.

Kebudayaan sangat relativ dan tidak bisa diukur atau dibanding-bandingkan dengan kebudayaan yang lain sehingga untuk melihat kearifan lokalnya harus dilihat dengan kacamata kebudayaan itu sendiri. Fenomena suami yang beristri lebih dari satu bisa jadi merupakan kearifan dari budaya dan terkadang kita juga tidak dapat menyangkal hal tersebut merupakan sesuatu yang diterima oleh masyarakat Indonesia secara umum terlepas dari ajaran agama tertentu.

Masalahnya kenapa tiba-tiba masyarakat menjadi gusar hanya dengan pemberitaan seorang kiayi berkaliber nasional berpoligami tetapi masyarakat sama sekali tidak risih dengan anggota dewan terhormat sekaligus petinggi pada suatu partai besar di negeri ini yang jelas-jelas melakukan perzinahan. Jika dua fenomena ini di kembalikan pada persoalan budaya sebaimana dengan yang telah di jelaskan, bahwasanya poligami tidak bisa di lepaskan dari kebudayaan masyarakat Indonesia sementara perzinahan adalah sesuatu yang tidak pernah ada dalam kamus sistem Masalahnya kenapa tiba-tiba masyarakat menjadi gusar hanya dengan pemberitaan seorang kiayi berkaliber nasional berpoligami tetapi masyarakat sama sekali tidak risih dengan anggota dewan terhormat sekaligus petinggi pada suatu partai besar di negeri ini yang jelas-jelas melakukan perzinahan. Jika dua fenomena ini di kembalikan pada persoalan budaya sebaimana dengan yang telah di jelaskan, bahwasanya poligami tidak bisa di lepaskan dari kebudayaan masyarakat Indonesia sementara perzinahan adalah sesuatu yang tidak pernah ada dalam kamus sistem

Dua fenomena yung muncul bersamaan akhir-akhir ini bisa dijadikan pelajaran bahwa memang kini banyak masyarakat yang sudah tidak mengenali budayaanya sendiri. Jika diperhatikan ada hal yang paling menarik dimana menurut orang timur poligami dianggap baik sementara perzinahan adalah buruk, lain halnya dengan orang barat yang justru sebaliknya. Realita ini jelas-jelas mengindikasikan betapa paradigma barat telah menghegemoni orang timur, seolah-olah hanya baratlah kiblat kebenaran yang absolute. Sedihnya lagi banyak orang timur yang beranggapan bahwa kebudayaan timur adalah pengahalang kemajuan, bentuk primordialisme dan tradisionalitas yang harus disingkirkan dari peradaban modern yang rasional.

Namun jika dikembalikan kepada rasionalitas tersebut, dua fenomena ini bisa dijadikan ukuran sejauh mana rasio manusia dalam berfikir. Poligami bisa jadi sebuah tuntutan kebutuhan hidup atau cara alternative untuk dapat menolong orang lain, misalkan seorang janda yang memiliki anak banyak atau seorang istri yang tidak kunjung di berikan momongan, maka poligami bisa menjadi alternativ dan prosesnya pun sah secara adat, agama, maupun hukum kenegaraan. Disisi lain, perzinahan adalah bentuk ketidak bertanggungjawaban karena bisa jadi pihak yang satu membohongi pihak yang lain, dan tak jarang akhir dari perzinahan membawa pada dampak seperti lahirnya bayi yang tidak diharapkan. Bodohnya lagi sang cabang bayi yang tidak berdosa terpaksa di bunuh dengan aborsi sebelum ia melihat indahnya dunia demi menyelamatkan muka para pezina. Jelas-jelas hal ini melanggar norma adat, agama, kesusilaan dan sangsi pidana atas kasus pembunuhan serta melanggar Hak Asasi Manusia. Dengan demikian maka tak heran kalau banyak orang di negeri ini yang terjangkit penyakit “gila” lantaran lupa pada jati dirinya sendiri dan kesulitan berfikir secara rasional.

* Penulis adalah mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Indonesia