Pengembangan Sayur Kaleng Sebagai Alternatif Sumber Serat Untuk Pangan Darurat

PENGEMBANGAN PRODUK SAYUR KALENG SEBAGAI
ALTERNATIF SUMBER SERAT UNTUK PANGAN
DARURAT

DEWI EMILLIA BAHRY

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Sayur
Kaleng sebagai Alternatif Sumber Serat untuk Pangan Darurat adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Dewi Emillia Bahry
NIM F24110122

ABSTRAK
DEWI EMILLIA BAHRY. Pengembangan Sayur Kaleng sebagai Alternatif
Sumber Serat untuk Pangan Darurat. Dibimbing oleh FRANSISKA RUNGKAT
ZAKARIA dan ELVIRA SYAMSIR.
Produk sayur kaleng siap santap merupakan salah satu solusi untuk
memenuhi kebutuhan ragam pangan para korban bencana alam, khususnya dalam
pemenuhan kebutuhan serat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formula
kuah sayur yang disukai, kondisi proses termal yang sesuai untuk pengalengan
sayur serta mengetahui stabilitas produk sayur kaleng selama penyimpanan.
Bahan nabati yang diuji cobakan di dalam formula sayur kaleng adalah wortel,
labu siam dan kacang merah. Indikator keamanan produk sayur kaleng dilihat
berdasarkan nilai kecukupan panas pada saat proses sterilisasi. Karakteristik
produk sayur kaleng yang dievaluasi adalah tekstur, warna, komposisi kimia dan
atribut sensori. Profil kekerasan sayur dianalisis menggunakan Texture Analyzer

TA-XT2i, warna produk diuji menggunakan Chromameter Minolta, sedangkan
atribut sensori dievaluasi menggunakan uji rating hedonik dan deskriptif.
Stabilitas produk diamati menggunakan metode ASLT. Formula kuah sampel
yang terpilih adalah formula A yang memiliki preferensi rasa asin. Pengalengan
menggunakan tiga jenis komoditi sayur menunjukkan hasil yang tidak memuaskan
dari segi sensori maupun keamanan. Kacang merah akhirnya digunakan menjadi
bahan utama dikarenakan karakteristik fisiknya yang paling baik di antara dua
komoditi lainnya. Proses sterilisasi yang terpilih adalah proses sterilisasi pada
suhu 115 oC dengan waktu operasi 45 menit. Waktu venting dan coming up time
(CUT) proses berturut-turut adalah 7 dan 9 menit. Sampel kacang merah kaleng
yang disimpan selama enam minggu pada suhu ruang, 40 oC, 45 oC dan 50 oC
menunjukkan adanya perubahan kinetika pada atribut mutu tertentu. Atribut
organoleptik (aroma dan rasa) menunjukkan adanya korelasi yang baik pada kurva
perubahan mutu sebagai fungsi waktu dan kedua atribut dapat dijelaskan
menggunakan model ordo 0. Laju perubahan atribut rasa adalah yang paling
sensitif terhadap perubahan suhu. Produk sayur kaleng memiliki kandungan serat
11.4 gram per porsi dan mampu memenuhi 46 % AKG serat sehari-hari.

Kata kunci: pangan darurat, sayur kaleng, serat, pengalengan


ABSTRACT
DEWI EMILLIA BAHRY. Development of Canned Vegetable as an Alternative
of Fiber Source for Emergency Food Product. Supervised by FRANSISKA
RUNGKAT ZAKARIA and ELVIRA SYAMSIR.
The canned vegetable product is one of solution to meet the refugee needs
of variative foods, particularly in meeting their needs of fiber. The aim of this
research was to determine the preferred vegetable’s sauce recipes, a suitable
thermal process conditions for canning and to evaluate the product stability. The
vegetables used in this study were carrot, chayote and kidney bean. Product safety
was indicated by F0-value, while the product characteristics were described by
texture, color, chemical composition and sensory profile. The hardness of product
was measured with Texture Analyzer TA-XT2i, while color analysis was done
using Chromameter Minolta. Sensory profile was studied with hedonic rating and
descriptive test. Product stability was evaluated using ASLT method. Formula A
sauce with a salty taste preference was selected as the most preferred recipe.
Canning with three vegetable commodities showed an unsatisfied result based on
sensory and safety evaluation. Kidney bean became the only vegetable used since
its physical characteristic was the best among other commodities. The chosen
thermal process conditions for kidney beans based on the safety aspect and
consumer acceptance was the sterilization at a temperature of 115 °C with 45

minutes operating time. Venting time and CUT of process were 7 and 9 minutes
consecutively. Samples of canned kidney beans stored for six weeks at room
temperature, 40 °C, 45 oC and 50 °C indicated a change in the kinetics of specific
quality attributes. Organoleptic attributes, which were aroma and taste, showed a
good correlation toward the curve of quality changes as a function of time and
both of them can be explained using the zero-order regression. The flavor attribute
was the most sensitive characteristic toward the temperature changes. The canned
vegetable contained 11.4 gram of fiber and fulfilled 46 % daily need of fiber
consumption.

Keywords: emergency food product, canned vegetable, fiber, canning

PENGEMBANGAN SAYUR KALENG SEBAGAI
ALTERNATIF SUMBER SERAT UNTUK PANGAN
DARURAT

DEWI EMILLIA BAHRY

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul Pengembangan Sayur Kaleng sebagai Alternatif Sumber Serat untuk
Pangan Darurat. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Fransisca Rungkat Zakaria MSc. dan Dr. Elvira Syamsir, STP,
MSi. selaku pembimbing yang memberi arahan dan motivasi, serta Dian
Herawati, STP, MSi. yang telah banyak memberi saran selama masa
penelitian.
2. Kementerian riset teknologi dan pendidikan tinggi yang telah memberikan

bantuan melalui dana penelitian strategis aplikatif (PSA) 2015.
3. Pak Nur, pak Gatot, ibu Sri, ibu Antin, pak Yahya, mbak Ulfa, mbak Yuli,
pak Rojak, mbak Irin dan mbak Ririn selaku teknisi laboratorium yang telah
banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.
4. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis.
5. Mama, ayah, bang Ridwan dan bang Ricky selaku keluarga yang selalu
memberi dukungan moril selama masa penelitian.
6. Desi dan Manaf selaku teman satu dosen pembimbing serta Maria dan Bagus
selaku teman satu proyek penelitian yang saling bahu membahu dalam
penyelesaian skripsi.
7. Mima, Rizki, Rizka, Citra, Muji, Sarah, Brahma, Ifa, Chevia, DPPI Himitepa
beserta seluruh teman-teman ITP 48 yang menemani dan mendukung selama
masa-masa awal penulisan hingga skripsi ini selesai.
Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu dan teknologi pangan.

Bogor, April 2016
Dewi Emillia Bahry


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

xi
xi
xii
1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Pangan Darurat

2

Sayuran

3

Proses Pengalengan

4

Sterilitas Proses Pengalengan


5

Pengaruh Suhu Tinggi terhadap Sayuran

7

METODE

8

Bahan

8

Alat

8

Metode Penelitian


8

Penelitian Tahap 1 : Pencarian resep formula kuah yang disukai

9

Penelitian Tahap 2 : Penentuan waktu proses termal dengan tiga jenis
komoditi sayur

10

Penelitian Tahap 3 : Penetapan prosedur dan waktu proses termal kacang
merah kaleng

16

Penelitian Tahap 4 : Pengujian stabilitas produk sayur kaleng

16


Metode Analisis

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

22

Formula sayur yang disukai

22

Penentuan waktu proses termal dengan tiga jenis komoditi sayur

23

Penetapan prosedur dan waktu proses termal kacang merah kaleng

28

* Sampel yang diuji adalah sampel kacang merah sebelum dan setelah
dikalengkan

34

Stabilitas produk sayur kaleng

34

SIMPULAN DAN SARAN

44

Simpulan

44

Saran

45

DAFTAR PUSTAKA

45

LAMPIRAN

49

DAFTAR TABEL
1 Syarat jumlah kandungan nutrien produk pangan darurat
2 Formula produk sayur sampel A dan sampel B
3 Nilai ohue dan daerah kisaran warna kromatis
4 Hasil analisis warna sampel sayur kaleng dengan waktu operasi 15
menit dan 25 menit
5 Karakteristik fisik dan sensori sampel sampel kacang merah kaleng
dengan waktu operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2)
6 Hasil analisis proksimat sampel kacang merah sebelum perlakuan
pengalengan dan setelah dikalengkan
7 Nilai r2 dan persamaan ordo 0 dan 1 dari perubahan parameter atribut
sensori sebagai fungsi dari waktu
8 Nilai r2 dan persamaan ordo 0 dan 1 dari perubahan parameter
kekerasan sebagai fungsi dari waktu
9 Nilai r2 dan persamaan ordo 0 dan 1 dari perubahan parameter atribut
warna sebagai fungsi dari waktu
10 Persamaan arhenius dan nilai Ea dari parameter aroma dan rasa
11 Hasil analisis serat pada kacang merah
12 Informasi nilai gizi kacang merah kaleng

3
10
20
26
30
34
40
40
41
41
43
44

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Alur penelitian pengembangan sayur kaleng sebagai alternatif sumber
serat untuk pangan darurat
Variasi ukuran wortel (Wb: ukuran besar, Wm: ukuran medium, Wk:
ukuran kecil)
Variasi ukuran labu siam (Lb: ukuran besar, Lm: ukuran medium, Lk:
ukuran kecil)
Alur proses produksi wortel kaleng (W)
Alur proses produksi labu siam kaleng (L)
Alur proses produksi kacang merah kaleng (K)
Hubungan antara lethal rate (LR) dan waktu (Δt)
Contoh kurva hubungan waktu dan respon pada suhu inkubasi sampel
sayur kaleng
Hasil uji rating hedonik pemilihan resep formula sayur dengan atribut
overall (A: formula kuah asin dan B: formula kuah manis)
Grafik distribusi panas di dalam retort pada beberapa titik
(termokopel 1 (T1) hingga termokopel 10 (T10)
Hasil analisis deskripsi kekerasan sampel wortel dan labu siam
Kurva penetrasi panas pada wortel (Wm), labu siam (Lm) dan kacang
merah (K) dengan waktu operasi 15 menit (A) dan 25 menit (B)
Nilai F0 produk sayur kaleng dengan waktu operasi 15 dan 25 menit
(Wm : wortel kaleng, Lm : labu siam, K: kacang merah)
Hasil analisis tekstur wortel (Wm), labu siam (Lm) dan kacang merah

9
11
12
13
14
15
17
21
22
23
24
24
25

15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

(K) kaleng dengan waktu operasi 15 menit dan 25 menit
Alur proses produksi kacang merah kaleng modifikasi
Kurva penetrasi panas sampel kacang merah kaleng dengan waktu
operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2)
Diagram spider-web hasil uji deskriptif sampel kacang merah kaleng
dengan waktu operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2)
Hasil uji rating hedonik sampel kacang merah kaleng dengan waktu
operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2) pada atribut overall
Kurva perubahan atribut aroma sampel kacang merah kaleng selama
proses penyimpanan
Kurva perubahan atribut warna sampel kacang merah kaleng selama
proses penyimpanan
Kurva perubahan atribut rasa sampel kacang merah kaleng selama
proses penyimpanan
Kurva perubahan atribut tekstur sampel kacang merah kaleng selama
proses penyimpanan
Kurva perubahan atribut kekerasan sampel kacang merah kaleng
selama proses penyimpanan
Kurva perubahan nilai L sampel kacang merah kaleng selama proses
penyimpanan
Kurva perubahan nilai a sampel kacang merah kaleng selama proses
penyimpanan
Kurva perubahan nilai b sampel kacang merah kaleng selama proses
penyimpanan
Kurva perubahan nilai hue sampel kacang merah kaleng selama
proses penyimpanan
Kurva arhenius parameter aroma dan rasa

26
28
30
33
33
35
35
36
36
37
37
38
38
39
42

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis uji hedonik pemilihan formula sayur menggunakan
SPSS
2 Lembar uji rating hedonik
3 Hasil analisis deskripsi kekerasan wortel berukuran kecil (Wk),
medium (Wm) dan besar (Wb) menggunakan SPSS
4 Hasil analisis deskripsi kekerasan labu siam berukuran kecil (Lk),
medium (Lm) dan besar (Lb) menggunakan SPSS
5 Hasil analisis SPSS kekerasan pada kacang merah kaleng dengan
waktu operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2)
6 Hasil analisis SPSS nilai L pada kacang merah kaleng dengan waktu
operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2)
7 Hasil analisis SPSS nilai a pada kacang merah kaleng dengan waktu
operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2)
8 Hasil analisis SPSS nilai b pada kacang merah kaleng dengan waktu
operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2)
9 Hasil analisis SPSS nilai hue pada kacang merah kaleng dengan
waktu operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2)

49
50
51
52
53
53
54
55
55

10 Hasil uji hedonik pemilihan kacang merah kaleng dengan waktu
operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2) menggunakan SPSS
11 Hasil data uji kadar air kacang merah sebelum dikalengkan (S) dan
sesudah dikalengkan (K)
12 Hasil data uji kadar abu kacang merah sebelum dikalengkan (S) dan
sesudah dikalengkan (K)
13 Hasil data uji kadar protein kacang merah sebelum dikalengkan (S)
dan sesudah dikalengkan (K)
14 Hasil data uji kadar lemak kacang merah sebelum dikalengkan (S)
dan sesudah dikalengkan (K)
15 Hasil data uji karbohidrat (by difference) kacang merah sebelum
dikalengkan (S) dan kacang merah kaleng (K)
16 Hasil analisis SPSS kadar air (BB) sampel kacang merah sebelum
dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K)
17 Hasil analisis SPSS kadar air (BK) sampel kacang merah sebelum
dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K)
18 Hasil analisis SPSS kadar abu (BB) sampel kacang merah sebelum
dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K)
19 Hasil analisis SPSS kadar abu (BK) sampel kacang merah sebelum
dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K)
20 Hasil analisis SPSS kadar protein (BB) sampel kacang merah
sebelum dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K)
21 Hasil analisis SPSS kadar protein (BK) sampel kacang merah
sebelum dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K)
22 Hasil analisis SPSS kadar lemak (BB) sampel kacang merah sebelum
dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K)
23 Hasil analisis SPSS kadar lemak (BK) sampel kacang merah sebelum
dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K)
24 Hasil analisis SPSS karbohidrat by difference (BB) sampel kacang
merah sebelum dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K)
25 Lembar uji deskriptif
26 Hasil analisis SPSS serat tak larut sampel kacang merah kaleng
sebelum dikalengkan (S), sesudah dikalengkan (K), sampel kacang
merah kaleng yang diinkubasi selama 6 minggu pada suhu ruang (A),
40 oC (B), 45 oC (C) dan 50 oC (D)
27 Hasil analisis SPSS serat larut sampel kacang merah kaleng sebelum
dikalengkan (S), sesudah dikalengkan (K), sampel kacang merah
kaleng yang diinkubasi selama 6 minggu pada suhu ruang (A), 40 oC
(B), 45 oC (C) dan 50 oC (D)
28 Hasil uji stabilitas warna selama 6 minggu
29 Hasil uji stabilitas kekerasan selama 6 minggu

56
58
59
60
61
62
63
63
64
65
65
66
67
67
68
69

70

71
71
73

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bencana alam merupakan insiden yang kerap terjadi di kawasan Republik
Indonesia. Kondisi bumi yang menua serta ketidak acuhan dalam merawat
lingkungan hidup merupakan faktor penunjang terjadinya bencana alam. Menurut
Badan Pusat Statistik (2015), selama tiga tahun terakhir telah terjadi beragam
bencana alam yang menimpa desa-desa di wilayah Indonesia. Selama tiga tahun
terakhir ini, sekitar 7861 desa mengalami tanah longsor, 7143 desa mengalami
angin puting beliung, 3827 desa mengalami gempa bumi, 1478 desa mengalami
banjir bandang dan 16 desa mengalami tsunami. Efek paling nyata pasca bencana
alam ini adalah kurangnya pemenuhan kebutuhan primer para korban. Sektor
primer yang sering mengalami kelangkaan pasca bencana alam adalah kebutuhan
pangan.
Mayoritas, produk pangan yang kerap disumbangkan untuk para korban
bencana alam adalah mi instan. Kepraktisan pangan olahan ini dinilai berguna
untuk situasi darurat di tenda pengungsian. Di sisi lain, produk olahan ini baru
mampu memenuhi asupan karbohidrat para korban bencana alam. Keterbatasan
energi, sumber daya dan fasilitas di tenda pengungsian tidak memungkinkan
untuk tersedianya variasi pangan yang bisa memenuhi kebutuhan nutrisi para
korban bencana alam secara penuh. Pengembangan produk pangan darurat yang
dapat memenuhi kebutuhan ragam pangan para korban bencana alam pun mulai
dirasa penting untuk dikaji lebih dalam.
Menurut Zoumas et al. (2002), pangan darurat atau emergency food product
adalah makanan yang memiliki energi dan densitas gizi tinggi untuk korban
bencana alam yang dapat dikonsumsi segera pada keadaan darurat. Merunut dari
jenis pangan darurat yang pernah diteliti, biskuit atau food bar merupakan salah
satu bentuk pangan darurat populer yang sering dikembangkan. Namun, warga
Indonesia yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok, cenderung belum
terbiasa dengan pangan utama berwujud selain nasi. Hal ini memberi sedikit
kendala dalam pengaplikasian pangan darurat berwujud food bar secara massal di
Indonesia. Pengembangan produk pangan yang telah lazim dikonsumsi serta
sesuai dengan preferensi umum masyarakat Indonesia perlu digiatkan guna
memperoleh pangan darurat aplikatif yang sesuai dengan budaya dan selera
masyarakat Indonesia. Paket lengkap berupa nasi, lauk serta sayur siap santap
merupakan alternatif produk pangan darurat yang layak diteliti mengingat
kebiasaan pola makan penduduk Indonesia.
Produk food bar yang diteliti oleh Zoumas et al. (2002) cenderung menekan
jumlah serat yang dimiliki produk agar diperoleh food bar berenergi tinggi. Di sisi
lain, pemenuhan kebutuhan serat masih diperlukan oleh tubuh. Paket pangan
darurat yang dipecah menjadi tiga komponen produk bisa memenuhi kebutuhan
energi tanpa mengabaikan kebutuhan serat. Sayur adalah salah satu komponen
pangan pendukung pola makan sehat. Sayur mengandung serat, mineral, vitamin
maupun komponen bioaktif yang dibutuhkan oleh tubuh (Patricia et al. 2014).
Keterbatasan air dan bahan sayur bersih membuat peluang ketersediaan olahan

2

sayur di tenda darurat tergolong kecil. Oleh karena itu, sayur sebagai sumber serat
siap santap diperlukan dalam paket pangan darurat.
Ketersediaan produk sayur siap santap merupakan salah satu solusi untuk
memenuhi kebutuhan ragam pangan para korban bencana alam. Proses
pengalengan mampu membantu produk olahan untuk memiliki umur simpan yang
panjang. Metode pengalengan pun telah umum digunakan sebagai pengawetan
sayur. Oleh karena itu, sayur kaleng adalah bentuk produk yang sesuai untuk
memperoleh sayur siap santap yang praktis dan tahan lama. Sayur umumnya
tergolong sebagai pangan berasam rendah. Metode proses termal serta
pengalengan secara hermetis dibutuhkan untuk menangani produk sayur kaleng
ini. Kajian terhadap formula sayur, metodologi pengalengan serta stabilitas
produk akan memberikan dampak positif terhadap pengembangan alternatif
pangan praktis guna tersedianya keragaman pangan bagi para korban bencana
alam.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formula kuah yang disukai,
kondisi proses termal yang sesuai untuk pengalengan sayur serta mengetahui
stabilitas produk sayur kaleng selama penyimpanan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk pengembangan sayur kaleng
yang bermutu baik pada skala besar dan dapat dijadikan sebagai alternatif serat
untuk pangan darurat.

TINJAUAN PUSTAKA
Pangan Darurat
Pangan darurat atau emergency food product adalah makanan yang
memiliki energi dan densitas gizi tinggi untuk korban bencana alam yang dapat
dikonsumsi segera pada keadaan darurat (Zoumas et al. 2002). Produk pangan
darurat adalah produk yang dirancang untuk situasi genting yang notabene sulit
akan akses pangan bersih. Produk ini diekspektasikan untuk digunakan hingga
maksimal selama 15 hari. Pangan darurat yang ideal mampu diaplikasikan dan
diterima di berbagai latar belakang budaya (USAID 2015). Menurut Zoumas et al.
(2002), karakteristik penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
produk pangan darurat adalah keamanan, penerimaan sensori, kemudahan
distribusi, kemudahan penggunaan dan kelengkapan nutrisi. Food bar adalah
salah satu bentuk pangan darurat yang paling populer dikembangkan. Food bar
merupakan produk makanan padat yang biasa dibentuk menyerupai batang.
Kemudahan pembuatan produk, pengemasan serta distribusi food bar membuat
produk ini sering dikaji guna pengembangan produk pangan darurat. Kandungan
makronutrien pada food bar dirancang untuk memenuhi kebutuhan energi per hari
sebesar 2100 kkal sesuai dengan standar produk pangan darurat yang berlaku.

3

Tabel 1 Syarat jumlah kandungan nutrien produk pangan darurat
Nutrien

Kandungan nutrien (% dari kalori total)

Lemak

35 – 45

Protein

13.5 – 15

Karbohidrat

40 – 50

Sumber : Zoumas et al. (2002)
Rincian komposisi karbohidrat pada pangan darurat antara lain mampu
menyumbang energi sebesar 40 – 50 % dengan syarat minimum 50 % energi
berasal dari pati, monosakarida yang terkandung tidak lebih dari 25 % serta tidak
ada penambahan serat ke dalam produk. Kandungan serat pada produk food bar
cenderung dibatasi untuk menghasilkan produk pangan darurat dengan energi
setinggi mungkin. Prototipe pangan darurat perlu diuji organoleptiknya dan harus
menerima skor hedonik sebesar sama atau lebih dari 6 dengan skala 9 atau setara
untuk dianggap layak dari sisi penerimaan konsumen (Zoumas et al. 2002).
Sayuran
Sayur adalah salah satu komponen pangan pendukung pola makan sehat.
Sayur mengandung serat, mineral, vitamin maupun komponen bioaktif yang
diperlukan oleh tubuh (Patricia et al. 2014). Dua jenis komoditi sayur yang cukup
tinggi penggunaannya menurut Susenas (2012) antara lain wortel dan labu siam.
Penggunaan wortel sebagai bahan makanan mengalami peningkatan sejak tahun
2007 – 2011 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7.67 %. Penggunaan labu siam
sebagai bahan makanan mengalami peningkatan sejak tahun 2007 – 2011 dengan
rata-rata pertumbuhan sebesar 4.47 %. Selain tren konsumsinya yang cukup
tinggi, wortel dan labu siam segar pun memiliki kandungan serat yang cukup baik
yaitu sebesar 3.6 dan 1.7 gram per 100 gram bahan (USDA 2015) . Menurut
Badan Pusat Statistik (2011), produksi kacang merah di Indonesia tergolong
lumayan tinggi, yaitu mencapai 116.397 ton pada tahun 2010. Kacang merah
merupakan sumber protein nabati dan mengandung serat tidak larut yang tinggi
serta mengandung oligosakarida seperti rafinosa dan stakiosa (Zakaria dan
Soesanto 1996). Total kadar serat pangan komoditi kacang merah segar adalah
sebesar 24.9 gram per 100 gram bahan (USDA 2015). Oleh karena kandungan
nutrisi serta tren konsumsi yang cukup tinggi, ketiga bahan makanan ini potensial
untuk dijadikan alternatif serat pada produk sayur kaleng.
Labu siam (Sechium edule) umum digunakan sebagai jenis sayuran dan
memiliki kandungan pektin yang cukup tinggi, yaitu sekitar 6.7 % (Daryono
2013). Pektin adalah substansi utama pembentuk struktur keras dan padat pada
tumbuhan. Pektin yang merupakan komponen utama pada lamela tengah
memainkan peran penting selama proses adesi intersel dan juga berkontribusi
pada kekuatan mekanik dinding sel. Selama proses pengolahan, substansi pektin
lebih mudah terbawa oleh larutan dibandingkan polimer dinding sel lainnya
sehingga menyebabkan terjadinya degradasi tekstur (Abu-Ghannam 2006).
Penelitian Maity et al. (2013) terhadap ekstrak labu siam menggunakan etanol

4

menunjukkan bahwa komponen fitokimia utama yang terkandung pada labu siam
adalah flavonoid dan saponin. Komponen flavon yang terdeteksi pada sampel labu
siam hijau adalah myricetin dengan jumlah sebesar 756.13 ± 49.99 μg/g DW
(Chao et al. 2014).
Wortel (Daucus carota L.) merupakan salah satu komoditi sayuran yang
paling diminati karena kaya akan komposisi nutrisi seperti fitonutrien, serat
pangan dan mineral. Kehadiran komponen fenolik di dalam wortel memberi
kontribusi dari segi sensori, khususnya warna wortel. Wortel mentah yang
diekstrak menggunakan etanol memiliki jumlah total fenolik sebesar 84 ± 0.96 mg
(GAE) / 100 g jaringan segar (Goncalves 2010). Karotenoid dan antosianin
adalah pigmen utama yang ditemukan pada wortel. Perbedaan kultivar pada
wortel tergantung pada jenis pigmen yang terkandung di masing-masing wortel.
Karotenoid adalah senyawa fitokimia yang memberi warna kuning, oranye atau
kemerahan dan biasa ditemukan di kebanyakan kultivar wortel oranye dan kuning.
Wortel oranye yang lazim digunakan mengandung α – dan β - karoten yang tinggi
serta merupakan sumber provitamin A yang baik (Silva 2014). Wortel pun
memiliki kombinasi yang unik dari tiga flavonoid, yaitu kaempferol, quercetin
dan luteolin serta mengandung komponen fenol lainnya seperti klorogenat, kafeat,
dan asam p-hidroksibenzoat bersama dengan berbagai turunan asam sinamat
(Silva 2014).
Kacang merah atau biasa disebut kidney bean (Phaseolus vulgaris L.)
mengandung banyak nutrisi, yaitu protein (20 – 30 %), karbohidrat (50 – 60 %)
serta mengandung vitamin, mineral yang cukup dan memiliki kandungan lemak
yang rendah, yaitu berkisar 1 – 2 % dalam bobot kering (MM Pedrosa et al.
2015). Karakter properti pada kacang merah secara umum dikaitkan dengan
kehadiran asam fenolik, flavonol, isoflavon, flavon, antosianin dan condensed
tannin (Tiwari & Singh 2012 ; Xu et al. 2007).
Proses Pengalengan
Salah satu metode peningkatan umur simpan produk pangan adalah
dengan cara pengalengan. Pengertian pengalengan bukan hanya terbatas pada
proses pengalengan konvensional menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga
menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort pouch (Murniyati 2009),
tetrapack, kaleng alumunium, gelas jar, kemasan plastik, dan sebagainya. Prinsip
proses pengalengan pangan antara lain meliputi persiapan alat dan bahan,
pengisian bahan, exhausting, pengeliman, proses sterilisasi, dan pendinginan
(Muchtadi 1994).
Persiapan alat dan bahan terdiri atas penerimaan bahan baku, proses
pembersihan bahan pangan maupun perlakuan pendahuluan untuk jenis pangan
tertentu seperti pengupasan kulit untuk buah-buahan atau pemotongan bahan
pangan menjadi ukuran yang diinginkan. Blansir juga merupakan salah satu
perlakuan pendahuluan yang cukup penting. Metode ini memiliki beberapa tujuan,
diantaranya adalah menyusutkan volume bahan, memudahkan pengepakan bahan
ke dalam wadah kemasan, mengurangi gas (oksigen) di dalam jaringan,
mengurangi kontaminasi awal mikroba serta menginaktifkan enzim. Blansir
biasanya dilakukan dengan memanaskan sayuran pada uap atau air panas selama 1

5

– 10 menit pada suhu kisaran 75 – 95 oC dengan ketentuan kombinasi waktu dan
suhu tergantung pada jenis sayuran (Canon 1996).
Pengisian bahan harus dilakukan secara baik dan tertata ke dalam kaleng
yang bersih. Pengisian bisa diterapkan menggunakan cara manual, mesin semi
otomatis maupun mesin otomatis. Saat mengisi bahan, kita perlu memperhatikan
head space. Head space adalah ruang antara permukaan bahan dengan tutup
kaleng. Ruang ini diadakan untuk membantu proses pengeluaran gas dari dalam
kaleng. Besarnya ruang head space bergantung pada jenis bahan pangan dan
kemasan. Jenis pangan cair dalam kaleng membutuhkan ruang head space kirakira sebesar 0.25 inci. Bila pangan tersebut dikemas menggunakan gelas jar, akan
memerlukan ruang head space yang lebih besar lagi. Bila pangan tersebut
menggunakan suatu medium pemanasan, ruang head space tidak boleh kurang
dari 0.25 inci. Bila tidak menggunakan medium pemanasan, bahan pangan
diperbolehkan untuk diisi hingga hampir penuh memenuhi kemasan dengan
meninggalkan sedikit ruang untuk head space (Muchtadi 1994). Ruang head
space digunakan untuk ruang mengembang bagi isi di dalam kaleng.
Exhausting adalah proses pengeluaran gas atau udara dari dalam kaleng
sehingga keberadaan oksigen yang diduga sebagai pemicu reaksi oksidasi bisa
dihambat. Setelah keluar dari exhaust box, suhu yang diharapkan dimiliki oleh
produk adalah berkisar 70o C (Muchtadi 1994). Pengeliman dilakukan tepat
setelah proses exhausting. Kondisi hermetis pada pengalengan merupakan salah
satu kunci mutu dan keamanan produk kaleng, Proses pun dilanjutkan menuju
proses sterilisasi yang yang diakhiri dengan proses pendinginan.
Sterilitas Proses Pengalengan
Waktu dan suhu pada proses termal ditentukan oleh nilai pH produk,
ketahanan mikroba target terhadap panas, ukuran dan tebal kemasan yang
digunakan serta jenis pangan dalam produk. Umumnya, penentuan jenis proses
termal didasarkan pada dua golongan produk, yaitu produk berasam tinggi dan
produk berasam rendah. Produk berasam tinggi memiliki nilai pH sama atau
kurang dari 4.6. Semakin tinggi keasaman suatu produk, tingkat ketahanan produk
terhadap serangan mikroba pembusuk pun meningkat. Produk berasam tinggi
tidak perlu mengkhawatirkan mikroba indikator proses sterilisasi, yaitu
Clostridium botulinum karena mikroba tersebut tidak mampu bertahan di dalam
kondisi asam. Oleh karena itu, proses pasteurisasi dapat dilakukan untuk produk
berasam tinggi. Produk berasam rendah, yaitu produk dengan nilai pH lebih dari
4.6 dan aw lebih dari 0.85, memerlukan perhatian yang lebih intensif. Hal ini
dikarenakan produk ini memiliki kondisi optimum yang disukai oleh bakteri
penyebab botulisme. Botulisme adalah peristiwa intoksikasi atau peristiwa
tertelannya toksin yang dihasilkan oleh bakteri C. botulinum. Gejala botulisme
biasanya tampak 12 – 36 jam setelah menelan toksinnya. Toksin tersebut akan
menyerang sistem saraf dan menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Gejala dini
yang dapat disebutkan antara lain : kelelahan, pandangan kabur dan ganda diikuti
dengan kesulitan menelan, bercakap-cakap dan bernafas. Paralisa atau
kelumpuhan berjalan progresif sampai penderita mati (Winarno 2004). Produk
berasam rendah memerlukan proses sterilisasi komersil untuk melindungi produk

6

dari serangan mikroba. Sterilisasi komersial adalah proses penghilangan semua
mikroba pembusuk yang ada pada produk. Suhu sterilisasi yang dibutuhkan untuk
menangani spora C. botulinum yang sangat resisten terhadap pemanasan adalah
kisaran 115 – 133 oC (Winarno 2004).
Umumnya, sterilisasi komersial pada suhu 121oC atau 250o F selama 15
menit mampu mendestruksi mikroba pembusuk serta spora bakteri yang mungkin
terkandung dalam produk. Namun, fluktuasi suhu pada proses pemanasan
sangatlah mungkin terjadi sehingga diperlukan waktu pemanasan yang lebih lama.
Beberapa parameter penting yang perlu diketahui dalam proses sterilisasi adalah
nilai D, nilai Z dan nilai F0. Nilai D merupakan waktu yang dibutuhkan dalam
menit untuk menghilangkan mikroba sebesar satu siklus log atau 90%. Target
pembunuhan proses termal sering dinyatakan dalam satuan reduksi desimal
mikroba, misalnya 12D untuk target sterilisasi yang artinya reduksi mikroba
sebanyak 12 siklus logaritma atau reduksi 1 menjadi 10-12. Nilai Z merupakan
perubahan suhu yang diperlukan untuk menurunkan atau menaikkan nilai D. Nilai
F0 merupakan jumlah waktu dalam menit pada suhu 121.1 oC yang setara dengan
efektifitas pemanasan dari suatu proses yang sedang dievaluasi pada suhu tertentu
yang aktual (Winarno 2004). Nilai F0 ini diperlukan untuk mengukur derajat
kecukupan panas suatu proses. Pengukuran nilai F0 bisa menggunakan berbagai
metode, diantaranya adalah metode umum dan metode fomula. Metode paling
sederhana adalah metode umum. Bila data mengenai profil penetrasi panas pada
titik terdingin sampel telah diketahui melalui eksperimen maupun teori, lethal rate
(L) dapat dikalkulasikan menggunakan suatu persamaan dan di plotkan ke dalam
sebuah fungsi waktu. Nilai F0 diperoleh melalui penentuan luas area di bawah
kurva lethal rate. Metode ini seringkali disebut metode trapesium karena
penghitungan luas di bawah kurva yang serupa dengan bentuk trapesium (YH Hui
2005). Lethal rate adalah suatu laju destruksi yang memperhitungkan derajat
ketahanan mikroba terhadap suhu tertentu (nilai D) serta daya tahan relatif
mikroorganisme pada suhu-suhu destruktif (nilai Z). Pada proses penentuan nilai
L ini, suhu sterilisasi yang dijadikan standar adalah 121.1 oC atau 250 oF.
Dalam kasus sterilisasi komersil, mikroba yang menjadi indikator
kecukupan proses termal pangan berasam rendah adalah Clostridium botulinum.
Nilai F0 yang diperlukan untuk memusnahkan spora bakteri C. botulinum adalah
minimal sebesar 2.52. Menurut FAO (2007), dengan mempertimbangkan sisi
mikrobiologi dan keamanan, rekomendasi nilai F0 untuk produk kaleng sterilisasi
secara umum adalah sebesar 4.0 - 5.5. Pangan kaleng yang diproses dengan
kisaran nilai F0 tersebut dapat memiliki umur simpan hingga 4 tahun dengan
kondisi penyimpanan pada suhu sama atau kurang dari 25 oC. Namun, di negara
tropis, suhu penyimpanan produk cenderung sering lebih besar dari 25 oC
sehingga produk kaleng yang spesifik untuk kondisi tropis pun perlu diproduksi.
Nilai F0 vang direkomendasikan untuk pembuatan proses kaleng di negara tropis
berkisar antara 12 - 15 sehingga produk mampu tetap aman dengan kondisi
penyimpanan pada suhu hingga 40 oC (FAO 2007).

7

Pengaruh Suhu Tinggi terhadap Sayuran
Perlakuan termal yang biasa digunakan dalam proses pengalengan
menyebabkan penurunan tekstur yang signifikan. Efek termal terhadap tekstur
dari bahan nabati, seperti wortel, labu siam dan kacang merah secara umum
dikaitkan dengan kondisi pektin pada masing-masing pangan nabati. Seiring
dilakukannya proses termal pada sayur-sayuran, pektin terdegradasi serta terlarut
dari dinding sel dan lapisan antar sel (lamela tengah) yang berdekatan. Fenomena
ini mengakibatkan hilangnya adesi antar sel dan penurunan lebih lanjut pada
kekerasan jaringan (Abu-Ghannam 2006).
Proses termal pada wortel yang dilakukan oleh Vervoort et al. (2012)
menunjukkan terjadinya penurunan kualitas warna wortel. Penurunan kualitas
warna ini dipengaruhi oleh perubahan profil serta total karotenoid yang
terkandung di dalam wortel. Suhu tinggi yang digunakan pada sterilisasi komersil
mampu mendestruksi karoten karena strukturnya yang tidak jenuh sehingga rentan
terhadap isomerisasi dan oksidasi. Vervoort et al. (2012) menunjukkan adanya
korelasi positif antara nilai b wortel dengan total karotenoid, α- dan β- karoten
serta berkorelasi negatif dengan tiga cis-isomer dari β- karoten. Di sisi lain, nilai a
hanya memiliki korelasi negatif dengan tiga cis-isomer dari β- karoten. Nilai L
mengalami penurunan yang signifikan selama proses termal, namun penurunan ini
tidak menunjukkan adanya korelasi terhadap perubahan profil karotenoid.
Proses menggunakan suhu tinggi dilakukan oleh Lopez et al. (2013)
selama 60 menit dengan mendidihkan dark bean (Phaseolus vulgaris L) yang
kemudian memicu penurunan kadar komponen fenolik pada sampel. Proses termal
menggunakan suhu tinggi dan waktu yang lama mampu merusak komponen
tertentu pada kacang merah yang berakibat terjadinya degradasi warna. Beninger
& Hosfield (2003) mengisolasi dan mengidentifikasi komponen flavonoid yang
berkontribusi terhadap warna pada kacang merah. Warna merah yang dihasilkan
disebabkan oleh kehadiran prosianidin B2, C1 dan C2. Kandungan asam fenolik
pun diduga memberi kontribusi pada warna kacang merah. Han Kyu-Ho et al.
(2015) melakukan karakterisasi kandungan antosianin dan proantosianidin pada
adzuki bean dan meyimpulkan bahwa komponen yang berkontribusi pada warna
adalah proantosianidin.
Dinding sel tumbuhan terdiri dari tiga lapisan yang berbeda yaitu dinding
sel pertama, kedua dan lapisan antar sel (lamela tengah). Kandungan utama
dinding sel pertama adalah polisakarida hemiselulosa, selulosa, senyawa pektat
dan beberapa glikoprotein. Pada dinding sel kedua adalah selulosa, lignin dan
hemiselulosa, sedangkan pada lamella tengah adalah senyawa pektat. Hal ini
menunjukkan bahwa komponen utama serat pangan adalah selulosa, hemiselulosa,
lignin dan senyawa pektat, sedangkan komponen lainnya seperti glikoprotein,
glikolipid, musilase maupun fitat terdapat dalam jumlah kecil (Yuanita 2006).
Perlakuan suhu tinggi akan memberi efek yang berbeda terhadap masing-masing
serat. Pektin adalah komponen serat yang paling terpengaruh oleh perlakuan suhu
tinggi. Suhu proses yang tinggi menginisiasi terjadinya peningkatan reaksi
eliminasi β dan depolimerisasi yang juga menyebabkan derajat kelarutan serat
meningkat (Sila et al. 2006). Perlakuan suhu tinggi pun membuat pati resisten
mengalami peningkatan kemudahan cerna (Rehman dan Shah 2005).

8

METODE
Bahan
Proses produksi sayur yang akan dikalengkan menggunakan beberapa
bahan, yaitu sampel wortel, labu siam dan kacang merah (kacang jogo) sebagai
bahan utama beserta garam, gula, air dan bumbu rempah yang dibeli di toserba
wilayah Dramaga. Kaleng yang digunakan pada penelitian ini adalah two piece
drawn can dengan material TFS atau tin free steel berdimensi 307 x 113 produksi
PT. United Can Company Limited, Indonesia.
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain HCl 25%, akuades,
heksana, K2SO4, HgO, H2SO4, H2BO3, Na2S2O3.5H2O, indikator merah metilenbiru metilen, HCl 0.02 N, buffer fosfat pH 6 , termamil, pankreatin dan protease
merk sigma, HCl 4 M, NaOH 4M, etanol 94%, etanol 78% dan aseton.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan produk sayur adalah panci,
neraca digital, saringan, talenan, piring, pisau, sendok dan centong, sedangkan
instrumen proses pengalengannya antara lain blancher, exhauster, dan seamer
(Armfield, UK), beserta retort (Korimat, Jerman).
Peralatan yang digunakan dalam menganalisis parameter uji pada penelitian
ini antara lain texture analyzer TA XT-2i, chromameter (Minolta, Jepang),
kjeldahl, buret, soxhlet, oven, tanur, neraca analitik, ruang asam, penyaring
vakum, waterbath dengan shaker, pH meter, kertas saring, cawan aluminium,
cawan porselen, labu lemak, labu kjeldahl, penangas, erlenmeyer, labu takar, pipet
volumetrik, gelas ukur, whatmann 43, pipet dan gelas kimia.
Metode Penelitian
Tahap penelitian dibagi menjadi empat bagian (Gambar 1), yaitu
penentuan resep formula kuah yang disukai, penentuan waktu proses termal
dengan tiga jenis komoditi sayur, penetapan prosedur dan waktu proses termal
kacang merah kaleng serta pengujian stabilitas produk selama penyimpanan.

9

Penelitian tahapan I
Pencarian formula kuah
yang disukai
Perlakuan
- Dua variasi formula kuah
(preferensi asin : A dan
preferensi manis : B)
Parameter uji
- Nilai kesukaan secara
overall (rating hedonik)

Penelitian tahapan II
Penentuan waktu proses
termal dengan tiga jenis
komoditi sayur
Perlakuan :
- Tiga variasi ukuran wortel
- Tiga variasi ukuran labu
siam
- Dua variasi operating time
Parameter uji :
- Nilai F0 (metode umum)
- Kekerasan
- Warna

Penelitian tahapan III
Penetapan prosedur dan
waktu proses termal kacang
merah kaleng
Perlakuan :
- Dua variasi operating time
Parameter uji :
- Nilai F0
- Kekerasan
- Warna
- Nilai kesukaan secara
overall (rating hedonik)
- Deskripsi atribut
- Kandungan kimia
(proksimat)

Penelitian tahapan IV
Pengujian stabilitas produk
sayur kaleng
Perlakuan :
- Tiga variasi suhu
penyimpanan (40 oC, 45 oC,
50 oC)
Parameter uji :
- Kekerasan
- Warna
- Deskripsi atribut
- Serat pangan

Gambar 1 Alur penelitian pengembangan sayur kaleng sebagai alternatif
sumber serat untuk pangan darurat
Penelitian Tahap 1 : Pencarian resep formula kuah yang disukai
Tahapan satu ini bertujuan untuk mencari resep formula kuah yang paling
disukai panelis. Resep formula yang terpilih kemudian akan digunakan sebagai
formula kuah sayur kaleng yang akan dikembangkan pada tahapan berikutnya.
Formula yang akan diuji diperoleh melalui hasil pencarian resep menggunakan
studi literatur serta modifikasi resep berdasar evaluasi dari uji mandiri yang

10

diwakili oleh beberapa responden. Sampel formula yang dilakukan uji lanjut ada
sebanyak dua resep, yaitu sampel A yang cenderung asin dan gurih serta sampel B
yang cenderung manis (Tabel 2). Formula kuah tersebut dievaluasi segi
sensorinya bersama dengan tiga jenis sayur yaitu wortel, labu siam dan kacang
merah. Labu siam dan wortel dipotong berbentuk persegi dan setengah lingkaran
dengan ketebalan 0.5 cm, sedangkan kacang merah digunakan dalam bentuk utuh.
Proporsi jumlah wortel : kacang merah : labu siam yang digunakan adalah
sebanyak 4 : 3 : 3. Ketiga jenis sayur direbus bersama bumbu-bumbu yang telah
disiapkan sesuai formula.
Tabel 2 Formula produk sayur sampel A dan sampel B
Bahan

Sampel A (%)*

Sampel B (%)*

Sayur

70

90

Garam

0.91

0.52

Gula

0.54

0.72

Bawang merah

0.4

0.8

Bawang putih

0.4

-

Pala

0.006

-

Merica

0.01

-

Daun salam

-

0.2

Temu kunci

-

0.4

* persentase dibandingkan terhadap air
Evaluasi kesukaan panelis terhadap sampel formula kuah dilakukan
menggunakan uji rating hedonik. Instrumen uji yang diperlukan adalah 70 panelis
tidak terlatih. Atribut yang dinilai pada uji ini meliputi kesukaan secara overall.
Nilai skala yang digunakan pada uji rating hedonik adalah 1 - 7 yang
mengindikasikan penilaian sangat tidak suka (1) hingga sangat suka (7). Masingmasing panelis akan memperoleh dua buah sampel yaitu sampel A dan sampel B.
Data rating hedonik produk diolah menggunakan program SPSS dengan uji
Independent Sample T Test.
Penelitian Tahap 2 : Penentuan waktu proses termal dengan tiga jenis komoditi
sayur
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menentukan waktu proses termal yang
sesuai sehingga menghasilkan produk sayur kaleng yang aman dan berkualitas
dari segi sensori. Pencarian waktu proses termal dilakukan dengan kegiatan
pendahuluan berupa uji distribusi dan uji penetrasi panas. Uji distribusi panas
bertujuan untuk melihat keseragaman panas yang diterima pada satu batch
sehingga bisa mengetahui kinerja retort yang digunakan. Selain itu, waktu proses
venting dan coming up time (CUT) juga bisa diamati pada kurva distribusi panas.
Venting adalah proses pengeluaran udara dari dalam retort, sedangkan CUT
adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu retort yang diinginkan.
Sebelum melakukan uji penetrasi panas, pengaruh ukuran sayur terhadap tekstur

11

juga diamati untuk memperoleh ukuran sayur yang paling baik dari segi estetika
maupun kualitas fisiknya. Sampel labu siam dan wortel diberi perlakuan tiga
variasi ukuran, sedangkan sampel kacang merah tidak diberi variasi ukuran. Uji
penetrasi panas bertujuan untuk melihat kecepatan rambat panas yang dilakukan
oleh retort menuju titik dingin produk. Uji pendahuluan tersebut ditujukan untuk
memperoleh dua variasi waktu operasi (operating time) yang nilai sterilitas
prosesnya memenuhi kaidah konsep 12D dalam sterilisasi komersil dan mengikuti
nilai F0 rekomendasi dari FAO. Waktu operasi adalah lamanya proses sterilisasi
sejak retort mencapai suhu yang diinginkan hingga proses pemanasan berakhir.
Suhu retort yang digunakan selama proses uji pendahuluan maupun proses
termal lanjut adalah 115 oC. Uji distribusi panas dilakukan pada retort yang
memiliki 3 buah rak dengan peletakan total 10 buah termokopel secara acak di
rak dengan posisi yang meliputi sisi tengah, kanan dan kiri. Sampel yang
digunakan dalam uji distribusi panas ini adalah 90 kaleng berisi air. Penentuan
ukuran sayur dilakukan sebelum tahapan uji penetrasi yang sesungguhnya.
Sampel sayur yang diuji adalah sebanyak 3 jenis, yaitu labu siam kaleng (L) dan
wortel kaleng (W) yang memiliki 3 variasi ukuran beserta kacang merah kaleng
(K). Variasi ukuran wortel dan labu siam kaleng terdiri atas ukuran besar (Wb &
Lb), medium (Wm & Lm) dan kecil (Wk & Lk). Rincian ukuran sayur dapat
dilihat pada Gambar 2 dan 3. Bobot netto masing-masing produk kaleng sebesar
195.5 gram. Perbandingan komposisi antara sayur dan kuah dalam kaleng sesuai
dengan resep formula yang terpilih pada tahapan pertama. Proses pengalengan
sesuai dengan alur produksi pada Gambar 4, 5 dan 6. Waktu operasi yang
digunakan dalam tahap penentuan ukuran ini adalah 25 menit. Parameter sayur
yang diamati adalah kekerasan tekstur sayur secara sensori yang dideskripsikan
oleh 5 orang panelis menggunakan skor dari 1 (sangat lunak) hingga 7 (sangat
keras).

Wm

Wb
Keterangan
x : 3 cm
y : 3 cm
a : 3 cm

Wk

b : 0.5 cm
p : 5 cm
q : 1.5 cm

Gambar 2 Variasi ukuran wortel (Wb: ukuran besar, Wm: ukuran medium, Wk:
ukuran kecil)

12

Lb
Keterangan
a : 0.5 cm
b : 3 cm
c : 3.5 cm
x : 1 cm

Lm

Lk

y : 4 cm
p : 2 cm
q : 0.5 cm
r : 3 cm

Gambar 3 Variasi ukuran labu siam (Lb: ukuran besar, Lm: ukuran medium, Lk:
ukuran kecil)
Uji penetrasi panas dilakukan pada sayur kaleng yang masih terpisah dan
prosedur pengalengan mengikuti Gambar 4, 5 dan 6. Termokopel diletakkan pada
sampel dengan ukuran yang telah terpilih. Masing-masing jenis sayuran dievaluasi
penetrasi panasnya sebanyak tiga kaleng. Uji penetrasi masing-masing jenis sayur
bertujuan untuk mengetahui distribusi panas ke titik terdingin masing-masing
bahan sehingga nilai kecukupan panas (F0) dapat dihitung. Setelah memperoleh
nilai F0 dari kedua waktu operasi, dilakukan uji pengalengan dengan tiga
komoditi sayur di dalam satu kaleng.
Masing-masing sampel sayur dilakukan pencucian dan pemotongan yang
kemudian dilanjutkan dengan blansir. Proporsi air : sayuran yang digunakan untuk
proses blansir adalah 5 : 1 (Patras et al. 2011; Slupski 2012). Sampel yang telah
diblansir diberi perlakuan pendinginan segera di air dingin. Proses cooling setelah
perlakuan blansir bertujuan untuk menghindari adanya pelunakan jaringan yang
berlebihan (FAO 1995). Proses selanjutnya adalah tahapan filling. Ketiga jenis
sayur dimasukkan ke dalam satu kaleng dengan perbandingan jumlah sayur : kuah
mengikuti hasil rating hedonik yang terpilih di tahapan pertama, sedangkan
proporsi wortel : kacang merah : labu siam sebesar 4 : 3 : 3. Kaleng yang telah
selesai diisi, dilakukan proses exhausting untuk menghilangkan udara pada
kaleng. Proses exhausting dilakukan dengan melewatkan kaleng ke dalam kotak
uap (exhauster) pada suhu 80 oC selama 5 menit. Tujuan proses ini antara lain
untuk mencegah adanya oksigen yang bisa memicu korosi pada kaleng dan
menstimulus oksidasi pada pangan, serta untuk mengurangi kemungkinan
destruksi vitamin C dan untuk menciptakan kondisi vakum saat kaleng
didinginkan (FAO 1995). Tepat setelah keluar dari exhauster, kaleng segera
dikelim menggunakan double seamer. Produk kaleng yang telah dikelim
selanjutnya dilakukan sterilisasi di dalam retort pada suhu 115 oC dengan
perlakuan dua waktu operasi, yaitu X dan Y. Tahapan berikutnya adalah proses
cooling terhadap sampel sayur kaleng hingga mencapai suhu ruang.. Hasil
pengalengan dengan tiga jenis sayur tersebut dievaluasi dari segi sensori dan
visual.

13

Wortel

Pencucian, penirisan &
pemotongan

Blansir
(95 C, 3 menit) a
o

Pengisian*

Kuah sayur

Exhausting (80 oC, 5 menit)

Seaming

Retorting
(115 oC)

2 waktu
operasi:
X dan Y

Cooling

Wortel
kaleng

a

Patras et al. (2011);
terpilih.

*

proporsi sayur : kuah sesuai dengan resep formula yang

Gambar 4 Alur proses produksi wortel kaleng (W)

14

Labu siam

Pencucian, penirisan &
pemotongan

Blansir
(80 oC, 3 menit) b

Pengisian*

Kuah sayur

Exhausting (80 oC, 5 menit)

Seaming

Retorting
(115 oC)

2 waktu
operasi:
X dan Y

Cooling

Labu siam
kaleng

b

Akonor & Tortoe (2014);
yang terpilih.

*

proporsi sayur : kuah sesuai dengan resep formula

Gambar 5 Alur proses produksi labu siam kaleng (L)

15

Kacang merah

Pencucian dan penirisan

Blansir
(96 oC, 3 menit) c

Pengisian*

Kuah sayur

Exhausting (80 oC, 5 menit)

Seaming

Retorting
(115 oC)

2 waktu
operasi:
X dan Y

Cooling

Kacang merah
kaleng

c

Slupski (2012);
terpilih.

*

proporsi sayur : kuah sesuai dengan resep formula yang

Gambar 6 Alur proses produksi kacang merah kaleng (K)

16

Penelitian Tahap 3 : Penetapan prosedur dan waktu proses termal kacang merah
kaleng
Tahapan ketiga bertujuan untuk melakukan perbaikan terhadap proses
pengalengan berdasarkan evaluasi pada tahapan kedua. Sampel sayur terpilih
dijadikan sebagai bahan utama sayur kaleng dan dilakukan uji penetrasi panas
untuk menyeleksi dua waktu operasi yang memiliki nilai keamanan sesuai standar.
Sayur kaleng dengan dua waktu operasi berbeda tersebut dianalisis karakteristik
warna, tekstur beserta deskripsi atributnya. Uji deskriptif dilakukan menggunakan
metode QDA dengan instrumennya adalah 9 orang panelis terlatih. Penentuan satu
waktu operasi termal terbaik dilakukan dengan melihat tingkat kesukaan panelis
menggunakan uji rating hedonik. Uji rating hedonik menggunakan 70 panelis tak
terlatih dengan aribut yang dinilai adalah kesukaan secara overall. Data rating
hedonik produk diolah menggunakan program SPSS dengan uji Independent
Sample T Test. Uji organoleptik dilakukan dengan memanaskan produk kaleng
terlebih dahulu selama 10 menit di air mendidih. Sampel yang akan dipilih adalah
sampel yang memiliki nilai F0 sesuai standar rekomendasi FAO dan nilai
kesukaan yang paling baik. Sampel sayur kaleng yang telah terpilih lalu dianalisis
komposisi kimianya (proksimat). Uji proksimat dilakukan terhadap sampel
terpilih yang telah dikalengkan dan sampel sayur terpilih sebelum dikalengkan.
Penelitian Tahap 4 : Pengujian stabilitas produk sayur kaleng
Tahapan ini ditujukan untuk mengetahui tingkat kestabilan produk
terhadap penyimpanan. Uji kestabilan produk dilakukan selama 6 minggu pada
inkubator dengan variasi suhu 40 0C, 45 0C dan 50 0C. Uji fisik dan organoleptik
akan dilakukan setiap minggu (dari minggu ke-0 hingga minggu ke-6). Uji fisik
yang akan dilakukan antara lain uji kekerasan menggunakan Texture Analyzer dan
warna menggunakan Chromameter. Uji organoleptik yang akan dilakukan adalah
uji deskriptif. Panelis yang digunakan sebanyak 9 orang panelis terlatih. Uji
organoleptik dilakukan dengan memanaskan produk kaleng terlebih dahulu
selama 10 menit di air mendidih. Uji kimia yang meliputi uji kadar serat akan
dilakukan pada awal dan akhir penyimpanan produk. Sampel yang mengalami
penundaan analisis disimpan sementara di refrigerator.

17

Metode Analisis
Distribusi panas
Uji distribusi panas dilakukan dengan menggunakan sejumlah kaleng
berisi air sebagai samp