fakultas teologi 16 08 25 fteo waraduta vol 10 no 1 2016

Pdt. Paulus S. Widjaja, MAPS, Ph.D
Salah satu trending topic yang hangat dibicarakan masyarakat
akhir-akhir ini tak pelak lagi adalah fenomena LGBT. Guru besar IPB
Prof Dr Euis Sunarti dan kawan-kawan akademisi lainnya bahkan sudah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk meninjau
ulang pasal 292 KUHP, dan meminta agar para lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dihukum penjara maksimal 5 tahun.1
Sayangnya, banyak orang yang ketika membicarakan fenomena LGBT ini tidak memilah-milah dulu isunya. Itu sebabnya percakapan yang terjadi tidak membawa pencerahan, tapi justru
perpecahan di antara rakyat, tak terkecuali umat Kristen. Banyak
orang yang tidak membeda-bedakan apakah yang kita bicarakan itu Lesbian, Gay, Biseksual, atau Transgender. Bahkan ketika
variabelnya menjadi menjadi makin kompleks dengan ditambahkannya golongan Queer (Q)
dan Interseks (I), pemilahan isu juga tetap tidak dilakukan. Semua variabel orientasi seksual
ini dimasukkan begitu saja ke dalam satu keranjang, dan kemudian orang-orang dipojokkan
untuk membuat tanggapan dalam sebuah zero-sum game yang bersifat binary dan hanya
memiliki dua jawaban: menerima seluruhnya atau menolak seluruhnya. Pendekatannya sangat monolithik. Kerancuan semacam ini sama seperti jika kepada kita diperhadapkan sebuah
keranjang dengan nama perkawinan, dan kemudian kita diminta untuk memberi tanggapan
apakah kita menerima perkawinan atau menolaknya, sementara di dalam keranjang tersebut
terdapat berbagai macam variabel perkawinan mulai dari perkawinan monogami, perkawinan
poligami, sampai pada kumpul kebo maupun friends with beneit dan sebagainya. Sementara
variabel-variabel orientasi seksual sendiri mungkin di masa depan juga masih akan bertambah menjadi lebih banyak lagi.
Bukan saja kita tidak membedakan berbagai macam variabel orientasi seksual, kita juga tidak membedakan antara orientasi seksual dan praktik seksual, seolah-olah seseorang yang
memiliki orientasi seksual tertentu sudah pasti mempraktikkannya. Demikian pula sebaliknya,
jika seseorang mempraktikkan orientasi seksual tertentu, maka pasti orang yang bersangkutan mempunyai orientasi tersebut. Kita menyamakan dan menyatukan begitu saja antara

orientasi seksual dan praktik seksual; padahal dalam realita, persoalannya tidaklah sesederhana itu. Selain itu, kita juga tidak membedakan antara LGBT by nature dan LGBT by nurture.
Kita bahkan juga mengabaikan fakta bahwa ada juga LGBT by choice, tidak hanya sekedar
persoalan nature atau nurture saja.
Bukan hanya isunya itu sendiri yang tidak kita pilah secara jernih, kita juga tidak memilah
secara jernih tanggapan kita terhadap fenomena LGBT ini. Kita tidak membedakan antara
sikap menerima saudara-saudara LGBT dalam arti merangkul mereka, dengan sikap menerima dalam arti melegitimasi mereka, atau sikap menerima dalam arti yang lain lagi. Kita
berasumsi bahwa ada semacam common sense atau common criteria untuk fenomena yang
sangat kompleks ini. Kita tidak merasa perlu mengklariikasi dulu apa yang kita bicarakan dan
bagaimana kita membicarakannya.
Ini semua menunjukkan bahwa banyak orang yang terlalu menyederhanakan persoalan
LGBT, bahkan mungkin banyak yang tidak memahami apa LGBT itu sendiri. Kita lalu beradu pendapat dengan bekal pemahaman yang sangat minim. Akibatnya jelas: debat kusir.
Sama seperti orang-orang yang berdebat tentang reklamasi pantai Jakarta tanpa pengetahuan yang memadai tentang kompleksitas persoalan reklamasi pantai. Masing-masing hanya berpegang pada asumsinya sendiri yang serba minim, tanpa mau mendengarkan yang
lain. Debat di antara para pemimpin Kristen pun tak terkecuali. Di sini persoalannya malah
tambah rumit karena pemahaman tentang pengilhaman Alkitab yang berbeda-beda di antara
orang-orang Kristen yang berdebat itu biasanya diabaikan.
Oleh karena itu, dalam menanggapi fenomena LGBT ini sebaiknya kita semua memang menenangkan diri terlebih dahulu dan mencoba untuk saling mendengarkan satu terhadap yang
lain, sambil mengingat nasihat Amsal 18:13, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.”
1 htp://news.deik.com/berita/3256327/guru-besar-ipb-dkk-minta-lgbt-dipenjara-5-tahun-kuhp-sudah-idak-relevan?_ga=1.110
779781.1279791666.1468763982 diunduh 19 Juli 2016.


Proil Dosen

Vol. 10. No.1. Januari-Juli 2016

Pdt. Handi Hadiwitanto, PhD
Saya adalah anak pertama dari dua bersaudara, lahir di Bandung, 3 Juli 1971. Saya besar di lingkungan keluarga yang biasa disebut peranakan Tionghoa Kristen. Dan seperti apa yang
khas dalam lingkungan keluarga seperti itu pada tahun 70an, nuansa eksklusif-tertutup amat kuat terasa dalam keluarga saya, akibat perlakuan diskriminatif dari sebagian orangorang yang anti perbedaan. Hal itu menggelisahkan saya
khususnya ketika saya memasuki usia remaja. Masa SD dan
SMP saya di sebuah sekolah swasta kristen pilihan orang tua
dengan siswa yang nyaris beretnis dan beragama seragam
dengan saya membuat saya merasa ada yang kurang kalau
tidak bisa disebut salah dengan kehidupan ini. Berdasarkan
kegelisahan itulah saya membulatkan tekad untuk memilih
untuk sekolah di sebuah SMA negeri di Bandung.
Saya bersekolah di SMA Negeri 2 Bandung mulai tahun 1986. Hari pertama sekolah rasanya
saya seperti kehilangan seluruh kenyamanan dan rasa aman yang selama ini saya miliki. Tapi
ketika waktu mulai berjalan saya seperti menemukan apa yang hilang, yaitu: belajar untuk
‘hidup dalam perbedaan dan bukan menghindari perbedaan’. Perjalanan 3 tahun pada masa
SMA ini membuat saya membuka mata selebar-lebarnya tentang kehidupan, persahabatan,
dan cinta kasih dalam keragaman yang mengharukan. Karena itu meskipun sudah sejak SMP

saya memutuskan untuk studi teologi, tetapi masa SMA ini membentuk dengan kuat panggilan, visi dan nilai keutamaan yang amat mendasar bagi motivasi dan hidup saya.
Selesai dari SMA saya memutuskan untuk belajar di Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta. Di
sekolah ini saya melanjutkan kegembiraan berpikir dan belajar secara lebih sistematis. Ada
banyak ide dan pemikiran yang tersedia untuk saya olah dalam menjawab berbagai kegelisahan maupun dalam mengasah lebih jauh panggilan serta visi hidup. Pemikiran dosen
dan berbagai literatur sepertinya tidak pernah lelah menantang saya untuk masuk dalam
kegairahan mencari dan mengenali perbedaan dan keragaman dalam kehidupan yang saya
cintai ini. Itulah modal besar yang amat saya syukuri ketika saya menyelesaikan studi teologi
dan memasuki dunia pelayanan Gereja. Bulan Januari tahun 1995 saya memulai masa pelayanan di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jl. Veteran no. 49 Tasikmalaya dengan visi dan misi
yang kuat, yaitu berbagi hidup dan cinta dengan kegembiraan sebagai semangat. Bersama
dengan istri saya, Pdt. Christa Charisda Hulu, rekan kuliah saya di UKDW, kami memelihara
visi dan misi yang sama.
Visi dan misi itulah yang juga mewarnai seluruh studi dan pelayanan saya lebih jauh. Pada tahun 2002 saya menyelesaikan studi Master di UKDW dengan tesis berjudul “Berani Melawan
Rasa Takut. Suatu Upaya Menggali dan Membangun Teologi Politik Gereja Kristen Indonesia.”
Kemudian pada bulan Januari tahun 2006, setelah 11 tahun melayani jemaat, saya memenuhi
panggilan untuk menjadi dosen di Fakultas Teologi UKDW. Visi dan misi saya tidak pernah
berubah, yaitu berbagi hidup dan cinta dengan kegembiraan yang kuat. Disertasi doktoral
yang saya selesaikan tahun ini di Radboud University Nijmegen Belanda, berjudul Religion
and Generalised Trust. An Empirical-theological Study among University Students in Indonesia
juga pada dasarnya adalah soal olahan pemikiran akademis yang memperjuangkan hal yang
sama. Agama dan teologi haruslah menghadirkan kehidupan dan cinta di tengah keberagaman

hidup, karena dari situlah akan hadir sebuah masyarakat yang merasakan kegembiraan ilahi.
Semoga pada akhirnya Nama Tuhan dimuliakan oleh seluruh bangsa.

3

ukdw.ac.id/id/page/view/14-fakultas-teologi

Wawasan Teologi
LGBTIQ
(Sebuah Wacana)

Pdt. Dr. Yusak Tridarmanto

Catatan Awal
Tulisan pendek mengenai L (Lesbian), G (Gay) B (Biseksual)
T (Transeksual) I (Interseksual) dan Q (Queer) ini saya awali
dengan memberikan dua catatan penting: pertama, apa yang
kita kenal dengan istilah tersebut di atas, merupakan persoalan
masyarakat modern dewasa ini. Masyarakat pada masa Alkitab
belum mengenal atau pun menjadikan hal tersebut persoalan

sosial kemasyarakatan. Memang benar, di dalam teks Alkitab
terdapat rujukan-rujukan kepada apa yang kini kita kenal dengan
sebutan homoseksual. Namun kitab Perjanjian Lama maupun
juga Perjanjian Baru, tidak pernah membedakan antara perilaku
homoseksual itu sendiri, dengan apa yang kini kita kenal secara
luas dengan sebutan “orientasi homoseksual”. Bahkan secara
mudah kedua kitab tersebut cenderung tidak membedakan
antara “perilaku homoseksual” dengan “orientasi homoseksual”.
Keduanya dianggap sebagai “kekejian” yang harus dihindari (lihat
misalnya Im. 18: 22. Band. Roma 1: 27). Sikap seperti ini disebabkan
karena keterbatasan pengetahuan warga masyarakat ketika
itu berkenaan dengan apa yang kini kita kenal dengan sebutan
“orientasi seksual”. Karena itu upaya untuk memahami komunitas
LGBTIQ dari perspektif Alkitabiah, haruslah dialaskan pada
paradigma baru mengenai Alkitab itu sendiri. Untuk itulah kita
masuk ke catatan kedua berikut ini.
4

Vol. 10. No.1. Januari-Juli 2016


Alkitab bukanlah kitab yang memuat “resep
jadi” atas “segala” perkara kehidupan di
sepanjang jaman. Benar bahwa masyarakat
Kristiani telah menerima dan meyakini
Alkitab sebagai Firman Allah dengan segala
otoritas dan wibawanya. Ia diterima dan
diyakini menjadi sarana, yang melaluinya
Allah berbicara kepada manusia. Diyakini
pula bahwa Alkitab mengandung kebenaran
sebagai acuan norma untuk mengukur
kebenaran-kebenaran
dan
nilai-nilai
kehidupan lain yang ada di sekitarnya.
Bertolak dari keyakinan yang demikian
itu, maka tidak mengherankan apabila
Alkitab, sebagai Firman Allah, memiliki
otoritas tertinggi bagi kehidupan orangorang percaya dalam menentukan apa
yang baik dan benar. Dengan mengacu
kepada surat 2 Tim. 3: 15-16 masyarakat

Kristen menempatkan Alkitab sebagai dasar
dan sumber hikmat, yang berguna untuk
menuntun mereka kepada keselamatan oleh
iman kepada Kristus Yesus (2 Tim. 3: 15). Apa
yang telah diilhamkan sendiri oleh Allah (Yun.
theopneustos) ini dipercayai berguna untuk
mengajar (pros didaskalian), menyatakan
kesalahan (pros elegmon), memperbaiki
kelakuan (pros epanorthōsin) dan mendidik
orang dalam kebenaran (pros paideian tēn
en dikaiosunē). Dari sini lahirlah sikap untuk
senantiasa taat secara penuh terhadap
Alkitab sebagai Firman Allah. Segala perilaku
kehidupan, dalam segala perkara, akan
senantiasa ditempatkan di bawah terang
Firman tersebut sebagai acuan dasarnya.
Sadar ataupun tidak, sikap percaya seperti itu
bisa melahirkan sikap eksklusif; menganggap
semua perilaku di luar terang Alkitab sebagai
tidak benar. Dalam menghadapi segala

persoalan kehidupan, orang cenderung
mencari jawaban dengan bertanya:
“apa kata Alkitab”. Akibatnya Alkitab
cenderung dijadikan “buku dalil atau resep”
kehidupan yang bisa membawa kepada
sikap Triumphalistik”.1 Untuk menghindari
sikap eksklusif dan triumphalistik seperti
1. R.S. Sugirtharajah, The Bible and the ThirdWorld: Precolonial,
colonial and Postcolonial Encounters (Cambridge: University
Press, 2004) p. 45-174.

itu maka dibutuhkanlah paradigma baru
menggunakan Alkitab sebagai Firman
Allah, khususnya berkenaan dengan pokok
masalah LGBTIQ.
Harus diakui bahwa pemberlakuan Alkitab
sebagai Firman Allah dengan segala otoritas
dan wibawanya itu merupakan “keputusan
iman gerejawi”.2 Demikian pula ketika
seorang pribadi tertentu menerima dan

percaya kepada Alkitab sebagai Firman
Allah, itu pun juga merupakan keputusan
pribadi orang tersebut. Sebagai “keputusan
gerejawi” atau pun pribadi, maka pada dirinya
Alkitab sebagai Firman Allah, merupakan
keputusan “subyektif” yang seharusnya juga
tidak berlaku secara universal, walaupun
oleh gereja “cenderung” diberlakukan secara
universal. Selaras dengan sifat subyektifnya,
maka ruang lingkup pemberlakuan Alkitab
sebagai Firman Allah seharusnya juga
terbatas, yakni dalam ruang lingkup internal
kehidupan gerejawi. Secara internal,
pemberlakuannya sebagai dasar dan acuan
bertindak bisa saja bersifat mutlak, namun
secara ekternal pemberlakuan tersebut tentu
membutuhkan pertimbangan-pertimbangan
bijak dan tidak bersifat mutlak adanya,
tergantung kepada sikap eksternal itu
sendiri terhadapnya. Demikian pula sebagai

sarana menghayati perjumpaan dengan
Allah, Alkitab pun juga tidak berbicara atas
segala perkara yang terjadi di dunia ini
seiring dengan perkembangan jamannya.
Konsekuensinya, Alkitab bukanlah kitab
undang-undang yang bisa dipakai bagaikan
“resep” untuk menjawab segala perkara
kehidupan di dunia ini. Pemberlakuannya
untuk menjadi dasar dalam rangka menjawab
segala perkara kehidupan di bumi ini, perlu
dilakukan dengan melakukan penafsiran
yang bertanggung-jawab dan relevan pada
jamannya.3 Demikian pula halnya, untuk bisa
2. Kebenaran penyataan ini bisa ditelusuri kembali pada sejarah
dan proses kanonisasi Alkitab, yang memakan waktu cukup
panjang. Lihat misalnya buku-buku: John Barton, The Old
Testament: Canon, Literature
and Theology (United Kingdom: the University of Oxford,
2007); Bruce M. Metzger, The Canon of the New Testament
(Oxford: Oxford University Press, 1988)

3. Untuk hal ini bandingkan dengan pandangan J. Harold Ellens,
Sex in the Bible, 103ff), yang mengusulkan tiga langkah penting

5

ukdw.ac.id/id/page/view/14-fakultas-teologi

memberikan pandangan yang bertanggungjawab berkenaan dengan persoalan
LGBTIQ, perlu kiranya dipahami terlebih
dahulu makna seksualitas beserta orientasi
seksualnya bagi kehidupan manusia.

Seksualitas Sebagai Bagian
Integral Tata Tertib Penciptaan
Manakala kita kembali kepada teks
Alkitab, akan menjadi jelas kiranya bahwa
seksualitas itu sendiri menjadi bagian
integral dari tata tertib penciptaan. Di dalam
kisah penciptaan bumi dengan segala isinya,
ditegaskan bahwa manusia diciptakan
sebagai makhluk seksual. Ini nyata dari kitab
Kejadian 1: 27: “... diciptakan-Nya dia; lakilaki dan perempuan”. Yang menarik ialah
penggunaan satu kata benda tunggal untuk
manusia, yakni adam, tanpa membedakan
klasifikasi seksualnya. Klasifikasi seksual
berikutnya, laki-laki dan perempuan,
seolah-olah mau memberikan penjelasan
interpretatif bahwa manusia yang telah
diciptakan itu memiliki dua orientasi
seksual laki-laki dan perempuan. Sebagai
bagian dari tata tertib penciptaan, tidak ada
indikasi sedikitpun yang menyatakan bahwa
seksualitas itu pada dirinya hina, rendah
bahkan kotor dan najis seperti yang sering
muncul dalam anggapan sementara warga
masyarakat.4 Sebaliknya, sebagai bagian
dari tata tertib penciptaan, seksualitas itu
pada dirinya “baik” adanya.5 Juga tidak ada
indikasi bahwa aktifitas seksual manusia
baru muncul setelah ia jatuh ke dalam
dosa. Potensi untuk merealisasikan aktifitas
seksual mereka sudah mulai nampak di
dalam kitab Kejadian 2: 23-25. Kata bersatu
dengan istrinya (dabaq) menunjukkan
adanya kesatuan berdasarkan ketertarikan
yakni: melihat teks secara keseluruhan, menafsirkannya sesuai
dengann konteks kehidupan pembaca asli, dan mengembangkan
gagasan teologis-psikologis tentang bagai mana teks-teks
tersebut berbicara kepada dunia dewasa ini.
4. Bandingkan misalnya dengan slogan dari beberapa warga
jemaat di Korintus yang mengatakan: “adalah baik apabila
laki-laki tidak menjamah perempuan” di dalam 1 Kor. 7: 2.
Penegasan Paulus bahwa kawin tidak berdosa di dalam 1 Kor.
7: 28, 36 mengindikasikan adanya sementara warga jemaat di
Korintus yang menganggap perilaku seksual itu dosa.
5. Perhatikan fasal 1: 31: “Maka Allah melihat segala yang
dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.”

seksual. Berkenaan dengan ini menarik
untuk diperhatikan tafsiran “seksualis”
dari para rabbi Yahudi yang dikemukakan
oleh Arnold G. Fruchtenbaum dalam buku
Ariel’s Bible Commentary, berjudul “The
Book of Genesis”.6 Menurut para rabbi, ketika
Adam harus memberi nama binatangbinatang, dan menyaksikan bagaimana
mereka datang berpasangan, maka Adam
tergugah gairah seksualnya. Namun ia tidak
menemukan pasangan untuk memenuhi
kebutuhan seksualnya.7 Dasar seksual
inilah yang menjadi alasan kenapa akhirnya
Allah menciptakan “manusia perempuan”
(‘ishshah dari ‘iysh) sebagai partner sepadan
memenuhi kebutuhan seksualnya. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa seksualitas
pada dirinya bukanlah perkara dosa,
demikian pula bukan perkara yang dialami
dan dilakukan oleh manusia sebagai akibat
dari mengenal “buah pengetahuan baik dan
jahat”.
Selaras dengan tata tertib penciptaan,
seksualitas dengan orientasinya masingmasing, juga menjadi bagian integral
manusia dalam mewujudkan aktualisasi
dirinya. Ia ikut memberikan ciri kemanusiaan
manusia, dan dengan demikian memiliki
pada dirinya sifat manusiawi pula. Ini
berbeda dengan keyakinan agama-agama
kuno yang ada di sekitar umat Israel
ketika itu. Para penyembah Baal misalnya,
mempercayai bahwa seksualitas manusia
memiliki sifat ilahi. Keyakinan ini muncul
dari pemahaman bahwa manusia berada di
bumi ini dikarenakan adanya persetubuhan
antara para dewa dan dewi di dunia
kedewaan mereka. Bagi mereka, para dewa
memang merupakan makhluk seksual.
Keyakinan inilah yang telah mengakibatkan
masuknya persetubuhan ke dalam upacara
keagamaan dalam rangka menyembah
6. Ariel’s Bible Commentary, The Book of Genesis (United
States of America: San Antonio, 2007) p.86-87.
7. Bahkan ada sementara Rabbi yang menafsirkan bahwa
sebelum ada Hawa, Adam telah bersetubuh dengan binatang
(yang pada masa pra-sejarah juga bukan hal yang mustahil),
namun hal ini tidak menyukakan hati Allah sang Pencipta. The
Book of Genesis, p. 86-87.

6

Vol. 10. No.1. Januari-Juli 2016

Baal.8 Tidak demikian halnya dengan umat
Israel, yang justru menempatkan dan
memahami Allah sebagai suatu keberadaan
yang aseksual sifatnya.9 Gambarangambaran antropomorfis yang ada di dalam
Alkitab, diperlukan semata-mata karena
kebutuhan
pemberitaan
tentang-Nya,
tanpa mengingkari hakekat keberadaanNya sebagai “Yang Aseksual”. Karena itu
betapapun seksualitas itu sendiri pada
dirinya “baik” sesuai dengan ketetapan
penciptaan, namun toh seksualitas tidak
pernah dimengerti sebagai yang bersifat
ilahi, tetapi sebaliknya selalu manusiawi.
Karena itu persoalan seksualitas senantiasa
ditempatkan dalam wilayah keberadaan
manusia dan menjadi perkara manusia,
bukan dalam wilayah dan perkara Alah.

Daya Tarik dan Batasan-batasan
Perilaku Seksual
Selaras dengan tata tertib penciptaan, wajar
dan tidak salahlah apabila setiap orang,
dengan orientasi seksualnya masing-masing,
memiliki pada dirinya daya tarik seksual.
Karenanya wajar pula apabila manusia
(Adam = istilah inklusif) juga saling tertarik
satu sama lain secara seksual sesuai dengan
orientasi seksualnya masing-masing. Daya
tarik seksual ini juga menjadi salah satu
faktor yang menentukan bagi terwujudnya
suatu pernikahan.10 Semua rasa tertarik
secara seksual yang disebutkan di sini
merupakan rasa tertarik secara seksual dari
pihak laki-laki terhadap perempuan. Ini tidak
berarti bahwa perempuan tidak memiliki
rasa tertarik secara seksual terhadap lakilaki. Hawa, misalnya, dikatakan akan birahi
(teshuwqah) melihat suaminya Adam
(Kej. 3: 16). Mikhal, anak perempuan Saul,
dikatakan tertarik dan jatuh cinta kepada
Daud, dan dengan alasan pribadi Saul pun
menyetujuinya (1 Sam. 18: 20). Bahkan
8. S. Sapp, Sexuality, the Bible and Science (Philadelphia:
Fortress Press, 1977) p. 2-3.
9. S. Sapp, Sexuality, p. 2. Bandingkan pula Kel. 3: 14: “AKU
ADALAH AKU.”
10. Bandingkan dengan John H. Otwell, And Sarah Laughed:
The Status of Women in the Old Testament (Philadelphia: The
Westminster Press, 1977) pp.20-25. Lihat pula beberapa referensi
Alkitab berikut: Kej. 12: 10-19; 29: 15-20; 2 Sam. 11: 2-5.

secara lebih jelas rasa tertarik secara seksual
dari pihak perempuan kepada laki-laki dapat
kita lihat pula di dalam kitab Kidung Agung11
fasal 1: 2f. Dan 8: 1-4.
Walaupun rasa tertarik secara seksual ini
wajar, dan tidak salah manakala laki-laki
maupun perempuan memiliki perasaan
tertarik secara seksual terhadap lawan
jenisnya, manusia dingatkan pula akan
adanya bahaya dari daya tarik seksual ini.
Bahayanya ialah manakala manusia tidak
mampu menguasai dan mengendalikan
dorongan seksual yang secara manusiawi ada
dan mengalir dalam dirinya. Oleh sebab itu,
selaras dengan hakekat kemanusiawiannya,
dorongan seksual harus tetap berada di
dalam kontrol dan tanggung jawab pribadi
manusia itu sendiri. Tidak dibenarkan
apabila manusia dikuasai semata-mata
oleh dorongan seksualnya saja. Perintah
“jangan berjinah” (Kel.20: 4) serta peraturanperaturan berkaitan dengan perzinahan
(Im.20:10) mengindikasikan tentang perlunya
mengendalikan diri dari hawa nafsu seksual
ini.12 Demikian juga di dalam Perjanjian
baru, peringatan yang begitu kuat mengenai
bahaya percabulan (Mat. 15: 19; Kis. 15: 20;
Roma 13: 13; 1 Kor. 7: 15 dsb. ) dan nasehat
untuk tidak terbakar oleh hawa mafsu
seksual ( Roma 1: 26; 1 Kor. 7: 9; 2 Pet. 2: 18;
dsb) juga memberikan indikasi yang sama.
Sadar atau tidak, dilihat dari proses
terjadinya, Alkitab yang kita miliki dewasa
ini, merupakan produk dan juga milik dari
masyarakat heteroseksual. Karenanya
semua aturan yang berkenaan dengan
batasan-batasan perilaku seksual, juga
mengalir dan keluar dari perspektif
masyarakat yang heteroseksual pula. Untuk
11. Kemungkinan besar nyanyian Kidung agung ini berasal dari
nyanyian pernikahan orang-orang Kanaan. Kenyataan bahwa
nyanyian tersebut diterima sebagai bagian dari kitab kanonik,
menunjukkan bahwa umat Israelpun memiliki sikap yang sama
dalam hal daya tarik seksual bagi laki-laki maupun perempuan.
Lihat J. O. Otwell, And Sarah Laughed, p. 25.
12. Lebih lanjut lihat referensi berikut: Kel. 20:14; Im. 20:10; Ul.
5:18; Ams. 6:32; Yer. 3:9; 5:7; 7:9; 23:14; 29:23; Yehez. 23:37;
23:43; Hos. 2:2; 4:2; 4:13; 4:14; Mat. 5:27; 5:28; 5:32; 15:19;
19:9; 19:18; Mar. 7:21; 10:11; 10:12; 10:19; Luk. 16:18; 18:20;
Joh. 8:3; 8:4; Roma. 2:22; 13:9; Jak. 2:11; 2 Pet. 2:14; Wah. 2:22.

7

ukdw.ac.id/id/page/view/14-fakultas-teologi

itu pemberlakuannya bagi masyarakat
non-heteroseksual haruslah disertai oleh
pertimbangan-pertimbangan yang lebih
komprehensif tentang kemanusiaan itu
sendiri.
Secara sosiologis, ketika manusia tidak
bisa hidup dari dirinya sendiri dan untuk
dirinya sendiri, tetapi dari sesamanya
dan juga untuk sesamanya, maka pada
dirinya ia tidak lagi memiliki kebebasan
mutlak. Dalam batas yang fundamental,
kebebasannya dirumuskan dan ditentukan
oleh kebersamaan hidup dimana ia berada
di dalamnya. Karena itu selagi ia berada di
tengah-tengah kebersamaan masyarakat,
diperlukanlah adanya rumusan-rumusan
bersama
mengenai
batasan-batasan
kehidupan bersama, termasuk di dalamnya
batasan-batasan dalam perilaku seksual
beserta aturan-aturan yang mengaturnya.
Orang-orang Yahudi pada masa Perjanjian
Lama khususnya, sangat menaruh perhatian
besar kepada rumusan bersama dan aturanaturan ini. Ini disebabkan terutama karena
aspek dialektis dari seks itu sendiri. Di satu
pihak seks memegang peranan penting di
dalam kehidupan manusia untuk realisasi
diri mereka, namun di lain pihak, seks
juga memiliki potensi besar untuk disalahgunakan dan di selewengkan. Secara
mendasar semua aturan tentang perilaku
seksual yang ada, tidak dapat dilepaskan dari
tujuan utama dari perilaku seksual, yang bagi
masyarakat heteroseksual Yahudi ketika itu,
adalah prokreasi. Dalam kehidupan bangsa
Israel, prinsip ini diperoleh utamanya dari
titah Allah “beranak-cucu dan bertambah
banyak” (Kej. 1: 28).
Tradisi Rabbinik mengatakan bahwa tidak
seorang pun boleh mengabaikan titah
beranak cucu dan bertambah banyak,
kecuali telah memiliki dua orang anak lakilaki, menurut Shammai serta seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan
menurut Hillel.13 Titah ini pula yang telah
13. Traktat Yebamoth 6.6. Dasar pertimbangan Hillel menetapkan
seorang anak laki-laki dan perempuan karena di dalam kisah
penciptaan disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia laki-

mendasari munculnya aturan tentang
pentingnya melindungi fungsi reproduksi
laki-laki. Karena itulah maka seorang istri
dilarang menyerang alat kelamin laki-laki
yang sedang berkelahi dengan suaminya
(Ul. 25: 11-12). Dalam hal ini nampak
bahwa melindungi fungsi reproduksi lakilaki jauh lebih penting dibanding dengan
insting seorang istri yang ingin membela
suaminya yang sedang berkelahi. Bahkan
lebih dari itu, karena alasan yang sama
pula maka orang-orang yang dikategorikan
memiliki cacat pada alat reproduksinya dan
karenanya tidak dapat melaksanakan fungsi
reproduksi, mereka ini tidak diperkenankan
memasuki rumah Tuhan. Anak haram pun
juga dilarang memasuki rumah Tuhan (Ul.
23: 1-2).
Bersetubuh dengan binatang dan dengan
sesama jenis kelamin dianggap sebagai
tindakan keji dan sama sekali dilarang,
bahkan hukumannya pun mati (Kel. 22:
19; Imm. 18: 23; 20: 15-16; Ul. 27: 21; Im.
18: 22; 20: 13). Dasar yang dipakai untuk
membuat peraturan ini ada tiga hal.
Pertama, persetubuhan seperti itu dianggap
tidak umum dan melawan kodrat. Kedua,
bentuk perilaku seksual tersebut menyianyiakan “benih” yang seharusnya dipakai
untuk menggenapkan titah Allah tentang
“beranak-cucu dan bertambah banyak”.
Ketiga, wujud perilaku seksual seperti ini
dianggap berhubungan erat sekali dengan
praktek penyembahan berhala yang banyak
dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan
umat Israel. Para dewa orang-orang Kanaan
misalnya, seringkali dihadirkan dalam ujud
binatang (Kel. 32), dan tidak mustahil bahwa
praktek bersetubuh dengan binatang juga
memasuki upacara-upacara keagamaan
mereka (bandingkan. Im. 18: 23-30). Senada
dengan ini, praktek homoseksual juga
dikaitkan erat sekali dengan praktik-praktik
perilaku seksual yang dilakukan oleh orangorang non Yahudi dalam upacara-upacara
keagamaan mereka. Karena itulah di
dalam Ulangan 23: 17 kita temukan aturan
yang mengatakan: “Di antara anak-anak
laki dan perempuan.

8

Vol. 10. No.1. Januari-Juli 2016

perempuan Israel, janganlah ada pelacur
bakti, dan di antara anak-anak lelaki Israel
janganlah ada semburit bakti. Janganlah
kaubawa upah sundal atau uang semburit
ke dalam rumah Tuhan, Allahmu, untuk
menepati salah satu nazar, sebab keduanya
itu adalah kekejian bagi Tuhan, Allahmu”.

Relasi Timbal Balik Interpsersonal
Dari fakta penjadian seperti telah dibahas
sebelumnya, nampak jelas bahwa pada
hakekatnya manusia dengan orientasi
seksualnya itu, (laki-laki dan perempuan
bagi masyarakat heteroseksual) memiliki
derajad yang sama serta hak yang sama pula
sebagai manusia. Salah satu hak yang paling
asasi ialah hak untuk mengaktualisasikan
dirinya sebagai manusia berdasarkan pada
potensi-potensi yang ada pada dirinya,
yang sejak mula pertama telah ditanamkan
pada diri manusia sesuai dengan orientasi
seksual masing-masing. Apabila manusia
dengan orientasi seksualnya itu diciptakan
sebagai gambar Allah, maka merekapun
juga memiliki hak yang sama untuk
mengaktualisasikan diri mereka di dunia ini
sebagai gambar Allah. Dalam hubungan ini,
tata tertib penciptaan tidak mengatur sama
sekali bentuk-bentuk konkrit aktualisasi
diri manusia ini. Manusialah yang harus
menentukan dan mengatur sendiri bentukbentuk aktualisasi dirinya. Dalam hubungan
ini manusia dengan orientasi seksual masingmasing memiliki hak dan kebebasan yang
sama dalam merancang dan menentukan
bentuk-bentuk aktualisasi dirinya. Walaupun
demikian, betapapun mereka memiliki
hak, kedudukan dan martabat yang sama
sebagai manusia, persamaan tersebut tidak
pernah dapat meniadakan fakta penjadian
bahwa mereka itu memiliki orientasi seksual
yang bisa saja tidak sama satu dengan
yang lain. Sebagai perempuan, misalnya,
tentu ia memiliki hal-hal tertentu yang khas
perempuan, yang tidak dimiliki oleh lakilaki, dan sebaliknya sebagai laki-laki ia juga
memiliki hal-hal tertentu yang khas laki-laki
yang tidak dimiliki oleh perempuan, demikian
seterusnya dengan orientasi seksual yang

lain. Di samping perbedaan-perbedaan
anatomi tubuh, perbedaan-perbedaan lain
yang membedakan antara laki-laki dan
perempuan, dan bahkan antara orientasi
seksual yang satu dengan yang lainnya
masih terus menjadi pergumulan dalam
rangka memaknai relasi kemanusian hingga
dewasa ini.14 Tetapi terlepas dari pergumulan
tersebut, konsekuensi logis yang tidak dapat
dihindarkan dari perbedaan jenis kelamin
dan orientasi seksual seperti ini ialah adanya
aktualisasi diri yang berbeda pula di antara
laki-laki, perempuan dan LGBTIQ, yakni
aktualisasi diri yang secara kodrati mengalir
dari keberadaan diri mereka masing-masing.
Persoalannya ialah, bahwa perbedaan
aktualisasi diri secara seksual tersebut
banyak kali dimengerti atau disalahgunakan
sebagai perbedaan hak dan derajad di antara
laki-laki dan perempuan di satu pihak dan di
antara manusia heteroseksual dengan kaum
LGBTIQ di lain pihak. Kesalahmengertian
ataupun penyalahgunaan ini terjadi justru
di dalam kenyataan bahwa manusia dengan
orientasi seksualnya itu diciptakan di dalam
hubungan interpersonal satu terhadap yang
lain. Bagi kaum heteroseksual, hubungan
interpersonal ini memperoleh maknanya
yang lengkap dan menyeluruh di dalam
ketetapan pernikahan yang juga diletakkan
di dalam tata tertib penciptaan.15 Bahkan
secara konkrit hubungan interpersonal di
dalam kehidupan rumah tangga khususnya
antara suami dan istri inilah yang telah
dijadikan dasar pertama dan utama untuk
mengatur hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang lebih luas, termasuk di
14. Katakanlah misalnya pergumulan yang berpusat pada
penyelidikan mengenai struktur otak laki-laki dan perempuan.
Adakah laki-laki dan perempuan memiliki struktur otak yang
berbeda? Perbedaan macam apakah itu, dan apa konsekuensinya
bagi aktualisasi diri mereka? Demikian juga adakah perbedaanperbedaan hormonal yang menentukan antara manusia hiteroseksual dengan kaum LGBTIQ, dan apa pula konsekuensi dari
perbedaan tersebut?
15. Seorang ilsof abad pertama sesudah Masehi bernama Caius
Musonius Rufus berkata: “ada maksud apa Sang Pencipta
manusia sejak pertama kali menciptakan manusia terdiri dari
dua jenis kelamin yang berbeda, yakni sebagai laki-laki dan
perempuan, kalau keduanya tidak dikehendaki untuk menjadi
satu dan bersatu di dalam pernikahan?”. Lihat C. Lutz,
“Musonius Rufus: The Roman Socrates” Yale Classical Studies
(New Haven: Yale University Press, 1947) p.93.

9

ukdw.ac.id/id/page/view/14-fakultas-teologi

dalamnya hubungan keduanya di luar atau
sebelum pernikahan. Ini dapat dipahami
dalam kenyataan bahwa laki-laki dan
perempuan tidak diciptakan sebagai dua
insan yang saling berhadap-hadapan
sebagai lawan, tetapi sebaliknya mereka
diciptakan sebagai makhluk komplementer
yang sepadan guna mewujudkan tanggungjawab bersama yang mereka emban di dalam
tata tertib penciptaan. Sifat komplementer
ini secara penuh dapat digenapkan hanya
di dalam hubungan hidup berumah tangga
sebagai suami dan istri. Demikianlah maka
pola dasar yang dipakai untuk mengatur
hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang lebih luas adalah pola hubungan suami
dan istri di dalam kehidupan keluarga.
Kalau demikian, bagaimana dengan kaum
non heteroseksual? Seperti telah ditegaskan
di bagian sebelumnya bahwa Alkitab
yang kita miliki dewasa ini merupakan
produk dan milik khususnya masyarakat
heteroseksual, maka sudah barang tentu
Alkitab juga tidak menjawab ataupun
mengatur bagaimana kaum LGBTIQ harus
mewujudkan dan menggenapkan hubungan
intepersonalnya. Karena itu semua upaya
menjawab persoalan tersebut akan selalu
merupakan upaya konstruksi teologis yang
bersifat interpretatif atas implikasi-implikasi
Alkitabiah mengenai relasi kemanusiaan
berdasarkan orientasi seksualnya. Manakala
selaras dengan tata tertib penciptaan kaum
heteroseksual mewujudkan dan memenuhi
hubungan interpersonalnya dengan lawan
jenisnya selaras dengan arah dari orientasi
seksualnya, maka implikasi yang tak
terelakkan dari kenyataan itu ialah bahwa
kaum LGBTIQ juga memiliki pada dirinya
hak dan martabat untuk merealisasikan
hubungan interpersonalnya juga dengan
orang-orang yang kepadanya orientasi
seksualnya tertambat.
Menurut Ellens16
“sesuai dengan nilai-nilai Alkitab, manusia
tidak pernah benar-benar menjadi dirinya
sendiri kecuali apabila ia merayakan
seksualitasnya dalam suatu ikatan kehidupan
bersama yang secara seksual pula saling

memenuhkan kebutuhan tuntutannya. Masih
menurut Ellens, “merayakan seksualitas
dengan teman orientasi seksual yang tepat
(sesuai dengan keberadaannya) akan
mendatangkan “keterberkahan yang begitu
besar dan menyeluruh” (a great sense of
blessedness and wholeness). Hasil penelitian
yang diberitakan di jurnal-jurnal medis di
Barat, menunjukkan bahwa orang-orang
yang memiliki pasangan seksual yang tepat
sesuai dengan orientasi seksual dirinya, ia
dapat hidup lebih lama dan sehat dibanding
dengan mereka yang hidup seorang diri
tanpa pasangan seksual.
Dipandang dari perspektif heteroseksual,
relasi seksual seperti ini bisa saja atau
bahkan dipandang sebagai “abnormalitas”,
namun dari perspektif mereka, tentu
“normal”. Dalam hal ini apa yang disebut
dengan “normal” pada dirinya merupakan
rumusan masyarakat yang dalam batas
tertentu bersifat subyektif. Konsekuensinya,
segala perkara berkenaan dengan LGBTIQ
ini juga harus diputuskan bersama
dengan tetap menghormati keberadaan
eksistensial mereka demi sukacita dan
kebahagiaan mereka pula. Apabila selama
ini pembuat keputusan berkenaan dengan
persoalan orientasi seksual ini adalah
kaum heteroseksual, maka dalam upaya
merumuskan kembali tatanan masyarakat
berkenaan dengan masalah ini juga
seharusnya melibatkan dan berdasarkan
keputusan bersama masyarakat yang tentu
saja melibatkan langsung kaum LGBTIQ
itu sendiri. Bagi kaum heteroseksual,
perwujudan orientasi seksual tentu juga
mengandung di dalamnya kebutuhan
untuk melangsungkan keturunan. Namun
perlu disadari bahwa melangsungkan
keturunan
bukanlah
satu-satunya
pondasi dan sekaligus tujuan akhir dari
perwujudan orientasi seksual. Seperti telah
disinggung di atas, pemenuhan orientasi
seksual lebih merupakan “keterberkahan
yang begitu besar dan menyeluruh” bagi
kemanusiaan yang utuh. Manakala bagi
kaum heteroseksual kenyataan ini meliputi

16. Sex in the Bible, 157

10

Vol. 10. No.1. Januari-Juli 2016

juga lahirnya keturunan, maka tentu tidak
demikian dengan kaum LGBTIQ. Dalam
hubungan ini pemenuhan orientasi seksual
mereka lebih merupakan “love commitment”
yang mengandung di dalamnya “a mutualsexual enjoyment”. Walaupun demikian,
sesuai dengan pemahaman manusia
mengenai kesehatan yang lebih maju, maka
pemenuhan tanggung jawab “mutual sexual
enjoyment” di antara mereka juga perlu
dilaksanakan dalam bingkai aman dan sehat
ini, tidak semata-mata untuk kepentingan
diri mereka sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan bersama masyarakat di mana
mereka berada.

TIM REDAKSI

PIMPINAN REDAKSI :
Pdt. Dr. Wahyu Nugroho, MA

REDAKSI :



Pdt. Paulus Sugeng Widjaja, MAPS, Ph.D.
Pdt. Dr. Jozef M. N. Hehanussa
Pdt. Handi Hadiwitanto, M. Th, Ph. D.
Pdt. Jenifer Fresy P. Pelupessy-Wowor, M.A.
Eka Dewi Mayasari, S.Kom.
Albert Teguh Santosa, S.Kom.

SETTING & LAYOUT :
Albert Teguh Santosa, S.Kom.
11

ukdw.ac.id/id/page/view/14-fakultas-teologi

Menelisik Dinamika Psikososial Individu dengan LGBT
dan Keluarganya dengan menggunakan
Kerangka Teori Elisabeth Kubbler-Ross

Pdt. Hendri Wijayatsih, MA

Pendahuluan
Setelah melalui rangkaian proses internal yang panjang, Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia menerbitkan PERNYATAAN PASTORAL PGI
TENTANG LGBT pada tanggal 16 Juni 2016. Dalam surat pengantar yang
menyertai pernyataan pastoralnya, PGI menyatakan bahwa realita LGBT
sudah lama menjadi pergumulan gereja-gereja di Indonesia. Hal ini terbukti
dari rekomendasi Konsultasi Teologi Nasional tahun 2013 dan Sidang Raya
PGI tahun 2014. PGI periode ini, tampaknya menyadari bahwa rekomendasi
untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif dan pengakuan akan hak-hak
individu dengan LGBT, hanya tampak indah di atas kertas, namun minim
dalam implementasi. Berangkat dari realita yang seperti ini, saya sungguh
mengacungkan jempol untuk PGI yang berani menuliskan positioning paper
terkait LGBT. Terlepas dari pro-kontra yang muncul, secara pribadi, penulis
bersyukur dengan lahirnya PERNYATAAN PASTORAL PGI TENTANG LGBT
ini. Pertama, isi surat pernyataan PGI ini merupakan sebuah surat pernyataan
memadai, terbuka dan matang. Kedua, kemunculan pernyataan pastoral
ini, memungkinkan semua pihak untuk menyatakan pendapatnya secara
terbuka. Media sosial dengan segala anonimitasnya, menjadi medan katarsis
bagi ide, pandangan, sikap dogmatis yang selama ini tersembunyi di balik tirai,
di dalam pikiran dan hati. Semoga upaya katarsis ini, bisa melunakkan sikap
diskriminatif terhadap LGBT. Kalau para kapitalis berhasil melipatgandakan
omzetnya dengan PaHenya ( Paket Hematnya), tampaknya kalau berbicara
tentang LGBT, kita harus mengembangkan arus yang berlawanan: PaMe
(paket mewah), melimpah informasinya, melimpah kajiannya dan bahkan
jika mungkin, sampai sisa 12 keranjang bak kisah Yesus memberi makan
5000 orang. Baru mungkin pada titik itu, kita bisa mewujudkan rekomendasi
Konsultasi Teologi Nasional tahun 2013 dan Sidang Raya PGI tahun 2014. Dan
dalam rangka menjawab tantangan PaMe itulah, makalah ini disusun. Penulis
ingin membagikan salah satu topik kajian dalam perkuliahan Konseling LGBT
yang sejak semester genap 2014/2015 telah menjadi mata kuliah pilihan di
Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana.
12

Vol. 10. No.1. Januari-Juli 2016

Elisabeth Kubler-Ross dan Teorinya1
Elisabeth Kubler dilahirkan di Zurich, Swiss,
pada tanggal 8 Juli 1926. Tantangan keras
dari ayahnya tak menyurutkan niatnya
untuk menempuh dan menyelesaikan studi
kedokterannya di Zurich. Pada tahun 1958
Elisabeth Kubler menikah dengan seorang
dokter asal Amerika yang tengah menempuh
studi spesialis di Zurich bernama Emanuel
Ross. Bersama-sama dengan suaminya
Elisabeth Kubler-Ross meneruskan studi
spesialisnya di Amerika. Awalnya Elisabeth
Kubler Ross berniat untuk menjadi dokter
spesialis anak, namun dia didiskualifikasi
karena hamil pada saat menjalani peran
sebagai dokter residensi. Dia kemudian,
mengambil studi spesialis yang baru yaitu
kedokteran jiwa (psikiatri). Minatnya
yang besar terhadap pergumulan orang
menjelang ajal membawanya pada sebuah
penelitian masif yang tertuang dalam buku
yang melambungkan namanya, “On Death
and Dying” pada tahun 1969. Buku keduanya
berjudul “Questions and Answers on Death
and Dying: A Memoir of Living and Dying”
terbit pada tahun 1972.
Elisabeth Kubler Ross meninggal dunia pada
tahun 2004, namun teorinya yang kemudian
dikenal dengan sebutan 5 tahap kedukaan
Kubler Ross masih lestari, untuk tidak
mengatakan bahwa belum ada teori lain yang
mematahkan kedalaman hasil penelitian
Kubler Ross ini. Kelima tahap kedukaan itu
digambarkan sebagai berikut :

1
Teori lengkapnya dapat dibaca dalam :Elisabeth
Kubler Ross, On Death and Dying, Touchstone: Simon &
Schuster, 1969 dan Questions & Answers on Death & Dying,
Touchstone : Simon & Schuster, 1972. Penerbit Gramedia
pernah menerbitkan edisi terjemahan Indonesiadari kedua
buku ini, namun sayang tidak cetak ulang. Bagi alumni yang
berminat untuk memfotocopy bisa menghubungi Toko Buku
UKDW

Kelima tahap kedukaan yang aslinya
mendeskripsikan kondisi psikososial pasien
stadium terminal2 ini banyak diadopsi dan
dikembangkan orang. Penulis tertarik untuk
menggunakan kerangka teori Kubler Ross
ini untuk membedah topik kita karena
kekhasan teori ini yang berbicara tentang
dinamika psikososial seseorang terhadap
sebuah kenyataan yang tidak mungkin
diubah lagi. Setidaknya itulah yang saya
yakini dari perjumpaan saya dengan individu
dengan LGBT. Secara awam, saya diajar
untuk menentukan sikap saya berdasarkan
sebuah pengkategorian sederhana yaitu
seseorang menjadi LGBT itu karena nature
(bawaan lahir) atau nurture (bentukan sosial,
pola asuh)? Jika nature-nya LGBT, ya mau
apalagi selain menerimanya? Masak mau
menyalahkan Sang Pencipta? Kalau nurture,
tunggu dulu, bukankah ini masih bisa
disembuhkan? Sejauh perjumpaan penulis
dengan individu LGBT, penulis menemukan
kenyataan yang jauh lebih kompleks. Hal
itulah yang memaksa penulis merenung dan
mengevaluasi lagi sikap yang cenderung
aman dan menyederhanakan warisan ajaran
lama dulu. Teori Kubler Ross menolong
penulis untuk memahami bahwa dinamika
psikososial individu dengan LGBT bukanlah
sebuah proses yang berjalan linier (lurus).
Kesadaran akan adanya dinamika inilah yang
menolong penulis dalam mengembangkan
sikap empatik, tidak tergoda membawa
individu dnegan LGBT kepada Yesus untuk
diadili seperti narasi perempuan yang
kedapatan berzinah.
Dinamika Psikososial Individu dengan
LGBT dan Keluarganya
Dengan menggunakan kerangka teori
Elisabeth Kubler Ross di atas, sekarang
penulis hendak memaparkan dinamika
psikososial individu dengan LGBT dan
keluarganya. Sumber data utama uraian
berikut ini adalah percakapan personal
antara penulis dengan individu dengan LGBT
2 Stadium terminal adalah sebutan medis terhadap kondisi
orang yang sakitnya tidak mungkin tersembuhkan lagi.
Upaya medis terhadap kondisi ini , tidak lagi diarahkan pada
kesembuhan pasien, namun bagaimana mengurangi penderitaan
pasien di fase-fase akhir hidupnya.

13

ukdw.ac.id/id/page/view/14-fakultas-teologi

dan keluarganya. Namun demi keamanan
para partisipan dan kode etik penulis
sebagai seorang pendamping, maka penulis
menyamarkan nama maupun identitas
personal lainnya.
Penyangkalan (Shock & denial)
Sebut saja namanya Mawar, dia terlahir
dengan memiliki vagina, oleh karena itu,
keluarga dan masyarakat menandai dia
sebagai seorang
perempuan. Sebagai
seorang perempuan Jawa, Mawar dididik
untuk bertumbuh sebagaimana layaknya
seorang perempuan Jawa yang baik :
memakai rok, berbicara dan bersikap
santun nan lembut. Sejak kecil, sejauh yang
bisa Mawar ingat, Mawar sangat senang
mengenakan celana pendek. Pada awalnya,
konon orang tuanya sering memaksa Mawar
mengenakan rok berenda-renda. Namun
karena rok-rok itu hanya menghiasi lemari
dan orang tua tidak pernah berhasil merayu
Mawar untuk mengenakannya, akhirnya
mereka menuruti kemauan Mawar. Bagi
orang tuanya, putri mereka memang berbeda
dengan anak-anak perempuan Jawa pada
umumnya. Mawar bukan perempuan
feminin, tapi tomboy.
Jika kenyataan itu ditanyakan kepada Mawar,
satu hal yang bisa dijelaskannya, sejak kecil
Mawar merasa diri sebagai seorang lakilaki. Mawar lebih mudah mengidentifikasi
dirinya dengan ayahnya, dengan temanteman bermainnya yang laki-laki daripada
dengan mamanya, dengan teman-teman
perempuannya. Dan ini sangat bertolak
belakang dengan label gender yang
diberikan masyarakat kepadanya. Namun
kenyamanan internal Mawar terhadap
identitas gendernya ini terusik, saat dia
hidup dan berelasi dengan masyarakat yang
didominasi dengan heteronormatifitasnya.
Tekanan luar yang begitu kuat ini, membuat
Mawar merasakan sesuatu yang berbeda
dalam dirinya. Ejekan dan cemoohan
orang lain, memperburuk kondisi itu.
Mawar menceritakan pengalaman pahitnya
berhadapan dengan institusi keagamaan. Dia

ditegur oleh salah seorang pemuka agama,
karena dia mengenakan baju yang tidak
sesuai dengan norma gender masyarakat saat
beribadah. Saat itu, Mawar sempat berpikir,
jangan-jangan memang keyakinannya salah
selama ini. Oleh karena itu, dia berusaha
menembus perasaan tidak nyamannya,
menyangkal apa yang ada dalam batinnya,
tunduk pada norma sosial. Walau akibatnya,
Mawar merasa terasing dengan tubuh
perasaannya. Namun Mawar kecil tidak tahu
harus bagaimana mengkomunikasikan hal
ini pada orang tua dan orang-orang yang ada
di sekelilingnya.
“Ketaatan” Mawar ini tentu sangat
menggembirakan kedua orang tua Mawar.
Mereka berbahagia ternyata adanya tidak
berbeda dengan anak-anak perempuan
Jawa pada umumnya. Mawar toh bisa tampil
dengan rok-rok yang indah. Walaupun
itu hanya terbatas saat beribadah, tapi
cukuplah itu menghibur keresahan orang
tua akan keberbedaan Mawar selama ini.
Kemarahan(Anger)
Mawar meninggalkan keluarga dan kota
kelahirannya, saat dia harus menempuh
pendidikan tinggi. Pada fase ini, Mawar
mulai mendapatkan banyak peluang untuk
belajar tentang keberbedaan dirinya.
Berbagai seminar dan talkshow tentang
LGBT diikutinya. Puluhan buku berbahasa
Inggris dilalapnya. Pertanyaan atas nama
rasa ingin tahu diajukannya di forumforum terbuka maupun melalui kontakkontak personal dengan individu dengan
LGBT yang menjadi narasumber acara.
Seiring dengan banyaknya informasi yang
dimilikinya, Mawar merasa tertolong untuk
menemukan jawab atas keberbedaannya
selama ini. Penampilannya yang dinilai
tomboy oleh orang lain, penghayatan dirinya
sebagai laki-laki kendatipun dilahirkan
dengan bervagina, dll bukanlah sebuah
kesalahan. Bahkan setelah belajar tentang
genderbread, Mawar mulai menemukan
nama atas keberbedaanya. Mawar adalah
seorang transman, seorang yang bervagina,

14

Vol. 10. No.1. Januari-Juli 2016

menghayati identitas gendernya sebagai
seorang laki-laki.
Penemuan nama ini,di satu sisi melegakan
Mawar dan dia merasa mendapat jutaan
pencerahan atas berbagai pengalaman yang
membingungkannya selama ini. Namun di
sisi lain, penemuan nama ini juga memicu
munculnya pertanyaan-pertanyaan baru :
mengapa aku? Mengapa bukan orang lain
saja? Kemarahan Mawar atas keluarga dan
masyarakat yang membesarkannya pun
memuncak, mengapa mereka selama ini
mendiskriminasikan dia karena ekspresi
gendernya? Namun kemarahan ini harus
ditahan sendiri oleh Mawar, karena Mawar
kuatir, jika kemarahan ini diekspresikan,
justru bukan penerimaan yang akan dituainya
namun penolakan. Bisakah kita bayangkan
betapa berat dinamika psikososial Mawar,
bertahun-tahun dia harus menyimpan
kemarahannnya
sendiri
dan
tetap
menjalankan peran baiknya sebagai anak,
mahasiswa dan bagian dari masyarakat.
Bahkan ketika penulis bertanya, apakah
orang tua Mawar tahu kalau Mawar adalah
seorang transman? Mawar menyatakan,
nada-nadanya mereka tahu, tapi mereka

tidak pernah bertanya dan Mawarpun belum
coming out (menyatakan diri secara terbuka)
kepada orang tuanya.
Tawar menawar (Bargaining)
Siapa yang kuat menjalani kehidupan dalam
kemarahan yang tertahan dan tetap harus
menjalani kehidupan seakan semua baikbaik saja? Ditengah kelelahan lahir batin
yang dialaminya, tak jarang Mawar sering
berandai-andai, “Kalau saja saya tidak
memiliki kecenderungan ini, mestinya saya
bisa lebih berbakti dan tidak hidup berpurapura di depan orang tua dan teman-teman,
ya” Pernah juga Mawar melakukan tawar
menawar dengan Tuhan,” Tuhan, seandainya
aku bertumbuh normal seperti ciri seks ku,
tentu akan sekarang bisa leluasa terlibat
dalam pelayanan keagamaan.”
Depresi (Depression)
Ketika upaya tawar menawar yang dilakukan
Mawar, tidak sedikitpun menolong Mawar
merasa lebih at home dengan diri dan
hidupnya, tak jarang Mawar merasakan
kesedihan yang mendalam. Mawar mengaku
dalam hidupnya dia pernah melakukan uji
coba bunuh diri. Tekanan sosial, ketiadaan

15

ukdw.ac.id/id/page/view/14-fakultas-teologi

ruang untuk berekspresi dan kewajiban
untuk mematuhi normal sosial yang
mengharuskan dia terasing dari dirinya, tak
jarang membawa Mawar pada titik terendah
kehidupannya. Mawar merasa tidak ada
artinya lagi hidup di dunia ini. Beberapa
kali, Mawar sempat meyakini bahwa
kematian adalah satu-satunya jawaban atas
semua permasalahan hidup yang sering
membelitnya. Namun sayangnya, di saatsaat seperti ini, orang-orang di sekelilingnya
hanya menganggap Mawar sedang bad
mood atau stres studi atau stres karena tidak
memiliki pacar. Pernah, Mawar terbawa arus
orang-orang di sekelingnya. Mawar sempat
berpacaran dengan seorang laki-laki, namun
itu tidak berlangsung lama, karena Mawar
menyadari kalau tindakannya itu hanyalah
pelarian belaka.
Penerimaan (Acceptance)
Beruntung Mawar memiliki jaringan sosial
dan kemampuan kognitif yang kuat,
paling tidak inilah yang diyakini Mawar
yang bisa membawanya kembali pada
pikiran warasnya. Bersama teman-teman
komunitas LGBT, Mawar merasa tertolong
untuk menerima dirinya (coming in).
Memang penolakan dan diskriminasi masih
muncul di sana-sini tapi Mawar sadar bahwa
hidup ini jauh lebih luas katimbang hanya
urusan berkelamin. Salah satu nightmare
terberatnya saat ini adalah saat dimana
harus mengakses layanan publik. Pernah
suatu kali Mawar kehilangan SIM dan buku
tabungannya. Saat bertemu, petugas
kepolisian maupun Bank, menyapa dia
dengan sebutan Mas, tapi dengan segera
meralat sebutan itu saat melihat KTP Mawar.
Dan kemudian muncullah rangkaian respon
diskriminatif dan atau nasihat moral lainnya.
Andai Mawar belum coming in, mungkin
dia akan menggampar petugas-petugas
itu. Namun Mawar sadar, sebagai kamu
minoritas, adalah lebih baik menghemat
tenaganya untuk kegiatan yang bermakna
bagi masyarakat katimbang membuangnya
yang meladeni orang-orang yang tidak /
belum mau mengerti identitas gendernya.

Penutup
Hidup Mawar terus berlanjut dengan segala
dinamikanya, namun penulis menyadari dari
berbagai data penelitian, masih berjibun
individu dengan LGBT yang hidupnya
tidak “seberuntung” Mawar. Mereka
masih bersembunyi dan tersembunyi dari
pandangan heteronormatifitas kita. Oleh
karena itulah, penulis mengusulkan mata
kuliah konseling LGBT di Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana. Sebuah
langkah kecil yang semoga menginspirasi
alumni untuk merintis layanan empatik
kepada individu dengan LGBT. Mari kita
dengar narasi hidup mereka yang tergilas
arus besar. Kekuatan kita terbatas, marilah
kita “berbagi tugas”. Biarlah PGI dengan
arus dan isu besarnya, kita bersama alumni
memulai langkah entry empatik sambil terus
berkarya bagi terwujudnya Justice, Peace
and Integrity of Creation.

16

Vol. 10. No.1. Januari-Juli 2016

Program Studi S1 Ilmu Teologi

Untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu