Formulasi dan Karakterisasi Nasi Dalam Kemasan Kaleng sebagai Alternatif Pangan Darurat.

(1)

FORMULASI DAN KARAKTERISASI NASI DALAM

KEMASAN KALENG SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN

DARURAT

SKRIPSI

LEO WIBISONO ARIFIN

F24070001

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

i

THE FORMULATION AND CHARACTERIZATION OF CANNED RICE AS

ALTERNATIVE EMERGENCY FOOD

Leo Wibisono Arifin, Sedarnawati Yasni and Elvira Syamsir Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and

Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 81736 8500, e-mail: lhe_ow@yahoo.com

ABSTRACT

An ideal emergency food must be able to fulfill the basic energy requirement of human which is equal to 2100 kcal per day, convenient and easy to distribute. This research aimed at contributing to the creation of healthy, nutritious and safe emegency food in the form of canned rice. Rice was chosen as the major staple food in Indonesia. Besides, to enrich the nutrition content of the product, eggwhite powder and margarine were added as the source of protein and fat. In the first step, the 4 formula were developed based the results of proximate analysis on raw materials content. All of the 4 formula were hypothesized to be able to fulfill the standard of energy distribution of protein (10-15%), fat (35-45%) and carbohydrate (40-50%). The 4 formula were canned and sterilized at 121.1oC for 40 minutes while the Fo value of this product was determined 15 minutes based on heat penetration test results. The best formula was selected based on several criteria which were sensorical properties, physical properties (color and texture) and also final proximate analysis results. The selected formula was Formula IV which contained 30% of carbohydrate, 6% of protein and 10% of fat and received the highest hedonic rating from 70 untrained panelists. The total energy contribution from the selected formula was 600 kcal and it is recommended to consume this product at least 3-4 times per day to fulfill the daily energy requirement. The last phase of this research was shelf life determination of seleted formula by using Accelerated Storage Study (ASS) for 6 weeks with sensorical properties (color, aroma, taste and texture) using 6 trained panelists and physical properties (color and hardness) observed. Based on the shelf determination using texture as the critical parameter when stored at 30oC, the shelf life of this product was projected up to 516 days and the followed the first order reaction kinetics.


(3)

ii

Pangan darurat yang ideal adalah yang dapat memenuhi kebutuhan energi manusia sehari-hari yaitu sebesar 2100 kkal dan juga memiliki karakter yang mudah dikonsumsi serta didistribusikan. Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan pangan darurat yang bernutrisi tinggi, aman, mudah dikonsumsi serta memiliki citarasa yang disukai. Nasi dipilih sebagai bahan utama karena masyarakat Indonesia memiliki budaya yang sangat kuat dalam mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Penambahan putih telur dalam bentuk tepung dan margarin ditujukan untuk memperkaya kandungan gizi produk terutama sebagai sumber protein dan lemak. Pada tahap satu, dikembangkan empat jenis formula berdasarkan perhitungan kandungan bahan baku hasil analisis proksimat. Keempat formula yang telah disusun dihipotesiskan mampu untuk memenuhi standar pangan darurat dari segi sebaran energi yang berasal dari protein (10-15%), lemak (35-45%) dan karbohidrat (40-50%). Kemudian produk dikemas dalam kaleng dan dilakukan sterilisasi pada suhu 121.1oC selama 40 menit dengan nilai Fo sebesar 15 menit yang diperoleh dari hasil uji penetrasi panas produk. Pemilihan formula terbaik dilakukan berdasarkan beberapa kriteria diantaranya sensori, fisik (warna dan tekstur) serta hasil analisis proksimat produk akhir. Berdasarkan kriteria tersebut, formula terpilih adalah Formula IV yang mengandung karbohidrat 30%, protein 6% dan lemak 10%. Selain itu Formula IV juga memiliki rating kesukaan (hedonik) tertinggi yang dinilai oleh 70 orang panelis tidak terlatih. Total kontribusi energi yang dihasilkan oleh formulasi terpilih mencapai 600 kkal per saji. Untuk dapat memenuhi kebutuhan energi harian manusia, direkomendasikan agar mengonsumsi produk ini 3-4 kali per hari. Tahap terakhir dari penelitian ini adalah penentuan umur simpan produk dengan metode penyimpanan akselerasi selama 6 minggu. Parameter yang diamati selama 6 minggu penyimpanan adalah parameter warna, aroma, rasa dan tekstur dengan menggunakan 6 orang panelis terlatih dan pengukuran warna dengan chromamater serta kekerasan dengan TPA. Berdasarkan hasil pengamatan parameter tesktur sebagai parameter kritis, umur simpan dari produk nasi dalam kemasan kaleng pada suhu ruang (30oC) adalah 516 hari dengan laju penurunan mutu mengikuti reaksi orde satu.


(4)

iii

Leo Wibisono Arifin. F24070001. Formulasi dan Karakterisasi Nasi dalam Kemasan Kaleng sebagai Alternatif Pangan Darurat. Di bawah bimbingan Sedarnawati Yasni dan Elvira Syamsir. 2013

RINGKASAN

Pengembangan pangan darurat yang bergizi tinggi dan aman harus dijadikan suatu prioritas untuk mencegah terjadinya bencana kemanusian lebih lanjut di kalangan pengungsi akibat bencana alam. Penelitian ini berfokus pada pengembangan pangan darurat berbentuk nasi dalam kemasan kaleng yang memiliki kandungan gizi tinggi. Nasi dipilih sebagai bahan baku utama karena merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia dan untuk meningkatkan kandungan nutrisi dari produk, ditambahkan tepung putih telur, margarin dan serat inulin ke dalam formulasi. Untuk menjamin keamanan produk, kemudahan dalam distribusi dan transportasi, serta dapat tersedia setiap saat dengan umur simpan relatif panjang, maka dilakukan proses sterilisasi terhadap masing-masing formula uji dalam kemasan kaleng.

Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahapan. Pada tahap satu, penelitian difokuskan terhadap penentuan formula terbaik serta parameter proses termalnya. Formulasi awal ditentukan berdasarkan hasil analisis proksimat terhadap ketiga bahan baku utama, yaitu; beras, tepung putih telur dan mentega. Faktor utama yang dipertimbangkan dalam penyusunan formulasi adalah sebaran energi dari setiap komponen makro yang harus memenuhi persyaratan pangan darurat yaitu 10-15% energi berasal dari protein, 35-45% energi berasal dari lemak dan 40-50% energi berasal dari karbohidrat. Selain itu, formula juga harus dapat berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan kalori harian manusia, yaitu sebesar 2100 kkal. Tahap penyusunan formula menghasilkan empat formula utama. Setiap formula memiliki komposisi bahan baku penyusun yang berbeda dan sebaran energi dari masing-masing komponen makromolekul yang juga berbeda. Selanjutnya, dilakukan uji distribusi dan penetrasi panas untuk mengetahui profil penyebaran panas pada retort serta menentukan nilai kecukupan panas (Fo) untuk keempat formula. Nilai Fo dihitung menggunakan metode general (trapesium) dan hasil perhitungan dikonfirmasi dengan metode formula (Ball). Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode trapesium, nilai Fo untuk keempat formula relatif tidak berbeda sehingga waktu 15 menit ditentukan sebagai nilai Fo proses dan waktu proses ditetapkan selama 40 menit. Pemilihan formula terbaik dilakukan dengan menganalisis hasil uji rating hedonik yang meliputi parameter warna, rasa, aroma, tekstur dan overall. Sebagai pendukung, dilakukan pengamatan parameter fisik meliputi warna dan tekstur. Formula IV yang mengandung protein 6%, lemak 10% dan karbohidrat 30% dipilih sebagai formulasi terbaik berdasarkan hasil uji rating hedonik dengan menggunakan 70 orang panelis tidak terlatih.

Tahap penelitian selanjutnya meliputi pendugaan umur simpan terhadap formula terpilih dengan menggunakan metode akselerasi (ASS) pada 3 suhu penyimpanan, yaitu; 37oC, 45oC dan 55oC selama 6 minggu. Parameter yang diamati selama penyimpanan meliputi parameter warna, aroma, rasa dan tekstur dengan 6 orang panelis terlatih, serta parameter fisik warna dengan alat chromameter dan kekerasan dengan alat Texture Profile Analyzer (TPA). Pengamatan untuk seluruh parameter dilakukan setiap 7 hari sekali selama 6 minggu. Kurva hubungan antara nilai 1/T dan Ln K menunjukkan bahwa berdasarkan parameter tekstur sebagai parameter kritis, umur simpan produk pada suhu penyimpanan 30oC dapat mencapai 516 hari.


(5)

iv

FORMULASI DAN KARAKTERISASI NASI DALAM

KEMASAN KALENG SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN

DARURAT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

LEO WIBISONO ARIFIN

F24070001

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

v

Judul Skripsi : Formulasi dan Karakterisasi Nasi Dalam Kemasan Kaleng sebagai

Alternatif Pangan Darurat. Nama : Leo Wibisono Arifin NIM : F24070001

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP 19680526 199303.1.004

Tanggal Ujian Akhir Sarjana: 03 Januari 2013 Menyetujui:

Dosen Pembimbing I

(Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr.) NIP. 19581024 198303 2 001

Menyetujui: Dosen Pembimbing II

(Dr. Elvira Syamsir, S.TP, M.Si.) NIP. 19690809 199512 2 001


(7)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi dan Karakterisasi Nasi dalam Kemasan Kaleng sebagai Alternatif Pangan Darurat adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademis dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2013

Yang membuat pernyataan,

Leo Wibisono Arifin F24070001


(8)

iv

© Hak cipta milik Leo Wibisono Arifin, tahun 2013

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(9)

v

BIODATA PENULIS

“ Sometimes, encountering rejections, negative talks or even outcasted is the cost that I have to pay when I decided to be different. But I am pretty sure, there must be a part of the world that will

value my state of mind! So, throw me everywhere and I will survive – Leo Wibisono 2012” “Who am I? I am the dream of NYC, the ambition of Dubai, the mystery of Machu Piccu, the resilience of Tokyo and the hardwork of Sillicon Valey. Sometimes, I can be the cold of Moscow,

the wild of Nairobi and the enigma of Pyong Yang – Leo Wibisono 2011”

“The best revenge is to live far better than those who have talked negative about you or hurt you. No need to confront and no need to argue, Life goes on! –Leo Wibisono 2010”

Penulis lahir di Mataram 25 April 1991 dari pasangan Cindrawati dan Arifin Tanuwidjaja. Pada tahun 2007 diterima menjadi mahasiswa di jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan S-1, penulis sempat merasakan pengalaman belajar di Universiti Putra Malaysia (tahun 2010) dan Tokyo University of Agriculture (tahun 2011). Selain itu penulis juga pernah menjadi peneliti tamu di Department of Chinese Biomedicine, the National University of Singapore (2010). Di tahun 2011, penulis mendapat anugerah Mahasiswa Berprestasi Utama Nasional oleh Kementerian Pendidikan Nasional, selain itu beberapa peghargaan nasional dan global lainnya yang pernah diraih diantaranya pembicara terbaik se-Asia untuk kategori EFL dalam the 2011 Asian Bristish Parliamentary di Dhaka-Bangladesh dan the 2011 United Asian Debate di Makau-Cina, selain itu penulis juga aktif mengikuti konferensi ilmiah baik tingkat nasional maupun internasional. Sampai saat ini, penulis telah aktif menjadi pembicara dan peserta di lebih dari 10 konferensi ilmiah internasional yang diadakan di luar negeri dan puluhan konferensi nasional.

Prestasi paling membahagiakan dan berkesan selama menjalani pendidikan S-1 bagi penulis bukanlah prestasi yang banyak (I really mean it), melainkan keberanian untuk memiliki (dan mempertahankan) pemikiran yang berbeda dari mainstream serta keberhasilan membiayai hidup dan pendidikan selama di Bogor dengan usaha sendiri. Penulis menaruh minat yang sangat besar pada isu internasional dan traveling. Sampai saat ini sudah 24 negara dikunjungi oleh penulis termasuk Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tengah, Timur Tengah, Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru, namun penulis tetap merasa bahwa tempat terbaik buat dirinya adalah berada di kampung halamannya yaitu pulau kecil bernama Lombok. Hal yang paling membuat penulis bahagia adalah ketika dapat bertahan membaca diktat kuliah lebih dari 1 jam (suatu hal yang sangat jarang berhasil dilakukan). Sebaliknya, hal yang paling baik dilakukan oleh penulis adalah berpura-pura mengerti soal sepak bola dan bersikap optimis dalam keadaan seburuk apapun.

Cita-cita penulis adalah bekerja untuk kepentingan bangsa di badan PBB seperti FAO, menjadi seorang nasionalis yang internasionalis dan menjadi seorang agamis yang humanis. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Formulasi dan Karakterisasi Nasi dalam Kemasan Kaleng sebagai Alternatif Pangan Darurat” selama kurang lebih 5 bulan di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr dan Dr. Elvira Syamsir, S.TP, M.Si.


(10)

vi

KATA

PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya berkat kasih dan kemurahan hati-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Formulasi dan Karakterisasi Nasi dalam Kemasan Kaleng sebagai Alternatif Pangan Darurat” ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan mulai bulan Juni 2012 sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan sepenuh hati selama proses perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Orang tua tercinta, Papa Arifin Tanuwidjaja dan Ibu Cindrawati, you give me all the good love that I can never payback!

2. Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr. dan Dr. Elvira Syamsir, S.TP, M.Si selaku pembimbing akademik atas arahan, perhatian, semangat dan saran yang telah diberikan. 3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc sebagai dosen penguji atas kesediannya menguji dan saran yang

diberikan.

4. Vita Ayu Puspita atas segala cinta, pengorbanan dan kesabaran yang telah diberikan selama ini.

5. Teman satu bimbingan Sarinah Monica dan Taufiq, terima kasih atas dukungan dan semangat yang diberikan.

6. Teman-teman ITP 44, 45, 46 dan 47 atas waktu dan kebersamaan yang akan penulis kenang. 7. Para guru dan dosen yang telah memberikan ilmunya dari TK sampai perguruan tinggi. 8. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Seafast Center dan Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Pak Gatot, Mbak Fera, Bu Sri, Bu Rubiah, Mbak Siti, Mbak Ari dan Mas Yerris.

9. Seluruh pegawai Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Bu Novi, Mbak Anie, dan Mbak Darsih.

Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi banyak orang dan terutama terhadap perkembangan ilmu dan teknologi pangan yang akan datang.

Bogor, Maret 2013 Leo Wibisono Arifin


(11)

vii

DAFTAR

ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. TUJUAN ... 2

1.3. MANFAAT PENELITIAN……...……….………...………….2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. PANGAN DARURAT ... 3

2.2. BERAS DAN NASI ... 4

2.3. KARAKTERISTIK SENSORI NASI UNTUK PENGALENGAN ... 5

2.4. TEPUNG PUTIH TELUR DAN SIFAT FUNGSIONALNYA ... 6

2.5. MARGARIN ... 7

2.6. PENGALENGAN DAN STERILISASI KOMERSIAL ... 8

2.6.1. Metode Umum ... 10

2.6.2. Metode Formula ... 11

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 13

3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 13

3.2. BAHAN DAN ALAT ... 13

3.3. METODE PENELITIAN ... 13

3.3.1. Tahap Penentuan Formula Nasi dalam Kemasan Kaleng ... 15

3.3.2. Penentuan Karakteristik Proses Termal dari Pengalengan ... 15

3.3.3. Analisis Nasi dalam Kemasan Kaleng... 19

3.3.4. Pendugaan Umur Simpan Produk Nasi dalam Kemasan Kaleng ... 19

3.4. METODE ANALISIS ... 19

1. Penetapan Kadar Air Metode Oven ... 20

2. Penetapan Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl ... 20

3. Analisis Kadar Gula Total Metode Anthrone ... 20

4. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet ... 21

5. Analisis Kadar Abu Metode Tanur ... 21

6. Analisis Kadar Karbohidrat ... 21

7. Analisis Tekstur dengan Texture Profile Analyzer ... 21

8. Analisis Warna dengan Chromameter ... 23

9. Analisis Sensori dengan Metode Rating Hedonik ... 23

10. Pendugaan Umur Simpan dengan Metode ASLT ... 23

11. Rancangan Percobaan... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. TAHAP FORMULASI NASI DALAM KEMASAN KALENG ... 25

4.1.1. Analisis Proksimat Bahan Baku ... 25

4.1.2. Penyusunan Formula Nasi dalam Kemasan Kaleng ... 26


(12)

viii

4.2. PROSES PENGALENGAN FORMULA NASI DALAM KEMASAN KALENG ... 28

4.2.1. Penentuan Waktu Venting dan Come Up Time melalui Uji Distribusi Panas .... 28

4.2.2. Hasil Uji Penetrasi Panas Formula Nasi dalam Kemasan Kaleng ... 29

4.2.3. Perhitungan Nilai Fo dengan Metode General ... 31

4.2.4. Perhitungan Nilai Fo dengan Metode Formula ... 32

4.2.5. Proses Pengalengan Nasi dalam Kemasan Kaleng pada Satu Waktu Proses .... 35

4.3. TAHAP ANALISIS PRODUK ... 36

4.3.1. Analisis Proksimat Produk ... 36

4.3.2. Analisis Fisik Produk ... 38

4.3.3. Uji Rating Hedonik untuk Menentukan Formula Terbaik ... 40

4.4. PENENTUAN UMUR SIMPAN PRODUK DAN MASA KADALUARSA ... 42

4.4.1. Analisis Sensori ... 43

4.4.2. Analisis Fisik ... 46

4.4.3. Penentuan Ordo Reaksi untuk Setiap Parameter ... 48

4.4.4. Perhitungan Umur Simpan dengan Metode Arrhenius ... 50

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1. Simpulan ... 55

5.2. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(13)

ix

DAFTAR

TABEL

Halaman

Tabel 1. Formulasi Nasi dalam Kemasan Kaleng berdasarkan Kontribusi Gizi Makro ... 15

Tabel 2. Spesifikasi Pengukuran dengan Texture Profile Analyzer (TPA) ... 22

Tabel 3. Hasil Analisis Proksimat Bahan Baku ... 25

Tabel 4. Komposisi Bahan Baku Penyusun Nasi dalam Kemasan Kaleng ... 26

Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Fo Metode General dan Formula ... 36

Tabel 6. Hasil Analisis Proksimat Produk Nasi dalam Kemasan Kaleng ... 37

Tabel 7. Hasil Perhitungan Kontribusi Sebaran Energi Produk Akhir ... 37

Tabel 8. Perbandingan Hasil Perhitungan Kontribusi Energi dengan Hasil Analisis Aktual ... 38

Tabel 9. Hasil Pengukuran Warna Produk dengan Chromameter ... 39

Tabel 10. Hasil Pengukuran Tekstur Produk dengan TPA ... 40

Tabel 11. Respon Panelis Terhadap Sampel Nasi dalam Kemasan Kaleng ... 41

Tabel 12. Persamaan Reaksi Perubahan Mutu dan Perlakuan Penyimpanan pada Ordo Nol dan Ordo Satu ... 50

Tabel 13. Nilai T, (1/T), k, dan ln k pada 3 Suhu Penyimpanan ... 53

Tabel 14. Persamaan Garis Hubungan 1/T dan Nilai Ln K ... 54

Tabel 15. Nilai Konstanta Perubahan dan Umur Simpan Nasi Kaleng ... 54


(14)

x

DAFTAR

GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram Alir Tahapan Penelitian ... 14

Gambar 2. Posisi Termokopel pada Retort selama Uji Distribusi Panas ... 16

Gambar 3. Hubungan antara Lethal Rate dengan Waktu ... 17

Gambar 4. Kurva Pemanasan Metode Formula (Ball) ... 18

Gambar 5. Diagram Alir untuk Tahap Pengalengan ... 19

Gambar 6. Kurva Profil Tesktur dengan TPA ... 22

Gambar 7. Diagram Alir Pengolahan Formula Nasi dalam Kemasan Kaleng ... 27

Gambar 8. Kurva Distribusi Panas Retort ... 28

Gambar 9. Kurva Penetrasi Panas Formula I ... 30

Gambar 10. Kurva Penetrasi Panas Formula II ... 30

Gambar 11. Kurva Penetrasi Panas Formula III ... 31

Gambar 12. Kurva Penetrasi Panas Formula IV ... 31

Gambar 13. Kurva Semilogaritmik untuk Formula I ... 34

Gambar 14. Kurva Semilogaritmik untuk Formula II ... 34

Gambar 15. Kurva Semilogaritmik untuk Formula III ... 35

Gambar 16. Kurva Semilogaritmik untuk Formula IV ... 35

Gambar 17. Diagram Hasil Uji Hedonik Perlakuan Sampel dengan Pemanasan ... 42

Gambar 18. Diagram Hasil Uji Hedonik Perlakuan Sampel tanpa Pemanasan ... 42

Gambar 19. Hasil Pengamatan Parameter Warna ... 45

Gambar 20. Hasil Pengamatan Parameter Rasa ... 46

Gambar 21. Hasil Pengamatan Parameter Aroma ... 46

Gambar 22. Hasil Pengamatan Parameter Tekstur ... 47

Gambar 23. Stabilitas Nilai L selama Penyimpanan ... 48

Gambar 24. Stabilitas Nilai a selama Penyimpanan ... 48

Gambar 25. Stabilitas Nilai b selama Penyimpanan... 48


(15)

xi

DAFTAR

LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1a. Perhitungan Komposisi Bahan Baku untuk Formulasi I ... 60

Lampiran 1b. Perhitungan Komposisi Bahan Baku untuk Formulasi II ... 60

Lampiran 1c. Perhitungan Komposisi Bahan Baku utnuk Formulasi III ... 61

Lampiran 1d. Perhitungan Kompisisi Bahan Baku untuk Formulasi IV ... 61

Lampiran 2. Hasil Uji Distribusi Panas Retort ... 62

Lampiran 3a. Hasil Uji Penetrasi Panas Formula I ... 63

Lampiran 3b. Hasil Uji Penetrasi Panas Formula II ... 64

Lampiran 3c. Hasil Uji Penetrasi Panas Formula III ... 67

Lampiran 3d. Hasil Uji Penetrasi Panas Formula IV ... 69

Lampiran 4a. Hasil Hitung Nilai Fo dengan Metode Ball untuk Formula I ... 71

Lampiran4b. Hasil Hitung Nilai Fo dengan Metode Ball untuk Formula II ... 72

Lampiran 4c. Hasil hitung Nilai Fo dengan Metode Ball untuk Formula III ... 73

Lampiran 4d. Hasil hitung Nilai Fo dengan Metode Ball untuk Formula IV ... 74

Lampiran 5a. Hasil Analisis Proksimat dan Distribusi Energi Formula I ... 75

Lampiran 5b. Hasil Analisis Proksimat dan Distribusi Energi Formula II ... 75

Lampiran 5c. Hasil Analisis Proksimat dan Distribusi Energi Formula III ... 75

Lampiran 5d. Hasil Analisis Proksimat dan Distribusi Energi Formula IV ... 78

Lampiran 6. Kuisioner Uji Rating Hedonik ... 75

Lampiran 7. Hasil Uji Rating Hedonik ... 77

Lampiran 8. Hasil Output Data Analisis SPSS terhadap Uji Rating Hedonik... 86

Lampiran 9. Hasil Uji Lanjut Analisis Fisik untuk Parameter Warna dan Tesktur ... 92

Lampiran 10. Kuisioner Analisis Sensori untuk Penentuan Umur Simpan ... 92

Lampiran 11a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Warna Ordo 0 ... 94

Lampiran 11b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Warna Ordo 1 ... 94

Lampiran 12a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Rasa Ordo 0 ... 95

Lampiran 12b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Rasa Ordo 1 ... 95

Lampiran 13a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Aroma Ordo 0 ... 96

Lampiran 13b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Aroma Ordo 1 ... 96

Lampiran 14a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Tekstur Ordo 0 ... 97

Lampiran 14b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Tekstur Ordo 1 ... 97

Lampiran 15a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Nilai L Ordo 0 ... 98

Lampiran 15b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Nilai L Ordo 1 ... 98

Lampiran 16a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Nilai a Ordo 0 ... 99

Lampiran 16b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Nilai a Ordo 1 ... 99

Lampiran 17a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Nilai b Ordo 0 ... 100

Lampiran 17b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Nilai b Ordo 1 ... 100

Lampiran 18a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Kekerasan Ordo 0 ... 101

Lampiran 18b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dan Kekerasan Ordo 1 ... 101

Lampiran 19a. Kurva Hubungan antara Nilai 1/T dan Ln K Analisis Sensori Ordo 0 ... 102


(16)

xii

Lampiran 20a. Kurva Hubungan antara Nilai 1/T dan Ln K Analisis Fisik Ord0 0 ... 103 Lampiran 20b. Kurva Hubungan antara Nilai 1/T dan Ln K Analisis Fisik Ordo 1 ... 103 Lampiran 21. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Parameter Sensori dan Fisik ... 104


(17)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia termasuk negara dengan tingkat kerawanan bencana yang sangat tinggi. Sebagai contoh, bencana tsunami di Aceh merupakan salah satu yang terbesar dan telah merenggut lebih dari 200.000 korban jiwa serta sekitar empat juta orang harus mengungsi (BNPB 2010). Pengungsi merupakan kelompok yang harus diperhatikan keselamatannya, namun seringkali kondisi di tempat pengungsian serba terbatas, baik dari segi infrastruktur maupun fasilitas penunjang hidup lainnya, terutama ketersediaan pangan yang berdampak timbulnya masalah kesehatan dan gizi di kalangan pengungsi.

Konsep strategi mengatasi bahaya kelaparan pascabencana dapat dilakukan dengan pemberian pangan darurat. Penciptaan pangan darurat atau Emergency Food Product (EFP) harus dapat memenuhi kebutuhan energi harian manusia dalam keadaan darurat, siap saji dan memiliki citarasa sesuai dengan selera penduduk Indonesi. Hal tersebut merupakan salah satu tantangan yang harus dijawab oleh para ahli teknologi pangan agar mampu mendukung upaya mitigasi bencana. Pemberian pangan darurat bertujuan untuk mengurangi timbulnya penyakit atau kematian pengungsi dengan menyediakan pangan bernutrisi yang sesuai dengan asupan harian selama 15 hari, terhitung dari mulai terjadinya bencana (Zoumas et al. 2002).

Penyediaan pangan bagi para pengungsi masih belum dilakukan secara maksimal, baik oleh pemerhati masyarakat maupun pemerintah. Bentuk pangan darurat yang umumnya diberikan ketika bencana terjadi adalah mi instan, roti, biskuit, ataupun produk bars. Produk-produk ini memiliki beberapa kelemahan, misalnya mie instan yang nilai gizinya kurang ideal, serta membutuhkan persiapan seperti pemasakan sebelum disajikan. Produk roti dan biskuit umumnya tidak sesuai dengan selera masyarakat Indonesia dan memiliki umur simpan terbatas, sedangkan konsumsi produk bars dapat menyebabkan rasa haus karena karakteristik produk yang kering dengan nilai aw sekitar 0,4 serta densitas kamba yang tinggi. Oleh karena itu, pemberian pangan

darurat berbentuk bars harus disertai dengan persediaan air yang cukup (Sitanggang 2008). Berbagai bentuk dan teknologi pengolahan pangan darurat telah dikembangkan, misalnya melalui HTST extrusion atau HTST pasta, aneka produk lain seperti corn syrup, granulated sugar, high fructose corn syrup, dan crystalline fructose (Brisske et al. 2004). Namun bentuk pangan darurat yang potensial dan praktis untuk dikembangkan adalah makanan bernutrisi tinggi yang siap saji (Zoumas et al. 2002), di antaranya bentuk nasi dalam kemasan kaleng, sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia yang mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Masih terdapatnya stigma “belum kenyang kalau belum makan nasi”, menandakan betapa masyarakat Indonesia memiliki budaya makan nasi yang sangat kuat (Hariyadi 2006). Penelitian mengenai potensi pengembangan makanan darurat berbahan dasar beras sudah dilakukan sebelumnya oleh Valentina (2009) berupa formulasi pembuatan nasi opor ayam dalam kemasan kaleng sebagai pangan darurat. Untuk menganekaragamkan produk pangan darurat yang berbasis nasi, pada penelitian ini, bahan baku yang digunakan terdiri dari beras, putih telur, susu, dan margarin.

Penambahan putih telur dan margarin dalam formula uji ditujukan untuk meningkatkan kandungan nutrisi pangan darurat, karena putih telur memiliki bioavailabilitas protein yang tinggi dan margarin merupakan sumber lemak yang ideal untuk meningkatkan kandungan nutrisi dari produk. Dengan penganekaragaman bahan baku yang dipakai, diharapkan penelitian ini dapat menambah varian pangan darurat berbasis nasi kaleng yang dapat dipilih oleh masyarakat. Teknologi pengalengan merupakan teknologi yang dapat menjamin keamanan produk dan memberikan kemudahan dalam penyajian, serta memiliki umur simpan yang lebih lama (lebih dari


(18)

2

2 tahun). Fokus utama dari penelitian ini adalah menciptakan pangan darurat berupa nasi dalam kemasan kaleng yang berbahan dasar beras, tepung putih telur dan margarin yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan gizi makro dari pengungsi dan kebutuhan energi dalam keadaan darurat, yaitu sebesar 2100 kkal per hari (IOM 2002).

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi pengembangan pangan darurat alternatif berbahan baku nasi, tepung putih telur dan margarin yang diolah dengan teknologi pengalengan agar aman dikonsumsi, bergizi dan disukai oleh masyarakat.

1.3. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini ditujukan kepada pemerintah, masyarakat dan pelaku teknologi pangan yang memiliki peran besar dalam pengembangan produk pangan baru.

1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai inovasi dalam pembangunan industri pangan darurat yang memadai agar dapat berperan dengan lebih baik dalam mitigasi pascabencana.

2. Bagi masyarakat, hasil penelitian dapat dikembangkan sebagai pangan darurat alternatif yang sehat dan mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta aman dikonsumsi.

3. Bagi pelaku teknologi pangan, hasil penelitian dapat menumbuhkan semangat untuk menemukan ide-ide kreatif berkaitan dengan pengembangan pangan darurat yang mampu berkontribusi dalam menyelesaikan masalah bangsa di bidang mitigasi bencana.


(19)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pangan Darurat

Pangan darurat (Emergency Food Product) merupakan bentuk pangan yang dikonsumsi saat terjadi bencana, seperti kebakaran, banjir, kekeringan, wabah penyakit, maupun bencana akibat kesalahan manusia, seperti dalam kecelakaan industri. Pangan darurat (EFP) diproduksi untuk memenuhi kebutuhan energi harian yang direkomendasikan sebesar 2100 kkal dengan bobot sekitar 450 gram. Pangan darurat harus dapat memenuhi beberapa kriteria, di antaranya (1) dapat memenuhi kebutuhan nutrisi semua usia di atas 6 bulan, (2) dapat digunakan sebagai sumber penghidupan hingga 15 hari, (3) dapat diterima dari berbagai etnis dan budaya, serta berbagai latar belakang agama, (4) mudah dikonsumsi tanpa persiapan khusus, (5) minimal stabil hingga 3 tahun dan (6) penyalurannya dapat dilakukan melalui pengiriman darat atau udara (IOM 2002).

Pangan darurat dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu, (1) produk pangan yang dirancang pada kondisi air bersih dan bahan bakar untuk memasak masih tersedia dan (2) produk pangan yang dirancang untuk menghadapi kondisi air bersih tidak tersedia serta tidak dapat memasak. Di Indonesia, pangan darurat untuk korban bencana terutama yang bersifat siap santap belum banyak dikembangkan, tetapi sudah banyak berkembang untuk kepentingan tentara.

Keberhasilan pengembangan pangan darurat dapat dilihat dari karakteristik kritis meliputi (1) aman, (2) memiliki kualitas yang dapat diterima oleh konsumen (penampakan, warna, rasa, aroma), (3) mudah didistribusikan, (4) mudah digunakan dan (5) memiliki Nutrisi lengkap. Zoumas et al. (2002) menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pangan darurat selama pengungsian, yaitu:

1. Konsumsi pangan darurat bagi wanita hamil dan wanita sedang menyusui, diasumsikan lebih dari 2100 kkal untuk mendukung kebutuhan energi selama mengandung dan menyusui.

2. Pangan darurat tidak didesain untuk memenuhi kebutuhan energi atau nutrisi bagi orang yang sedang hamil, tetapi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi wanita normal. 3. Pangan darurat tidak didesain untuk individu yang mengalami penyakit gizi buruk yang

membutuhkan perlakuan medis khusus.

4. Pangan darurat bukan Therapeutic Nutritional Supplement.

5. Pangan darurat bukan merupakan makanan substitusi untuk anak menyusui yang berusia dari 0-6 bulan.

6. Pangan darurat bukan dirancang untuk memenuhi seluruh kebutuhan dari young infants (0-6 bulan), tetapi pangan darurat dapat dikombinasikan dengan air untuk menghasilkan nasi sebagai makanan pelengkap bagi older infants (7-12 bulan).

Pangan darurat memiliki karakteristik energi yang terdiri dari lemak 35-45% per 2100 kkal, dengan kadar air yang rendah dan minimal energi dari pangan darurat per 50 gram harus sebesar 233 kkal (McMahon et al 2009). Komposisi lemak untuk pangan darurat harus didefinisikan secara rinci, yaitu total lemak harus menyumbangkan kalori pada interval 35-45% dari total energi, energi dari lemak jenuh paling sedikit harus memenuhi 10% dari total energi, energi dari total PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) harus memenuhi 7-10% dari total energi, dan perbandingan antara asam linoleat dengan linolenat harus pada rasio 5:1 (McMahon et al. 2009).


(20)

4

Kebutuhan energi lainnnya akan dipenuhi dari protein dan karbohidrat. Saat proses pembuatan pangan darurat tidak boleh dilakukan suplementasi asam amino, karena dapat mengakibatkan perubahan rasa, meningkatkan biaya produksi, dan dapat mengakibatkan ketidakseimbangan jumlah akibat salah perhitungan sebelum pencampuran, karena kadar protein di dalam pangan darurat minimal 10% dari total keseluruhan sumber energi (Zoumas et al. 2002). Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama pada produk pangan darurat selain lemak dan protein. Karbohidrat memiliki beberapa fungsi dalam penyusunan pangan darurat, yaitu sebagai sumber energi, pemberi rasa manis, menghasilkan sifat-sifat fisik yang diinginkan pada produk, dan juga berperan dalam penyerapan natrium (Na) untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit tubuh.

Zoumas et al. (2002) merekomendasikan agar komposisi gizi dalam pembuatan pangan darurat idea dari segi gizi makro, maka:

1. Karbohidrat menyumbangkan 40-50 % atau sekitar 800-1000 kkal dari total kalori yang dibutuhkan dan dapat dipenuhi dari berbagai sumber, seperti tepung terigu, jagung, beras, dan otas, sedangkan sumber gula didapat dari high fructose corn syrup, sukrosa, atau maltodekstrin;

2. Protein menyumbangkan 10-15 % atau sekitar 200-300 kkal dari total kalori yang dibutuhkan dan dapat dipenuhi dari susu bubuk, seperti kasein dan turunannya atau campuran dari bahan dasar legume dan serealia yang memiliki skor asam amino ≥ 1.0; 3. Lemak menyumbangkan 35-45 % atau sekitar 700-900 kkal dari total kalori yang

dibutuhkan dan dapat dipenuhi dari sumber hidrogenisasi parsial dari kacang kedelai, minyak kanola, minyak kedelai, atau minyak bunga matahari; dan

4. Vitamin dan mineral dari sayur-sayuran juga dapat ditambahkan jika diperlukan untuk meningkatkan profil produk, demikian pula dengan bahan pengembang.

2.2. Beras dan Nasi

Beras merupakan hasil dari penggilingan gabah yang terdiri dari dua punyusun utama, yaitu 72-82% bagian yang dapat dimakan atau kariopsis (disebut juga beras pecak kulit atau brown rice)

dan 18-28% kulit gabah atau sekam. Bagian kariopsis tersusun dari 1-2% perikarp, 4-6% aleuron dan testa, 2-3% lemma dan 89-94% endosperm. Perbedaan komposisi beras dapat disebabkan oleh perbedaan varietas gabah, keadaan daerah penanaman dan perbedaan perlakuan saat budi daya (Hariyadi 2008). Beras memiliki pH netral dan kandungan karbohidrat yang tinggi (sekitar 70-80%). Beras juga mengandung protein sebesar 6-7% dan kandungan lemak yang sangat rendah (1-2%).

Komponen terbesar pada beras adalah pati. Pati pada endosperm beras berbentuk granula polyhedral berukuran 3-5 µm. Pati beras terdiri dari rangkaian satuan-satuan α-D-glukosa, yang terdiri atas amilosa (fraksi berantai lurus) dan amilopektin (fraksi dengan rantai cabang). Ikatan antarsatuan glukosa yang utama adalah 1,4- α-glikosidik, sedangkan pada molekul amilopektin terdapat percabangan dengan ikatan 1,6- α-glikosidik (Hariyadi 2008).

Berdasarkan panjang bulirnya, beras dikategorikan menjadi long grain rice yang memiliki panjang bulir 6-7 mm, medium grain dengan panjang bulir 5-5.9 mm dan short grain dengan panjang bulir kurang dari 5 mm. Beras jenis long grain memiliki kandungan amilosa lebih tinggi dari kedua tipe lainnya. Amilosa menyerap air lebih sedikit daripada amilopektin sehingga long grain rice akan lebih pera dari kedua tipe lainnya (McWilliams 2001).


(21)

5

Berdasarkan kadar amilosanya, beras dapat dikelompokkan menjadi beras ketan yang mengandung amilosa 0-2% dari berat kering, serta beras dengan kandungan amilosa rendah (9-20%), menengah (20-25%) dan tinggi (lebih dari 25%) (Hariyadi 2008).

Beras dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, salah satunya adalah nasi. Nasi umumnya dibuat dengan cara memasak beras dalam rice cooker atau dengan penanakan dalam air. Nasi biasanya dikonsumsi dalam keadaan hangat karena rasa, aroma dan teksturnya lebih disukai oleh konsumen. Apabila nasi mendingin, teksturnya akan menjadi lebih keras karena mengalami peristiwa retrogradasi (Hariyadi 2008). Selama penanakan nasi, granula pati mengalami proses pengembangan karena menyerap air. Pada suatu kisaran suhu kritis, granula pati mengalami proses ireversibel yang disebut gelatinisasi dan ditandai oleh hilangnya sifat birefringence dan pelarutan pati.

Beras mengandung enzim α-amilase yang bersifat tahan panas. Enzim ini akan aktif pada suhu di atas 60oC bersamaan dengan proses gelatinisasi pati yang mengakibatkan pati menjadi lebih mudah diserang oleh enzim tersebut. Enzim tersebut memecah sebagian pati menjadi glukosa. Gabungan enzim amilase seperti α-amilase, β-amilase dan α-glukosidase dalam beras aktif memecah pati selama pemasakan. Akibatnya rasa nasi akan menjadi agak manis dan teksturnya menjadi lebih lunak.

Rasio antara kandungan amilosa serta amilopektin dan kandungan amilosa terlarut merupakan faktor yang penting untuk menentukan mutu tekstur nasi. Molekul amilosa cenderung membentuk struktur heliks yang dapat memerangkap molekul lain seperti asam lemak dan monogliserida. Pembentukan kompleks ini dapat mengurangi kelengketan dan meningkatkan kekerasan. Tingkat pengembangan dan penyerapan air saat gelatinisasi tergantung pada kandungan amilosa. Makin tinggi kandungan amilosa, kemampuan pati untuk menyerap dan mengembang menjadi lebih besar karena amilosa mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar dibandingkan dengan amilopektin. Keberadaan protein beras yang sebagain besar tidak larut dalam air akan memengaruhi viskositas suspensi pati setelah gelatinisasi. Hal ini dapat disebabkan oleh protein yang menyelubungi granula pati sehingga secara fisik menghambat proses penyerapan air dan pengembangan granula pati (Hariyadi 2008).

2.3. Karakteristik Sensori Nasi untuk Pengalengan

Nasi merupakan makanan pokok sebagian warga dunia yang diolah dari beras. Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki budaya konsumsi nasi yang sangat kuat terlihat dari tingginya angka konsumsi beras perkapita pertahun yang mencapai 135 kg/kapita/tahun (Hariyadi 2006). Pemanfaatan nasi sebagai bahan utama pembuatan makanan darurat dinilai tepat, karena nasi memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, sehingga dapat berkontribusi terhadap pemenuhan kalori. Nasi juga disukai oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, sehingga tidak diperlukan tahap introduksi untuk mengajak masyarakat mengonsumsi nasi.

Pengolahan beras menjadi nasi umumnya dilakukan dengan cara dikukus maupun direbus. Beras, ketika dipanaskan dengan air akan mengalami pengembangan akibat penyerapan air oleh granula pati. Ketika mencapai suatu suhu kritis, beras akan tergelatinisasi yang ditandai dengan pelarutan pati dan hilangnya sifat birefringence. Suhu pada saat pati mulai mengembang karena dipanaskan dengan air dinamakan suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi untuk beras berkisar antara 58-79o C (Hariyadi 2006 dalam Valentina 2009).


(22)

6

Pengembangan granula selama gelatinisasi dipengaruhi oleh komponen amilosa dan amilopektin pati. Amilopektin memiliki kemampuan mengembang dan mempertahankan air yang lebih besar daripada amilosa. Adanya amilosa dalam granula pati dalam jumlah besar akan menghambat proses pengembangan granula (Bao dan Bergman 2004 dalam Valentina 2009). Perilaku pati akibat pemanasan dan rasio amilosa dan amilopektin yang terkandung pada pati beras akan sangat memengaruhi kualitas sensori nasi khususnya tekstur. Penelitian Pardon (2000) menunjukkan bahwa suhu dan lama penyimpanan memengaruhi kekerasan, kelengketan, dan tingkat retrogradasi pada nasi. Suhu yang semakin rendah dan penyimpanan yang semakin lama mengakibatkan kekerasan nasi meningkat dan kelengketannya menurun. Selain itu, kultivar beras yang berbeda menunjukkan kinetika retrogradasi yang berbeda pula karena perbedaan sifat-sifat patinya. Karakteristik sensori untuk nasi dalam kemasan kaleng adalah yang terbuat dari beras dengan kandungan amilosa rendah sehingga diperoleh tekstur nasi yang pulen, waktu pemasakan nasi dalam kemasan kaleng juga harus singkat supaya tidak menghasilkan tekstur bubur ketika dikalengkan (Valentina 2009).

Berdasarkan penelitian dari Valentina (2009), beras yang paling baik untuk dikalengkan adalah beras yang bersifat semipera (varietas IR 64), karena kandungan amilopektin pada beras tidak terlalu tinggi tidak juga terlalu rendah. Beras pulen (yang memiliki kandungan amilopektin tinggi) akan menghasilkan tekstur nasi yang terlalu lembek bila dikalengkan karena penyerapan air oleh amilopektin yang tinggi, sedangkan beras yang terlalu pera (amilopektin rendah) akan menghasilkan nasi dengan tekstur yang keras bila dikalengkan karena penyerapan air yang rendah.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Valentina (2009) dan Yanuar (2009) menyatakan bahwa kondisi beras yang ideal untuk proses pengalengan adalah beras setengah mentah. Beras mentah yang sudah dicuci, lalu ditambah dengan air pada perbandingan (1:2)-(1:3) kemudian dimasak setengah matang lalu dikalengkan akan menghasilkan tekstur nasi yang lebih baik daripada menggunakan beras aron (setengah matang), ataupun beras matang.

2.4. Tepung Putih Telur dan Sifat Fungsionalnya

Putih telur terdiri dari empat bagian, yaitu lapisan encer, lapisan kental, lapisan encer bagian luar, dan lapisan kalazeferous. Jenis kandungan protein putih telur berbeda-beda dan yang termasuk protein utama putih telur adalah ovalbumin, kanalbumin, ovomucin, dan globulin (Bruno 2003). Anatomi putih telur yang mengelilingi kuning telur merupakan bagian terbesar dari telur utuh (± 60%), warna jernih atau kekuningan pada putih telur disebabkan oleh pigmen ovoflavin.

Kandungan air pada putih telur lebih banyak terdapat pada bagian lainnya sehingga selama penyimpanan, bagian ini mudah rusak (Andarani 2003). Komposisi putih telur terdiri dari 87,7% air; 0,05% lemak; 10% protein dan 0,82% karbohidrat (KH) dan total kepadatan putih telur sebesar 13,13%. Putih telur mengandung sedikit karbohidrat yang berada dalam keadaan kompleks dengan protein maupun dalam keadaan bebas. Sekitar 98% KH bebas pada putih telur adalah glukosa protein yang lebih banyak berupa glikoprotein, yaitu protein yang berikatan dengan lemak (Ikime 2009).

Indeks putih telur merupakan parameter yang serupa, yaitu perbandingan tinggi albumin tebal dengan rata-rata garis tengah panjang dan pendek albumin tebal. Dalam telur yang baru ditelurkan nilai ini berkisar antara 0,050 dan 0,174, meskipun umumnya berkisar antara 0,090


(23)

7

dan 0,120. Indeks putih telur akan menurun selama penyimpanan, karena pemecahan ovomucin yang dipercepat pada pH yang tinggi (Buckle 2007).

Albumin pada putih telur memiliki beberapa fungsi, antara lain (1) mengangkut molekul-molekul kecil melewati plasma dan cairan sel yang berkaitan dengan bahan metabolisme asam lemak bebas, bilirubin dan berbagai macam obat yang kurang larut dalam air tetapi harus diangkat melalui darah dari satu organ ke organ lainnya agar dapat dimetabolisme atau diekskresi; (2) memberikan tekanan osmotik di dalam kapiler untuk pembentukan jaringan sel baru terutama percepatan pemulihan jaringan sel tubuh yang terbelah, misalnya karena operasi, pembedahan, atau luka bakar dan (3) menghindari timbulnya sembab paru-paru dan gagal ginjal serta carrier faktor pembekuan darah (Muchtadi 2000).

Salah satu bentuk olahan dari putih telur yang digunakan dalam industri pangan adalah tepung putih telur. Suprapti (2002) menerangkan bahwa tepung telur atau telur kering adalah bentuk awetan telur melalui proses pengeringan dan penepungan. Disamping lebih awet, keuntungan lain dari tepung telur adalah volume bahan menjadi jauh lebih kecil sehingga menghemat ruang penyimpanan dan biaya pengangkutan. Tepung telur memiliki pemasaran yang lebih luas dan penggunaannya lebih beragam dibandingkan telur segar. Tepung telur yang dihasilkan harus memiliki sifat-sifat fungsional dan sifat fisiokimia yang tidak terlalu berbeda dari telur segar. Sifat fungsional sangat penting untuk dipertahankan karena menentukan kemampuan tepung telur untuk digunakan dalam pembuatan makanan olahan. Sifat-sifat yang harus dipertahankan antara lain daya busa, sifat emulsi, sifat koagulasi (kemampuan menggumpal dan membentuk gel) dan warna (Saleh et al. 2002).

Tepung telur umumnya memiliki daya busa yang lebih rendah dibandingkan dengan telur segarnya (Saleh et al. 2002). Penambahan gula seperti sukrosa (gula pasir), laktosa, maltosa, dan dekstrosa dalam pembuatan tepung telur dapat memperbaiki sifat daya busanya. Penambahannya harus hati-hati dan diatur agar menghasilkan daya busa yang baik dengan tidak menimbulkan rasa manis pada tepung telur yang dihasilkan (Winarno 2002). Daya emulsi, daya koagulasi, dan warna tepung telur umumnya tidak banyak berbeda dibandingkan dengan keadaan segarnya. Perbedaan warna tepung putih telur dengan telur segar terjadi jika kandungan gula pereduksi (yang sebagian besar adalah glukosa) dalam telur lebih dari 0,1 %, yaitu warna tepung telur akan berubah menjadi kecoklatan selama pengolahan dan penyimpanan (Saleh et al. 2002). Keadaan ini dapat di atasi dengan cara mengurangi kandungan glukosa dalam cairan putih telur sebelum dibuat tepung melalui fermentasi menggunakan bakteri asam laktat (Streptococcus lactis), fermentasi khamir atau ragi (Saccharomyces cerevisiae) menggunakan ragi roti atau dengan penambahan enzim glukosa oksidase (Buckle 2007). Kandungan air sangat berpengaruh terhadap daya tahan tepung telur dan bahan kering harus memiliki kandungan air sangat kecil. Kandungan air pada tepung telur harus kurang dari 5 %, karena akan meningkat mencapai 9 – 10 % setelah disimpan. Mutu terbaik akan diperoleh jika pada saat disimpan kadar airnya maksimal 1 % (Shaleh et al. 2002).

2.5. Margarin

Menurut SNI 01-3541-2002, margarin adalah produk makanan berbentuk emulsi air dalam minyak (w/o), baik dalam bentuk semipadat maupun cair. Margarin terbuat dari lemak makan atau minyak makan nabati, dengan atau tanpa perubahan kimiawi termasuk hidrogenasi, interesterifikasi dan telah melalui proses pemurnian (BSN 2002). Margarin


(24)

8

dibedakan atas margarin siap makan, margarin industri dan margarin krim atau spread. Pada margarin siap makan dipersyaratkan adanya penambahan vitamin A dan vitamin D dengan kadar lemak minimal 80%, sedangkan untuk margarin industri dan krim, tidak dipersyaratkan penambahan vitamin A dan D.

Margarin kaya dengan kandungan vitamin A yang mudah diserap dan sangat dibutuhkan tubuh untuk fungsi fisiologis dan pemeliharaan sistem endokrin. Kadar vitamin A yang dipersyaratkan untuk margarin adalah 2500-3500 IU per 100 gram, sedangkan untuk vitamin D sebesar 250-350 IU per 100 gram. Fase lemak umumnya terdiri dari minyak nabati yang sebagian telah dipadatkan agar diperoleh sifat plastis yang diinginkan pada produk akhir. Kandungan lemak pada margarin siap makan, margarin industri dan margarin krim masing-masing adalah 80%,80% dan 62-78% sedangkan kandungan air maksimum adalah 18% (BSN 2002). Menurut Astawan (2004), pembuatan margarin dimaksudkan sebagai pengganti margarin dengan rupa, bau, konsistensi rasa dan nilai gizi yang hampir sama dengan margarin. Ciri-ciri margarin yang paling menonjol adalah bersifat plastis, padat pada suhu ruang, agak keras pada suhu rendah, teksturnya mudah dioleskan serta dapat mencair dalam mulut. Minyak nabati yang umum digunakan dalam pembuatan margarin adalah minyak kelapa, minyak inti sawit, minyak biji kapas, minyak kedelai, minyak wijen, minyak jagung dna minyak gandum. Menurut Ketaren (2005), syarat-syarat minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan margarin adalah memiliki bilangan iod rendah, warna minyak seperti margarin, citarasa minyak yang baik, kandungan asam lemak yang stabil, memiliki titik beku dan titik cair pada suhu kamar dan minyak tersebut harus tersedia di suatu daerah.

Komponen lain yang sering ditambahkan dalam pembuatan margarin adalah air, garam, flavor, zat pengemulsi (berbentuk lesitin, gliserin atau kuning telur), zat pewarna, bahan pengawet (sodium benzoate, asam benzoate dan potassium sorbet), serta vitamin A dan D (Astawan 2004). Pembuatan margarin dilakukan dengan cara membuat emulsi antara fase minyak (minyak nabati, emulsifier, vitamin, zat warna) dan fase air (garam, sodium benzoate, air, atau potassium sorbet). Pembuatan emulsi dilakukan dengan cara pengadukan dan sebagian emulsi yang terbentuk kemudian dikristalkan melalui proses pendinginan secara cepat yang dilanjutkan dengan proses plastisasi atau teksturisasi. Pengkirstalan dengan cara pendinginan bertujuan untuk membuat margarin menjadi plastis, tetapi tidak padat, tahan sampai tekanan tertentu, tidak mengalir, tetapi mudah dicampur dan dioleskan (Subarna 2008).

2.6. Pengalengan Pangan dan Sterilisasi Komersial

Teknologi pengalengan (canning) merupakan salah satu metode pengawetan pangan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi. Proses pengawetan terjadi disebabkan adanya pembunuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen oleh panas. Pemanasan basah (uap) lebih efektif dibandingkan pemansan kering (Kim dan Foegeding 2000). Pengertian pengalengan bukan hanya terbatas pada proses pengalengan konvensional menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort pouch, tetrapack, kaleng alumunium, gelas jar, kemasan plastik, dan sebagainya (Hariyadi et al. 2006). Syarat utama wadah yang dapat digunakan untuk pengalengan pangan adalah tertutup rapat, tidak dapat dimasuki udara, uap air, ataupun mikroba.

Istilah sterilisasi komersial digunakan pada proses sterilisasi produk pangan karena kondisi steril absolut (kondisi bebas mikroba) sulit dicapai (Hariyadi 2000). Sterilisasi


(25)

9

komersial merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak lagi terdapat mikroorganisme yang hidup (Hariyadi et al. 2006). Pemanasan dalam proses sterilisasi dilakukan pada suhu di atas 100oC dalam waktu yang cukup untuk membunuh spora bakteri (Muchtadi 2004).

Perpindahan panas ketika bahan pangan dikalengkan terjadi secara konduksi dari udara panas retort ke dalam kemasan dan konduksi atau konveksi dari kemasan ke bahan pangan sangat tergantung jenis bahan pangannya (Hariyadi 2006). Titik-titik di dalam suatu kemasan (kaleng) yang dipanaskan tidak berada pada suhu yang sama dan terdapat suatu titik terdingin dari kaleng yang merupakan posisi paling sulit untuk dilakukan sterilisasi, karena pindah panas di titik ini berlangsung sangat lambat. Fellow (2000) menyatakan bahwa, pada kemasan berbentuk silinder seperti kaleng, titik dingin produk pangan berbentuk cair akan berada pada titik tengah pada seperempat ketinggian kaleng dari bagian bawah kemasan, sedangkan untuk produk padat berada pada titik tengah pusat kaleng pada sumbu vertikal.

Kecukupan proses termal sangat penting untuk diperhatikan pada saat proses sterilisasi, karena proses termal juga mampu menyebabkan kerusakan komponen gizi (vitamin dan protein) serta penurunan mutu sensori produk. Oleh karena itu kecukupan panas pada saat pengalengan harus dikontrol (Hariyadi 2000). Proses pengolahan pangan dengan aplikasi panas selalu dihadapkan pada dua hal yang bertentangan. Pengaruh waktu dan suhu pemanasan yang semakin tinggi pasti akan semakin baik dalam membunuh mikroorganisme dan mempertahankan umur simpan produk. Namun, waktu dan suhu pemanasan yang tinggi akan mengakibatkan semakin banyak komponen gizi yang rusak. Oleh karena itu proses sterilisasi harus dapat menentukan kombinasi suhu dan waktu yang tepat agar mikroba mati, namun komponen gizi tetap memiliki retensi yang baik (Muchtadi 2004).

Kecukuan panas dalam proses termal berkaitan dengan ketahanan bakteri pembusuk dan patogen beserta sporanya. Ketahanan bakteri terhadap suatu proses pemanasan umumnya dinyatakan dalam nilai D dan nilai Z. Nilai D adalah waktu yang diperlukan dalam satuan menit pada suhu tertentu untuk membunuh sebanyak 90% dari suatu populasi mikroorganisme dalam suatu bahan pangan. Nilai Z adalah perbedaan suhu dalam derajat Fahrenheit yang dibutuhkan untuk menurunkan nilai D sampai satu siklus logartimik (90%). Nilai D merefleksikan daya tahan suatu mikroorganisme terhadap suatu suhu tertentu, sedangkan nilai Z memberikan informasi mengenai daya tahan relatif dari suatu mikroorganisme terhadap suhu-suhu destruktif (Singh 2001).

Kecukupan proses termal bergantung pada karakteristik nilai Z mikroorganisme, jumlah mikroorganisme awal pada bahan pangan, dan suhu serta tipe aplikasi termal yang dilakukan. Untuk dapat membandingakn kapasitas sterilisasi relatif dari suatu proses termal, dibutuhkan suatu unit letalitas. Dalam proses sterilisasi, letalitas total yang menunjukkan kecukupan proses termal dilambangkan dengan nilai Fo. Nilai Fo didefinisikan sebagai waktu dalam menit yang diperlukan untuk membunuh sejumlah tertentu mikroorganisme (mencapai tingkat sterilitas) yang mempunyai karakteristik nilai Z tertentu pada beberapa suhu referensi tertentu. Apabila sterilisasi dilakukan dengan suhu 121.1o C, maka waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat sterilitas tertentu dinyatakan dengan Fo, dan Fo disebut juga nilai sterilisasi. Nilai sterilisasi inilah yang nantinya menjadi dasar penentuan matematika untuk kecukupan proses termal (Haryadi dan Kusnandar 2000). Nilai Fo dapat ditentukan dengan dua metode, yaitu metode umum dan metode ball.


(26)

10

2.6.1 Metode Umum (Improved General Method)

Metode umum adalah metode yang paling teliti dalam perhitungan letalitas proses termal karena data suhu bahan hasil pengukuran dalam percobaan secara langsung digunakan dalam perhitungan tanpa asumsi dan prediksi berdasarkan persamaan hubungan waktu dan suhu. Metode ini tidak digunakan untuk meramalkan hubungan waktu dengan suhu dalam bahan pangan selama pemanasan, sehingga tidak biasa digunakan untuk merancang proses termal, tetapi sering digunakan untuk evaluasi proses termal yang sedang berjalan di industri pengalengan (Subarna et al. 2008).

Target pembunuhan proses termal sering dinyatakan dalam satuan reduksi desimal mikroba,misalnya 12D yang artinya reduksi mikroba sebanyak 12 siklus logaritma atau reduksi 1 menjadi10-12. Nilai D adalah waktu pemanasan yang diperlukan pada suhu tertentu untuk reduksi mikroorganisme sebanyak 90% atau menjadi 1/10, yang dalam persamaan matematis dapat ditulis:

Nilai a dan b menunjukkan jumlah mikroba yang tahan setelah pemanasan t1 dan t2 menit. Nilai Z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau menaikkan nilai D 10 kali lipat, yang secara matematis dapat ditulis sebagai:

Z=

…….……...……....…………...…………(2)

Metode umum yang didasarkan pada hubungan lethal rate (L) dan waktu (t). Nilai L adalah tingkat sterilitas mikroba yang disetarakan pada suhu 121.1o C atau 250o F (Haryadi dan Kusnandar 2000). Nilai L dalam proses pemanasan dapat diperoleh dengan persamaan:

L = 10 ………...……(3)

Dalam evaluasi dan penetapan proses termal harus dilakukan identifikasi jenis mikroorganisme yang menjadi target. Oleh karena itu, kinetika dekstruksi mikroorganisme yang menjadi target (nilai D, z , dan lethal rate) harus diketahui. Pada perhitungan dengan metode umum, letalitas dihitung dengan cara integrasi lethal rate terhadap waktu untuk menentukan Fo. Nilai Fo adalah ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 121.1o C atau 250o F, secara matematis dapat ditulis sebagai:

Fo = ∑ …………..……….………(4)

Luasan di bawah kurva hubungan L dan waktu menunjukkan Fo proses sterilisasi. Luasan kurva dapat ditentukan dengan melakukan pendekatan jumlah luasan trapezium tiap satuan waktu. Metode umum mengasumsikan bahwa letalitas antartitik (waktu) yang diukur membentuk garis lurus, sehingga letalitas setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi (t n - t n-1), panjang atas dan bawah masing-masing adalah Ln dan Ln-1 (Hariyadi dan

Kusnandar 2000). Perhitungan dapat dilakukan pula dengan menggunakan excel spreadsheet. Nilai Fo merupakan hasil penjumlahan Fo parsial atau luasan di bawah kurva trapezium:

………….……..(5)

Perhitungan nilai letalitas proses termal dengan metode umum dapat dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel dari data penetrasi panas yang telah diperoleh. Langkah-langkan perhitungan nilai letalitas proses termal dengan menggunakan metode umum bantuan microsoft excel dijelaskan sebagai berikut:

a. memasukkan data waktu pada satu kolom (misalnya kolom A). Rentang waktu tidak harus sama.


(27)

11

b. memasukkan data pada kolom berikutnya (misalnya kolom B) dengan cara Excel = A3-

A2

c. memasukkan data suhu produk pada kolom berikutnya (misalnya kolom C).

d. pada kolom ketiga (kolom D), dimasukkan rumus untuk menghitung letalitas dan kopi untuk baris baris di bawahnya pada kolom tersebut. (Excel = 10 x (B2-250)/18).

e. pada sel pertama kolom ke-4, dimasukkan rumus untuk menghitung . (Excel : B3 x D3).

f. untuk menduga nilai letalitas sepanjang proses (Fo), pada kolom berikutnya (E) dituliskan rumus penjumlahan tersebut, kemudian hasil perhitungan dijumlahkan dengan sel di atasnya untuk mendapat nilai Fo parsial. (Excel : E3+D4) (Mutia 2012).

2.6.2 Metode Formula (Ball Method)

Metode formula digunakan untuk merancang proses termal karena metode ini dapat meramalkan hubungan waktu dengan suhu dalam bahan pangan selama pemanasan. Untuk perhitungan proses termal menggunakan metode formula, data penetrasi panas diolah sehingga memperoleh karakteristik panas dalam pangan yang diproses (fh,fc,jh,jc). Parameter respon suhu

fh dan fc menunjukkan laju penetrasi panas ke dalam produk dalam wadah, fh adalah waktu

yang diperlukan kurva penetrasi panas untuk melewati 1 siklus log pada fase pemanasan, dan fc

untuk fase pendinginan. Faktor lag antara jh dan jc menggambarkan waktu lag (kelambatan)

sebelum laju penetrasi mencapai fh dan fc (Hariyadi dan Kusnandar 2000). Persamaan umum

hubungan suhu produk dan waktu pemanasan pangan dalam wadah adalah sebagai berikut: (Tr -T) = (Tr-Ti) 10 -(t/fh) ………..………..(6)

atau

Log (Tr-T) = (Tr-Ti) - t/fh………..………...(7)

keterangan: t = waktu proses

T = suhu produk (pada titik terdingin) Tr = suhu retort pada saat proses Ti = suhu awal produk

fh = waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas untuk melewati 1 siklus log.

Metode ball menggunakan fakta bahwa nilai sterilitas porsi pemanasan dari proses termal merupakan fungsi dari slope (kemiringan) kurva pemanasan (Tr-T) = g. Dari persamaan hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan, dapat diturunkan persamaan sebagai berikut:

tB = (fh) log (jh.ih/g)……….………..…………..(8)

tB = waktu proses dan

log jh = log (Tr - Tpih)/(Tr-Ti), ih = Ti………..(9) Dari tabel atau kurva hubungan fh dan waktu pemanasan pada suhu retort untuk mencapai sterilitas yang diinginkan (U=Fo/Lr) dengan nilai g, dapat ditentukan , sehingga nilai


(28)

12

tB dapat dihitung. Atau sebaliknya, jika waktu proses (tB) telah diketahui, nilai sterilitas proses


(29)

13

III. METODE PENELITIAN

3.1 . Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, dimulai pada bulan Juni dan berakhir pada bulan November 2012. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan, Pengolahan Pangan, Laboratorium Pilot Plant dan Laboratorium Evaluasi Sensori di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan adalah beras (Oryza sativa) jenis semipera dari varietas IR64 yang didapatkan dari Pusat Penelitian Padi Departemen Pertanian di Sukamandi, sedangkan tepung putih telur dan margarin didapatkan dari Toko Kue Yolk di Bogor.

Bahan kimia yang digunakan meliputi bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat), antara lain terdiri dari: K2SO4, HgO, larutan

H2SO4 pekat, larutan H3BO3, indikator metal merah 0.2%, metilen biru 0.2%, larutan

NaOH-Na2SO3, larutan HCl 0.02 N, heksan, NaOH, etanol 96%, asam asetat 1 N, larutan iod, DNS,

NaK-tartarat, dan akuades

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat untuk pengolahan dan alat untuk analisis. Alat pengolahan yang digunakan antara lain: kompor gas, panci kukus, wajan, waring blender, dan pengaduk kayu, sedangkan alat-alat analisis termal dan kimia meliputi: retort, exhauster, termokopel, desikator, neraca analitik, oven vakum, labu kjeldahl, alat destilasi, cawan aluminium, cawan proselen, spektrofotometer, buret, alat soxhlet, water bath, texture analyzer, chromameter, refluks, kertas saring, dan alat-alat gelas lainnya.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu tahapan penentuan formula terpilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan pengujian umur simpan. Secara rinci kegiatan penelitian meliputi (1) tahap penentuan formula produk nasi dalam kemasan kaleng, (2) penentuan karakteristik proses termal untuk pengalengan, (3) analisis produk akhir nasi dalam kemasan kaleng yang terbagi dalam analisis proksimat, analisis fisik dan uji rating hedonik untuk memilih formula terbaik, selanjutnya dilakukan (4) karakterisasi formula yang terpilih untuk mengetahui ketahanan produk selama penyimpanan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Bagan tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.


(30)

14

Margarin

Analisis proksimat bahan baku (Karbohidrat, Lemak, Protein, Abu dan Air)

Formulasi berdasarkan hasil analisis proksimat bahan baku (Formula I, II, III, IV)

Penentuan karakteristik proses termal produk (distribusi panas, penetrasi panas dan nilai Fo)

Nasi dalam kemasan kaleng (Formula I, II, III, IV)

Analisis proksimat Uji rating hedonik dan analisis fisik (warna dan tekstur)

Penentuan formula terpilih

Pengujian umur simpan dengan metode ASLT

Analisis sensori dan fisik produk (interval 7 hari, selama 6 minggu)

Gambar 1. Diagram Alir Tahapan Penelitian Beras Tepung Putih Telur

Pengalengan formula terpilih Proses pengalengan pada satu waktu proses


(31)

15

3.3.1 Tahap Penentuan Formula Nasi dalam Kemasan Kaleng

Target formulasi produk adalah nilai kalori yang cukup yaitu 700 kkal/saji untuk memenuhi kecukupan 2100 kkal/hari, dengan asumsi setiap orang mengonsumsi produk tiga kali makan dalam sehari. Selain itu, formulasi juga dirancang untuk memenuhi kontribusi kalori seimbang (40-50% karbohidrat, 10-15% protein dan 35-45% lemak) serta karakteristik mutu yang dapat diterima (acceptable). Bahan baku yang digunakan adalah beras IR-64 sebagai sumber karbohidrat, tepung putih telur sebagai sumber protein dan margarin sebagai sumber lemak. Bumbu-bumbu seperti garam, gula, dan kaldu blok digunakan sebagai pencitarasa khas untuk meningkatkan penerimaan produk. Tahap formulasi ini diawali dengan analisis proksimat bahan baku (beras, tepung putih telur dan margarin) untuk dapat menghitung komposisi gizi dan kontribusi kalori seimbang dari masing-masing formulasi secara teroritis. Perhitungan total energi dilakukan dengan prinsip kesetimbangan massa (mass balance). Kandungan gizi diatur sedemikian rupa agar memenuhi regulasi pangan darurat sesuai rekomendasi Institute of Medicine (IOM). Setelah itu dilakukan perhitungan teoritis komposisi bahan baku dan penyusunan empat formula utama berdasarkan perhitungan awal yang dihipotesiskan mampu memenuhi standar gizi untuk pangan darurat sesuai rekomendasi IOM. Rancangan formula yang sudah disusun dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Formulasi Nasi dalam Kemasan Kaleng Berdasarkan Kontribusi Sebaran Gizi Makro

Komposisi Gizi Formula I (%) Formula II (%) Formula III (%) Formula IV (%)

Karbohidrat 40 50 50 45

Lemak 45 35 40 40

Protein 15 15 10 15

Total 100 100 100 100

Serat pectin 5 5 5 5

Keterangan:

Formulasi disusun berdasarkan standar IOM (2002) dengan sebaran energi dari karbohidrat (40-50%), lemak (35-45%) dan protein (10-15%).

3.3.2 Penentuan Karakteristik Proses Termal untuk Pengalengan Pengukuran distribusi panas (Kusnandar et al. 2009)

Pengukuran distribusi panas bertujuan menentukan bagian terdingin dalam retort, waktu venting, dan menentukan come up time (CUT). Keranjang dalam retort diisi penuh dengan retort pouch yang berisi air. Sepuluh termokopel dipasang pada sepuluh titik tertentu dalam retort dan dihubungkan dengan alat pencatat (recorder) yang akan mencatat data perubahan suhu terhadap waktu. Titik-titik pemasangan termokopel dilakukan menyebar dalam retort (Gambar 2).


(32)

16

Gambar 2. Posisi termokopel dalam retort selama uji distribusi panas

Pengukuran penetrasi panas (Kusnandar et al. 2009)

Penetrasi panas dilakukan pada produk dengan memasang termokopel pada bagian tengah kemasan. Pengukuran penetrasi panas ke dalam produk menggunakan empat termokopel (tiga termokopel untuk mengukur suhu dalam produk dan satu termokopel untuk mengukur suhu retort). Produk disusun dalam satu tumpukan dalam keranjang retort paling atas dan retort diisi penuh dengan kaleng lain yang berisi air. Alat recorder mencatat perubahan suhu produk di dalam kemasan terhadap produk setiap satu menit. Data hasil pengukuran penetrasi panas ini, dibuat grafik pada semilogaritma. Suhu ditempatkan pada skala logaritmis (sumbu y), sedangkan waktu pada skala linier (sumbu x).

Penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode umum (improved general formula) (Kusnandar et al. 2009)

Untuk mencegah terjadinya overprocess maupun underprocess pada penelitian ini dilakukan perhitungan waktu sterilisasi. Nilai sterilitas proses dihitung dari luasan daerah di bawah kurva pada semilogaritma. Bentuk luasan di bawah kurva tersebut dianggap trapesium. Untuk menghitung luas trapesium tersebut, area di bawah kurva dibagi menjadi sejumlah pararelogram pada interval waktu (∆t) tertentu. Kemudian masing-masing dihitung luasnya dengan rumus luas trapesium sehingga didapat nilai letal rate (LR) dan sterilitas parsial (Fo parsial) pada ∆t tersebut (Gambar 3). Masing-masing Fo parsial dijumlahkan. Hasilnya menunjukkan nilai sterilitas total dari proses yang telah dilakukan.

10

1 2 3

4 5

6 7

8 9


(33)

17

Gambar 3. Hubungan antara letal rate (LR) dan waktu (∆t)

Penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode formula (Ball) (Kusnandar et al. 2009)

Metode formula dilakukan menggunakan berbagai parameter yang diperoleh dari grafik penetrasi panas. Plot data hasil pengukuran penetrasi panas diolah dengan prosedur matematis untuk mengintregasikan efek letalitas yang terjadi sehingga diperoleh karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses. Dicari persamaan garis kurva penetrasi panas yang dapat menghasilkan nilai Fo paling mendekati nilai Fo dari metode umum agar diperoleh parameter karakteristik penetrasi panas, seperti fh dan jh, yang nilainya akan digunakan untuk mendapatkan formula proses yang terjadi (Gambar 4). Persamaan kurva penetrasi panas yang digunakan dalam metode Ball adalah sebagai berikut:

Log (Tr – T) = Log [jh (Tr – To)] – tB / fh

dimana; Tr = suhu medium pemanas, To = suhu awal produk, T = suhu maksimum produk pada akhir proses, dan tB = waktu proses Ball. Rumus yang digunakan sebagai berikut:

tB = fh (log jh . ih – log g)


(34)

18

Gambar 4. Kurva pemanasan metode formula (Ball)

Pengalengan formula nasi dalam kemasan kaleng pada satu waktu proses

Berdasarkan hasil dari uji penetrasi panas, nilai kecukupan panas (Fo) dari masing-masing formula dapat dihitung, selanjutnya dilakukan pengalengan keempat formula pada satu waktu proses berdasarkan nilai Fo dari masing-masing formula. Sebelum dikalengkan, produk terlebih dahulu diletakkan pada alat exhauster selama 10 menit yang bertujuan untuk mengeluarkan uap yang masih berada pada daerah kepala kaleng (headspace) sehingga keadaan kaleng saat disterilisasi menjadi vakum. Kaleng berisi produk yang sudah dalam keadaan vakum kemudian dikelim dengan menggunakan alat pengelim (double seammer). Alat bekerja dengan mengelim kaleng sebanyak dua kali agar kemungkinan terjadinya kaleng bocor dapat diminimalkan. Diagaram alir tahap pengalengan dapat dilihat pada Gambar 5.


(35)

19

3.3.3 Analisis Produk Nasi dalam Kemasan Kaleng

Tahap analisis produk nasi dalam kemasan kaleng bertujuan untuk memilih satu formula terbaik melalui analisis proksimat produk meliputi, analisis kadar karbohidrat, lemak, protein, air dan abu, serta perhitungan nilai sebaran energi dari masing-masing formula. Selanjutnya dilakukan analisis fisik, meliputi pengukuran derajat warna menggunakan chromameter dan tekstur dengan Texture Profile Analyzer (TPA) dan analisis sensori yang dilakukan dengan uji rating hedonik untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap parameter rasa, warna, aroma, tekstur dan overall dari produk.

3.3.4 Pendugaan Umur Simpan Produk Nasi dalam Kemasan Kaleng

Pendugaan umur simpan produk nasi dalam kemasan kaleng dilakukan pada formula terpilih dengan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Produk disimpan pada 3 jenis suhu ekstrem, yaitu 35 0C, 45 0C, dan 55 0C selama 6 minggu dengan pengamatan dilakukan setiap 7 hari untuk setiap suhu penyimpanan. Parameter yang diamati pada setiap pengamatan meliputi analisis sensori untuk parameter warna, aroma, rasa dan tekstur dengan menggunakan 6 orang panelis terlatih. Untuk mendukung hasil analisis sensori yang bersifat subjektif, dilakukan analisis fisik terhadap parameter warna dengan menggunakan alat chromameter dan kekerasan dengan menggunakan alat Texture Profile Analyzer (TPA).

3.4. Metode Analisis

Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven Biasa (AOAC 1995)

Pertama-tama cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan kemudian ditimbang dengan neraca analitik. Sebanyak 5 gram sampel di timbang dan dimasukkan ke dalam cawan, kemudian berat cawan beserta sampel ditimbang dengan menggunakan neraca analitik. Cawan yang berisi sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam dan kemudian didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Setelah itu, cawan kembali dikeringkan dalam oven selama 15-30

Formula pangan darurat (Formula I, II, III, IV)

Dimasukkan ke dalam kaleng

Proses exhausting selama 10 menit

Pengeliman dengan alat double seammer

Sterilisasi dalam retort pada satu waktu proses


(36)

20

menit dan ditimbang kembali. Pengeringan kembali diulangi sampai memperoleh bobot konstan (selisih bobot kurang dari 0.0003 gram).

Perhitungan: Kadar air =

Keterangan : x = bobot cawan awal (g)

y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan a = bobot cawan kosong

Analisis Kadar Protein dengan Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC 1995)

Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sejumlah kecil sampel (±0,2 gram) ditempatkan dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9 ± 0,1 K2SO4, 40 ± 10 mg

HgO dan 2,0 ± 0,1 ml H2SO4 dan beberapa batu didih. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam

sampai cairan menjadi jernih, lalu cairan yang dihasilkan didinginkan untuk kemudian ditambahkan 8-10 ml NaOH - Na2S2O3 dan dimasukkan ke alat destilasi. Di bawah kondensor

alat destilasi diletakkan erlenmeyer bersisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes indikator

merah metal. Ujung selang kondensor harus terendam larutan tersebut untuk menampung hasil destilasi sekitar 15 ml. Hasil destilasi kemudian dititrasi oleh HCL 0,02 M sampai terjadi warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap blanko (yang tidak mengandung sampel).

Kadar N (%) = (a-b) x N HCL x 14,007 x 100% mg sampel

Kadar protein (%) = %N x 6,25 Keterangan:

a = ml titrasi HCL pada sampel b = ml titrasi HCL pada blanko

Analisis Kadar Gula Total dengan Metode Anthrone (AOAC 1995)

Sebanyak 1 ml sampel ditambahkan 80 ml aquades, lalu dididihkan selama 30 menit dan didinginkan. Ke dalam larutan ditambahkan 1 ml Pb-asetat jenuh perlahan-lahan sampai larutan menjadi jernih, lalu ditambah 0.5 g Na-Oksalat sampai larutan mengendap dan di tambah akuades sampai tanda tera di dalam labu takar 100 ml, kemudian larutan disaring dengan kertas whatman nomor 1.

Tahap selanjutnya adalah pembuatan blanko untuk kurva standar. Sebanyak 0.0 (blanko), 0.2 , 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan glukosa standar dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan air destilata sampai total volume masing-masing tabung 1.0 ml. Dengan cepat ditambahkan 5 ml pereaksi Anthrone ke dalam tabung reaksi, lalu ditutup dan di vortex. Tabung reaksi lalu direndam dalam air mendidih selama 12 menit, lalu didinginkan dalam air mengalir, dan diukur absorbansinya pada 630 nm. Dari hasil pengukuran dibuat kurva hubungan antara kadar gula dan nilai absorbansi. Konsentrasi gula dapat ditentukan dari kurva standar.

% Total gula = Gr x Fp x 100% Berat sampel (gr) Gr = gram glukosa dari kurva

Fp = Faktor Pengenceran.


(37)

21

Analisis Kadar Lemak dengan Metode Soxhlet (AOAC 1995)

Penentuan kadar lemak dilakukan berdasarkan metode ekstraksi soxhlet. Labu takar dikeringkan dalam oven. Sebanyak 5 g sampel dalam bentuk tepung ditimbang, dibungkus dengan kertas saring dan ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel diletakkan dalam alat ekstraksi sokhlet yang dirangkai dengan kondensor. Pelarut petroleum eter dimasukkan ke dalam labu secukupnya kemudian dilakukan refluks selama minimal 5 jam (sampai bening). Labu takar yang berisi lemak hasil ekstraksi dan kemudian dipanaskan untuk menguapkan pelarut yang tercampur dengan lemak sampel. Perhitungan kadar lemak dengan menggunakan rumus berikut:

Kadar Lemak = Berat lemak x 100% Berat sampel

Analisis Kadar Abu dengan Metode Tanur (AOAC 1995)

Pengukuran kadar abu ditentukan dengan alat tanur. Cawan porselin dikeringkan terlebih dahulu dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel dimasukkan dalam cawan porselin lalu diabukan dalam tanur bersuhu minimal 550o C sampai berwarna putih (semua contoh menjadi abu) dan berat konstan. Setelah itu, cawan dimasukkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Kadar abu = Berat abu x 100% Berat sampel Analisis Kadar Karbohidrat (AOAC 1995)

Kadar karbohidrat dihitung dengan metode by difference yaitu diketahui dengan cara 100% dikurangkan dengan nilai total dari kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Analisis Tekstur dengan Texture Profile Analyzer (Faridah et al. 2006)

Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan alat Texture Profile Analyzer (TPA). Setiap formula nasi dalam kemasan kaleng (4 formula) diuji profil teksturnya dengan alat. Prinsip kerja dari alat ini adalah sampel akan ditekan dengan menggunakan compression anvil. Jenis probe yang digunakan untuk menekan bahan tergantung dari karakteristik bahan yang akan diuji. Pengukuran dilakukan dengan memberikan dua kali gaya tekan terhadap sampel. Tabel 2 menunjukkan spesifikasi pengukuran alat yang digunakan, sedangkan kurva contoh hasil pengukuran dengan TPA dapat dilihat pada Gambar 6. Dari kurva tersebut, dapat diperoleh informasi seperti nilai kekerasan objektif (H1), daya kohesif (A2/A1), elastisitas (D2/D1), kelengketan (A3), kekenyalan (A2/A1 x H1), dan daya kunyah (D2/D1 x A2/A1 x H1) produk.


(38)

22

Tabel 2. Spesifikasi Pengukuran dengan Texture Profile Analyzer(TPA)

Test Mode and Option TPA Parameter :

Pre test speed 5.00 mm/s Test speed 2.00 mm/s Post test speed 10.000 mm/s Rupture test dist 1.0 mm

Distance 5.00 mm

Force 100 g

Time 5.00 sec

Count 5

\

Gambar 6. Kurva profil tekstur dengan TPA Sumber : http://www.tessuk.org.uk/article [29 April 2012] Analisis Warna dengan Chromameter (Faridah et al. 2006)

Analsis warna dilakukan dengan Chromameter Minolta CR-200 dengan menggunakan skala Yxy pada sistem CIE. Nilai ini kemudian dikonversi ke sistem Hunter dengan skala L, a, dan b. Standar warna yang digunakan adalah warna putih dengan nilai L = 97.01, a= -169.18, dan b = 2.53. Cara perhitungan untuk mengonversi skala sistem CIE ke sistem Hunter adalah sebagai berikut:

L = 10 √Y a = 17.5 √Y

b = 5.929 √Y - 1


(1)

99

Lampiran 16a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dengan Parameter Nilai a Ordo 0

Lampiran 16b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dengan Parameter Nilai a Ordo 1 3.45

3.5 3.55 3.6 3.65 3.7 3.75 3.8 3.85 3.9

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

N

il

ai

a

Lama Penyimpanan (Hari)

Linear (Suhu 37oC) Linear (Suhu 45oC) Linear (Suhu 55oC)

1.24 1.26 1.28 1.3 1.32 1.34 1.36

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Ln

N

il

ai

a

Lama Penyimpanan (Hari)

Linear (Suhu 37oC) Linear (Suhu 45oC) Linear (Suhu 55oC) (Suhu 55oC) (Suhu 45oC)

(Suhu 37oC)

(Suhu 45oC)


(2)

100

Lampiran 17a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dengan Parameter Nilai b Ordo 0

Lampiran 17b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dengan Parameter Nilai b Ordo 1 24.5

25 25.5 26 26.5 27 27.5 28

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

N

il

ai

b

Lama Penyimpanan (Hari)

Linear (Suhu 37oC) Linear (Suhu 45oC) Linear (Suhu 55oC)

3.2 3.22 3.24 3.26 3.28 3.3 3.32 3.34

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Ln

N

il

ai

b

Lama Penyimpanan (Hari)

Linear (Suhu 37oC) Linear (Suhu 45oC) Linear (Suhu 55oC) (Suhu 55oC) (Suhu 45oC)

(Suhu 37oC)

(Suhu 55oC) (Suhu 45oC)


(3)

101

Lampiran 18a. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dengan Parameter Kekerasan Ordo 0

Lampiran 18b. Kurva Hubungan antara Lama Penyimpanan dengan Parameter Kekerasan Ordo 1 0

200 400 600 800 1000 1200

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

N

il

ai

K

e

ke

rasan

Lama Penyimpanan (Hari)

Linear (Suhu 37oC) Linear (Suhu 45oC) Linear (Suhu 55oC)

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

N

il

ai

Ln

Kek

e

rasan

Lama Peyimpanan (Hari)

Linear (Suhu 37oC) Linear (Suhu 45oC) Linear (Suhu 555oC) (Suhu 55oC) (Suhu 45oC)

(Suhu 37oC)

(Suhu 55oC) (Suhu 45oC)


(4)

102

Lampiran 19a. Kurva Hubungan antara Nilai 1/T dan Ln K Analisis Sensori Ordo 0

Lampiran 19b. Kurva Hubungan antara Nilai 1/T dan Ln K Analisis Sensori Ordo 1 -5.3

-5.2 -5.1 -5 -4.9 -4.8 -4.7 -4.6

0.00295 0.003 0.00305 0.0031 0.00315 0.0032 0.00325

N

il

ai

Ln

K

Nilai 1/T

Parameter Warna Parameter Rasa Parameter Aroma Parameter Tekstur

-7.8 -7.6 -7.4 -7.2 -7 -6.8 -6.6 -6.4

0.00295 0.003 0.00305 0.0031 0.00315 0.0032 0.00325

N

il

ai

Ln

K

Nilai 1/T

Parameter Warna Parameter Rasa Parameter Aroma Parameter Tekstur


(5)

103

Lampiran 20a. Kurva Hubungan antara Nilai 1/T dan Ln K Analsis Fisik Ordo 0

Lampiran 20b. Kurva Hubungan antara Nilai 1/T dan Ln K Analisis Fisik Ordo 1 -10

-8 -6 -4 -2 0 2

0.00295 0.003 0.00305 0.0031 0.00315 0.0032 0.00325

N

il

ai

Ln

K

Nilai 1/T

Parameter Nilai L Parameter Nilai a Parameter Nilai b Parameter Tekstur (TPA)

-7.8 -7.6 -7.4 -7.2 -7 -6.8 -6.6 -6.4

0.00295 0.003 0.00305 0.0031 0.00315 0.0032 0.00325

N

il

ai

Ln

K

Nilai 1/T

Parameter Warna Parameter Rasa Parameter Aroma Parameter Tekstur


(6)

104

Lampiran 21. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Parameter Sensori dan Fisik

Parameter warna

Hari ke- Suhu

37oC 45oC 55oC

0 10 ±0,00 9,78±0,02 9,76±0,03

7 9,84±0,01 9,67±0,03 9,52±0,03

14 9,67±0,03 9,33±0,01 9,27±0,02

21 9,42±0,01 8,65±0,01 8,72±0,04

28 8,75± 0,01 8,6±0,00 8,24±0,01

35 8,55±0,01 6,98±0,01 7,21±0,04

42 6,45±0,04 6,17±0,03 6,77±0,03

Parameter aroma

Hari ke- Suhu

37oC 45oC 55oC

0 9,88±0,01 9,78±0,01 9,67±0,01

7 9,61±0,01 9,44±0,01 9,23±0,01

14 9,42±0,03 9,17±0,03 8,89±0,03

21 9,07±0,02 8,67±0,02 8,51±0,02

28 8,17±0,05 8,17±0,02 8,07±0,03

35 7,87±0,06 7,83±0,06 7,67±0,01

42 7,33±0,04 7,29±0,05 7,33±0,04

Parameter nilai L

Hari ke- Suhu

37 oC 45 oC 55 oC

0 74,26±1,21 74,26±1,34 74,26±1,56 7 74,21±0,98 74,11±1,77 74,25±1,67 14 73,58±1,71 73,89±1,63 73,18±1,13 21 72,39±1,55 73,27±1,26 72,89±0,89 28 72,22±1,08 72,18±1,12 72,13±0,76 35 71,67±0,91 71,89±0,76 71,67±1,89 42 70,13±1,45 70,07±1,13 70,07±1,54

Parameter nilai b

Hari ke- Suhu

37 oC 45 oC 55 oC

0 27,30±0,87 27,30±0,91 27,30±0,45

7 27,21±0,36 27,41±0,76 26,93±0,56

14 26,98±0,76 27,04±0,53 26,45±0,76

21 25,67±0,56 27,04±0,44 26,11±0,43

28 25,13±0,78 26,56±0,79 25,78±0,32

35 25,01±0,91 26,11±0,81 25,56±0,47

42 25,10±0,66 25,37±0,88 25,14±0,78

Parameter rasa

Hari ke- Suhu

37oC 45oC 55oC

0 9,74±0,01 9,68±0,02 9,31±0,02

7 9,32±0,02 9,29±0,02 9,07±0,01

14 8,53±0,01 8,59±0,01 8,44±0,03

21 8,21±0,03 8,17±0,04 7,98±0,03

28 7,47±0,02 7,27±0,05 7,37±0,03

35 7,03±0,02 6,98±0,03 6,85±0,02

42 6,49±0,02 6,33±0,03 6,31±0,04

Parameter tekstur Hari

ke-

Suhu

37oC 45oC 55oC

0 9,27±0,02 9,21±0,03 9,17±0,03

7 8,76±0,04 8,67±0,04 8,62±0,04

14 8,32±0,04 7,89±0,03 7,84±0,05

21 7,89±0,05 7,39±0,04 7,17±0,05

28 7,26±0,03 6,67±0,07 6,53±0,03

35 6,73±0,08 5,84±0,06 5,87±0,07

42 5,42±0,08 5,39±0,07 5,31±0,08

Parameter nilai a

Hari ke- Suhu

37 oC 45 oC 55 oC

0 3,82±0,38 3,80±0,78 3,82±0,65

7 3,82±0,56 3,80±0,68 3,79±0,89

14 3,80±0,77 3,81±0,56 3,78±0,67

21 3,75±0,13 3,78±0,79 3,73±0,87

28 3,76±0,98 3,72±0,23 3,71±0,98

35 3,71±0,46 3,68±0,35 3,67±0,89

42 3,69±0,78 3,66±0,51 3,51±0,97

Parameter Kekerasan

Hari ke- Suhu

37 oC 45 oC 55 oC

0 340.16±6,78 310.67±4,87 308.75±5,34

7 409.71±8,79 413.71±5,98 429.66±5,67

14 480.88±7,78 500.24±4,34 543.42±5,34

21 547.47±7,43 593.71±6,67 654.55±4,45

28 607.18±3,45 672.12±7,78 725.97±7,11

35 777.89±3,67 752.43±3,12 841.71±6,54