Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat

i

EVALUASI LAJU SEDIMENTASI PADA WADUK JATILUHUR,
KABUPATEN PURWAKARTA, JAWA BARAT

HAFIL GUSNI SANTANA AJI

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Laju
Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Hafil Gusni Santana Aji
NIM F44100020

ii

ABSTRAK
HAFIL GUSNI SANTANA AJI. Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur,
Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Dibimbing oleh NORA H. PANDJAITAN.
Curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun menjadi permasalahan
dalam penyediaan air bagi penduduk. Masalah ini dapat diselesaikan salah satunya
dengan membangun waduk yang berfungsi sebagai penyimpan cadangan air dan
sekaligus sebagai pengendali banjir. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
laju erosi dan laju sedimentasi yang terjadi pada sub DAS Waduk Jatiluhur serta

umur operasional waduk Jatiluhur. Penelitian dilakukan di Waduk Jatiluhur.
Analisis laju erosi dilakukan dengan metoda universal soil loss equation (USLE).
Laju sedimentasi dianalisis berdasarkan erosi yang terjadi dengan sedimentation
delivery ratio (SDR). Hasil analisis menunjukkan laju erosi 27.032,66 ton/ha/tahun,
sehingga sub DAS Waduk Jatiluhur tahun 2013 termasuk dalam kelas V dengan
kriteria kondisi “sangat buruk” dan laju sedimentasi sebesar 2.758.922,1 m3/tahun.
Dengan asumsi tidak ada perubahan tutupan lahan pada DAS Citarum, maka usia
manfaat waduk Jatiluhur terhitung dari tahun 2014 masih dapat mencapai 195 tahun
lagi.
Kata kunci: Laju sedimentasi, SDR, USLE, Waduk Jatiluhur

ABSTRACT
HAFIL GUSNI SANTANA AJI. Evaluation of Sedimentation Rate in Jatiluhur
Dam, Purwakarta District, West Java. Supervised by NORA H. PANDJAITAN.
The uneven rainfall along year becomes problem in water supply for the
habitants. One of the solution was to build a dam as a reservoir and as a flood
controller. The purposes of this research were to analyze the erosion and
sedimentation rate on Waduk Jatiluhur sub watershed and to predict the operational
time of the Jatiluhur dam. The research was conducted at Jatiluhur dam. Erosion
analysis was done using universal soil loss equation (USLE) formula.

Sedimentation rate was analyzed based on erosion rate using sedimentation delivery
ratio (SDR) formula. The result showed that erosion rate on Waduk Jatiluhur sub
watershed was 27.032,66 ton/ha/year, so it was classified in class V with criteria
“very bad condition” and the sedimentation rate was 2.758.922,1 m3/year. If it’s
assumed there was no land use changes in Citarum watershed, since 2014 Jatiluhur
dam could be operated until the next 195 years.
Keywords: Jatiluhur dam, SDR, sedimentation rate, USLE

iii

EVALUASI LAJU SEDIMENTASI PADA WADUK JATILUHUR,
KABUPATEN PURWAKARTA, JAWA BARAT

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iv

v

Judul Skripsi : Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten
Purwakarta, Jawa Barat
Nama
: Hafil Gusni Santana Aji
NIM
: F44100020

Disetujui oleh

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA
Pembimbing


Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M. Agr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

vi

PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan Juli 2014, dengan judul Evaluasi
Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Terima kasih diucapkan kepada Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA sebagai
dosen pembimbing serta kepada Dr. Ir. Roh Santoso B. W, M. T dan Dr. Ir. Erizal,
M. Agr sebagai dosen penguji. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, seluruh keluarga, serta rekan – rekan Teknik Sipil dan Lingkungan
angkatan 47 atas segala doa dan kasih sayangnya.
Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan selanjutnya.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2014
Hafil Gusni Santana Aji

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Waduk Jatiluhur

3

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum

5

Erosi dan Sedimentasi

6


Analisis Umur Manfaat Waduk

9

METODE PENELITIAN

11

Waktu dan Tempat

11

Alat dan Bahan

11

Metode Analisis

11


HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Kondisi Umum Sub DAS Waduk Jatiluhur

13

Analisis Curah Hujan

14

Laju Erosi dan Sedimentasi pada Sub DAS

16

Laju Sedimentasi dengan Pendekatan Sistem Kaskade

21


Usia Manfaat Waduk

21

SIMPULAN DAN SARAN

22

Simpulan

22

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

24

RIWAYAT HIDUP

45

viii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Faktor LS berdasarkan kemiringan lereng
Faktor CP berdasarkan penggunaan lahan dan pengolahan tanah
Faktor erodibilitas tanah (K) berdasarkan jenis tanah
Kriteria erosi
Nilai sediment delivery ratio (SDR)
Debit air masuk total (AMT) rata- rata bulanan tahun 2004-2013
Curah hujan tahunan (mm) pada 3 stasiun cuaca
Letak koordinat stasiun dan luasan wilayahnya (Gambar 6)
Rata- rata curah hujan tahunan (mm)
Tutupan lahan di sub DAS Waduk Jatiluhur
Luas tutupan lahan berdasarkan kemiringan lereng
Nilai K dan luas masing- masing jenis tanah
Luas lahan hutan dan permukiman berdasarkan kemiringan lereng
dan jenis tanah
Luas lahan persawahan, tegalan dan perkebunan berdasarkan
kemiringan lereng dan jenis tanah
Laju erosi pada lahan hutan dan permukiman di sub DAS
Waduk Jatiluhur (ton/ha/tahun)
Laju erosi pada lahan persawahan, tegalan dan perkebunan
di sub DAS Waduk Jatiluhur (ton/ha/tahun)
Laju erosi pada sub DAS Waduk Jatiluhur (ton/tahun)
Evaluasi laju sedimentasi

8
8
8
9
9
14
14
15
15
16
16
17
18
18
19
19
20
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Lokasi waduk Jatiluhur
Tampak atas bendungan utama Ir. H. Djuanda
Pola sedimentasi pada waduk
Diagram Alir Penelitian
Batas wilayah sub DAS Waduk Jatiluhur
Analisis curah hujan dengan metode Poligon Thiessen

3
4
4
12
13
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Letak bangunan bendungan di waduk Jatiluhur
Lokasi DAS Citarum Hulu dan Sub DAS Waduk Jatiluhur
Penelusuran nilai koefisien 0,33%
Pembagian Wilayah dengan menggunakan ArcGIS versi 10
dan AutoCAD 2010
Perhitungan curah hujan dan nilai R
Proses digitasi
Peta hasil digitasi
Peta tutupan lahan sub DAS Waduk Jatiluhur

24
25
26
27
30
31
34
35

ix

9
10
11
12
13
14
15

Peta kemiringan lahan sub DAS Waduk Jatiluhur
Peta jenis tanah sub DAS Waduk Jatiluhur
Perhitungan laju erosi dengan persamaan USLE
Perhitungan laju sedimentasi dengan persamaan SDR
Perhitungan laju sedimentasi dengan pendekatan sistem kaskade
Peta perkiraan umum konsentrasi sedimen
Perhitungan usia manfaat waduk

36
37
38
41
42
43
44

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Curah hujan yang turun secara tidak merata sepanjang tahun di seluruh
wilayah Indonesia menjadi permasalahan dalam penyediaan air bagi penduduk.
Cadangan air menjadi berlimpah pada musim penghujan dan menjadi sangat
terbatas saat musim kemarau. Permasalahan diselesaikan salah satunya dengan
membangun waduk. Waduk berfungsi sebagai pengendali air yang menyimpan air
saat musim hujan dan mendistribusikannya pada musim kemarau.
Berdasarkan fungsi utamanya sebagai tempat penyimpanan air, maka volume
tampungan waduk menjadi tolak ukur untuk mengevaluasi umur waduk tersebut
dapat beroperasi secara maksimal. Untuk mengetahui umur waduk perlu diketahui
laju sedimentasi yang terjadi pada waduk. Besarnya erosi yang terjadi sangatlah
dipengaruhi oleh intensitas hujan yang terjadi dan lamanya hujan. Keadaan ini lebih
jauh lagi akan berpengaruh pada jumlah angkutan sedimen di sungai. Semakin
besar erosi di daerah aliran sungai (DAS), maka semakin besar pula sedimen yang
masuk dan mengendap di waduk tersebut. Ketika sedimen yang masuk dan
mengendap di waduk tersebut tinggi, maka kapasitas waduk akan cepat menurun
dan umur waduk akan menurun.
Waduk Jatiluhur yang merupakan salah satu waduk penting dan terbesar di
Indonesia memiliki daerah tangkapan keseluruhan seluas 460.100 ha yang berasal
dari aliran sungai Citarum-Ciliwung dengan volume tampungan waduk sebesar
2,44 milyar m3. Waduk Jatiluhur berfungsi untuk menyediakan air irigasi bagi lahan
pertanian seluas 242.000 ha di kawasan Subang, Karawang dan Bekasi, serta air
baku untuk kebutuhan domestik dan industri. Selain itu, waduk ini juga berfungsi
menyediakan air bagi pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas 187,5 MW,
sebagai pengendali banjir di Karawang dan sekitarnya, serta untuk tempat
pembudidayaan ikan dan tempat rekreasi. (PPPTSDA, 2000)
Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor
284/Kpts-II/1999 tentang penetapan urutan prioritas DAS dari berbagai pulau di
Indonesia, DAS Citarum-Ciliwung menempati skala prioritas I bersama 62 DAS
lainnya untuk dilakukan kegiatan konservasi tanah dan air. Objektif utama sasaran
keputusan tersebut adalah untuk mengendalikan kualitas air dan terjadinya
pendangkalan waduk karena terjadi erosi. Melihat pentingnya fungsi dari
keberadaan waduk yang secara langsung dipengaruhi oleh daerah aliran sungai
pada bagian hulunya, maka perlu dilakukan kajian mengenai laju erosi pada DAS
sehingga dapat diketahui kondisi DAS tersebut.
Penelusuran laju erosi dilakukan menggunakan universal soil loss equation
(USLE) kemudian dapat diturunkan menjadi laju sedimentasi dengan sedimentation
delivery ratio (SDR). Analisis laju sedimentasi diperlukan untuk memperkirakan
usia waduk berdasarkan dead storage sehingga dapat menjadi masukan untuk
pengelola waduk dalam mengoperasikan waduk di masa yang akan datang.
Perumusan Masalah
Waduk Jatiluhur sebagai waduk terbesar di Indonesia memiliki peranan
penting dalam memenuhi kebutuhan utama masyarakat khususnya penduduk

2

Kabupaten Purwakarta sampai Provinsi DKI Jakarta seperti untuk keperluan irigasi
lahan pertanian, pemasok air baku, dan juga pembangkit tenaga listrik. Namun
fungsi waduk tersebut sangatlah erat hubungannya dengan kapasitas penyimpanan
waduk itu sendiri. Kapasitas penyimpanan waduk inilah yang kemudian menjadi
tolak ukur untuk menentukan lamanya waduk tersebut dapat beroperasi secara
maksimal. Oleh karena itu untuk mengetahui umur manfaat waduk, perlu dikaji
besarnya laju sedimentasi yang dapat ditelusuri dari laju erosi pada sub DAS Waduk
Jatiluhur ditambah dengan jumlah sedimen dari Waduk Saguling dan Cirata.
Secara sederhana laju erosi yang terjadi dari hulu sampai hilir sub DAS
dipengaruhi oleh faktor jenis tanah, kemiringan lahan dan tutupan lahan serta curah
hujan tahunan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini secara matematis
menganalisis laju sedimentasi pada sub DAS waduk Jatiluhur pada tahun 2013
berdasarkan laju erosi yang terjadi sehingga dapat diusahakan langkah- langkah
untuk mengurangi laju sedimentasi.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menentukan laju erosi di sub DAS Waduk Jatiluhur
2. Memperkirakan jumlah sedimen yang mengalir ke waduk Jatiluhur dari sub
DAS Waduk Jatiluhur
3. Menganalisis usia waduk Jatiluhur
4. Menentukan strategi untuk memperpanjang usia waduk Jatiluhur

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu memberikan
informasi mengenai kondisi waduk Jatiluhur kepada Perum Jasa Tirta (PJT) II,
sebagai pengelola waduk Jatiluhur. Informasi tersebut dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi PJT II dalam menyusun rencana pemanfaatan waduk Jatiluhur.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengambil permasalahan mengenai sedimentasi pada waduk
Jatiluhur. Ruang lingkup penelitian ini adalah pengukuran laju erosi pada sub DAS
Waduk Jatiluhur dengan menggunakan perhitungan matematis berdasarkan faktor
jenis tanah, kemiringan lahan, tata guna lahan dan juga curah hujan pada sub DAS
tersebut. Kemudian mengubah laju erosi tersebut menjadi laju sedimentasi dengan
nisbah pelepasan sedimentasi untuk kemudian dimasukkan ke perhitungan usia
manfaat waduk Jatiluhur.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Waduk Jatiluhur
Waduk menurut Asiyanto (2011) merupakan bangunan yang menutup aliran
sungai yang terletak di suatu tempat, sehingga diperoleh suatu tendon air tawar yang
cukup besar untuk dipergunakan dalam berbagai keperluan manusia. Waduk yang
diteliti untuk dievaluasi pada penelitian ini adalah waduk Jatiluhur yang terletak di
Desa Jatiluhur, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat.

U
Skala 1: 200.000

Sumber: www.google.com

Gambar 1 Lokasi waduk Jatiluhur
Secara geografis, Waduk Jatiluhur terletak 8 km dari kota Purwakarta.
Bendungan ini terletak pada 5°55’5’LS - 7°42’20’’LS dan 106°54’3’’BT 108°4’4’’BT. Waduk Jatiluhur dikelola oleh PJT II yaitu perusahaan pelaksana
program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya
terutama pada bidang pengusahaan dan pengelolaan sumber daya air. Waduk ini
memiliki bangunan bendungan utama yang terbentang sepanjang kurang lebih
1.250 m. Bendungan Jatiluhur dibangun dengan membendung Sungai Citarum.
Dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 miliar m3 / tahun, Waduk Jatiluhur
merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia (TETKBKPU, 2007).

4

Sumber: TETKBKPU 2007

Gambar 2 Tampak atas bendungan utama Ir. H. Djuanda
Setelah bangunan utama yaitu Bendungan Ir. H. Djuanda, di sebelah hilir
terdapat Bendung Curug yang terletak di Sungai Citarum sejauh 10 km. Pada
Bendung Curug terdapat mini-hydro yang berkapasitas 3.2 MW dan bendung ini
dilengkapi dengan 8 menara dan 7 pintu. Setiap pintunya merupakan pintu ganda
sehingga dapat menutup di atas dan di bawah. Pada Bendung Curug aliran Sungai
Citarum dibagi menjadi 3 yaitu ke Saluran Tarum Barat (STB), Saluran Tarum
Timur (STT), serta ke DAS Citarum dan nantinya akan dibagi lagi sebagian ke
Saluran Tarum Utara (STU). Selain Bendung Curug, Waduk Jatiluhur juga
memiliki bendungan pelana yang berjumlah 4 buah dengan tipe homogenous earth
fill dam dengan penutup menggunakan batu andesit dan chimney drain di beberapa
bagian. Elevasi puncak bendungan pelana adalah +114,5 m.
Bendungan pelana terdiri dari Bendung Pasir Gombong yang terdapat pada
bagian Utara Waduk Jatiluhur, serta Bendung Ciganea dan Bendung Ubrug yang
terdapat pada bagian Tenggara dari bendungan utama Ir. H. Djuanda. Bendung
Pasir Gombong terdiri dari dua bagian yaitu Pasir Gombong Barat dan Pasir
Gombong Timur yang masing- masing memiliki panjang 1.950 m dan 400 m serta
tinggi maksimal 19 m dan 15 m. Bendung Ciganea dan Ubrug memiliki panjang
330 m dan 550 m serta ketinggian maksimal 12,5 m dan 17 m. Letak dari masingmasing bendung dapat dilihat pada Lampiran 1.

Sumber: Raharjo 2008

Gambar 3 Pola sedimentasi pada waduk

5

Menurut Basiran et al. (2014), batas usia umur waduk ditentukan oleh
habisnya manfaat waduk untuk bisa diatur penggunaannya bagi kepentingan
pengairan atau pembangkit tenaga listrik, dimana air keluaran melalui intake.
Volume diatas bidang horizontal melalui intake merupakan volume life storage,
sedangkan volume di bawahnya disebut dead storage.
Dead Storage inilah yang menentukan perhitungan umur suatu waduk. Dead
storage merupakan ruangan yang khusus disediakan untuk menampung sedimen
yang terbawa aliran sungai yang bermuara di waduk maupun yang terbawa air hujan
sekitar waduk. Jika tingkat sedimentasi sudah mengisi semua bagian dead storage
maka pada saat itulah endapan atau sedimentasi mulai mengisi daerah life storage
dan endapan perlahan akan sampai pada tingkatan yang mengganggu fungsi intake
dalam pengaturan air keluar waduk. Jika fungsi intake sudah terganggu oleh
sedimen, pengeluaran air tidak bisa diatur maka waduk tidak bisa berfungsi lagi
sebagai pembangkit tenaga listrik.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum
Menurut Manan (1979) dalam Raharjo (2008), definisi dari DAS adalah
kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan
mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke
danau/laut. Ditambahkan oleh Soeryono (1979) dalam Raharjo (2008), DAS
merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur utama vegetasi, tanah, air dan manusia
dengan segala upaya yang dilakukan di dalamnya. Potensi air dalam satuan wilayah
sungai (SWS) Citarum merupakan satu kesatuan dari beberapa DAS di Jawa Barat
bagian Utara yang meliputi Sungai Citarum, Cimalaya, Cijengkol, Ciasem,
Cigandung, dan Cipunagara. Di samping itu, sejumlah DAS merupakan bagian
wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, yaitu Cikarang dan Bekasi, yang tergabung
dengan SWS Citarum dalam rangka pembangunan proyek Nasional Serbaguna
Jatiluhur, sehingga terbentuklah SWS Citarum-Plus dengan 76 anak sungai.
Wilayah Kerja PJT II mencakup 74 sungai dan anak-anak sungainya yang
menjadi satu kesatuan hidrologis di Jawa Barat bagian Utara. Daerah kerja PJT II
berada di Wilayah Sungai Citarum dan sebagian Wilayah Sungai Ciliwung –
Cisadane yang meliputi daerah seluas + 1.200.000 ha. Wilayah pelayanan PJT II
mencakup dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta yaitu sebagian
Kotamadya Jakarta Timur, Kotamadya dan Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, sebagian Kabupaten
Indramayu, sebagian Kabupaten Sumedang, Kotamadya Bandung dan Kabupaten
Bandung, Kota Cimahi, sebagian Kabupaten Cianjur dan sebagian Kabupaten
Bogor.
Waduk Jatiluhur dibangun dengan membendung aliran Sungai Citarum dan
memiliki volume tampungan sebanyak 3 milyar m3. Pada DAS Citarum Hulu ini,
sungai Citarum telah dibendung terlebih dahulu oleh waduk Saguling dan waduk
Cirata yang membentuk sistem kaskade dengan total luas daerah pengaliran sungai
sebesar 460.100 ha (PPPTSDA, 2000). Dari hulu ke hilir terdapat waduk Saguling
pada ketinggian +643 m, waduk Cirata pada ketinggian +220 m dan waduk
Jatiluhur pada ketinggian +107 m. Waduk Saguling dan Cirata memproduksi listrik
dengan kapasitas masing- masing 700 MW dan 1.008 MW. Peta DAS Citarum hulu
dan sub DAS Waduk Jatiluhur dapat dilihat pada Lampiran 2.

6

Erosi dan Sedimentasi
Menurut Arsyad (2010), erosi adalah peristiwa berpindahnya atau
terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh
media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu
tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan ditempat lain. Pengikisan
dan pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin.
Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan
menahan air. Menurut Foster et al (1977) dalam Wikandinata dan Adinugroho
(2007), proses erosi tanah meliputi pelepasan butir- butir tanah oleh aliran
permukaan atau limpasan permukaan dalam alur dan pengangkutan butir- butir
tanah oleh air dalam alur. Tanah yang terangkut tersebut akan terbawa oleh aliran
ke hilir dan sedimen ini akan diendapkan di tempat yang aliran airnya melambat di
dalam sungai, waduk, danau, reservoir, saluran irigasi, di atas tanah pertanian dan
sebagainya (Arsyad, 2010). Sedimen merupakan tanah dan bagian- bagian dari
tanah yang terbawa oleh air pada daerah aliran sungai yang terkena erosi. Sedimen
terbentuk karena adanya proses sedimentasi yaitu melambat atau berhentinya aliran
air yang mengangkut tanah hasil erosi sehingga sedimen pun terendapkan.
Sedimen secara umum dibagi menjadi dua yaitu sedimen melayang
(suspended load) dan endapan dasar (bed load). Suspended load adalah sedimen
yang masih terbawa di dalam aliran sungai yang bergerak dari hulu menuju ke
bagian hilir sungai. Sedimen tersebut secara bertahap dengan waktu tertentu akan
mengendap akibat massa butirannya sendiri sehingga menjadi bed load. Bed load
adalah gerakan sedimen yang berinteraksi langsung dengan dasar sungai. Menurut
Varshney (1979) dalam Setyono (2011), sedimentasi berdampak negatif terhadap
pendangkalan dasar sungai sehingga kapasitas tampung air pada sungai menjadi
semakin kecil. Pada akhirnya pendangkalan waduk akibat akumulasi sedimentasi
menjadi masalah utama karena akan menurunkan umur dari waduk. Umur waduk
ditentukan berdasarkan kapasitas tampungan mati (dead storage) yang merupakan
tampungan maksimum bagi sedimen.
Erosi dan laju sedimentasi pada dasarnya sangat erat akan faktor- faktor
hidrologi. Salah satu faktor hidrologi yang paling berpengaruh adalah curah hujan.
Intensitas hujan sebagai produk dari curah hujan akan menentukan besar banjir
yang terjadi. Semakin besar curah hujan, maka semakin besar pula banjir yang
berimplikasi pada banyaknya jumlah tanah yang hanyut ke dalam aliran air dan
nantinya mengalami proses sedimentasi di hilir.
Menurut Arsyad (2010), laju erosi juga sangat terkait dengan faktor
topografi, geologi, vegetasi dan meteorologi. Metode perhitungan erosi tersebut
terus dikembangkan hingga diperoleh suatu metode yang bersifat umum seperti
salah satu metode yang dikembangkan oleh United State Department of
Agriculture-Soil Conversation Center (USDA-SCS) bekerja sama dengan
Wischmeier dan Smith, yaitu universal soil loss equation (USLE). Metode ini
berdasarkan uji coba yang dikembangkan di sebuah plot standar berukuran 22,1 m
x 1 m dengan kemiringan plot sebesar 9% dan berguna untuk mengukur laju erosi
pada suatu DAS per tahun. Teori USLE terdiri dari 6 variabel yang tersusun dari
data erosi dan aliran permukaan, parameter fisik dan pengelolaan yang secara
matematis ditunjukkan pada persamaan USLE (persamaan 1).

7

�=

×

×

×

(1)

Keterangan:
A = Banyaknya tanah yang tererosi per satuan luas per satuan waktu yang
dinyatakan sesuai dengan K dan periode R yang terpilih (ton/ha).
R = Faktor erosivitas hujan dan aliran permukaan (EI 30), yaitu jumlah satuan
indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E)
dengan intensitas maksimum hujan 30 menit (I 30) untuk suatu tempat dibagi
100 (N/h).
K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk
suatu jenis tanah tertentu dalam kondisi dibajak dan ditanami terus menerus,
yang diperoleh dari petak percobaan tanpa tanaman yang dilakukan
Wischmeier dan Smith (ton.h/ha.N).
LS = Faktor panjang kemiringan lereng (length of slope factor), yaitu nisbah antara
besarnya erosi per indeks erosi dari suatu lahan dengan ukuran serupa dengan
percobaan yang dilakukan Wischmeier dan Smith di bawah keadaan yang
identik namun tidak berdimensi.
CP = Faktor tanaman penutup lahan dan manajemen tanaman, yaitu nisbah antara
besarnya erosi lahan dengan penutupan tanaman dan manajemen tanaman
tertentu terhadap lahan yang identik tanpa tanaman namun tidak berdimensi.
Perhitungan nilai R didapatkan dengan mencari rata- rata curah hujan 10
tahun pada sub DAS Waduk Jatiluhur. Berdasarkan Wilson (1993), setelah
mendapatkan luasan setiap darah tangkapan air, maka selanjutnya untuk mencari
nilai curah hujan terdistribusi (Y), digunakan metode Poligon Thiessen dengan
persamaan (2) bersama data curah hujan rata- rata 10 tahunan yang tercatat di
stasiun- stasiun cuaca yang ada di sekitar sub DAS tersebut dengan luasan wilayah.
Setelah itu berdasarkan metode matematis yang dikembangkan oleh Utomo dan
Mahmud dalam Wikandinata dan Adinugroho (2007), nilai Y dapat dikonversi
menjadi nilai erosivitas hujan 10 tahunan (R) dengan persamaan (3).

Yi

(2)

Keterangan:
Yi = Curah hujan terdistribusi (mm)
Ai = Luasan setiap wilayah (ha)
Ri = Curah hujan tahunan masing- masing stasiun (mm)
(3)
Keterangan:
R = Faktor erosivitas hujan dan aliran permukaan (N/h)
Y = Curah hujan tahunan (cm)
Nilai faktor LS didapatkan dengan mencocokkan suatu grid terhadap
ketinggian lahan pada peta topografi. Nilai faktor LS pada beberapa jenis
kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai faktor CP didapatkan dengan

8

mencocokkan suatu grid terhadap peta tata guna lahan. Nilai faktor CP dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 1 Faktor LS berdasarkan kemiringan lereng
Kemiringan Lereng (%)
0–5
5 – 15
15 – 35
35 – 50
> 50

LS
0,25
1,20
4,25
7,50
12,00

Sumber: Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Citarum tahun 1986 dalam
Wikandinata dan Adinugroho 2007

Tabel 2 Faktor CP berdasarkan penggunaan lahan dan pengolahan tanah
Penggunaan Lahan
CP
Pemukiman
0,60
Sawah
0,05
Tegalan
0,75
Perkebunan
0,40
Hutan
0,03
Sumber: Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Citarum tahun 1986 dalam
Wikandinata dan Adinugroho 2007

Tabel 3 Faktor erodibilitas tanah (K) berdasarkan jenis tanah
Jenis Tanah
Nilai K
Andaquepts, Tropaquepts
0,30
Dystropepts, Distrandepts, Troposults
0,15
Dystropepts, Humitropepts, Tropohumults
0,30
Dystropepts, Paleudults
0,30
Dystropepts, Troporthens, Tropodults
0,30
Dystropepts, Tropodults, Humitropepts
0,15
Dystropepts, Tropodults, Troporthens
0,69
Dystropepts, Eutropepts, Tropodults
0,30
Dystropepts, Eutropepts, Tropodulfs
0,30
Humitropepts, Dystrandepts, Hydrandepts
0,05
Hydraquents, Sulfaquents
0,05
Eutropepths, Rendolls
0,30
Tropaquepts, Tropofluvents, Eutropepts
0,30
Tropodults, Dystropepts
0,30
Tropodults, Dystropepts, Eutropepts
0,30
Tropodults, Paleudults
0,30
Sumber: Laporan Tata Guna Lahan RePPProt tahun 1981 dalam Latifah (2010)

Nilai faktor K didapatkan dengan mencocokkan suatu grid terhadap tekstur
tanah pada peta jenis tanah. Nilai faktor K pada beberapa jenis tanah dapat dilihat
pada Tabel 3. Berdasarkan pendugaan laju erosi yang diperoleh, dapat ditentukan
pula kelas dan kriteria erosi yang terjadi pada suatu DAS. Kriteria yang umum
digunakan dalam rehabilitasi dan konservasi lahan disajikan pada Tabel 4.

9

Tabel 4 Kriteria erosi
No
1
2
3
4
5

Erosi (Ton/ha/tahun)
0 – 20
20 – 50
50 – 250
250 – 1.000
> 1.000

Kelas
I. Sangat Rendah
II. Rendah
III. Sedang
IV. Tinggi
V. Sangat Tinggi

Kriteria
Sangat Baik
Baik
Sedang
Buruk
Sangat Buruk

Sumber: Wikandinata dan Adinugroho (2007)

Pendekatan hidrologi dilakukan dengan cara perkiraan akumulasi volume
erosi sedimen tahunan yang dihitung dengan metode Universal Soil Loss Equation
(USLE), untuk menghitung besarnya erosi yang terjadi dengan parameter
kerusakan tanah akibat hujan, sifat tanah dan pengelolaan yang dilakukan terhadap
tanah.
Perkiraan nilai erosi bisa dapat menggunakan nisbah pelepasan sedimen yang
kemudian dikenal metode Sediment Delivery Ratio (SDR). Nilai SDR tergantung
luasan DAS itu sendiri. Nilai SDR dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Nilai sediment delivery ratio (SDR)
Luas DAS (ha)
SDR (%)
10
53,0
50
39,0
100
35,0
500
27,0
1.000
24,0
5.000
15,0
10.000
13,0
20.000
11,0
50.000
8,5
2.600.000
4,9
Sumber: DPMA (1982) dalam Wikandinata dan Adinugroho (2007)

Setelah nilai SDR diketahui, maka laju sedimentasi yang terjadi juga dapat
diketahui. Nilai laju sedimentasi dapat ditelusuri menggunakan persamaan (4).

=

�

(4)

Keterangan:
SR = Laju sedimentasi (ton/tahun)
SDR = Sedimentation delivery ratio (%)
A
= Laju erosi (ton/tahun)
Analisis Umur Manfaat Waduk
Dead storage di waduk Ir. H. Djuanda adalah volume waduk di bawah
elevasi +75.00 m. Berdasarkan Basiran et al. (2014), sisa umur waduk Jatiluhur
dapat dijabarkan dengan persamaan (5).

10



=





� �

� �

���

(5)

� �ℎ

Volume dead storage waduk Jatiluhur didasarkan pada persamaan polynomial dari
grafik hubungan antara tinggi dan volume duga muka air (DMA) dengan luas
permukaan waduk. Duga muka air adalah istilah yang digunakan oleh Perum Jasa
Tirta II untuk tinggi muka air waduk Jatiluhur. Tinggi DMA dapat dibaca dari papan
duga yang dipasang di sekitar bendungan utama. Volume DMA ditelusuri dengan
echo sounding yaitu suatu metode pendugaan kedalaman suatu perairan baik
dangkal maupun dalam dengan alat khusus echo sounder yang dipasang pada kapal.
Prinsip echo sounding adalah dengan memantulkan dan menerima gema yang
ditembakkan ke dasar perairan sehingga diketahui kontur dasar perairan
(bathimetri). Setelah peta kontur dasar perairan diketahui maka dapat diketahui luas
daerah dengan kedalaman yang sama. Dengan menggunakan peta bathimetri, dapat
diketahui volume waduk dengan mengalikan luas perairan dan kedalamannya.
Berdasarkan PPPTSDA tahun 2000, volume waduk Jatiluhur pada kedalaman
tertentu dapat diketahui dengan dua persamaan polynomial berikut.
= ,
= ,

� − ,
� − ,

�+
�+

,

Keterangan:
V = Volume Waduk (juta m3)
H = Tinggi DMA (m)

,



� <

(6)
(7)

Endapan yang terdapat pada suatu waduk dalam waktu tertentu adalah
endapan butiran dari tanah tererosi pada daerah aliran sungainya dikurangi volume
endapan butiran yang keluar. Namun pada kasus waduk Jatiluhur, perhitungan
dipengaruhi oleh inflow waduk Saguling dan Cirata pada DAS Citarum hulu yang
bersistem kaskade. Volume endapan total per tahun pada waduk Jatiluhur
berdasarkan perhitungan Basiran et al. (2014) dapat ditunjukkan dengan persamaan
berikut.
. =

%

[

%

%

,

%

�. + ,

%

�.

+

,

Keterangan:
Qt.c = Volume endapan total waduk Jatiluhur per tahun (m3/tahun)
Qi.a = Rata- rata debit inflow waduk Saguling (m3/tahun)
Qi.b = Rata- rata debit inflow waduk Cirata (m3/tahun)
Qi.c = Rata- rata debit inflow waduk Jatiluhur (m3/tahun)

%

�.

]

(8)

Nilai konstanta 90% berasal dari persentase jumlah total sedimentasi yang
masuk pada waduk setelah dikurangi persen sedimentasi yang keluar sebesar 10%.
Persen sedimentasi ditentukan dari hasil pengamatan lumpur dari aliran air sungai
Citarum yang masuk dan keluar waduk Jatiluhur tahun 1982, 1984 dan 1985.
Berdasarkan pengamatan PJT II, dari total 100% sedimen yang masuk dari inflow
ke waduk, hanya 6% dari bagian tersebut yang keluar waduk melalui outflow
sehingga pihak PJT II menganggap nilai tersebut masih terlalu kecil dan
menggantinya dengan nilai 10% agar lebih aman.

11

Ketentuan ini akhirnya disamakan untuk waduk Saguling, Cirata dan
Jatiluhur. Nilai 0,33% merupakan nisbah perbandingan jumlah lumpur yang
terbawa inflow waduk Jatiluhur sebelum ada waduk Saguling dan Cirata dengan
banyaknya lumpur yang terkandung dalam aliran sungai Citarum. Penelusuran nilai
koefisien 0,33% dapat dilihat pada Lampiran 3.
Permasalahan sedimentasi ini dapat diatasi dengan tindakan pencegahan
maupun perbaikan. Tindakan pencegahan merupakan strategi jangka panjang
dengan cara membentuk suatu badan pengelola DAS khusus yang melaksanakan
pekerjaan lapangan sesuai rencana dan kriteria yang telah ditetapkan. Keanggotaan
badan pengelola DAS ini harus melibatkan pemerintah dan badan- badan usaha
serta masyarakat termasuk masyarakat adat, LSM, ormas dan lain-lain (Wahid,
2007). Menurut Anwar et al. (2007), tindakan perbaikan untuk menambah usia
waduk dapat dilakukan dengan pengerukan dasar waduk, dengan prioritas
pekerjaan pada titik-titik dimana dimungkinkan terganggunya aktivitas operasional
waduk. Pengembangan perbaikan tata guna lahan dalam rangka peningkatan
kualitas lahan sangat diperlukan, misalnya dengan penghijauan kembali lahanlahan yang kering.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian “Evaluasi Laju Sedimentasi pada Waduk Jatiluhur, Kabupaten
Purwakarta, Jawa Barat” dilaksanakan selama 5 bulan dari bulan Maret-Juli 2014.
Lokasi penelitian ini di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yang
mencakup data curah hujan bulanan selama 10 tahun yaitu dari tahun 2004-2013,
data usia waduk rencana dan aktual beserta volume endapannya. Data inflow ratarata waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur sampai tahun 2014 dan persamaan
polynomial volume waduk berdasarkan hasil echo sounding. Selain itu juga
digunakan data endapan sedimen tahunan dan peta batas- batas DAS Citarum.
Digunakan juga peta tematik sub DAS Waduk Jatiluhur seperti peta sub DAS, peta
jenis tanah, peta tutupan lahan dan digital elevation map (DEM). Alat yang
digunakan adalah notebook beserta Microsoft Office, AutoCAD 2010, ArcGIS versi
10, Photoshop, dan Paint.
Metode Analisis
Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: studi
pustaka, pengambilan data sekunder, pengolahan data dan penyusunan laporan.
Metode studi pustaka dilakukan agar mendapatkan bahan yang diperlukan untuk
menganalisis permasalahan. Bahan diperoleh dari publikasi ilmiah atau jurnal
laporan penelitian yang berkaitan dengan permasalahan, dan buku- buku yang
menerangkan tentang aspek terkait.

12

Pengumpulan data meliputi proses pengumpulan data yang terkait dengan
data penelitian yaitu data hidrologis berupa data curah hujan dari stasiun- stasiun
cuaca sekitar daerah objek penelitian selama 10 tahun terakhir dan peta batasan sub
DAS Citarum serta peta pos dan stasiun cuaca di DAS Citarum. Seluruh data
didapatkan dari kantor Divisi Pengelolaan Pengendalian Data & Alokasi Air
(PPDAA) dan Divisi Bendungan PJT II, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Peta tematik sub DAS Waduk Jatiluhur yaitu peta tutupan lahan, peta jenis
tanah dan peta DEM didapatkan dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Citarum-Ciliwung (BAPEDAS) Kota Bogor, Jawa Barat. Peta tutupan lahan berasal
dari peta tutupan lahan rupa bumi Indonesia skala 1:25.000 tahun 1996 hasil ground
check BAPEDAS Citarum-Ciliwung tahun 2013. Peta jenis tanah berasal dari Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1992 dengan skala 1:250.000, sedangkan
peta DEM berasal dari citra SRTM tahun 2013 resolusi (30x30 m).
Pengolahan data diawali dengan penentuan luasan dari masing- masing
wilayah yang diwakili oleh stasiun cuaca agar dapat diketahui nilai curah hujan
tahunan sub DAS. Setelah itu dihitung nilai R dengan menggunakan persamaan (2)
dan (3). Pengolahan data dilanjutkan dengan menganalisa nilai K, LS dan CP
dengan menggunakan software. dan kriteria pada Tabel 1, 2 dan 3. Setelah itu nilai
R, K, LS dan CP dimasukkan ke persamaan (1).
Dengan menggunakan persamaan (1), maka laju erosi yang terjadi pada
waduk Jatiluhur dapat diketahui dan kemudian dihitung laju sedimentasi yang
terjadi. Kemudian dengan mencocokkan besar luasan sub DAS dengan Tabel 5,
maka nilai SDR dapat diketahui. Dengan menggunakan persamaan (4), maka laju
sedimentasi dapat diketahui.

Gambar 4 Diagram Alir Penelitian

13

Laju sedimentasi sub DAS kemudian dimasukkan ke dalam persamaan (8)
bersama data rata- rata inflow ketiga waduk untuk mengetahui volume endapan
waduk per tahun. Kemudian volume dead storage didapatkan dengan memasukkan
nilai H sebesar 75 m sebagai ketinggian dead storage ke dalam persamaan (7).
Akhirnya usia manfaat waduk dapat ditelusuri dengan persamaan (5) yang
merupakan pembagian nilai dari persamaan (7) dan (8). Tahapan penelitian dapat
dilihat pada Gambar 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Sub DAS Waduk Jatiluhur
Secara administratif waduk Jatiluhur terletak pada sub DAS Waduk Jatiluhur
Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Bendungan
Jatiluhur atau disebut juga waduk Ir. H. Djuanda adalah bendungan terbesar di
Indonesia. Sub DAS ini memiliki luas 306 km2 dan terletak pada 6̊ 29’ 4“ LS - 6̊
39’ 5 “ LS dan 107˚ 16’ 53“ BT - 107˚ 24’ 41“ BT. Pada bagian Utara, Sub DAS
berbatasan dengan Kecamatan Ciampel Kabupaten Bekasi, bagian Selatan
berbatasan dengan Bendungan Cirata, bagian Barat berbatasan dengan Gunung
Sanggabuana dan bagian Timur berbatasan dengan Kota Purwakarta.

Sumber: Pengelolaan Pengendalian Data & Alokasi Air (PPDAA) PJT II 2014

Gambar 5 Batas wilayah sub DAS Waduk Jatiluhur

14

Analisis Curah Hujan
Wilayah Sub DAS Waduk Jatiluhur memperoleh aliran air masuk lokal
(AML) dari Sungai Cisomang dan Sungai Cilalawi, selain juga dari outlet waduk
Cirata (karena bersistem Kaskade). Menurut laporan pemeruman waduk Jatiluhur
tahun 2000, AML menyumbangkan 14% dari total sedimentasi dengan kisaran
debit sedimen sebesar 634 ton/hari (PPPTSDA, 2000). Debit rata- rata bulanan
aliran air masuk total (AMT) selama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Debit air masuk total (AMT) rata- rata bulanan tahun 2004-2013
Bulan (m3/detik)

Tahun
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

2004

141,79

201,78

204,43

188,14

168,30

95,27

120,83

77,39

146,40

142,80

103,49

172,92

2005

153,49

233,44

234,48

294,93

179,39

186,54

109,35

175,73

135,41

145,51

130,05

185,61

2006

166,98

185,15

159,29

130,33

106,19

109,77

131,19

91,72

73,05

66,47

26,11

188,19

2007

91,55

226,33

161,30

200,29

147,28

145,39

117,49

96,16

78,70

98,33

240,53

217,52

2008

158,81

98,19

192,43

247,52

149,11

67,70

106,62

103,92

122,07

91,66

253,83

335,89

2009

113,97

173,88

247,73

232,38

211,60

186,64

147,29

101,90

104,86

142,72

195,27

179,26

2010

167,30

344,39

477,10

255,45

315,71

239,55

219,35

231,74

319,35

415,09

379,75

364,01

2011

235,78

108,60

50,36

47,49

201,24

201,30

152,93

83,65

79,70

97,14

246,21

189,69

2012

130,31

144,02

178,40

225,66

118,60

125,37

93,98

74,47

69,73

119,97

217,93

337,03

2013

281,53

354,75

143,11

409,72

293,55

177,18

268,90

197,38

157,55

163,01

125,97

254,41

Sumber: Pengelolaan Pengendalian Data & Alokasi Air (PPDAA) PJT II 2014

Untuk mengetahui laju erosi dan sedimentasi pada waduk, langkah pertama
yang dilakukan adalah mengetahui data hujan. Data hujan yang digunakan adalah
data curah hujan tahunan yang ditangkap sub DAS Waduk Jatiluhur dari tahun
2004-2013. Pada tahun 2006 dan 2007 terdapat banyak data curah hujan yang
hilang dan tidak tercatat sehingga data pada dua tahun tersebut tidak dimasukkan.
Curah hujan tahunan tersebut terukur oleh 3 stasiun cuaca yang berada di sekitar
DAS Waduk Jatiluhur. Stasiun- stasiun cuaca tersebut adalah stasiun cuaca
Tegalwaru, Cilentah, dan Karangtoman (Gambar 6).
Tabel 7 Curah hujan tahunan (mm) pada 3 stasiun cuaca
Tahun
2004
2005
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Tegalwaru
1.821
2.392
3.295
5.827
3.847
2.606
1.996
3.114

Cilentah
854
665
1.640
2.092
2.285
1.029
1.176
1.062

Karangtoman
779
789
1.225
1.269
1.240
814
548
1.531

Sumber: Pengelolaan Pengendalian Data & Alokasi Air (PPDAA) PJT 2014

Data curah hujan harus dapat mewakili keadaan cuaca yang terjadi selama
8 tahun terakhir pada sub DAS tersebut. Oleh karena itu data curah hujan yang
terukur di 3 stasiun pengamat hujan tersebut harus diubah menjadi data curah hujan

15

daerah yang mempertimbangkan setiap data curah hujan tahunan pada masingmasing stasiun beserta luasan daerah cakupannya. Curah hujan rata- rata dihitung
dengan menggunakan metode Poligon Thiessen. Gambar 6 menunjukkan wilayah
pengamatan dari masing- masing stasiun, sedangkan Tabel 8 menunjukkan letak
koordinat stasiun dan cakupan luasan setiap stasiun. Pembagian wilayah ini
dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS versi 10 dan AutoCAD 2010 ini
dapat dilihat pada Lampiran 4.

Skala 1:150.000

Gambar 6 Analisis curah hujan dengan metode Poligon Thiessen

No
1
2
3

Tabel 8 Letak koordinat stasiun dan luasan wilayahnya (Gambar 6)
Letak
Luas
Stasiun Cuaca
(ha)
LS
BT
Tegalwaru
6˚ 31' 39"
107˚ 14' 25"
14.387
Cilentah
6˚ 30' 80"
107˚ 23' 38"
9.757
Karangtoman
6˚ 41' 33"
107˚ 25' 12"
6.456
Total Sub DAS
30.600

Setelah dilakukan perhitungan dengan metode Poligon Thiessen
(persamaan 2) diperoleh curah hujan rata- rata tahunan seperti disajikan pada
Tabel 9.
Tabel 9 Rata- rata curah hujan tahunan (mm)
Tahun
Curah Hujan (mm)
2004
1.292,82
2005
1.503,13
2008
2.330,56
2009
3.674,42
2010
2.798,92
2011
1.725,09
2012
1.429,04
2013
2.125,73
Rata-rata (Y)
2.109,96

16

Selanjutnya nilai Y sebesar 2.109,96 mm diubah menjadi nilai faktor
erosivitas hujan dan aliran permukaan (R). Dengan memasukkan nilai Y ke
persamaan (3) sehingga didapatkan nilai R sebesar 788,08 N/h. Perhitungan curah
hujan dan nilai R dapat dilihat pada Lampiran 5.
Laju Erosi dan Sedimentasi pada Sub DAS
Perhitungan laju erosi dengan persamaan USLE dimulai dengan
menentukan variabel- variabel seperti tata guna lahan, kemiringan lereng, dan jenis
tanah. Besarnya luasan dari masing- masing variabel tersebut harus dihitung dengan
proses digitasi menggunakan software ArcGIS versi 10. Proses digitasi dan peta
hasil digitasi secara lengkap dijelaskan pada Lampiran 6 dan 7. Berdasarkan proses
digitasi, daerah waduk merupakan tutupan lahan tertinggi dengan persentase
sebesar 23,42% total luas sub DAS Waduk Jatiluhur. Berdasarkan Laporan Akhir
Pemeruman Waduk Ir. H. Djuanda PPDAA PJT II tahun 2000, perluasan area
perkebunan berasal pemilik lahan yang berkebunan pisang di daerah Pasir
Gombong (PPPTSDA, 2000). Peta tutupan lahan sub DAS Waduk Jatiluhur dapat
dilihat pada Lampiran 8.
Pada kemiringan lereng 0-5%, lahan didominasi oleh persawahan sebesar
1.832,17 ha dengan lahan terkecil yaitu hutan sebesar 415,06 ha. Pada kemiringan
lereng 5-15% lahan didominasi oleh perkebunan sebesar 4.007,02 ha. Pada
kemiringan lereng 15-35%, 35-50% dan lebih dari 50%, lahan didominasi oleh
hutan sebesar 2.806,40 ha, 149,14 ha dan 41,09 ha. Tutupan lahan paling sedikit
yang terdapat di kemiringan lereng 5-15%, 15-35%, dan 35-50% adalah
permukiman sebesar 662,75 ha, 52,25 ha dan 2,14 ha. Peta sub DAS berdasarkan
kemiringan lereng dapat dilihat pada Lampiran 9.

No
1
2
3
4
5
6

Tabel 10 Tutupan lahan di sub DAS Waduk Jatiluhur
Jenis Tutupan Lahan (CP)
Luas (ha)
Waduk
7.166,31
Perkebunan
6.444,31
Hutan
5.899,07
Tegalan
4.920,81
Persawahan
4.688,55
Permukiman
1.480,95
Total
30.600,00

%
23,42
21,06
19,28
16,08
15,32
4,84
100,00

Tabel 11 Luas tutupan lahan berdasarkan kemiringan lereng
Luas berdasarkan jenis tutupan lahan (CP) (ha)
Kemiringan
Tegalan
Persawahan Permukiman
Lereng (%) Perkebunan
Hutan
0-5
958,71
415,06
812,81
1.832,17
763,81
5-15
4.007,02
2.487,38
3.257,40
2.676,56
662,75
15-35
1.420,92
2.806,40
827,75
176,84
52,25
35-50
57,66
149,14
20,23
2,84
2,14
>50
0
41,09
2,62
0,14
0
Total
6.444,31
5.899,07
4.920,81
4.688,55
1.480,95

17

Nilai K didapat dengan mencocokkan 9 jenis kombinasi jenis tanah yang ada
pada sub DAS Waduk Jatiluhur dengan Tabel 3. Dari 9 jenis kombinasi tanah
tersebut, ada 4 jenis kombinasi tanah yang tidak sesuai seluruhnya dengan data yang
ada pada tabel. Jenis- jenis kombinasi tanah tersebut adalah yaitu Eutropepts,
Tropaquepts (ET); Eutropepts, Tropodults, Tropodulfs (ETT); Tropaquepts,
Tropofluvents, Fluvaquents (TTF); dan Tropodults, Dystropepts, Haplorthox
(TDH).
Kemudian keempat jenis tanah tersebut kembali dicocokkan pada Tabel 3
dengan pertimbangan jenis kombinasi tanah yang paling mendekati seperti
Eutropepts, Tropaquepts (ET) yang serupa dengan Tropaquepts, Tropofluvents,
Eutropepts yang mempunyai nilai K sebesar 0,3. Lalu ada Eutropepts, Tropodults,
Tropodulfs (ETT) yang serupa dengan Dystropepts, Eutropepts, Tropodulfs dan
Dystropepts, Eutropepts, Tropodulfs yang masing- masing memiliki nilai K
sebesar 0,3. Kemudian ada Tropaquepts, Tropofluvents, Fluvaquents (TTF) yang
serupa dengan Tropaquepts, Tropofluvents, Eutropepts dengan nilai K sebesar 0,3.
Terakhir adalah Tropodults, Dystropepts, Haplorthox (TDH) yang serupa dengan
Tropodults, Dystropepts dan Tropodults, Dystropepts, Eutropepts yang masingmasing juga memiliki nilai K sebesar 0,3.
Luas total daratan yang merupakan selisih antara luas total sub DAS dan luas
kawasan air atau waduk adalah sebesar 23.433,69 ha. Berdasarkan peta jenis tanah
yang diolah dengan proses digitasi dari luas daratan tersebut, jenis tanah pada sub
DAS Waduk Jatiluhur didominasi oleh kombinasi tanah Dystropepts,
Humitropepts, Tropohumults (DHT) dengan persentase sebesar 37,02% sedangkan
jenis tanah yang paling kecil persentasenya adalah Dystropepts, Eutropepts,
Tropodulfs (DET) dengan 0,13. Seluruh nilai K jenis- jenis tanah yang ada pada sub
DAS Waduk Jatiluhur kemudian dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Nilai K dan luas masing- masing jenis tanah
Jenis tanah
K
Luas (ha)
%
DET
0,30
29,31
0,13
ET
0,30
186,00
0,79
TTF
0,69
276,67
1,18
DTT
0,30
6.317,36
26,96
TDH
0,30
1.933,33
8,25
ETT
0,30
5.419,50
23,13
DHT
0,30
8.674,09
37,02
TDE
0,30
70,06
0,30
ER
0,30
527,37
2,25
Total
23.433,69
100,00
Terdapat total 16 jenis kombinasi tanah yang terklasifikasi nilai K-nya dalam
laporan tata guna lahan RePPProt (Regional Physical Planning Programme for
Transmigration), tahun 1981 dalam Latifah tahun 2010. Sembilan jenis kombinasi
tanah diantaranya terdapat pada sub DAS Waduk Jatiluhur. Jenis- jenis tersebut
adalah Dystropepts, Eutropepts, Tropodulfs (DET); Eutropepts, Tropaquepts (ET);
Tropaquepts, Tropofluvents, Fluvaquents (TTF); Dystropepts, Tropodults,
Troporthens (DTT); Tropodults, Dystropepts, Haplorthox (TDH); Eutropepts,
Tropodults, Tropodulfs (ETT); Dystropepts, Humitropepts, Tropohumults (DHT);

18

Tropodults, Dystropepts, Eutropepts (TDE); dan Eutropepths, Rendolls (ER). Peta
jenis tanah sub DAS Waduk Jatiluhur dapat dilihat pada Lampiran 10, sedangkan
luas masing- masing tutupan lahan berdasarkan kemiringan lereng dan jenis
tanahnya dapat dilihat pada Tabel 13 dan 14.
Tabel 13 Luas lahan hutan dan permukiman berdasarkan kemiringan lereng dan
jenis tanah
CP

DET
Hutan

ET

TTF

DTT

TDH

ETT

DHT

TDE

ER

0-5

0

0

0

54

0

7,26

353,80

0

0

415,06

5-15

0

0

0

407,40

0

141,28

1.938,70

0

0

2.487,38

15-35

0

0

0

675,23

0

148,10

1.983,07

0

0

2.806,40

35-50

0

0

0

68,70

0

5,20

75,24

0

0

149,14

>50

0
0

0
0

0
0

12,47
1.217,8

0
0

0
301,84

28,62
4.379,43

0
0

0
0

41,09
5.899,07

Total
Permukiman

Total
Luas (ha)

Luas berdasarkan jenis K (ha)

LS

0-5

6,04

0

71,35

66,94

457,31

76,75

83,67

0

1,75

763,81

5-15

1,95

0

0

173,48

21,81

267,61

195,80

0

2,10

662,75

15-35

0,42

0

0

38,54

0,06

6,16

7,07

0

0

52,25

35-50

0

0

0

1,04

0

1,10

0

0

0

2,14

>50

0
8,41

0
0

0
71,35

0
280

0
479,18

0
351,62

0
286,54

0
0

0
3,85

0
1.480,95

Total

Tabel 14 Luas lahan persawahan, tegalan dan perkebunan berdasarkan kemiringan
lereng dan jenis tanah
Luas berdasarkan jenis K (ha)
CP
Persawahan

TTF

DTT

TDH

ETT

DHT

TDE

ER

3,89

32,79

181,88

284,67

752,69

260,76

315,49

0

0

1.832,17

0,3

16,01

2,70

767,32

88,8

1.084,45

716,98

0

0

2.676,56

15-35

1,56

0

0

111,07

5,89

21,58

36,74

0

0

176,84

35-50

0

0

0

0,46

0

2,38

0

0

0

2,84

>50

0
5,75

0
48,8

0
184,58

0
1.163,52

0
847,38

0,14
1.369,31

0
1.069,21

0
0

0
0

0,14
4.688,55

0-5

0,53

2,53

0

87,68

42,27

213,02

233,46

48,08

185,24

812,81

5-15

0

9,83

0

609,6

48,49

1.188,44

1.141,6

21,98

237,46

3.257,40

15-35

0

0

0

353,06

0,38

160,66

294,69

0

18,96

827,75

35-50

0

0

0

13,95

0

4,74

1,54

0

0

20,23

>50

0
0,53

0
12,36

0
0

2,45
1.066,74

0
91,14

0,17
1.567,03

0
1.671,29

0
70,06

0
441,66

2,62
4.920,81

0-5

1,74

30,1

20,74

150,12

368,02

230,87

135,92

0

21,20

958,71

5-15

5,84

82,98

0

1.333,93

116,89

1.502,84

903,88

0

60,66

4.007,02

15-35

7,04

11,76

0

1.050,77

30,72

93,23

227,4

0

0

1.420,92

35-50

0

0

0

54,48

0

2,76

0,42

0

0

57,66

0
81,86

0
6.444,31

>50
Total

ET

0-5

Total
Perkebunan

DET

5-15

Total
Tegalan

Total
Luas (ha)

LS

0
14,62

0
124,84

0
20,74

0
2.589,3

0
515,63

0
1.829,7

0
1267,62

0
0

Setelah nilai R, K LS, dan CP masing- masing sudah didapatkan, kemudian
nilai- nilai tersebut dimasukkan ke dalam perhitungan USLE pada persamaan (1)
sehingga dapat ditelusuri nilai laju erosi dalam satuan ton/ha/tahun. Perhitungan

19

dengan menggunakan persamaan (1) dapat dilihat pada Lampiran 11. Besarnya laju
erosi berdasarkan tiap jenis tutupan lahan, kemiringan lereng dan jenis tanahnya
dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16.
Tabel 15 Laju erosi pada lahan hutan dan permukiman di sub DAS Waduk
Jatiluhur (ton/ha/tahun)
CP
Hutan

LS

ET

TTF

0-5

0,00

0,00

0,00

DTT

Erosi (ton/ha/tahun)
TDH
ETT

1,77

0,00

1,77

DHT

TDE

ER

Total
erosi

1,77

0,00

0,00

5,32

5-15

0,00

0,00

0,00

8,51

0,00

8,51

8,51

0,00

0,00

25,53

15-35

0,00

0,00

0,00

30,14

0,00

30,14

30,14

0,00

0,00

90,43

35-50

0,00

0,00

0,00

53,20

0,00

53,20

53,20

0,00

0,00

159,59

>50

0,00
0,00

0,00
0,00

0,00
0,00

85,11
178,74

0,00
0,00

0,00
93,62

85,11
178,74

0,00
0,00

0,00
0,00

170,23
451,10

Total
Permukiman

DET

0-5

35,46

0,00

81,57

35,46

35,46

35,46

35,46

0,00

35,46

294,35

5-15

170,23

0,00

0,00

170,23

170,23

170,23

170,23

0,00

170,23

1021,35

15-35

602,88

0,00

0,00

602,88

602,88

602,88

602,88

0,00

0,00

3014,41

35-50

0,00

0,00

0,00

1.063,91

0,00

1.063,91

0,00

0,00

0,00

2127,82

>50

0,00
808,57

0,00
0,00

0,00
81,57

0,00
1.872,48

0,00
808,57

0,00
1.872,48

0,00
808,57

0,00
0,00

0,00
205,69

0,00
6.457,92

Total

Tabel 16 Laju erosi pada lahan persawahan, tegalan dan perkebunan di sub DAS
Waduk Jatiluhur (ton/ha/tahun)
CP
Persawahan

LS

DTT

Erosi (ton/ha/tahun)
TDH
ETT

DHT

TDE

ER

Total
erosi

2,96

6,80

2,96

2,96

2,96

2,96

0,00

0,00

24,53

5-15

14,19

14,19

32,63

14,19

14,19

14,19

14,19

0,00

0,00

117,74

15-35

50,24

0,00

0,00

50,24

50,24

50,24

50,24

0,00

0,00

251,20

35-50

0,00

0,00

0,00

88,66

0,00

88,66

0,00

0,00

0,00

177,32

>50

0,00
67,38

0,00
17,14

0,00
39,42

0,00
156,04

0,00
67,38

141,85
297,89

0,00
67,38

0,00
0,00

0,00
0,00

141,85
712,64

0-5

44,33

44,33

0,00

44,33

44,33

44,33

44,33

44,33

44,33

354,64

5-15

0,00

212,78

0,00

212,78

212,78

212,78

212,78

212,78

212,78

1.489,47

15-35

0,00

0,00

0,00

753,60

753,60

753,60

753,60

0,00

753,60

3.768,01