Ultrasonography of Endometritis Cows Reproductive Tract which Treated with a Combination of Intrauterine Infusion of Gentamicine, Flumequine and PGF2α Analog
KOMBINASI GENTAMICINE, FLUMEQUINE DAN ANALOG
PGF2
αSECARA INTRA UTERI
JULI MELIA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Gambaran Ultrasonografi Organ Reproduksi Sapi Endometritis yang Diterapi dengan Kombinasi Gentamicine, Flumequine dan Analog PGF2α Secara Intra Uteri adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2010
Juli Melia NIM B352080081
(3)
JULI MELIA. Ultrasonography of Endometritis Cows Reproductive Tract which Treated with a Combination of Intrauterine Infusion of Gentamicine, Flumequine
and PGF2α Analog. Under direction of AMROZI and LIGAYA ITA
TUMBELAKA.
There are some factors to increase livestock population, such as an improvement of management reproduction system and minimization the existence of reproductive disorder that can lead to infertility and sterility. Therefore it will increase reproductive efficiency. One of the reproductive disorders caused by uterus pathology is endometritis which is an inflammation of the uterus endometrial lining, usually cause by an infection of bacteria especially through vagina during parturations, parturition abnormality and at the time of assisting birth. Persistent uterine infection results in a reduction of reproductive performance by a direct deleterious effect on the uterus and disruption of normal ovarian faction. Hence, an appropriate treatment is essential component of successful reproductive management programs. Numerous treatment approaches including intrauterine infusion of antibiotics and PGF2α have been done. The present study examines the reproductive tract ultrasonography in endometritis cow’s treated with a combination of intrauterine infusion of gentamicine, flumequine and PGF2αanalog. Six endometritis cows (N=6) divided into 2 groups (each N=3). First group treated with combination of antibiotics (250 mg Gentamicine & 250 mg Flumequine) (Flugenta® 5/5, Nova Laboratories Sdn-Bhd, Sepang Malaysia) and 12.5 mg PGF2α (Noroprost® 0.5% W/V, Norbrook Laboratories Limited, Newry) and the other group just treated with combination of antibiotics. Results of this research shows that the existence of higher level lymphocytes compared to the others leukocyte (62.50 ± 1.17; 63.66 ± 2.35), and after the treatment it shows the inexistence of a marked difference between both group of treatment (p>0.05). Ultrasound evaluation of the uterus shows no differences are found to the uterine diameter and the degradation of endometrial thickness between both group of treatment (p>0.05); however, a significant difference of CL degradation (p<0.05) is showed. Although the result also shows that the improvement of uterine diameter and the degradation of endometrial thickness occurs one day after treatment (24 hours). In summary, treatment of cow endometritis with a combination of antibiotics and PGF2α is more effectively than combination of antibiotics alone.
(4)
RINGKASAN
JULI MELIA. Gambaran Ultrasonografi Organ Reproduksi Sapi Endometritis yang Diterapi dengan Kombinasi Gentamicine, Flumequine dan Analog PGF2α Secara Intra Uteri. Dibimbing oleh AMROZI dan LIGAYA ITA TUMBELAKA.
Salah satu sumber protein hewani yang sangat besar manfaatnya bagi kebutuhan gizi dan mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah ternak sapi. Permintaan pasar akan daging sapi di Indonesia masih terbuka cukup luas hal ini disebabkan karena kebutuhan akan daging sapi secara nasional masih tinggi, baik untuk keperluan konsumsi masyarakat maupun keperluan industri pengolahan produk hasil-hasil peternakan, karena itu perlu adanya peningkatan populasi ternak. Ada beberapa faktor untuk meningkatkan populasi ternak, antara lain perbaikan sistem manajemen reproduksi dan meminimalkan adanya gangguan reproduksi yang diikuti kemajiran pada ternak sehingga dapat meningkatkan efisiensi reproduksi.
Salah satu jenis gangguan reproduksi adalah endometritis. Endometritis dapat terjadi pada semua hewan ternak termasuk sapi. Endometritis adalah peradangan (inflamasi) pada lapisan endometrium uterus, biasanya terjadi sebagai suatu hasil dari infeksi bakteri patogen terutama terjadi melalui vagina dan menerobos serviks sehingga mengkontaminasi uterus selama partus, penyebab lain adalah karena kelanjutan dari abnormalitas partus seperti abortus, retensio sekundinarium, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia serta perlukaan pada saat membantu kelahiran.
Infeksi uterus persisten mengakibatkan pengurangan performa reproduksi oleh suatu pengaruh langsung pada uterus dan gangguan fungsi normal ovarium, oleh karena itu terapi yang sesuai adalah suatu komponen penting dari suksesnya program manjemen reproduksi. Sejumlah terapi yang diberikan mencakup pemberian secara parenteral atau infusi antibiotik secara intra uteri (i.u) dan pemberian PGF2α secara intra muskuler (i.m). Sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan tentang pengamatan yang periodik pasca terapi endometritis pada sapi dengan menggunakan antibiotik dan prostaglandin melalui pengamatan diferensial leukosit darah dan gambaran USG organ reproduksi sapi betina.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2010 di Laboratorium Lapangan, Unit Rehabilitasi Reproduksi Bagian Reproduksi dan Kebidanan, serta Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Menggunakan 6 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) betina yang telah didiagnosa menderita endometritis dengan kisaran umur antara 5-8 tahun dan body condition score antara 2-3. Hewan dibagi dalam 2 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor sapi. Kelompok I (n=3) diterapi dengan menggunakan antibiotik sebanyak 250 mg Gentamicine dan 250 mg Flumequine ditambah 15 ml NaCl fisiologis dan PGF2αsebanyak 12,5 mg secara intra uteri, Kelompok II (n=3) diterapi dengan menggunakan antibiotik saja dengan dosis dan cara pemberian yang sama seperti pada Kelompok I. Untuk langkah awal dilakukan diagnosa, lalu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi pada uterus dan ovarium, kemudian hewan baru diterapi, selanjutnya dilakukan pengamatan selama 26 hari, serta dilakukan
(5)
jumlah limfosit yang lebih tinggi dibanding bentuk diferensial leukosit lainnya (62,50±1,17; 63,66±2,35), selain itu juga dijumpai persentase jumlah neutrofil yang besar (29,33±0,94; .33±0,94) dan setelah diterapi, hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan diferensial leukosit pada kedua kelompok perlakuan (p>0,05). Hasil ultrasonografi terhadap uterus juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata terhadap diameter uterus dan ketebalan endometrium uterus antara kedua kelompok perlakuan (p>0,05), tetapi dijumpai adanya perbedaan yang nyata terhadap penurunan diameter CL (p<0,05). Namun demikian peningkatan diameter uterus dan penurunan ketebalan endometrium sudah terjadi 24 jam setelah terapi diberikan, sehingga dapat disimpulkan terapi yang diberikan pada sapi-sapi endometritis menggunakan kombinasi antibotik dan PGF2α lebih efektif dibanding yang hanya diberi kombinasi antibiotik saja. Kata kunci: Sapi, endometritis, uterus, ultrasonografi, antibiotik, PGF2α.
(6)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
KOMBINASI GENTAMICINE, FLUMEQUINE DAN ANALOG
PGF2
αSECARA INTRA UTERI
JULI MELIA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(8)
(9)
Nama : Juli Melia
NIM : B352080081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Amrozi Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP. M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana
Biologi Reproduksi
Prof. Dr. drh. Iman Supriatna Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
(10)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan Juli 2010 ini adalah Endometritis pada sapi, dengan judul Gambaran Ultrasonografi Organ Reproduksi pada Sapi Endometritis yang Diterapi dengan Kombinasi Gentamicine, Flumequine dan Analog PGF2α Secara Intra Uteri.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Amrozi dan Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Bondan Ahmadi, AMd sebagai tehnisi dan M. Danang Eko Yulianto, SPt sebagai teman seangkatan yang telah banyak membantu saya di lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Muhammad Nurdin (Alm), ibunda Rasyidah (Alm), suami tercinta Sudarmansyah, AMd dan anakku tersayang Angghian Siti Safur serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Indonesia-Managing
Higher Education for Relevance and Effeciency (I-MHERE) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah membiayai pendidikan penulis di Institut Pertanian Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2010
(11)
Penulis dilahirkan di Bireuen, Nanggoe Aceh Darussalam pada tanggal 11 Januari 1977 sebagai anak keempat dari lima bersaudara, anak dari pasangan Muhammad Nurdin (Almarhum) dan Rasyidah (Almarhumah).
Penulis menamatkan pendidikan pada Sekolah Dasar Negeri No.10 Bireuen tahun 1990, Sekolah Menengah Pertama Negeri No.1 Bireuen tahun 1993 dan Sekolah Menengah Atas Negeri No.1 Bireuen tahun 1996, semuanya di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada tahun 1996 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan berhasil memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) tahun 2001, kemudian gelar profesi Dokter Hewan (drh) tahun 2002. Pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program magister pada Mayor Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR………... DAFTAR LAMPIRAN……… PENDAHULUAN………...
Latar Belakang………... Tujuan Penelitian……… Manfaat Penelitian……….. Hipotesis……….. Kerangka Pemikiran……… TINJAUAN PUSTAKA……….. Endometritis……… Terapi Endometritis………. Antibiotik……… Prostaglandin………... Ultrasonografi………. MATERI DAN METODE………...
Tempat dan Waktu Penelitian………. Hewan Percobaan……… Alat dan Bahan……… Prosedur Penelitian………. Metodelogi Penelitian dan Parameter yang Diuji………... HASIL DAN PEMBAHASAN………... Pemeriksaan Klinis………. Keberadaan Lendir dan Nanah dalam Uterus………. Pemeriksaan Diferensial Leukosit Darah………... Diameter Uterus……….. Ketebalan Endometrium………. Regresi Korpus Luteum………... Onset Estrus……… Estrus………... Ovulasi……… Dinamika ovari……… SIMPULAN DAN SARAN………. DAFTAR PUSTAKA……….. LAMPIRAN………. xii xiii 1 1 1 1 2 2 3 3 5 6 7 9 11 11 11 11 12 12 15 15 18 18 20 22 24 25 26 27 28 37 38 46
(13)
1. Perangkat USG……….
2. Prosedur penelitian………
3. Gejala klinis sapi-sapi penderita endometritis.……….
4. Potongan melintang gambaran ultrasonografi organ reproduksi sapi... 5. Nanah yang menempel di perineum dan ekor sapi penderita
endometritis setelah diterapi dengan kombinasi antibiotik+PGF2α...
6. Diferensial leukosit darah pada sapi endometritis……….
7. Diameter uterus sapi-sapi penderita endometritis……….
8. Gambaran ultrasonografi serviks dan korpus uterus sapi
endometritis………...
9. Ketebalan endometrium pada sapi-sapi endometritis………
10.Gambaran ultrasonografi dinding endometrium uterus sapi
endometritis………...
11.Tampilan gejala estrus pada sapi PO……….
12.Gambaran ultrasonografi serviks uterus dan ovarium sapi………...
13.Klasifikasi ukuran folikel pada sapi endometritis……….
14.Dinamika ovari pada sapi endometritis……….
10 12 16
17
18 19 21
22 23
24 26 27 29 32
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Contoh format data hasil pengamatan………...
2. Hasil uji t-student menggunakan software statistik SPSS versi 17.0 46 47
(15)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Adanya peningkatan jumlah penduduk dan usaha mencapai standar normal gizi serta kesadaran masyarakat mengkonsumsi protein hewani maka permintaan daging dan susu di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Salah satu sumber protein hewani yang sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan kebutuhan gizi dan mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah ternak sapi. Asmaki et al. (2008) mengemukakan permintaan daging di Indonesia meningkat 6-8% setiap tahunnya, namun demikian kemampuan produksi daging dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan nasional tersebut sehingga menyebabkan impor baik daging maupun sapi hidup masih tinggi. Hal inilah yang membuat permintaan pasar akan daging sapi masih terbuka cukup luas (Dirjennak 2008), baik untuk keperluan konsumsi masyarakat maupun keperluan industri pengolahan produk hasil-hasil peternakan, karena itu perlu adanya peningkatan populasi ternak.
Peningkatkan populasi ternak dapat dicapai dengan perbaikan sistem manajemen reproduksi dan meminimalkan adanya gangguan reproduksi ternak. Salah satu jenis gangguan reproduksi ternak adalah endometritis. Endometritis
berarti peradangan mukosa uterus (endometrium), endometritis dapat
menyebabkan gangguan reproduksi yang bersifat sementara (infertil) atau permanen (majir).
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan melihat efektifitas pengobatan endometritis dengan menggunakan kombinasi antibiotik (Gentamicine, Flumequine) dan analog Prostaglandin F2α (Noroprost®) terhadap tingkat penyembuhannya, serta pengamatan dinamika ovari dengan metode ultrasonografi (USG).
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih jelas dan akurat tentang tindakan terbaik yang dapat dilakukan untuk terapi
(16)
2
endometritis pada sapi sedini mungkin sehingga efisiensi reproduksi dapat tercapai.
Hipotesis
Pengobatan endometritis dengan menggunakan kombinasi antibiotik dan PGF2α akan lebih efektif terhadap proses penyembuhan pada sapi.
Kerangka Pemikiran
Pengobatan endometritis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik untuk membunuh mikroorganisme penyebab penyakit ini dan dengan pemberian hormon prostaglandin (PGF2α) untuk mendorong terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan serviks. Palpasi rektal dengan bantuan alat ultrasonografi terhadap organ reproduksipun dapat dilakukan untuk mengamati proses penyembuhan endometritis (Kasimanickam et al. 2006). Sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan tentang pengamatan yang periodik pasca terapi endometritis pada sapi dengan menggunakan antibiotik dan prostaglandin melalui pengamatan gambaran USG organ reproduksi sapi betina. Hal inilah yang mendorong penelitian ini dilakukan.
(17)
TINJAUAN PUSTAKA
Uterus yang normal harus berada dalam keadaan yang steril dan uterus yang sehat seharusnya mampu membersihkan dirinya sendiri dari infeksi yang temporer secara efisien. Pada periode pospartum, uterus sapi biasanya sangat lemah dan mudah dicemari dengan bermacam-macam organisme. Secara alami lingkungan uterus pospartum kembali steril pada kebanyakan mamalia setelah 25 hari (Anonim 2008). Adanya kontaminasi menyebabkan terjadinya penyakit pada uterus (Bonnett et al. 1991). Sebenarnya pada sapi yang uterusnya terinfeksi, bakteri terlihat berada dalam uterus tanpa berproliferasi menjadi suatu peradangan, sampai progesteron luteal turun meregulasi fungsi imun, dan menyebabkan suatu kondisi patologis (Lewis 2004). Infeksi uterus sering kali
dihubungkan dengan Arcanobacterium pyogenes, Escherichia coli,
Fusobacterium necrophorum dan Prevotella melaninogenicus (Dohmen et al. 1975; Studer dan Morrow 1978; Ruder et al. 1981; Olson et al. 1984; Bonnett et al. 1991; Bondurant 1999), serta bovine herpesvirus-4 dan Corynebacterium pyogenese dapat diidentifikasi sebagai salah satu mikroorganisme penyebabnya (Ball dan Peters 2004).
Endometritis
Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium uterus, biasanya terjadi sebagai suatu hasil dari infeksi bakteri patogen terutama terjadi melalui vagina dan menerobos serviks sehingga mengkontaminasi uterus (Kasimanickam et al. 2005, 2006; Sheldon 2004, 2007) selama partus, membuat involusi uterus menjadi tertunda dan performa reproduksi memburuk. Sehingga
menyebabkan kerugian secara ekonomis (Javed dan Khan 1991; Kasimanickam et
al. 2005; Foldi et al. 2006; Sheldon 2007; Dolezel et al. 2008). Tingkat kejadian endometritis di Indonesia cukup tinggi (20-40%) (Dirjennak 2008), rata-rata 10-80% tergantung pada bervariasinya faktor ekternal dan internal saat melakukan metode diagnosa (Dolezel et al. 2008).
Radang pada endometrium uterus ini juga dapat disebabkan infeksi sekunder yang berasal dari bagian lain tubuh sehingga dapat menyebabkan
(18)
4
gangguan reproduksi pada hewan betina. Penyebab lain adalah karena kelanjutan dari abnormalitas partus seperti abortus, retensio sekundinarium, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia serta perlukaan pada saat membantu kelahiran (Ball dan Peters 2004). Berat tidaknya endometritis tergantung pada keganasan bakteri yang menginfeksi, jumlah bakteri dan ketahanan tubuh hewan penderita. Bentuk infertilitas yang terjadi antara lain matinya embrio yang masih muda karena pengaruh mikroorganisme atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (Ball dan Peters 2004; Anonim 2008).
Suatu pendekatan terbaru menggolongkan endometritis dalam dua kelompok, yaitu endometritis klinis dan endometritis subklinis (Gilbert et al. 1998; LeBlanc et al. 2002; Kasimanickam et al. 2004). Endometritis klinis digambarkan dengan adanya purulen atau mucopurulen discharge yang dapat ditemukan pada bagian luar atau pada anterior vagina atau dengan diameter serviks lebih dari 7,5 cm setelah hari ke 26 pospartum (LeBlanc et al. 2002 dan Kasimanickam et al. 2006). Endometritis subklinis digambarkan dengan ukuran serviks ≤7,5 cm dan/atau cairan abnormal pada lumen uterus (Kasimanickam et al 2006) dan adanya poliymorphonuclear leukocytes (PMN) dalam sampel sitologi uterus dan/atau gambaran ultrasonografi dari cairan yang ada dalam lumen uterus setelah 21 hari postpartum (Gilbert etal. 1998; Kasimanickam et al. 2004).
Gejala klinis endometritis sering tidak jelas, walaupun dilakukan pemeriksaan transrektal atau vaginal terutama jika peradangan bersifat akut. Endometritis kronis yang disertai dengan penimbunan cairan (hydrometra) atau nanah (pyometra), gejalanya akan lebih jelas, terutama pada saat induk berbaring, akan ada cairan yang keluar dari vulva yang berbentuk gumpalan nanah. Hal ini disebabkan karena uterus yang mengandung nanah atau cairan tertekan diantara lantai kandang dengan rumen. Gejala lain yang mungkin terlihat khususnya pada endometritis akut adalah suhu yang meningkat disertai demam, poliuria, nafsu makan menurun, produksi susu menurun, denyut nadi lemah, pernafasan cepat, ada rasa sakit pada uterus yang ditandai dengan sapi menengok ke belakang, ekor sering diangkat, dan selalu merejan. Pada pemeriksaan transrektal, uterus teraba membesar dan dindingnya agak menebal (Anonim 2008).
(19)
Diagnosa endometritis dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis, palpasi rektal menggunakan alat USG terhadap organ reproduksi (Kasimanickam et al. 2006; Kim-Yun Jun et al. 2006) dan pemeriksaan histopatologi atau penanaman pada media agar dari biopsi endometrium dan pemeriksaan sitologi endometrium hewan penderita untuk menemukan agen infeksi (Ahmadi et al. 2005). Menurut Mc Dougall et al. (2007) deteksi endometritis dengan metricheck yang penggunaannya dimasukkan ke dalam vagina lebih sensitif dari pada menggunakan vaginoscopy. Oral et al. (2009) menyatakan pengamatan proses
penyembuhan subklinis endometritis dapat menggunakan cytobrush untuk
mengoleksi sampel endometrium uterus yang berguna untuk pemeriksaan sitologi. Sapi-sapi dengan temuan PMN >5% dalam sampel menunjukkan endometritis (Drillich et al. 2005). Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting untuk keberhasilan terapi penyakit ini (Lewis 1997; Sheldon et al. 2006). Endometritis yang berkelanjutan yang tidak disertai dengan terapi yang tepat dapat menyebabkan terjadinya pyometra.
Terapi Endometritis
Infeksi uterus persisten mengakibatkan pengurangan performa reproduksi oleh suatu pengaruh langsung pada uterus dan gangguan fungsi normal ovarium (Sheldon et al. 2000), oleh karena itu terapi yang sesuai adalah suatu komponen penting dari suksesnya program manjemen reproduksi. Pengobatan awal ditujukan kepada upaya membuka serviks dan kontraksi uterus sehingga nanah dapat dipaksa mengalir keluar, diikuti dengan mengadakan irigasi dengan obat antiseptik dengan maksud untuk membersihkan sisa-sisa nanah dalam uterus, kemudian diobati dengan antibiotik dengan maksud untuk membunuh mikroorganisme penyebabnya. Pengaliran PGF2α kedalam uterus serta pemijatan secara manual juga merupakan terapiyang baik untuk endometritis dan pyometra (Cuneo et al. 2006).
Palmer (2003) menyatakan bahwa metritis yang terjadi setelah pospartum biasanya diterapi dengan menggunakan antibiotik dan hormon baik diberikan secara tunggal ataupun kombinasi. Antibiotik biasanya diberikan secara sitemik atau infusi ke dalam lumen uterus dan kadang-kadang pemberian bahan dan cairan
(20)
6
anti-inflamasi secara intra vena perlu juga dilakukan, karenanya dasar pemikiran dari terapiendometritis secara luas telah banyak dibahas dan idealnya terapiharus dapat mengeluarkan bakteri yang merugikan bagi uterus tanpa merusak uterus atau merusak mekanisme pertahanan tubuh (Bretzlaff 1987; Sheldon dan Noakes 1998). Sejumlah terapi yang diberikan mencakup pemberian secara parenteral atau infusi antibiotik secara intra uteri (i.u) dan pemberian PGF2α secara intra muskular (i.m) (Gustafsson 1984; Steffan et al. 1984; Thurmond et al. 1993; Etherington et al. 1994, 1998; McDougall 2001; LeBlanc et al. 2002; Kasimanickam et al. 2005).
Antibiotik
Di Indonesia berbagai antiseptik dan antibiotik telah digunakan secara intra muskular dan intra uteri untuk terapi endometritis dan pyometra. Tujuan dari pemberian berbagai bahan antiseptik dan bahan lainnya yang diinfusi ke dalam uterus adalah untuk membunuh bakteri, meningkatkan mekanisme pertahanan uterus atau meningkatkan tonus uteri dan aliran darah (Palmer 2003). Pengobatan dapat dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan antiseptik ke dalam uterus seperti larutan kalium permanganat yang ringan, larutan yodium, lugol atau NaCl fisiologis. Infusi iodine saline juga sering dilakukan, tetapi beberapa penelitian menunjukkan penggunaannya berpotensi berbahaya bagi performa reproduksi (Palmer 2003). Infusi sejumlah kecil 50-100 ml dari 20% polyvinylpyrrolidone-iodine (povidone-iodine) sebagai terapi rutin 30 hari postpartum berefek merugikan bagi sapi penderita endometritis dibanding dengan yang tidak diterapi (Pugh et al. 1994). Tidak diketahui kenapa infusi bahan tersebut menyebabkan peningkatan tonus uterus tetapi tidak membawa efek yang bagus untuk involusi uterus dan terapipada metritis (Palmer 2003).
Antibiotik seperti penisilin, streptomisin, teramisin, kloramfenikol dan lain-lain digunakan untuk membunuh bakteri penginfeksi. Aminoglycosida hanya efektif membunuh bakteri aerob tidak pada bakteri anaerob pada uterus pospartum. Menurut Pasley et al. 1986; Smith dan Risco. 2002 aminoglycosida dan sulfonamid dapat membuat jaringan menjadi mati (nekrotik), penisilin dan cephalosporin (Smith dan Risco 2002) hanya bagus bekerja pada 30 hari pertama
(21)
pospartum karena banyak organ memproduksi inactivating (β-lactamase) enzimes. Sreptomisin dan tetrasiklin (Pasley et al. 1986) membuat banyak iritasi, karenanya tidak digunakan secara intra uteri. Semua antibiotik yang telah digunakan mempunyai efek negatif pada fungsi leukosit dan resiko kelukaan lebih lanjut pada uterus (Pasley et al. 1986 ; Smith dan Risco 2002).
Menurut Brander et al. (1991) gentamicine lebih aktif dibanding jenis aminiglikosida lainnya dalam melawan bakteri dan penggunaannya selalu dikombinasikan dengan golongan antibiotik lainnya. Kombinasi gentamicine dan flumequine bertindak secara sinergis terhadap berbagai infeksi yang disebabkan oleh gram-positif dan negatif. Gentamicine bersifat bakterisida, berikatan dengan subunit 30S ribosom yang terdapat pada kebanyakan bakteri gram-negatif sehingga mengganggu sintesis protein (Brander et al. 1991), sedangkan flumequine membunuh bakteri dengan jalan menghalangi kerja enzim untuk transkripsi dan replikasi DNA (Drlica dan Zhao 1997).
Pengobatan dengan antibiotik harus memperhatikan bahwa penggunaan antibiotik secara terus menerus dari waktu ke waktu dapat menyebabkan resistensi terhadap jenis bakteri tertentu, selain itu juga menyebabkan adanya residu antibiotik dalam air susu dan daging (Chapwanya 2008).
Prostaglandin
Prostaglandin termasuk golongan lemak aktif dan merupakan asam hidroksil yang tidak jenuh terdiri dari 20 atom karbon. Asam arachidonat adalah asam esensial yang merupakan prekursor dari prostaglandin yang berhubungan erat dengan produksinya (Hafez dan Hafez 2000). Prostaglandin termasuk dalam hormon reproduksi primer yaitu hormon reproduksi yang secara langsung terlibat di dalam berbagai aspek reproduksi (Toelihere 1981). Prostaglandin pertama kali ditemukan pada semen manusia yang dihasilkan oleh kelenjar prostat (Heath dan Olusanya 1985). Dalam tubuh hewan, biosintesis prostaglandin terjadi di dalam membran sel sebagai hasil rangsangan yang mengaktifkan enzim fosfolipase, sehingga menyebabkan fosfolipid melepaskan prekursor prostaglandin, terutama asam arachidonat yang kemudian dikonversikan menjadi prostaglandin yang spesifik di dalam jaringan (Frensond 1992).
(22)
8
Prostaglandin F2α dihasilkan oleh endometrium uterus dan kelenjar vesikular (Senger 2003). Pada awal periode pospartum PGF2α dihasilkan oleh karunkula-karunkula (Smith dan Risco 2002; Frazer 2001). Pengaruh PGF2α pada organ reproduksi hewan betina yaitu memperlancar sekresi hormon gonadotropin, ovulasi, transpor sperma, regresi korpus luteum, proses kelahiran, mencairkan sumbat serviks dan menyebabkan kontraksi otot polos, karena itu prostaglandin banyak digunakan untuk sinkronsasi berahi, menanggulangi korpus luteum persisten, kawin berulang, anestrus, dan subestrus.
Menurut Frazer (2001) dan Smith dan Risco (2002) dasar pemikiran penggunaan PGF atau analog PGF pada periode pospartum yang cepat terutama dalam hal peningkatan tonus uterus baru akan berfungsi jika ada jaringan luteal pada ovarium. Pemberian prostaglandin menyebabkan regresi korpus luteum dan pengurangan konsentrasi progesteron plasma (Turner dan Bagnara 1971; Hafez dan Hafez 2000). Penggunaan prostaglandin terutama PGF2α sebagai terapi endometritis dan pyometra didasarkan pada efek luteolisis. Lebih dari itu pemakaian PGF2α menyebabkan relaksasi serviks dan pengeluaran nanah dari uterus (Hirsbrunner et al. 2000, 2003). Uterus yang berada di bawah pengaruh kerja hormon estrogen, lebih peka ke arah infeksi, karenanya penggunaan PGF2α dapat menyediakan lingkungan uterus yang resisten terhadap kuman (mikrobial) dan meningkatkan aktifitas pertahanan tubuh pada mekanisme fagositosis (Wulster et al. 2003). Menurut Akhtar et al. (2009) penggunaan PGF2α akan lebih efektif dibanding estradiol untuk terapi endometritis tingkat pertama.
Di USA, injeksi secara intra muskuler dari PGF2α lebih disukai sebagai terapiendometritis dan pyometra pada sapi (Lewis 1997). Namun demikian terapi secara intra uteri dan sistemik antibiotik lebih umum digunakan di USA dan negara-negara lain (Chenault et al. 2001). Falkenberg dan Heuwiser (2005) menyatakan bahwa pemberian PGF2α akan sangat efektif dilakukan dengan interval 14 hari pada kasus endometritis berat setelah hari ke empat dan minggu keenam pospartum.
(23)
Ultrasonografi
Peralatan instrumentasi ultrasonografi modern telah tersedia dalam berbagai varian, dan memungkinkan bagi sebagian besar manusia untuk mengoperasikannya dengan mudah, namun demikian harus disertai dengan pemahaman yang baik terhadap sifat fisika ultrasonografi dan interaksi fungsi peralatan dengan jaringan untuk memperoleh hasil yang baik. Kualitas gambar yang dihasilkan juga akan sangat dipengaruhi oleh keterampilan seorang sonographer (Goddard 1995).
Diagnostik ultrasound menggunakan prinsip pulse-echo yang dapat menghasilkan gambar pada tayangan scanner yang berhubungan dengan accoustis impedance atau resistensi jaringan yang dijumpai gelombang ultrasound. Ultrasound tidak dapat berpindah melalui udara (acoustic barrier). Medium terbaik untuk penghantaran ultrasound adalah cairan dan dihantarkan melalui kompresi atau penghalusan gelombang-gelombang (Goddard 1995).
Menurut Barr (1988), terdapat tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram, yaitu:
1. Hyperechoic; echogenic artinya echogenitas terang, menampakkan warna putih pada sonogram atau memperlihatkan echogenitas yang lebih tinggi dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara, kolagen dan lemak. 2. hypoechoic; echopoor menampilkan warna abu-abu gelap pada sonogram
atau memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah dari pada sekelilingnya, contohnya jaringan lunak.
3. Anechoic yang menunjukkan tidak adanya echo, menampilkan warna hitam pada sonogram dan memperlihatkan transmisi penuh dari gelombang contohnya cairan.
Ultrasonografi dengan menggunakan tranduser 5 MHz merupakan alat yang tepat dan akurat untuk memperlihatkan gambaran uterus dan ovarium, sehingga baik digunakan sebagai sarana/alat untuk pengamatan proses penyembuhan organ reproduksi hewan betina (Kasimanickam et al. 2004, 2005, 2006 ).
Gambaran USG serviks uteri dapat berupa suatu gambaran yang hypoechoic (abu-abu) dengan suatu garis putih di tengah diantara celah anechoic
(24)
10
yang berarti adanya lumen diantara bagian dinding serviks. Korpus uteri biasanya terlihat dalam axis yang panjang dengan gambaran lumen yang anechoic yang sejajar dengan gambaran endometrium tetapi tidak berbeda jelas antara lapisan-lapisan muskulusnya.
Gambar.1 Perangkat USG.
Secara cross-sectional, kornua uteri akan terlihat dengan gambaran lapisan luarnya yang hypoechoic, dikelilingi oleh cincin yang hitam, berisikan pelindung vaskular, dan lapisan longitudinal, sirkular dan obligat dari miometrium, dan secara longitudinal pada kornua terlihat gambaran lumen yang anechoic yang sejajar dengan gambaran endometrium dan lapisan-lapisan muskulus. Folikel terlihat sebagai suatu lingkaran/oval yang anechoic, dan korpus luteum (CL) terlihat sebagai suatu lingkaran/oval yang hypoechoic dengan gradient warna hitam sampai putih (Goddard 1995).
(25)
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2010 di Laboratorium Lapangan Unit Rehabilitasi Reproduksi Bagian Reproduksi dan Kebidanan, serta Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan 6 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) betina yang telah didiagnosa menderita endometritis, dengan kisaran umur 5-8 tahun dan body condition score antara 2-3. Sapi-sapi ditempatkan dalam kandang terbuka yang mempunyai sekat-sekat yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Sapi-sapi tersebut diberi pakan hijauan 2 kali sehari dan konsentrat 1 kali sehari serta air minum ad libitum.
Alat dan Bahan
Alat
Peralatan USG (ALOKA SSD-500, Aloka Co.Ltd, Japan) lengkap dengan linear probe 5 MHz (ALOKA UST-588U-5 Aloka Co. Ltd. Japan) dan printer (SONY, UP-895 MD, Video Graphic Printer, Japan), sarung tangan plastik (Europlex®, Divasa Farmativa, S.A.), spuit semi outomatis 10 cc, venoject, syringe (One Med, PT. Jaya Mas Medica Industri), vacutainer needle, kapas, tabung koleksi darah (EDTAK3, three fingers, USA), gelas objek, standing gel, box slides, kertas tisu, pinset anatomis dan mikroskop (Olimphus CH20).
Bahan
Antibiotik (Flugenta® 5/5, Nova Laboratories Sdn-Bhd, Sepang Malaysia), analog PGF2α(Noroprost® 0,5% W/V, Norbrook Laboratories Limited, Newry), NaCl fisiologis, giemsa 10%, metanol, alkohol 70%, ky jelly dan aquabides.
(26)
12
Prosedur Penelitian
Hewan percobaan dibagi ke dalam 2 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor sapi. Kelompok I (n=3) diterapi dengan menggunakan antibiotik gentamicine sebanyak 250 mg dan flumequine sebanyak 250 mg ditambah 15 ml NaCl fisiologis dan PGF2αsebanyak 12,5 mg secara intra uteri. Kelompok II (n=3) diterapi dengan menggunakan antibiotik gentamicine sebanyak 250 mg dan flumequine sebanyak 250 mg ditambah 15 ml NaCl fisiologis secara intra uteri.
AB (250 mg Gentamicine, 250 mg Flumequine) Diagnosa PGF2α (12,5 mg)
Secara Intra Uteri KLP I (N3)
H1 H2 H26
Diagnosa AB (250 mg Gentamicine, 250 mg Flumequine) Secara Intra Uteri
KLP II (N3)
H1 H2 H26
Parameter
USG (organ reproduksi & ovarium)/hari Leukosit/2 hari sekali
Gambar.2 Prosedur penelitian.
Pemeriksaan ultrasonografi pada uterus dan ovarium dilakukan sebelum terapi dan 26 hari setelah terapi, serta dilakukan pengambilan sampel darah melalui vena jugularis untuk dilakukan pemeriksaan diferensial leukosit.
Metodelogi Penelitian dan Parameter yang Diuji
Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis organ reproduksi sapi betina dilakukan untuk mengamati adanya cairan yang mengisi uterus, CL dan folikel pada ovarium, serta keberadaan nanah di sekitar ekor dan vulva.
(27)
Pembuatan Preparat Ulas Darah (Diferensial Leukosit)
Satu tetes sampel darah diteteskan pada gelas objek pertama dengan posisi mendatar. Gelas objek lainnya ditempatkan pada bagian darah tadi dengan membentuk sudut 30º, sehingga darah menyebar sepanjang gelas objek. Selanjutnya gelas objek didorong kearah depan dengan cepat sehingga terbentuk usapan darah tipis diatas gelas objek. Ulasan darah tersebut dikeringkan di udara, kemudian difiksasi dengan metanol selama 5 menit, lalu dimasukkan ke dalam pewarna giemsa 10% selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan air keran dan dikeringkan di udara. Preparat ulas darah diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali untuk pengamatan persentase jumlah diferensial leukosit darah.
Ultrasonografi
Evaluasi pemeriksaan uterus pada sapi betina endometritis dilakukan secara transrektal dengan Ultrasonografi (Okano dan Tomizuka 1987; Kim-Yung Jun et al. 2006; Kasimanickam et al. 2006).
Sapi ditempatkan dalam kandang jepit dan alat USG ditempatkan pada tempat yang cukup aman dari sapi dan mudah dioperasikan oleh operator. Selanjutnya feses dikeluarkan dari rektum sapi, kemudian baru dilakukan eksplorasi manual dari topografi traktus reproduksi sapi sebelum dilakukan USG. Permukaan transduser dilumuri dengan ky jelly dan ditutup dengan plastik tipis supaya tidak mengiritasi mukosa rektum dan untuk mendapatkan gambaran USG yang baik. Kemudian transduser dimasukkan ke rektum sapi lalu diarahkan ke kranial sepanjang bagian ventral rektum menyusuri traktus reproduksi. Uterus kelihatan berada di bagian ventral rektum di atas kandung kemih. Pada monitor kandung kemih kelihatan sebagai suatu gambaran anechoic atau echolucen dengan ukuran tergantung pada volume urin yang disimpan, dan mukosa organ digambarkan sebagai suatu permukaan hypoechoic yang bergelombang. Vagina, serviks dan korpus uteri berada di bagian tengah pubis sejalan cranio-caudal, dan digambarkan dalam axis yang panjang. Ketika transduser digerakkan ke lateral, kornua uterus akan terlihat dalam keadaan potongan melintang.
(28)
14
Parameter organ reproduksi yang diamati antara lain: 1. Diameter uterus (serviks, korpus dan kornua uteri), diukur berdasarkan potongan melintang dari sumbu terpanjang pada posisi yang tetap. 2. Ketebalan endometrium diukur berdasarkan potongan memanjang antara dinding uterus yang dibatasi oleh lumen. 3. Keberadaan lendir dan nanahdalam uterus diamati berdasarkan gambaran yang anechoic, hypoechoic dan hyperechoic dari lumen uterus. 4. Jumlah dan diameter folikel dan CL pada ovarium sapi, diukur menggunakan caliper internal pada USG yaitu jarak antar kedua titik sumbu berdasarkan sumbu terpanjang dengan satuan senti meter (cm). Folikel dikelompokkan menjadi folikel kecil dengan diameter 0,3-0,5 cm (Kelas I), folikel sedang dengan diameter 0,6-0,9 cm (Kelas II) dan folikel besar dengan diameter ≥1 cm (Kelas III) (Lucy et al. 1992).
Analisis Statistik
Pemeriksaan USG uterus, dinamika ovari dan diferensial leukosit darah dianalisis dengan t-student menggunakan software statistik SPSS versi 17.0 dan disajikan dalam bentuk rataan dan simpangan baku, sedangkan gejala klinis yang teramati dilaporkan secara deskriptif (Steel dan Torrie 1999).
(29)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Klinis
Objek penelitian ini adalah melihat efektivitas terapi pada sapi penderita endometritis menggunakan kombinasi antibiotik dan PGF2α secara intra uteri. Pemeriksaan gejala klinis sangatlah dibutuhkan untuk dapat mendiagnosa suatu penyakit. Keakuratan suatu diagnosa merupakan kunci sukses dari keberhasilan terapi yang diberikan.
Hasil pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa keenam ekor sapi betina yang didiagnosa menderita endometritis menunjukkan gejala klinis seperti terlihat pada Tabel 1. Gambaran USG memperlihatkan adanya cairan abnormal pada lumen uterus yang bersifat hyperechoic dan hypoechoic serta berdasarkan pengamatan visual terhadap leleran nanah yang keluar.
Tabel 1. Gejala klinis sapi-sapi penderita endometritis.
Kriteria Jumlah sapi (ekor)
USG:
Cairan penuh mengisi uterus 6
Adanya CL 5
Ada sisa leleran nanah di sekitar ekor, vulva dan perinium, dapat berwarna:
Kuning 3
Krem 2
Hijau keabu-abuan 1
Cairan yang mengisi lumen uterus tersebut ditemukan pada keenam ekor sapi. Korpus luteum ditemukan pada 5 ekor sapi dan 1 ekor sapi tidak terdapat CL dan berada dalam fase folikuler. Secara klinis terlihat adanya sisa leleran nanah yang mengering dan berwarna kuning (3 ekor), krem (2 ekor), hijau keabu-abuan (1 ekor) di sekitar ekor, perinium dan vulva (Gambar 3 & 4). Hasil pengamatan klinis dan USG tersebut sama seperti yang pernah dilaporkan oleh Kasimanickam et al. (2006) pada sapi-sapi yang menderita endometritis.
(30)
16
Gambar 3. Gejala klinis sapi-sapi penderita endometritis. Sisa nanah berwarna kuning, krem atau hijau keabu-abuan ditemukan melekat di vulva perineum dan ekor. Tanda panah = nanah.
Smith dan Risco (2002); Drillich et al. (2001) menyatakan dengan adanya pemeriksaan gejala klinis maka dapat diketahui bahwa uterus sapi sedang terinfeksi yang ditandai dengan sesuatu yang berbau busuk, berair, berwarna coklat kemerah-merahan. Gejala lain seperti depresi, anorexia, dehidrasi dan penurunan produksi susu (Youngquist dan Shore 1997; Smith dan Risco 2002) serta demam dengan suhu 39,4oC (Pugh et al. 1994 dan Smith et al. 2002). Palpasi rektal dapat dilakukan untuk melihat cairan yang penuh mengisi uterus (Pugh et al. 1994; Drillich et al. 2001; Smith dan Risco 2002) dan dapat dipaksa keluar uterus. Palpasi rektal sangat subjektif dan sulit dilakukan untuk membedakan uterus yang kembali normal dari involusi dengan metritis, terutama dua minggu pertama setelah melahirkan (calving) (Pugh et al. 1994 dan Smith dan Risco 2002), karena itu maka dilakukan pengamatan gambaran klinis dengan menggunakan USG seperti yang pernah dilakukan oleh Kasimanickam et al. (2004, 2005, 2006). Pemeriksaan USG mencakup gambaran dari cairan abnormal pada bagian depan (anterior) vagina dan lumen uterus serta gambaran ukuran serviks uterus.
(31)
Gambar 4. Potongan melintang gambaran ultrasonografi organ reproduksi sapi. Bagian serviks dan korpus uteri yang berisi lendir dan nanah yang bersifat anechoic, hypoechoic dan hyperechoic (1a.b) serta keberadaan CL dan folikel pada ovarium sapi endometritis (2a.b).
(32)
18
Keberadaan Lendir dan Nanah dalam Uterus
Hasil pemeriksaan dengan USG pada uterus sapi-sapi penderita endometritis menunjukkan adanya lendir keruh, ataupun nanah. Sapi-sapi pada KLP I memperlihatkan pengeluaran nanah lebih cepat dibanding dengan KLP II. Pengeluaran nanah pada KLP I sudah mulai terjadi sehari setelah terapi dan berhenti 2 hari menjelang estrus. Pada KLP II pengeluaran nanah terjadi lebih lambat, yaitu pada H4 dan H7 setelah terapi. Sisa nanah yang sudah kering dan menempel di sekitar vagina dan ekor dan hanya terjadi 1-2 hari saja selama penelitian ini dilakukan (Gambar 5).
Gambar 5. Nanah yang menempel di perineum dan ekor sapi penderita
endometritis setelah diterapi dengan kombinasi antibiotik+ PGF2α.
Pemeriksaan Diferensial Leukosit Darah
Selain pemeriksaan klinis juga dilakukan pemeriksaan diferensial leukosit darah. Hasil penelitian menunjukkan pada sapi-sapi penderita endometritis memiliki persentase jumlah limfosit yang lebih tinggi dibanding dengan diferensial leukosit lainnya ( KLP I 62,50±1,17 dan KLP II 63,66±2,35) (Gambar 6). Hal ini juga ditemukan oleh Ahmad et al. (2003), biasanya persentase jumlah limfosit itu dijumpai lebih tinggi dibanding bentuk leukosit lainnya baik pada sapi-sapi endometritis, siklik ataupun non siklik. Sapi-sapi penderita endometritis
(33)
mempunyai rataan jumlah limfosit sekitar 60,67±2,92%, tidak jauh berbeda dengan hasil yang telah diperoleh saat ini.
Gambar 6. Diferensial leukosit darah pada sapi endometritis. KLP I diterapi dengan kombinasi antibiotik+PGF2α, KLP II diterapi dengan kombinasi antibiotik.
Peningkatan jumlah limfosit terjadi karena limfosit mampu menerobos jaringan atau organ lunak yang berguna untuk penyediaan zat kebal bagi pertahanan tubuh. Hasil analisis statistik menunjukkan gambaran diferensial leukosit pada KLP I tidak berbeda nyata dengan KLP II (p>0,05). Ini mengindikasikan bahwa terapi kombinasi antibiotik pada kedua kelompok perlakuan tidak membawa perubahan yang berbeda berdasarkan gambaran diferensial leukositnya.
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 Ju m la h ( % ) KLP I 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00
1 2 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
Ju m la h ( % ) Hari
Limfosit Neutrofil Monosit Eosinofil Basofil
KLP II
(34)
20
Selain limfosit juga dijumpai persentase jumlah neutrofil yang besar ( KLP I 29,33±0,94 dan KLP II 27,33±0,94). Ini sesuai seperti yang pernah dilaporkan oleh Ahmad et al. (2003) yang menyatakan walaupun tidak berbeda nyata antara diferensial leukosit pada sapi terlihat bahwa persentase jumlah neutrofil lebih banyak ditemukan pada sapi endometritis (30,64±3,10%) dibanding pada sapi-sapi normal lainnya baik siklik (26,28±1,54%) ataupun non siklik (23,28±1,79%).
Diameter Uterus
Berdasarkan hasil penelitian, sebelum diterapi sapi-sapi endometritis memperlihatkan rataan diameter serviks yang lebih kecil pada H1 (3,93±0,76 cm dan 3,43±0,31 cm) dan H2 (4,00±0,66 cm dan 3,40±0,26 cm) dibandingkan setelah diterapi H3 (4,30±0,44 cm dan 3,60±0,17 cm) sampai selesai penelitian. Pada KLP I peningkatan diameter serviks sudah terjadi 24 jam atau sehari setelah terapi H3 (4,30±0,44 cm) dan puncaknya terjadi pada 48 jam setelah terapi H4 (4,6±0,17 cm). Pada KLP II pembesaran diameter serviks lebih lambat, puncak peningkatan diameter serviks baru terjadi pada H21 (Gambar 7). Peningkatan diameter serviks hanya terjadi selama 2 hari saja, selanjutnya uterus kembali normal mengikuti siklus alaminya. Korpus dan kornua terlihat lebih kecil setelah diterapi (5,71±0,02 cm dan 3,78±0,07cm : 5,27±0,18 cm dan 3,64±0,17 cm) pada KLP I. Pada KLP II rataan diameter korpus dan kornua lebih besar setelah diterapi (5,15±0,07 cm dan 3,60±0,00 cm : 5,19±0,15 cm dan 3,62±0,18 cm).
Hasil analisis statisik menunjukkan diameter uterus pada KLP I tidak berbeda nyata dengan KLP II (p>0,05). Namun demikian rata-rata diameter serviks (4,20±0,22 cm), korpus (5,27±0,18 cm) dan kornua (3,64±0,17 cm) pada KLP I lebih besar dibanding dengan KLP II (3,89±0,23 cm; 5,19±0,15 cm dan 3,62±0,18 cm). Ini berarti bahwa pemberian kombinasi antibiotik lebih efektif dalam upaya membunuh kuman penyebab infeksi dan penambahan pemberian PGF2α menyebabkan pengeluaran nanah dari uterus. Peningkatan diameter seviks pada KLP I mengindikasikan bahwa PGF2α dapat menyebabkan relaksasi serviks, mencairkan sumbat serviks dan menyebabkan kontraksi otot polos sehingga nanah dari uterus dapat dikeluarkan (Hisbrunner et al. 2000). Menurut Smith dan Risco (2002); Frazer (2001) dasar pemikiran penggunaan PGF2α atau analog PGF2αpada
(35)
periode pospartum adalah peningkatan tonus uterus, akan tetapi ini tidak berpengaruh jika tidak ada jaringan luteal pada ovari (DelVecchio et al. 1994).
Gambar 7. Diameter uterus sapi-sapi penderita endometritis setelah diterapi. KLP I diterapi dengan kombinasi antibiotik+PGF2α, KLP II diterapi dengan kombinasi antibiotik.
Gambaran USG jelas memperlihatkan sapi-sapi endometritis sebelum diterapi mempunyai diameter serviks yang lebih kecil dibanding setelah diterapi pada KLP I. Pada KLP II diameter serviks tidak berbeda baik sebelum ataupun setelah diterapi (Gambar 8). Ini jelas menguatkan dan mendukung hipotesis awal
2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 D ia m ete r (c m ) KLP I 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
D ia m ete r (c m ) Hari
Serviks uterus Korpus uterus Kornua uterus
KLP II
(36)
22
bahwa sapi-sapi yang diterapi dengan kombinasi antibiotik+PGF2α akan lebih efektif dibanding dengan sapi-sapi yang hanya diterapi dengan kombinasi antibiotik saja.
Gambar 8. Gambaran ultrasonografi serviks dan korpus uterus sapi endometritis.
Sebelum (1a.b) dan setelah diterapi dengan kombinasi
antibiotik+PGF2α (1c.d), serta sebelum (2a.b) dan setelah diterapi dengan kombinasi antibiotik (2c.d).
Ketebalan Endometrium
Biasanya pada sapi yang menderita endometritis memiliki dinding endometrium yang lebih tebal karena banyak terbentuknya jaringan ikat sebagai efek lanjut kerja sistem imun uterus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya penurunan ketebalan endometrium setelah diterapi baik pada KLP I (1,88±0,21 cm : 1,30±0,12 cm) atau pada KLP II (1,71±0,12 cm : 1,43±0,05 cm). Pada penelitian ini ketebalan endometrium uterus KLP I tidak berbeda nyata dengan
(37)
KLP II (p>0,05). Walaupun demikian terdapat penurunan ketebalan endometrium yang lebih besar pada KLP I (1,30±0,12 cm) dari pada KLP II (1,43±0,05 cm). Penurunan sudah terlihat sehari setelah diterapi (H3) dan semakin menurun secara tajam pada hari kedua setelah terapi (H4), ini jelas terlihat pada sapi-sapi KLP I (Gambar 9). Hal ini sejalan dengan peningkatan diameter serviks uterus mulai H3 dan mencapai puncaknya pada H4.
Gambar 9. Ketebalan endometrium pada sapi-sapi endometritis. KLP I diterapi dengan kombinasi antibiotik+PGF2α, KLP II diterapi dengan kombinasi antibiotik.
Terjadinya kontraksi otot polos uterus menyebabkan pengeluaran nanah melalui serviks uterus yang membesar diameternya sehingga endometrium yang tadinya tampak lebih tebal karena penumpukan jaringan menjadi normal kembali diikuti perbaikan vaskularisasi yang normal di endometrium. Gambaran ultrasonografi menunjukkan bahwa sebelum diterapi dinding endometrium tampak lebih putih (hyperechoic) yang menandakan banyaknya jaringan, sedangkan gambaran setelah diterapiterlihat berwarna abu-abu (hypoechoic) yang diselingi warna hitam (anechoic) yang menandakan vaskularisasi darah telah normal kembali (Gambar 10).
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
K
et
eb
a
la
n
(
cm
)
Hari
KLP I KLP II
(38)
24
Gambar 10. Gambaran ultrasonografi dinding endometrium uterus sapi endometritis. Sebelum (a) dan setelah diterapi (b) dengan menggunakan kombinasi antibiotik+PGF2α.
Regresi Korpus Luteum
Berdasarkan hasil pengamatan sebelum terapi diperoleh data hanya lima ekor sapi menderita endometritis memiliki CL dengan rataan diameter CL 1,23±0,61 cm dan satu ekor tidak dijumpai CL. Setelah diterapi satu ekor sapi mengalami CL persisten pada KLP II, dan satu ekor sapi mengalami sistik folikel dengan rataan diameter folikel 2,96 cm dan 3,64 cm pada KLP I. Efek yang ditimbulkan dari sistik folikel ini adalah terjadinya perpanjangan durasi estrus yaitu 3 hari (72 jam). Sapi yang mengalami sistik folikel setelah diterapi bukan karena pengaruh penggunaan PGF2α. Kejadian sistik folikel ini mungkin karena sudah ada bakat bawaan sebelum diterapi, terlebih lagi apabila pada saat sebelum terapi terdapat banyak folikel yang dominan sedang tumbuh sehingga tidak semuanya mampu untuk regresi ataupun ovulasi. Folikel yang mempunyai bakat sistik terus tumbuh seiring dengan regresinya CL, penurunan level plasma progesteron, follicle stimulating hormone (FSH) dan estrogen yang mulai tinggi yang memicu pertumbuhan folikel, mungkin hal inilah penyebab terjadinya sistik folikel tersebut. Menurut Garverick dan Youngquist (1999), sistik folikel dapat juga disebabkan karena faktor genetik pada sapi-sapi yang mempunyai bakat bawaan sistik.
(39)
Keberadaan CL sebelum sapi-sapi diterapi sangat perlu mengingat efek kerja dari pemberian PGF2α adalah meregulasi fungsi CL untuk menginduksi luteolisis melalui mekanisme counter current dari vena uterina media dan kemudian menembus dinding vena dan arteri ovarica (Ginther 1981; Senger 2003), karena itulah terapi menggunakan kombinasi antibiotik+PGF2α diberikan pada sapi-sapi yang mempunyai CL atau berada pada fase luteal. PGF2α efektif untuk meregresikan CL fungsional, tidak pada CL yang sedang tumbuh, yakni CL yang terbentuk kurang dari 3-5 hari setelah berahi (Hunter 1995).
Hasil penelitian menunjukkan sapi-sapi endometritis pada KLP I mengalami regresi CL rata-rata 32 jam setelah terapi. Sedangkan pada KLP II, CL tidak langsung regresi setelah diterapi tetapi menetap mengikuti siklus estrus yang sedang berlangsung. Terjadinya regresi CL menunjukkan bahwa pemberian eksogenus PGF2α secara intra uteri dapat menginduksi terjadinya luteolisis yang menyebabkan penurunan progesteron (Lewis 2004).
Onset Estrus
Onset estrus pada KLP I adalah 48-72 jam atau 2-3 hari setelah terapi dengan rata-rata onset estrus 56±13,85 jam. Dua ekor sapi memperlihatkan timbulnya gejala estrus 2 hari (48 jam) setelah terapi, sedangkan satu ekor sapi lagi 3 hari (72 jam) setelah terapi, sama seperti yang dilaporkan oleh Bartolome et al. (2004) dan Putro (2010) bahwa sapi-sapi yang telah disinkronisasi dengan PGF2α akan memperlihatkan estrus 72 jam kemudian.
Adanya respon yang bervariasi dari pemberian eksogenus PGF2α, membuat bervariasinya waktu estrus setelah calving (Etherington et al. 1984; Benmrad dan Stevenson 1986; Glanvil dan Dobson 1991). Timbulnya onset estrus yang bervariasi tergantung pada fase Dominance Follicle (DF) saat terjadi luteolisis ketika terapi dimulai. Jika luteolisis terjadi bersamaan dengan keberadaan DF fase pertumbuhan maka DF tersebut akan tumbuh dan berovulasi, sehingga estrus teramati lebih cepat. Namun jika pemberian eksogenus PGF2α terjadi bersamaan dengan keberadaan DF yang mengalami atresia, maka DF yang akan berovulasi adalah DF yang berasal dari gelombang berikutnya, sehingga estrus teramati lebih lama dari waktu terapi.
(40)
26
Pada KLP II, waktu timbulnya gejala estrus sangat bervariasi; satu ekor sapi estrus terjadi pada 2 hari sebelum terapi, satu ekor sapi estrus pada saat terapi diberikan dan satu ekor sapi lagi estrus 11 hari setelah terapi.
Estrus
Sapi-sapi yang diterapi dengan menggunakan kombinasi antibiotik dan PGF2α secara intra uteri memperlihatkan tanda-tanda estrus antara lain vulva berwarna kemerahan dan bengkak, adanya lendir, ekor sering dinaikkan, urinasi dan diam jika dinaiki pejantan (standing estrus) (Gambar 11). Selain gejala estrus yang dapat diamati secara visual, dapat juga diamati pembesaran serviks dan perkembangan folikel dominan pada saat estrus dengan menggunakan USG seperti pada Gambar 12.
Setelah diterapi dengan kombinasi antibiotik+PGF2α sapi-sapi pada KLP I menunjukkan gejala estrus pada hari yang hampir bersamaan karena efek dari pemberian analog PGF2α yang dapat menyebabkan terjadinya sinkronisasi estrus. Timbulnya estrus akibat pemberian PGF2α disebabkan karena lisisnya CL pada ovarium oleh kerja vasokonstriksi PGF2α sehingga aliran darah menuju CL menurun secara drastis (Toelihere 1981 dan Senger 2003), akibatnya kadar progesteron yang dihasilkan CL akan menurun di dalam darah.
(41)
Gambar 12. Gambaran ultrasonografi serviks uterus dan ovarium sapi. Serviks (a), Subordinate Follicle (SF) (b) dan Dominance Follicle (DF) (c) saat estrus.
Rasby (2005) menyatakan bahwa regresi CL berakibat penurunan kadar progesteron dalam plasma darah, sehingga menurunkan umpan balik negatif dari hormon ini pada hipotalamus, sehingga menyebabkan pembebasan follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) dari hipofisa anterior. Kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi (Hafez dan Hafez 2000). Hanzen (1984) menyatakan, pemberian eksogenus PGF2α dapat menginduksi pelepasan LH dan FSH dari hipofisa anterior, bahkan pada sapi-sapi yang anestrus (Cruz et al. 1977), dengan demikian analog PGF2α secara luas banyak digunakan pada reproduksi sapi dengan aplikasi untuk menginduksi abortus/partus, sinkronisasi estrus, terapi untuk gangguan reproduksi seperti endometritis, pyometra dan sistik ovari (Wenzel 1991).
Ovulasi
Hasil pengamatan menunjukkan sapi-sapi pada KLP I ovulasi sehari setelah estrus; 2 ekor sapi ovulasi 3 hari setelah terapi dan 1 ekor sapi ovulasi 4 hari setelah terapi, dengan rataan DF yang ovulasi 1,43±0,06 cm. Pada KLP II tidak ovulasi dalam waktu yang bersamaan; 1 ekor sapi ovulasi sehari sebelum
(42)
28
terapi, 1 ekor sapi ovulasi sehari setelah terapi dan 1 ekor sapi lagi ovulasi 12 hari setelah terapi dengan rataan DF yang ovulasi 1,53±0,12 cm.
Ovulasi yang hampir bersamaan pada sapi-sapi KLP I merupakan efek dari pemberian eksogenus PGF2α yang dapat meregresikan CL melalui mekanisme counter current yang kemudian menginduksi terjadinya ovulasi. Sementara itu pada KLP II tidak memperlihatkan onset estrus dan ovulasi pada waktu yang sama karena kombinasi antibiotik yang diberikan disini tidak berpengaruh pada regresinya CL, melainkan hanya berupaya untuk membunuh kuman penyebab infeksi.
Dinamika Ovari
Hasil pengamatan terhadap sapi-sapi endometritis KLP I dan KLP II memperlihatkan rataan panjang siklus estrus 18 hari, dan rataan jumlah gelombang folikel yang muncul sebanyak 3 gelombang, dengan rataan Kelas I, II dan III pada KLP I adalah 10,27±2,25; 5,94±1,24; 1,88±1,05 dan pada KLP II adalah 8,96±3,56; 5,37±1,11; 2,90±1,20. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap kelas-kelas folikel pada KLP I dan KLP II (Gambar 13). Walaupun demikian rataan folikel kelas III pada KLP I lebih kecil dibanding dengan KLP II (1,88±1,05 : 2,90±1,20), tetapi ini tidak berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya folikel untuk ovulasi. Ini terbukti dengan adanya satu ekor sapi pada KLP II yang tidak berhasil ovulasi sepanjang penelitian ini dilakukan.
Hasil pengamatan pada KLP I selama sinkronisasi hingga hari estrus (H0), terjadi penurunan jumlah folikel kecil dari H-3 (14,00±3,5) hingga H-2 (7,00±2,00), kemudian meningkat lagi H0 (9,7±3,1), peningkatan folikel sedang dari H-3(4,3 ±2,3) hingga H-1 (5,7±4,2) dan folikel besar dari H-3 (3,00±2,3) sampai H-1 (5,00±4,2). Hal tersebut menandakan adanya folikel yang berpindah kelas dari folikel kecil ke folikel sedang dan folikel besar hingga ovulasi. Walaupun demikian tidak semua folikel berhasil naik kelas. Sebagian besar folikel mengalami regresi, hal ini ditandai dengan rendahnya jumlah folikel Kelas III.
Berdasarkan hasil pengamatan selama kurun waktu H0 (estrus) hingga H18 bahwa pada gelombang pertama, jumlah folikel kecil meningkat dari H1
(43)
(6,7±2,3) dan mencapai puncaknya pada H5 (15,00±4,00) kemudian turun lagi pada H6 (10,7±2,6).
Gambar 13. Klasifikasi ukuran folikel pada sapi endometritis. KLP I diterapi dengan kombinasi antibiotik+PGF2α, KLP II diterapi dengan kombinasi antibiotik.
Perkembangan folikel sedang terjadi peningkatan dari H1 (6,3± 2,00) dan mencapai puncaknya H3 (7,00±4,7) kemudian turun lagi hingga H6 (4,3 ±1,2). Folikel besar mengalami penurunan sejak H1(4,00 ± 2,3) hingga H6 (1,00 ± 0,6). Pada gelombang ke 2, mulai H7 (13,00±3,2) jumlah folikel kecil menurun sampai H8 (7,00±8,9) kemudian meningkat hingga mencapai puncaknya H11 (12,3±3,6). Folikel sedang meningkat sejak H7 (6,3±2,1) dan kemudian turun sampai H9 (4,7±2,0) lalu meningkat lagi pada H10 (6,7±0,6). Sementara folikel besar
(44)
30
meningkat sejak H7 (1,3±1,0) dan mencapai puncak pada H9 (2,00±1,2) lalu turun sampai dengan H11 (0,0±0,0). Pada gelombang ke 3, terjadi penurunan folikel kecil sejak H12 (11,3±5,0) kemudian meningkat pada H14 (12,7±6,1) lalu turun lagi pada H15 (8,3±8,6) dan meningkat lagi sampai H17 (10,0±6,7). Sementara itu terjadi peningkatan folikel sedang sejak H11 (6,0±3,8) dan mencapai puncaknya pada H13 (7,3±3,2) lalu turun sampai H15 (4,0±1,3) namun kemudian naik lagi mencapai puncaknya pada H17 (8,7±1,0). Folikel besar terus terjadi peningkatan sejak H12 (0,3±0,0) sampai dengan H18 (2,7±0,0).
Berdasarkan pengamatan kelas folikel I yang timbul tersebut dapat diamati bahwa gelombang folikel terjadi 3 kali dalam 1 kali siklus estrus. Adams (1998) menyatakan biasanya sapi-sapi yang dengan 2 gelombang folikel mempunyai panjang siklus estrus 19-20 hari, sedangkan sapi-sapi dengan 3 gelombang folikel mempunyai panjang siklus estrus 22-23 hari. Berbeda dengan hasil yang ditemukan pada sapi PO saat ini dimana panjang siklus estrus adalah 18 hari dengan 3 gelombang folikel yang muncul. Peningkatan proporsi pada sapi dengan 3 gelombang folikel berhubungan dengan pola nutrisi dan heat stress (Adams 1998). Menurut Bo et al. (2003), pola gelombang folikel pada Bos taurus tidak dipengaruhi oleh musim tetapi berapa kali beranak, juga tidak dipengaruhi oleh breed dan umur (Adams et al. 2008).
Perkembangan folikel selama satu siklus estrus menunjukkan pola penurunan dan kenaikan jumlah folikel dan terjadinya perkembangan diameter folikel, sehingga akhirnya terbentuk folikel dominan yang kemudian ovulasi. Hasil analisis statistik menunjukkan DF dan SF pada ke 3 gelombang folikel yang muncul tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara KLP I dan KLP II (p>0,05).
Menurut Ginther et al. (2003) siklus estrus yang normal meliputi 2 atau 3 gelombang folikel, mencakup periode kemunculan, pertumbuhan, penyimpangan,
dominan, atresi atau ovulasi. Masing-masing gelombang melibatkan
perkembangan dari folikel besar, sedang dan kecil. Periode deviasi mencakup pengurangan atau penghentian pertumbuhan folikel besar kedua (SF), selagi folikel besar menjadi dominan dan ukurannya membesar. Periode deviasi ini merupakan suatu mekanisme seleksi yang mengatur sejumlah folikel yang
(45)
diovulasikan menjadi folikel tunggal. Mekanisme seleksi kadang kala gagal, diikuti lebih dari satu DF yang berkembang selama 1 gelombang folikel, peristiwa ini disebut codominance (Kulick et al. 2001) dan ovulasi gandapun terjadi (Ginther et al. 2003). Pada penelitian ini dijumpai kejadian ovulasi ganda pada satu ekor sapi yang diterapi dengan kombinasi antibiotik+PGF2α, mungkin ini pengaruh dari penggunaan analog PGF2α, sama seperti yang pernah ditemukan oleh Lopez-Gatius et al. (2004) akan kejadian ovulasi ganda pada sapi perah setelah diterapi dengan Cloprostenol pada saat inseminasi. Sejauh ini, belum ada laporan pasti bahwa prostaglandin dapat menginduksi ovulasi ganda, oleh karena itu diperlukan riset yang lebih lanjut untuk megungkapkan mekanisme yang melibatkan efek ini.
Perkembangan diameter folikel pada KLP I (Gambar 14), selama kurun waktu sehari sebelum sinkronisasi estrus menggunakan PGF2α hingga estrus H0, menunjukkan bahwa terjadi perkembangan folikel dominan (DF) pada H-4 (1,07±0,15 cm) sampai sebelum estrus H-1 (1,40±0,10 cm) hingga mencapai folikel yang siap utuk ovulasi H0 (1,43±0,06 cm) dan diikuti dengan folikel terbesar kedua (SF) yang mulai atresi pada H0 (1,17±0,15 cm). Estrus terjadi antara hari ke 2-3 setelah terapi. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa hewan yang telah disinkronisasi estrus dengan PGF2α akan mengalami estrus secara serentak pada hari yang relatif sama (Ginther 1981; Perez et al. 2003; Senger 2003; Kasimanickam et al. 2006). Pengamatan dengan USG dilanjutkan selama siklus estrus, dimulai H0 hingga menjelang estrus berikutnya, diperoleh hasil rata-rata lama siklus estrus antar individu yang diamati yaitu 18 hari. Diameter folikel yang berhasil ovulasi berkisar antara 1,4-1,5 cm (1,47±0,06 cm).
Perkembangan folikel terbesar pada gelombang pertama (1stDF) sudah dimulai sejak H0 (0,63±0,12 cm) dan mencapai puncaknya antara H5 (1,23±0,06 cm) kemudian mulai mengalami atresi sejak H6 (1,20±0,10 cm) sampai dengan selesai siklus. Folikel terbesar kedua (1stSF) meningkat dari H0 (0,53±0,12 cm) dan mencapai puncaknya H4 (0,93±0,12 cm) lalu mulai atresi hingga H7 (0,63±0,06 cm) dengan hari deviasi H4 (0,93±0,12 cm). Pada gelombang kedua, folikel terbesar (2ndDF) meningkat dari H8 (0,73±0,06 cm) lalu mencapai puncaknya pada H14 (0,97±0,15 cm) kemudian mulai atresi H15 (0,87±0,15 cm)
(46)
32
sampai selesai siklus. Folikel terbesar kedua (2ndSF) meningkat dari H8 (0,55±0,07 cm) kemudian mencapai puncaknya pada H13 (0,90±0,17) lalu atresi, dengan hari deviasi H13 (0,90±0,17 cm).
Gambar 14. Dinamika ovari pada sapi endometritis. KLP I diterapi dengan kombinasi antibiotik+PGF2α, KLP II diterapi dengan kombinasi antibiotik. 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
D ia m ete r (c m )
Hari selama siklus estrus
CL 1st DF 1st SF 2nd DF
2nd SF 3rd DF 3rd SF
Estrus
Ovulasi DF KLP I Ovulasi DF
-0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5
-11 -9 -7 -5 -3 -1 1 3 5 7 9 11 13 15 17 0 2 4
D ia m ete r (c m )
Hari selama siklus estrus
CL (sapi 2) CL ( sapi 4) CL (2 ekor)
CL (sapi 6) 1st DF (sapi 4) 1st DF
1st SF 2nd DF (sapi 4) 2nd DF (sapi 6)
2nd DF 2nd SF (sapi 4) 2nd SF (sapi 6)
2nd SF 3rd DF (sapi 2) 3rd DF (sapi 4)
Ovulasi DF KLP II
CL Lisis
CL Persisten
(47)
Pada gelombang ketiga, terlihat adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari folikel terbesar (3rdDF) yang jelas terlihat sejak H14 (1,03±0,21 cm) hingga mencapai folikel dominan yang siap untuk ovulasi H18 (1,47±0,06 cm). Folikel terbesar kedua (3rdSF) meningkat dari H14 (0,83±0,06 cm) mencapai puncak pada H17 (1,10±0,10 cm) lalu atresi sejak H18 (1,07±0,15 cm) dengan hari deviasi H17 (1,10±0,10 cm).
Selain dari pada itu, juga dapat diketahui bahwa tidak adanya perbedaan diameter folikel besar (DF) menjelang estrus baik setelah sinkronisasi ataupun secara alami, sama seperti pada sapi FH (1,43±0,06 cm dan 1,47±0,06 cm), hanya saja lamanya siklus estrus pada sapi PO ini dijumpai sedikit lebih pendek (18 hari) dari pada sapi FH (rata-rata 21 hari) namun masih sesuai seperti kisaran panjang siklus estrus yang disampaikan Senger (2003), yaitu 17-24 hari. Menurut Perez et al. (2003) rataan diameter folikel yang ovulasi pada sapi FH yang mengalami kawin berulang adalah (1,78±0,36 cm). Selain itu Perez et al. (2003) juga menyatakan pada sapi FH dengan 2 gelombang folikel mempunyai rataan diameter folikel menjelang ovulasi 1,88±0,2 cm; dan pada sapi FH dengan 3 gelombang folikel memiliki rataan diameter folikel menjelang ovulasi yang lebih kecil 1,45±0,2 cm tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada sapi PO saat ini.
Pada KLP II efek pemberian kombinasi antibiotik tidak menyebabkan sinkronisasi estrus tetapi hanya membunuh kuman penyebab infeksi, sehingga perkembangan diameter folikel terus terjadi mengikuti mengikuti siklus estrus yang sedang berlangsung hingga kemudian sapi estrus dan ovulasi (Gambar 14).
Perkembangan folikel terbesar pada gelombang pertama (1stDF) pada KLP II sudah dimulai sejak H0 (0,55±0,06 cm) dan mencapai puncaknya pada H7 (1,13±0,23 cm) kemudian mulai atresi sejak H8 (1,10±0,10 cm) sampai dengan selesai siklus. Folikel terbesar kedua (1st SF) meningkat dari H0 (0,43±0,06 cm) dan mencapai puncaknya pada H6 (0,90±0,46 cm) lalu mulai atresi hingga H10 (0,13±0,23 cm) dengan hari deviasi H7 (0,73±0,67 cm). Pada gelombang kedua, folikel terbesar (2ndDF) meningkat dari H7 (0,27±0,46 cm) lalu mencapai puncaknya pada H 11 (0,83±0,42 cm) kemudian mulai atresi sampai dengan H16 (0,50±0,50 cm). Folikel terbesar kedua (2ndSF) meningkat dari H7 (0,23±0,46 cm)
(48)
34
kemudian mencapai puncaknya pada H11 (0,63±0,35) lalu atresi sampai H15 (0,27±0,46 cm) dengan hari deviasi H11 (0,63±0,35). Pada gelombang ketiga, terlihat adanya pertumbuhan dari folikel terbesar (3rdDF) yang jelas terlihat sejak H13 (0,47±0,42 cm) hingga mencapai folikel dominan yang siap untuk ovulasi H18 (0,83±0,72 cm). Folikel terbesar ketiga (3rdSF) meningkat dari H13 (0,17±0,29 cm) lalu meningkat pada H14 (0,40±0,36 cm) lalu atresi sampai H18 (0,27±0,46 cm) dengan hari deviasi H17 (0,30±0,52 cm).
Jumlah gelombang folikel yang muncul sama seperti yang pernah dilaporkan Perez et al. (2003) pada sapi FH dan Amrozi et al. (2004) pada Japanese Black Cows. Menurut Perez et al. (2003) sapi-sapi dengan 3 gelombang folikel mempunyai rataan diameter 1stDF (anovulatory) yang lebih besar dibanding folikel lainnya, tetapi lebih kecil pada sapi-sapi dengan 2 gelombang folikel. Hal ini berbeda dengan hasil yang ditemukan saat ini, sapi PO dengan 3 gelombang folikel mempunyai rataan diameter 1stDF lebih kecil dibanding dengan rataan diameter 3rdDF (ovulatory). Zeitoun et al. (1996) menyatakan fase pertumbuhan dan atresi folikel pada sapi Brahman dengan 2 gelombang folikel lebih panjang dibanding pada sapi-sapi dengan 3 atau 4 gelombang folikel.
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) pada CL yang terbentuk setelah ovulasi, dimana rataan diameter CL pada sapi-sapi KLP I (1,17±0,33 cm) lebih kecil dari KLP II (1,33±0,14 cm) (Gambar 14). Perbedaan yang signifikan antara diameter CL pada KLP I dan KLP II jelas membuktikan bahwa penambahan pemberian PGF2α untuk terapi sapi endometritis dapat meregresikan CL dan mempercepat munculnya siklus estrus baru secara normal. Ini jelas terlihat pada saat munculnya siklus estrus baru (H1) sampai berakhir siklus, dan CL dapat regresi (H18). Sementara pada KLP II regresi CL lambat terjadi karena ada 1 ekor sapi yang CLnya tidak berhasil lisis. Hal ini terjadi karena endometrium uterusnya tidak berhasil memproduksi endogenus prostaglandin untuk melisiskan CL.
Hasil pengamatan perkembangan CL menggunakan USG secara kontinyu setiap hari, selama satu siklus estrus pada KLP I (Gambar 14) menunjukkan pola yaitu: diawali dengan fase pembentukan jaringan luteal, fase pertumbuhan, fase statis dan diakhiri dengan fase regresi. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil
(1)
prostaglandin F2α metabolite concentrations in postpartum dairy cows.
Theriogenology 41:413-421.
[Dirjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2008. Statistika Peternakan. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Dohmen MJW, Lohuis JACM, Huszenicza G, Nagy P, Gacs M. 1975. The relationship between bacteriological and clinical findings in cows with subacute/chronic endometritis. Theriogenology 43:1379-1388.
Dolezel R, Vecera M, Palenik T, Cech S, Vyskocyl M. 2008. Systematic clinical examination of early postpartum cows and treatment of puerperal endometritis did not have any beneficial effect on subsequent reproductives performance. Vet Med 53(2):59-69.
Drlica K, Zhao XK. 1997. DNA gyrase, topoisomerase IV, and the 4-quinolones. Microbiol Mol Biol Rev. 61(3): 377-92. ISSN 1092-2172. PMID9293187.PMC232616.
http://mmbr.asm.org/cgi/pmidlookup?view=long&pmid=9293187. html [ 10 Oktober 2009].
Drillich M, Beet A, Pfutzner A, Sabin M, Sabin HJ, Kutzer P. 2001. Evaluation of a systemic antibiotic treatment of toxic puerperal metritis in dairy cows.
J Dairy Sci 84:2010-2017.
Drillich M, Lincke A, Kersting S Arlt S, Heuwieser W. 2005. Treatment of subclinical endometritis in dairy cows with enzymes or PGF2α. (Poster).
ESDAR 9th Annual Conference. Program Book (including abstracts), pp:185.
Etherington WG, Bosu WTK, Martin W, Cote JF, Doig PA, Leslie K.E. 1984. Reproductive performance in dairy cows following postpartum treatment with gonadotrophin releasing hormone and/or prostaglandins: a field trial. CanJ Comp Med 48:245-250.
Etherington WG, Kelton D, Adams J. 1994. Reproductive performance of dairy cows following treatment with fenprostalene, dinoprost or cloprostenol between 24 and 31 days postpartum: a field trial. Therigenology 42:739-752.
Etherington WG, Martin SW, Bonnett B, Johnson WH, Miller RB, Savage NC, Walton JS, Montgomery ME. 1998. Reproductive performance of dairy cows following treatment with cloprostenol 26 and/or 40 days postpartum: a field trial. Theriogenology 29:565-575.
(2)
Falkenberg U, Heuwiser W. 2005. Influence of time of initiation of a prostaglandin F2 alpha protocol in dairy cows with puerperal endometritis. DeutscheTierarztliche Wochenschrift 112:252-256.
Foldi J, Kulcser M, Pecsi A, Huyghe B, de Sa C, Lohuis JACM, Cox P, Huszenicza G. 2006. Bacterial complications of postpartum uterine involution in cattle. J Anim Reprod Sci 96(3-4):265-281.
Frazer GS. 2001. Hormonal therapy in the postpartum cow -days 1 to 10. Fact or fiction? Proc Annu Meeting Soc. Theriogenology 14:161-183.
Frendson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak (diterjemahkan oleh B Srigandono dan K Praseno). Edisi ke 4. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hlm 713-725.
Garverick HA dan Youngquist RS. 1999. Getting problem cows pregnant. Agricultural publication G3030. hlm 1-3.
Gilbert RO, Shin ST, Guard CL, Erb HN. 1998. Incidence of endometritis and effects on reproductive performance of dairy cows. Theriogenology 49: 251-254.
Ginther OJ. 1981. Local versus systemic utero-ovary on relationship farm animal.
Ac Ve. Scand. Suppl 77:103-115.
Ginther OJ, Beg MA, Donadeu FX, Bergfelt DR. 2003. Mechanism of follicle deviation in monovular farm species. Anim Reprod Sci 78:239-57.
Glanvill SF, Dobson H. 1991. Effect of prostaglandin treatment on the fertility of the problem cows. Vet Rec 128:374-376.
Goddard PJ. 1995. Veterinary Ultrasonography. Wallingford, UK: CAB International. hlm 233-255.
Gustafsson BK. 1984. Therapeutic strategies involving antimicrobial treatment of the uterus in large animals. J Am Vet Med Assoc. 185:1194-1198.
Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th ed. Lea and Febiger. Philadelphia. USA. pp. 41-46.
Hanzen C. 1984. The role of prostaglandins in human and animal reproductive physiology. J Gynecol Obstet Biol Reprod 13:351-61.
(3)
Heath E, Olusanya S. 1985. The Endocrine system. In Anatomy and Physiology of Tropical Livestock, E. Heath and S. Olusanya 5th ed. Longman Scientific Technical Harlow. Essex. pp. 10-13.
Hirsbrunner G, Ficher R, Kupfer U, Burkhardt H, Steiner A. 2000. Effect of different doses of prostaglandin F2α on intrauterine pressure and uterine motility during diestrus in experimental cows. Theriogenology
54(2):291-303.
Hirsbrunner G, Knutti B, Küpfer U, Burkhardt H, Steiner A. 2003. Effect of prostaglandin E2, DL-cloprostenol, and prostaglandin E2 in combination with d-cloprostenol on uterine motility during diestrus in experimental cows. J Anim ReprodSci 79:17-32.
Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik
(diterjemahkan oleh DK. Harya Putra). Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Javed MT, Khan MZ. 1991. Bacteriological and bio-histopathological studies in repead breeding cows. JIAS 4(3):242-244.
Kasimanickam R, Duffield TF, Foster RA, Gartley CJ, Leslie KE, Walton JS, Johnson WH. 2004. Endometrial cytology and ultrasonography for the detection of subclinical endometritis in postpartum dairy cows.
Theriogenology 62:9-23.
Kasimanickam R, Duffield TF, Foster RA, Gartley CJ, Leslie KE, Walton JS, Johnson WH. 2005. The effect of a single administration of cephapirin or cloprostenol on the reproductive performance of dairy cows with sublinical endometritis. Theriogenology 63:818-830.
Kasimanickam R, Cornwell JM, Nebel RL. 2006. Effect of presence of clinical and subclinical endometritis at the initiation of Presynch-Ovsynch program on the first service pregnancy in dairy cows. J Anim R Sci
95:214-223.
Kim-Yong Jun, Park-HeeSub, Kim-YongSu, Cho-Sung-Woo, Shin-DongSu, Lee-HeeLee, Kim-SueHee. 2006. Studies on the accurate diagnosis of reproductive failure in dairy cows by ultrasonography. J Vet Clin
23:133-143.
Kulick LJ, Bergfelt DR, Kot K, Ginther OJ. 2001. Follicle selection in cattle: follicle deviation and codominance within sequential waves. Biol Reprod
(4)
LeBlanc SJ, Duffield TF, Leslie KE, Bateman KG, Keefe GP, Walton JS, Johnson WH. 2002. Defining and diagnosing postpartum clinical endometritis and its impact on reproductive performance in dairy cows. J Dairy Sci
85:2223-2236.
Lewis GS. 1997. Uterine health and disorders. J Dairy Sci 80:984-994.
Lewis GS. 2004. Steroidal regulation of uterine immune defense. J Anim R Sci 82-83:281-294.
Lopez-Gatius F, Yaniz JL, Santolaria P, Murugavel K, Guijarro R, Calvo E, Lopez-Bejar M. 2004. Reproductive performance of lactating dairy cows treated with cloprostenol at the time of insemination. Theriogenology
62:677-689.
Lucy MC, Savio JD, Badinga L, De La Sota LR, Thatcher WW. 1992. Factor that affect ovarian follicular dynamics in cattle. J Anim Sci. 70:3615-2626.
McDougall S. 2001. Effect of periparturient disease on the reproductive performance of New Zealand dairy cows. N. Z. Vet. J. 49:60-67.
Mc Dougall S, Macaulay R, Compton C. 2007. Association between endometritis diagnosis using a novel intravaginal device and reproductive performance in dairy cattle. J Anim R Sci 99(1-2):9-23.
Okano A, Tomizuka T. 1987. Ultrasonic observation of postpartum uterine involution in the cow. Theriogenology 27:369-376.
Olson JD, Ball L, Mortimer RG. 1984. Aspects of bacteriology and endocrinology of cows with pyometra and retained fetal membranes. Am J Vet Res 45: 2251-2255.
Olson JD. 1996. Metritis/endometritis: medically sound treatments. In: Proceedings of the 29th A.A.B.P. Annual Conference. San Diego. CA USA pp. 8-14.
Oral H, Sozmen M, Serin G, Kaya S. 2009. Comparison of the cytobrush technique, vaginoscopy and transrectal ultrasonography methods for the diagnosis of postpartum endometritis in cows. J Anim Vet Advances 8 (7):1252-1255.
Palmer C. 2003. Postpartum metritis in cattle: A review of the condition and treatment. Large Animal Veterinery Rounds 3(8):1-6 .
(5)
Pasley LG, Micklesen WD, Anderson PB. 1986. Mechanisme and therapy for retained membranes and uterine infections of cows: a review.
Theriogenology 25:353-381.
Perez CC, Rodriguez I, Espans F, Dorado J, Hidalgo M, Sanz J. 2003. Follicular growth patterns in repeat breeder cows. Vet Med.- Czech 48(1-2):1-8. Pugh DG, Lowder MQ, Wenzel JGW. 1994. Retrospective analysis of the
management of 78 cases of postpartum metritis in the cow.
Theriogenology 42:455-463.
Putro PP. 2010. Dinamika ovaria dan perubahan profil progesteron setelah sinkronisasi estrus dengan prostaglandin F2a pada sapi potong. Di dalam: Peranan Teknologi Reproduksi Hewan dalam Rangka Swasembada Pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional; Bogor 6-7 Oktober 2010. hlm 99-102.
Ruder CA, Sasser SM, Williams RJ, Kelly JK, Bull RC, Butler JF. 1981. Uterine infections in the postpartum cow II. Possible synergestic effects of
Fusobacterium necrophorum and Corynebacterium pyogenes.
Theriogenology 15:573-580.
Rusby R. 2005. Synchonizing estrus in beef cattle. Beef Cattle Prod 2:1-6.
Senger PL. 2003. Pathways to Pregnancy and Parturition. Washington: Washington State University Research & Technology Park. Ed Rev ke-2. Current Conceptions Inc. hlm 209-211.
Sheldon IM, Noakes DE. 1998. Comparison of three treatments for bovine endometritis. Vet Rec 142:575-579.
Sheldon IM, Noakes DE, Dobson H. 2000. The influence of ovarian activity and uterine involution determined by ultrasonography on subsequent reproductive performance of dairy cows. Theriogenology 54:409-419.
Sheldon IM. 2004. The postpartum uterus. Vet. Clin. North Am. Food. Anim. Pract 20(3):569-591.
Sheldon IM, Lewis GS, LeBlanc S and Gilbert RO. 2006. Defining postpartum uterine disease in cattle. Theriogenology 65(8):1516-1530.
(6)
Sheldon IM. 2007. Endometritis in cattle: Pathogenesis concequences for fertility, diagnosis and therapeutic recomemndations. Reproduction Management Bulletin (Intervet) 2(1):1-5.
Smith BI, Risco CA. 2002. Clinical manifestation of postpartum metritis in dairy cattle. Comp Contin Educ Pract Vet 24:S56-S63.
Steel RGD, Torrie JH. 1999. Prinsip dan Prosedur statistika (diterjemahkan oleh B Sumantri). Ed ke-2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm 74-104.
Steffan JM, Agric M, Adriamanga S, Thibier M. 1984. Treatment of metritis with antibiotics or prostaglandin F2 alpha and influence of ovarian cyclicity in dairy cows. Am. J Vet Res 45:1090-1094.
Studer E, Morrow DA. 1978. Postpartum evaluation of bovine reproductive potential: comparison of findings from genital tract examination per rectum, uterine culture and endometrial biopsy. J Am Vet Med Assoc
172:489-494.
Thurmond MC, Jameson CM, Picanso JP. 1993. Effect of intrauterine antimicrobial treatment in reducing calvingto-conception interval in cows with endometritis. J Am Vet Med Assoc. 121:436-440.
Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa. hlm 168-195.
Turner CD, Bagnara JT. 1971. Endokrinologi Umum (diterjemahkan oleh Harsojo). Surabaya: Airlangga University Press.
Wenzel JGW. 1991. A review of prostaglandin F products and their use in dairy reproductive herd health programs. Vet Bull 61:433-47.
Wulster RMC, Seals RC, Lewis GS. 2003. Progesterone increases susceptibility of gilts to uterine infections after intra uterine inoculation with infectious bacteria. J Anim Sci 81:1242-1252.
Youngquist RS, Shore MD. 1977. Postpartum uterine infections. In:Youngquist RS, ed. Current Therapy in Large Animal Theriogenology.Toronto:WB Saunders Company. hlm 335-340.
Zeitoun MM, Rodriguez HF, Randel RD. 1996. Effect of season on ovarian follicular dynamics in Braman cows. Theriogenology 45:1577-1581.