The Effectivity of Probioties Utilization in Production, Quality and Aflatoxin M1 Level of Milk.
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROBIOTIK TERHADAP
PRODUKSI DAN KUALITAS SERTA KADAR AFLATOKSIN
M1 PADA SUSU SAPI PERAH
RAFID SOLTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Penggunaan
Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu
Sapi Perah. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Rafid Solta
D152110041
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN
RAFID SOLTA. Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan
Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah. Dibimbing oleh
SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan DWIERRA EVVYERNIE.
Aflatoksin merupakan senyawa toksik yang dihasilkan terutama oleh
kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin B1 yang termakan
hewan ruminansia akan diekresikan pada produk susu yang dihasilkan, bentuk
hidroksilasinya yaitu aflatoksin M1. Aflatoksin M1 yang dieksresikan ke dalam
susu dipegaruhi oleh banyaknya aflatoksin B1 yang terkontaminasi didalam
sumber pakan. Pemanfaatan probiotik bakteri asam laktat (BAL) sebagai
penanggulangan cemaran aflatoksin secara in vitro dan in vivo pada unggas sangat
efektif dilakukan, tetapi kajian penggunaan probiotik dalam menurunkan kadar
aflatoksin M1 belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
efek penggunaan probiotik dalam mengurangi kadar aflatoksin M1, memperbaiki
produksi dan kualitas susu sapi perah yang dihasilkan.
Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu: 1) Metode pembuatan
probiotik BAL, 2) Kajian in vivo tentang penggunaan probiotik dan probiotik
enkapsulasi. Metode pembuatan probiotik BAL terdiri dari 2 tahap yaitu a)
Enkapsulasi; b) Non enkapsulasi. Mutu kedua probiotik diamati melalui total
koloni yang tumbuh dan daya simpan probiotik selama 0, 2 dan 4 minggu. Bakteri
asam laktat yang digunakan merupakan campuran dari bahan Lactobaccillus
achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707, dan
Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03). Data yang diperoleh dianalisisi
secara deskriptif. Pada kajian in vivo digunakan 9 ekor sapi perah laktasi ke-1, ke2 dan ke-5. Masing masing laktasi terdiri dari 3 ekor mendapatkan perlakuan
kontrol, probiotik dan probiotik enkapsulasi yang dicampurkan ke dalam pakan
konsentrat. Pemberian probiotik pada pakan konsentrat diberikan berdasarkan
komsumsi pakan perhari dan cfu/g (colony forming units). Masing-masing
perlakuan probiotik ditambahkan sebanyak 109 cfu/g, dan probiotik enkapsulasi
ditambahkan 108 cfu/g. Peubah yang diamati yaitu : a) produksi dan kualitas susu
; b) kadar aflatoksin M1 pada susu. Data produksi susu yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan analisis covarian (ANCOVA). Kualitas susu yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analyis of Variance) dan Kadar
aflatoksin M1 pada susu sapi perah dianalisis secara deskriptif.
Hasil perhitungan total koloni bakteri probiotik non enkapsulasi dan
probiotik enkapsulasi masing-masing yaitu 1.3 x 109 (cfu/g) dan 0.63 x 109
(cfu/g). Hasil penelitian in vivo menunjukan bahwa penambahan probiotik non
enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi tidak mempengaruhi produksi susu yang
dihasilkan. Penambahan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi
tidak mempengaruhi kadar lemak, protein, SNF, laktosa dan BK susu namun
masih memenuhi standar SNI. Sapi perah yang diberikan probiotik non
enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi mampu menurunkan kadar aflatoksin M1
pada susu sapi perah samapai LOD (limit of detection) 0,025 ppb.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan probiotik
dan probiotik enkapsulasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
produksi dan kualitas susu yang dihasilkan, namun menurunkan kadar aflatoksin
M1 pada susu.
Kata kunci :
Aflatoksin M1, Bakteri Asam Laktat, Enkapsulasi, Probiotik, Susu
Sapi.
SUMMARY
RAFID SOLTA. The Effectivity of Probioties Utilization in Production, Quality
and Aflatoxin M1 Level of Milk. Supervised by SURYAHADI, KOMANG G
WIRYAWAN and DWIERRA EVVYERNIE.
Aflatoxins are toxic compounds produced by Aspergillus flavus and A. parasiticus.
The aflatoxins M1 in the milk are affected by the amount of aflatoxin B1. The
utilization of lactic acid bacteria probiotic (LAB) in poultry was effectively to reduce
the aflatoxin, but the use of probiotics for reducing the aflatoxin M1 levels have not
been widely reprorted. The aims of this study was to determine the feeding effect
of diets containing probiotics for aflatoxin M1 level, production and milk quality.
The study comprised two phases, namely :1) The preparation of lactic acid
bacteria probiotic (in vitro), 2) In vivo phase that using encapsulated and nonencapsulated probiotics in lactating dairy cows. The probiotic of lactic acid
bacteria was consisted of encapsulation and non-encapsulated. That probiotics
quality were determined by total colony and storability test at room temperature
for 0, 2 and 4 weeks. The lactic acid bacteria used combination of Lactobaccillus
achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707 and
Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03). The in vivo test used 9 dairy cows on
1 th, 2nd and 5th lactation phase. Each lactating phase used 3 cows and fed the diet
without probiotic (R0), diet containing 109 cfu/g capsulation probiotic (R1) and
diet containing 108 cfu/g encapsulation pribiotic (R3).The parameters measured
were milk production, milk quality and aflatoxin M1 levels. ANCOVA test was
used to analyze the milk production. Milk quality was analized by Analysis of
Variance. Aflatoxin M1 level was presented in descriptive form.
The results of non-encapsulation and encapsulation probiotic colonies were
1.3 x 109 (cfu / g) and 0.63 x 109 (cfu / g). The results of in vivo test showed that
the addition non-encapsulation and encapsulation probiotic did not affect milk
production, milk quality, protein content, fat content, lactose, and SNF. Dairy
cows were given non-encapsulation and encapsulation probiotic reduced aflatoxin
M1 levels in milk until the limit of detection (0.025 ppb).
The conclusion of this study was the use non-encapsulation and
encapsulation probiotic did not significantly effect milk production and quality
but can reduced the concentration of aflatoxin M1 in milk of dairy cow.
Keywords: Aflatoxin M1,encapsulation, dairy cow, lactic acid bacteria, probiotics
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROBIOTIK TERHADAP
PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SERTA KADAR
AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI PERAH
RAFID SOLTA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Penguji luar komisi : Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgr Sc
Judul Tesis
Nama
NIM
: Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi
dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu
Sapi Perah
: Rafid Solta
: D152110041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Suryahadi, DEA
Ketua
Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc
Prof Dr Ir Komang G Wiryawan
Anggota
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Nutrisi dan Pakan
Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
ALLAH SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat meyelsaikan karya
ilmiah yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan
Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah” dengan baik dan tepat
pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Dr
Ir Suryahadi, DEA. Bapak Prof Dr Ir Komang G Wiryawan dan Ibu Dr Ir Dwierra
Evvyernie, MS MSc, selaku komisi pembimbing yang telah berkenan meluangkan
waktu, memberikan petunjuk, bimbingan serta arahan pada penulis dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini. Kepada Bapak Prof Dr Ir Toto Toharmat, MagrSc
sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran untuk
penyempurnaan karya ilmiah ini. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
yang telah memberikan bantuan Beasiswa dalam masa penyelesaian studi
pendidikan di Institut Pertanian Bogor, serta bantuan dana dari (Collaboration
Research and International Publication). Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Pemerintah Kabupaten Sijunjung. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) yang telah
memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di Peternakan Sapi Perah
miliknya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda H.
Jumadar, BE dan Ibunda Hj. Dastati, saudara-saudaraku tercinta (Uda Rachmad A
K, S.Pd, Rizki, Afdal, Ramdica, Ilham, Eska, dan Dava) serta abang Adi yang
selalu memotivasiku dan keluargaku di Bekasi atas do’a, kasih sayang dan
dorongan baik moral, materi maupun spiritual. Kepada teman-teman INP 2011,
terima kasih atas kerja sama selama ini dan semua pihak yang telah membantu
yang tidak bisa ditulis satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini.
Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari
sempurna, meskipun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah ini bisa
bermanfaat.
Bogor, September 2013
Rafid Solta
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
2. MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Pembuatan Probiotik
Materi
Analisis Data
Peubah yang Diamati
Metode
Efek Penggunaan Probiotik Secara In-vivo
Materi
Analisis Data
Peubah yang Diamati
Metode
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Koloni Bakteri Asam Laktat (Probiotik Enkapsulasi dan
Probiotik Non Enkapsulasi)
Uji Daya Simpan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi pada
Suhu Ruang.
Efek Penggunaan Probiotik secara in vivo
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi Susu
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kualitas Susu
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kadar Aflatoksin M1
4. SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
3
4
4
4
5
5
5
7
7
8
8
8
10
11
12
12
13
14
16
17
21
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Komposisi nutrisi hijauan dan konsentrat
Rataan jumlah koloni BAL starter awal
Uji daya simpan probiotik pada suhu ruang
Rataan produksi susu terkoreksi lemak 4% (kg/hari)
Rataan kualitas susu sapi perah
Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.
8
10
11
12
13
14
DAFTAR GAMBAR
1 Produk probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi
2 Proses enkapsulasi probiotik
6
6
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Analisis coovarian produksi susu
Analisis produksi susu 4 % FCM
Analisis ragam kadar lemak susu
Analisis ragam kadar protein susu
Analisis ragam kadar laktosa susu
Analisis ragam bahan kering tanpa lemak
Analisis ragam bahan kering susu
21
21
22
22
23
23
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rafid Solta dilahirkan di Sijunjung, pada tanggal 11
Januari 1990 dan merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara dari Bapak H
Jumadar, BE dan Ibu Hj Dastati. Penulis adalah putra kedua dari tujuh laki-laki
bersaudara. Pada tahun 2001 menyelesaikan pendidikan di SDN 29 Muaro
Gambok Sijunjung. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di MTsN
Sijunjung dan menyelesaikannya pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan
pendidikan ke MAN Palangki Sijunjung dan menyelesaikan pendidikan pada
tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Nutrisi
dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas melalui jalur
PMDK dan lulus pada tahun 2011. Pada bulan Agustus tahun 2011, penulis
diterima di Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan mendapat Beasiswa Unggulan dari Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Penulis juga memperoleh
bantuan dana penelitian Collaboration Research and International Publication.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani yang sangat
penting. Susu sebagai sumber gizi berupa protein hewani besar manfaatnya bagi
manusia terutama bayi dan anak-anak. Jaminan kualitas dan keamanan produk
hewani perlu diperhatikan, sehingga kemungkinan cemaran bahan biologi maupun
kimia yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia dapat diminimalisir (Winarno 1996). Manajemen pemeliharaan dan
pakan yang tidak sesuai dengan pemberiannya, dapat berdampak pada cemaran
aflatoksin pada produk ternak yang dihasilkan.
Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur Aspergillus flavus dan
A.parasiticus (Wrather dan Sweet 2006), juga dihasilkan oleh beberapa jamur lain
misalnya A.nomius (Kurtzman et al. 1987), A.pseudotamarii (Ito et al. 2011),
A.ochraceoroseus, Aspergillus SRCC148, Emericelle astellata, dan Emericella sp
sies SRCC 2520 (Cary et al. 2005). Aflatoksin dapat mencemari kacang tanah,
jagung, dan hasil olahannya, serta pakan ternak. Hewan ternak yang mengonsumsi
pakan tercemar aflatoksin akan meninggalkan residu aflatoksin dan metabolitnya
pada produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Hal tersebut menjadi salah satu
sumber paparan aflatoksin pada manusia. Pencemaran aflatoksin di Indonesia
sering timbul pada masa penyimpanan bahan pangan atau pakan. Toteja (2006)
menyatakan bahwa kondisi iklim dan manipulasi pakan mengakibatkan
kontaminasi aflatoksin. Kondisi penyimpanan yang tidak baik merupakan faktor
penting terhadap variasi kontaminasi aflatoksin.
Ada empat macam aflatoksin yang dikenal sering mengkontaminasi bahan
pangan, khususnya serelia yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Aflatoksin B1
yang termakan oleh hewan ruminansia akan diekresikan terutama pada produk
susu yang dihasilkan, bentuk hidroksilasinya yaitu aflatoksin M1. Aflatoksin M1
yang dieksresikan ke dalam susu sangat bervariasi antar ternak (meskipun dari
satu peternakan yang sama), dari hari ke hari dan waktu pemerahan yang ya satu
ke waktu pemerahan yang lain (Kiermeier et al. 1975;1977). International Agency
for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan karsinogenisitas aflatoksin
M1 dalam grup B2 (IARC 1993) dan dilaporkan kurang berbahaya bila
dibandingkan aflatoksin B1.
Aspergillus flavus optimum menghasilkan toksin pada kadar air bahan 1530%, kondisi 25-300C, dengan kelembaban 85% atau aktivitas air sebesar 0,85
(Reddy dan Waliyar 2000). Kendala yang dihadapi dalam keamanan pangan
terhadap aflatoksin M1 pada susu yakni memiliki sifat yang stabil terhadap
proses pemanasan, pasteurisasi dan proses penyimpanan (Stoloff et al.1975). Oleh
karena itu aflatoksin M1 pada susu merupakan ancaman yang dihadapi oleh anakanak yang masih rentan dibandingkan orang dewasa. Abdul Razzaq et al. (2004)
membuktikan bahwa adanya hubungan antara tingkat kontaminasi aflatoksin M1
yang terdeteksi pada air susu ibu yang mengakibatkan kurangya berat bayi yang
dilahirkan
Organ hati memiliki peran dalam biotransformasi aflatoksin, bahan toksin
yang masuk ke tubuh akan mengalami proses biotransformasi dengan mengubah
sifat toksik yang semula larut lemak menjadi yang mudah larut air hingga mudah
dikeluarkan dari tubuh. Proses ini terjadi pada retikulum endoplasmatik dengan
bantuan enzim sitokrom P-450 dan sitosol. Bahri et al. (1994) menyatakan pakan
sapi perah yang terkontaminasi aflatoksin B1 menghasilkan residu aflatoksin M1
dari 0,04-0,17 ppb. Carvajal et al. (2003) dalam penelitian diperoleh sebanyak
40% produk susu di Meksiko terkontaminasi aflatoksin M1 dengan kadar ≥ 0,05
(ppb) dan 10% ≤ 0,005 ppb. Hasil ini menunjukan bahwa aflatoksin M1 tidak
rusak selama proses produksi karena aflatoksin akan rusak pada suhu 270 0C
(Beuchat 2000). Produk olahan susu juga mengandung aflatoksin M1 seperti keju
(40-60%), krim (10%), butter (2%). Residu aflatoksin M1 yang terdapat dalam
olahan susu erat kaitanya dengan kasein susu (Lopez et al. 2001)
Aflatoksin tidak memberikan efek keracunan secara akut, melainkan
secara kronis dapat menimbulkan kelainan pada organ hati dan juga produk
olahanya seperti daging dan susu. Hal ini dipengaruhi oleh penyimpanan makanan
dalam waktu yang cukup lama dan cara yang tidak benar, menyebabkan
kerusakan pada bahan makanan tersebut oleh mikroorganisme dan jamur yang
dapat menghasilkan aflatoksin. Tingkat konsentrasi residu maksimum yang
diperbolehkan untuk aflatoksin M1 dalam susu maupun produk olahannya di
beberapa Negara sebesar 0,5 μg/L (FDA, Amerika) dan 0,05 μg/L (negara-negara
Uni Eropa). Sedangkan untuk Indonesia adalah 1 μg/L atau 1 ppb (SNI 2001).
Upaya penanggulangan cemaran aflatoksin pada pakan dan keracunan
aflatoksin pada ternak telah banyak dilakukan diantaranya adalah dengan
mendegradasi aflatoksin pada bahan pakan secara ekstraksi dengan bentonite,
sinar UV, bakteri, jamur dan ganggang (Ceigler et al. 1966 dan Rustom 1997).
Beberapa mikroorganisme dilaporkan pula dapat mengurangi cemaran aflatoksin
baik secara in vitro maupun in vivo (Pierides et al. 2000 ; Kankaankaa et al.
2000), salah satunya adalah bakteri asam laktat (Lactobaccillus spp).
Lactobaccillus spp termasuk golongan bakteri asam laktat dan memiliki potensi
yang tinggi sebagai produk probiotik (Davis dan Gasson 1981; Muriana dan
Klaenhammer 1987). El-Nezami et al. (1998) menemukan bahwa bakteri gram
positif (lima strain Lactobacillus spp dan strain Propionibacterium spp) lebih
efisien dalam menghilangkan aflatoksin dari media cair, dibandingkan dengan
gram negatif E. coli.
Probiotik didefinisikan sebagai kultur bakteri tunggal atau campuran yang
dikonsumsi oleh ternak atau manusia, sehingga memberikan efek yang
menguntungkan bagi kesehatan inangnya. Sebagian besar probiotik yang
digunakan sebagai bahan additive adalah tergolong bakteri termasuk dalam
spesies Lactobaccillus spp (Lactobaccillus achidophillus dan Bifidobacterium spp
(Bifidobacterium longum), di samping itu terdapat juga bakteri Streptococcus
thermophillus. Terdapat beberapa bukti mengenai manfaat dari bakteri asam laktat
yang sangat efisien dalam menurunkan kadar aflatoksin dan juga mampu
memperbaiki produksi dan kualitas susu sapi perah.
Selama penyimpanan dan dalam saluran pencernaan ternak viabilitas
probiotik mengalami kendala seperti H2O2, keberadaan pH yang rendah, kondisi
anaerob, garam empedu dan juga dipengaruhi oleh kompetisi bakteri. Melihat
beberapa kendala yang dihadapi solusi yang perlu dilakukan adalah dengan
melakukan perlindungan probiotik dengan cara enkapsulasi. Enkapsulasi
merupakan proses pembentukan kapsul yang menyelubungi probiotik dengan
tujuan melindunginya dari pengaruh lingkungan yang ekstrim (Widodo et al.
2003). Metode enkapsulasi dengan menggunakan sodium alginat dan laktosa
dengan tujuan melindungi bakteri dari kondisi asam pada cairan rumen. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan alginat dapat melindungi sel dengan
meningkatnya ketahanan bakteri dibawah kondisi yang berbeda dibanding tanpa
enkapsulasi (Anal dan Singh 2007).
Enkapsulasi probiotik biasa digunakan polimer yang lembut dan tidak
beracun (food grade) (Anal dan Singh 2007). Polimer yang digunakan biasanya
berbentuk polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan alginat),
tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan
protein hewan ; kasein, whey, skim, gelatin, (Rokka dan Rantamaki 2010).
Dalam penelitian ini dikaji sejauh mana probiotik (Lactobaccillus achidophillus,
Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus), dapat dimanfaatkan dalam
menanggulangi bahaya cemaran aflatoksin M1 pada susu sapi perah dengan
tujuan untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu sesuai standar.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek penggunaan probiotik dalam
mengurangi kadar aflatoksin M1, serta mampu memperbaiki produksi dan kualitas
susu sapi perah yang dihasilkan
MATERI DAN METODE
Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap. Tahap pertama adalah
membandingkan 2 cara pembuatan probiotik bakteri asam laktat yaitu, a)
Probiotik enkapsulasi; b) Probiotik non enkapsulasi. Mutu kedua probiotik dilihat
melalui total koloni dan daya simpan probiotik selama 0,2 dan 4 minggu; 2)
Kajian in vivo tentang penggunaan probiotik enkapsulasi dan probiotik non
enkapsulasi dilihat melalui a) Efek pobiotik terhadap produksi dan kualitas susu;
b) Efek probiotik dalam mengurangi kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.
Waktu dan Tempat
Penelitian tahap pertama dilakukan selama tiga bulan dari bulan November
sampai dengan Januari 2013. Kultur murni diperoleh dari UGM Yogyakarta yaitu
(Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC
15707, Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03) dan dilanjutkan pembiakan
kultur di PAU IPB; Enkapsulasi probiotik di Laboratorium Mikrobiologi, Seafast
IPB; Pengujian total bakteri di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB.
Penelitian tehap kedua dilakukan selama 16 hari, masing-masing terdiri
dari 10 hari pertama diberikan pakan adaptasi yang ditambahkan probiotik, dan 6
hari berikutnya dilakukan pengambilan sampel susu. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Februari – Maret 2013. Percobaan in vivo ini dilakukan di peternakan sapi
perah Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Lembang adalah salah satu sentra
peternakan sapi perah di Indonesia dengan topografi berbukit-bukit, ketinggian
±1247 m dpl, kisaran suhu udara harian antara ± 18 – 27 0C dan kelembaban
relatif ± 80,5%. Peternakan sapi perah yang digunakan sebagai lokasi penelitian
memiliki manajemen pakan dan pemerahan yang baik. Susu yang diperoleh
dianalisis di Laboratorium Kesehatan Daerah Jakarta, Laboratorium Perah FapetIPB.
Pembuatan Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi dilakukan
Melalui Pengujian Total Bakteri
Materi
Bahan yang digunakan dalam pembuatan probiotik enkapsulasi dan
probiotik non enkapsulasi adalah kultur murni bakteri (Lactobaccillus
achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707, Streptococcus
thermophillus FNCC 1-9 03), de Mann Rogosa Sharpe Broth (MRSB), de Mann
Rogosa Sharpe Agar (MRSA), susu skim, NaCl, sodium alginate, laktosa, CaCl2.
Alat yang digunakan adalah laminar flow, inkubator, tabung reaksi, mikropipet,
vorteks, lemari es, erlenmeyer, ose, pembakar bunsen, mikroskop, obyek glass,
cawan petri, autoclav, frezze drayer, timbangan analitik.
Analisis Data
Data total koloni bakteri asam laktat pada starter awal, dan total koloni
probiotik pada penyimpanan selama 0,2 dan 4 minggu disajikan secara deskriptif.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati yaitu total koloni bakteri probiotik enkapsulasi dan
probiotik non enkapsulasi pada starter awal. Total koloni bakteri probiotik yang
disimpan pada suhu ruang selama 0, 2 dan 4 minggu.
Metode
Pembuatan Kultur Induk dan Kultur kerja (Dewanti-Hariyadi et al. 2001)
Kultur murni yang digunakan adalah (Lactobaccillus achidophillus,
Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus pada MRSB. Susu skim
20% dimasukkan kedalam 1 L aquades dan di autoclav pada suhu 90 0 C selama
15-30 menit, dan kemudian didinginkan hingga suhu 43 0 C, ditambahkan 1,5 ml
masing-masing kultur murni bakteri ke dalam 2 L susu skim steril dan selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 hari. Kultur induk siap digunakan untuk
membuat kultur kerja. Pembuatan probiotik enkapsulasi menggunakan metode
Carvalho et al. (2004), dengan menambahkan bahan penyalut sodium alginate dan
laktosa.
Kultur kerja siap digunakan sebagai probiotik pada pakan ternak dan
sebelum probiotik diberikan terlebih dahulu di frezze drayer. Apabila tidak
langsung digunakan, kultur kerja dapat disimpan dalam refrigerator.
Proses Enkapsulasi Probiotik dan Frezze Drayer (Carvalho et al. 2004)
Biopolimer yang digunakan untuk enkapsulasi bakteri probiotik adalah
alginat. Penggunaan alginat sebagai bahan pengkapsul adalah tidak toksik,
membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat menjerap material
sensitif seperti sel bakteri probiotik (Kailasapthy 2002). Probiotik dienkapsulasi
dengan laktosa dan sodium alginate 10 %. Perbandingan bahan yang dikapsul
dengan bahan enkapsulasi yang digunakan adalah sebesar 3:7 (b/b) (Lian et al.
2002).
Setelah probiotik dikapsul dengan bahan enkapsulasi kemudian di freeze
dried. Freeze dried adalah proses pembekuan yang disusul dengan pengeringan.
Proses sublimasi yang terjadi pada freeze draying yaitu perubahan dari bentuk es
dalam bahan yang beku langsung menjadi uap air tanpa mengalami proses
pencairan. Freeze draying memiliki keuntungan karena daya rehidrasi yang tinggi
dan volume bahan tidak berubah.
Gambar 1. Produk probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi
Isolat bakteri
Penambahan skim milk 5 % (w/w)
Inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam
Penambahan sodium alginat dan laktosa sebanyak 10% (w/w)
Inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam
freeze- drayer (-90 s/d -1300 C)
Pembilasan dengan CaCl2 sebanyak 5% (w/w)
Kapsulasi
Gambar 2.Proses enkapsulasi probiotik (Carvalho et al. 2004)
Penghitungan Total Koloni Bakteri
Analisis pertumbuhan BAL dengan metode hitungan cawan (BAM 2001).
Sebanyak 1 ml kultur dipipet ke dalam pengenceran berseri hingga diperoleh
pengenceran terbesar 106-108 dan dipindahkan kedalam cawan secara duplo.
Metode pencawanan yang digunakan adalah metode agar tuang (pour plate)
dengan MRSA sebanyak 12-15 ml. MRSA dituang ke dalam cawan petri berisi
kultur dan diratakan dengan cara memutar cawan lalu dibiarkan membeku.
Setelah membeku, cawan diinkubasikan dengan posisi terbalik pada suhu 370C
selama 48 jam. Koloni yang dihitung berada dalam kisaran 25 – 250 koloni.
Jumlah koloni dicatat dan dihitung dengan rumusan sebagai berikut:
N = Σ C / [ ( 1 x n1) + ( 0.1 x n2) ] x d
N
ΣC
n1
n2
d
: Jumlah koloni (CFU) per gram probiotik
: Total seluruh koloni yang dapat dihitung
: Total koloni dari pengenceran pertama yang dihitung
: Total koloni dari pengenceran kedua yang dihitung
: Nilai pengenceran dari penghitungan pertama yang digunakan
Uji Daya Simpan Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi
Pada Suhu Ruang
Uji daya simpan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi di
suhu ruang 300C selama 0, 2 dan 4 minggu. Probiotik yang disimpan pada
erlemeyer di suhu ruang, diamati setiap penyimpanan 0, 2 dan 4 minggu, dengan
melihat pertumbuhan bakteri asam laktat menggunakan metode hitungan cawan
(BAM 2001).
Efek Penggunaan Probiotik terhadap Produksi, Kualitas dan Penurunan
Kadar Aflatoksin M1 Pada Susu Sapi Perah
Materi
1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah makanan konsentrat
(Mako) Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU), rumput,
probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi, larutan standar
aflatoksin M1, methanol, aquabidest, acetonitril, ammonium asetat, susu
sapi perah. Alat yang digunakan adalah pita ukur, gelas ukur, timbangan,
seppak C18, turbovab evaporator, LC-MS/MS. Komposisi nutrien pakan
yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
2. Ternak yang digunakan adalah ternak sapi perah Fries Holland (FH),
terdiri dari sembilan ekor sapi perah laktasi ke-1, ke-2 dan ke-5, masingmasing laktasi terdiri dari dari 3 ekor.
Tabel 1. Komposisi nutrisi hijauan dan konsentrat
Analisis Pakan
Abu (%)
Protein Kasar (%)
Serat Kasar (%)
Lemak Kasar (%)
BETN (%)
TDN (%)
Kalsium (Ca) (%)
Mako
12.50
18.89
11.68
7.34
63.59
73,85
0.85
Hijauan*
11.70
10.20
34.20
1.60
42.30
51.00 a
0.51 a
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak
Fakultas Peternakan UNPAD (2013); (*) kandungan nutrisi rumput gajah yang dikutip dari
a
Rukmana (2005); ( ) kandungan nutrisi rumput gajah TDN dan Ca dikutip dari Hartadi et al. 1997
Analisis Data
Data produksi susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis
covarian (ANCOVA). Kualitas susu yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan sidik ragam (Analyis of Variance) berdasarkan Stell dan Torrie
(1993). Data yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Kadar
aflatoksin M1 pada susu sapi perah disajikan secara deskriptif.
Peubah yang Diamati
Pada penelitian in vivo terdapat beberapa parameter yang diukur
diantaranya produksi susu, kualitas susu (protein, lemak, bahan kering tanpa
lemak, bahan kering susu, dan laktosa) serta kadar aflatoksin M1 pada susu sapi
perah.
Metode
Kajian in vivo pada ternak sapi perah digunakan sembilan ekor sapi perah
laktasi ke-1, ke-2 dan ke-5. Masing masing laktasi terdiri dari tiga ekor yang
mendapatkan perlakuan kontrol, probiotik enkapsulasi dan probiotik non
enkapsulasi yang dicampurkan ke dalam pakan konsentrat. Pemberian probiotik
pada pakan konsentrat berdasarkan konsumsi pakan perhari dan masing-masing
perlakuan probiotik ditambahkan sebanyak 109 cfu/g, dan probiotik enkapsulasi
ditambahkan 108 cfu/g. Pemberian pakan diberikan 2 kali sehari yakni pagi dan
sore, dan air minum diberikan secara ad libitum. Probiotik dicampurkan dalam
pakan sapi perah pada pagi hari sebelum pakan diberikan ke ternak.
Produksi Susu
Pengukuran produksi susu dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan
probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi setiap hari selama penelitian.
Susu diperah pagi hari pada pukul 03.30 WIB dan sore hari pukul 14.30 WIB dan
diukur dengan gelas ukur dan dicatat. Untuk menghilangkan faktor lemak,
produksi yang diperoleh dikoreksi dengan 4 % FCM (fat corrected milk) rumus :
metode Gaines yang telah disitir oleh (Wickes 1983).
Produksi Susu 4 FCM = (0.4 x PS) + (15 x PS x % L)
Keterangan : PS = Produksi susu (kg/hari)
L = % Kadar lemak susu
Pengujian Kualitas Air Susu
Pengujian kualitas air susu bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari
perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi terhadap kualitas
air susu. Pengujian yang dilakukan meliputi kadar protein, lemak, bahan kering
tanpa lemak, bahan kering susu, dan laktosa.
Pengujian Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah
Pengujian kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah bertujuan untuk
melihat efektivitas probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi dalam
mengurangi kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah. Pengujian dilakukan
menggunakan metode (AOAC 2000). Sebelum susu sapi perah dianalisa dengan
LC-MS/MS, dilakukan pembuatan kurva standar aflatoksin M1 yaitu : 0,025 ppb,
0,05 ppb, 0,1 ppb, 0,25 ppb, 1 ppb, dan 2 ppb.
Susu yang telah disimpan beku, dicairkan pada suhu ruang, kemudian
sampel atau blanko dipipet sebanyak 5 ml ke dalam seppak C18 yang telah
dikondisioning dengan menggunakan 3 ml methanol, 3 ml aquabidest. Kemudian
seppak dicuci dengan 2 ml aquabidest, dan dielusi dengan 3 ml
methanol:acetonitril (1:1), seppak dikeringkan dengan menggunakan turbovab
evaporator pada suhu 40oC selama 60 menit. Kemudian seppak dilarutkan kembali
dengan fase gerak (methanol:10 mM ammonium asetat (60:40) dan 30 µl di
injeksi ke LC-MS/MS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Koloni Bakteri Asam Laktat (Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non
Enkapsulasi)
Probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi yang terdapat dalam
penelitian merupakan kultur murni BAL yang terdiri dari (Lactobaccillus
achidophillus, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus). Jumlah
koloni dari probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi masing-masing
yaitu, probiotik enkapsulasi (1.3 x 109) cfu/g dan probiotik non enkapsulasi (0.63
x 109) cfu/g. Rataan jumlah koloni BAL pada probiotik enkapsulasi dan probiotik
non enkapsulasi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan jumlah koloni bakteri asam laktat starter awal
Perlakuan
Jumlah koloni BAL (cfu/g)
Probiotik Enkapsulasi
Probiotik Non Enkapsulasi
0.63 x 109
1.3 x 109
Ket: Hasil analisis dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
(2013).
Jumlah koloni probiotik non enkpasulasi lebih tinggi dibandingkan dengan
jumlah koloni probiotik enkapsulasi hal ini disebabkan karena proses pengenceran
dari penambahan bahan-bahan lain dalam proses enkapsulasi. Proses pengadukan
dan pencampuran bahan penyalut pada probiotik menyebabkan masuknya oksigen
ke dalam campuran bahan penyalut. Dengan adanya oksigen dalam bahan
penyalut dapat memberikan efek racun bagi BAL yang bersifat anaerob. Pengaruh
keberadaan oksigen terhadap organisme anaerob dapat menyebabkan peningkatan
potensial reduksi oksidasi sehingga dapat mengganggu proses transfer elektron
pada respirasi anaerob (Jay 1996).
Enkapsulasi bertujuan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari kultur
dan membantu melindungi sel bakteri dari lingkungan yang merugikan sehingga
mampu mengurangi sel bakteri yang mati. Tamime et al. (2005) menyatakan
bahwa pemanfaatan probiotik enkapsulasi bertujuan dalam mengurangi
kehilangan dan kerusakan sel bakteri, menstabilkan sel, dan menjaga viabilitas
dan stabilitas sel sehingga sel tetap tinggi selama proses produksi. Lebih lanjut
(Widodo et al. 2003) mengemukakan bahwa enkapsulasi bakteri probiotik dapat
memberikan perlindungan bakteri probiotik dari pengaruh lingkungan yang
ekstrim.
Bahan enkapsulasi probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sodium alginate dan laktosa. Sodium alginate merupakan bahan polimer alami
yang tidak beracun dan harganya murah (Sultana et al. 2000). Keuntungan
penggunaan sodium alginate (membrane alginate) memberikan pengaruh difusi
nutrisi dan metabolisme yang baik dalam mempertahankan pertumbuhan sel
(Reyed 2007), sedangkan penggunaan laktosa sebagai campuran bahan penyalut
merupakan sumber energi bagi starter karena BAL membutuhkan laktosa sebagai
nutrisi untuk mempertahankan kehidupannya (Rahman 2009).
Capela et al. (2006) dalam penelitianya menggunakan alginat sebanyak 3
% dan CaCl2 0,1 M pada 200 rpm dalam melakukan enkapsulasi terhadap
Lactobaccillus achidophillus dan Lactobaccillus Casei. Proses enkapsulasi dapat
meningkatkan viabilitas probiotik pada yoghurt selama pengeringan beku dan
penyimpanan selama enam bulan pada suhu 4 dan 210C.
Hasil enkapsulasi probiotik berbentuk granul dengan warna putih
kekuningan, berbentuk bulat memiliki diameter ± 0,5 cm. Bentuk bulat yang
dihasilakan dalam proses enkapsulasi disebabkan pada saat penetesan ke dalam
CaCl2. Warna yang dihasilkan adalah warna yang berasal dari sodium alginate
yang berwarna putih kekuningan (Fardiaz 1991).
Uji Daya Simpan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi Pada Suhu Ruang
Perubahan pupulasi probiotik yang dikapsul dan non enkapsulasi selama
penyimpanan disajikan pada Tabel 3. Viabilitas probiotik enkapsulasi dan
probiotik non enkapsulasi setelah penyimpanan pada suhu kamar selama 0,2 dan 4
minggu mengalami penurunan, masing - masing probiotik enkapsulasi dari
2.2x109 - 0.93x109 cfu/g, dan probiotik non enkapsulasi dari 1.1x109 - 0.76x109
cfu/g. Hal ini disebabkan adanya aktivitas bakteri asam laktat (BAL) selama
proses penyimpanan. Menurut Widiowati dan Misgiyarta (2007), selama proses
penyimpanan bakteri asam laktat mengubah gula dalam susu (laktosa) hingga
menghasilkan energi dan asam laktat. Menurut Fardiaz (1998), kematian bakteri
disebabkan karena nutrien di dalam medium dan energi cadangan sel telah habis.
Tabel 3.Uji daya simpan probiotik pada suhu ruang
Daya Simpan Probiotik (Minggu)
0
2
4
Probiotik (cfu/g)
Enkapsulasi
Non Enkapsulasi
2.2x109
1.9x109
0.93x109
1.1x109
1.1x109
0.76x109
Keterangan: Hasil analisis dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian,
IPB 2013.
Periode penyimpanan yang lama akan menghasilkan total BAL yang
rendah baik probiotik enkapsulasi maupun probiotik non enkapsulasi, hal ini
disebabkan oleh berkurangnya kandungan nutrisi produk selama penyimpanan
karena proses fermentasi terus berlangsung. Kestabilan bakteri asam laktat (BAL)
pada probiotik enkapsulasi menurun pada minggu ke-2 sebesar 13.63 % dan pada
minggu ke-4 sebesar 51.05 %, lain halnya dengan probiotik non enkapsulasi tetap
stabil pada minggu ke-2 dan mengalami penurunan pada minggu ke-4 sebesar
30.90 %. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thalib et al. (2001a;2001)
populasi mikroba non enkapsulasi mengalami penurunan 30 % dari populasi awal
sedangkan, mikroba yang dienkapsulasi relatif stabil. Winugroho dan Mariyati
(2001) melaporkan Bioplus yang disimpan dalam suhu ruang, maka populasi
mikroorganisme di dalamnya berkurang hingga 50%.
Total koloni yang dihasilkan selama penyimpanan mengalami penurunan,
Meskipun demikian jumlah populasi akhir dari bakteri probiotik masih memenuhi
syarat yang dibutuhkan yang mana jumlah populasi bakteri probiotik pada produk
yaitu sebesar 107 cfu/g. International Dairy Federation merekomendasikan,
bakteri akan aktif dan berkembang minimal memiliki 10 7 cfu/g (Sultana et al.,
2000).
Efek Penggunaan Probiotik secara in vivo terhadap Produksi, Kualitas Susu
dan Penurunan Kadar Aflatoksin M1 Pada Sapi Perah
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi Susu
Hasil percobaan in vivo dengan tujuan melihat pengaruh penambahan
probiotik dan probiotik enkapsulasi pada pakan sapi perah terhadap produksi susu
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Produksi susu terkoreksi lemak 4 % dari ternak yang mendapat perlakuan
probiotik (kg/hari)
Perlakuan
Kontrol
Probiotik Enkapsulasi
Probiotik Non Enkapsulasi
Produksi Susu
Awal
13.89
17.79
15.70
11.60
15.97
17.89
7.94
17.00
11.05
Produksi Susu
Akhir
4 % FCM
15.57
±15.79 19.72
15.94
12.27
±15.15 16.67
19.42
8.59
±12.00 17.28
11.68
Delta
Produksi
Susu
±17.08
1.28
±16.12
0.97
±12.52
0.52
Produksi susu terkoreksi lemak merupakan produksi susu yang dilihat dari
kondisi energi yang terkandung didalam air susu. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa rataan produksi susu sapi perah terkoreksi lemak 4% yang
diberikan perlakuan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi tidak
nyata mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan. Produksi susu awal yang
diberi perlakuan probiotik enkapsulasi berkisar ± 15.79 (kg/hari), probiotik non
enkapsulasi ± 15.15 (kg/hari), lain halnya dengan perlakuan kontrol produksi susu
berkisar ± 15.79 (kg/hari). Rataan produksi susu akhir setelah mendapat perlakuan
probiotik enkapsulasi berkisar ± 17.08 (kg/hari), probiotik non enkapsulasi ±
16.12 (kg/hari), dan perlakuan kontrol produksi susu berkisar ± 12.52 (kg/hari).
Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah enam minggu masa laktasi hingga
mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan produksi secara
bertahap sampai akhir masa laktasi. Delta produksi susu menunjukkan atau
menggambarkan efek pemberian probiotik terlihat bahwa produksi susu sapi yang
mendapat perlakuan probiotik enkapsulasi adalah 0.97 (kg/hari), dan yang
mendapat perlakuan probiotik non enkapsulasi berkisar 0.52 (kg/hari), sedangkan
tanpa perlakuan probiotik adalah 0.97 (kg/hari). Menurut Blakely dan Bade
(1994), penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi kira-kira 6%
setiap bulannya. Produksi susu total untuk setiap periode laktasi bervariasi, pada
umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ketiga
dan keempat.
Dalam penelitian ini produksi susu sapi yang diukur pada bulan ke 6 dan
berada pada masa laktasi 1, 2 dan 5. Masa laktasi merupakan masa sapi sedang
menghasilkan air susu antara waktu melahirkan hingga masa kering. Persentase
air susu terlihat rendah diawal bulan laktasi pertama dan secara berangsur-angsur
akan meningkat pada pertengahan dan akan mengalami penurunan sampai akhir
laktasi. Faktor lain yang mempengaruhi produksi susu sapi perah diantaranya
adalah suhu dan kelembaban udara karena dapat menyebabkan perubahan
keseimbangan panas pada tubuh ternak.
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kualitas Susu
Kualitas susu digambarkan oleh komponen yang terkandung seperti
BKTL, lemak, protein, laktosa, BK. Hasil pengujian kualitas susu dari sapi – sapi
yang mendaptkan perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi
tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Kualitas susu sapi perah
Peubah
BKTL %
Lemak %
Protein %
Laktosa %
BK %
Probiotik
Kontrol
8.64±0.35
3.91±0.69
3.81±0.14
4.09±0.17
12.55±0.43
Enkapsulasi
8.88±0.68
3.91±0.35
3.91±0.35
4.21±0.21
13.06±0.38
Non
Enkapsulasi
8.99±0.38
3.81±0.29
3.96±0.29
4.26±0.32
12.79±0.47
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Perah Fapet-IPB (2013).
SNI
7.8
3.0
2.8
-
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan probiotik enkapsulasi dan
probiotik non enkapsulasi tidak nyata pengaruhnya (P>0,05) terhadap kualitas
susu yang dihasilkan. Sidik (2003) manyatakan, bahwa faktor jumlah dan kualitas
pakan, bulan laktasi, fase laktasi dan bangsa sapi perah mempengaruhi produksi
susu sapi perah. Namun demikian kisaran kualitas susu tidak berbeda jauh seperti
yang direkomendasikan oleh SNI (2011), yaitu kadar lemak minimum 3.0 %,
bahan kering tanpa lemak (BKTL) minimum 7.8 %, dan kadar protein minimum
2.8 %. Menurut Widiawati dan Winugroho (2007) manyatakan bahwa pemberian
probiotik (Bioplus, S. cerevisiae dan C. utilis) mampu meningkatkan kadar lemak
dari 2,92 menjadi 3,03%.
Rataan kualitas susu sapi perah yang mendapat perlakuan kontrol, dan juga
probiotik sama-sama berada diatas SNI (Standar Nasional Indonesia). Hal ini juga
dipengaruhi oleh pemberian pakan yang sesuai dengan bobot badan sapi, kadar
lemak susu, dan produksi susu (Sudono et al. 2003). Kebutuhan sapi perah akan
pakan memiliki hubungan erat dengan kebutuhan untuk hidup pokok,
pertumbuhan, reproduksi, dan produksi air susu.
Dalam penelitian ini yang berbeda adalah masa laktasi sapi yakni berada
pada masa laktasi pertama, kedua, dan kelima sehingga mempengaruhi terhadap
kualitas susu yang dihasilkan.
Efek Penggunaan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi Terhadap Kadar
Aflatoksin M1
Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur Aspergillus flavus dan
A.parasiticus (Wrather dan Sweet 2006). Aflatoksin selain dapat menyebabkan
penyakit juga dapat mengakibatkan kematian jika bahan makanan yang
dikonsumsi terkontaminasi oleh aflatoksin (Cast 1999). Pakan ternak yang
terkontaminasi aflatoksin dapat menimbulkan keracunan jika dikonsumsi oleh
ternak. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan mengganti pakan
yang sudah terkontaminasi aflatoksin dengan pakan yang baru. Aflatoksin M1 dan
aflatoksin M2 diisolasi pertama kali dari susu yang dihasilkan oleh sapi yang
diberi pakan terkontaminasi aflatoksin (Ruiqian et al. 2004). Pakan yang
terkontaminasi aflatoksin tidak terlihat tetapi dapat diketahui dengan pemeriksaan
laboratorium.
Tabel 6. Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah
Masa Laktasi
Kontrol
1
2
3
0,061
0,050
0,054
Probiotik
Enkapsulasi
Non Enkapsulasi
0,027
0,031
PRODUKSI DAN KUALITAS SERTA KADAR AFLATOKSIN
M1 PADA SUSU SAPI PERAH
RAFID SOLTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Penggunaan
Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu
Sapi Perah. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Rafid Solta
D152110041
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN
RAFID SOLTA. Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan
Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah. Dibimbing oleh
SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan DWIERRA EVVYERNIE.
Aflatoksin merupakan senyawa toksik yang dihasilkan terutama oleh
kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin B1 yang termakan
hewan ruminansia akan diekresikan pada produk susu yang dihasilkan, bentuk
hidroksilasinya yaitu aflatoksin M1. Aflatoksin M1 yang dieksresikan ke dalam
susu dipegaruhi oleh banyaknya aflatoksin B1 yang terkontaminasi didalam
sumber pakan. Pemanfaatan probiotik bakteri asam laktat (BAL) sebagai
penanggulangan cemaran aflatoksin secara in vitro dan in vivo pada unggas sangat
efektif dilakukan, tetapi kajian penggunaan probiotik dalam menurunkan kadar
aflatoksin M1 belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
efek penggunaan probiotik dalam mengurangi kadar aflatoksin M1, memperbaiki
produksi dan kualitas susu sapi perah yang dihasilkan.
Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu: 1) Metode pembuatan
probiotik BAL, 2) Kajian in vivo tentang penggunaan probiotik dan probiotik
enkapsulasi. Metode pembuatan probiotik BAL terdiri dari 2 tahap yaitu a)
Enkapsulasi; b) Non enkapsulasi. Mutu kedua probiotik diamati melalui total
koloni yang tumbuh dan daya simpan probiotik selama 0, 2 dan 4 minggu. Bakteri
asam laktat yang digunakan merupakan campuran dari bahan Lactobaccillus
achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707, dan
Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03). Data yang diperoleh dianalisisi
secara deskriptif. Pada kajian in vivo digunakan 9 ekor sapi perah laktasi ke-1, ke2 dan ke-5. Masing masing laktasi terdiri dari 3 ekor mendapatkan perlakuan
kontrol, probiotik dan probiotik enkapsulasi yang dicampurkan ke dalam pakan
konsentrat. Pemberian probiotik pada pakan konsentrat diberikan berdasarkan
komsumsi pakan perhari dan cfu/g (colony forming units). Masing-masing
perlakuan probiotik ditambahkan sebanyak 109 cfu/g, dan probiotik enkapsulasi
ditambahkan 108 cfu/g. Peubah yang diamati yaitu : a) produksi dan kualitas susu
; b) kadar aflatoksin M1 pada susu. Data produksi susu yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan analisis covarian (ANCOVA). Kualitas susu yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analyis of Variance) dan Kadar
aflatoksin M1 pada susu sapi perah dianalisis secara deskriptif.
Hasil perhitungan total koloni bakteri probiotik non enkapsulasi dan
probiotik enkapsulasi masing-masing yaitu 1.3 x 109 (cfu/g) dan 0.63 x 109
(cfu/g). Hasil penelitian in vivo menunjukan bahwa penambahan probiotik non
enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi tidak mempengaruhi produksi susu yang
dihasilkan. Penambahan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi
tidak mempengaruhi kadar lemak, protein, SNF, laktosa dan BK susu namun
masih memenuhi standar SNI. Sapi perah yang diberikan probiotik non
enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi mampu menurunkan kadar aflatoksin M1
pada susu sapi perah samapai LOD (limit of detection) 0,025 ppb.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan probiotik
dan probiotik enkapsulasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
produksi dan kualitas susu yang dihasilkan, namun menurunkan kadar aflatoksin
M1 pada susu.
Kata kunci :
Aflatoksin M1, Bakteri Asam Laktat, Enkapsulasi, Probiotik, Susu
Sapi.
SUMMARY
RAFID SOLTA. The Effectivity of Probioties Utilization in Production, Quality
and Aflatoxin M1 Level of Milk. Supervised by SURYAHADI, KOMANG G
WIRYAWAN and DWIERRA EVVYERNIE.
Aflatoxins are toxic compounds produced by Aspergillus flavus and A. parasiticus.
The aflatoxins M1 in the milk are affected by the amount of aflatoxin B1. The
utilization of lactic acid bacteria probiotic (LAB) in poultry was effectively to reduce
the aflatoxin, but the use of probiotics for reducing the aflatoxin M1 levels have not
been widely reprorted. The aims of this study was to determine the feeding effect
of diets containing probiotics for aflatoxin M1 level, production and milk quality.
The study comprised two phases, namely :1) The preparation of lactic acid
bacteria probiotic (in vitro), 2) In vivo phase that using encapsulated and nonencapsulated probiotics in lactating dairy cows. The probiotic of lactic acid
bacteria was consisted of encapsulation and non-encapsulated. That probiotics
quality were determined by total colony and storability test at room temperature
for 0, 2 and 4 weeks. The lactic acid bacteria used combination of Lactobaccillus
achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707 and
Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03). The in vivo test used 9 dairy cows on
1 th, 2nd and 5th lactation phase. Each lactating phase used 3 cows and fed the diet
without probiotic (R0), diet containing 109 cfu/g capsulation probiotic (R1) and
diet containing 108 cfu/g encapsulation pribiotic (R3).The parameters measured
were milk production, milk quality and aflatoxin M1 levels. ANCOVA test was
used to analyze the milk production. Milk quality was analized by Analysis of
Variance. Aflatoxin M1 level was presented in descriptive form.
The results of non-encapsulation and encapsulation probiotic colonies were
1.3 x 109 (cfu / g) and 0.63 x 109 (cfu / g). The results of in vivo test showed that
the addition non-encapsulation and encapsulation probiotic did not affect milk
production, milk quality, protein content, fat content, lactose, and SNF. Dairy
cows were given non-encapsulation and encapsulation probiotic reduced aflatoxin
M1 levels in milk until the limit of detection (0.025 ppb).
The conclusion of this study was the use non-encapsulation and
encapsulation probiotic did not significantly effect milk production and quality
but can reduced the concentration of aflatoxin M1 in milk of dairy cow.
Keywords: Aflatoxin M1,encapsulation, dairy cow, lactic acid bacteria, probiotics
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROBIOTIK TERHADAP
PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SERTA KADAR
AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI PERAH
RAFID SOLTA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Penguji luar komisi : Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgr Sc
Judul Tesis
Nama
NIM
: Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi
dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu
Sapi Perah
: Rafid Solta
: D152110041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Suryahadi, DEA
Ketua
Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc
Prof Dr Ir Komang G Wiryawan
Anggota
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Nutrisi dan Pakan
Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
ALLAH SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat meyelsaikan karya
ilmiah yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan
Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah” dengan baik dan tepat
pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Dr
Ir Suryahadi, DEA. Bapak Prof Dr Ir Komang G Wiryawan dan Ibu Dr Ir Dwierra
Evvyernie, MS MSc, selaku komisi pembimbing yang telah berkenan meluangkan
waktu, memberikan petunjuk, bimbingan serta arahan pada penulis dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini. Kepada Bapak Prof Dr Ir Toto Toharmat, MagrSc
sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran untuk
penyempurnaan karya ilmiah ini. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
yang telah memberikan bantuan Beasiswa dalam masa penyelesaian studi
pendidikan di Institut Pertanian Bogor, serta bantuan dana dari (Collaboration
Research and International Publication). Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Pemerintah Kabupaten Sijunjung. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) yang telah
memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di Peternakan Sapi Perah
miliknya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda H.
Jumadar, BE dan Ibunda Hj. Dastati, saudara-saudaraku tercinta (Uda Rachmad A
K, S.Pd, Rizki, Afdal, Ramdica, Ilham, Eska, dan Dava) serta abang Adi yang
selalu memotivasiku dan keluargaku di Bekasi atas do’a, kasih sayang dan
dorongan baik moral, materi maupun spiritual. Kepada teman-teman INP 2011,
terima kasih atas kerja sama selama ini dan semua pihak yang telah membantu
yang tidak bisa ditulis satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini.
Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari
sempurna, meskipun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah ini bisa
bermanfaat.
Bogor, September 2013
Rafid Solta
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
2. MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Pembuatan Probiotik
Materi
Analisis Data
Peubah yang Diamati
Metode
Efek Penggunaan Probiotik Secara In-vivo
Materi
Analisis Data
Peubah yang Diamati
Metode
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Koloni Bakteri Asam Laktat (Probiotik Enkapsulasi dan
Probiotik Non Enkapsulasi)
Uji Daya Simpan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi pada
Suhu Ruang.
Efek Penggunaan Probiotik secara in vivo
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi Susu
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kualitas Susu
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kadar Aflatoksin M1
4. SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
3
4
4
4
5
5
5
7
7
8
8
8
10
11
12
12
13
14
16
17
21
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Komposisi nutrisi hijauan dan konsentrat
Rataan jumlah koloni BAL starter awal
Uji daya simpan probiotik pada suhu ruang
Rataan produksi susu terkoreksi lemak 4% (kg/hari)
Rataan kualitas susu sapi perah
Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.
8
10
11
12
13
14
DAFTAR GAMBAR
1 Produk probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi
2 Proses enkapsulasi probiotik
6
6
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Analisis coovarian produksi susu
Analisis produksi susu 4 % FCM
Analisis ragam kadar lemak susu
Analisis ragam kadar protein susu
Analisis ragam kadar laktosa susu
Analisis ragam bahan kering tanpa lemak
Analisis ragam bahan kering susu
21
21
22
22
23
23
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rafid Solta dilahirkan di Sijunjung, pada tanggal 11
Januari 1990 dan merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara dari Bapak H
Jumadar, BE dan Ibu Hj Dastati. Penulis adalah putra kedua dari tujuh laki-laki
bersaudara. Pada tahun 2001 menyelesaikan pendidikan di SDN 29 Muaro
Gambok Sijunjung. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di MTsN
Sijunjung dan menyelesaikannya pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan
pendidikan ke MAN Palangki Sijunjung dan menyelesaikan pendidikan pada
tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Nutrisi
dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas melalui jalur
PMDK dan lulus pada tahun 2011. Pada bulan Agustus tahun 2011, penulis
diterima di Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor dan mendapat Beasiswa Unggulan dari Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Penulis juga memperoleh
bantuan dana penelitian Collaboration Research and International Publication.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani yang sangat
penting. Susu sebagai sumber gizi berupa protein hewani besar manfaatnya bagi
manusia terutama bayi dan anak-anak. Jaminan kualitas dan keamanan produk
hewani perlu diperhatikan, sehingga kemungkinan cemaran bahan biologi maupun
kimia yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia dapat diminimalisir (Winarno 1996). Manajemen pemeliharaan dan
pakan yang tidak sesuai dengan pemberiannya, dapat berdampak pada cemaran
aflatoksin pada produk ternak yang dihasilkan.
Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur Aspergillus flavus dan
A.parasiticus (Wrather dan Sweet 2006), juga dihasilkan oleh beberapa jamur lain
misalnya A.nomius (Kurtzman et al. 1987), A.pseudotamarii (Ito et al. 2011),
A.ochraceoroseus, Aspergillus SRCC148, Emericelle astellata, dan Emericella sp
sies SRCC 2520 (Cary et al. 2005). Aflatoksin dapat mencemari kacang tanah,
jagung, dan hasil olahannya, serta pakan ternak. Hewan ternak yang mengonsumsi
pakan tercemar aflatoksin akan meninggalkan residu aflatoksin dan metabolitnya
pada produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Hal tersebut menjadi salah satu
sumber paparan aflatoksin pada manusia. Pencemaran aflatoksin di Indonesia
sering timbul pada masa penyimpanan bahan pangan atau pakan. Toteja (2006)
menyatakan bahwa kondisi iklim dan manipulasi pakan mengakibatkan
kontaminasi aflatoksin. Kondisi penyimpanan yang tidak baik merupakan faktor
penting terhadap variasi kontaminasi aflatoksin.
Ada empat macam aflatoksin yang dikenal sering mengkontaminasi bahan
pangan, khususnya serelia yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Aflatoksin B1
yang termakan oleh hewan ruminansia akan diekresikan terutama pada produk
susu yang dihasilkan, bentuk hidroksilasinya yaitu aflatoksin M1. Aflatoksin M1
yang dieksresikan ke dalam susu sangat bervariasi antar ternak (meskipun dari
satu peternakan yang sama), dari hari ke hari dan waktu pemerahan yang ya satu
ke waktu pemerahan yang lain (Kiermeier et al. 1975;1977). International Agency
for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan karsinogenisitas aflatoksin
M1 dalam grup B2 (IARC 1993) dan dilaporkan kurang berbahaya bila
dibandingkan aflatoksin B1.
Aspergillus flavus optimum menghasilkan toksin pada kadar air bahan 1530%, kondisi 25-300C, dengan kelembaban 85% atau aktivitas air sebesar 0,85
(Reddy dan Waliyar 2000). Kendala yang dihadapi dalam keamanan pangan
terhadap aflatoksin M1 pada susu yakni memiliki sifat yang stabil terhadap
proses pemanasan, pasteurisasi dan proses penyimpanan (Stoloff et al.1975). Oleh
karena itu aflatoksin M1 pada susu merupakan ancaman yang dihadapi oleh anakanak yang masih rentan dibandingkan orang dewasa. Abdul Razzaq et al. (2004)
membuktikan bahwa adanya hubungan antara tingkat kontaminasi aflatoksin M1
yang terdeteksi pada air susu ibu yang mengakibatkan kurangya berat bayi yang
dilahirkan
Organ hati memiliki peran dalam biotransformasi aflatoksin, bahan toksin
yang masuk ke tubuh akan mengalami proses biotransformasi dengan mengubah
sifat toksik yang semula larut lemak menjadi yang mudah larut air hingga mudah
dikeluarkan dari tubuh. Proses ini terjadi pada retikulum endoplasmatik dengan
bantuan enzim sitokrom P-450 dan sitosol. Bahri et al. (1994) menyatakan pakan
sapi perah yang terkontaminasi aflatoksin B1 menghasilkan residu aflatoksin M1
dari 0,04-0,17 ppb. Carvajal et al. (2003) dalam penelitian diperoleh sebanyak
40% produk susu di Meksiko terkontaminasi aflatoksin M1 dengan kadar ≥ 0,05
(ppb) dan 10% ≤ 0,005 ppb. Hasil ini menunjukan bahwa aflatoksin M1 tidak
rusak selama proses produksi karena aflatoksin akan rusak pada suhu 270 0C
(Beuchat 2000). Produk olahan susu juga mengandung aflatoksin M1 seperti keju
(40-60%), krim (10%), butter (2%). Residu aflatoksin M1 yang terdapat dalam
olahan susu erat kaitanya dengan kasein susu (Lopez et al. 2001)
Aflatoksin tidak memberikan efek keracunan secara akut, melainkan
secara kronis dapat menimbulkan kelainan pada organ hati dan juga produk
olahanya seperti daging dan susu. Hal ini dipengaruhi oleh penyimpanan makanan
dalam waktu yang cukup lama dan cara yang tidak benar, menyebabkan
kerusakan pada bahan makanan tersebut oleh mikroorganisme dan jamur yang
dapat menghasilkan aflatoksin. Tingkat konsentrasi residu maksimum yang
diperbolehkan untuk aflatoksin M1 dalam susu maupun produk olahannya di
beberapa Negara sebesar 0,5 μg/L (FDA, Amerika) dan 0,05 μg/L (negara-negara
Uni Eropa). Sedangkan untuk Indonesia adalah 1 μg/L atau 1 ppb (SNI 2001).
Upaya penanggulangan cemaran aflatoksin pada pakan dan keracunan
aflatoksin pada ternak telah banyak dilakukan diantaranya adalah dengan
mendegradasi aflatoksin pada bahan pakan secara ekstraksi dengan bentonite,
sinar UV, bakteri, jamur dan ganggang (Ceigler et al. 1966 dan Rustom 1997).
Beberapa mikroorganisme dilaporkan pula dapat mengurangi cemaran aflatoksin
baik secara in vitro maupun in vivo (Pierides et al. 2000 ; Kankaankaa et al.
2000), salah satunya adalah bakteri asam laktat (Lactobaccillus spp).
Lactobaccillus spp termasuk golongan bakteri asam laktat dan memiliki potensi
yang tinggi sebagai produk probiotik (Davis dan Gasson 1981; Muriana dan
Klaenhammer 1987). El-Nezami et al. (1998) menemukan bahwa bakteri gram
positif (lima strain Lactobacillus spp dan strain Propionibacterium spp) lebih
efisien dalam menghilangkan aflatoksin dari media cair, dibandingkan dengan
gram negatif E. coli.
Probiotik didefinisikan sebagai kultur bakteri tunggal atau campuran yang
dikonsumsi oleh ternak atau manusia, sehingga memberikan efek yang
menguntungkan bagi kesehatan inangnya. Sebagian besar probiotik yang
digunakan sebagai bahan additive adalah tergolong bakteri termasuk dalam
spesies Lactobaccillus spp (Lactobaccillus achidophillus dan Bifidobacterium spp
(Bifidobacterium longum), di samping itu terdapat juga bakteri Streptococcus
thermophillus. Terdapat beberapa bukti mengenai manfaat dari bakteri asam laktat
yang sangat efisien dalam menurunkan kadar aflatoksin dan juga mampu
memperbaiki produksi dan kualitas susu sapi perah.
Selama penyimpanan dan dalam saluran pencernaan ternak viabilitas
probiotik mengalami kendala seperti H2O2, keberadaan pH yang rendah, kondisi
anaerob, garam empedu dan juga dipengaruhi oleh kompetisi bakteri. Melihat
beberapa kendala yang dihadapi solusi yang perlu dilakukan adalah dengan
melakukan perlindungan probiotik dengan cara enkapsulasi. Enkapsulasi
merupakan proses pembentukan kapsul yang menyelubungi probiotik dengan
tujuan melindunginya dari pengaruh lingkungan yang ekstrim (Widodo et al.
2003). Metode enkapsulasi dengan menggunakan sodium alginat dan laktosa
dengan tujuan melindungi bakteri dari kondisi asam pada cairan rumen. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan alginat dapat melindungi sel dengan
meningkatnya ketahanan bakteri dibawah kondisi yang berbeda dibanding tanpa
enkapsulasi (Anal dan Singh 2007).
Enkapsulasi probiotik biasa digunakan polimer yang lembut dan tidak
beracun (food grade) (Anal dan Singh 2007). Polimer yang digunakan biasanya
berbentuk polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan alginat),
tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan
protein hewan ; kasein, whey, skim, gelatin, (Rokka dan Rantamaki 2010).
Dalam penelitian ini dikaji sejauh mana probiotik (Lactobaccillus achidophillus,
Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus), dapat dimanfaatkan dalam
menanggulangi bahaya cemaran aflatoksin M1 pada susu sapi perah dengan
tujuan untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu sesuai standar.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek penggunaan probiotik dalam
mengurangi kadar aflatoksin M1, serta mampu memperbaiki produksi dan kualitas
susu sapi perah yang dihasilkan
MATERI DAN METODE
Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap. Tahap pertama adalah
membandingkan 2 cara pembuatan probiotik bakteri asam laktat yaitu, a)
Probiotik enkapsulasi; b) Probiotik non enkapsulasi. Mutu kedua probiotik dilihat
melalui total koloni dan daya simpan probiotik selama 0,2 dan 4 minggu; 2)
Kajian in vivo tentang penggunaan probiotik enkapsulasi dan probiotik non
enkapsulasi dilihat melalui a) Efek pobiotik terhadap produksi dan kualitas susu;
b) Efek probiotik dalam mengurangi kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.
Waktu dan Tempat
Penelitian tahap pertama dilakukan selama tiga bulan dari bulan November
sampai dengan Januari 2013. Kultur murni diperoleh dari UGM Yogyakarta yaitu
(Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC
15707, Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03) dan dilanjutkan pembiakan
kultur di PAU IPB; Enkapsulasi probiotik di Laboratorium Mikrobiologi, Seafast
IPB; Pengujian total bakteri di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB.
Penelitian tehap kedua dilakukan selama 16 hari, masing-masing terdiri
dari 10 hari pertama diberikan pakan adaptasi yang ditambahkan probiotik, dan 6
hari berikutnya dilakukan pengambilan sampel susu. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Februari – Maret 2013. Percobaan in vivo ini dilakukan di peternakan sapi
perah Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Lembang adalah salah satu sentra
peternakan sapi perah di Indonesia dengan topografi berbukit-bukit, ketinggian
±1247 m dpl, kisaran suhu udara harian antara ± 18 – 27 0C dan kelembaban
relatif ± 80,5%. Peternakan sapi perah yang digunakan sebagai lokasi penelitian
memiliki manajemen pakan dan pemerahan yang baik. Susu yang diperoleh
dianalisis di Laboratorium Kesehatan Daerah Jakarta, Laboratorium Perah FapetIPB.
Pembuatan Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi dilakukan
Melalui Pengujian Total Bakteri
Materi
Bahan yang digunakan dalam pembuatan probiotik enkapsulasi dan
probiotik non enkapsulasi adalah kultur murni bakteri (Lactobaccillus
achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707, Streptococcus
thermophillus FNCC 1-9 03), de Mann Rogosa Sharpe Broth (MRSB), de Mann
Rogosa Sharpe Agar (MRSA), susu skim, NaCl, sodium alginate, laktosa, CaCl2.
Alat yang digunakan adalah laminar flow, inkubator, tabung reaksi, mikropipet,
vorteks, lemari es, erlenmeyer, ose, pembakar bunsen, mikroskop, obyek glass,
cawan petri, autoclav, frezze drayer, timbangan analitik.
Analisis Data
Data total koloni bakteri asam laktat pada starter awal, dan total koloni
probiotik pada penyimpanan selama 0,2 dan 4 minggu disajikan secara deskriptif.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati yaitu total koloni bakteri probiotik enkapsulasi dan
probiotik non enkapsulasi pada starter awal. Total koloni bakteri probiotik yang
disimpan pada suhu ruang selama 0, 2 dan 4 minggu.
Metode
Pembuatan Kultur Induk dan Kultur kerja (Dewanti-Hariyadi et al. 2001)
Kultur murni yang digunakan adalah (Lactobaccillus achidophillus,
Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus pada MRSB. Susu skim
20% dimasukkan kedalam 1 L aquades dan di autoclav pada suhu 90 0 C selama
15-30 menit, dan kemudian didinginkan hingga suhu 43 0 C, ditambahkan 1,5 ml
masing-masing kultur murni bakteri ke dalam 2 L susu skim steril dan selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 hari. Kultur induk siap digunakan untuk
membuat kultur kerja. Pembuatan probiotik enkapsulasi menggunakan metode
Carvalho et al. (2004), dengan menambahkan bahan penyalut sodium alginate dan
laktosa.
Kultur kerja siap digunakan sebagai probiotik pada pakan ternak dan
sebelum probiotik diberikan terlebih dahulu di frezze drayer. Apabila tidak
langsung digunakan, kultur kerja dapat disimpan dalam refrigerator.
Proses Enkapsulasi Probiotik dan Frezze Drayer (Carvalho et al. 2004)
Biopolimer yang digunakan untuk enkapsulasi bakteri probiotik adalah
alginat. Penggunaan alginat sebagai bahan pengkapsul adalah tidak toksik,
membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat menjerap material
sensitif seperti sel bakteri probiotik (Kailasapthy 2002). Probiotik dienkapsulasi
dengan laktosa dan sodium alginate 10 %. Perbandingan bahan yang dikapsul
dengan bahan enkapsulasi yang digunakan adalah sebesar 3:7 (b/b) (Lian et al.
2002).
Setelah probiotik dikapsul dengan bahan enkapsulasi kemudian di freeze
dried. Freeze dried adalah proses pembekuan yang disusul dengan pengeringan.
Proses sublimasi yang terjadi pada freeze draying yaitu perubahan dari bentuk es
dalam bahan yang beku langsung menjadi uap air tanpa mengalami proses
pencairan. Freeze draying memiliki keuntungan karena daya rehidrasi yang tinggi
dan volume bahan tidak berubah.
Gambar 1. Produk probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi
Isolat bakteri
Penambahan skim milk 5 % (w/w)
Inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam
Penambahan sodium alginat dan laktosa sebanyak 10% (w/w)
Inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam
freeze- drayer (-90 s/d -1300 C)
Pembilasan dengan CaCl2 sebanyak 5% (w/w)
Kapsulasi
Gambar 2.Proses enkapsulasi probiotik (Carvalho et al. 2004)
Penghitungan Total Koloni Bakteri
Analisis pertumbuhan BAL dengan metode hitungan cawan (BAM 2001).
Sebanyak 1 ml kultur dipipet ke dalam pengenceran berseri hingga diperoleh
pengenceran terbesar 106-108 dan dipindahkan kedalam cawan secara duplo.
Metode pencawanan yang digunakan adalah metode agar tuang (pour plate)
dengan MRSA sebanyak 12-15 ml. MRSA dituang ke dalam cawan petri berisi
kultur dan diratakan dengan cara memutar cawan lalu dibiarkan membeku.
Setelah membeku, cawan diinkubasikan dengan posisi terbalik pada suhu 370C
selama 48 jam. Koloni yang dihitung berada dalam kisaran 25 – 250 koloni.
Jumlah koloni dicatat dan dihitung dengan rumusan sebagai berikut:
N = Σ C / [ ( 1 x n1) + ( 0.1 x n2) ] x d
N
ΣC
n1
n2
d
: Jumlah koloni (CFU) per gram probiotik
: Total seluruh koloni yang dapat dihitung
: Total koloni dari pengenceran pertama yang dihitung
: Total koloni dari pengenceran kedua yang dihitung
: Nilai pengenceran dari penghitungan pertama yang digunakan
Uji Daya Simpan Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi
Pada Suhu Ruang
Uji daya simpan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi di
suhu ruang 300C selama 0, 2 dan 4 minggu. Probiotik yang disimpan pada
erlemeyer di suhu ruang, diamati setiap penyimpanan 0, 2 dan 4 minggu, dengan
melihat pertumbuhan bakteri asam laktat menggunakan metode hitungan cawan
(BAM 2001).
Efek Penggunaan Probiotik terhadap Produksi, Kualitas dan Penurunan
Kadar Aflatoksin M1 Pada Susu Sapi Perah
Materi
1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah makanan konsentrat
(Mako) Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU), rumput,
probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi, larutan standar
aflatoksin M1, methanol, aquabidest, acetonitril, ammonium asetat, susu
sapi perah. Alat yang digunakan adalah pita ukur, gelas ukur, timbangan,
seppak C18, turbovab evaporator, LC-MS/MS. Komposisi nutrien pakan
yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
2. Ternak yang digunakan adalah ternak sapi perah Fries Holland (FH),
terdiri dari sembilan ekor sapi perah laktasi ke-1, ke-2 dan ke-5, masingmasing laktasi terdiri dari dari 3 ekor.
Tabel 1. Komposisi nutrisi hijauan dan konsentrat
Analisis Pakan
Abu (%)
Protein Kasar (%)
Serat Kasar (%)
Lemak Kasar (%)
BETN (%)
TDN (%)
Kalsium (Ca) (%)
Mako
12.50
18.89
11.68
7.34
63.59
73,85
0.85
Hijauan*
11.70
10.20
34.20
1.60
42.30
51.00 a
0.51 a
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak
Fakultas Peternakan UNPAD (2013); (*) kandungan nutrisi rumput gajah yang dikutip dari
a
Rukmana (2005); ( ) kandungan nutrisi rumput gajah TDN dan Ca dikutip dari Hartadi et al. 1997
Analisis Data
Data produksi susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis
covarian (ANCOVA). Kualitas susu yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan sidik ragam (Analyis of Variance) berdasarkan Stell dan Torrie
(1993). Data yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Kadar
aflatoksin M1 pada susu sapi perah disajikan secara deskriptif.
Peubah yang Diamati
Pada penelitian in vivo terdapat beberapa parameter yang diukur
diantaranya produksi susu, kualitas susu (protein, lemak, bahan kering tanpa
lemak, bahan kering susu, dan laktosa) serta kadar aflatoksin M1 pada susu sapi
perah.
Metode
Kajian in vivo pada ternak sapi perah digunakan sembilan ekor sapi perah
laktasi ke-1, ke-2 dan ke-5. Masing masing laktasi terdiri dari tiga ekor yang
mendapatkan perlakuan kontrol, probiotik enkapsulasi dan probiotik non
enkapsulasi yang dicampurkan ke dalam pakan konsentrat. Pemberian probiotik
pada pakan konsentrat berdasarkan konsumsi pakan perhari dan masing-masing
perlakuan probiotik ditambahkan sebanyak 109 cfu/g, dan probiotik enkapsulasi
ditambahkan 108 cfu/g. Pemberian pakan diberikan 2 kali sehari yakni pagi dan
sore, dan air minum diberikan secara ad libitum. Probiotik dicampurkan dalam
pakan sapi perah pada pagi hari sebelum pakan diberikan ke ternak.
Produksi Susu
Pengukuran produksi susu dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan
probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi setiap hari selama penelitian.
Susu diperah pagi hari pada pukul 03.30 WIB dan sore hari pukul 14.30 WIB dan
diukur dengan gelas ukur dan dicatat. Untuk menghilangkan faktor lemak,
produksi yang diperoleh dikoreksi dengan 4 % FCM (fat corrected milk) rumus :
metode Gaines yang telah disitir oleh (Wickes 1983).
Produksi Susu 4 FCM = (0.4 x PS) + (15 x PS x % L)
Keterangan : PS = Produksi susu (kg/hari)
L = % Kadar lemak susu
Pengujian Kualitas Air Susu
Pengujian kualitas air susu bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari
perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi terhadap kualitas
air susu. Pengujian yang dilakukan meliputi kadar protein, lemak, bahan kering
tanpa lemak, bahan kering susu, dan laktosa.
Pengujian Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah
Pengujian kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah bertujuan untuk
melihat efektivitas probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi dalam
mengurangi kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah. Pengujian dilakukan
menggunakan metode (AOAC 2000). Sebelum susu sapi perah dianalisa dengan
LC-MS/MS, dilakukan pembuatan kurva standar aflatoksin M1 yaitu : 0,025 ppb,
0,05 ppb, 0,1 ppb, 0,25 ppb, 1 ppb, dan 2 ppb.
Susu yang telah disimpan beku, dicairkan pada suhu ruang, kemudian
sampel atau blanko dipipet sebanyak 5 ml ke dalam seppak C18 yang telah
dikondisioning dengan menggunakan 3 ml methanol, 3 ml aquabidest. Kemudian
seppak dicuci dengan 2 ml aquabidest, dan dielusi dengan 3 ml
methanol:acetonitril (1:1), seppak dikeringkan dengan menggunakan turbovab
evaporator pada suhu 40oC selama 60 menit. Kemudian seppak dilarutkan kembali
dengan fase gerak (methanol:10 mM ammonium asetat (60:40) dan 30 µl di
injeksi ke LC-MS/MS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Koloni Bakteri Asam Laktat (Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non
Enkapsulasi)
Probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi yang terdapat dalam
penelitian merupakan kultur murni BAL yang terdiri dari (Lactobaccillus
achidophillus, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus). Jumlah
koloni dari probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi masing-masing
yaitu, probiotik enkapsulasi (1.3 x 109) cfu/g dan probiotik non enkapsulasi (0.63
x 109) cfu/g. Rataan jumlah koloni BAL pada probiotik enkapsulasi dan probiotik
non enkapsulasi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan jumlah koloni bakteri asam laktat starter awal
Perlakuan
Jumlah koloni BAL (cfu/g)
Probiotik Enkapsulasi
Probiotik Non Enkapsulasi
0.63 x 109
1.3 x 109
Ket: Hasil analisis dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
(2013).
Jumlah koloni probiotik non enkpasulasi lebih tinggi dibandingkan dengan
jumlah koloni probiotik enkapsulasi hal ini disebabkan karena proses pengenceran
dari penambahan bahan-bahan lain dalam proses enkapsulasi. Proses pengadukan
dan pencampuran bahan penyalut pada probiotik menyebabkan masuknya oksigen
ke dalam campuran bahan penyalut. Dengan adanya oksigen dalam bahan
penyalut dapat memberikan efek racun bagi BAL yang bersifat anaerob. Pengaruh
keberadaan oksigen terhadap organisme anaerob dapat menyebabkan peningkatan
potensial reduksi oksidasi sehingga dapat mengganggu proses transfer elektron
pada respirasi anaerob (Jay 1996).
Enkapsulasi bertujuan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari kultur
dan membantu melindungi sel bakteri dari lingkungan yang merugikan sehingga
mampu mengurangi sel bakteri yang mati. Tamime et al. (2005) menyatakan
bahwa pemanfaatan probiotik enkapsulasi bertujuan dalam mengurangi
kehilangan dan kerusakan sel bakteri, menstabilkan sel, dan menjaga viabilitas
dan stabilitas sel sehingga sel tetap tinggi selama proses produksi. Lebih lanjut
(Widodo et al. 2003) mengemukakan bahwa enkapsulasi bakteri probiotik dapat
memberikan perlindungan bakteri probiotik dari pengaruh lingkungan yang
ekstrim.
Bahan enkapsulasi probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sodium alginate dan laktosa. Sodium alginate merupakan bahan polimer alami
yang tidak beracun dan harganya murah (Sultana et al. 2000). Keuntungan
penggunaan sodium alginate (membrane alginate) memberikan pengaruh difusi
nutrisi dan metabolisme yang baik dalam mempertahankan pertumbuhan sel
(Reyed 2007), sedangkan penggunaan laktosa sebagai campuran bahan penyalut
merupakan sumber energi bagi starter karena BAL membutuhkan laktosa sebagai
nutrisi untuk mempertahankan kehidupannya (Rahman 2009).
Capela et al. (2006) dalam penelitianya menggunakan alginat sebanyak 3
% dan CaCl2 0,1 M pada 200 rpm dalam melakukan enkapsulasi terhadap
Lactobaccillus achidophillus dan Lactobaccillus Casei. Proses enkapsulasi dapat
meningkatkan viabilitas probiotik pada yoghurt selama pengeringan beku dan
penyimpanan selama enam bulan pada suhu 4 dan 210C.
Hasil enkapsulasi probiotik berbentuk granul dengan warna putih
kekuningan, berbentuk bulat memiliki diameter ± 0,5 cm. Bentuk bulat yang
dihasilakan dalam proses enkapsulasi disebabkan pada saat penetesan ke dalam
CaCl2. Warna yang dihasilkan adalah warna yang berasal dari sodium alginate
yang berwarna putih kekuningan (Fardiaz 1991).
Uji Daya Simpan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi Pada Suhu Ruang
Perubahan pupulasi probiotik yang dikapsul dan non enkapsulasi selama
penyimpanan disajikan pada Tabel 3. Viabilitas probiotik enkapsulasi dan
probiotik non enkapsulasi setelah penyimpanan pada suhu kamar selama 0,2 dan 4
minggu mengalami penurunan, masing - masing probiotik enkapsulasi dari
2.2x109 - 0.93x109 cfu/g, dan probiotik non enkapsulasi dari 1.1x109 - 0.76x109
cfu/g. Hal ini disebabkan adanya aktivitas bakteri asam laktat (BAL) selama
proses penyimpanan. Menurut Widiowati dan Misgiyarta (2007), selama proses
penyimpanan bakteri asam laktat mengubah gula dalam susu (laktosa) hingga
menghasilkan energi dan asam laktat. Menurut Fardiaz (1998), kematian bakteri
disebabkan karena nutrien di dalam medium dan energi cadangan sel telah habis.
Tabel 3.Uji daya simpan probiotik pada suhu ruang
Daya Simpan Probiotik (Minggu)
0
2
4
Probiotik (cfu/g)
Enkapsulasi
Non Enkapsulasi
2.2x109
1.9x109
0.93x109
1.1x109
1.1x109
0.76x109
Keterangan: Hasil analisis dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian,
IPB 2013.
Periode penyimpanan yang lama akan menghasilkan total BAL yang
rendah baik probiotik enkapsulasi maupun probiotik non enkapsulasi, hal ini
disebabkan oleh berkurangnya kandungan nutrisi produk selama penyimpanan
karena proses fermentasi terus berlangsung. Kestabilan bakteri asam laktat (BAL)
pada probiotik enkapsulasi menurun pada minggu ke-2 sebesar 13.63 % dan pada
minggu ke-4 sebesar 51.05 %, lain halnya dengan probiotik non enkapsulasi tetap
stabil pada minggu ke-2 dan mengalami penurunan pada minggu ke-4 sebesar
30.90 %. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thalib et al. (2001a;2001)
populasi mikroba non enkapsulasi mengalami penurunan 30 % dari populasi awal
sedangkan, mikroba yang dienkapsulasi relatif stabil. Winugroho dan Mariyati
(2001) melaporkan Bioplus yang disimpan dalam suhu ruang, maka populasi
mikroorganisme di dalamnya berkurang hingga 50%.
Total koloni yang dihasilkan selama penyimpanan mengalami penurunan,
Meskipun demikian jumlah populasi akhir dari bakteri probiotik masih memenuhi
syarat yang dibutuhkan yang mana jumlah populasi bakteri probiotik pada produk
yaitu sebesar 107 cfu/g. International Dairy Federation merekomendasikan,
bakteri akan aktif dan berkembang minimal memiliki 10 7 cfu/g (Sultana et al.,
2000).
Efek Penggunaan Probiotik secara in vivo terhadap Produksi, Kualitas Susu
dan Penurunan Kadar Aflatoksin M1 Pada Sapi Perah
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi Susu
Hasil percobaan in vivo dengan tujuan melihat pengaruh penambahan
probiotik dan probiotik enkapsulasi pada pakan sapi perah terhadap produksi susu
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Produksi susu terkoreksi lemak 4 % dari ternak yang mendapat perlakuan
probiotik (kg/hari)
Perlakuan
Kontrol
Probiotik Enkapsulasi
Probiotik Non Enkapsulasi
Produksi Susu
Awal
13.89
17.79
15.70
11.60
15.97
17.89
7.94
17.00
11.05
Produksi Susu
Akhir
4 % FCM
15.57
±15.79 19.72
15.94
12.27
±15.15 16.67
19.42
8.59
±12.00 17.28
11.68
Delta
Produksi
Susu
±17.08
1.28
±16.12
0.97
±12.52
0.52
Produksi susu terkoreksi lemak merupakan produksi susu yang dilihat dari
kondisi energi yang terkandung didalam air susu. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa rataan produksi susu sapi perah terkoreksi lemak 4% yang
diberikan perlakuan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi tidak
nyata mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan. Produksi susu awal yang
diberi perlakuan probiotik enkapsulasi berkisar ± 15.79 (kg/hari), probiotik non
enkapsulasi ± 15.15 (kg/hari), lain halnya dengan perlakuan kontrol produksi susu
berkisar ± 15.79 (kg/hari). Rataan produksi susu akhir setelah mendapat perlakuan
probiotik enkapsulasi berkisar ± 17.08 (kg/hari), probiotik non enkapsulasi ±
16.12 (kg/hari), dan perlakuan kontrol produksi susu berkisar ± 12.52 (kg/hari).
Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah enam minggu masa laktasi hingga
mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan produksi secara
bertahap sampai akhir masa laktasi. Delta produksi susu menunjukkan atau
menggambarkan efek pemberian probiotik terlihat bahwa produksi susu sapi yang
mendapat perlakuan probiotik enkapsulasi adalah 0.97 (kg/hari), dan yang
mendapat perlakuan probiotik non enkapsulasi berkisar 0.52 (kg/hari), sedangkan
tanpa perlakuan probiotik adalah 0.97 (kg/hari). Menurut Blakely dan Bade
(1994), penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi kira-kira 6%
setiap bulannya. Produksi susu total untuk setiap periode laktasi bervariasi, pada
umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ketiga
dan keempat.
Dalam penelitian ini produksi susu sapi yang diukur pada bulan ke 6 dan
berada pada masa laktasi 1, 2 dan 5. Masa laktasi merupakan masa sapi sedang
menghasilkan air susu antara waktu melahirkan hingga masa kering. Persentase
air susu terlihat rendah diawal bulan laktasi pertama dan secara berangsur-angsur
akan meningkat pada pertengahan dan akan mengalami penurunan sampai akhir
laktasi. Faktor lain yang mempengaruhi produksi susu sapi perah diantaranya
adalah suhu dan kelembaban udara karena dapat menyebabkan perubahan
keseimbangan panas pada tubuh ternak.
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kualitas Susu
Kualitas susu digambarkan oleh komponen yang terkandung seperti
BKTL, lemak, protein, laktosa, BK. Hasil pengujian kualitas susu dari sapi – sapi
yang mendaptkan perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi
tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Kualitas susu sapi perah
Peubah
BKTL %
Lemak %
Protein %
Laktosa %
BK %
Probiotik
Kontrol
8.64±0.35
3.91±0.69
3.81±0.14
4.09±0.17
12.55±0.43
Enkapsulasi
8.88±0.68
3.91±0.35
3.91±0.35
4.21±0.21
13.06±0.38
Non
Enkapsulasi
8.99±0.38
3.81±0.29
3.96±0.29
4.26±0.32
12.79±0.47
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Perah Fapet-IPB (2013).
SNI
7.8
3.0
2.8
-
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan probiotik enkapsulasi dan
probiotik non enkapsulasi tidak nyata pengaruhnya (P>0,05) terhadap kualitas
susu yang dihasilkan. Sidik (2003) manyatakan, bahwa faktor jumlah dan kualitas
pakan, bulan laktasi, fase laktasi dan bangsa sapi perah mempengaruhi produksi
susu sapi perah. Namun demikian kisaran kualitas susu tidak berbeda jauh seperti
yang direkomendasikan oleh SNI (2011), yaitu kadar lemak minimum 3.0 %,
bahan kering tanpa lemak (BKTL) minimum 7.8 %, dan kadar protein minimum
2.8 %. Menurut Widiawati dan Winugroho (2007) manyatakan bahwa pemberian
probiotik (Bioplus, S. cerevisiae dan C. utilis) mampu meningkatkan kadar lemak
dari 2,92 menjadi 3,03%.
Rataan kualitas susu sapi perah yang mendapat perlakuan kontrol, dan juga
probiotik sama-sama berada diatas SNI (Standar Nasional Indonesia). Hal ini juga
dipengaruhi oleh pemberian pakan yang sesuai dengan bobot badan sapi, kadar
lemak susu, dan produksi susu (Sudono et al. 2003). Kebutuhan sapi perah akan
pakan memiliki hubungan erat dengan kebutuhan untuk hidup pokok,
pertumbuhan, reproduksi, dan produksi air susu.
Dalam penelitian ini yang berbeda adalah masa laktasi sapi yakni berada
pada masa laktasi pertama, kedua, dan kelima sehingga mempengaruhi terhadap
kualitas susu yang dihasilkan.
Efek Penggunaan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi Terhadap Kadar
Aflatoksin M1
Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur Aspergillus flavus dan
A.parasiticus (Wrather dan Sweet 2006). Aflatoksin selain dapat menyebabkan
penyakit juga dapat mengakibatkan kematian jika bahan makanan yang
dikonsumsi terkontaminasi oleh aflatoksin (Cast 1999). Pakan ternak yang
terkontaminasi aflatoksin dapat menimbulkan keracunan jika dikonsumsi oleh
ternak. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan mengganti pakan
yang sudah terkontaminasi aflatoksin dengan pakan yang baru. Aflatoksin M1 dan
aflatoksin M2 diisolasi pertama kali dari susu yang dihasilkan oleh sapi yang
diberi pakan terkontaminasi aflatoksin (Ruiqian et al. 2004). Pakan yang
terkontaminasi aflatoksin tidak terlihat tetapi dapat diketahui dengan pemeriksaan
laboratorium.
Tabel 6. Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah
Masa Laktasi
Kontrol
1
2
3
0,061
0,050
0,054
Probiotik
Enkapsulasi
Non Enkapsulasi
0,027
0,031