Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Nama NIM Penataan Ruang di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

SEBARAN LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN
DAYA DUKUNG FISIK DAN PENATAAN RUANG DI
KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN

RISKI AMBAR PRATIWI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sebaran Lahan Kitis
dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang di Kabupaten
Lahat, Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Riski Ambar Pratiwi
NIM E44100106

ABSTRAK
RISKI AMBAR PRATIWI. Sebaran Lahan Kritis Dalam Kaitannya Dengan Daya
Dukung Fisik dan Penataan Ruang di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.
Dibimbing oleh OMO RUSDIANA dan LA ODE SYAMSUL IMAN.
Inkonsistensi antara penggunaan lahan dengan arahan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW), kondisi kelas kemampuan lahan, dan status kawasan hutan
menjadi pokok permasalahan degradasi sumberdaya lahan. Hal tersebut
dibenarkan dengan keberadaan lahan kritis yang merupakan salah satu indikator
degradasi lahan. Penelitian ini membahas tentang sebaran lahan kritis dalam
kaitannya dengan penataan ruang, status kawasan, dan penggunaan lahan, kelas
kemampuan lahan di Kabupaten Lahat. Pengolahan data menggunakan metode
overlay peta digital. Hasil analisis lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) dan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W)

IPB menunjukan bahwa tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Lahat memiliki
lima kategori yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat
kritis. Kategori kritis mempunyai luas 35 370 Ha yang didominasi kawasan areal
penggunaan lain (APL) dan tersebar di 15 kecamatan, antara lain Kecamatan
Jarai, Muara Payang, dan Tanjung Sakti Pumu. Kategori sangat kritis tersebar di
19 kecamatan mendominasi Kecamatan Pagar Gunung dan Merapi Selatan,
dengan luas 33 277 Ha di kawasan APL peruntukan budidaya. Lahan kritis
terbentuk akibat penggunaan lahan yang melebihi daya dukung fisik lahan, tidak
sesuai dengan arahan penataan ruang (RTRW) maupun status kawasan hutan.
Kata kunci: Inkonsistensi lahan, kemampuan lahan, lahan kritis, penggunaan
lahan, pola ruang.

ABSTRACT
RISKI AMBAR PRATIWI. The Distribution of Critical Land in Relation to
Physical Carrying Capacity of the Land and Spatial Planning in Lahat Regency,
South Sumatera. Supervised by OMO RUSDIANA and LA ODE SYAMSUL
IMAN.
Inconsistency between land use and Spatial Planning (RTRW) direction,
the condition of land capability class, and status of forest become main issue in
degradation of land resources. This is justified by the existence of critical land as

the one of land degradation indicator. This research discusses the distribution of
critical land in relation to spatial planning, status of the area, and land use, land
capability class in Lahat regency. Data processing used digital map overlay
method. Analysis result of degraded land criteria from the Ministry of
Environment (KLH) and the Center for Regional Development Planning
Assessment (P4W) IPB showed that the critical level of land in Lahat regency has
five categories, not critical, critical potential, rather critical, critical, and very
critical. Critical category has 35 370 Ha area which dominated by forest for other
land uses, spread across 15 district consist of Jarai, Maura Payang, and Tanjung
Sakti Pumu districts. Very critical category spread across 19 district dominated in
Pagar Gunung and South Merapi subdistricts with 33 277 Ha in cultivation area of
other land use area. Critical land is created by utilization of land which exceeds
capacity or physical carrying capacity of land, inappropriate with spatial planning
(RTRW) in spite of forest area status.
Keywords: Inconsistency land, land capability, critical land, land use, patterns of
space.

SEBARAN LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN
DAYA DUKUNG FISIK DAN PENATAAN RUANG DI
KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN


RISKI AMBAR PRATIWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi: Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan
Penataan Ruang di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.
Nama

: Riski Ambar Pratiwi


NM

: E44100106

Disetuj ui oleh

·

Tanggal Lulus:

:.-::..- ·;:Ketua Departemen

..

1 3 F F R 2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih

dalam penelitian ini adalah Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya
Dukung Fisik dan Penataan Ruang di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Omo Rusdiana, MSc dan
Bapak Ir La Ode Syamsul Iman, MSi selaku pembimbing atas ilmu, motivasi,
bimbingan, dan saran dalam menyempurnaan skripsi. Terima kasih kepada Bapak
Dadan Mulyana, SHut, MSi dan Ibu Dr Ir Noor Farikhah Haneda, Msi yang telah
banyak memberikan motivasi, saran dan bimbingannya. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat yang telah
memberikan beasiswa kepada penulis. Tidak lupa ucapan terima kasih
disampaikan kepada orang tua (Jumhurodo dan Rif’ah), adik (Arung, J, Ardian,
Azza), Wak Yen, serta seluruh keluarga besar, atas segala doa, dukungan moril,
materil, dan kasih sayangnya. Kepada sahabat tercinta (Kaka Tri, Ipi, Acan,
Dorince, Reni, Nanda, Nia, Teteh, Ica, Lita, Indah), serta Pondok Ginastri dan
rekan-rekan silvikultur 47 yang telah membantu dalam penelitian ini, semangat,
serta doa untuk penulis. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu
per satu.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna, akan tetapi semoga
skripsi ini bermanfaat.


Bogor, Februari 2015
Riski Ambar Pratiwi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

2

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3


METODE

5

Waktu dan Lokasi

5

Alat dan Bahan

5

Pengolahan Data Digital dan Analisis Data

6

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

9


HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Analisis Sebaran Lahan Kritis

10

Status Kawasan Hutan, Pola Ruang, Kelas Kemampuan Lahan, dan
Penggunaan Lahan

17

Matriks Kesesuaian Lahan Terhadap Sebaran Lahan Kritis

23

Upaya Mengurangi Laju Lahan Kritis

30


SIMPULAN DAN SARAN

32

Simpulan

31

Saran

32

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

39

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

9

10

11

Kriteria lahan kritis Kementerian Lingkungan Hidup
Bahan penelitian dan peta olahan
Klasifikasi kelas kemampuan lahan serta faktor pembatasnya
Kombinasi status kawasan hutan dan pola ruang
Matriks kesesuaian lahan
Data kategori lahan kritis di Kabupaten Lahat
Perbandingan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup
dengan kriteria Kementerian Kehutanan tahun 2011
Perbandingan lahan kritis kategori tidak kritis (Kementerian
Lingkungan Hidup) dengan kategori kritis (Kementerian Kehutanan
tahun 2011)
Data implementasi pemanfaatan ruang dan lahan kritis kriteria
Kementerian Lingkungan Hidup; Pusat pengkajian perencanaan
pengembangan wilayah IPB.
Matriks kesesuaian lahan dan lahan kritis kriteria Kementerian
Lingkungan Hidup; Pusat pengkajian perencanaan pengembangan
wilayah IPB.
Upaya mengurangi laju lahan kritis

5
6
7
8
9
13
14

14

22

25
30

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Peta administrasi Kabupaten Lahat
Peta lahan kritis Kementerian Kehutanan tahun 2011
Peta lahan kritis kriteria KLH dan P4W IPB
Perbandingan peta lahan kritis kriteria Kementerian Kehutanan tahun
2011 dengan kriteria Lahan kritis KLH dan P4W IPB.
Peta titik pengamatan lahan kritis di Kabupaten Lahat
Peta status kawasan hutan Kabupaten Lahat
Peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Lahat tahun 20122025
Inkonsistensi pemanfaatan ruang antara kawasan hutan dan RTRW
Peta kelas kemampuan lahan Kabupaten Lahat
Peta penggunaan lahan Kabupaten Lahat tahun 2010
Inkonsistensi kesesuaian pemanfaatan ruang
Matriks kesesuaian lahan
Lahan kritis pada kuadran I
Lahan kritis pada kuadran II
Lahan kritis pada kuadran III.
Lahan kritis pada kuadran IV

10
11
12
13
16
17
18
19
20
21
23
24
26
27
28
29

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pengecekan lapangan
2 Kegiatan wawancara yang dilakukan dalam pengecekan lapang.

34
38

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya lahan secara optimal sesuai daya dukung
lingkungan, berpengaruh terhadap dinamika penggunaan dan penataan peruntukan
lahan sesuai fungsinya. Dinamika pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan
diatur, berdampak terhadap perubahan biofisik bentang lahan yang cenderung
destruktif yang melampaui toleransi batas ambang. Pergeseran penggunaan lahan
merupakan konsekuensi dari fenomena aktivitas manusia terhadap pilihan
cakupan ekonomi yang dinamis, tipo-fenografi penduduk yang terus meningkat.
Konteks tersebut menyebabkan nilai lahan yang fluktuatif akibat kebutuhan
terhadap lahan yang terus meningkat. Alih fungsi lahan hutan ke non hutan
(pertanian), berdampak terhadap perubahan daya dukung ekologis suatu lahan.
Dokumen perencanaan ruang mengatur keselarasan fungsi pemanfaatan dan
penggunaan terhadap fungsi perlindungan dan kebijakan pengelolaan suatu
wilayah. Inkonsistensi pemanfaatan ruang terjadi sebagai dampak dari tidak
terkonfirmasinya suatu penggunaan lahan terhadap arahan pemanfaatan yang
ditetapkan, sehingga menyebabkan penggunaan lahan melebihi kapasitas atau
daya dukung fisik lingkungan yang menjadi satu pokok permasalahan degradasi
sumberdaya lahan.
Peruntukan penggunaan lahan yang pemanfaatannya tidak sesuai dengan
karakteristik lahan, menyebabkan penurunan kualitas fungsi lahan. Penurunan
kualitas lahan langsung berdampak terhadap penurunan tingkat produktifitas, dan
kerusakan lingkungan yang besar sehingga fenomena lahan kritis merupakan
indikator penting degradasi sumberdaya lahan. Lahan kritis (Departemen
Kehutanan, 2003) adalah lahan yang telah mengalami kerusakan akibat eksploitasi
lahan yang menyebabkan hilang/rusaknya atau berkurang fungsi produksi dan
pengatur air.
Fenomena penurunan kualitas lahan terlihat dari adanya efek kerusakan
permukaan tanah yang tampak seperti bencana erosi, bencana banjir, tanah
longsor pada musim penghujan, kebakaran dan kekeringan pada musim kemarau,
pencemaran air sungai, pendangkalan waduk, abrasi pantai, dan tidak
berfungsinya sarana perairan. Lahan kritis terbatas penggunaan untuk pertanian
dampak terhadap rusaknya media pengatur tata air, dan pelindungan dan
pelestarian alam. Oleh karena itu, lahan kritis merupakan indikatif utama lahan
untuk prioritas rehabilitasi. Dengan diketahuinya sebaran spasial lahan kritis,
semakin mempermudah pemerhati silvikulturis dalam menentukan langkah
perlindungan dan pelestarian alam untuk upaya pembanguna hijau rendah karbon,
upaya pemulihan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan melalui penerapan
konservasi tanah dan air (KTA) dan teknologi dan teknik rehabilitasi fungsi hutan.
Rehabilitasi lahan sebaiknya disesuaikan dengan status dan fungsi lahan, untuk
menjaga fungsi ekologi, produksi, dan sosial masyarakat, sesuai dengan
pengelolaan hutan secara lestari dengan harapan bisa mendapatkan hasil yang
optimal.
Kabupaten Lahat dipilih menjadi lokasi penelitian, sebab Kabupaten Lahat
memiliki sumberdaya pertanian, pertambangan, dan penggalian mineral yang

2

potensial. Apabila aktivitas pemanfaatan lahan tidak dilakukan sesuai dengan
karakteristik biofisik dan kesesuaian fisik lahan, maka kondisi demikian
menimbulkan terbentuknya lahan kritis. Penelitian ini membahas aspek lahan
kritis dalam kaitannya dengan penataan ruang, status kawasan, dan penggunaan
lahan, kelas kemampuan lahan di Kabupaten Lahat.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut:
1. Wilayah/Daerah mana saja di Kabupaten Lahat yang terdapat lahan kritis?
2. Bagaimana hubungan kesesuaian pola ruang dalam RTRW, status kawasan
hutan, kelas kemampuan lahan, dan penggunaan lahan terhadap
pembentukan lahan kritis?
3. Apakah rekomendasi terbaik atau paling cocok diterapkan untuk
mengurangi laju lahan kritis Kabupaten Lahat?
Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui lahan kritis yang ada di Kabupaten Lahat.
2. Mengkaji sebaran lahan kritis berdasarkan pertimbangan kesesuaian pola
ruang dalam RTRW, status kawasan hutan, kelas kemampuan lahan, dan
penggunaan lahan.
3. Memberikan masukan atau saran dalam mengurangi laju lahan kritis yang
ada di Kabupaten Lahat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
sebaran lahan kritis di Kabupaten Lahat dan dapat memberikan saran untuk
mengurangi laju lahan kritis sesuai dengan arahan RTRW, status kawasan hutan,
kelas kemampuan lahan, dan penggunaan lahan. Peningkatan pembangunan
Kabupaten Lahat yang lebih baik lagi dari aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.

TINJAUAN PUSTAKA
Penataan Ruang
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Penataan ruang merupakan sistem proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Alokasi
pemanfaatan ruang (pola ruang) merupakan distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan fungsi
budidaya (Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007).

3

RTRW disusun oleh pemerintah dimaksudkan untuk mendukung
perbaikan ataupun mempertahankan kondisi lingkungan yang ada. Perencanaan
tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna
lahan, tataguna air, tataguna udara, tataguna sumberdaya lainnya (Hardjowigeno;
Widiatmaka 2007). RTRW Kabupaten Lahat telah tersusun dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Lahat Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Lahat Tahun 2012-2025.
Rustiadi et al. (2004) menyatakan penataan ruang memiliki tiga unsur
penting, yaitu: a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktivitas dan
efisiensi); b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan,
keberimbangan, dan keadilan); c) keberlanjutan (prinsip sustainability). Suatu
proses penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukung,
teknologi yang sesuai tentu akan meningkatkan keserasian, keselarasan dan
keseimbangan, yang berarti juga akan meningkatkan daya dukung dan potensi
wilayah.
Status Kawasan Hutan
Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan
kawasan hutan merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pasal 6 (2)
menyatakan pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu fungsi
konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Pada pasal 1 ayat (7) disebutkan
bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan. Ayat (8) disebutkan bahwa hutan lindung adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara air tanah. Ayat (9) menyatakan
hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Penetapan kriteria kawasan hutan didasarkan pada SK Mentan
Nomor 837/Kpts/Um/11/80 dan SK Mentan Nomor 683/Kpts/Um/8/81 dengan
menggunakan faktor penentu kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan.
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) tahun 2012
menyatakan bahwa penetapan kawasan hutan dicirikan dengan telah
dikukuhkannya kawasan hutan yang meliputi tahapan penunjukan, tata batas,
pemetaan dan penetapan kawasan hutan serta adanya institusi pengelola di tingkat
tapak dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Kelas Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan yaitu penilaian lahan (komponen-komponen
lahan) secara sistematik dan pengelompokannya kedalam beberapa kategori
berdasarkan sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam
penggunaannya secara lestari (Arsyad 2006). Tujuan klasifikasi kemampuan lahan
ini adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian
(arable land) berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara
berkesinambungan.

4

Panduan pengklasifikasian kemampuan lahan mengacu pada klasifikasi
kemampuan lahan (Klingebial dan Montogeny 1973), yaitu lahan dikelompokkan
kedalam tiga kategori utama yaitu 1) Tanah dikelompokkan ke dalam delapan
kelas yang ditandai dengan huruf romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan
atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII, 2)
Subkelas yaitu ancaman erosi ditandai dengan huruf e, ancaman banjir ditandai
dengan huruf w, hambatan daerah perakaran atau solum tanah ditandai dengan
huruf s, dan hambatan iklim ditandai dengan huruf c, 3) satuan kemampuan/
satuan pengelolaan.
Penggunaan Lahan
Pengertian penggunaan lahan menurut Arsyad (2006) adalah setiap bentuk
intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Persyaratan penggunaan lahan
adalah sekelompok kualitas lahan yang diperlukan oleh suatu tipe penggunaan
lahan agar dapat berproduksi dengan baik. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
menyatakan penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi penggunaan lahan
perdesaan (rural land use) dan penggunaan lahan perkotaan (urban land use).
Penggunaan lahan pedesaan dititik beratkan pada produksi pertanian, sedangkan
penggunaan lahan perkotaan dititik beratkan pada tujuan untuk tempat tinggal.
Penggunaan lahan yang optimaldan lestari berkaitan dengan karakteristik dan
kualitas lahan tersebut.
Lahan Kritis
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tahun 2011 menetapkan sasaran
penilaian lahan kritis dibedakan berdasarkan fungsi lahan yang berkaitan, yaitu
fungsi kawasan lindung di kawasan hutan, fungsi lindung di luar kawasan hutan,
dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Parameter yang digunakan
dalam penilaian tingkat kekritisan lahan tertuang dalam SK Dirjen RLPS No:
SK.167/V-SET/2004 meliputi: kondisi tutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat
bahaya erosi, singkapan batuan (outcrop), kondisi pengelolaan (manajemen), dan
produktivitas lahan (Departemen Kehutanan 2004). Selanjutnya masing-masing
parameter diberi bobot dan masing-masing kelas diberi skoring. Total skor setiap
parameter merupakan perkalian bobot dengan skor dari masing-masing parameter.
Penjumlahan dari total skor masing-masing parameter setiap fungsi lahan di
overlay sehingga menunjukkan tingkat kekritisan lahan.
Penelitian ini menggunakan kriteria lahan kritis dari Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Perencanaan
Pengembangan Wilayah (P4W) IPB yaitu kriteria lahan kritis yang sesuai dengan
peruntukan perencanaan ruang (Tabel 1).

5

Tabel 1 Kriteria lahan kritis Kementerian Lingkungan Hidup.
Kriteria

Keterangan

Tidak kritis

Lahan yang kondisi aktualnya sesuai dengan peruntukannya atau daya dukung
fisik, vegetasi penutupan lahan berupa hutan, hutan sekunder, perkebunan,
pertanian intensif, dan semak belukar.

Potensial
kritis

Lahan dimana kondisi aktualnya sesuai dan/atau tidak sesuai dengan pola ruang,
kondisi topografi landai, dikaki bukit atau lereng curam, tutupan vegetasi berupa
kegiatan pertanian yang intensif, semi intensif, tanah terbuka, dan pemukiman.

Agak kritis

Lahan aktual tidak sesuai peruntukannya, kelerengan agak miring sampai
berbukit, didominasi vegetasi tanaman pertanian intensif, semak belukar.

Kritis

lahan yang kondisi aktualnya tidak sesuai dengan peruntukannya, kelerengan
berbukit sampai curam, vegetasi penutupan lahan kurang dari 50% meliputi
perkebunan, pemukiman, dan kebun campuran.

Sangat kritis

Lahan yang kondisi aktualnya tidak sesuai dengan peruntukannya, kelerengan
curam sampai sangat curam, tutupan vegetasi sangat rendah, penggunaan lahan
berupa tanaman pertanian intensif, semi intensif, kebun campuran, semak
belukar, tanah terbuka.

Sumber: Penyusunan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup.

METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2014 yang
terdiri dari kegiatan pengumpulan data sekunder, analisis spasial, dan
pengumpulan data di lapangan (ground check). Data sekunder dikumpulkan dari
beberapa instansi Pemerintahan, antara lain Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat
dan Ditjen Planologi Kehutanan. Pengolahan dan analisis data dilakukan di
Labolatorium Pengaruh Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.
Dan pengecekan lapangan dilakukan pada beberapa titik wilayah di Kabupaten
Lahat.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Global Positioning
System (GPS), kamera digital, laptop, alat tulis, software pemetaan, Microsoft
Word, Microsoft Excel.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengolahan data spasial dan
pengamatan langsung di lapangan berupa aspek fisik lahan. Tabel 2 merupakan
bahan penelitian dan peta olahan yang digunakan dalam penelitian.

6

Tabel 2 Bahan penelitian dan peta olahan.
No
1

2
3

4

5

6

Parameter
Peta
administrasi
Kabupaten
Lahat
(skala 1:50 000 ).
Peta
topografi
(skala 1:50 000).

Sumber data sekunder
Badan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Lahat.
Badan
Pemerintah
Kabupaten Lahat.

Daerah

-

Peta status kawasan
hutan
(skala 1:50 000).
Peta pola ruang
(skala 1:25 000).

Badan
Pemerintah
Kabupaten Lahat.

Daerah

-

Diperoleh dari Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Lahat
tahun 2012-2025 .

-

Peta
kelas
kemampuan lahan
(skala 1:50 000).

Badan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Lahat, dan Pusat
Pengkajian
Perencanaan
Pengembangan Wilayah (P4W)
IPB.
Badan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Lahat.

Analiasis dilakukan dengan
cara meng-overlay peta Land
system dari P4W IPB dan peta
jenis tanah Kabupaten Lahat.

Peta
penggunaan
lahan tahun 2010
(skala 1:50 000).
a) Peta lahan kritis a)
kriteria
Kementerian
Kehutanan tahun b)
2011
(skala 1:50 000).
b) Peta lahan kritis
kriteia
Kementeian
Lingkungan
Hidup
(skala 1:50 000).

Peta olahan
-

-


Analisis
terbentuknya
lahan
kritis
kriteria
Kementeian Lingkungan
Hidup yaitu dengan cara
mengoverlay
peta
kebijakan
(hasil
penggabungan
peta
kawasan hutan dan pola
ruang)
dengan
peta
Kebijakan
(hasil
penggabungan peta kelas
kemampuan lahan dan
penggunaan lahan).
Sumber: Badan Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat; Pusat Pengkajian Perencanaan
Pengembangan Wilayah (P4W) IPB; Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS)
MUSI.
7

Balai
Pengelolaan
Daerah a)
Aliran Sungai (BPDAS) MUSI b)
Provinsi Sumatera Selatan.
Badan Pemerintah Daerah
Kabupaten Lahat, dan Pusat
Pengkajian
Perencanaan
Pengembangan Wilayah (P4W)
IPB.

Pengolahan Data Digital dan Analisis Data
Overlay (Tumpang tindih)
Tahap ini dilakukan dengan menggunakan metode overlay peta digital.
Pada tahap ini, peta yang satu di-overlay dengan peta yang lain sehingga
terbentuk peta baru.
Penetapan Kemampuan Lahan
Peta kemampuan lahan merupakan hasil penggabungan antara peta jenis
tanah dan peta land system. Penentuan peta kemampuan lahan dikategorikan
kedalam bentuk kelas dan sub kelas. Faktor pembatas yang terdapat pada masingmasing parameter menentukan lahan yang dianalisis masuk ke kelas dan sub kelas
tertentu. Parameter fisik lahan yang dianalisis dari peta sistem lahan dan peta
tanah berupa: jenis tanah, permeabilitas, solum tanah, landform, kelerengan,

7

tekstur, dan bahan induk. Kelas kemampuan lahan mencerminkan daya dukung
fisik suatu lahan untuk penggunaan yang optimal dan lestari (Tabel 3).
Tabel 3 Klasifikasi kelas kemampuan lahan serta faktor pembatasnya.
Kelas
kemampuan
lahan
IIe

Literatur (Arsyad 2006; Hardjowigeno dan
Widiatmaka 2007)

Faktor pembatas

Hambatan pada lahan kelas II sedikit, memerlukan
tindakan konservasi seperti guludan, pengolahan
menurut kontur, pergiliran tanaman dan leguminosa,
mulsa, pemupukan.

Bentuk lahan berlereng
landai,
tanah
peka
terhadap erosi.

Hambatan pada lahan kelas II sedikit, tanah dalam
kelas ini memerlukan pengolahan tanah yang baik.
Lahan kelas III mempunyai penghambat yang agak
berat, memerlukan drainase dan pengelolaan tanah
yang dapat memperbaiki struktur dan keadaan olah
tanah.
Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat
untuk membatasi pilihan tanaman yang dapat
diusahakan, memerlukan pengelolaan yang sangat
berhati-hati, atau kedua-duanya.
Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat
untuk membatasi pilihan tanaman yang dapat
diusahakan, memerlukan tindakan konservasi seperti
teras bangku, dam penghambat, memelihara
kesuburan, dan fisik tanah.

Solum tanah sedang.

Lahan kelas V mempunyai penghambat lain yang
praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi
penggunaan lahan ini.
Lahan kelas V mempunyai penghambat berupa tanah
yang sering tergenang air sehingga membatasi
penggunaan lahan ini.

Permeabiltas tanah sangat
lambat.

VIe

Lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat
berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya
sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan.

Bentuk lahan curam,
teroreh, dan bergunug
yang bisa menyebabkan
erosi.

VIIe

Lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk usaha
tani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk
padang penggembalaan atau dihutankan.

Bentuk
lahan
berupa
punggung gunung terjal,
dan kelerengan curam

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk produksi
pertanian, dan hanya dibiarkan dalam keadaan alami
atau dibawah vegetasi hutan. Lahan ini dapat
digunakan untuk daerah rekreasi cagar alam atau
hutan lindung.
Sumber: Arsyad 2006; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007.

Bentuk
lahan
berupa
punggung gunung terjal,
dan kelerengan sangat
curam.

IIs
IIIe

IVe

IVs

Ve

Vw

VIIIe

Bentuk lahan berombakbergelombang.

Bentuk lahan berbukit,
tanah peka terhadap erosi.

Solum
tanah
sangat
dangkal
sehingga
menghambat
perakaran
tanaman, tanah sangat
peka terhadap erosi.

Drainase yang sangat
buruk atau terhambat
ditandai dengan warna
tanah kekelabuan

Kombinasi Faktor-Faktor Pembentuk Lahan Kritis
a)
Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang
Analisis peta kebijakan didapatkan dari proses overlay peta status kawasan
hutan, dan peta pola ruang. Peta kebijakan menggambarkan keselarasan kebijakan
antara pemerintah pusat dan daerah. Selaras yaitu kesesuaian kebijakan
pemanfaatan ruang antara status kawasan hutan dan pola ruang dalam arahan

8

RTRW, misalnya pada status kawasan hutan berupa hutan lindung di pola ruang
hutan lindung. Keputusan tidak selaras yaitu bentuk inkonsistensi kebijakan
pemanfaatan ruang antara status kawasan hutan dan pola ruang dalam arahan
RTRW, misalnya dalam status kawasan hutan berupa hutan lindung dengan
pemanfaatan ruang sebagai perkebunan di dalam arahan RTRW (Tabel 4).
Tabel 4 Kombinasi status kawasan hutan dan pola ruang.
Status Kawasan
Pola Ruang**
Hutan*
HL
HP
HPT
HSA
Pkb LB
LK
Pkm
Spd
APL
TS***
S*** S
TS
S
S
S
S
TS
HP
TS
S
S
TS
S
S
S
S
TS
HPT
TS
TS
S
TS
S
TS
S
TS
TS
HL
S
TS
TS
S
TS
TS
TS
TS
S
SM
S
TS
TS
S
TS
TS
TS
TS
S
TWA
S
TS
TS
S
TS
TS
TS
TS
S
Keterangan: *APL: Areal Penggunaan Lain; HP: Hutan Produksi; HPT: Hutan Produksi Terbatas;
HL: Hutan Lindung; SM: Suaka Margasatwa; TWA: Taman Wisata Alam.
** HL: Hutan Lindung; HP: Hutan Produksi; HPT: Hutan Produksi Terbatas; HSA:
Hutan Suaka Alam; Pkb: Perkebunan; LB: Lahan Basah; LK: Lahan Kering; Pkm:
Pemukiman; Spd: Sempadan.
*** S: selaras; TS: tidak selaras.

b)

Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang
Penggabungan peta kemampuan dengan peta penggunaan lahan, akan
menghasilkan peta kesesuian pemanfaatan ruang. Misalnya kelas kemampuan
lahan I-IV penggunaan lahan yang sesuai yaitu pertanian, kelas V-VII cocok
untuk rumput atau dihutankan, dan kelas VIII diperuntukkan sebagai hutan.
Analisis kesesuaian dilakukan untuk melihat ketidaksesuaian antara penggunaan
lahan terhadap kelas kemampuan lahan.
c)

Analisis Matriks Kesesuaian Lahan dan Lahan Kritis Kriteria
Kementerian Lingkungan Hidup
Matriks kesesuaian merupakan kombinasi kawasan hutan dengan pola
ruang, kelas kemampuan lahan dengan kawasan hutan, penggunaan lahan dengan
pola ruang yang dikelompokkan ke dalam empat kuadran, dan masing-masing
kuadran terdiri dari dua kelas (Tabel 5). Matriks kesesuaian lahan dapat
menggambarkan terbentuknya lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan
Hidup. Hasil overlay akan diperoleh sebaran lahan kritis, berdasarkan
pertimbangan keselarasan kebijakan pemerintah dan kesesuaian dengan daya
dukung fisik lingkungan. Selanjutnya peta sebaran lahan kritis kriteria KLH
dibandingkan dengan peta lahan kritis yang ditetapkan oleh Kemenhut tahun
2011.

9

Tabel 5 Matriks kesesuaian lahan.
Kategori
K1.1
K1.2

Uraian
penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan kelas kemampuan lahan sesuai
dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan).
penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan kelas kemampuan lahan sesuai
dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan).

K2.1

penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan sesuai
dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan).

K2.2

penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan sesuai
dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan).

K3.1

kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak
sesuai dengan pola ruang (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan).

K3.2

kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak
sesuai dengan pola ruang (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan).

K4.1

penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai
dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan).

K4.2

penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai
dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan).

Pengecekan Lapang
Pengecekan di lapangan bertujuan mengamati kondisi aktual penggunaan
lahan untuk mendukung validasi dan verifikasi hasil analisis spasial, terutama
dalam kaitannya dengan pengkoreksian peta sebaran lahan kritis. Pengambilan
sampel dilakukan atas dasar pertimbangan faktor-faktor pembatas dalam
pemanfaatan lahan yaitu tingkat kelerengan lahan.
Tahap Analisis Data
Dalam tahap ini, data attribute table dari beberapa peta kombinasi hasil
analisis spasial tersebut di-export ke Microsoft Excel, selanjutnya dihitung
persentase setiap kombinasi dari poligon.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun
2007 tentang pembentukan Kabupaten Empat Lawang di Provinsi Sumatera
Selatan sebagai Kabupaten pemisahan dari Kabupaten Lahat, maka luas wilayah
Kabupaten Lahat menjadi 436 183 Ha. Pembagian wilayah di Kabupaten Lahat
terdiri dari 21 Kecamatan, 357 Desa definitif dan 17 Kelurahan (Badan Pusat
Statistik 2013).
Secara astronomis Kabupaten Lahat terletak pada posisi antara 3.250
sampai 4.50 Lintang Selatan dan 102.370 sampai dengan 103.450 Bujur Timur.
Dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Muara Enim
dan Kabupaten Musi Rawas, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Muara
Enim, sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Pagar Alam dan Kabupaten
Bengkulu Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Empat
Lawang. Secara fungsional kawasan Kabupaten Lahat mempunyai dua sub DAS

10

yaitu sub DAS Lematang bagian DAS Musi dari Provinsi Sumatera Selatan dan
sub DAS Manna bagian DAS Ketahun dari Provinsi Bengkulu (Gambar 1).

Gambar 1 Administrasi Kabupaten Lahat.
Kabupaten Lahat mempunyai iklim tropis basah dengan suhu maksimum
rata-rata 30.47ºC dan suhu minimum yaitu rata-rata 22.16ºC. Jenis tanah meliputi
tanah organosol, jenis tanah litosol tersebar di pinggiran pegunungan terjal Kota
Agung dengan patahan di sepanjang Bukit Barisan, jenis tanah aluvial tersebar di
sepajang sungai Lematang, Sungai Kikim, Sungai Manak, Serta jenis tanah
hidromorf tersebar di dataran rendah Kecamatan Merapi, Kikim, dan Kota Lahat.
Bentuk permukaan Tanah di Kabupaten Lahat sangat bervariasi dari datar,
berbukit, sampai bergunung dengan ketinggian 400-1000 m dpl.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Sebaran Lahan Kritis
Lahan kritis merupakan lahan yang tidak berfungsi secara baik sebagai
media konservasi dan/atau produksi sesuai dengan peruntukannya. Fungsi
konservasi merupakan media perlindungan tata air, tanah, dan plasma nutfah.
fungsi produksi yaitu sebagai media tumbuh dan berkembang tanaman pertanian,
perkebunan, kehutanan, komoditas perikanan, pemukiman, industri, serta
pariwisata. Peruntukan lahan yang secara legal merujuk pada perencanaan alokasi
peruntukan ruang dalam RTRW dengan mempetimbangkan daya dukung fisik
lahan (KLH dan P4W 2011).

11

Lahan kritis yang ditentukan Kementerian Kehutanan tahun 2011 untuk
wilayah Kabupaten Lahat diketahui terdapat empat kategori yaitu agak kritis,
potensial kritis, kritis, dan sangat kritis (Gambar 2). Tingkat kekritisan lahan
didominasi oleh kategori kritis seluas 229 400 Ha, dan agak kritis seluas 148 400
Ha dari luasan total. Berdasarkan analisis jumlah poligon, kategori kritis
mempunyai 35 poligon dengan pola sebaran cenderung mengelompok, dengan
sebaran mendominasi sub DAS Lematang. Kategori sangat kritis tersebar di
sepanjang sempadan sungai Lematang dan sungai Kikim. Penggunaan lahan
didominasi oleh sungai, hutan, hutan sekunder, perkebunan, kebun campuran,
tegalan, pemukiman, semak belukar, sawah, dan tanah terbuka yang berada
dilahan dengan kelas kemampuan II-VIII, dikawasan areal penggunaan lain
(APL).

Gambar 2 Peta lahan kritis Kementrian Kehutanan Tahun 2011
Hasil penentuan lahan kritis berdasarkan kriteria KLH dan P4W IPB dapat
diketahui bahwa tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Lahat ada lima kategori
yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Kategori
tidak kritis mendominasi dengan luasan 271 080 Ha dari luasan total (Gambar 3).
Berdasarkan jumlah poligon kategori tidak kritis mempunyai 7 804 poligon,
dengan pola sebaran cenderung mengelompok. Tingkat kekritisan tidak kritis
tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Lahat, dengan kelas kemampuan
lahan VI-VIII, dan penggunaan lahan berupa hutan, hutan sekunder. Pada kelas
kemampuan lahan II-V penggunaan lahan berupa perkebunan, kebun campuran,
tegalan, sawah, semak belukar, dan air.
Arsyad (1989) menyatakan bahwa lahan kritis merupakan kondisi lahan
yang terjadi karena tidak sesuainya kemampuan lahan dengan penggunaan lahan,
sehingga mengakibatkan kerusakan lahan secara fisik, kimia, maupun biologis.

12

Hasil analisis untuk kategori kritis mempunyai luasan 35 370 Ha, yang tersebar di
15 Kecamatan yaitu Gumay Talang dan Ulu, Jarai, Kikim Selatan, Lahat, Kota
agung, Muara Payang, Mulak Ulu, Pagar Gunung, Fajar Bulan, Pseksu, Pulau
Pinang, Suka Merindu, Tanjung Sakti Pumu dan Pumi, dengan Penggunaan lahan
berupa kebun campuran, perkebunan, pemukiman, dan hutan sekunder di kelas
kemampuan lahan IV-VIII, yang berada di kawasan APL, hutan lindung, dan
suaka margasatwa. Kategori sangat kritis mempunyai luas 33 277 Ha, yang
tersebar di 19 Kecamatan, dengan penggunaan lahan berupa kebun campuran,
sawah, tegalan, semak belukar, dan tanah terbuka di kelas kemampuan lahan VIVIII yang mendominasi APL. Hasil analisis jumlah poligon pada kategori kritis
berjumlah 986 poligon dan sangat kritis berjumlah 1384 poligon dari 13 548
poligon total, mempunyai kecenderungan pola menyebar.

Gambar 3 Peta lahan kritis kriteria KLH dan P4W IPB
Perbedaan metode dan parameter dalam menentukan tingkat kekritisan
lahan antara kriteria Kemenhut dan kritieria KLH menyebabkan perbedaan hasil
analisis yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari kriteria Kemenhut lebih
cenderung melihat hasil dari fungsi lahan tanpa memperhatikan lingkungan dan
kriteria KLH lebih cenderung memperhatikan lingkungan tanpa melihat fungsi
lahan (Tabel 6). Kriteria KLH menggunakan metode hukum minimum Liebig.
Parameter yang diperhatikan antara lain status kawasan hutan, RTRW, kelas
kemampuan lahan dan penggunaan lahan. Kriteria Kemenhut menggunakan
metode skoring. Dan parameter yang digunakan antara lain: penutupan lahan,
kelerengan, tingkat bahaya erosi, produktifitas, dan manajemen. Santosa (2011)
menyatakan evaluasi penilaian kekritisan lahan kriteria Kemenhut penilaian lahan
kritis dengan sistem skoring memiliki beberapa kekurangan seperti dapat
mengarah ke penilaian yang bersifat subyektif karena tidak ada batasan dalam

13

penetapan skornya, sehingga dapat terjadi perbedaan dengan pengamatan
langsung di lapangan. Adanya kemungkinan lahan dikelaskan sebagai kritis tetapi
di lapangan adalah tidak kritis atau kebalikannya.
Tabel 6 Data kategori lahan kritis di Kabupaten Lahat.
Kategori
Sangat kritis
Kritis
Agak kritis
Potensial kritis
Tidak kritis
Total

Kementerian Kehutanan tahun 2011
Luas (Ha)
%
15 687
3.60
229 664
52.65
148 400
34.02
42 431
9.73
0
0
436 183
100

Kementerian Lingkungan Hidup
Luas (Ha)
%
33 277
7.63
35 370
8.11
33 028
7.57
63 429
14.54
271 080
62.15
436 183
100

Gambar 4 Perbandingan peta lahan kritis kriteria Kementrian Kehutanan tahun
2011 dengan kriteria Lahan kritis KLH dan P4W IPB.
Hasil analisis perbandingan lahan kritis kriteria KLH dengan lahan kritis
kriteria Kemenhut pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa 7.52% keputusan lahan
kritis adalah sama sebanyak empat kategori, dengan proporsi terbesar katagori
kritis yang terbesar di 14 kecamatan yaitu: Gumay Talang dan Ulu, Jarai, Kikim
Selatan, Kota Agung, Muara Payang, Mulak Ulu, Pagar Agung, Pajar Bulan,
Pseksu, Pulau pinang, Suka Merindu, Tanjung Sakti Pumi dan Pumu. Sebanyak
92.48% hasil perbandingan tidak sama. Terdapat 16 kategori lahan kritis, dengan
proporsi terbesar terdapat pada kategori tidak kritis menurut kriteria KLH dan
kategori kritis menurut kriteria Kemenhut seluas 137 115 Ha, atau 31.44 % dari
luasan total. Kategori tidak kritis (KLH) dan kategori kritis (Kemenhut)
mendominasi di kawasan sub DAS Lematang dengan jumlah 6 281 poligon yang

14

memiliki kecenderungan pola mengelompok. Tabel 7 merupakan luasan
perbandingan lahan kritis kriteria KLH dengan kriteria Kemenhut tahun 2011.
Tabel 7 Perbandingan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup dengan
kriteria Kementerian Kehutanan tahun 2011.

Kementerian
Lingkungan
Hidup

Kategori*
SK
K
AK
PK
TK

Kementerian Kehutanan
SK
K
AK
1 428
17 226
12 422
780
22 760
10 834
2 495
21 762
6 837
2 729
32 028
30 321
8 101
137 115 86 016

Total (Ha)
PK
1 851
859
1 837
1 790
36 992

TK
0
0
0
0
0

33277
35 370
33 028
63 429
271 080

Total (Ha)
15 687
229 664 148 400 42 431
0
436 183
Keterangan: *SK: sangat kritis; K: kritis; AK: agak kritis; PK: potensial kritis; TK: tidak kritis.

Penyebab perbedaan tingkat kekritisan perbandingan antar kriteria dapat
dilihat dari data karakteristik lahan. Tabel 8 merupakan data karakteristik lahan
hasil perbandingan kategori kritis menurut kriteria KLH dan tidak kritis menurut
kriteria Kemenhut tahun 2011.
Tabel 8 Perbandingan lahan kritis kategori tidak kritis (Kementerian Lingkungan
Hidup) dengan kategori kritis (Kementerian Kehutanan 2011).
Komparasi
Pola ruang*

Tidak kritis
(Kementerian
Lingkungan
Hidup)–kritis
(Kementerian
kehutanan)
Seluas
137
115 Ha

Kawasan lindung
-HSA:7 958
-HL: 5 885
Kawasan budidaya
-HP: 3 534
-HPT: 152
-LK: 37 884
-LB: 10 089
-Pkb: 70 344
-Pkm: 1 269

Karakteristik lahan dan luasan (Ha)
Fungsi
Penggunaan
Kelas
Kawasan**
lahan***
kemampuan
lahan****
Hutan Suaka Alam
H: 25 617
2e: 28
-SM: 8 130
-TWA: 6
Hs: 49 436
2s: 1 137
HL: 5 345
Pkb: 6 876
3e: 21 057
HPT: 35
HP: 728
APL: 122 870

Kc: 31 184
Tg: 1 430
SmB: 20 986
Sw: 567
Air: 376
Pkm: 643

4e: 45 535
4s: 2 663
5e: 34 246
5w: 16
6e: 517
7e: 24 971
8e: 6 944

kelerengan

60%: 5 939

Keterangan: * HSA: hutan suaka alam; HL: hutan lindung; HP: hutan produksi; HPT: hutan
produksi terbatas; LK: budidaya lahan kering; LB: budidaya lahan basah; Pkb:
perkebunan; Pkm: pemukiman.
** SM: suaka margasatwa; TWA: taman wisata alam; HL: hutan lindung; HPT: hutan
produksi terbatas; HP: hutan produksi; APL: areal penggunaan lain;
*** H: hutan; Hs: hutan sekunder; Pkb: perkebunan; Kc: kebun campuran; Tg: tegalan;
SmB: semak belukar; Sw: sawah; Air: Sungai; Pkm: pemukiman.
****e: pembatas erosi; s: pembatas solum tanah; w: pembatas drainase.

Areal penggunaan lain (APL) merupakan area yang tidak termasuk dalam
kawasan hutan, sehingga dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya. Kawasan
budidaya merupakan kawasan yang dimanfaatkan secara terarah bagi hidup dan
kehidupan manusia. Kawasan budidaya bertujuan untuk memanfaatkan sumber
daya alam dan sumber daya buatan yang berdaya guna dan berhasil guna dengan
tetap menjaga kelestarian lingkungan. Pengembangan kawasan budidaya meliputi

15

kawasan pertanian, kawasan pemukiman, kawasan pariwisata, kawasan
perdagangan, kawasan industri dan kawasan pertambangan (Santoso 2011).
Berdasarkan Kemenhut (2011) pada kawasan budidaya faktor atau
parameter penentu tingkat kekritisan lahan adalah produktivitas lahan pertanian.
Parameter yang lain adalah faktor pengelolaan lahan terkait untuk
mempertahankan atau bahkan meningkatkan produktivitas lahan. Dapat dilihat
pada Tabel 5 yaitu tingginya inkonsistensi lahan, berupa penggunaan lahan hutan
sekunder dan hutan dikawasan APL dengan pola ruang didominasi perkebunan
dan budidaya lahan kering, dengan kelas kemampuan lahan IVe akan
menyebabkan produktivitas pertanian menurun. Kriteria Kemenhut menetapkan
lahan ini termasuk kategori kritis. Kelas kemampuan lahan IV dapat digunakan
untuk mendukung budidaya pertanian dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat
dan penerapan konservasi tanah dan air untuk memelihara kesuburan serta kondisi
fisik tanah.
Perubahan penggunaan lahan berpengaruh terhadap tingkat kekritisan
lahan. Pengaruh perubahan penggunaan lahan dapat bersifat menambah atau
mengurangi luasan setiap tingkat kekritisan lahan. Pada kawasan budidaya
perubahan penggunaan lahan yang terjadi umumnya berpengaruh positif. Menurut
KLH dan P4W IPB (2001) bahwa penggunaan lahan hutan akan mempertahankan
lahan pada kawasan budidaya tetap tidak kritis. Kondisi hutan yang masih baik
akan mempertahankan tutupan lahan berupa pepohonan yang mempunyai tajuk
bertingkat. Tajuk paling atas merupakan tajuk tinggi yang tersusun oleh pohon
tinggi, sampai pada permukaan tanah masih tertutup oleh tajuk dari tumbuhan
bawah dan seresah. Penutupan lahan oleh tajuk membuat hujan yang turun tidak
langsung mengenai permukaan tanah. Hal ini akan mencegah terjadinya erosi,
sehingga tidak terbentuk lahan kritis. Kategori tidak kritis yang berada di kawasan
APL yang diperuntukan untuk mendukung kegiatan budidaya pertanian (intensif
dan semi intensif) dengan kelas kemampuan lahan II-IV. Kelas kemampuan lahan
II-IV memang diperuntukan untuk mendukung kegiatan budidaya pertanian agar
tercapai fungsi produksi yang optimal dan sesuai arahan RTRW.
Hasil perbandingan lahan kritis kriteria KLH over estimate terhadap
kriteria Kemenhut. Hal ini dapat dilihat dari kesesuian penggunaan lahan aktual
yang merupakan hasil pengecekan lapang. Pengambilan sampel dilakukan atas
dasar pertimbangan faktor-faktor pembatas dalam pemanfaatan lahan yaitu tingkat
kelerengan. Kelerengan curam-sangat curam (>41%), agak curam–bergunung (2640%), bergelombang–berbukit (25–9 %), datar–landai (