Bahan Pemahaman Alkitab Fakultas Teologi UK Duta Wacana Yogyakarta Indonesia

Bahan Pengantar Pemahaman Alkitab/ Diskusi Teologis F.Th.
UKDW
Semester Ganjil 2013/ 2014
Selasa, 22 Oktober 2013
Akan[kah] Turun Lagi Air Bah Itu ! [?]
Kejadian 7:1-24
Paulus Eko Kristianto
Pengantar
Pertemuan sebelumnya menunjukkan bahwa Allah pun bisa
dilema dalam melihat situasi buruk yang terjadi (manusia yang

salah kedaden-EGS). Gambaran ini sangat bersifat manusiawi
apalagi bila dicerminkan dengan kelompok generasi Y yang
hobinya dilema dan “galau” terus sampai-sampai semua tertuang
dalam jaringan sosial (facebook, twitter, moment.me, kaskus,
path, pinterest, wechat, bbm, google+, dsb.). Kelompok ini terasa
sangat menikmati (kecanduan) moment ini sambil didukung
instrumental atau lagu melankolis. Biasanya kalau sudah begitu,
mereka cenderung sulit mengambil keputusan. Jadi, generasi Y
perlu diajak belajar seni mengambil keputusan (tindakan etisteologis). Namun, di sini letak perbedaan Allah dan manusia,
Allah tidak begitu saja tenggelam. Ia mengambil keputusan.

Bagian ini merupakan wujud keputusan (realisasi pikiran) itu,
yakni air bah (banjir-TB BIS).
Kata “banjir” dekat dengan konteks (geografis) Indonesia,
contohnya tsunami Aceh 2004, banjir musiman Sitiarjo, dsb.
Korbannya pun banyak walaupun tidak sebanyak air bah-Nuh
karena banjir semesta. Kalau sudah demikian, berarti air bah
1

sudah

datang

lagi

donk?

Katanya,

Allah


berjanji

tidak

menurunkan air bah lagi (Kej. 9), tapi kok banyak air bah (skala
lokal)? Apa janji itu dimaknai “Allah tidak menurunkan air bah
(semesta) tapi lokal-lokal saja atau kontur Indonesia memang
mendukung muncul banyak bencana? Bagaimana diskusi Anda?
[pertanyaan 1] Saya menggunakan korelasi ini karena berjumpa
dengan memori (aftermath) kesedihan muncul pasca-banjir.
Memori ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Bahkan, gereja dan
LSM dipanggil turut terlibat dalam pelayanan ini. Maka, tak heran
bila kita (mahasiswa teologi) perlu belajar metode trauma healing
dan

pastoral

krisis

akibat


bencana.

Menurut

saya,

tanpa

kesediaan mendengarkan suara memori ( aftermath) ini, gereja
dan LSM belum menjalankan perannya menyuarakan nilai-nilai
(etika) Kerajaan Allah sebagaimana biasa dibingkai dalam misi
holistik. Poin ini menjadi Pekerjaan Rumah bersama.
Multi Kon[-teks]tual “Narasi” Air Bah
1. Rekan-rekan korban banjir bandhang (dan tsunami) pasti
langsung mengasosiasikan air bah sama dengan banjir itu.
Atau, air bah diasosiasikan seperti pemikiran Yahudi kuno
(Hadiwijono) atau adakah asosiasi lain? Saya yakin setiap
orang memiliki imajinasi (berdasarkan pengalaman empiris
dan eksperiensial1) berbeda-beda dalam mendengar kata

1

Dalam kajian praksis pendidikan, kita mengenal dua rumpun pemahaman (ilmu) dari pengalaman nyata yakni
empiris dan eksperiensial. Empiris merupakan sebuah pengamatan (pengalaman) obyektif yang direkam, dan hasil
rekamannya menjadi semacam bukti positif keberadaan obyek tersebut. Dalam perkembangannya, tindakan empiris
tersebut menjadi sebuah kajian teori. Maka, tidak heran apabila teori senantiasa mengalami perubahan karena
tindakan empiris turut berkembang pula. Sedangkan, eksperiensial merupakan aktivitas pendidikan (kegagalan atau
keberhasilan dalam pembelajaran atau penilaian) yang sungguh-sungguh dialami guru (fasilitator) dan naradidik
dengan diiringi latar belakang pengalaman, kesadaran, ideologi, atau intensinya masing-masing (subyektifitas).
Dalam perkembangannya, tindakan eksperiensial melahirkan deskripsi, narasi, dan interpretasi atas pengalamannya.
Dua pemahaman (empiris dan eksperiensial) terkesan berbeda karena yang satu (empiris) obyektif sedangkan
lainnya (eksperiensial) subyektif. (Yuwono, et.al.: 2013, 71-73) Namun, keduanya saling mengisi dalam

2

tersebut dan akan sedikit banyak mempengaruhi dalam
pembacaan teks ini (tafsir imajinatif). Bagaimana imajinasi

Anda tentang teks ini dan diskusi teologis apa yang dapat
dimungkinkan muncul? [pertanyaan 2]. Bahkan, langkah ini

bisa

melahirkan

strategi

membaca

teks

dari

perspektif

pembaca (RS). Metode ini menempatkan pembaca diberi
ruang berfantasi bersama teks dengan melihat berbagai
kemungkinan peristiwa yang ada tapi langkah ini tidak mudah
sebab perjumpaan teks dengan pembaca masih berkaitan
dengan


pengalamannya

(empiris

&

eksperiensial).

Bagaimanapun, pengalaman turut membingkai bagaimana
orang berpikir dan berperilaku (etis) terhadap sesuatu.
2. “Narasi” air bah bukan barang baru (tunggal) melainkan
intertekstual. Narasi ini sudah ada (juga) di berbagai karya.
Gerrit Singgih menunjukkan di antaranya cerita The Eridu
Genesis (1600 sM)2, Epos Atrahasis (1650 sM)3, dan Gilgamesy
(1200 sM)4. Bahkan, narasi ini pun terdapat dalam Quran dan

pre-Islamic

Arabic


Poems.

Semua

teks

mengandung

konteksnya masing-masing. Kelompok sastrawan/wati aliran
strukturalis genetis menginspirasikan bahwa jika karya sastra
hanya dipahami dari unsur intrinsik saja maka karya sastra
dapat dianggap lepas dari konteks sosialnya (ekstrinsik). 5 Jadi,
perkembangan pendidikan. Maka, istilah yang kerap kita kenal menjadi empiris-eksperiensial. J. Bismoko, “Filsafat
Ilmu Pendidikan Berbasis Sistem” dalam Prapto Yuwono, et.al (eds.). Menggugat Fragmentasi dan Rigiditas Pohon
Ilmu (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013). h. 72-74. Dalam perjalanannya, keduanya membentuk
imajinasi dan pola pikir seseorang. Namun, hal tersebut barulah terjadi apabila pengalaman direfleksikan menjadi
edukatif (John Dewey)
2
Lihat Emanuel Gerrit Singgih, Dari Eden ke Babel: Sebuah Tafsiran Kejadian 1-11 (Yogyakarta: Kanisius, 2011),
h. 195.

3
Lihat Ibid. h. 196.
4
Lihat Ibid. h. 197.
5
Iswanto, “Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik” dalam Jabrohim (ed.). Teori Penelitian
Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 78.

3

karya tidak ada yang bebas nilai (ideologis). Semua muncul
karena ada kepentingan. Masalahnya, apakah kepentingan itu
membangun atau tidak? Semua dapat dilihat dari buahnya.
3. John J. Collins menunjukkan teks ini dimainkan oleh dua
kelompok, yaitu Jahwist (J) untuk Kej. 7: 1-5, 16b-23 dan

Priestly (P) untuk Kej. 7: 6-16a, 24. 6 Perbedaan permainan ini
membawa dampak dalam memahami teks. Bila dipetakan
secara umum, perbedaan itu terkait (a) identifikasi tokoh Nuh
dan karyanya membangun bahtera7, (b) jenis binatang yang

dibawa Nuh8, dan (c) penggambaran skala bencana air bah 9.
Perbedaan suara ini menyodorkan bahwa teks tidak hanya
mengandung satu suara saja melainkan jamak. Setiap suara
menampilkan idenya masing-masing dan tak jarang semua
aliran bertabrakan antar satu dengan lainnya (konflik atau
hibriditas) dalam setiap perjumpaannya. Oleh karena itu,
menyelaraskan kepentingan menjadi poin penting dalam
melihat

“teks”

dengan

berbagai

konflik

intrinsik

dan


perbedaan. Bila kita melihat teks ini dan “teks kehidupan”,

nilai apa yang bisa kita pelajari dalam melihat polifoni
kelompok Y dan P? [pertanyaan 3] Hal ini menjadi penting
dalam pembelajaran bagi gereja dan masyarakat untuk
merayakan perbedaan yang ada guna terciptanya persekutuan
saling ketergantungan (interdependensi) dan terbuka.
Akan[kah] Turun Lagi Air Bah Itu ! (?)

6

John J. Collins. Introduction to The Hebrew Bible (Minneapolis: Augsburg Fortress, 2004), h. 52-54.
Lihat Emanuel Gerrit Singgih, Dari Eden ke Babel, h. 202.
8
Lihat Ibid., h. 203.
9
Lihat Ibid., h. 204.
7


4

Air bah skala semesta (kelompok P) sudah terjadi pada zaman
Nuh dan tidak akan terulang lagi walaupun air bah skala lokal
tetap terjadi di mana-mana (sesuai kelompok Y). Kalau demikian,
apakah janji Allah meleset atau alam sudah berlaku demikian?
pertanyaan poin satu sudah membantu Anda. Masalahnya, bila
air bah (kosmis atau lokal) itu turun lagi, penghuni perlu
disiapkan sebagai bentuk pengurangan risiko bencana. Kita perlu
belajar

membaca

tanda-tanda

alam

karena

ia

pun

bisa

berkomunikasi dengan kita. Sayangnya, kemajuan teknologi
mendongkrak kita kehilangan relasi dengan mereka. Kalau sudah
demikian, bagaimana kita memulihkan relasi itu agar tanda-tanda

alam

tetap

bisa

ditangkap

kita

di

tengah

modernitas

(postmodern)? [pertanyaan 4]
Poin penting bila air bah datang yaitu “peradaban” dalam
bahaya. Bagaimana tidak, semua hilang disapu oleh air. Banyak
orang tidak siap dengan situasi itu karena alarm psikologis
mereka bermain (trauma). Semua hasil usahanya bertahun-tahun
tiba-tiba disapu habis dalam hitungan menit saja. Keabadian
menjadi kemustahilan. Bukankah tidak ada yang abadi di dunia
ini!

Semua

akan

hilang

pada

waktunya.

Anehnya,

orang

berbangga di tengah kefanaan hidup. Superioritas menjadi kawan
mereka. Kalau alam sudah bertingkah, semua terdiam dan hanya
bisa melihat dengan pasrah tanpa bertaji. Siapa yang menang
dan kalah? Tanyalah pada rumput bergoyang. Semua berjalan
dalam labirin.
Penutup
Alam

sudah

menceritakan

“narasi”nya

dan

kita

sudah

memiliki “teks, simbol, narasi” yang dibingkai menjadi satu dalam
5

pengalaman. Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari semua itu?
Akankah manusia tetap bertingkah? Akankah kita membangun
persekutuan kembali dengan alam? Peminat (dan pengikut)
ekoteologi (ekofeminis) tentu sudah mengarahkan orientasi
“mata” kita. Sekarang, tinggal kita bagaimana menjalaninya?

Temukan refleksi transformatif personal-komunal Anda sebagai
bekal pelayanan dalam praksis! [pertanyaan 5]. Selamat ber-PA!
Bumi
sekaligus ibu. Dia adalah ibu dari semua
Karena di dalamnya terkandung
benih dari semua.
Bumi dari umat manusia
mengandung semua yang lembab
semua yang hijau
semua daya berkecambah
Dia serba subur
Namun, bumi membentuk bukan hanya bahan baku
yang utama untuk umat manusia
melainkan seluruh zat Anak Allah.
Meditations with Hildegrade of Bingen,
Bear and Company, 1982, h. 51 dikutip
Celia Deane-Drummond. Teologi & Ekologi: Buku Pengangan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h. 68.

6