Buah Lindur (Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku Pembuatan Beras Analog dengan Penambahan Sagu dan Kitosan

BUAH LINDUR (Brugueira gymnorrhiza) SEBAGAI BAHAN
BAKU PEMBUATAN BERAS ANALOG DENGAN
PENAMBAHAN SAGU DAN KITOSAN

TAUFIK HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Buah Lindur
(Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku Pembuatan Beras Analog dengan
Penambahan Sagu dan Kitosan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014

Taufik Hidayat
NRP C351114031

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait.

RINGKASAN
TAUFIK HIDAYAT. Buah Lindur (Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku
Pembuatan Beras Analog dengan Penambahan Sagu dan Kitosan Dibimbing oleh
PIPIH SUPTIJAH dan NURJANAH
Indonesia merupakan negara dengan rata-rata konsumsi beras tertinggi di
dunia. Ketergantungan Indonesia terhadap beras sungguh memprihatinkan.
Rata-rata konsumsi beras Indonesia mencapai 139,5 kg/kapita/tahun jauh dari
konsumsi beras dunia hanya mencapai 60 kg/kapita/tahun, sehingga sumberdaya
karbohidrat selain beras menjadi terabaikan. Upaya untuk mengatasi

ketergantungan terhadap beras adalah menciptakan produk pangan yang sama
dengan beras dan kebiasaan masyarakat Indonesia yaitu beras analog.
Beras analog adalah beras yang terbuat dari sumberdaya karbohidrat non padi.
Bahan baku yang dapat digunakan untuk pembuatan beras analog adalah buah
lindur. Buah lindur (Brugueira gymnorrhiza) merupakan salah satu jenis bakau
yang hidup di wilayah pesisir dan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai
bahan pangan karena mengandung karbohidrat yang cukup tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi tepung buah lindur,
mengkarakterisasi tepung buah lindur, mengaplikasi tepung buah lindur dalam
pembuatan beras analog, memilih formula terpilih beras analog dengan uji
hedonik, dan karakterisasi beras analog terpilih secara fisika kimia. Penelitian
dibagi tiga tahap yaitu proses pembuatan dan karakterisasi tepung, formulasi beras
analog, dan karakterisasi produk. Proses pembuatan beras analog ini dilakukan
dengan teknologi ekstrusi dengan suhu tinggi. Komponen pembuatan beras analog
juga ditambahkan tepung sagu dan kitosan agar mengurangi kelengketan beras
analog.
Tepung lindur yang dihasilkan pada penelitian ini mengandung
karbohidrat sebesar 86,10%, tanin sebesar 0,216%, total gula 14,75%, HCN 1,98
ppm, amilosa 29,96%, dan daya serap air sebesar 0,81%. Sifat fisik tepung buah
lindur lindur mempunyai daya cerah yang hampir mendekati 100 mempunyai

suhu gelatinisasi dimulai pada 69ºC dan puncak gelatinisasi pada suhu 82,5ºC.
Tepung lindur yang dihasilkan aman dikonsumsi karena kandungan logam berat
masih diambang batas standar yang telah ditetapkan SNI. Formulasi terpilih untuk
karakterisasi beras analog adalah kombinasi tepung lindur 70%, sagu 30%, dan
penambahan kitosan sebesar 0,5%. Beras analog terpilih mempunyai warna
kecoklatan nilai karbohidrat sebesar 81,58%, serat pangan enzimatis sebesar
8,16%, amilosa sebesar 20,36%, kalori sebesar 324 kal, dan mempunyai daya
cerna pati sebesar 55,22%.
Kata kunci: buah lindur, beras analog, formulasi, kitosan, sagu

SUMMARY
TAUFIK HIDAYAT. Fruit Lindur (Brugueira gymnorrhiza) as Raw Material
Preparation Analog Rice with Sago and Chitosan Addition. Supervised by PIPIH
SUPTIJAH and NURJANAH

Indonesia is a country which has the highest average of rice consumption
in the world. Their dependence on rice might be apprehensive. Indonesia’s
average consumption of rice reached 139.5 kg/capita/year, much higher than the
world’s which only reached 60 kg/capita/year. As a result, the other carbohydrate
resources become neglected. One of the ways to overcome the dependence on rice

is creating a food product that similar to rice and the habits of Indonesian people.
One of them is analog rice. Analog rice is rice made from non-rice carbohydrate
resources. The raw material that suitable to produce analog rice is lindur fruit.
Lindur fruit (B. gymnorrhiza) is one of mangrove species that live in coastal areas,
very potential to be developed as a comestible because high carbohydrate.
This study was aimed to produce lindur fruit powder, characterize lindur
fruit powder, apply lindur fruit powder in the manufacture of analog rice,
determine the formula of analog rice by hedonic test, and characterize the selected
analog rice by their physical and chemical properties. The study was divided into
three phases, specifically the production and characterization of powder,
formulation of analog rice, and characterization of end product. The analog rice
was made with high temperature extrusion technology. Sago starch and chitosan
were also added in analog rice ingredients to increase its nutrient content.
Lindur powder that produced in this study was contain 86.10%
carbohydrate, 0.21% tannin, 14.75% sugar, 1.98 ppm HCN, 29.96% amylose, and
0.81% water absorption capacity. The physical properties of lindur has brightness
close to 100, gelatinization temperature started at 69oC and reached climax at
82.5oC. Lindur powder that produced in this study was safe to eat because the
heavy metal content was still acceptable in accordance with SNI standard
threshold. The selected formulation for the characterization of analog rice is a

combination of 70% lindur powder and 30% sago with the addition of 0.5%
chitosan. The selected analog rice has a brownish color. It contains 81.58%
carbohydrate, 8.16% enzymatic dietary fiber, 20.36% amylose, 324 kal calorie,
and has starch digestibility by 55.22%.
Keywords: analog rice, chitosan, formulation, fruit lindur, sago

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

BUAH LINDUR (Brugueira gymnorrhiza) SEBAGAI BAHAN
BAKU PEMBUATAN BERAS ANALOG DENGAN
PENAMBAHAN SAGU DAN KITOSAN


TAUFIK HIDAYAT

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Mala Nurilmala SPi MSi

Judul Tesis : Buah Lindur (Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku
Pembuatan Beras Analog dengan Penambahan Sagu dan Kitosan
Nama
: Taufik Hidayat

NIM
: C351114031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Dra Pipih Suptijah MBA
Ketua

Prof Dr Ir Nurjanah MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Tati Nurhayati SPi MSi


Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr

Tanggal Ujian:

Tanggal lulus:

PRAKATA
Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, penulis ucapkan syukur
atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Taufik dan HidayahNYA
kepada penulis hingga selesainya penulisan tesis dengan judul Buah Lindur
(Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku Pembuatan Beras Analog dengan
Penambahan Sagu dan Kitosan dalam memperoleh gelar Master pada Program
Teknologi Hasil Perairan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
Penulisan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, perkenankan
penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga kepada:
1. Dr.Dra. Pipih Suptijah MBA selaku ketua komisi pembimbing dan
Prof Dr Ir Nurjanah MS sebagai anggota komisi pembimbing atas
nasehat, bimbingan, dan arahannya

2. Dr Tati Nurhayati SPi MSi selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menempuh pendidikan master
3. Dr Mala Nurilmala SPi MSi selaku dosen penguji yang telah meluangkan
waktunya untuk menguji dan memberikan masukan kepada penulis
4. Drs Yujasril Raza dan Dra Fatimah Tanjung M.Hum orang tua penulis
yang tak henti-hentinya berdoa dan memberikan kasih sayangnya kepada
penulis
5. Defit Putra Renofa S.Kom, Inna Mukhaira, Masita Pasca Auliani adik
yang selalu menjadi semangat dan pelita hati penulis
6. Marisa Permatasari S,Pi yang selalu menemani sekaligus teman terbaik
atas kritik, saran, dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan
pendidikan di S2 THP IPB
7. Dra Lulut Sri Yuliani MM selaku pemerhati industri bakau yang telah
banyak memberikan masukan terhadap penelitian ini
8. Balai Besar Pengendalian Pengolahan Hasil Perairan (BBP2HP) yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk menuntaskan penelitian ini
9. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Departemen
Pertanian yang telah banyak membantu penyelesaian penelitian
10. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Ditjen Dikti yang telah

memberikan Beasiswa Unggulan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di THP IPB
11. Kementerian Keuangan melalui Lembaga LPDP yang telah memberikan
beasiswa tesis dan banyak membantu penyelesaian tesis penulis
12. Wakil Rektor 1 Universitas Andalas Dr Febrin Anas Ismail atas bantuan
moril dan menandatangani beasiswa penulis
13. Dekan Peternakan Universitas Andalas Dr Djafri Nur yang telah bersedia
menerima penulis di Fakultas Peternakan UNAND

14. Keluarga besar di Bandung dan Padang yang selalu memberikan motivasi
kepada penulis
15. Tirta, Jenny, dan Yosefin teman-teman Pasca genap THP, terima kasih
atas kebersamaanya
16. Teman Pasca THP 2011, 2012, dan 2013 yang telah banyak
membantu,memberikan masukan dan saran, terima kasih sudah menjadi
saudara yang baik bagi penulis semoga silaturahiim ini tetap kekal
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis dalam hal apapun selama penulis kuliah di Bogor,
terima kasih semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam

penyelesaian tulisan ini. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran untuk
penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk Indonesia dan
bagi yang membacanya.
Bogor, Mei 2014

Taufik Hidayat

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

X

DAFTAR GAMBAR

X
X

DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Roadmap
Rumusan masalah
Tujuan
Manfaat

1
1
3
5
5
5

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI TEPUNG BUAH LINDUR
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

6
6
7
14
18

3 FORMULASI BERAS ANALOG
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

19
19
23
26
31

4 KARAKTERISASI BERAS ANALOG TERPILIH
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

32
32
32
36
39

5 PEMBAHASAN UMUM

40

6 SIMPULAN DAN SARAN

42

DAFTAR PUSTAKA

43

LAMPIRAN

48
57

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Road map penelitian buah lindur
Road map penelitian beras analog
Karakteristik fisik
Amilografi tepung buah lindur
Karakteristik kimia (logam berat) tepung buah lindur
Karakteristik kimia tepung buah lindur
Formulasi beras analog
Karakteristik fisika beras analog terpilih
Karakteristik kimia beras analog terpilih

3
4
14
15
16
17
23
36
37

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Penampakan buah lindur
Proses penepungan tepung buah lindur
Tepung buah lindur
Ekstrusi ulir tunggal
Zona proses ekstrusi
Stuktur kitosan
Pembuatan beras analog
Rendemen
Histogram hasil uji kesukaaan (hedonik) warna pada formulasi nasi beras
analog
10 Histogram hasil uji kesukaaan (hedonik) aroma pada formulasi nasi beras
analog
11 Histogram hasil uji kesukaaan (hedonik) rasa pada formulasi nasi beras
analog
12 Histogram hasil uji kesukaaan (hedonik) tekstur pada formulasi nasi beras
analog.

6
8
14
20
20
21
24
26
27
28
29
30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Lembaran pengujian hedonik
Hasil ANOVA uji hedonik
Dokumentasi penelitian

49
50
53

1

1 PENDAHULUAN

Latar belakang
Indonesia menjadi negara yang tingkat konsumsi beras tertinggi di dunia
dengan rata rata konsumsi beras sebesar 139,5 kg/tahun/kapita melebihi rata-rata
konsumsi beras dunia yang hanya 60 kg/tahun/kapita (BPS 2013). Tahun 2013
pemerintah menghabiskan anggaran 1,1 triliyun untuk mengimpor beras.
Pemerintah terus berusaha mencari alternatif agar Indonesia tidak tergantung pada
beras. Salah satu yang diupayakan adalah penganekaragaman pangan
(diversifikasi pangan). Diversifikasi merupakan program dunia yang digalakan
pada tahun 2010 untuk kemandirian pangan dalam menuntaskan kelaparan.
Diversifikasi pangan juga bertujuan untuk meningkatkan potensi pangan
sumberdaya lokal. Upaya ini terus dilakukan, namun sayang sampai saat ini gagal
dan banyak menemui kendala. Kendala terbesar adalah sulitnya melepaskan
kebiasaan masyrakat Indonesia untuk tidak mengkonsumsi beras dan beralih ke
sumber karbohidrat lainnya. Budaya tidak kenyang jika tidak makan nasi ini terus
membudidaya sehingga sumber karbohidrat lain terabaikan.
Salah satu upaya agar diversifikasi pangan tidak bertentangan dengan
kebiasaan dan budaya masyarakat Indonesia adalah membuat produk pangan yang
hampir mirip dengan beras yaitu beras analog. Beras analog/beras tiruan/beras
cerdas adalah beras yang dibuat menggunakan sumberdaya lokal selain padi yang
nilai karbohidratnya hampir mendekati beras padi (Samad 2003).
Sumber karbohidrat lokal yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan
beras analog yang rendah glikemik adalah buah bakau dengan jenis Brugueira
gymnorrhiza. B. Gymnorrhiza atau yang dikenal dengan nama buah lindur
memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber alternatif bahan pangan
baru. Menurut hasil penelitian terbaru menyebutkan bahwa buah lindur
mengandung kadar air 62,92%, abu 1,29%, lemak 0,79%, protein 2,11%, dan
karbohidrat 32,91% (Seknun 2012). Penelitian yang dilakukan Sadana (2007)
pada masyarakat Kampung Rayori Distrik Supriyori Selatan Kabupaten Biak
Numfor memberikan informasi bahwa masyarakat telah memanfaatkan buah
bakau untuk dimakan terutama lindur yang buahnya dapat diolah menjadi kue.
Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sekitar hutan bakau
misalnya di Muara Angke Jakarta dan teluk Balikpapan mengkonsumsi
Bruguiera gymnorrhiza dengan cara mencampurkannya dengan nasi
(Haryono 2004). Penelitian yang dilakukan oleh IPB bekerja sama dengan Badan
Bimas Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa kandungan
energi buah lindur sebesar 371 kalori/100 g lebih tinggi dari beras (360 kalori/100
g) dan jagung (307 kalori/ g). Kandungan karbohidrat buah mangrove sebesar
85,1 g/100 g lebih tinggi dari beras (78,9 g/100 g) dan jagung 963,6 g/100 g)
(Fortuna 2005). Kandungan karbohidratnya yang tinggi, kemudahannya
beradaptasi di habitat dan kemampuannya berbuah sepanjang tahun memberikan
nilai tambah buah ini untuk dikaji lebih lanjut.
Sumber karbohidrat yang berpotensi untuk dijadikan bahan baku
pembuatan beras analog adalah sagu. Sagu memiliki potensi yang paling besar

2

untuk digunakan sebagai pengganti beras. Keuntungan sagu dibandingkan dengan
sumber karbohidrat lainnya adalah tanaman sagu atau hutan sagu sudah siap
dipanen bila diinginkan. Pohon sagu dapat tumbuh dengan baik di rawa-rawa dan
pasang surut, dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar
tumbuh. Syarat-syarat agronominya juga lebih sederhana dibandingkan tanaman
lainnya dan pemanenannya tidak tergantung musim.
Kandungan kalori pati sagu setiap 100 g ternyata tidak kalah dibandingkan
dengan kandungan kalori bahan pangan lainnya. Perbandingan kandungan kalori
berbagai sumber pati adalah (dalam 100 g): jagung 361 Kalori, beras giling 360
kalori, ubi kayu 195 kalori, ubi jalar 143 kalori dan sagu 353 kalori. Pohon sagu
banyak dijumpai diberbagai daerah di Indonesia, terutama di Indonesia bagian
timur dan masih tumbuh secara liar. Luas areal tanaman sagu di dunia
diperkirakan kurang lebih 2.200.000 ha, 1.128.000 ha diantaranya terdapat di
Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 7.896.000–12.972.000 ton pati sagu
kering/tahun.
Teknologi pengolahan pohon sagu menjadi pati sagu, di Indonesia masih
dilakukan secara tradisional dan hanya beberapa daerah misalnya Riau, Jambi dan
Sumatra Selatan yang menggunakan semi mekanis dalam mengekstraksi pati
sagu. Pengolahan empulur pohon sagu secara tradisional menghasilkan pati sagu
bermutu lebih rendah dibandingkan dengan pengolahan secara semi mekanis dan
mekanis, padahal komoditi pati sagu juga dapat dijadikan komoditi ekspor.
Negara pengimpor membutuhkan puluhan ribu ton pati sagu tiap-tiap tahunnya
untuk dibuat sirup glukosa, sirup fruktosa, sorbitol dan lain-lain.
Menurut Kementrian Pertanian (2013) luas areal tanaman sagu di dunia
lebih kurang 2.187.000 hektar, tersebar mulai dari Pasifik Selatan, Papua Nugini,
Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sebanyak 1.111.264 hektar diantaranya
terdapat di Indonesia. Daerah yang terluas adalah Irian Jaya, menyusul Maluku,
Sulawesi, Riau, Kalimantan, Kepulauan Mentawai, dan daerah lainnya. Luas areal
sagu adalah 850.000 hektar dengan potensi produksi lestari 5 juta ton pati sagu
kering per tahun. Luas areal sagu tidak kurang dari 740 ribu hektar dengan
perkiraan produksi 5,2–8,5 juta ton pati sagu kering per tahun. Sumber pati, sagu
mempunyai peranan penting sebagai bahan pangan. Pemanfaatan sagu sebagai bahan
pangan tradisional sudah sejak lama dikenal oleh penduduk di daerah penghasil sagu,
baik di Indonesia maupun di luar negeri, misalnya Papua Nugini dan Malaysia.
Produk-produk makanan sagu tradisional dikenal dengan sebutan papeda, sagu
lempeng, buburnee, sagu tutupala, sagu uha, sinoli, bagea, dan sebagainya. Sagu juga
digunakan untuk bahan pangan yang lebih komersial misalnya roti, biskuit, mie,
sohun, kerupuk, hunkue, bihun, dan sebagainya.
Beras analog berbasis lindur dan sagu dapat ditambahkan dengan bahan
pengikat dan penstabil alami yaitu kitosan. Kitosan merupakan turunan
polisakarida yang berasal dari limbah udang. Pemanfaatannya bagi industri
pangan di Indonesia belum banyak diaplikasikan. Kitosan dapat digunakan
sebagai penstabil, pengental pengemulsi dan pembentuk lapisan pelindung jernih
pada produk pangan. Sajomsang (2010) menyatakan bahwa kitosan adalah
polisakarida alami kedua terbesar setelah selulosa yang bersifat biodegradable
dan tidak beracun.
Kitosan memiliki nama kimia (1-4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Kitosan
berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya

3

sehingga kitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya
(Ornum 1992). Kitosan memiliki sifat yang sama dengan bahan pembentuk
tekstur sintetis misalnya karboksimetilselulosa (CMC) yang dapat memperbaiki
penampakan dan tekstur suatu produk karena memiliki daya pengikat air dan
minyak yang kuat dan tahan panas. Manfaat dari kitosan yang sudah diteliti, mulai
dari bidang pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian, dan sebagainya.
Informasi yang minim mengenai buah bakau lindur serta kandungan gizi
dan pemanfaatanya, potensi sagu yang cukup besar namun konsumsinya rendah,
dan pemanfaatan kitosan yang memiliki banyak keunggulan maka penelitian
mengenai beras analog berbasis lindur, sagu, dan penambahan kitosan sangat
penting untuk dilakukan.
Roadmap Penelitian
Penelitian buah lindur sebagai bahan baku pembuatan beras analog belum
pernah dilakukan. Referensi terdahulu mengenai penelitian buah lindur juga
sangat minim. Tanaman lindur yang banyak dijadikan objek penelitian adalah
bagian daun dan batang. Penelitian daun lindur lebih difokuskan kepada
nutrasetika dan farmasetika, sedangkan bagian batang banyak diarahkan sebagai
pewarna dan kayu bakar. Penelitian buah lindur lebih difokuskan kepada produk
pangan dan functional food. Rodmap penelitian buah lindur dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Roadmap penelitian buah lindur
Peneliti
Utari
Selviyani
Helmy
Seknun
Sarofa et al.
Bestura
Syukria
Warsinah et al.
Sulistyawati et al.

Sudirman
Barik et al.

Monneruzaman M et al.

Aspek penelitian
Analisis jaringan dan
edible film
Pembuatan brownies
Pembuatan bioethanol
Pembuatan dodol
Pembuatan crackers
Pembuatan biscuit
Antioksidan
Sitotoksik dan efek
antiproliferatif
Produksi tepung buah
lindur rendah tannin
Isolasi senyawa
antioksidan
Penghambatan
metabolisme asam
arakidonat dan produksi
sitokin pro-inflamasi
Variasi temporal dalam
produksi serasah

Tahun
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012
2012

2013
2013

2013

4

Penelitian tentang beras analog mulai dikenal pada tahun 1954 di India.
Petani dari India dan Pakistan memperkenalkan beras beraroma unik dan bulirnya
panjang yang sampai saat ini dikenal sebagai beras Basmati. Penelitian beras
analog kemudian berkembang pada tahun 1970. Peneliti Jepang menemukan
formula pembuatan beras analog menggunakan sumber karbohidrat lokal yang
dicampurkan dengan zat-zat yang sangat berguna bagi tubuh. Paten Yoshida et al
(1971); Katsuya et al. (1971) telah berhasil mencampurkan sumber karbohidrat
dengan fortifikan mineral menggunakan teknologi granulasi. Pembuatan beras
analog dengan metode granulasi semakin berkembang dengan adanya Paten
Kurachi tahun 1995 mengenai proses pembuatan dan pemasakan beras analog.
Beras analog kemudian berkembang juga di Indonesia dengan adanya sagu
mutiara. Teknologi pembuatan beras analog juga semakin berkembang dengan
ditemukan teknologi ekstrusi pada tahun 1987. Pembuatan beras analog dengan
teknologi ekstrusi dipopulerkan kembali oleh peneliti India Mishra et al. (2012).
Proses pembuatan beras analog yang digunakan menggunakan teknologi ekstrusi
dengan suhu tinggi. Beras ekstrusi berkembang di Indonesia pada tahun 2012.
Penelitian beras analog yang telah dilakukan baik di Indonesia maupun diluar
negeri dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Roadmap penelitian beras analog
Peneliti
Basmati
Associates

Aspek penelitian
Beras basmati

Yoshida et al.

Beras teknologi
granulasi
Beras teknologi
granulasi
Beras teknologi
granulasi
Beras granulasi
Beras fortifikasi
MGFP

Katsuya et al.
Kurachi
Samad
Moretii

Mishra et al.
Budianto dan
Yulianti
Dewi
Hackiki

Muslikatin

Proses ekstrusi
beras analog
Beras analog dari
sorgum
Beras analog dari
MOCAF
Beras analog
campuran tepung
tempe
Beras analog
rumput laut

Bahan baku
Beras beraroma
wangi dan bulir
panjang
Beras , jagung

Tahun
1954

Beras, jagung

1971

Beras, jagung

1995

Beras
ditambahkan zat
besi

1971

2003
2006

2012
Tepung sorgum,
jagung, pati sagu

2012

MOCAF

2012

Singkong dan
tepung tempe

2012

Rumput laut

2012

5

Rumusan Masalah
Tanaman bakau dari keluarga Bruguiera memiliki ciri-ciri yang mencolok
berupa akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup daun penumpu
yang meruncing, serta buah yang lonjong ketika masih di pohon (Fortuna 2005).
Pemanfaatan buah bakau Bruguira gymnorrhiza selama ini hanya sebatas
dijadikan panganan misalnya sayuran, keripik, permen, dan sirup yang memiliki
banyak kandungan vitamin C dan vitamin lain.
Buah lindur belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia karena
rasanya yang kurang enak, tetapi sebetulnya stoknya sangat berlimpah. Upaya
pemanfaatan buah lindur oleh masyarakat selama ini adalah sebagai obat luka,
lauk pauk, dan tepung. Tingginya kandungan karbohidrat buah lindur dapat
berpotensi sebagai sumber karbohidrat lokal dan sumber pangan baru.
Pengkajian mengenai manfaat buah lindur sebagai sumber karbohidrat
lokal dan bahan pangan baru secara ilmiah masih belum dilakukan. Penelitian ini
juga mengkombinasikan buah lindur sebagai sumber karbohidrat dengan tanaman
sagu. Tanaman sagu juga sangat potensial untuk dikembangkan, namun
pemanfaatannya juga belum optimal. Sinergi buah lindur dan sagu dapat dijadikan
suatu produk pangan yang kaya nilai gizi yaitu beras analog. Beras analog
merupakan produk pangan yang sangat unik karena bentuknya mirip dengan
beras. Penelitian ini juga menambahkan kitosan sebagai bahan pengikat alami.
Kitosan merupakan polisakarida alami kedua terbesar setelah selulosa. Kitosan
yang berasal dari bahan baku limbah udang sangat potensial menjadi bahan
pengikat beras analog karena mempunyai nilai kalori yang rendah. Penelitian
mengenai beras analog dari buah lindur, sagu, dan kitosan belum pernah
dilakukan sehingga penelitian tersebut perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memilih metode terbaik proses dan produksi tepung buah lindur
2. Mengkarakterisasi tepung buah lindur secara fisik dan kimia
3. Memilih formula beras analog terpilih menggunakan uji rating hedonic
score
4. Mengkarakterisasi beras analog terpilih secara fisika kimia
Manfaat
Manfaat penelitian ini diantaranya:
1. Pengembangan tepung buah lindur sebagai karbohidrat berbasis sumber
daya lokal
2. Pengembangan teknologi penepungan
3. Pengembangan teknologi rekayasa bahan pangan
4. Pengembangan kitosan sebagai bahan tambahan pangan
5. Pengembangan beras analog untuk ketahanan pangan nasional
berkelanjutan

6

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI TEPUNG BUAH LINDUR
Pendahuluan
Latar belakang
Buah lindur yang dikenal dengan berbagai sebutan lokal tumu, tanjang,
putut, tongke, ai-bon, dan kandeka merupakan salah satu buah dari tumbuhan
mangrove berdaun besar. Ketinggian tumbuhan lindur dapat mencapai 30 m.
Pohon lindur memiliki akar papan dan akar lutut, melebar ke samping di bagian
pangkal pohon. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar,
berwarna abu-abu tua sampai cokelat. Daun berbentuk elips dengan ujung
meruncing, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian
bawahnya dengan bercak-bercak hitam (Glen 2005). Bentuk daun, bunga, dan
buah lindur segar dapat dilihat pada Gambar 1.

(a)

(b)

(c)

Gambar 1 Bentuk buah, daun, dan bunga lindur
Buah lindur berwarna hijau dengan kelopak bunga di ujung buah yang
berwarna merah, hipokotil buah berbentuk silinder memanjang 12-30 cm dengan
diameter 1,5-2 cm. B. gymnorrhiza tersebar di daerah tropis Afrika Selatan dan
Timur dan Madagaskar, ke Asia Tenggara dan Selatan (termasuk Indonesia dan
negara di kawasan Malaysia), sampai timur laut Australia, Mikronesia, Polinesia
and kepulauan Ryukyu (Duke and James 2006). Tanaman lindur mampu
membantu menstabilkan tanah, melindungi pantai, dan sebagai habitat aneka
fauna. Kayu tanaman lindur dapat digunakan sebagai kayu bakar dan untuk
membuat arang. Pepagan (kulit batang) dimanfaatkan sebagai bahan penyamak
kulit dan pengawet jala ikan yang baik karena mengandung tanin rata-rata
28,5–32,2% (Glen 2005). Penduduk Kepulauan Solomon memanfaatkan papagan
untuk menyembuhkan luka bakar. Di pulau-pulau kecil Indonesia digunakan
untuk mengobati diare dan demam, sementara di Kamboja dimanfaatkan sebagai
anti malaria (Duke and James 2006). Penduduk di pulau-pulau terpencil
memanfatkan daun mudanya sebagai lalap atau sayuran. Bagian dalam hipokotil
buah lindur dapat dimakan (manisan kandeka) dan dicampur dengan gula.

7

Penduduk Indonesia bagian timur memanfaatkan buah lindur sebagai sumber
pangan pada musim paceklik tiba (Glen 2005).
Peningkatan nilai tambah dan ekonomi buah lindur dapat dilakukan proses
penepungan. Proses penepungan buah lindur dapat memperpanjang umur simpan
produk. Menurut Purnabasuki (2011) proses penepungan salah satu cara
memperkenalkan buah lindur kepada masyarakat agar mudah diingat dan
mempermudah proses edukasi untuk mengembangkan buah lindur.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode yang tepat dalam proses
pembuatan tepung buah lindur, memproduksi dan mengkarakterisasi tepung buah
lindur yang dapat dikembangkan menjadi produk pangan.
METODE
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus
2013. Preparasi dan pembuatan tepung dilakukan di Kecamatan Wonorejo Jawa
Timur. Karakterisasi tepung dilakukan di Laboratorium FMIPA IPB terpadu, di
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Laboratorium
Pengujian, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah buah lindur yang berumur panen tua
warna hijau dan kelopak buahnya merah. Bahan untuk analisis terdiri dari larutan
NH4OH, H2SO4, HCl, H3BO3, HgO, K2SO4, air destilata, larutan NaOH-Na2SO3,
heksana, larutan NaOH, larutan K2SO4 10%, KI, HCl, AgNO3, Na2CO3, Na2S2O3,
reagen Folin Ciocalteu, etanol (teknis), dan alkohol 95%.
Alat yang digunakan adalah baskom, pisau, oven, cabinet dryer,
spektrofotometri, tabung ependorf, labu kjeldahl, sokhlet, cawan porselen,
Erlenmeyer, Bunsen, Chromameter (Minolta), dan Brabender Amylograph (Unit).
Metode Penelitian
Penelitian tahap awal dilakukan pengambilan sampel buah lindur. Lindur
diambil dari mangrove pantai utara Jawa yang berada di Kecamatan Wonorejo
Surabaya Jawa Timur. Buah lindur yang digunakan dalam proses penepungan
adalah buah lindur yang sehat dan tidak cacat, berwarna hijau, dan umur panen
2 bulan. Buah lindur dilakukan penyortiran sehingga didapat ukuran yang
seragam. Buah lindur yang telah disortir, kemudian direbus dengan menggunakan
panci dengan suhu air mendidih 100°C selama 5 menit. Buah yang telah direbus
kemudian dikupas hingga bersih. Buah lindur yang sudah bersih direndam dengan
air selama 12 jam dengan pergantian air sampai air rendaman bening. Buah lindur
yang telah bersih, dicacah hingga merata. Cacahan lindur dikeringkan dengan
menggunakan sinar matahari sampai kering. Buah lindur yang telah kering,
digiling dan diayak dengan menggunakan mesin giling tepung dengan ukuran
100 mesh. Tepung lindur yang dihasilkan dianalisis secara fisik kimia yang
meliputi warna, logam berat, proksimat, tanin, HCN, amilosa, total gula, dan

8

amilografi. Diagram alir Proses pembuatan tepung buah lindur dapat dilihat pada
Gambar 2.
Buah lindur

Penyortiran

Perebusan dengan suhu 100°C selama 5 menit

Pengupasan kulit

Perendaman dengan air selama 12 jam*

Pencacahan
Analisis fisik
Pengeringan dengan sinar matahari sampai kering*

Penggilingan dengan mesin giling dan pengayakan ukuran 100 mesh*

Tepung Buah lindur

Gambar 2 Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Lindur
(*Modifikasi Sarofa et al 2012)

-Warna
-Daya serap air
-Amilografi
dan viskositas
Analisis kimia
-proksimat
-Total gula
-Tanin
-HCN
-Amilosa
-Amilografi

Prosedur analisis
Analisis Fisik
Analisis warna (Firmansyah dan Adawiyah 2003)
Warna tepung ditentukan menggunakan alat chromameter CR-310. Warna
tepung dibaca dengan detektor digital, lalu angka hasil pengukuran akan terbaca
pada layar. Beberapa jenis kombinasi sistem warna dapat disajikan oleh alat ini.
Dalam penelitian ini diukur nilai-nilai L, a, dan b dengan ditambah nilai hº (hue).

9

L menunjukkan kecerahan dengan kisaran antara 0–100, nilai a merupakan warna
campuran merah-hijau dengan a positif (+) antara 0–100 untuk warna merah dan a
negatif (-) antara 0–(-80) untuk warna hijau, nilai b merupakan warna campuran
kuning-biru dengan b positif (+) antara 0–70 untuk warna kuning dan b negatif
antara 0–(-80) untuk warna biru, sedangkan nilai °(hue) menyatakan parameter
kisaran warna.
Analisis Kimia
Analisis logam berat (APHA 1998)
Penentuan kandungan logam berat terbagi atas beberapa tahap yaitu
destruksi, pembacaan absorbans contoh, dan perhitungan kandungan logam berat.
Metode analisis dilakukan berdasarkan APHA (1998). Tahap destruksi dilakukan
menurut Cantle (1982) dan pembacaan adsorban menggunakan AAS.
Analisis HCN (Sudharmadji et al. 1989)
Sampel ditimbang sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam labu perebus dan
ditambahkan aquades sebanyak 100 mL. Labu ditutup rapat dan dibiarkan selama
2 jam, setelah itu ditambah air lagi sebanyak 100 mL. Labu dihubungkan dengan
steam destilation dan destilat ditampung dalam labu erlenmeyer yang telah diisi
dengan 20 mL NaOH 2,5%. Setelah destilat mencapai 150 mL, destilasi
dihentikan. Destilat ditambah 8 mL NH4OH, 5 mL KI 5% dan dititrasi dengan
larutan AgNO3 0,02 N sampai terjadi kekeruhan (kekeruhan mudah terlihat bila
dibawah erlenmeyer diletakkan kertas karbon hitam). Kadar HCN dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Kadar HCN (ppm) = 1000/bobot contoh x mL titran x 0,54
Analisis daya serap air (Beuchat 1977)
Sampel sebanyak 0,5 g ditambah 5 mL akuades diaduk selama 30 detik.
Sampel didiamkan selama 30 menit dalam ruangan. Sebanyak 0,15 mL sampel
tersebut dimasukkan ke dalam tabung eppendorf. Sampel tersebut disentrifugasi
selama 30 menit pada suhu kamar dengan kecepatan 5000 rpm. Setelah terbentuk
suspensi, cairan yang tidak larut dalam air atau minyak dipipet dan ditimbang (A).
Rumus yang digunakan yaitu:
Daya serap air (%) = (0,15 mL-A)/0,15mL x 100
Analisis tanin (AOAC 1995)
Sebanyak 0,5 g sampel diekstraksi dengan 10 mL dietil eter selama
20 jam, kemudian disaring dan residu yang diperoleh dididihkan dengan 100 mL
akuades selama 2 jam, kemudian didinginkan dan disaring. Ekstrak yang
diperoleh ditambahkan dengan akuades hingga volume ekstrak 100 mL. Sebanyak
0,1 mL ekstrak dengan 0,1 mL reagen Folin Ciocalteu dan divortex, ditambahkan
dengan 2 mL Na2CO3 dan divortex lagi. Absorbansi dibaca pada =760 nm
setelah diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar. Hasil yang diperoleh

10

diplotkan terhadap kurva standar asam tanat yang dipersiapkan dengan cara yang
sama.
Analisis kadar karbohidrat Luff schrool (AOAC 1995)
Prinsip analisis karbohidrat yaitu glukosa hasil hidrolisis karbohidrat akan
mereduksi larutan luff, Cu2O dalam luff yang direduksi menjadi Cu2O sampai
berwarna merah bata. Kelebihan atau sisa Cu2O dititrasi secara iodometri.
Selanjutnya larutan Luff schrool dibuat dengan cara melarutkan CuSO45H2O
sebanyak 25 g kedalam 50 mL air suling, 50 gram asam sitrat dilarutkan dalam
50 mL air suling dan 388 g Na2CO2 dan H2O dilarutkan ke dalam 400 mL
air suling. Larutan asam sitrat ditambahkan sedikit demi sedikit pada larutan
soda. Selanjutnya campuran ditambahkan larutan terusi dan diencerkan hingga
100 mL ke dalam labu ukur sebanyak 2 g sampel kering, lalu dimasukkan
sebanyak 200 mL HCl 3% serta batu didih. Labu erlenmeyer dipasang pada
pendingin tegak dan dihidrolisis selama 3 jam, larutannya didinginkan dan
dinetralkan dengan NaOH dan indikator fenolftalin. Larutan dimasukkan ke
dalam labu ukur 500 mL, ditambahkan dengan air suling sampai pada tanda tera
kemudian disaring. Larutan sebanyak 10 mL dipipet ke dalam labu erlenmeyer
250 mL dan ditambahkan larutan luff 25 mL serta 15 mL air suling, sedangkan
untuk pembuatan blanko dibuat larutan tanpa menambahkan sampel selanjutnya
dianalisis. Larutan yang ada dalam labu erlenmeyer dipasang pada pendingin
balik dan dididihkan selama 10 menit setelah itu larutan tersebut langsung
didinginkan pada air akuades yang mengalir. Larutan KI 30% dan 25 mL H2SO4
25% kedalam larutan yang telah didinginkan. Proses selanjutnya larutan dititrasi
sampai reaksi terhenti kemudian dititrasi lagi dengan larutan Na2S2O3 sampai
larutan berwarna biru muda. Kadar karbohidrat dapat dihitung berdasarkan rumus:
Kadar karbohidrat = G x P x 100%
g
Keterangan:
G = glukosa setara dengan mL Na2S2O3 yang dipergunakan untuk titrasi (mg)
setelah gula diperhitungkan
P = Pengenceran
g = Bobot sampel (mg)
Pengukuran sifat amilografi (AOAC 1995)
Pengukuran sifat amilografi tepung dilakukan menggunakan alat
Brabender Amylograph. Sampel ditimbang sebanyak 45 g (bk) tepung dilarutkan
dengan 450 mL akuades di dalam bowl alat. Lengan sensor dipasang dan
dimasukkan ke dalam bowl. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20°C.
Switch diatur agar suhu naik 1,5°C/menit. Alat kemudian dinyalakan. Begitu
suspensi mencapai suhu 30°C, alat pencatat diatur agar menyentuh kertas skala
amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95°C, mesin kemudian dimatikan.
Parameter yang diamati meliputi: suhu awal gelatinisasi yaitu suhu saat kurva
mulai naik, suhu puncak gelatinisasi (suhu saat puncak kurva tercapai), dan
viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi yang dinyatakan dalam BU.

11

Analisis amilosa (Apriyantono et al. 1989)

Prinsip pengukuran amilosa adalah berdasarkan pembentukan warna biru
akibat reaksi amilosa dengan iod yang diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 620 nm.
Pembuatan kurva standar
Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg, lalu dimasukkan ke dalam labu
takar 100 mL, lalu ditambahkan etanol 1 mL dan NaOH 1 N sebanyak 9 mL.
Larutan standar didiamkan selama 24 jam dan ditambahkan akuades hingga tanda
tera. Larutan standar dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 mL lalu
dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Masing-masing larutan ditambahkan
asam asetat 1 N sebanyak 0,2;0,4; 0,6; 0,8; dan 1 mL, lalu ditambahkan larutan
iod sebanyak 2 mL. Larutan ditambahakan akuades hingga tanda tera, dikocok,
lalu didiamkan selama 20 menit, lalu diukur intensitas warnanya dengan
spektofotometer pada =620 nm.
Penetapan sampel
Sampel sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, dan
ditambahkan 1 mL etanol dan 9 mL NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel
didiamkan selama 24 jam dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sampel
didipet 5 mL, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, dan ditambahkan
sebanyak 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod. Larutan ditambahkan
akuades hingga tanda tera, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur
intensitas warnanya dengan spektofotometer pada =620 nm. Kadar amilosa
dihitung berdasarkan persaman garis yang diperoleh dari kurva standar.
Analisis Proksimat
Analisis proksimat dilakukan untuk melihat kandungan gizi dalam tepung
lindur. Pengujian proksimat meliput kadar air dengan oven, protein dengan
kjedahl, abu dengan trigivonometri, kadar lemak dengan sokhlet, dan karbohidrat
dengan by difference.
Kadar air (AOAC 2005)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah cawan
porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Cawan tersebut
diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai
dingin kemudian ditimbang. Sebanyak 5 g contoh dimasukkan ke dalam cawan
tersebut, dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5-8 jam atau hingga
beratnya konstan. Setelah selesai proses, cawan tersebut didinginkan dalam
desikator ±30 menit dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang
kembali.

12

Perhitungan kadar air :
% Kadar air = B - C x 100%
B-A
Keterangan :
A: berat cawan kosong (g)
B: berat cawan + sampel awal (g)
C: berat cawan + sampel kering (g)
Kadar lemak (AOAC 2005)
Sampel seberat 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Sampel yang telah dibungkus
dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan
disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam
ruang ekstraktor tabung sokhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung
ekstraksi dipasang pada alat destilasi sokhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40ºC
dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada
dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Saat destilasi
pelarut akan ditampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak
kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven
pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya
konstan (W3).
Perhitungan kadar lemak:
% Kadar lemak = (W3- W2) x 100%
W3
Keterangan : W1
= Berat sampel (g)
W2
= Berat labu lemak kosong (g)
W3
= Berat labu lemak dengan lemak (g)
Kadar protein (AOAC 2005)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 g,
kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan
sebanyak 0,25 g selenium dan 3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi pada suhu
410oC sampai larutan jernih lalu didinginkan, kemudian ditambahkan 50 mL
akuades dan 20 mL NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi. Hasil
destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL
asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red
yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 200 mL maka
proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko
dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% N = (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100%
Mg contoh x faktor koreksi alat *
% kadar protein
= %N x faktor konversi*
*) Faktor koreksi alat = 2,5
*) Faktor konversi
= 6,25

13

Kadar abu (AOAC 2005)
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu
105oC, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang hingga
didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan
pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi.
Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600oC sampai
pengabuan sempurna, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
% Kadar abu = C - A x 100%
B-A
Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (g)
B = Berat cawan dengan sampel (g)
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)
Analisis kadar serat kasar (AOAC 2005)
Sampel tepung lindur ditimbang sebanyak 2-4 g kemudian sampel
dibebaskan dari lemak dengan cara ekstraksi dengan sokhlet. Sampel dituangkan
kedalam pelarut organik sebanyak 3 kali dan keringkan sampel, kemudian
dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan 50 mL H2SO4 1,25%,
kemudian didihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak dan ditambahkan
50 mL NaOH 3,25%, kemudian dididihkan selama lagi selama 30 menit. Sampel
dalam keadaan panas disaring dengan corong bucher yang berisi kertas saring tak
berabu (Whatman 54,41) yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya.
Endapan yang terdapat dikertas saring dicuci berturut-turut dengan H2SO4 1,25%
panas, air panas dan etanol 96%. Kertas saring beserta isinya diangkat dan
dimasukkan kedalam kotak timbangan yang telah diketahui bobotnya, kemudian
dikeringkan pada suhu 105ºC dan didinginkan serta ditimbang beratnya hingga
konstan. Kadar serat kasarnya jika melebihi dari 1%, maka kertas saring beserta
isinya diabukan dan ditimbang beratnya hingga konstan. Kadar serat kasar dapat
ditentukan dengan rumus berikut.
Serat kasar kurang dari 1%

Serat kasar lebih dari 1%

Analisis karbohidrat (AOAC 2005)
Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar
lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Nilai
karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya

14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakterstik Fisik Tepung Buah lindur
Hasil pengujian warna tepung buah lindur dapat dikatan cerah karena nilai
kecerahannya hampir mendekati 100. Proses pembuatan tepung yang baik dapat
memperbaiki tingkat kecerahan tepung lindur. Tepung lindur yang dihasilkan
pada penelitian ini lebih baik dari pada hasil penelitian Seknun (2012) dan
Sulistyawati et al. (2012) yang bernilai 76,87 dan sebesar 54,70 (Tabel 3).
Menurut Hutching (1999) warna tepung lindur adalah kuning karena °Hue bernilai
76,37. Warna kuning menurut tabel hutching jika ºHue bernilai 54-90. Warna pada
tepung lindur dipengaruhi oleh tanin. Tanin memberikan warna kecoklatan pada
tepung buah lindur (Hagerman 2002). Tepung buah lindur dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3 Tepung buah lindur
Daya serap air merupakan salah satu sifat fungsional penting yang dapat
menunjukkan adanya interaksi antara air dengan komponen makronutrien, yaitu
karbohidrat dan protein yang terdapat pada produk pangan (Santoso et al. 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap tepung lindur yaitu 0,81 mL/g,
ini berarti setiap 1 g bahan bisa menyerap air sekitar 0,81 mL (Tabel 3). Daya
serap air dipengaruhi oleh kadar air bahan dan rasio antara amilosa dengan
amilopektin (Wirakartakusumah dan Febriyanti 1994). Kemampuan menyerap air
yang besar pada pati diakibatkan karena molekul pati mempunyai jumlah gugus
hidroksil yang sangat besar (Winarno 2002).
Tabel 3 Hasil analisis warna L/a/b tepung buah lindur
Tepung
Lindur

L

Daya
serap air
(mL/g)
97,83±0,76 +1.83±0,02 +7,55±0,05 76,37 Kuning 0,81±0,2

Hasil
pengujian
Seknun
76,87
(2012)
Sulistyawati 54,70
et al (2012)

+a

+b

°Hue

Warna

+4,72

+20,47

77,01 Kuning

+16,30

+17,55

47,09 Kuning 0,96
merah

-

Keterangan: L= light; a= redness; b= yellowness ° Hue=angka warna menurut tabel Hutching

15

Profil gelatinisasi pati dengan uji amilografi Brabender menunjukkan
bahwa suhu awal gelatinisasi tepung buah lindur dimulai pada suhu 69oC dengan
waktu selama 26 menit. Viskositas puncak tepung buah lindur berada pada
630 BU dengan suhu puncak berada pada 82,5°C. Tepung sagu mempunyai suhu
awal gelatinisasi selama 25 menit pada suu 69,5°C. Viskositas puncak tepung sagu
berada pada suhu 73,5°C dengan viskositas puncak 520 BU. Profil Gelatinisasi
pati tepung lindur dapat dilihat pada Tabel 4
Tabel 4 Profil gelatinisasi tepung lindur
Amilografi
Waktu gelatinisasi (menit)
Suhu gelitinasi (°C)
Waktu puncak (menit)
Suhu peak puncak (°C)
Viskositas puncak (BU)
Viskositas 93 °C (BU)
Viskositas 93 °C setelah 20
menit (BU)
Viskositas 50 °C (BU)
Set back (BU)

Tepung lindur
26±0,01
69±0,25
35±0,01
82.5±0,04
630±0,05
480±0,01
330±0,04

Tepung sagu*
25
67,5
29
73,5
520

780±0,45
(+)450±0,55

480
(-)40

-

Keterangan: *Richana (2010)

Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati mulai
mengembang. Suhu awal gelatinisasi tepung lindur adalah 69°C. Menurut hasil
penelitian Banks et al. (1973), granula pati yang berukuran kecil lebih resisten
dibandingkan granula yang berukuran besar. Penyerapan semakin intensif seiring
dengan meningkatnya suhu pemanasan sehingga menyebabkan granula membesar
hingga pada suatu titik pembesaran granula pati bersifat irreversible (tidak dapat
kembali ke bentuk semula) (Winarno 2008). Semakin meningkat suhu pemanasan,
semakin meningkat pengembangan granula. Pembesaran granula pati
menyebabkan peningkatan viskositas larutan pati secara bertahap (Parker 2003).
Pati mencapai maksima menyebabkan granula pati pecah sehingga pemanasan
lebih lanjut dapat menurunkan viskositas larutan pati dan kurva amilogram
membentuk sebuah puncak viskositas (Parker 2003). Adanya fraksi amilosa dalam
granula pati membatasi perkembangan granula dan mempertahankan integritas
granula. Semakin tinggi kadar amilosa pati, semakin kuat ikatan intramolekul
(Banks et al. 1973). Viskositas tepung buah lindur mengalami penurunan saat
kondisi dipertahankan pada suhu 93°C selama 20 menit yaitu 330 BU, tetapi
viskositas semakin meningkat saat suhu diturunkan menjadi 50°C yaitu 780 BU.
Hasil amilografi menunjukkan bahwa viskositas puncak berada pada nilai
630 BU, sedangkan untuk suhu viskositas puncak tepung buah lindur berada pada
82,5°C.
Kecenderungan molekul-molekul pati di dalam untuk beretrogradasi
dicerminkan oleh nilai setback. Retrogradasi pati didefinisikan sebagai peristiwa
penggabungan kembali (re-asosiasi) molekul-molekul pati yang telah
tergelatinisasi. Makin besar nilai setback, makin besar pula kecenderungannya
beretrogradasi. Viskositas puncak menggambarkan kemampuan pati untuk
mengembang dengan bebas sebelum mengalami breakdown. Nilai viskositas

16

puncak dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin yang terkandung.
Semakin tinggi kadar amilosa suatu bahan, maka viskositas puncaknya semakin
rendah, hal ini disebabkan oleh pengikatan amilosa dengan lemak yang
membentuk kompleks pengembangan granula terhambat. Sebaliknya, peningkatan
kadar amilopektin akan meningkatkan nilai viskositas puncak (Sang et al. 2008).
Pengaruh kadar amilosa dan viskositas maksimum dapat menentukan suhu
optimasi ekstrusi pada proses pembuatan beras analog.
Karakteristik Kimia Tepung Buah Lindur
Logam berat merupakan jenis logam misalnya merkuri, krom, cadmium,
arsen, dan timbal dengan berat molekul yang tinggi. Analisis logam berat bagi
tepung buah lindur sangat penting yaitu untuk menentukan tingkat keamanan
tepung tersebut. Tepung buah lindur mengandung Pb yang relatif kecil yaitu
kurang dari 0,01. Hasil Pb masih jauh dari ambang batas yang telah ditetapkan
oleh BSN tentang cemaran bahan pangan dengan nilai Pb 0,1. Tepung buah lindur
juga mengandung Cu, Hg, Sn, dan As yang cukup kecil dengan nilai masingmasing