Effect of Feeding Cassava (Manihot esculenta) Leaf Silage on Nutrients Utilization Milk Production and Milk Quality of Indonesian Ettawah Goat

PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG (Manihot
esculenta) TERHADAP PENGGUNAAN NUTRIEN PAKAN,
PRODUKSI, DAN KUALITAS SUSU KAMBING
PERANAKAN ETAWAH (PE)

SKRIPSI
NOVICHA SOFRIANI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN
Novicha Sofriani. D24063512. 2012. Pengaruh Pemberian Silase Daun Singkong
(Manihot esculenta) Terhadap Penggunaan Nutrien Pakan, Produksi, dan Kualitas
Susu Kambing Peranakan Etawah (PE). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Yeni Widiawati
Produk kambing merupakan produk yang unik terutama pada susu yang

dihasilkan. Susu kambing banyak menghasilkan manfaat bagi kesehatan. Di
Indonesia, kambing yang menghasilkan susu yang paling utama adalah kambing
peranakan etawah. Susu yang dihasilkan bernilai ekonomis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan susu sapi. Masalah utama dari peternakan kambing perah ini
adalah masalah pakan, peternak umumnya tidak punya cukup modal untuk
memberikan pakan yang baik, yaitu pakan dengan protein lebih dari 14%. Di sisi
lain, Indonesia memliki hasil samping pertanian yang melimpah berupa daun
singkong yang merupakan sumber protein, akan tetapi sifat daun singkong yang tidak
dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan mengandung zat antinutrien
membatasi penggunaannya. Salah solusi permasalahan tersebut adalah dengan
mengolah daun singkong menjadi silase. Potensi tersebut menjadi dasar perlunya
penelitian lebih lanjut tentang manfaat silase daun singkong terhadap penggunaan
nutrien pakan, produksi, dan kualitas susu pada ternak kambing perah.
Penelitian ini menggunakan daun singkong (Manihot esculenta) yang berasal
dari hasil samping produk tanaman singkong di desa Situ Udik Kecamatan
Cibungbulang, Bogor. Daun singkong yang diperoleh kemudian disilase dengan
penambahan 5% molases dengan waktu fermentasi minimal empat minggu.
Perlakuan penelitian dibagi berdasarkan subtitusi silase daun singkong terhadap
konsentrat. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas perlakuan kontrol (CLS-0)
diberikan 50% rumput raja dan 50% konsentrat, perlakuan pertama (CLS-1)

diberikan 50% rumput gajah, 40% konsentrat, dan 10% silase, serta perlakuan kedua
(CLS-2) diberikan 50% rumput gajah, 30% konsentrat, dan 20% silase. Peubah yang
diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi nutrien dalam ransum (bahan kering,
abu, protein kasar, serat kasar dan lemak), kecernaan nutrien ransum (bahan kering,
abu, protein kasar, serat kasar dan lemak), produksi susu, dan kualitas susu (berat
jenis, bahan kering, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak, dan kadar protein).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata pada
konsumsi bahan kering, protein, dan abu. Pada konsumsi lemak dan abu mengalami
perbedaan nyata (P14 % harganya relatif mahal. Sehingga peternak tidak mampu mengeluarkan dana

untuk pembelian pakan berkualitas baik. Hal ini membutuhkan alternatif solusi guna
mengatasi permasalahan tersebut.
Singkong adalah salah satu tanaman yang hampir tumbuh di seluruh wilayah
Indonesia. Tanaman singkong merupakan tanaman produktif yang umbinya
dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat, sedangkan daun singkong dikenal sebagai
sumber makanan bagi manusia dan ternak tegantung pada varietasnya. Pada pakan
ternak, daun singkong digunakan sebagai sumber protein potensial dan tersedia di
berbagai daerah Indonesia.
Pemberian daun singkong tersebut memiliki keterbatasan karena kandungan
antinutrien pada daun singkong berupa HCN dan tanin. HCN memiliki efek racun

pada ternak jika diberikan melebihi batas toleransi. Hal ini membutuhkan pengolahan
lebih lanjut agar daun singkong dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pakan
ternak. Salah satu pengolahan yang dapat menurunkan kadar HCN dan tanin pada
daun singkong adalah melalui proses ensilase. Berdasarkan penelitian Man dan
Wiktorson (2002) silase daun singkong akan mengalami penurunan HCN 68% dan
tanin 25% setelah disimpan selama 2 bulan.
Keuntungan lain dari proses ini adalah daun singkong menjadi awet dan
tersedia sepanjang tahun serta meningkatkan kecernaan pakan pada ternak. Besarnya
potensi daun singkong ini bisa menjadi alternatif solusi permasalahan pakan yang
terjadi di peternak. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai
dampak daun singkong pada ternak kambing, terutama pada jenis kambing perah
yang permintaan produknya meningkat saat ini.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur dan menganalisis pengaruh
pemberian silase daun singkong untuk mensubstitusi konsentrat terhadap
penggunaan nutrien pakan, produksi susu dan kualitas susu. Adapun manfaat dari
penelitian ini, yaitu memberikan informasi kepada masyarakat dan akademisi tentang
sumber pakan yang kaya nutrien dan tersedia sepanjang waktu bagi masyarakat
berupa silase daun singkong.


2

TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Daun Singkong Sebagai Pakan Ternak
Singkong memiliki nama latin yang diterima secara internasional, yaitu
Manihot esculenta dengan sinonim yang biasa dikenal sebagai Manihot utilissima
(ITIS, 2012). Singkong merupakan tanaman pertanian yang sangat produktif. Pada
tahun 2009, produksi singkong mencapai 22 juta ton (Departemen Pertanian, 2010).
Singkong terdiri atas 45% bagian umbi, 35% bagian batang, dan 20% bagian daun.
Singkong dimanfaatkan sebagai pangan sumber karbohidrat oleh manusia dan
industri yang menghasilkan pati. Singkong dikenal sebagai tanaman yang merusak
kesuburan tanah karena kemampuannya untuk memanfaatkan unsur hara tanah
secara besar-besaran. Namun, ketika singkong tumbuh di lingkungan pertanian yang
terintegrasi dengan peternakan, singkong dapat memanfaatkan sumber nutrien dari
kotoran ternak menjadi unsur hara yang bernilai (Preston, 2002).
Daun singkong merupakan sumber hijauan yang potensial untuk ternak. Daun
singkong bisa dimanfaatkan melalui defoliasi sitematis setelah umbi singkong
dipanen (Fasae et al., 2006). Daun singkong memiliki nilai nutrien yang tinggi untuk
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kemudian, biaya produksi daun singkong

tergolong murah, dan daun singkong yang diproduksi tidak termanfaatkan serta tidak
berkompetisi dengan umbinya yang merupakan produk komersial utama dari
tanaman singkong (Wanapat et al., 2000). Namun, hal yang menjadi pembatas
penggunaannya adalah adanya komponen antinutrisi dan substansi toksik bagi ternak
yang berupa HCN. Substansi tersebut mengganggu kecernaan dan konsumsi nutrien,
dan bersifat racun untuk pemberian yang melebihi jumlah yang ditoleransi.
Daun Singkong Sebagai Suplemen Pakan
Daun singkong memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu sebesar >20%
(AFRIS, 2007) dan untuk daun singkong muda (Pucuk) mengandung protein sebesar
21-24% (Sokerya dan Preston, 2003), dan sejak tahun 1970 daun singkong telah
dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Eggum, 1970). Daun singkong juga dilaporkan
menjadi sumber mineral Ca,Mg, Fe, Mn, Zn, vitamin A, dan B2 (riboflavin) yang
baik (Ravindran, 1992).

Komponen protein akan menurun berdasarkan umur panen singkong,
semakin tua persentase protein pada daun singkong akan semakin kecil. Hal
sebaliknya terjadi pada persentase komponen serat (Fasae et al., 2009). Komponen
nutrien yang paling baik terjadi pada saat tanaman singkong berumur 4 bulan,
persentase protein mencapai puncaknya, interval defoliasi tiap 2 bulan sekali akan
menambah persentase protein dan meningkatkan rasio protein dan energi (Wanapat,

2008). Namun, terlalu sering didefoliasi akan meningkatkan kadar HCN pada daun
singkong (Fasae et al., 2009)
Antinutrisi Pada Daun Singkong
Asam Sianida (HCN). Kandungan Asam sianida (HCN) dalam daun singkong
merupakan salah satu senyawa pembatas dalam penggunaan daun singkong sebagai
pakan ternak. Interval jumlah kandungan HCN pada daun singkong umumnya
berkisar antara 20 sampai 80 mg per 100 g berat segar daun singkong, atau dari 800
sampai 3.200 mg/kg bahan kering (BK). Komposisi HCN pada daun singkong lebih
tinggi dibandingkan dengan umbi singkong (Ravindran, 1992). Varietas dan tingkat
kematangan adalah faktor utama penyebab variasi dari komposisi sianida (CN) dari
daun singkong (Chhay et al., 2001). Konsumsi HCN tidak bermasalah bagi ternak
ruminansia sampai batas 100 ppm (Tewe, 1994). HCN dapat didetoksifikasi oleh
mikroorganisme di dalam rumen (Preston, 1995). Pada ruminansia kecil, pakan yang
kaya akan sulfur merupakan komponen vital untuk detoksifikasi CN menjadi
tiosianat, yang dikenal juga dengan sulfosianat, tiosianat, dan rhodanit (Onwuka et
al. 1992). Tiosianat, yang merupakan anion SCN- dibentuk di rumen, kemudian
dibawa oleh serum darah dan hilang perlahan melalui urin. Oleh sebab itu, persentase
unsur S di dalam pakan kambing dan domba harus mencapai minimal 0.5% sehingga
detoksifikasi CN dapat berjalan optimal (Onwuka et al. 1992). Selain itu, kadar HCN
pada daun singkong dapat diturunkan melalui proses pengolahan pakan dengan

dilayukan di bawah sinar matahari (Gomez et al., 1984), diolah menjadi hay, dan
silase (Man dan Wiktorsson, 1999).
Tanin. Pada daun singkong terdapat bahan aktif berupa tanin terkondensasi atau
dikenal juga dengan proantisianidin. Tanin memiliki manfaat dan kerugian
bergantung pada konsentrasi dan jenisnya. Faktor lain yang mempengaruhi manfaat

4

dan kerugian tanin pada ternak seperti spesies ternak, kondisi fisiologis ternak dan
komposisi pakan yang diberikan (Makkar, 2003). Senyawa ini larut dalam air dan
mampu mengendapkan protein. Adanya tanin dan protein akan menghasilkan ikatan
kompleks tanin-protein oleh ikatan hidrogen dalam kondisi pH basa. Kambing dapat
mengkonsumsi tanin terhidrolisasi sebanyak 10 g per hari dan tanin terkondensasi
sebanyak100-150 g per g per hari tanpa adanya tanda-tanda keracunan (Silanikove et
al., 1996).
Kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh
negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Tanin dapat
berikatan dengan dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim (Smith et al., 2005). Tanin juga
dapat berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan

ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen (Tanner et al., 1994). Keberadaan tanin
di sisi lain berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein
baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas
tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga
lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Kompleks ikatan tanin-protein
kemudian dapat lepas pada pH rendah di abomasum dan protein dapat didegradasi
oleh enzim pepsin sehingga asam-asam amino yang dikandungnya tersedia bagi
ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi
tingkat degradasi protein dalam rumen. Tanin terkondensasi dalam saluran
pencernaan ruminansia bermanfaat untuk meningkatkan daur ulang N di rumen dan
saliva (Reed, 1995). Adanya daur ulang tersebut meningkatkan sintesis protein
mikrobial di dalam rumen (Makkar, 2000).

Silase
Ensilase merupakan teknik penting dalam pengawetan bahan makanan ternak
menjadi hasil akhir yang dikenal dengan silase yang

menghasilkan kehilangan

nutrien dalam jumlah kecil (Adesogan, 2006). Proses ensilase juga dapat

menurunkan persentase HCN pada hijauan sebanyak 72,7%. Proses pengawetan
bahan makanan ternak melalui ensilase adalah berdasarkan prinsip proses fermentasi
dengan memanfaatkan keberadaan bakteri asam laktat yang mengubah karbohidrat

5

larut air (water soluble carbohydrates) menjadi produk utama asam laktat dalam
kondisi anaerob. Pada kondisi tersebut, asam laktat yang dihasilkan akan
mengakibatkan kondisi asam pada lingkungan anaerob (Adesogan et al., 2007).
Kondisi asam dengan pH