Terapi Oksigen Dan Toksisitas

(1)

SARI PUSTAKA I

TERAPI OKSIGEN DAN TOKSISITAS

Dr. Syamsul Bihar

Pembimbing : Dr. Noni N. Soeroso, SpP

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS. HAJI ADAM MALIK

MEDAN


(2)

Lembaran pengesahan

LEMBARAN PENGESAHAN Sari pustaka yang berjudul

TERAPI OKSIGEN DAN TOKSISITAS

Dibacakan oleh dr. Syamsul Bihar

Telah dilakukan koreksi dan perbaikan sesuai dengan hasil koreksi dari pembimbing

Diketahui Medan, 05 Januari 2009

SPS Departemen Pulmonologi dan Pembimbing

Ilmu Kedokteran Respirasi

Dr. Pantas Hasibuan, Sp. P

NIP : 140 160 382 NIP : 132 306 864


(3)

DAFTAR ISI

Pendahuluan ... 1

Mekanisme pernapasan ... 2

Defenisi ... 3

Indikasi terapi oksigen ... 4

Deteksi Hipoksemia... 5

Metode pemberian oksigen... 6

Evaluasi dan monitoring Terapi Oksigen... 13

Toksisitas Terapi Oksigen... 13

Defenisi... 13

Patofisiologi... 14

Keracunan oksigen... 16

Pencegahan dan Pengobatan Keracunan Oksigen... 17

Kesimpulan ... 19


(4)

Pendahuluan

Dengan ditemukan suatu molekul oksigen oleh Joseph Piestley dan pada tahun 1775 Lavoiser memperlihatkan pertukaran gas pada paru-paru, inhalasi oksigen kemudian menjadi salah satu terapi untuk berbagai penyakit. Lebih dari 70 tahun kemudian dengan ditemukannya ventilasi mekanik, unit pelayanan intensif yang moderen dan pemberian oksigen jangka lama dirumah, maka oksigen menjadi luas dipergunakan.

Oksigen adalah salah satu bahan farmakologik yang banyak dipakai untuk pasien dengan kelainan kardiopulmoner. Walaupun telah digunakan sejak lebih kurang 1 abad yang lalu, tetapi masih banyak kontroversi tentang pemakaian oksigen ini dan belum banyak tenaga medis yang mengerti tentang terapi oksigen.

1,3

Oksigen memiliki batas terapeutik, dan pada manusia serta hewan percobaan yang terpapar dengan FiO

1

2 > 60 % dapat menyebabkan cedera paru. Keracunan oksigen dapat terjadi karena peningkatan oksigen radikal yang menyerang dan memodifikasi seluler makromolekul termasuk protein dan asam nukleik.

Tekanan atmosfir oksigen normal mencapai 21 % dari udara yang kita hirup, hal ini ideal untuk kebutuhan tubuh kita. Nilai yang lebih tinggi dianggap sebagai suplemen oksigen dan dapat menjadi racun pada dosis yang lebih tinggi.

3,4

Sama seperti obat, oksigen juga mempunyai keuntungan, indikasi, dosis pemberian dan komplikasi.

3

Bebarapa kata kunci pada terapi oksigen adalah : 1

• Siapa yang memerlukan terapi oksigen ?

• Bagaimana cara pemberian oksigen ?


(5)

Mekanisme pernafasan

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai terapi oksigen dan toksisitas, berikut kita akan membahas sedikit mengenai sistem pernafasan, proses yang sangat penting dalam tubuh kita. Fungsi sistem pernafasan yang utama adalah untuk pertukaran gas dan mengatur keseimbangan asam basa.

Pernafasan bermula dari pengaliran udara dari luar ke dalam paru-paru yang ditentukan oleh perbedaan antara tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan udara atmosfir. Suatu pengertian umum, yakni tekanan dinyatakan negatif, bila tekanan udara dalam rongga dada lebih rendah dari tekanan udara atmosfir, dan positif apabila tekanan udara dalam rongga dada lebih tinggi dari tekanan udara atmosfir. Oleh karena itu peranan kontraksi dan relaksasi dari otot-otot pernafasan, terutama diafragma sangatlah penting dalam penentuan tekanan udara negatif maupun positif, sehingga udara dapat mengalir dari lingkungan luar ke dalam paru-paru ataupun sebaliknya.

Ventilasi merupakan suatu proses pertukaran udara dari saluran pernafasan ke udara luar, yang ditentukan oleh volume udara (kuantitas) dan jenis gas yang mengalami pertukaran (kualitas). Secara kuantitas, jumlah udara yang masuk pada saat inspirasi sama dengan jumlah udara yang keluar saat ekspirasi. Akan tetapi, secara kualitas terdapat perbedaan komposisi, yakni udara yang masuk saat inspirasi lebih banyak mengandung O

2

2 dan udara yang dikeluarkan saat ekspirasi lebih banyak mengandung CO2.

Bila CO

2,3

2 yang dikeluarkan oleh paru lebih besar dari CO2 yang dihasilkan jaringan, maka akan terjadi penurunan kadar CO2 dalam darah. Keadaan ini disebut dengan hiperventilasi yang dapat menimbulkan alkalosis respiratorik.

Bila CO

2,4

2 yang dikeluarkan oleh paru lebih kecil dari yang dihasilkan oleh jaringan, maka akan terjadi peningkatan kadar CO2

Bila terjadinya hambatan pada kapiler alveolus, yakni terhambatnya pertukaran gas dalam alveolus.

dalam darah dan keadaan ini disebut dengan hipoventilasi, yang dapat menimbulkan asidosis respiratorik.


(6)

Difusi merupakan proses pengangkutan dan pemakaian oksigen dari alveolus melalui peredaran darah ke jaringan tubuh, serta pengangkutan dan pengeluaran CO2 dari jaringan melalui peredaran darah ke alveolus.

Pengangkutan O

2

2 dari alveolus ke dalam peredaran darah didasarkan atas perbedaan parsial O2 antara alveolus dan pembuluh darah kapiler. Oksigen diangkut oleh hemoglobin (Hb), yag ditandai dengan kurva disosiasi O2, yang menggambarkan hubungan antara tekanan parsial O2 dengan presentasi Hb, yang dipegaruhi konsentrasi CO2, temperatur, elektrolit, pH.Pengangkutan O2 dalam darah ini berikutnya akan dibawa ke jaringan tubuh.

Sementara itu, pada proses pengangkutan CO

2

2 dari jaringan tubuh ke dalam darah kembali ditentukan oleh proses fisika dan kimia. Secara fisika berdasarkan perbedaan tekanan parsial CO2 dalam jaringan dan pembuluh darah kapiler. Di dalam jaringan, tekanan CO2 < 45 mmHg, sedangkan di dalam darah kapiler < 40 mmHg, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang mengakibatkan difusi CO2 dari jaringan ke pembuluh darah kapiler. Secara kimiawi, pengangkutan CO2 dari jaringan ke dalam pembuluh darah kapiler tergantung pada reaksi Hb dengan CO22,3

Defenisi

Oksigen merupakan gas yang vital bagi kehidupan manusia,oleh karena bila tidak ada konsumsi oksigen dalam beberapa menit, dapat menyebabkan kematian. Manusia yang mempunyai paru-paru yang sehat hanya membutuhkan oksigen sebanyak yang tersedia di atmosfir, tidak lebih dan tidak kurang. Oksigen (O2) merupakan salah satu bahan pengobatan yang banyak dipakai pada pasien-pasien dengan kelainan paru maupun jantung. Pada orang yang sakit dengan kadar oksigen darah yang rendah memerlukan oksigen dalam jumlah lebih besar dari normal yang kita sebut dengan suplemen oksigen ataupun terapi oksigen.1,4


(7)

Indikasi terapi oksigen

Terapi oksigen telah digunakan secara luas, bahkan pada saat ini oksigen merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan di rumah sakit. Indikasi terapi oksigen yang paling utama adalah pada pasien yang mengalami hipoksemia. Indikasi lainnya adalah trauma berat, infark miokard akut, syok, sesak nafas, keracunan gas CO, pasca anestesi, dan keadaan-keadaan akut yang diduga terjadi hipoksemia. Tujuan utama terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90%.

Adapun hipoksemia merupakan penurunan tekanan parsial oksigen (PaO 1

2) dalam darah ataupun penurunan saturasi oksigen (SaO2). Pada orang dewasa, anak dan bayi berusia lebih dari 28 hari dikatakan hipoksemia bila PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90%, sementara pada neonatus bila PaO2 < 50 mmHg atau SaO2 < 88%.

Mekanisme terjadinya hipoksemia :

1

1. Gangguan ventilasi-perfusi (V/Q mismatch). 1,2

Gangguan ventilasi-perfusi ini merupakan penyebab tersering terjadinya hipoksemia. Dapat terjadi pada penyakit paru obstruktif (PPOK, asma, emfisema, bronchitis kronik), retensi sputum, penyakit kardiovaskuler (infark miokard, gagal jantung kongestif).

Hipoksemia karena gangguan ini biasanya memberikan respon yang baik dengan pemberian oksigen dosis kecil.

2. Hipoventilasi alveolar.

Ditandai dengan peningkatan tekanan CO2 arteri (PaCO2

3. Shunt.

> 45 mmHg). Dapat terjadi pada overdosis obat, PPOK eksaserbasi akut. Dengan pemberian oksigen dapat mengatasi hipoksemia tetapi tidak memperbaiki ventilasi.

Ketika pembuluh kapiler paru melewati alveolus yang tidak berventilasi, maka darah dalam kapiler tetap dalam keadaan deoksigenasi. Darah ini akan bercampur dengan darah yang teroksigenasi, sehingga menimbulkan hipoksemia. Penurunan PaO2 tergantung besarnya shunt. Dapat dijumpai pada pneumonia, ARDS, edema paru dan emboli paru. Hipoksemia yang disebabkan shunt tidak mudah diatasi. Dengan pemberian


(8)

oksigen, yang memerlukan dosis tinggi serta terapi intervensi untuk mengatasi alveolus yang kolaps (PEEP,CPAP), mengatasi atelektasis (IPPB) atau memperbaiki “cardiac performance” pada edema paru kardiogenik (pemberian diuretik, inotropik).

4. Gangguan difusi.

Terjadi penebalan pada daerah antara alveolus dan kapiler. Dijumpai pada edema interstisial, fibrosis interstisial, sarkoidosis, asbestosis, penyakit kolagen vaskular.

Hipoksemia karena gangguan difusi dapat diatasi dengan pemberian oksigen. 5. Penurunan tekanan oksigen inspirasi.

Dapat terjadi pada orang yang berada ditempat ketinggian, gangguan fungsi hemoglobin (anemia, perdarahan).

Deteksi Hipoksemia

• Gejala klinik.

1

Ada beberapa gejala klinis yang dapat kita temukan pada pasien-pasien yang mengalami hipoksemia, diantaranya :

 Sianosis : dapat terlihat bila SaO2

 Kelelahan, disorientasi, letargi dan koma.

< 85% namun tidak terlihat pada penderita dengan anemia.

 Takipnoe.

 Takikardia ataupun bradikardia.  Aritmia.

 Hipertensi atau hipotensi.  Polisitemia.

 Clubbing finger.

• Pemeriksaan analisa gas darah.

Pemeriksaan ini merupakan “gold standard” untuk mendeteksi keadaan hipoksemia. Dari AGDA dapat dilihat nilai PaO2 dan SaO2. Saturasi oksigen adalah jumlah oksigen yang dapat berikatan dengan hemoglobin.


(9)

Pulse oxymetry.

Pulse oxymetry dapat dipakai untuk melihat saturasi oksigen, walaupun mempunyai keterbatasan. Keakuratan pulse oxymetry cukup baik bila SaO2 > 80%, tetapi bila SaO2

Transcutaneous partial pressure of oxygen. < 80% akurasi berkurang.

Transcutaneous partial pressure of oxygen sering digunakan di PICU. Pada orang dewasa Transcutaneous partial pressure of oxygen lebih sering digunakan dalam monitor hasil bedah vaskular dibandingkan untuk melihat tekanan oksigen.

Metode pemberian oksigen

Oksigen harus diberikan dengan cara yang sederhana dan fraksi inspirasi oksigen (FiO2) yang serendah mungkin yang dapat mempertahankan PaO2 > 60 mmHg dan SaO2 > 90%. Peningkatan PaO2 hanya memberikan dampak kecil pada penigkatan oksigenasi, tetapi akan meningkatkan resiko keracunan oksigen.

Ada beberapa rumus yang dapat kita pergunakan untuk menentukan kebutuhan konsentrasi O

1

2 1. PAO

, yaitu :

2 = (PB - PH2O) x FiO2 – (PaCO2 = (760- 47) x FiO

astrup x 1,25) 2 – (PaCO2 astrup

= 713 x FiO

x 1,25) 2 – (PaCO2 astrup

2. AaDO

x 1,25) 2 = PAO2 – PaO

3. FiO

2 Astrup 2 = AaDO2

760

+ 100 (150) x 100 %

4. PaO2 astrup = PaO2 PAO

yang diinginkan

2(1) PAO2

yang baru

Misalkan : Seorang lelaki, usia 60 tahun, dating ke RSHAM dengan keluhan utama sesak nafas, dilakukan pemeriksaan analisa gas darah (AGDA), dengan hasil PaO2 55 mmHg, PaCO2 32 mmHg, maka konsentrasi O2 dalam alveolus adalah dengan memakai rumus no 4, sebelumnya kita mencari PAO2

PAO

memakai rumus 1 : 2 = 713 x FiO2 – (PaCO2 astrup x 1,25)


(10)

= 713 x 0,24 – ( 32 x 1,25) = 171,12 – 40

= 131,12 PaO2

PaO

yang diinginkan pada usia 60 tahun dapat kita gunakan rumus : 2

= 109 – 0,43 (60) + 4 = 109 – 0,43 (usia) + 4

= 109 – 25,8 + 4 = 87,2

Setelah itu kita masukkan hasil yang kita dapat ke rumus no 4 : PaO2 astrup = PaO2

PAO

yang diinginkan

2(1) PAO2 yang baru

55 = 87,2 131,12 PAO2 yang baru

PAO2 yang baru = 131,12 x 87,2 55

= 207,88

Maka, untuk menentukan berapa konsentrasi yang seharusnya pada pasien ini, kita dapat memakai rumus 1 kembali :

PAO2 = 713 x FiO2 – (PaCO2 astrup 207,88 = 713 x FiO

x 1,25) 2

207,88 = 713 x FiO

– (32 x 1,25) 2

247,88 = 713 x FiO – 40

FiO

2 2 = 247,88

713


(11)

Maka kita dapat memberikan terapi oksigen sesuai dengan tabel 1dibawah ini

Alat yang digunakan O2 (LTR/MENIT) FiO2

Kanula Hidung 1-2 0,21 – 0,24

2 0,23 – 0,28

3 0,27 – 0,34

4 0,31- 0,38

5 – 6 0,32 – 0,44

Masker simple 5 – 6 0,30 – 0,45

7 – 8 0,40 – 0,60

Masker Rebreathing 7 0,35- 0,75

10 0,65 – 1,00

Masker Non Rebreathing 4 – 10 0,40 – 1,00

Venturi 4 – 6 0,24 – 0,28

8 – 10 0,35 – 0,40

8 – 12 0,50

Tabel 1. Konsentrasi oksigen berdasarkan alat yang digunakan1

Ada 2 klasifikasi alat untuk pemberian oksigen berdasarkan perbedaan FDO2 dan FiO FDO

2.

2 merupakan konsentrasi oksigen yang dimasukkan ke jalan nafas dan FiO2 merupakan konsentrasi oksigen yang sebenarnya masuk ke dalam paru. Adapun kedua klasifikasi tersebut adalah :


(12)

1. Variable performance devices (low-flow devices).

Gas yang masuk lebih sedikit dibandingkan yang dihirup pasien. FiO 1

2 lebih kecil dibandingkan dengan FDO2

o Kanula hidung. (gambar 1)

dan bervariasi tergantung dari gas yang keluar dari alat dan pola pernafasan pasien. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

Kanula hidung merupakan suatu pipa plastik lunak dengan ujung buntu yang dikaitkan ke telinga dan dibawah leher. Bentuk ini dapat dipakai untuk dewasa, anak, dan bayi. Kanula dihubungkan dengan pipa kecil dan disambungkan ke humidifier. Kecepatan aliran oksigen bervariasi antara 2-6 l/menit. FiO2 0,28-0,4 dengan kanula hidung biasanya tidak perlu pelembab apabila kecepatan aliran oksigen dibawah 2 l/menit, akan tetapi apabila kecepatan diatas 2 l/menit diperlukan pelembab. Hal ini untuk mencegah terjadinya iritasi karena cepatnya aliran oksigen tersebut.


(13)

o Masker, yang terdiri dari:

Masker digunakan apabila level oksigen yang diberikan lebih tinggi dibandingkan kanula hidung, dimana masker hidung adalah perangkat dari plastik ringan, pemakaiannya menutupi hidung dan mulut.

 Masker simpel. (gambar 2)

Masker digunakan pada wajah dengan mengikatkan pita kepala plastik, beberapa tipe menyediakan alat pengikat dari logam yang lunak sesuai dengan bentuk hidung. Pemakaian masker harus dijamin kuat tetapitidak menyebabkan tekanan yang menyakitkan pada wajah terutama bila menekan tulang pipi.

Kecepatan aliran oksigen bervariasi antara 5-10 l/menit dan FiO2 0,3-0,6

 Masker reservoir, terbagi atas :

•Masker rebreathing. (gambar 3)

•Masker nonrebreathing. (gambar 4)


(14)

Perbedaan antara kedua jenis masker reservoir diatas adalah pada pemakaian katup., pada masker nonrebreathing dihubungkan dengan katup/klep diantara reservoir dan masker.

Dengan adanya katup/klep pada waktu ekspirasi udara dapat keluar melalui lubang samping antara katup dan reservoir, sehingga saat inspirasi hanya oksigen yang dihisap dari reservoir. Masker digunakan pada wajah dengan mempertahankan posisi wajah, batang logam menjadi kunci pada hidung, tali elastik menahan masker pada wajah. Kecepatan aliran oksigen 10-12 l/menit dan FiO2 0,35-0,10.

2. Fixed performance devices (high-flow devices).

Gas yang masuk stabil dan sesuai dengan yang di hirup pasien (FiO 1

2 sama dengan FDO2

o Masker venturi.(gambar 5)

). Yang termasuk dalam kelompok ini :

Konsentrasi oksigen terbentuk dalam masker dengan udara didalamnya, dengan cara ini oksigen diberikan dengan angka pasti. Alat yang digunakan Gambar 3. Masker rebreathing13 Gambar 4. Masker nonrebreathing12


(15)

o CPAP (continous positive airway pressure). (gambar 6)

Sistem CPAP dengan regulator digunakan melalui sebuah flow meter menuju masker dan diakhiri dengan sebuah alat yang dapat mengukur tekanan antara 2,5-20 cm H2O, dimana masker dipasang pada wajah dengan menggunakan pengikat kepala.

Gambar 5. Masker venturi 14


(16)

Evaluasi dan Monitoring Terapi Oksigen.

Pemberian terapi oksigen pada pasien-pasien, harus selalu dievaluasi dan dilakukan monitoring dengan cermat, hal ini untuk menghindari efek samping dan efek toksik yang dapat timbul pada terapi oksigen.

Adapun evaluasi dan monitoring yang dapat kita lakukan antara lain :

• Melalui pemeriksaan fisik.

1,2

Pada pasien hipoksemia, terapi oksigen akan mencega terjadinya hipoksia sel dan jaringan, memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan, meningkatkan perfusi organ vital. Hal ini ditandai dengan denyut jantung dan tekanan darah yang stabil, tidak ditemukan adanya aritmia, sianosis dan takipnoe. Gangguan neurologis, seperti kelelahan, disorientasi juga menghilang.

• Melalui pemeriksaan AGDA dan pulse oxymetry.

Pemeriksaan AGDA pada umumnya dilakukan 15-20 menit setelah pemberian oksigen atau segera dilakukan bila terjadi perubahan klinis pasien. Evaluasi berikutnya adalah :

- 12 jam setelah pemberian FiO2 - 8 jam setelah pemberian FiO

< 40 %. 2

- 72 jam pada infark miokard akut. > 40 %.

- 2 jam pada pasien PPOK. - 1 jam pada neonatus.

Toksisitas Terapi Oksigen Defenisi

Toksisitas oksigen didefenisikan sebagai gangguan pada tubuh yang disebabkan oleh bernafas atau inspirasi dengan oksigen yang mempunyai tekanan parsial yang tinggi. Hal ini ditandai dengan kelainan penglihatan, pendengaran, kelelahan saat bernafas, keram otot, gelisah, kejang, dan lainnya.

Istilah keracunan oksigen pertama kali diperkenalkan oleh Lavoiser pada tahun 1789, 7,8


(17)

kejang. Hal ini kemudian dikenal dengan “Paul Bert Effect” atau oxygen induced seizure. Lorraine Smith pada tahun 1899 melaporkan efek patologi dari peningkatan oksigen terhadap sistem pernafasan yang dikenal sebagai “Lorraine Smith Effect” berupa sindroma klinis dari penurunan kapasitas vital, nyeri dada, dan atelektasis.8

Patofisiologi

Keracunan oksigen yang terjadi pada paru disebabkan oleh radikal bebas yang terjadi akibat terapi oksigen hiperbarik. Produksi radikal bebas yang terlalu banyak akan berinteraksi dengan sel yang dapat menimbulkan perubahan biokimia, sel, morfologi, dan fisiologi.

Terdapat 5 fase dalam hal timbulnya keracunan oksigen pada jaringan paru, yakni :

1. Fase awal.

Fase awal dari keracunan oksigen terjadi dalam beberapa jam pertama dan berlanjut selama berlangsungnya paparan. Pada fase ini terjadi penurunan sintesa protein, perubahan trachea bronchial clearance serta perubahan fungsi sel endotel.3,6

2. Fase inflamasi.

Pada fase ini terjadi perubahan morfologi paru akibat kerusakan sel primer berupa perubahan struktur sel endotel, timbulnya penumpukan cairan akibat menigkatnya kebocoran mikrosirkular paru, terbentuknya membran hialin serta masuknya sel inflamasi dengan melepas mediator-mediator. Gabungan dari hal tersebut di atas memberikan gambaran yang menyerupai edema pulmonum nonkardiogenik terdiri dari kerusakan alveolus yang luas, sering menimbulkan ARDS dan kerusakan paru yang lain.3,6

3. Fase destruksi.

Kerusakan sel terjadi segera setelah fase inflamasi. Timbulnya perubahan pada epitel paru dan sel endotel terdiridari kerusakan membran, pembengkakan mitokondria dan degenerasi nuklir. Segera setelah itu terjadi kematian sel dan terpaparnya basement membrane.3,6

4. Fase proliferasi dan fibrosis.

Apabila paparan dari dosis toksik oksigen terakhir maka akan timbul stadium subakut atau kronik yang disebut fase proliferasi. Respon proliferasi sel terjadi untuk mengatasi fase destruksi dan memungkinkan meningkatnya angka harapan hidup. Namun


(18)

demikian tergantung dari luasnya dan lamanya cedera maka bisa timbul gejala sisa berupa fibrosis dari jaringan interstitial.3,6

Toksisitas/keracunan terapi oksigen sulit dinilai dan tergantung beberapa faktor, yakni toleransi pasien, dosis dan lamanya pemberian oksigen.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada terapi oksigen adalah : 1. FiO

1

2

2. Toksisitas oksigen pada paru tidak pernah terjadi pada pemberian oksigen 100 % dalam waktu 24 jam atau kurang. Tidak ada kontraindikasi pemberian oksigen 100 % dalam keadaan darurat, walaupun demikian harus diingat bahwa mungkin saja terjadi “absorption atelectasis”

< 50 % jarang menimbulkan kerusakan paru akut walaupun diberikan untuk waktu yang lama.

3. “absorption atelectasis” lebih mudah terjadi pada pasien yang sudah mempunyai kelainan di paru.

Penegakan diagnosis keracunan oksigen biasanya sulit oleh karena secara gambaran klinis, fisiologis, histologi dan radiologi sulit dibedakan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Tidak ada uji yang spesifik untuk keracunan oksigen ini. Diagnosis keracunan oksigen umumnya dapat ditegakkan berdasarkan atas perburukan pernafasan yang progresif setelah pemakaian oksigen dengan konsentrasi tinggi.

Manifestasi awal dari keracunan oksigen berupa penurunan pembersihan mukosiliari trakea. Timbulnya nyeri dada substernal, takipnoe, ataupun batuk pada pasien yang mendapat terapi oksigen konsentrasi tinggi merupakan pertanda kemungkinan telah terjadi keracunan oksigen. Pada pemeriksaan fisik dapat kita dengar adanya ronki basah yang menyerupai terjadinya edema paru. Gejala lain yang dapat timbul seperti kekejangan otot, muntah, sakit kepala, berubahnya visus dan pendengaran, timbul kecemasan, kebingungan sebagai perangsangan terhadap sistem persyarafan.

3,4,5,6


(19)

Pemeriksaan fungsi paru dapat kita jumpai adanya penurunan dalam kapasitas vital, compliance paru maupun kapasitas difusi CO akibat melebarnya alveolar-arterial oxygen gradient.

Secara gambaran radiologis, keracunan oksigen memberikan gambaran bertambahnya corakan interstitial, yang tidak spesifik. Gambaran ini juga selalu dijumpai pada keadaan kerusakan alveolar yang luas.

3

4,5

Keracunan oksigen

Keracunan oksigen terhadap sistem respirasi dibagi menjadi : o Trakeobronkitis.

1

Gejala klinis berupa batuk, nyeri tenggorokan, rasa terbakar di daerah substernal terjadi pada orang sehat yang mendapat oksigen 75-100 % selama 24 jam. Pemeriksaan bronkoskopi pada orang normal yang diberikan oksigen 100 % selama 6 jam memperlihatkan inflamasi di daerah trakeobronkial, semua kelainan bersifat reversibel. o Absorption atelectasis.

Dalam keadaan normal nitrogen mempertahankan alveolus agar tidak kolaps. Pemberian oksigen dosis tinggi akan mengeluarkan nitrogen dari alveolus. Pada daerah yang ventilasinya kurang baik oksigen akan cepat keluar dari alveolus sehingga alveolus kolaps. Gejala klinis berupa penurunan secara progresif PaO2

o Kerusakan jaringan paru akut.

, demam dan terlihat infiltrate pada foto toraks.

Proses patologi dari kerusakan jaringan paru akut dibagi dalam 2 fase, yaitu : o Fase eksudatif, yang ditandai dengan kerusakan sel, edema, dan pembentukan

membran hialin.

o Fase proliferatif, yang ditandai dengan hiperplasia sel dinding alveolus dan fibrosis septal. Gejala klinis berupa demam, hipoksemia yang progresif dan infiltrat di paru. Kelainan akan menghilang bila konsentrasi oksigen diturunkan. o Kerusakan jaringan paru kronik.

Kelainan bersifat irreversibel dan terdiri dari displasia bronkopulmoner dan kerusakan jaringan kronik. Displasia bronkopulmoner terjadi pada neonatus dengan


(20)

“respiratory distress syndrome” yang mendapat terapi oksigen dosis tinggi. Gejala klinis yang terjadi erupa gangguan pertumbuhan, kesulitan pernafasan dan perawatan berulang di rumah sakit.

Kelainan patologik yang dijumpai pada kerusakan jaringan kronik berupa proliferasi kapiler, fibrosis interstitial, hiperplasia epitel dan perdarahan.

1

Selain efek samping diatas, terapi oksigen juga dapat mengakibatkan :

o Hiperkarbia pada pasien PPOK. Dalam keadaan normal, ventilasi dipacu oleh respons medulla terhadap CO

1

2. Pada keadaan retensi CO2 kronik, ventilasi dipacu oleh keadaan hipoksik. Jika terjadi peningkatan PaO2 > 65 mmHg maka akan terjadi hipoventilasi dan peningkatan PaCO2

o Retinopati pada bayi prematur.

. Pasien yang mempunyai resiko untuk terjadinya hipoventilasi adalah pasien PPOK, pasien korpulmonal,”sleep apnea syndrome”.

o Risiko terjadinya kebakaran.

o Pada pasien yang memakai kanula hidung dapat terjadi iritasi mukosa hidung, nasal kongesti, epistaksis, alergi, terhadap bahan kanula, iritasi kulit.

o Hemolisis

o Pada CNS, dapat terjadi “twitching”,”confusion”, kejang.

Pencegahan dan Pengobatan Keracunan Oksigen

Sebagaimana obat lainnya, oksigen diberikan berdasarkan dosis yang sesuai untuk mendapatkan efek terapeutik yang baik dan menghindari keracunan oksigen. Oleh karena sangat sulit untuk menegakkan diagnosis ke arah keracunan oksigen. Manifestasi klinis keracunan oksigen tidak begitu spesifik sehingga pencegahan merupakan langkah manajemen yang utama. Pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi oksigen, harus dilakukan observasi baik secara gejala klinis, pemeriksaan analisa gas darah serta pulse oxymetry.

Keracunan oksigen dapat dicegah dengan mengurangi konsumsi oksigen, antara lain dengan menurunkan demam menggunakan obat-obatan antipiretik, mengatasi kegelisahan dengan obat anti ansietas. Pemberian diet yang memadai juga merupakan hal penting dalam


(21)

terganggunya mekanisme pertahanan oleh anti oksidan. Pemberian zat-zat yang dapat mengakumulasi oksigen juga sebaiknya dihindari selama pemberian terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi, seperti disulfiran, nitrofurantoin, bleomisin, mitomisin, dan cyclophosphamide.

Pemberian anti oksidan seperti superoksida, katalase, vitamin A,E,C dan N-acetylcystein dapat meningkatkan toleransi terhadap oksigen.

4

4


(22)

Kesimpulan

1. Oksigen adalah salah satu bahan farmakologik yang banyak dipakai untuk pasien dengan kelainan kardiopulmoner, yang memiliki batas terapetik dimana bila diberikan melebihi batas akan memberikan efek yang meracuni.

2. Tujuan utama terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2

3. Hipoksemia dapat terjadi karena gangguan ventilasi perfusi, hipoventilasi alveolar, shunt, gangguan difusi, penurunan tekanan oksigen inspirasi.

> 90%.

4. Deteksi hipoksemia dapat dilihat dari gejala klinis, pemeriksaan AGDA, Pulse oxymetry, Transcutaneous partial pressure of oxygen.

5. Pemberian oksigen haruslah dengan perhitungan dosis yang tepat, dengan menggunakan low-flow devices dan high-flow devices.

6. Efek keracunan pada paru yang utama adalah timbulnya radikal bebas serta kejadian dari atelektasis obstuktif.

7. Belum adanya suatu pemeriksaan yang khusus untuk mendiagnosis keracunan oksigen. 8. Managemen yang utama adalah menhindari keracunan oksigen selama pemberain


(23)

Daftar pustaka

1. Rasmin Menaldi. Terapi Oksigen : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta.2006. 1-34

2. Rab T. Prinsip Gawat Paru. Ed II. EGC: Jakarta, 1996.

3. Beers MF. Oxygen Therapy and Pulmonary Oxygen Toxicity in : Fishman AP, Elias A, Fishman JA, Grippi MA et al. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 3th

4. Ward JJ. Medical Gas Therapy in : Burton GG, Hodgin JE, Ward JJ. Respiratory Care; A Guideline to Clinical Practice. 4

ed. Mc Graw-Hill, Philadelphia. 1998 : 2628-41.

th

5. Jackson RM. Oxygen Therapy and Toxicity in : Ayres SM, Grevik A, Holbrook PR, Shomaker WC; Textbook of Critical Care, 3

ed. Lippincott, California. 2001 : 335 – 401.

rd

6. Auger WR. Pulmonary Oxygen Toxicity In : Bordow RA, Moser KM. Manua of Clinical Problems in Pulmonary Medicine With Annotated Key Reference. Little, Brown and Company, Boston 1991, 282 – 7.

ed. W.B.Saunders, Philadelphia, 1995: 784 – 88.

7. Mendiguren I. Oxygen Toxicity In : Fishman AP. Pulmonary Diseases and Disorders Companion Hand Book. Mc. Graw-Hill, New York 1994, 431 – 6. 8. Neumeister M, Hyperbaric Oxygen Therapy, emedicine 2005, available from :


(24)

9. Dictionary Oxygen Toxicity. Available from :

10.Nasal canule. Available from :

th

11.Simple mask . Available from : 2009.

http://www.hkfsd.gov. hk/home/images/equipment/ambulance/images/photo/Simple%20Mask.jpg

Accessed on January 04th

12.Non rebreathing mask . Available from : 2009.

Accessed on November 15th

13.Rebreathing mask . Available from :

2008

Accessed on November 15th

14.Masker venturi . Available from : 2008.

http://www.kjhya.

/home/images/equipment/ambulance/images/photo/venturi mask 09.jpg. Acces

sed on November 14th

15. CPAP . Available from 2008


(1)

Pemeriksaan fungsi paru dapat kita jumpai adanya penurunan dalam kapasitas vital, compliance paru maupun kapasitas difusi CO akibat melebarnya alveolar-arterial oxygen gradient.

Secara gambaran radiologis, keracunan oksigen memberikan gambaran bertambahnya corakan interstitial, yang tidak spesifik. Gambaran ini juga selalu dijumpai pada keadaan kerusakan alveolar yang luas.

3

4,5

Keracunan oksigen

Keracunan oksigen terhadap sistem respirasi dibagi menjadi :

o Trakeobronkitis.

1

Gejala klinis berupa batuk, nyeri tenggorokan, rasa terbakar di daerah substernal terjadi pada orang sehat yang mendapat oksigen 75-100 % selama 24 jam. Pemeriksaan bronkoskopi pada orang normal yang diberikan oksigen 100 % selama 6 jam memperlihatkan inflamasi di daerah trakeobronkial, semua kelainan bersifat reversibel.

o Absorption atelectasis.

Dalam keadaan normal nitrogen mempertahankan alveolus agar tidak kolaps. Pemberian oksigen dosis tinggi akan mengeluarkan nitrogen dari alveolus. Pada daerah yang ventilasinya kurang baik oksigen akan cepat keluar dari alveolus sehingga alveolus kolaps. Gejala klinis berupa penurunan secara progresif PaO2

o Kerusakan jaringan paru akut.

, demam dan terlihat infiltrate pada foto toraks.

Proses patologi dari kerusakan jaringan paru akut dibagi dalam 2 fase, yaitu :

o Fase eksudatif, yang ditandai dengan kerusakan sel, edema, dan pembentukan

membran hialin.

o Fase proliferatif, yang ditandai dengan hiperplasia sel dinding alveolus dan

fibrosis septal. Gejala klinis berupa demam, hipoksemia yang progresif dan infiltrat di paru. Kelainan akan menghilang bila konsentrasi oksigen diturunkan.

o Kerusakan jaringan paru kronik.

Kelainan bersifat irreversibel dan terdiri dari displasia bronkopulmoner dan kerusakan jaringan kronik. Displasia bronkopulmoner terjadi pada neonatus dengan


(2)

“respiratory distress syndrome” yang mendapat terapi oksigen dosis tinggi. Gejala klinis yang terjadi erupa gangguan pertumbuhan, kesulitan pernafasan dan perawatan berulang di rumah sakit.

Kelainan patologik yang dijumpai pada kerusakan jaringan kronik berupa proliferasi kapiler, fibrosis interstitial, hiperplasia epitel dan perdarahan.

1

Selain efek samping diatas, terapi oksigen juga dapat mengakibatkan :

o Hiperkarbia pada pasien PPOK. Dalam keadaan normal, ventilasi dipacu oleh respons

medulla terhadap CO

1

2. Pada keadaan retensi CO2 kronik, ventilasi dipacu oleh keadaan

hipoksik. Jika terjadi peningkatan PaO2 > 65 mmHg maka akan terjadi hipoventilasi dan

peningkatan PaCO2

o Retinopati pada bayi prematur.

. Pasien yang mempunyai resiko untuk terjadinya hipoventilasi adalah pasien PPOK, pasien korpulmonal,”sleep apnea syndrome”.

o Risiko terjadinya kebakaran.

o Pada pasien yang memakai kanula hidung dapat terjadi iritasi mukosa hidung, nasal

kongesti, epistaksis, alergi, terhadap bahan kanula, iritasi kulit.

o Hemolisis

o Pada CNS, dapat terjadi “twitching”,”confusion”, kejang.

Pencegahan dan Pengobatan Keracunan Oksigen

Sebagaimana obat lainnya, oksigen diberikan berdasarkan dosis yang sesuai untuk mendapatkan efek terapeutik yang baik dan menghindari keracunan oksigen. Oleh karena sangat sulit untuk menegakkan diagnosis ke arah keracunan oksigen. Manifestasi klinis keracunan oksigen tidak begitu spesifik sehingga pencegahan merupakan langkah manajemen yang utama. Pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi oksigen, harus dilakukan observasi baik secara gejala klinis, pemeriksaan analisa gas darah serta pulse oxymetry.

Keracunan oksigen dapat dicegah dengan mengurangi konsumsi oksigen, antara lain dengan menurunkan demam menggunakan obat-obatan antipiretik, mengatasi kegelisahan dengan obat anti ansietas. Pemberian diet yang memadai juga merupakan hal penting dalam mencegah terjadinya keracunan oksigen. Malnutrisi protein akan menyebabkan gangguan


(3)

terganggunya mekanisme pertahanan oleh anti oksidan. Pemberian zat-zat yang dapat mengakumulasi oksigen juga sebaiknya dihindari selama pemberian terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi, seperti disulfiran, nitrofurantoin, bleomisin, mitomisin, dan cyclophosphamide.

Pemberian anti oksidan seperti superoksida, katalase, vitamin A,E,C dan N-acetylcystein dapat meningkatkan toleransi terhadap oksigen.

4

4


(4)

Kesimpulan

1. Oksigen adalah salah satu bahan farmakologik yang banyak dipakai untuk pasien dengan kelainan kardiopulmoner, yang memiliki batas terapetik dimana bila diberikan melebihi batas akan memberikan efek yang meracuni.

2. Tujuan utama terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2

3. Hipoksemia dapat terjadi karena gangguan ventilasi perfusi, hipoventilasi alveolar, shunt, gangguan difusi, penurunan tekanan oksigen inspirasi.

> 90%.

4. Deteksi hipoksemia dapat dilihat dari gejala klinis, pemeriksaan AGDA, Pulse oxymetry, Transcutaneous partial pressure of oxygen.

5. Pemberian oksigen haruslah dengan perhitungan dosis yang tepat, dengan menggunakan low-flow devices dan high-flow devices.

6. Efek keracunan pada paru yang utama adalah timbulnya radikal bebas serta kejadian dari atelektasis obstuktif.

7. Belum adanya suatu pemeriksaan yang khusus untuk mendiagnosis keracunan oksigen. 8. Managemen yang utama adalah menhindari keracunan oksigen selama pemberain


(5)

Daftar pustaka

1. Rasmin Menaldi. Terapi Oksigen : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta.2006. 1-34

2. Rab T. Prinsip Gawat Paru. Ed II. EGC: Jakarta, 1996.

3. Beers MF. Oxygen Therapy and Pulmonary Oxygen Toxicity in : Fishman AP, Elias A, Fishman JA, Grippi MA et al. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 3th

4. Ward JJ. Medical Gas Therapy in : Burton GG, Hodgin JE, Ward JJ. Respiratory Care; A Guideline to Clinical Practice. 4

ed. Mc Graw-Hill, Philadelphia. 1998 : 2628-41.

th

5. Jackson RM. Oxygen Therapy and Toxicity in : Ayres SM, Grevik A, Holbrook PR, Shomaker WC; Textbook of Critical Care, 3

ed. Lippincott, California. 2001 : 335 – 401.

rd

6. Auger WR. Pulmonary Oxygen Toxicity In : Bordow RA, Moser KM. Manua of Clinical Problems in Pulmonary Medicine With Annotated Key Reference. Little, Brown and Company, Boston 1991, 282 – 7.

ed. W.B.Saunders, Philadelphia, 1995: 784 – 88.

7. Mendiguren I. Oxygen Toxicity In : Fishman AP. Pulmonary Diseases and Disorders Companion Hand Book. Mc. Graw-Hill, New York 1994, 431 – 6. 8. Neumeister M, Hyperbaric Oxygen Therapy, emedicine 2005, available from :


(6)

9. Dictionary Oxygen Toxicity. Available from :

10.Nasal canule. Available from :

th

11.Simple mask . Available from : 2009.

http://www.hkfsd.gov. hk/home/images/equipment/ambulance/images/photo/Simple%20Mask.jpg

Accessed on January 04th

12.Non rebreathing mask . Available from : 2009.

Accessed on November 15th

13.Rebreathing mask . Available from :

2008

Accessed on November 15th

14.Masker venturi . Available from : 2008.

http://www.kjhya.

/home/images/equipment/ambulance/images/photo/venturi mask 09.jpg. Acces

sed on November 14th

15. CPAP . Available from 2008