Kinerja Pemasaran Biji Kakao Di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.

KINERJA PEMASARAN BIJI KAKAO
DI KABUPATEN PASAMAN, SUMATERA BARAT

HERAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kinerja Pemasaran
Biji Kakao di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Herawati
NIM H351130011

RINGKASAN
HERAWATI. Kinerja Pemasaran Biji Kakao di Kabupaten Pasaman,
Sumatera Barat. Dibimbing oleh AMZUL RIFIN dan NETTI
TINAPRILLA.
Agribisnis kakao memegang peranan penting dalam pembangunan
nasional. Tahun 2013 Indonesia menjadi negara terbesar ketiga sebagai
produsen kakao dengan jumlah produksi 425 ribu ton. Salah satu daerah
yang paling banyak ditanami kakao adalah Sumatera Barat. Jumlah produksi
kakao di Sumatera Barat terus meningkat sejak dicanangkannya Sumatera
Barat sebagai daerah sentra pengembangan kakao untuk wilayah Indonesia
bagian barat oleh pemerintah. Rata-rata pertumbuhan kakao di Sumatera
Barat mencapai 23 persen dengan peningkatan luas lahan sebesar 156
persen. Kabupaten Pasaman sebagai salah satu sentra pengembangan kakao
di Sumatera Barat dengan jumlah produksi terbesar terus menunjukkan
peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini sebaiknya didukung dengan
pemasaran yang efisien sehingga dapat memenuhi permintaan dan kepuasan

konsumen akhir serta memaksimalkan nilai yang diterima petani.
Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis pemasaran biji kakao di
Kabupaten Pasaman dengan pendekatan kerangka Food Supply Chain
Networking (FSCN) serta mengkaji kinerja pemasaran biji kakao di
Kabupaten Pasaman. Analisis dan pengolahan data dilakukan secara
kualitatif dan juga kuantitatif. Pengolahan data dengan metode kualitatif
digunakan untuk menguraikan secara deskriptif gambaran umum lokasi
penelitian dan kegiatan pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman dengan
pendekatan FSCN. Pengolahan data dengan metode kuantitatif digunakan
untuk menganalisis kinerja pemasaran biji kakao dengan menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan efisiensi pemasaran yang diukur dengan
marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya
serta dengan pendekatan Data Envelopmemnt Analysis (DEA). Penelitian ini
dilakukan di Kabupaten Pasaman dengan responden petani sebanyak 45
orang dan 19 orang pedagang. Data dikumpulkan merupakan data primer
melalui teknik wawancara menggunakan kuisioner.
Secara umum pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman berjalan
lancar. Sasaran yang ingin dicapai jelas, namun masih terdapat sasaran
pengembangan yang perlu dikembangkan yaitu peningkatan kualitas serta
peningkatan kuantitas biji kakao. Struktur hubungan antar lembaga

pemasaran terdiri dari petani kakao, petani bandar, pedagang pengumpul
tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang besar dan
eksportir. Eksportir dalam penelitian merupakan konsumen akhir biji kakao.
Manajemen pemasaran yang diterapkan pada dasarnya telah berjalan dengan
baik, namun harga biji kakao ditingkat petani masih ditentukan oleh
pedagang. Terdapat beberapa kendala pada sumberdaya modal yang
ditemukan pada petani dan beberapa pedagang pengumpul karena adanya
hambatan dalam melakukan peminjaman modal kepada pihak perbankan.
Selain itu kendala sumberdaya teknologi yang dihadapi petani, pedagang
atau petani bandar yang masih menggunakan teknologi penjemuran secara

tradisional. Secara umum proses bisnis pemasaran biji kakao berjalan lancar
dilihat dari aliran produk, finansial, dan informasi. Aliran finansial pada
tingkat pedagang terkadang ditangguhkan oleh pihak eksportir. Jika dilihat
berdasarkan cycle view, pemasaran biji kakao hanya melalui satu siklus
yaitu siklus procurement.
Saluran pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman terdiri dari
enam saluran. Kinerja pemasaran dengan pendekatan DEA bahwa masingmasing kinerja pemasaran dengan decision making unit petani secara
keseluruhan menunjukkan bahwa pemasaran yang dilakukan petani kakao di
Kabupaten Pasaman belum efisien. Jumlah petani yang melakukan

pemasaran biji kakao efisien lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
petani yang tidak efisien dalam melakukan pemasaran biji kakao. Terdapat
lima saluran pemasaran yang telah efisien dan satu saluran yang belum
efisien yaitu saluran 4.
Petani dapat memilih alternatif penjualan biji kakao kepada lembaga
pemasaran yang memberikan harga lebih baik, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan petani. Harga biji kakao di tingkat petani
dipengaruhi oleh kualitas biji kakao yang dihasilkan. Peningkatan kualitas
biji kakao dapat dilakukan melalui penyeragaman standardisasi mutu biji
kakao di Kabupaten Pasaman, sehingga perlu meningkatkan peran
kelembagaan sebagai pengontrol kualitas. Petani yang belum efisien dalam
pemasaran dapat mengurangi nilai input atau meningkatkan nilai ouput
dengan cara mengurangi kadar air yang terkandung dalam biji kakao atau
menurunkan biaya pemasaran yang dikeluarkan.
Kata kunci: data envelopment analysis, food supply chain networking,
efisiensi

SUMMARY
HERAWATI. Marketing Performance of Cocoa Beans in Pasaman District,
West Sumatra. Supervised by AMZUL RIFIN and NETTI TINAPRILLA.

Agribusiness cocoa has important role in national development. In
2013, Indonesia became the third largest country as cocoa producer with
total production of 425 thousand tons. One of the most widely areas that
planted cocoa is West Sumatra. Cocoa production in West Sumatra has
increased continously since the introduction of West Sumatra as a regional
center of the development of cocoa for the western part of Indonesia by the
government. The average growth of cocoa in West Sumatra reached 23
percent of the land area increase of 156 percent. Pasaman regency as the
centers of cocoa development in West Sumatera with a number of the
largest production to show an increase in production. Increased production
should be supported by efficient marketing, so as to meet the demand,
consumer satisfaction and maximizing the value received by farmers.
The purpose of this research are to analyze marketing of cocoa beans
in Pasaman district by using Food Supply Chain Networking (FSCN)
approach and to measure the marketing performance of cocoa beans in
Pasaman. The data will be analyzed using qualitative and quantitative
analysis. The data processing by qualitative methods used to explain a
general overview of research and to analyze marketing activities of cocoa
beans by using FSCN approach. While the data processing by using
quantitative methods used to measure the marketing performance of cocoa

beans by using two approaches, marketing efficiency approach as measured
by the marketing margin, farmer's share, and the ratio of benefits to costs as
well as the approach Envelopment Data Analysis (DEA). This research
consisted farmer respondents were 45 people and 19 traders. The data is
collected through interview using a questionnaire.
In general marketing of cocoa beans in Pasaman district running
smoothly. Clear targets to be achieved, but its need target development that
are improving the quality and increasing the quantity of cocoa beans. The
structure of the relationship between marketing agency comprised of cocoa
farmers, farmer city, traders village level, traders district level, wholesalers
and exporters. Exporters in this research is the final consumer of cocoa
beans. Marketing management applied basically been running well, but the
price of cocoa farm level is still determined by traders. In general, the
business processes marketing of cocoa beans run smoothly seen from the
flow of product, financial, and information. Financial flows at the level of
traders sometimes suspended by the exporters. If seen by cycle view, the
marketing of cocoa beans only through one cycle of procurement cycles.
Marketing channels of cocoa beans in Pasaman Regency consists of
six channels. Marketing performance by using DEA approach that each
performance marketing shows that the marketing of cocoa farmers not

efficient. Number of efficient farmers less than the number of inefficient

farmers. There are five marketing channels have been streamlined and a
channel is not efficient consist of channel 4.
Farmers can choose alternatives cocoa beans sales to marketing
agencies that provide better price, so as to increase farmers' income. The
price of cocoa beans at the farmers level is influenced by the quality of the
cocoa beans produced. Improving the quality of cocoa beans can be done
through the uniformity of cocoa quality standardization in Pasaman, so it
needs to improve the institutional role as a quality controller. Farmers who
have not been efficient in marketing can reduce the input value or increase
the value of output by reducing the water content contained in the cocoa
seeds or lower marketing costs incurred.
Keywords: data envelopment analysis, food supply chain networking,
efficiency

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KINERJA PEMASARAN BIJI KAKAO
DI KABUPATEN PASAMAN, SUMATERA BARAT

HERAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Penguji Wakil Program Studi

: Dr Ir Suharno, M.ADev

Judul Tesis : Kinerja Pemasaran Biji Kakao di Kabupaten Pasaman, Sumatera
Barat
Nama
: Herawati
NIM
: H351130011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Amzul Rifin, SP., MA
Ketua


Dr Ir Netti Tinaprilla, MM
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 27 Juli 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 ini ialah kinerja
pemasaran, dengan judul Kinerja Pemasaran Biji Kakao di Kabupaten Pasaman,
Sumatera Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Amzul Rifin, SP. MA dan
Ibu Dr Netti Tinaprilla, MM selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku penguji
pada ujian tesis dan Dr Ir Suharno, M.Adev selaku penguji luar komisi yang
telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
bapak, ibu, kakak, mbak, adik, seluruh keluarga besar, serta sahabat-sahabat
penulis atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Pertanian Kabupaten
Pasaman dan Balai Penguji Mutu Produk Pertanian Produk Pertanian, dan Bapak
Tamsil Rolan beserta keluarga besar yang telah membantu selama pengumpulan
data. Terkahir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan
kepada tim sekretariat PERHEPI dan rekan-rekan Magister Sains Agribisnis
Angkatan IV. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Herawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
5
6
6
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pemasaran Komoditi Kakao
Pengukuran Kinerja Pemasaran

7
7
9

3 KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Sistem Pemasaran
Pendekatan Kerangka Food Supply Chain Networking (FSCN)
Kinerja Pemasaran
Kerangka Pemikiran Operasional

11
11
13
15
21

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode Analisis Rantai Pasok Biji Kakao
Metode Analisis Saluran dan Fungsi Pemasaran
Metode Analisis Kinerja Pemasaran

23
23
23
23
24
24
25
26

5 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Karakteristik Usahatani Kakao di Kabupaten Pasaman
Karakteristik Petani Kakao

29
31
33

6 PEMASARAN BIJI KAKAO DI KABUPATEN PASAMAN
Sasaran Pemasaran
Manajemen Rantai Pasok
Sumberdaya Rantai Pasok
Proses Bisnis Rantai Pasok
Kinerja Pemasaran Biji Kakao

35
35
43
45
48
56

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

71
71
72

DAFTAR PUSTAKA

72

LAMPIRAN

77

RIWAYAT HIDUP

82

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Luas lahan tanam, produksi dan produktivitas kakao di Sumatera Barat
Luas lahan dan jumlah produksi kakao beberapa kabupaten di Sumbar
tahun 2012
Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Pasaman
Luas lahan menurut penggunaan di Kabupaten Pasaman tahun 2013
Perkembangan luas lahan dan produksi tanaman kakao per kecamatan
Karakteristik usahatani kakao di Kabupaten Pasaman
Karakteristik petani kakao di Kabupaten Pasaman
Standar mutu biji kakao yang diekspor
Marjin pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman
Fungsi-fungsi pemasaran pada lembaga pemasaran biji kakao di
Kabupaten Pasaman
Farmer’s share pada saluran pemasaran biji kakao di Kabupaten
Pasaman
Rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap saluran pemasaran biji
kakao
Nilai rata-rata dari VRSTE dan SE petani kakao di Kabupaten Pasaman
Sebaran nilai variabel input dan output pengukuran kinerja pemasaran
oleh empat petani responden
Potential improvements pemasaran biji kakao petani 1
Nilai VRSTE, SE dan return to scale masing-masing saluran pemasaran
Nilai rata-rata dari VRSTE dan SE saluran pemasaran di Kabupaten
Pasaman
Sebaran perbandingan untuk setiap saluran pemasaran
Potential improvements saluran pemasaran biji kakao 4

3
4
29
30
30
32
35
36
57
58
62
63
65
66
67
69
70
70
71

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Produksi kakao di beberapa provinsi di Indonesia tahun 2011
1
Tren pertumbuhan luas lahan kakao di sembilan provinsi sentra
produksi
2
Model sederhana proses pemasaran
11
Kerangka Food Supply Chain Network
14
Siklus proses dalam cycle view rantai pasok
15
Kurva marjin pemasaran
17
Kurva efisien frontier
20
Kerangka operasional penelitian
22
Kerangka analisis deskriptif rantai pasok
24
Alur cara kerja pengolahan data pada DEA
28
Struktur hubungan pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman
38
Proses bisnis pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman
49
Pemisahan biji dan kulit buah kakao dengan benda tajam
50
Proses penjemuran biji kakao yang dilakukan oleh petani
50
Aliran produk biji kakao di Kabupaten Pasaman
51
Aliran finansial biji kakao di Kabupaten Pasaman
52

17 Aliran informasi biji kakao di Kabupaten Pasaman
53
18 Sebaran skor efisiensi teknis pemasaran biji kakao masing-masing
petani
64
19 Reference Comparison antara petani 1 dengan petani 37
68
20 Sebaran skor efisiensi teknis pemasaran biji kakao masing-masing
saluran pemasaran
69

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Marjin pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman
Nilai CRSE, VRSE, dan scale efficiency dari setiap petani responden
Sebaran proportion movement dari setiap petani responden
Sebaran perbandingan setiap petani responden
Sebaran proportion movement dari setiap saluran pemasaran

78
79
80
81
82

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara produsen kakao terbesar di dunia
setelah Pantai Gading dan Ghana. Jumlah produksi kakao Indonesia mencapai 425
ribu ton pada tahun 2013 (ICCO 2014). Agribisnis kakao memegang peranan
penting dalam pembangunan nasional khususnya sebagai sumber pendapatan
negara, penyedia lapangan kerja, dan sumber pendapatan bagi masyarakat.
Budidaya kakao merupakan sumber penghidupan bagi sekitar 1.4 juta petani
(rumah tangga). Sebagian besar kakao Indonesia diekspor ke luar negeri dalam
bentuk biji. Jumlah ekspor biji kakao pada tahun 2013 mencapai 188 000 ton
(Kemenkeu 2014) dengan berbagai negara tujuan ekspor diantaranya Malaysia (47
persen), Amerika Serikat (21 persen), Singapura (12 persen), Brazil (7 persen),
China (4 persen), dan negara lainnya (9 persen).
Perkembangan ekspor biji kakao terus menunjukkan peningkatan. Namun,
nilai yang diperoleh Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara
importir. Hal ini dikarenakan Indonesia mengekspor kakao dalam bentuk biji,
sedangkan negara importir mengekspor kakao dalam bentuk olahan. Jumlah usaha
pengolahan biji kakao masih sangat sedikit sehingga industri pengolahan kakao
diharapkan dapat berkembang agar mampu meningkatkan nilai tambah kakao,
memperkuat industri kakao, dan menyerap tenaga kerja. Dukungan pemerintah
terhadap perkembangan usaha pengolahan kakao diwujudkan melalui Peraturan
Menteri Keuangan No. 67 Tahun 2010 tentang Penetapan Barang-barang yang
terkena Bea Keluar (BK). Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
industri pengolahan kakao dalam negeri dengan jaminan ketersediaan bahan baku
biji kakao dalam negeri. Kebijakan BK biji kakao dinilai mampu menggerakkan
pertumbuhan industri pengolahan kakao dalam negeri dengan peningkatan total
kapasitas produksi sebesar 87 persen (Kemendag 2013). Syadullah (2014) juga
membenarkan bahwa sejak berlakunya kebijakan bea keluar biji kakao, jumlah
industri olahan kakao meningkat namun belum berproduksi secara optimal.

Gambar 1 Produksi kakao di beberapa provinsi di Indonesia tahun 2011
Sumber: Ditjenbun 2012

Tanaman kakao terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Daerah yang
paling banyak ditanami kakao adalah wilayah Indonesia bagian timur khususnya
Sulawesi dengan jumlah produksi sebesar 70 persen dari total produksi kakao di

2
Indonesia. Daerah di Indonesia bagian barat, kakao banyak ditanam di Sumatera
Utara dan Sumatera Barat. Gambar 1 menunjukkan persentase produksi kakao di
beberapa provinsi di Indonesia. Jumlah produksi kakao Provinsi Sumatera Barat
sebesar 4 persen dari total produksi kakao nasional. Meskipun jumlah produksi
kakao di Sumatera Barat lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah produksi di
Sulawesi, pertumbuhan tahunan kakao di Sumatera Barat mencapai 23 persen
pada tahun 2002-2007 sedangkan daerah lainnya hanya mencapai rata-rata
pertumbuhan 9 persen (Departemen Pertanian 2009).
Potensi bidang perkebunan di Sumatera Barat cukup besar karena didukung
oleh ketersediaan lahan yang luas dan iklim yang sesuai dengan komoditi
perkebunan. Beberapa komoditi perkebunan yang banyak dibudidayakan
masyarakat di Sumatera Barat diantaranya adalah kelapa, karet, kakao, dan
gambir. Pemerintah Sumatera Barat melakukan program pengembangan terhadap
komoditi kakao secara besar-besaran. Program pengembangan komoditas kakao
terus dikembangan sejak dicanangkannya daerah tersebut sebagai sentra
pengembangan tanaman kakao di Indonesia untuk wilayah barat pada tahun 2006.
Pengembangan sentra kakao di Sumatera Barat ditandai oleh peningkatan luas
lahan tanam dari tahun 2007 sampai 2011 yang mencapai 156 persen dengan
kontribusi nilai ekspor sebesar 74,9 persen (Idrus 2012). Pertumbuhan luas lahan
kakao di beberapa provinsi ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Tren pertumbuhan luas lahan kakao di sembilan provinsi sentra
produksi
Sumber: Kementerian Pertanian (2014)

Berdasarkan Gambar 2 tren pertumbuhan luas lahan kakao di Provinsi
Sumatera Barat meningkat sangat signifikan mulai akhir tahun 2005 hingga tahun
2012. Pertumbuhan luas lahan kakao diperkirakan akan terus meningkat. Hal ini
sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Sumatera Barat 20102015, target luas lahan tanam komoditas kakao pada tahun 2015 adalah 200 000
ha. Hingga tahun 2013 jumlah lahan tanam yang telah digunakan baru mencapai
137 355 ha. Artinya potensi pengembangan kakao masih cukup besar dilakukan

3
Sumatera Barat. Luas lahan tanam kakao diperkirakan akan mencapai 178 996 ha
dan 195 392 ha pada tahun 2015 dan 2016 (Bappeda Sumatera Barat 2014).
Tabel 1 Luas tanam, produksi dan produktivitas kakao di Sumatera Barat
Luas tanam
Produksi
Produktivitas
Tahun
(Ha)
(Ton)
(Kg/Ha)
2008
59 610
29 840
961
2009
81 947
37 736
900
2010
98 707
47 045
960
2011
114 707
57 143
883
2012
135 048
66 588
897
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumbar (2013)

Berdasarkan Tabel 1 luas lahan tanam dan jumlah produksi kakao di
Sumatera Barat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan
dampak dukungan pemerintah yang konsisten dalam mengembangkan agribisnis
kakao di Sumatera Barat. Tabel 1 menunjukkan adanya penurunan produktivitas
yang disebabkan jumlah tanaman belum menghasilkan yang masih tinggi. Kakao
merupakan komoditas unggulan strategis yang menjadi sumber mata pencaharian
petani di Sumatera Barat. Prospek komoditas ini cukup baik seiring dengan
perkembangan agribisnis kakao dan dukungan pemerintah terhadap kakao.
Terdapat beberapa daerah atau kabupaten yang dijadikan sentra pengembangan
kakao di Sumatera Barat diantaranya adalah Kabupaten Pasaman, Agam, Pasaman
Barat, dan Padang Pariaman. Selain itu kakao juga terdapat di Kabupaten
Limapuluh Kota, Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai, Sijunjung, Solok, Tanah
Datar, kota Sawahlunto, dan kabupaten lainnya. Beberapa alasan Sumatera Barat
dijadikan sentra pengembangan kakao diantaranya karena semakin terbatasanya
luas di daerah ini, sementara kakao dapat ditanam di lahan pekarangan dan dapat
ditanam di lahan kelapa. Selain itu, umur panen kakao termasuk pendek sekitar
2.5 – 3 tahun. Tabel 2 menunjukkan luas lahan dan jumlah produksi kakao di
beberapa kabupaten di Sumatera Barat.
Berdasarkan Tabel 2 jumlah produksi kakao di Kabupaten Pasaman lebih
tinggi jika dibandingkan dengan produksi di kabupaten lainnya. Kabupaten
Pasaman merupakan salah satu kabupaten yang mendapatkan bantuan program
pengembangan kakao dari pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat.
Peningkatan jumlah produksi kakao di Kabupaten Pasaman diharapkan menjadi
peluang bagi usaha pengolahan kakao untuk berkembang. Namun kebanyakan biji
kakao dijual kepada eksportir baik dari Sumatera Barat hingga ke luar provinsi
seperti Lampung dan Medan.
Pemasaran biji kakao banyak ditujukan untuk pasar ekspor. Tingginya
permintaan negara-negara importir terhadap biji kakao Indonesia dikarenakan
kakao Indonesia memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki oleh kakao
negara lain. Alasannya karena karakteristik kakao Indonesia memiliki melting
point of cocoa dengan frecuency butter tinggi dan bebas fatty acids/rendah lemak.
Hal ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing
kakao dengan terus meningkatkan produksi kakao, sehingga diperlukan juga
perbaikan pada sistem pemasaran kakao sebagai salah satu prasarana dalam
meningkatkan daya saing kakao. Masalah utama dalam pelaksanaan sistem

4
pemasaran terdapat pada tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penekanan biaya pemasaran dengan menciptakan
arus distribusi atau pemasaran yang efektif dan efisien melalui pembangunan
sarana distribusi dalam rantai pemasaran kakao.
Tabel 2

Luas tanam dan jumlah produksi kakao berdasarkan kabupaten di
Sumbar tahun 2012
Kabupaten
Luas Tanam
Produksi
Produktivitas
(Ha)
(Ton)
(Kg/Ha)
Kepulauan Mentawai
2 714
1 437
529
Pesisir Selatan
5 727
2 717
474
Solok
5 421
2 543
469
Sijunjung
5 349
2 154
403
Tanah Datar
6 903
3 269
474
Padang Pariaman
29 872
12 139
406
Agam
9 090
4 854
534
Lima Puluh Kota
8 190
4 057
495
Pasaman
25 189
16 483
654
Solok Selatan
2 383
1 122
471
Dharmasraya
3 849
1 969
512
Pasaman Barat
18 481
8 742
473
Lainnya
11 880
5 102
429

Sumber: Badan Pusat Statistik Sumbar (2013)

Peningkatan produksi kakao di Kabupaten Pasaman setiap tahun sebaiknya
didukung dengan sistem pemasaran yang efisien sehingga diharapkan kinerja
pemasaran kakao dapat memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan
pendapatan petani. Dilana (2013) menyebutkan bahwa sistem pemasaran yang
efisien terlihat dari tingkat harga dan stabilitas harga. Semakin tinggi harga jual
biji kakao, petani akan semakin termotivasi untuk meningkatkan produksinya.
Harga yang diterima petani relatif lebih rendah. Hal ini disebabkan karena
informasi yang diperoleh petani tidak sempurna. Baktiawan (2013) menambahkan
bahwa arus informasi yang tidak lancar seringkali menjadikan petani sebagai
price taker.
Kabupaten Pasaman sebagai salah satu daerah sentra pengembangan kakao
rakyat masih memiliki peluang cukup besar untuk meningkatkan produksi kakao.
Hampir sebagian besar masyarakat mengandalkan perkebunan sebagai mata
pencaharian utama. Pilihan masyarakat terhadap pengembangan kakao
dipengaruhi oleh besarnya tuntutan kebutuhan yang terus meningkat namun tidak
didukung dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, keterbatasan
lapangan pekerjaan serta tingkat pendidikan menjadi faktor kendala dalam
mendapatkan pekerjaan lainnya. Pentingnya komoditas kakao harus didukung
dengan kelancaran sistem pemasaran. Hal penting dalam sistem pemasaran adalah
kelancaran aliran produk, finansial, dan informasi agar memenuhi keinginan
konsumen akhir. Oleh karena itu, upaya peningkatan efisiensi sistem pemasaran
sangat diperlukan sehingga pada akhirnya dapat memenuhi permintaan dan
kepuasan konsumen akhir serta memaksimalkan nilai yang diterima petani.

5
Perumusan Masalah
Semakin berkembangnya perdagangan dunia menjadi peluang sekaligus
tantangan bagi seluruh pelaku usaha yang berperan dalam pemasaran kakao.
Pemasaran kakao Indonesia telah mencapai pasar internasional dan menjadikan
kakao sebagai produk ekspor. Sebagian besar produk kakao di ekspor dalam
bentuk biji dan terus meningkat setiap tahun. Jumlah produksi kakao di
Kabupaten Pasaman yang meningkat setiap tahun diharapkan menjadi peluang
bagi usaha pengolahan kakao untuk berkembang. Namun kenyataannya biji kakao
banyak dijual kepada eksportir baik dari Sumatera Barat hingga ke luar provinsi
seperti Medan dan Lampung.
Pengembangan kakao di Kabupaten Pasaman sangat prospektif jika dilihat
dari potensi produksi dan jangkauan pemasaran hingga ke luar negeri. Namun
masih banyak permasalahan yang dihadapi petani diantaranya rendahnya
produktivitas kakao. Selain itu, keterbatasan pengetahuan yang dimiliki petani
terhadap budidaya kakao merupakan penyebab rendahnya jumlah produktivitas
kakao. Kualitas biji kakao yang kurang baik menjadi penyebab rendahnya harga
yang diterima petani. Schaffner et al. (1998) dalam Asmarantaka (2012)
menyatakan bahwa produk pertanian dalam bentuk bahan mentah memiliki
karakteristik tidak bermerek, harga sering berfluktuasi, dan pemasar tidak
memiliki kontrol harga. Permasalahan lain dalam pemasaran biji kakao di
Kabupaten Pasaman adalah jarak tempuh yang jauh dari titik pasar mengakibatkan
adanya indikasi kinerja rantai pasok biji kakao tidak efisien. Drajat, Agustian, dan
Ade (2007) membenarkan bahwa kelemahan mendasar dalam pengembangan
agribisnis perkebunan rakyat adalah sistem pemasaran yang belum efisien. Selain
itu, Agustian (2003); Supriatna dan Drajat (2008) menyatakan bahwa terdapat
masalah lain yang dihadapi petani kakao, yaitu skala kepemilikan lahan relatif
sempit, lokasi yang terpencar, modal terbatas, dan sarana prasarana yang kurang
mendukung. Program-program yang telah dilakukan pemerintah khususnya
Sumatera Barat belum dapat menjamin pendapatan petani kakao menjadi lebih
baik. Selain itu, keterbatasan pengetahuan yang dimiliki petani terhadap budidaya
kakao merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas kakao (Hasnah,
2014).
Usaha pengembangan perkebunan kakao lebih terfokus pada perluasan
areal tanaman, peningkatan produksi dan perbaikan kualitas biji kakao yang
dihasilkan. Perkembangan areal tanam dan produksi kakao ini menarik banyak
pihak untuk terlibat dalam proses pemasarannya. Petani sebagai produsen kakao
tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga, sehingga petani hanya sebagai
price taker. Sementara pedagang bertindak sebagai penentu harga. Kondisi ini
dapat menimbulkan kerugian bagi petani produsen yang jumlahnya sangat banyak
dan tersebar di beberapa wilayah. Selain itu kurangnya informasi pemasaran bagi
petani menyebabkan banyak petani yang tidak melakukan fermentasi pada biji
kakao mereka. Padahal salah satu yang dapat meningkatkan kualitas biji kakao
adalah proses fermentasi dan dapat meningkatkan harga jual biji kakao. Banyak
petani yang tidak melakukan fermentasi biji karena tidak ada perbedaan harga
antara biji yang difermentasi dengan yang tidak difermentasi sehingga
mengurangi motivasi petani untuk melakukan fermentasi. Pedagang pengumpul
dan pedagang besar menyatakan bahwa alasan mereka tidak memberikan

6
perbedaan harga karena supply biji yang difermentasi hanya dalam jumlah kecil.
Sehingga seringkali ketika akan dijual, biji yang difermentasi dicampur dengan
biji non fermentasi.
Kondisi pola distribusi yang demikian, dimana informasi pasar di tingkat
eksportir dan importir yang tidak diketahui dengan jelas dapat menyebabkan
perubahan harga kakao secara cepat dan cenderung fluktuatif. Hal ini tentu dapat
menimbulkan ketidakpastian di tingkat petani. Selain itu, adanya potensi
pengembangan kakao di Sumatera Barat sangat tepat apabila didukung dengan
sistem pemasaran yang baik dan efisien. Sistem pemasaran yang efisien dapat
dilihat dari tingkat harga dan stabilitas harga (Nurmalina et al. 2013; Dilana
2013). Harga jual biji kakao yang tinggi akan semakin memotivasi petani untuk
meningkatkan produksi kakao. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan dalam
pemasaran biji kakao untuk meningkatkan pendapatan petani dan memperbesar
nilai yang diterima petani. Nurmalina et al. (2013) menambahkan bahwa
perbaikan bidang pemasaran dengan memperkecil biaya pemasaran dan
menciptakan harga jual sesuai dengan kemampuan daya beli konsumen sehingga
dapat meningkatkan efisiensi pemasaran. Berdasarkan latar belakang dan
permasalahan di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman dengan kerangka
food supply chain networking (FSCN)?
2. Bagaimana kinerja pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis sistem pemasaran biji kakao di
Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Terdapat dua tujuan utama, diantaranya:
1. Menganalisis pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman dengan
kerangka food supply chain networking (FSCN).
2. Mengkaji kinerja pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat
memberikan rekomendasi kebijakan dalam pengembangan agribisnis kakao
khususnya di Kabupaten Pasaman. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu
menjadi masukan dalam perbaikan kegiatan pemasaran dan dapat memperlancar
distribusi produk dari petani hingga ke konsumen akhir. Selain itu, hasil penelitian
ini dapat dijadikan rujukan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian
mengenai pemasaran atau rantai pasok kakao.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian mencakup beberapa aspek yang dinilai penting untuk dianalisis.
Analisis pertama mengenai kondisi pemasaran dilakukan dengan menganalisis
sistem pemasaran biji kakao yang terjadi di lokasi penelitian dengan
mengidentifikasi saluran pemasaran yang dilakukan oleh petani kakao di
Kabupaten Pasaman. Analisis ini juga dilakukan untuk mengukur kinerja
pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman. Aktivitas pemasaran dianalisis

7
dengan menggunakan pendekatan kerangka Food Supply Chain Networking
(FSCN). FSCN dapat digunakan untuk mengetahui kepuasan konsumen serta
seluruh anggota yang terlibat di dalam rantai pemasaran.
Pengukuran kinerja pemasaran dapat dilakukan dengan pengukuran
efisiensi pemasaran. Metode yang digunakan dalam pengukuran efisiensi
pemasaran adalah dengan menghitung marjin, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya. Kedua, efisiensi kinerja pemasaran yang dilihat
dengan menentukan petani dan saluran yang efisien dalam melakukan pemasaran
biji kakao. Pengukuran efisiensi akan dilakukan dengan menggunakan Data
Envelopment Analysis (DEA). DEA merupakan alat analisis yang tepat untuk
mengukur efisiensi pemasaran dengan memperhitungkan variabel input dan
output.
Pencarian informasi pemasaran biji kakao pada penelitian ini dibatasi
hanya sampai tingkat eksportir biji kakao. Eksportir pada penelitian ini
merupakan konsumen akhir dalam pemasaran biji kakao. Kinerja pemasaran
dibatasi hanya sampai produk pasca panen biji kakao yaitu penjualan biji kakao
kering. Hal ini dikarenakan keterbatasan dalam mengakses data hingga ke industri
olahan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pemasaran Komoditi Kakao
Produk perkebunan pada umumnya merupakan produk ekspor yang
sangat dikembangkan untuk meningkatkan daya saing. Permasalahan dalam
pengembangan sektor perkebunan masih terkendala pada produktivitas dan
kualitas produk yang dihasilkan (Subagyo 1997; Supriatna dan Dradjat 2008).
Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas produk
sesuai dengan keinginan konsumen sehingga dapat dipasarkan. Produk pertanian
memiliki peluang besar untuk dipasarkan di pasar nasional maupun pasar ekspor.
Hal ini tentu membutuhkan pengembangan sistem pemasaran dengan tujuan agar
tercipta sistem pemasaran yang efektif dan efisien, meningkatkan posisi tawar
petani, dan meningkatkan pangsa pasar produk perkebunan. Pemasaran yang
efisien merupakan tujuan yang ingin dicapai pada suatu sistem pemasaran yang
ditandai adanya kepuasan bagi masing-masing pihak yang telibat (Supriatna dan
Dradjat 2008; Danil 2012; Dilana 2013).
Key (2000); Gabre (2009) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk
melancarkan akses petani ke pasar adalah dengan bergabung ke dalam sebuah
lembaga atau organisasi seperti koperasi atau kelompok petani. Serupa dengan
yang diungkap Jano dan Maiville (2007); Muflikh dan Suprehatin (2009);
Kamdem (2012) bahwa untuk meningkatkan efisiensi pemasaran petani kakao
dibutuhkan dukungan kelembagaan. Kelembagaan ini berfungsi sebagai pemantau
terhadap nilai dan standarisasi di seluruh lembaga pemasaran, menyampaikan
informasi secara terbuka terkait dengan pemasaran, dan melakukan koordinasi di
seluruh lembaga sehingga mampu meningkatkan daya saing.

8
Informasi yang sempurna terkait jarak, lokasi, dan pemahaman terhadap
produk juga perlu dimiliki oleh produsen maupun konsumen. Informasi
dibutuhkan pengambil keputusan dalam merencanakan dan mengendalikan
pemasaran sehingga terjadi keselarasan biaya, risiko dan mengurangi perselisihan
dalam kebijakan di setiap pelaku pemasaran. Hasil penelitian Wiengarten (2010)
menunjukkan bahwa akurasi, jadwal dan kecukupan, serta kredibilitas informasi
yang baik berdampak pada keberhasilan rantai pasok. Sehingga perlu perhatian
khusus terhadap pergerakan arus informasi di dalam pemasaran dan setiap
informasi harus ditangani dalam manajemen logistik. Keberhasilan pemasaran
direfleksikan pada kepuasan, harga, kualitas, siklus waktu, teknologi dan
pengembangan produk (Mittal 2007).
Posisi tawar petani kakao lemah dan cenderung konstan karena struktur
pasar biji kakao di tingkat petani ialah oligopsoni sehingga petani terlibat dalam
kelembagaan prinsipal (Sisfahyuni, Saleh, Yantu 2009). Sejalan dengan
Firmansyah (2013) dan Danil (2012) yang mendapati struktur pasar biji kakao di
Kabupaten Madiun dan Kabupaten Padang Pariaman mengarah ke struktur pasar
oligopsoni. Kondisi pasar ini cenderung merugikan petani karena memposisikan
petani sebagai price taker. Azzaino (1984) diacu dalam Danil (2012)
mengungkapkan bahwa petani cenderung menerima harga yang rendah akibat
pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungan. Berbeda dengan hasil
penelitian Sam (2013) bahwa struktur pasar petani kakao di Kabupaten Luwu
Utara cenderung mengarak ke struktur pasar persaingan sempurna yang ditandai
dengan jumlah petani dan lembaga pemasaran yang cukup banyak.
Saluran pemasaran biji kakao yang terbentuk di setiap wilayah berbedabeda terdiri dari tiga hingga lima macam saluran pemasaran. Saluran pemasaran
biji kakao di Kabupaten Madiun terdiri atas empat saluran pemasaran (Dilana
2013) dan lima saluran pemasaran yang ditemukan oleh Firmansyah (2013).
Firmansyah (2013) membedakan pedagang besar menjadi dua karena fungsi yang
dilakukan masing-masing pedagang besar berbeda. Berbeda dengan Lakebo
(2003); Danil (2012); Sam (2012) yang menemukan tiga saluran pemasaran biji
kakao di Kabupaten Kolaka, Kabupaten Padang Pariaman dan juga di Kabupaten
Luwu Utara. Yasin (2015) melakukan penelitian supply chain biji kakao pada
kasus Gapoktan Resopammase di Sulawesi Utara dan hasilnya menunjukkan
bahwa pada kegiatan pemasaran tidak melibatkan pedagang pengumpul desa
maupun pedagang pengumpul kecamatan. Lemabaga pemasaran yang terlibat
dalam supply chain kakao adalah industri kecil, poktan, Gapoktan Resopammase,
dan PT Bumi Tangerang Mesindotama. Sama halnya dengan kajian supply chain
biji kakao di Kabupaten Mamuju yang dilakukan oleh Primadita (2014) bahwa
dalam kegiatan pemasaran melibatkan KUB, Gapoktan, dan Unit Pembelian
Kakao yang merupakan program Nestle Cocoa Plan.
Ada beberapa metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis
aktivitas pemasaran produk pertanian. Nurmalina et al. (2013); Dilana (2013);
Qhoirunissa (2014); Primadita (2014) meneliti rantai pasok komoditas pertanian
dengan kerangka food supply chain network dimana ukuran keberhasilan rantai
pasok didasarkan pada enam elemen FSCN antara lain sasaran, struktur, proses
bisnis, manajemen rantai pasok, sumberdaya rantai pasok, dan kinerja rantai
pasok. Kerangka FSCN digunakan untuk menganalisis kondisi manajemen rantai
pasok secara deskriptif. Hasilnya secara keseluruhan proses di dalam rantai pasok

9
berjalan lancer, namun umumnya terdapat kendala pada elemen sumberdaya
modal. Metode lain yang digunakan adalah value chain (rantai nilai) seperti yang
digunakan Rheza dan Karlinda (2013). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
terdapat permasalahan pada sisi petani yang kurang memperhatikan standardisasi
pengeringan pada biji kakao yang dijual. Metode analisis sistem pemasaran
digunakan oleh Sam (2012) dan Firmansyah (2013) yang menganalisis secara
deskriptif structure, conduct, dan performance pemasaran biji kakao. Andriana
dan Djatna (2012) mengevaluasi rantai pasok dengan tehnik kualitatif Analytical
Hierarchy Process (AHP) dan menggabungkannya dengan tehnik kuantitatif.
Pengukuran Kinerja Pemasaran
Salah satu aspek penting dalam pemasaran adalah kinerja pemasaran secara
berkelanjutan. Kinerja yang efektif memerlukan pengukuran yang mampu
mengevaluasi kinerja pemasaran secara menyeluruh. Pengukuran kinerja
diperlukan untuk melakukan pengendalian, mengkomunikasikan tujuan ke fungsifungsi pemasaran, menentukan perbaikan untuk menciptakan daya saing, dan
penentuan strategi serta taktik untuk ke depannya Pujawan (2005) dan Setiawan
(2012). Metode yang sering digunakan untuk mengukur kinerja pemasaran biji
kakao adalah dengan pendekatan efisiensi pemasaran (Sam 2012; Danil 2012;
Firmansyah 2013; Dilana 2013; Primadita 2014). Pendekatan efisiensi pemasaran
diukur menggunakan analisis marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio
keuntungan terhadap biaya. Berdasarkan hasil penelitian pemasaran biji kakao
didapatkan hasil bahwa saluran pemasaran yang efisien adalah saluran yang
melibatkan lebih sedikit (dua hingga tiga) lembaga pemasaran (Sam 2012;
Firmansyah 2013; Primadita 2014, Dilana 2014). Farmer’s share pemasaran biji
kakao di setiap tempat memiliki nilai berbeda-beda. Nilai farmer’s share
pemasaran biji kakao berkisar 70 – 95 persen. Harga biji kakao di masing-masing
daerah juga berbeda-beda berdasarkan perlakuan pada biji kakao. Biji kakao
fermentasi pada umumnya memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan
dengan biji kakao non fermentasi. Harga biji kakao fermentasi tingkat petani di
Kabupaten Mamuju berkisar Rp30 000 – Rp34 000 Primadita (2014). Berbeda
dengan harga biji kakao fermentasi tingkat petani di Kabupaten Luwu Utara
sebesar Rp18 000 – Rp23 000, sedangkan harga tertinggi di tingkat akhir Rp25
500 berdasarkan Sam (2012). Biji kakao di daerah Sulawesi sebagian besar diolah
menjadi biji kakao berfermentasi (Sam 2012; Primadita 2014; Yasin 2015),
sedangkan biji kakao di Jawa Timur hanya sebagian kecil yang difermentasi oleh
petani (Firmansyah 2013; Dilana 2013). Perbedaan perlakuan tersebut
menyebabkan harga biji kakao di Jawa Timur relatif lebih rendah daripada harga
biji kakao di Sulawesi. Harga biji kakao non fermentasi tingkat petani di Jawa
Timur berkisar Rp11 000 – Rp15 500, sedangkan harga biji kakao di tingkat akhir
berkisar Rp16 500 – Rp20 500.
Terdapat beberapa metode yang dikembangkan untuk mengukur kinerja
pemasaran (rantai pasok). Adapun metode-metode tersebut adalah Supply Chain
Council’s Supply Chain Operations Reference (SCOR) model. The Balanced
Scorecard (BSC), Multi Criteria Analysis, Life Cycle Analysis, Activity Based
Costing, Data Envelopment Analysis (DEA), dan Metrics in SCM. Telah banyak
metode yang dapat digunakan dalam penyelesaian kinerja rantai pasok ataupun

10
kasus penentuan pemasok yang efisien baik dengan menggunakan satu
pendekatan atau beberapa pendekatan. Beberapa penelitian pengukuran kinerja
menggunakan pendekatan DEA antara lain untuk menentukan efisiensi alternatif
pemasok oleh Braglia dan Petroni (2000); Adriata dan Djatna (2012), efisiensi
kinerja rantai pasok (Sari, Nurmalina, dan Setiawan (2014); Marimin dan
Maghfiroh (2010); Shafiee dan Negar (2010)). DEA pertama kali diperkenalkan
oleh Charnes dan Cooper (1978) sebagai metode linear programming untuk
menganalisis efisiensi kinerja sebuah perusahaan. DEA menganalisis unit-unit
yang dinotasikan dengan Decision making unit (DMU). Kelebihan DEA dapat
mengevaluasi berbagai macam pengukuran secara efisien untuk menemukan
hubungan antar variabel yang terkait. Menariknya, DEA tidak hanya dapat
digunakan untuk mengukur single input dan output tapi juga dapat digunakan
mengukur multiple input dan multiple output. Kelebihan lainnya, DEA tidak
memerlukan model untuk analisis, namun hal tersebut dapat digunakan apabila
diperlukan.
Rantai pasok yang efisien menghasilkan berbagai keuntungan diantaranya
mengurangi biaya, meningkatkan pangsa pasar dan penjualan, serta membangun
hubungan dengan konsumen secara berkelanjutan. Fergusen (2000) menambahkan
bahwa pengukuran rantai pasok dapat meningkatkan kinerja secara keseluruhan.
Evaluasi kinerja didefinisikan sebagai proses mengukur efektivitas dan efisiensi
dari tindakan yang dilakukan. Efisiensi rantai pasok, ditunjukkan oleh Shafiee dan
Negar (2010) sebagai serangkaian fungsi bisnis sederhana yang diukur dengan
membandingkan rasio pendapatan dari total biaya operasional rantai pasok.
Namun, meningkatnya permintaan konsumen terkait dengan pemenuhan dan
pengiriman secara cepat, memunculkan pandangan baru. Selain ukuran finansial,
indikator lain seperti kepuasan pelanggan juga harus dipertimbangkan. Sehingga
muncul ukuran kinerja baru untuk rantai pasok yang tidak hanya mengukur
kinerja secara kuantitatif melainkan juga harus memberikan perspektif kualitatif
agar tetap selaras dengan tujuan rantai pasok.
DEA merupakan metode non parametrik untuk menganalisis efisiensi yang
menghasilkan efisiensi frontier dengan dasar konsep pareto optimum seperti yang
diungkap oleh Charnes et al. (1978). DEA merupakan alat analisis yang tepat
untuk mengevaluasi efisiensi rantai pasok dalam sebuah organisasi (Wong dan
Wong 2006; Shafiee dan Negar 2010; Kamdem 2012). Kebanyakan penelitian
efisiensi mempertimbangkan jumlah yang diproduksi sebagai output. Namun pada
pengukuran efisiensi sebuah organisasi, penggunaan jumlah yang diproduksi
sebagai output dirasa kurang tepat. Porter dan Scully (1987) menunjukkan bahwa
output organisasi dipertimbangkan sebagai nilai tambah atau keuntungan dari
koperasi. Penelitian Kamdem (2012) mengenai organisasi petani kakao di
Kamerun yang tidak memiliki nilai tambah pada produk, yang dijadikan output
organisasi adalah turnover organisasi. Kamdem (2012) menilai bahwa turnover
dapat mencerminkan tingkat harga penawaran untuk para anggota dan jumlah
produk terjual. Kinambuga et al. (2012) menganalisis efisiensi keragaan
peternakan di Nakuru County dengan menggunakan DEA. Pada kasus ini, jumlah
pakan, tenaga kerja, pelayanan kesehatan hewan, dan biaya pemasaran susu
dijadikan variabel input. Sementara keuntungan peternakan dijadikan sebagai
variabel output. Sari, Nurmalina dan Setiawan (2014) melakukan penelitian
mengenai kinerja rantai pasok ikan lele di Indramayu dengan DEA. Input dan

11
output yang digunakan disesuaikan dengan metrik SCOR (Supply Chain
Operation Reference). Adapun input yang digunakan adalah cash to cash cycle
time, biaya total, siklus pemenuhan pesanan, lead time pemenuhan, fleksibilitas
rantai pasok dan persediaan harian. Sedangkan output yang diteliti adalah
kesesuaian dengan standar, pemenuhan pesanan, dan kinerja pengiriman. DEA
dapat menghasilkan informasi detail tentang efisiensi pada masing-masing pelaku
rantai pasok yang mencakup kinerja input atau output, sehingga dapat
menggambarkan setiap proses atau kegiatan bisnis pada masing-masing pelaku
rantai pasok. Marimin et al. (2010) melakukan pengukuran kinerja rantai pasok
pada edamame dengan menggunakan DEA. Penelitian tersebut menggunakan
biaya produksi, ketepatan waktu distribusi, dan persentase produk rusak sebagai
variabel input. Variabel output yang digunakan dalam pengukuran ini adalah
target jumlah pemenuhan pesanan yang dapat meningkatkan nilai penjualan.

3 KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Sistem Pemasaran
Pemasaran (marketing) merupakan kegiatan mengalirkan produk mulai dari
produsen sampai ke konsumen. Downey dan Erickson (1992) menyebutkan
bahwa pemasaran menyebabkan adanya aliran produk melalui suatu sistem dari
produsen ke konsumen. Semua aktivitas bisnis yang terjadi dalam pemasaran
produk agribisnis juga dianalisis. Aktivitas bisnis dalam pemasaran berkaitan
dengan penciptaan nilai guna dari suatu produk, sehingga Hanafiah dan Saefuddin
(2006) menyebutkan pemasaran merupakan kegiatan yang produktif. Selain
pelaksanaan aktivitas pemasaran, Asmarantaka (2012) mengartikan pemasaran
sebagai faktor penentu efisiensi dan efektivitas dari pelaksanaan sistem agribisnis
itu sendiri. Hammond dan Dahl (1977) menambahkan dalam pemasaran produk
pertanian perlu mempertimbangkan pelaksanaan fungsi serta hubungan antara
lembaga pemasaran yang terlibat.
Memahami
pasar dan
kebutuhan
serta
keinginan
pelanggan

Merancang
strategi
pemasaran
yang
digerakkan
oleh
pelanggan

Membangun
program
pemasaran
terintegrasi
yang
memberikan
nilai yang
unggul

Membangun
hubungan
yang
menguntung
kan dan
menciptakan
kepuasan
pelanggan

Menangkap
nilai dari
pelanggan
untuk
menciptakan
keuntungan
dan ekuitas
pelanggan

Gambar 3 Model proses pemasaran
Sumber : Kotler dan Armstrong (2008)

Pemasaran dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi mikro dan sisi makro.
Sisi mikro memandang pemasaran sebagai upaya setiap individu untuk
mendapatkan keuntungan melalui pelaksanaan bauran pemasaran. Pemasaran
berdasarkan sisi makro adalah sebuah sistem yang terdiri dari lembaga-lembaga

12
pemasaran yang terlibat dalam proses mengalirkan produk. Kotler dan Amstrong
(2008) mengartikan pemasaran sebagai keputusan manusia untuk memuaskan
kebutuhan dan keinginan melalui hubungan pertukaran dimana pertukaran
tersebut diartikan sebagai tindakan mendapatkan objek yang diinginkan dari
seseorang dengan menawarkan sesuatu sebagai imbalan. Berikut adalah model
sederhana dari proses pemasaran menurut Kotler dapat dilihat pada Gambar 3.
Analisis terhadap sistem pemasaran dapat dilakukan melalui berbagai
pendekatan. Setiap pendekatan akan menunjukkan perspektif nyata terhadap
pelaksanaan proses dari aktivitas pemasaran. Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan
beberapa pendekatan dapat digunakan untuk menganalisis sistem pemasaran.
Adapun tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis sistem
pemasaran diantaranya adalah:
1. Pendekatan fungsi (Functional Approach), menganalisis sistem pemasaran
dengan menitikberatkan pada kegiatan yang dilakukan dalam mengalirkan
produk dari produsen ke konsumen. Pendekatan ini dilakukan untuk
mengetahui beragam fungsi pemasaran yang diterapkan dalam suatu sistem
pemasaran dalam upaya menciptakan efisiensi pemasaran serta mencapai suatu
tujuan yaitu meningkatkan kepuasan konsumen.
2. Pendekatan kelembagaan (Institutional Approach), pendekatan yang
memfokuskan pada orang maupun organisasi bisnis yang terlibat dalam proses
pemasaran produk pertanian. Pelaku yang terlibat dalam aktivitas pemasaran
dikelompokkan dalam kelembagaan pemasaran. Kelembagaan pemasaran
adalah berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan
aktivitas bisnis berupa kegiatan-kegiatan produktif yang diwujudkan melalui
pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran. Para pelaku dalam aktivitas pemasaran
terdiri dari pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent
middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolah dan pabrikan
(processors and manufactures) dan organisasi (facilitative organization).
3. Pendekatan perilaku (Behavioural-system Approach), pendekatan yang
menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses pemasaran. Para
lembaga pemasaran dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku yang
digunakan dalam membuat suatu keputusan khusunya yang terkait dengan
kegiatan pemasaran dari suatu produk.
Beragam kegiatan produktif yang terdapat di dalam sistem pemasaran
disebut dengan fungsi pemasaran. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemasar