Isra'mi'raj dalam tafsir bil ilmi : studi komparatif penafsiran al-razi dan thanthawi terhadap QS.al Isra : 1 dan QS. Al-najm: 13-15

ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI
(Studi Komparatif Penafsiran al-Râzi dan Thanthawi
Terhadap QS. Al-Isra’: 1 dan QS. Al-Najm: 13-15)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh:
Abdul Ghaffar
NIM: 105034001196

Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
1431 H./2010 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN


Skripsi yang berjudul “ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI
(STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI
TERHADAP QS. AL-ISRA’:1 DAN QS.AL-NAJM: 13-15)” telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filasafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada
Program Studi Tafsir Hadis.
Jakarta, 15 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. M. Suryadinata, M.A
NIP: 19600908 198903 1 005

Muslim, S.Th.I


Anggota,
Penguji I

Penguji II

Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, M.A
NIP: 19620624 200003 1 001

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A
NIP: 19711003 199903 2 001

Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, M.A
NIP: 19670213 199203 1 002

ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI
(Studi komparatif penafsiran al-Razi dn Thantawi
Terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).


Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh:

ABDUL GHAFFAR
105034001196

Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, MA.
NIP. 19670213 199203 1 002

Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1431 H. / 2010 M.


LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 Juli 2010

Abdul Ghaffar

KATA PENGANTAR

Berjuta puja, puji serta syukur aku haturkan kehadirat Allah SWT, Dia-lah

yang melimpahkan rahmat, karunia, kekuatan serta kesabaran kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “ISRA‟ MI‟RAJ
DALAM TAFSIR BIL ILMI (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI
DAN THANTHAWI TERHADAP QS. AL-ISRA‟:1 DAN QS.AL-NAJM: 1315)” ini.
Berjuta kangen yang meliputi cintaku kepadamu duhai Muhammad
Kekasih Allah, selayaknya shalawat dan salam untukmu. Saksikanlah ummat-mu
ini bershalawat kepadamu allahumma shalli ’ala sayyidina wa habibina
Muhammad, kiranya engkau lihatlah lambaian tanganku yang sangat bangga
menjadi bagian umat-mu yang mengemis syafaat darimu duhai Kekasih Allah.
Terwujudnya tulisan dalam bentuk skripsi ini, tentunya tidak lepas dari
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terima kasih sebesar-besarnya
penulis haturkan pada segenap orang-orang terkasih yang berada di sekeliling
penulis, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini :
1. Bapak Dr. Zainun Kamal, M.A. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta), serta para pembantu Dekan.
2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si selaku ketua jurusan dan Bapak Rifqi Muhammad
Fatkhi, MA. Selaku sekretaris jurusan.
3. Bapak Yusuf Rahman, MA selaku pembimbing yang tiada henti dan bosannya
memberikan arahan, kritik membangun dan bimbingan kepada penulis hingga


i

mampu menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula kepada Bapak Eva Nugraha
M.A. sebagai dosen akademik juga teman diskusi penulis dan tak ketinggalan
Bapak Muslim yang telah banyak memudahkan urusan penulis.
4. Umi Wa Ode Zamani dan Abah A.Chodri Romli tercinta, serta kakak-kakakku
yang layak untuk aku jadikan cerminan hidup: Mbak Anisatul Maliha, Mas
Harisul Anas, dan Mas Khathibul Umam. Juga malaikat-malaikat kecilku
yang selalu membuat tersenyum dengan tingkah polahnya: Amira, Rian,
Nayla, dan Efal. Seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan doa,
dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelasaikan
skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah berkenan memberikan
ilmunya, yang telah berkenan menemani dalam setiap langkah pencarian ilmu
dan bersedia mengajar penulis dalam setiap jengkal kebodohan.
6. Juga kepada sejumlah karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan
Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‟an Lentera Hati, serta
Perpustakaan Iman Jama‟ yang telah bersedia membantu penulis.
7. Terima kasih kepada Murizky Gayo atas kesabaran dan pengertiannya.
Teman-temanku; Mas Hafidin, Cak Beni, Kang Awang, Saomi, Chabibi,

Muis, Rony dll. Juga Teman-teman seperjuangan di tafsir hadis angkatan
2005, Mas Labib, Kang Asep, Kiyai Rosyidi, Cak Salman, Syarif, Zee, Laily,
Lili, Bedah, Itoh, Neneng, Syahid dsb, terima kasih untuk semua canda, tawa,
kekonyolan, diskusi, pinjam printer, minta kertas, bantu terjemah, minta
tolong foto copy dan yang terpenting adalah motivasinya dan telah bersedia
menemani perjalanan penulis selama ini.

ii

Dari sangat kecilnya yang dapat penulis lakukan dengan karya ini,
merupakan satu usaha kecil untuk berusaha ikut mengais sepercik air di hamparan
samudra ilmu Allah yang teramat luas. Dengan keterbatasan yang dimiliki
penulis, kekurangan pasti ditemui dalam banyak sisinya, karna kesempurnaan
hanya milik Allah semata.
Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang
diberikan mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah SWT., amin. Selain itu
semoga segala aktivitas yang kita kerjakan diberikan kemudahan dan menjadi
nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 2 Juni 2010


Abdul Ghaffar

iii

MOTTO PENULIS

”Yang terbaik dari kalian adalah
yang mempelajari al-Qur’an dan mengamalkannya”
”manusia terbaik adalah yang bermanfaat untuk orang lain”
”jangan mengejar bayangan karena kamu tidak akan
mendapatinya. Tapi kejarlah cahaya
maka bayangan akan mengejarmu”

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………….


i

MOTTO PENULIS………………………………………………..

iii

DAFTAR ISI……………………………………………………… .

iv

TRANSLITERASI…………………………………………………

vi

BAB I.

BAB II.

BAB III.


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………..

1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………..

7

C. Tujuan Penelitian ……………………………….

9

D. Manfaat Penelitian ……………………………...

9

E. Tinjauan Pustaka ………………………………..

9


F. Metode Penelitian ……………………………….

11

G. Sistematika Penulisan ……………………………

12

TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RAJ
A. Definisi Isra‟ Mi‟raj …….……………………….

13

1. Etimologi ………………………………..

13

2. Terminologi ……………………………..

14

B. Isra‟ Mi‟raj perspektif ahli tafsir ………………..

15

C. Isra‟ Mi‟raj perspektif Rasionalis ……………….

17

D. Pro-kontra atas Isra‟ Mi‟raj ..…..………………..

25

MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA
TAFSIRNYA
A. Fakhr al-Dîn al-Râzî .…………….……………….

29

1. Biografi singkat dan beberapa karyanya ..........

29

2. Selayang Pandang Tentang al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh
al-Ghaib ..........................................................

36

3. Latar Belakang Penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh

v

al-Ghaib ..........................................................

39

4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Tafsîr al-Kabîr
Mafâtîh al-Ghaib .............................................

39

B. Thanthawi Jauhari ………………………………..

41

1. Biografi singkat dan beberapa karyanya ...........

41

2. Selayang pandang tentang al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 42
3. Latar belakang penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 43
4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Jawâhir fî
Tafsîr al-Qur’an .............................................

BAB IV.

44

PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP
ISRA’ MI’RAJ
A. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Isra‟: 1 ……… 47
B. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Najm: 13-15 .... 54

BAB V.

PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................

57

B. Saran-saran ............................................................

58

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN ........................................................................................

vi

TRANSLITERASI

Skripsi ini menggunakan alih aksara (translitersi) yang mengikuti atau
sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam pedoman transliterasi
arab-latin dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis,
disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20062007.

I.

II.

Konsonan
Arab

Latin

Arab

Latin

Arab

Latin

‫ا‬

tidak dilambangkan

‫ز‬

z

‫ق‬

q

‫ب‬

b

‫س‬

s

‫ك‬

k

‫ت‬

t

‫ش‬

sy

‫ل‬

l

‫ث‬

ts

‫ص‬

s

‫م‬

m

‫ج‬

j

‫ض‬

d

‫ن‬

n

‫ح‬

h

‫ط‬

t

‫و‬

w

‫خ‬

kh

‫ظ‬

z

‫هـ‬

h

‫د‬

d

‫ع‬



‫ء‬

,

‫ذ‬

dz

‫غ‬

gh

‫ي‬

y

‫ر‬

r

‫ف‬

f

Vokal Pendek

III.

Vokal Panjang

_َ_

:a

‫أا‬



-َ--

:i

‫ﺇي‬



_َ_

:u

‫أو‬



vii

IV. Vokal Rangkap

V.

‫أي‬

: ai

‫أو‬

: au

Singkatan
Swt

: Subhanau wa ta‟ala

Saw

: Shalla Allah „alaihi wa Sallam

Ra

: Radhiya Allah „anhu

H

: Tahun Hijriyah

M

: Tahun Masehi

W

: Wafat

Tt

: Tanpa Tempat

Tth

: Tanpa Tahun

Tp

: Tanpa Penerbit

Ed

: Editor

viii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah
Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj tidak dapat ditangkap oleh akal manusia yang
penuh dengan segala keterbatasannya. Bagi manusia yang selalu memakai
kemampuan penalarannya, Isra‟ dan Mi„râj itu sangat tidak rasional dan tidak
sesuai dengan pengalaman hidup selama ini. Sangat mustahil seseorang dapat
menempuh jarak antara Makkah dan Yerusalem pulang-pergi pada waktu itu,
hanya dalam waktu kurang dari semalam : pergi dari Makkah ke Madinah dengan
mengendarai unta saja memerlukan waktu puluhan hari, apalagi naik dan
menerobos perbatasan langit yang tujuh cacah.1
Namun para mufassir tidak mempersoalkan apakah Nabi Muhammad
SAW memang ber- Isra‟ Mi„râj atau tidak, mereka lebih mempersoalkan apakah
Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ dengan jasadnya atau ruhnya saja. Dalam hal ini
ulama tafsir terpecah ke dalam dua golongan. Satu golongan mengatakan bahwa
Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ hanya dengan ruhnya saja dan golongan lain
mengatakan Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ berikut jasadnya.2
Achmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Prima bakti
Prima Yasa, 1997), h. 252.
2
Muhammad Jarir al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah alRisalah, 2000M/1420H) menjelaskan tentang pendapat para ulama mengenai peristiwa Isrâ‟ mirâj
berikut riwayat-riwayat yang digunakan oleh masing-masing pendapat, pendapat pertama
mengatakan bahwa Nabi SAW ber-Isrâ‟ dengan jasadnya (jilid17 h. 335), pendapat kedua dengan
jasad dan ruhnya (h. 348), pendapat ketiga dengan ruhnya saja dan tanpa jasad (h. 349). Lihat juga:
KH. Moenawar Chalil, dalam bukunya berjudul Peristiwa Isrâ‟ dan Mi‟râj (Jakarta: Bulan
bintang, 1975), yang telah mengklasifikasikan pendapat-pendapat mengenai hal ini, ia menulis:
“Tentang bagaimana terjadinya Isrâ‟ dan Mi‟râj yang dilakukan Nabi SAW. yakni apakah dengan
tubuh halus (ruhani) serta tubuh kasar (jasmani) nya, ataukah hanya tubuh halus (ruhani) nya saja.
Tentang ini antara para ulama, para cerdik pandai dan para sarjana sejak dari dahulu hingga
sekarang masih banyak pertikaian pendapat dan perselisihan paham, yakni:
Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan ruh serta jasad
1

1

Berlainan dengan permasalahan di atas, para mufassir berpendapat sama
mengenai pengertian Isra‟ dan Mi„râj, yakni Isra‟ adalah perjalanan seorang
hamba (Muhammad SAW) di malam hari3 dari Masjid al-Haram ke Masjid alAqsha. Dan Mi„râj adalah dinaikkannya Nabi Muhammad SAW dari Masjid alAqsha menuju langit untuk melihat keajaiban besar4 dan bertemu dengan para
nabi5 dan kemudian berhenti di Sidratul Muntaha.6
Hal yang penting untuk dikritisi adalah, bahwa ternyata tidak ada
perbedaan mendasar yang cukup mendominasi antar tafsir-tafsir bi al-Ma‟tsur7
dan bi al-Ra‟yi8 berkaitan dengan pembahasan mereka mengenai Isra‟ dan Mi„râj.
Misalnya saja dalam tafsirnya Abu Laits al-Samarkandi pada Bahr al-„Ulûm, yang
hanya menjelasakan Isra‟ dan Mi„râj secara tekstual dan kemudian mengutip

Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan ruh saja
Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan jalan mimpi
Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan badan halus, tidak dengan jasmani dan tidak
dengan ruhani
Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan wahdatul wujud
Isra dilakukan dengan tubuh kasar serta ruhani, dan Mi‟rajnya dilakukan hanya
dengan ruhani saja”
3
Lihat: Abu Laits al-Samarkandi, Bahr al-Ulûm, Juz 2, h. 43. Lihat juga: Ismail bin
Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur‟an al-„Azîm (Dâr Thoyyibah li al-Nasyr, 1999), juz 5, h. 5.
4
Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405
H), juz 15, h. 12.
5
Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr
wa al-Tauzi‟, 1997), juz 5, h.58
6
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah alrisalah, 2000), juz 17, h. 333.
7
Tafsir bi al-Ma‟tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih
menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat tafsir. Yaitu menafsirkan alQur‟an dengan al-Qur‟an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan
perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang
dikatakan tokoh-tokoh besar tabi‟in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para
sahabat. Lihat: Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur‟an (Jakarata, Halim Jaya, 2007),
h.482. Tafsir dengan sumber ini harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan
yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan
kesesatan dalam memahami kitabullah (Studi ilmu-ilmu Qur‟an, h.486).
8
Adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada
pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang di dasarkan pada ra‟yu (pemikiran) semata.
(Studi ilmu-ilmu Qur‟an, h. 488). Golongan salaf enggan dan berkeberatan untuk menafsirkan alQur‟an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui (h. 489).
-

2

riwayat-riwayat berkaitan dengan peristiwa ini 9. Demikian juga dengan penafsiran
al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an yang setelah menjelaskan
kedudukan ayat secara tekstual, mengutip riwayat-riwayat sahabat dan para
tabi‟in, serta mengklasifikasi perbedaan-perbedaan riwayat-riwayat tersebut.10
Walaupun tentu kedua kitab tafsir di atas yang digolongkan oleh al-Dzhahabi
sebagai tafsir bi al-Ma‟tsur ini tidak bisa men-jenalisir bahwa tafsir bi al-Ma‟tsur
demikian seluruhnya.
Tidak berbeda jauh dengan kitab-kitab tafsir bi al-Ma‟tsur di atas, dalam
tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi pun, misalnya penafsiran Abu Sa‟ûd al-„Imadi pada kitab
Irsyâd al-„Aql al-Salîm li mizâyan al-Kitâb al-Karîm yang hanya menjelaskan
ayat secara tekstual dan mengutip riwayat-riwayat terdahulu.11 Demikian juga
dengan tafsir al-Nasafi dalam kitabnya Madârik al-Tanzîl wa Haqâ‟iq al-Ta‟wîl.
Kedua tafsir ini pun tentu tidak dapat dijenalisir bahwa tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi
demikian seluruhnya. Berbeda misalnya dengan penafsiran Fakhr al-Dîn al-Râzî
dalam Mafâtîh al-Ghaib. Di samping menjelaskan ayat secara tekstual, mengutip
riwayat-riwayat

terdahulu,

menjelaskan

perbedaan-perbedaan

pemahaman

sahabat, tabi‟in dan para ulama terdahulu, al-Râzî juga berusaha memberikan
penjelasannya dengan berbagai argumentasi rasional dengan dalil-dalil ilmiah
(dengan memakai ukuran waktu itu) seperti fisika kuantum (prinsip ketidakpastian

9

Lihat: al-Samarkandi, Bahr al-„Ulûm, juz 2, h. 493-492.
Lihat: Muhammad Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah alRisalah, 2000M/1420H), juz 17, h. 331-351
11
Lihat: Abu Sa‟ud al-„Imadi, Irsyâd al-„Aql al-Salîm li mizâyan al-Kitâb al-Karîm, juz
4, h.169-170.
10

3

dan

indeterminisme),12

metafisika,

kosmologi.13

Ia

juga

menggunakan

matematika, kimia dan biologi dalam penafsiran ayat-ayat lainnya.14
Tak berbeda jauh dengan metodologi tafsir-tafsir di atas, ketika berbicara
mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, M.Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbahnya yang notabene tafsir Indonesia dan bisa dikatakan sebagai tafsir „baru‟,
ternyata juga lebih menitikberatkan penjelasan tekstual dan mengutip riwayatriwayat mengenainya.15
Terlepas dari itu semua, jika melihat kembali fungsi diturunkannya alQur‟an, maka para ulama sepakat bahwa al-Qur‟an adalah petunjuk untuk
manusia16 yang selalu relevan pada setiap zaman dan tempat. Di sisi lain, jika
turut menekankan prinsip fungsi ke-hidayah-an al-Qur‟an untuk manusia, maka
mau tidak mau harus menerima perkembangan tafsir al-Qur‟an sebagai
monitoring pemahaman masyarakat yang juga berkembang. Hal ini tidak lain
sebagai bentuk perwujudan relevansi al-Qur‟an tadi pada setiap zaman dan
kondisi.
Salah satu pemikir Muslim besar yang juga seorang mufassir, yakni
Muhammad Abduh, banyak memberi warna dan inspirasi karena menitiktekankan perkembangan dalam dunia tafsir serta mengkritisi tafsir-tafsir yang
telah ada sebelumnya, karena unsur hidayah pada tafsir-tafsir tersebut kurang
Setelah al-Râzî menjelaskan perbedaan ulama‟ mengenai Isra‟ Mi‟râj dan
mengklasifikasikannya menjadi dua hal, yakni : 1) konfirmasi kebolehan akal (itsbât al-Jawâz al„Aql), dan 2) kenyataan (al-Wuqû‟) dari peristiwa tersebut, ia menjelaskan bahwa gerakan yang
terjadi secara cepat sampai batas ini adalah mungkin, dan Allah Maha Kuasa atas segala
kemungkinan. Hal ini menunjukkan bahwa tercapainya gerakan dengan kecepatan tersebut tidak
ada halangan. Kemudian al-Razi menjelaskan secara rinci mengenai konfirmasi kebolehan akal
ini. (Lihat: al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 9, h. 494)
13
Lihat : al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 9, h. 495)
14
Achmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Pengetahan Kealaman (Yogyakarta: Prima bakti
Prima Yasa, 1997), h. 81.
15
Lihat, M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol.7, h. 9-19
16
Sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah/2:185
12

4

dapat ditangkap oleh manusia. Hal ini tidak berlebihan karena pada kenyataannya
banyak ahli tafsir yang jiwanya dikuasai oleh ilmu balaghah misalnya, maka
dalam menafsirkan al-Qur‟an yang bersangkutan lebih menitik beratkan uraianuraiannya pada kaidah ilmu tersebut. Ada yang semangat dalam ilmu nahwu dan
sharaf, maka ia memusatkan perhatiannya pada masalah kedudukan kata di dalam
kalimat (I‟rab al-Kalimât) dan perubahan-perubahannya. Ada pula yang
menguasai ilmu sejarah, sehingga ia mengutamakan kisah dan riwayat, bahkan
ada

yang

berlebihan

sehingga

memasukkan

dongeng-dongeng

Yahudi

(Isrâ‟iliyyât) tanpa diteliti terlebih dahulu. Demikianlah seterusnya.17
Oleh karena itu berbagai cara tafsir yang dipengaruhi bermacam sikap dan
pandangan seperti di atas, menyulitkan pembacanya untuk memperoleh petunjuk
a-Qur‟an secara memuaskan hati. Dengan demikian fungsi al-Qur‟an sebagai
petunjuk kurang dapat ditangkap.
Di antara sekian sikap dan pandangan mufassir, al-Râzî misalnya
menafsirkan al-Qur‟an dari kaca mata ilmu pengetahuan yang lebih condong ke
arah sains. Terlebih ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang mengarah kepada
alam, penciptaan, dan lain sebagainya seperti ayat yang menceritakan tentang
peristiwa Isra‟ dan Mi„râj ini. Hal ini sebenarnya bukan hal yang berlebihan
karena tafsir dengan corak seperti ini bertujuan untuk memudahkan manusia
menangkap petunjuk al-Qur‟an. Namun tafsir corak ini tentu saja tidak terlepas
dari kritik para ulama. Misalnya saja definisi yang diajukan oleh Amin al-Khûli
mengenai tafsir bil „ilmi adalah: "Tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan
kontemporer atas redaksi Al-Qur'an, dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu
Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Jakarta: Paramadina,
2002), h. 100.
17

5

dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."18 Demikian juga
dengan definisi yang diajukan oleh Abdul Majid Abdul Muhtasib, yaitu : "Tafsir
yang mensubordinasikan redaksi Al-Qur'an ke bawah teori dan istilah-istilah
sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan pelbagai
masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."19
Kedua definisi di atas tampak mirip, dan dapat kita berikan catatan dalam
dua hal yaitu: yang pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir
saintifik, sebab memberi kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu
bahwa corak tafsir itu agar dihindari karena dinilai telah "menundukkan redaksi
Al-Qur'an" ke dalam teori-teori sains yang kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok
Amin al-Khûli dan Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan ulama yang
kontra dan tak merestui corak tafsir ini.20
Kedua definisi tersebut tak mampu menggambarkan konsep yang
sebenarnya diinginkan para pendukung tafsir bil „ilmi. Para pendukungnya tak
pernah berkeinginan untuk memaksakan istilah-istilah keilmuan modern kepada
redaksi Al-Qur'an, atau menundukkan redaksi Al-Qur'an itu kepada teori-teori
sains yang selalu berubah. Apa yang dimaksudkan para ulama pendukung corak
tafsir ini adalah berupaya menjelaskan salah satu aspek kemukjizatan Al-Qur'an

18

Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1973), h. 309.
19
al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, h. 247.
20
Mengenai tafsir bil „ilmi, Amin Al-khûli mengkritik keras dalam bukunya, ia menulis :
“Bagaimana mungkin prinsip-prinsip dasar kedokteran, astronomi, ilmu hitung, dan kimia
disimpulkan dari al-Qur‟an dengan cara sebagaimana yang dikatakan tadi, sementara prinsipprinsip tersebut pada saat ini tidak ada seorangpun yang memberikan kaidah pasti. Setiap sarjana
muncul merevisi prinsip tersebut dalam suatu waktu atau lebih. Apapun yang telah diformulasikan
oleh sarjana terdahulu pastilah mengalami perubahan, kemudian mengalami perubahan yang
lebih dahsyat untuk waktu berikutnya”. (Lihat: Amin al-Khûli, Metode Tafsir Sastra (Yogyakarta:
Adab Press, 2004), h.41.

6

agar mudah difahami oleh manusia modern, terlebih di saat rasa dan cita
kebahasaan Arab sudah sangat melemah, di kalangan orang Arab sekalipun.21
Apalagi kini, ilmu dan sains telah menyerbu seluruh sendi kehidupan umat
manusia. Oleh sebab itu kiranya, definisi yang lebih tepat untuk corak tafsir bil
„ilmi dan sesuai dengan realitas di lapangan adalah: "Tafsir yang berbicara tentang
istilah-istilah sains yang terdapat dalam Al-Qur'an dan berusaha sungguh-sungguh
untuk menyimpulkan pelbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah AlQur'an itu."22
Dengan latar belakang inilah penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi
masalah ini. Untuk itu penulis mengajukan skripsi ini dengan judul: ISRA’
MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi komparatif penafsiran al-Razi
dn Thantawi terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan lebih jelas dan terarah serta tidak menyimpang jauh dari
pembahasan, penulis memberi batasan hanya pada pembagian Sayyid Muhammad

21

Dalam pandangan Muhammad Abduh, masyarakat amat membutuhkan petunjukpetunjuk guna mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Masyarakat tidak
akan menanyakan hal-hal terkait kaidah bahasa, i‟rab, dan sebagainya, begitupula dengan Allah
Swt. Masih menurut Abduh, hal-hal tersebut yang terdapat dalam beberapa kitab tafsir di masanya,
dan masa-masa sebelumnya, justeru menjadikan kitab tersebut bagaikan pelajaran bahasa, dan
kitab-kitab yang seolah hanya merupakan penjelasan ulama yang berbeda-beda tersebut makin
menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur‟an. Lihat: Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas alQur‟an: Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 20.
22
Syaikh Bakri Amin, al-Ta'bir al-Fanni fi al-Qur'an, (Beirut: Dâr al-Syurûq, 1980),
h.125

7

Ali Iyâzî dalam kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum23 atas tafsir-tafsir
dengan corak bil „ilmi dalam pembahasan Isra‟ Mi„râj.
Dalam kitabnya, Ali Iyâzî membagi tafsir bil „ilmi menjadi dua bagian,
Yakni, 1) Tafsir-tafsir bil „ilmi periode salaf terdiri dari Jawâhir al-Qur‟an karya
al-Ghazâli, al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-Râzî, alBurhân fî „Ulûm al-Qur‟an karya al-Zarkasyi, al-Itqân karya al-Suyûti. 2) Tafsirtafsir bil „ilmi periode khalaf terdiri dari Kasyf al-Asrâr al-Nûrâniyyah karya alIskandârâni dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an karya Thanthawi.24
Dari dua pembagian Ali Iyâzî atas tafsir bil „ilmi di atas, penulis hanya
akan mengambil satu tafsir dari masing-masing periode untuk dibahas. Dari tafsir
periode salaf yakni al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn alRâzî. Adapun dari periode khalaf yakni al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim
karya Thanthawi. Sedangkan ayat yang akan dibahas hanyalah Q.S. al-Isrâ‟ :1 dan
Qs. Al-Najm: 13-15.
Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini perlu adanya rumusan
permasalahan yang menjadi tema pokok yang dibahas dalam skripsi ini.
Permasalahan tersebut adalah :
1. Bagaimana tafsir-tafsir dengan corak bil „ilmi memandang peristiwa
Isra‟ dan Mi„râj ?
2. Apa perbedaan mendasar dari tiap tafsir dengan corak bil „ilmi
terhadap pembahasan Isra‟ Mi„râj ?
23

Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum, (Muassasah
al-Thaba‟ah wa al-Nasyr,1212)
24
Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, (Muassasah
al-Thaba‟ah wa al-Nasyr,1212), h. 94

8

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini, di samping ditujukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada program studi
tafsir-hadis, fakultas ushuluddin dan filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
juga ditujukan untuk menganalisis bagaimana bentuk saintifikasi al-Qur‟an pada
tasir-tafsir dengan corak bil „ilmi yang selama ini ada, khususnya pada ayat-ayat
mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
pada kajian tafsir umumnya, khususnya pada kajian tentang saintifikasi al-Qur‟an.
Pada level akademik, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi perkembangan
kajian

akademik,

khususnya

tafsir,

dan

secara

umum,

penelitian

ini

dipersembahkan sebagai sumbangsih bagi dunia pengetahuan di tengah-tengah
masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka
Kajian saintifikasi al-Qur‟an mulai menyentil rasa ingin tahu (sense of
curiosity) penulis, saat membaca buku yang berjudul Terpesona di Sidratul
Muntaha,25 sebuah buku karya Agus Mustofa. Dalam buku tersebut, dijelaskan
bagaimana proses terjadinya peristiwa Isra‟ dan Mi„râj yang dialami Nabi SAW
melalui perubahan materi ke anti-materi, relativitas waktu dan reduksiasi dimensi

25

Agus Mustofa, Terpesona di Sidratul Muntaha, (Sidoarjo: PADMA Press, 2004)

9

ruang dan waktu. Kesimpulan pribadi penulis bahwa apa yang dijelaskan oleh
Agus Mustofa dalam buku tersebut adalah sebuah penafsiran terhadap al-Qur‟an
yang bercorak bil „ilmi, walaupun ia tidak memberi judul yang menandakan
bahwa buku itu adalah tafsir al-Qur‟an. Rasa ingin tahu penulis ini tidak
terpuaskan karena dalam bukunya, Agus Mustofa tidak menjelaskan hadis-hadis
atau riwayat-riwayat yang ia gunakan dalam penafsirannya untuk mengungkap
Isra‟ dan Mi„râj dari sisi sains. Rasa penasaran pun berlanjut dengan menelusuri
bagaimana kitab-kitab tafsir bil „ilmi menjelaskan peristiwa Isra‟ dan Mi„râj.
Rasa ingin tahu tersebut tetap terpupuk hingga saatnya penulis menyusun
skripsi. Dengan berpedoman antara lain pada kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa
minhajuhum karya Ali Iyâzî yang dalam kitab ini Ali Iyâzî mengklasifikasi kitabkitab tafsir dan menjelaskan biografi singkat tentang penulisnya. Penulis mencoba
menelusuri bentuk saintifikasi al-Qur‟an yang dijelaskan oleh para mufassir pada
kitab-kitab tafsir bil „ilmi.

Untuk karya berupa skripsi yang berkaitan dengan topik yang penulis
ketengahkan dalam penelitian ini, penulis menemukan skripsi dengan judul
Kajian Isra‟ dan Mi„râj Menurut Pandangan Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam Tafsîr
Mafâtîh al-Ghaib.26 Adapun skripsi kedua yang penulis temukan berjudul
Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟râj (Telaah Penafsiran Q.S. al-Isra‟ :1
dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-Azhar.27

Adi Amir Zainun, “Kajian Isra‟ dan Mi‟raj Pandangan Fakhral-Din al-Razi Dalam
Tafsir Mafatih al-Ghayb”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003)
27
Ahmad Firmansyah, “Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟raj (Telaah Penafsiran
Q.S. al-Isra‟ :1 dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-Azhar,” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002)
26

10

Penulis menyadari, banyak karya yang telah membahas tafsir bil „ilmi,
terlepas dari pro dan kontranya. Namun, penulis melihat peluang melakukan
analisa untuk menjajaki kemungkinan pergeseran makna dalam tafsir-tafsir
dengan corak bil „Ilmi. Penulis berharap kajian awal ini memotivasi rekan-rekan
untuk lebih menggeluti kajian tafsir pada umumnya, khususnya tafsir
kontemporer, dan lebih khusus lagi pada bidang kajian saintifikasi al-Qur‟an.

F. Metode Penelitian
Setiap penulisan sebuah karya ilmiah haruslah menggunakan metode
penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang penulis gunakan untuk
membahas masalah kisah Isra‟ dan Mi„râj adalah kepustakaan (Library
Research), yakni dengan cara membaca, meneliti serta menganalisa dari bukubuku, majalah-majalah dan apa saja yang berkenaan dengan masalah yang penulis
bahas, yakni mengklasifikasi tafsir-tafsir bil „ilmi dengan cara melihat bagaimana
bentuk penafsiran pada ayat-ayat Isra‟ dan Mi„râj. Sedangkan data-data yang
diperlukan itu berasal dari sumber utama, dalam hal ini yang menjadi sumber
utama adalah kitab al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn alRâzî dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim karya Thanthawi.
Sedangkan mengenai teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press (CeQDA) cetakan
ke-11, 2007.28

28

Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) (Jakarta:
CeQDA, 2007)

11

G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi ke
dalam beberapa bab, dan pada setiap bab terdapat beberapa sub-bab. Dengan
sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan berisi pokok permasalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, metode pembahasan, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan umum mengenai Isra‟ Mi„râj, meliputi definisi,
pandangan menurut para ahli tafsir dan ilmuan, serta pro-kontra yang meliputinya,
Bab III : Mengenal al-Razi dan Thanthawi beserta tafsirnya, yang terdiri
dari biografi singkat dan beberapa karya-karya mereka, selayang pandang tentang
tafisr keduanya, latar belakang penulisan tafsir, metode, corak dan sistematika
penulisan masing-masing tafsir.
Bab IV : Penafsiran al-Razi dan Thanthawi mengenai Peristiwa Isra‟ dan
Mi„râj, serta perbandingan antara kedua tafsir tersebut.
Bab V : Penutup meliputi kesimpulan dan saran-saran.

12

BAB II
TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RÂJ

A. Definisi Isra’ Mi’râj
1. Etimologi
Kata-kata Isra‟ dan Mi‟râj yakni dua kata dalam bahasa Arab yang
masing-masing mempunyai arti sebagai berikut: Isra‟ (‫ = اس اء‬berjalan malam)
adalah bentuk masdar dari kata asrâ yusrî (‫ يس ى‬- ‫ )اس ى‬yang secara etimologis
berarti „berjalan pada malam hari‟, atau „membawa berjalan pada waktu malam‟.
Kata asrâ sendiri adalah mazîd bi harf (‫ )مزيد بح ف‬kata kerja yang sudah
mengalami penambahan satu huruf, yaitu alif. Dengan demikian, asrâ berasal dari
sarâ yasrî saryan wa sirâyatan (‫)س ى يس ي س يا و س اية‬.1 Menurut Ibnu Manzur, di
dalam bukunya Lisân al-„Arab, kedua kata tersebut (asrâ dan sarâ) mempunyai
arti yang sama, yaitu: „perjalanan pada malam hari‟. Menurutnya, penambahan
alif pada kata asrâ itu adalah menurut bahasa penduduk hijaz, dan sebagai
buktinya al-Qur‟an menggunakan kedua kata tersebut dengan arti yang sama.
Misalnya, di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 digunakan kata asrâ dan QS. Al-Fajr
(89): 4 yang menggunakan kata sarâ yasrî.2 Menurut Abu Ishaq, makna kedua
makna tersebut adalah „perjalanan yang dilakukan pada malam hari‟. Hanya saja,
pada QS. Al-Isrâ‟ (17): 1, Allah SWT memperkuat atau ta‟kîd kata asrâ dengan
al-Lail (malam). Pendapat lain, seperti yang dikutip oleh al-Raghib al-Asfahani di
Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan
Bimantara, 2002), jilid 1, h. 1.
2
Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisân al-„Arab, (Beirut: Dâr Shadir, tth), Juz
14, h. 377.
1

13

dalam Mu‟jam Mufradât li Alfâzi al-Qur‟an dan Mufradât fî Gharîb al-Qur‟an,
menyebutkan bahwa kata asrâ tidak berasal dari kata sarâ yasrî, tetapi dari kata
al-Sarâh (‫)الس اة‬, yaitu al-Irtifa‟ wa al-„Uluw, kenaikan dan ketinggian, yang kata
dasarnya berasal dari saruwa sarwan wa sarâwatan (‫)س و س وا و س اوة‬. Di samping
itu, kata al-Sarâh juga berarti „ard wâsi‟ah (‫واسعة‬

‫ = ا‬bumi yang luas),

sehingga makna firman Allah di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 adalah “Maha suci
Allah yang memperjalankan hamba-Nya di tanah yang luas pada malam hari”.3
Adapun pengertian Mi‟râj adalah kata benda tunggal yang berarti alSullam wa al-Mas‟ad (‫ = السلم و الم عد‬tangga dan atau alat untuk naik). Secara
bahasa, menurut Ibnu Faris, kata yang terdiri dari huruf „ain (‫)ع‬, ra‟ ( ), dan jim
(‫ )ج‬menunjukkan tiga arti: pertama, mail (‫ = ميل‬condong dan miring), seperti kata
al-A‟raj (‫ )اأع ج‬yang terdapat di dalam QS. Al-Nur (24): 61. Kedua, ia juga bisa
menunjukkan kepada al-„Adad (‫ = العدد‬bilangan). Dan ketiga, ia berarti al-Irtiqâ‟
wa al-Irtifâ‟ ilâ al-Sama‟ yang berarti meningkat dan naik ke atas langit.4
2. Terminologi
Isra‟ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dengan arah horizontal,
yakni dari Masjid al-Haram di Mekkah sampai ke Masjid al-Aqsha di Yerusalem
yang dijalankan oleh Allah SWT pada malam hari. Perjalanan tersebut dilakukan
dalam satu malam.5

Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan
Bimantara, 2002), jilid 2, h. 1.
4
Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan
Bimantara, 2002), jilid 2, h. 2.
5
Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.4,
h. 66.
3

14

Sedangkan Mi‟râj secara terminologi, menurut Ibnu Manzur berarti alTarîq al-Lazî tas‟udu fîhi al-Syai‟ (‫ = الط يق ال ي ت عد فيه الشيئ‬jalan yang digunakan
padanya oleh sesuatu untuk naik).6 Lebih jelasnya adalah dinaikkannya Nabi
Muhammad SAW dari Masjid al-Aqsha menuju langit untuk melihat keajaiban
besar7 dan bertemu dengan para nabi8 dan kemudian berhenti di Sidratul
Muntaha.9 Di sini Nabi menerima wahyu yang mengandung perintah mendirikan
shalat lima waktu sehari semalam. Mayoritas ulama‟ berpendapat bahwa peristiwa
ini terjadi pada tanggal 27 Rajab, setahun sebelum Nabi SAW hijrah ke
Madinah.10
Berdasarkan keterangan hadis Nabi, dapat difahami bahwa perjalanan
malam itu berlangsung secepat kilat, dengan ditemani oleh malaikat Jibril dan
memakai kendaraan Buraq (akar katanya: barq, yang berarti kilat).11

B. Isra’ Mi’raj perspektif ahli tafsir
Peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj Rasulullah SAW telah banyak menimbulkan
perbedaan pendapat. Pengertian menurut para ahli tafsir sangat penting, karena
peristiwa ini juga terdapat dalam al-Qur‟an. Di bawah ini penulis mengambil
beberapa pendapat dari beberapa ahli tafsir.
6

Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisân al-„Arab, Juz 2, h. 320.
Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405
H), juz 15, h.12.
8
Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr
wa al-Tauzî‟, 1997), juz 5, h. 58.
9
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah alrisalah, 2000), juz 17, h. 333.
10
Ahsin W. al-Hafidz, M.A, Kamus Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2006), cet ke-2,
h.125.
11
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 456.
7

15

1. Muhammad Jarir al-Thabari dalam tafsirnya mengatakan :
“Sesungguhnya Allah meng-isra‟-kan hambanya yakni Muhammad SAW.
dari Masjid al-Haram hingga Masjid al-Aqsha, ini sebagaimana yang
dikabarkan Allah kepada hamba-hambanya, dan sebagaimana kabar-kabar
dari nabi yang sangat jelas, bahwa sesungguhnya Allah membawanya ke
atas Buraq sehingga Dia mendatangaka nabi kepada-Nya.”12

2. Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan :
“Isra‟ dan Mi‟râj terjadi setahun sebelum hijrah pada 17 Rabiul Awwal..
Cara keberangkatannya adalah dalam keadaan terjaga bukan tidur, dengan
mengendarai buraq. Hal ini berdasarkan pada pendapat sebagian ulama
yang mengatakan bahwa ayat tentang Isra‟ menegaskan bahwa Allah Swt
telah memperjalankan hamba-Nya, sedangkan hamba itu adalah kumpulan
dari ruh dan jasad. Oleh karena itu Isra‟ dan Mi‟râj pastilah terjadi dengan
jasad dan ruh.”13
3. Muhammad

Ali

al-Shabuny

dalam

tafsirnya

Shafwat

al-Tafâsir

menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj
pada pertengahan malam dan perjalanan tersebut dilakukan dalam keadaan
sadar (tidak tidur) dengan ruh dan jasad.14

4. M. Husain Haikal berpendapat :
“Rasulullah SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj hanya dengan ruhnya saja,
karena pada saat itu seluruh alam semesta sudah bersatu ke dalam jiwanya.
Haikal menyandarkan pendapatnya pada dua hal, pertama adalah hadits
dari Muawiyah bin Abi Sofyan yang menyatakan bahwa Isra‟ dan Mi‟râj
hanya dengan ruh saja. Kedua adalah dengan ilmu pengetahuan modern
yang telah mengakui Isra‟ dan Mi‟râj itu dengan ruh, karena apabila
tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang benar itu akan
memancar.15

al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an, juz.17, h. 350.
Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, h.5.
14
Muhammad Ali al-Sabuni, Safwat al-Tafâsir, (Beirut: Dâr al-Qur‟an al-Karim, 1980),
jilid II, h. 151.
15
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1978),
h.170.
12

13

16

C. Isra’ Mi’râj perspektif Rasionalis
Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj menjadi tanda
tanya besar bagi akal manusia pada masa itu. Sebagai sebuah peristiwa
supranatural Isra‟dan Mi‟râj menjadi isu sentral di kalangan terpelajar Quraisy,
dan mungkin akan terus menjadi objek perdebatan pengetahuan yang aktual. Ada
baiknya kita mencoba menguji teori-teori pengetahuan yang ada untuk melakukan
tasdiq (assent; pembenaran) terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj.
1. Teori Rasional
Teori rasional mempercayai adanya dua sumber konsepsi: pertama,
penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsi panas, cahaya, rasa dan suara karena
penginderaan kita terhadap semuanya. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal
manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak
muncul dari indera, tetapi sudah ada dalam lubuk fitrah. Indera adalah sumber
pemahaman terhadap

konsepsi-konsepsi

dan gagasan-gagasan sederhana,

sementara fitrah adalah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam
akal. Konsepsi Fitri itu adalah “ide Tuhan”.16 Menurut Descartes,17 agaknya
keputusannya tentang ide fitri ini karena ia menemukan hanya matematikalah
(ilmu pasti) yang merupakan kepastian, untuk satu hal yang irasional atau di luar
jangkauan ilmu pasti ia hanya mengatakan: “Bagaimana saya tahu dan meyakini
Lihat: Sayyid al-Islam Ayatullah al-‟Udzma Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatunâ:
Dirâsah maudlû‟iyah fî al-mu‟tarak al-Sira‟ al-Fikr al-Qa‟im baina al-Mukhtalaf al-Thayarat alFalsafiyah wa al-Falsafah al-Islâmiyyah al-Maddiyyah al-Diyaliktiyyah (al-Markasiyyah), (Qum,
Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1981), h. 29.
17
Rene Descartes (1596-1650) adalah filosof, matematikawan dan ilmuwan Prancis.
Lahir di La Hume Tourine. Ia memulai filsafatnya dengan badai skeptisisme melalui dalilnya yang
terkenal: cogito ergo sum (I think, therefore I am; Aku berfikir, maka Aku eksis) yang juga dikenal
dengan imanensi Descartes. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, cet. I 1995). h.76. Lihat juga: Siswanto, M. Hum, Dari Aristoteles sampai Derrida:
Sistem-sistem Metafisika Barat, (Pustaka Pelajar, cet. I Mei 1998 M), hal. 24-26.
16

17

tentang semua benda yang saya nyatakan saya ketahui?” doktrin rasionalitas
guncang karena ia tidak bisa menembus alam metafisik.18
Adapun bagi Kant,19 semua bidang pengetahuan manusia adalah fitri,
tetapi ia mengingkari adanya ide fitri –yaitu ide yang diketahui sebelum
pengalaman indrawi apapun. Ia menyatakan bahwa fakultas-fakultas sensibilitas
dan pemahaman kita memiliki struktur-struktur formal yang mempola
pengalaman kita. Ini berarti bahwa kausalitas-kausalitas tertentu yang kita
persepsi pada objek-objek diberikan kepada objek-objek itu dari struktur alami
sensibilitas dan pemahaman kita.20
Dalam peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, kedua teori di atas menjadi mentah.
Sebab, pertama, peristiwa Isra‟ dan Mi„râj adalah sensasi Nabi seorang diri dan
tidak bisa dicarikan pembuktiannya secara umum. Penginderaan Nabi berfungsi
sebagaimana mestinya. Kedua, tidak ada ide fitrah atau penghayatan fitriah prakonsepsi Isra‟ dan Mi„râj. Ia menjadi pengalaman indrawi Nabi yang pure
sensasional.

Jika kita mengikuti hukum rasio, maka harus ada pengalaman intuitif yang
diakui secara umum kebenarannya. Ia adalah informasi primer, sementara pikiran
manusia adalah informasi skunder. Jika kita melakukan penjajakan teoritis
(melalui proses berfikir) tentang Isra‟ dan Mi„râj, maka kita akan menemukan dua
18

Lihat : Siswanto, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-sistem Metafisika Barat, h.

27-28.
19

Immanuel Kant (1724-1804) adalah filosof Jerman, lahir di Konigsberg. Pada usia 10
tahun ia masuk Collegium Fredicianum dengan niat mempelajari teologi –ia tumbuh menjadi
orang yang shaleh. Ketika ia masuk Universitas Konigsberg pada tahun 1740, ia mengembangkan
minat pada matematika, geografi fisik, fisika, logika dan metafisika. Kemudian ia mengajar pada
universitas tersebut. pada tahun 1770 ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika. Lihat:
Kamus Filsafat hal. 170.
20
Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h. 29.

18

hal: pertama, pelaku peristiwa, kedua, peristiwa itu sendiri. Karena Isra‟ dan
Mi„râj bukan salah satu proporsi primer rasional, maka yang terjadi adalah aporia
(kebingungan), maka, kita harus kembali kepada sumber-sumber pengetahuan
yang ada yaitu nabi sendiri sebagai data primer (sedangkan rasio kita mau tak mau
hanya berfungsi sebagai data sekunder). Allah SWT menjadi fungsionaris tunggal
dalam rekayasa yang bernama Isra‟ dan Mi„râj ini.21
Kant juga menolak konsep a priori (pengalaman yang mendahului sebuah
kausa dan independen)22 dan menciptakan teori a posteriori (kausa (sesuatu)
datang sesudah pengalaman).23 Padahal keduanya sama-sama lemah. Semua
proporsi menuntut pengetahuan pendahuluan yang primer, yang jika ia
disingkirkan maka tidak akan pernah ada pengetahuan teoritis. Menyingkirkan
peran Allah dalam peristiwa isra‟ dan Mi„râj berarti menutup kemungkinan untuk
mengetahui Isra‟ dan Mi„râj sendiri. Isra‟ dan Mi„râj bukan peristiwa a priori nabi
karena ia tidak punya konsepsi fitri tentang itu.

Ayatullah Baqir al-Shadr menyatakan bahwa tidak ada gagasan apapun
dalam diri manusia pada saat lahir di muka bumi. Allah berfirman: “Dan Allah
yang mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian. Kalian tidak mengetahui
sesuatu pun. Dan ia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati
agar kamu bersyukur. (QS. al-Nahl (16): 78).
Isra‟ dan Mi„râj juga bukan peristiwa a posteriori, tidak mengakibatkan
apapun. Pesan religius yang ada pada Isra‟ dan Mi„râj bukan pengangkatan status
21

Ini adalah metode Ayatullah Muhammad Baqir al-Shadr dalam membantah mutlaknya
teori penginderaan. Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.37-38
22
Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 21.
23
Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 19.

19

nabi dari seorang hamba, tetapi adalah pengukuhan kehambaan melalui dialog
transendental setelah ketakwaan dan kesadaran nabi membuahkan keterikatan
yang immanent (tetap ada) sebelumnya.

2. Teori Empirikal

Teori empirikal mendasarkan diri pada eksperimentasi dan observasi
sehingga sangat mengagungkan penginderaan karena ialah yang membekali akal
manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan. Eksperimen-eksperimen
ilmiah telah menunjukkan bahwa indera adalah sumber pokok konsepsi, dengan
tidak menafikan kemampuan akal budi menghasilkan pengertian-pengertian
baru.24 Kegagalan teori empirikal, bahwa ia tidak menjelaskan apa-apa dengan
indera selain gejala yang beriringan dalam hukum kausalitas. Ilmu-ilmu
eksperimental yang menjelaskan kausalitas menyatakan bahwa air akan semakin
panas ketika diletakkan di atas api, dan kemudian mendidih, tetapi tidak
menjelaskan keharusan mendidih pada suhu tertentu. Kalau eksperimen empirikal
tidak mampu mengungkapkan konsep kausalitas, bagaimana pula konsep itu
muncul dalam akal manusia.
David Hume25 lebih akurat dalam menerapkan teori empirikal. Ia
mendefinisikan bahwa kausalitas tak mungkin diketahui oleh indera. Semua
adalah kebiasaan “pengasosiasian ide-ide”. Ia berkata: “Aku melihat bola bilyar
bergerak dan menabrak bola lain yang lantas bergerak. Tetapi dalam gerak bola
yang pertama, tak ada yang menunjukkan kepadaku keharusan gerak bola yang
24

Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h. 31-34.
David Hume (1711-1776) adalah filosof Scottish yang lahir di Edinburgh dan belajar di
Edinburgh University. Ia adalah tokoh empirisisme yang konsisten, ditokohkan bersama Locke
dan Barkeley. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 140.141.
25

20

kedua. Indera batin menunjukkan kepadaku bahwa gerak anggota tubuh mengikuti
perintah kehendak. Tetapi itu tidak memberikanku pengetahuan langsung
mengenai hubungan yang mesti antara gerak dan perintah.26 Ia juga menjelaskan
bahwa tidak ada keharusan yang mengikuti sebuah kausa dengan efeknya. Kausa
dan efek dihubungkan dalam sebuah urutan temporal, keteraturan urutan,
kesinambungan dan keterkaitan yang konstan. Semua itu hanya masalah asosiasi
gagasan-gagasan kita, bukan masalah kekuatan produktif yang menghadirkan
sebuah efek dari sebuah kausa, atau menyebabkan sebuah kausa menuntut efek
tertentu.27 Ia mencontohkan bahwa cahaya yang keluar sebelum dentuman meriam
bukan penyebab suara atau terlontarnya peluru. Jauh sebelum Hume, al-Ghazali
telah menyatakan: “Ayam yang berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab
terbitnya fajar”. “Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C dan dari
C ke D tidak membuktikan bahwa pergerakan dari B ke C disebabkan oleh
pergerakan dari A ke B”, kata Newton, penemu gaya gravitasi.
Jika demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam adalah “a
summary of statistical averages” (ikhtisar statistik pukul rata). Sehingga apa yang
dinamakan “kebetulan” bukan tidak mungkin juga suatu kebiasaan atau hukum
alam, kata Pierce, seorang ahli ilmu alam. Einstein menyatakan bahwa semua
kejadian diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar alam yang
superior). Inilah yang ditegaskan Allah dalam firmanNya sebagai pengantar
peristiwa Isra‟ dan Mi„râj: “Kepada Allah saja tunduk apa yang di langit dan apa
yang di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, mereka tidak

26
27

Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.34-35.
Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 141.

21

menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan yang berkuasa atas mereka dan
melaksanakan perintahnya” (QS. al-Nahl (16): 49-50).28
Jika pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman
secara ilmiah terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi„râj maka pemaksaan pembuktiannya
menyebabkan ia menjadi tidak ilmiah lagi. Apalagi jika diingat bahwa asas
filosofis ilmu pengetahuan adalah trial and error (yakni observasi dan
eksperimentasi terhadap fenom