Eskalasi Ketegangan Hubungan Multi Pihak Dan Implikasi Dari Perebutan Sumber Agraria Di Kabupaten Sumbawa, Ntb

ESKALASI KETEGANGAN HUBUNGAN MULTI PIHAK DAN
IMPLIKASI DARI PEREBUTAN SUMBER AGRARIA
DI KABUPATEN SUMBAWA, NTB

FAHRUNNISA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Eskalasi
Ketegangan Hubungan Multi Pihak dan Implikasi dari Perebutan Sumber
Agraria di Kabupaten Sumbawa, NTB adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Fahrunnisa
NIM I353130021

RINGKASAN
FAHRUNNISA. Eskalasi Ketegangan Hubungan Multi Pihak dan Implikasi dari
Perebutan Sumber Agraria di Kabupaten Sumbawa, NTB. Dibimbing oleh
ENDRIATMO SOETARTO dan NURMALA K. PANDJAITAN.
Rezim Orde Baru telah meletakkan dasar pembangunan ekonomi Indonesia
berbasis pada ekstraksi sumber daya alam. Untuk mendukung kebijakan tersebut
maka dicetuskannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) No.1
yang didukung oleh Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1978. Atas
dasar ini negara menetapkan hubungan melalui Kontrak Karya dengan PT.
Newmont Nusa Tenggara (PT.NNT) tahun 1986. PT.NNT adalah perusahaan
yang bergerak di bidang pertambangan emas dan tembaga dan mendapatkan area
konsesi di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa seluas 1.127.134 ha. Beroperasinya
PT.NNT di Sumbawa khsusnya di Blok Elang Dodo telah menyulitkan

masyarakat secara ekonomi, sosial maupun budaya. Area konsesi perusahaan juga
masuk kedalam wilayah adat masyarakat. Kondisi ini kemudian menyebabkan
ketegangan hubungan dan saling klaim antara masyarakat dengan perusahaan dan
pemerintah daerah. Disisi lain masyarakat juga bertentangan dengan masyarakat
yang setuju dengan keberadaan perusahaan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis latar historis dan klaim antar
pihak, memuncaknya ketegangan hubungan multi pihak di Hutan Dodo serta
implikasinya. Penelitian dilakukan dari Maret sampai Agustus 2015 yang
berlokasi di Desa Lebangkar dan Desa Lawin Kecamatan Ropang, Kabupaten
Sumbawa, NTB. Penelitian juga dilakukan diberbagai SKPD (Satuan Kerja
Perangkat Daerah) Kabupaten Sumbawa yang meliputi Bappeda, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertambangan, Badan Pertanahan Nasional,
serta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah Sumbawa. Metode pengumpulan
data dan analisa data dilakukan secara kualitatif yang berlandas pada paradigma
konstruktivis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertentangan telah mengakar sejak
tahun 1933 saat masyarakat adat dipindahkan oleh pemerintah ke luar Hutan Dodo.
Ketegangan hubungan berlanjut ketika pemerintah menjalin kontrak karya dengan
perusahaan dalam hal konsesi pertambangan di Hutan Dodo. Dengan otoritas yang
dimilikinya, perusahaan membatasi akses masyarakat ke Hutan Dodo karena

dianggap mengganggu aktivitas perusahaan. Disisi lain, keberadaan perusahaan
dianggap masuk ke wilayah adat masyarakat tanpa ijin serta menggangu aktivitas
ekonomi, sosial-budaya sehingga menyulitkan masyarakat. Atas dasar ini,
terjadilah pertentangan antara masyarakat Lebangkar dan Lawin dengan
perusahaan.
Ketegangan hubungan antara ketiga pihak ini terus berlanjut. Bahkan, sejak
tahun 2000 masing-masing pihak berupaya membangung power baik melalui
mekanisme berbasis hak maupun berbasis relasional dan struktural. Pihak-pihak
lain yang turut berkepentingan dalam proses ini diantaranya masyarakat seKecamatan Ropang dan Kecamatan Lantung. Ketegangan selanjutnya mencapai
fase krisis pada tahun 2006 ditandai pembakaran camp milik perusahaan di Hutan
Dodo oleh masyarakat yang berasal dari Kecamatan Ropang. Hal ini menuai
kecaman dari Kecamatan Lantung yang setuju dengan keberadaan perusahaan.

Pasca pembakaran camp, aksi kolektif masyarakat sempat terhenti, namun tahun
2008 konfrontasi kembali terlihat sampai dengan awal 2011, dengan kehadiran
Masyarakat Adat Cek Bocek dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
yang menuntut diakui sebagai masyarakat hukum adat. Tahun 2011 konfrontasi
yang menguat dan sampai pada fase krisis tepat pada saat kegiatan eksplorasi
tahap II berlangsung. Masyarakat Cek Bocek melakukan pembubaran aktivitas
perusahaan, yang kemudian masyarakat justru mendapat intimidasi dari

perusahaan dan aparat keamanan yang ada. Aksi ini berujung pada saling lapor ke
Kepolisian. Terjadinya krisis juga karena dilantiknya Sultan Sumbawa beserta
Lembaga Adat Tanah Sawamwa (LATS) dan keberadaannya diakui oleh
pemerintah daerah sumbawa. Sejak 2012 sampai saat ini, adalah fase-fase
konfrontasi, semua pihak yang berkepentingan terus menerus membangun power
agar mendapatkan otoritas di Hutan Dodo.
Berlangsungnya ketegangan hubungan ini telah menyebabkan distribusi
otoritas dan struktur yang lebih longgar. Dalam artian apa yang menjadi harapan
masyarakat mulai di akomodir baik oleh perusahan maupun pemerintah. Tetapi,
disisi lain muncul rasa tidak suka, kecemburuan sosial, sentimen dari masyarakat
yang mendukung perusahaan ataupun yang mengagap dirinya masyarakat
Sumbawa asli karena Cek Bocek dianggap hanya mencari keuntungan dan
keberadaannya dianggap menggangu investasi sehingga perekrutan tenaga kerja
menjadi tertunda. Bila disimak lebih jauh, argumen ketidaksukaan lebih bersifat
struktural tekait tenaga kerja, ketimpangan ekonomi maupun pembangunan yang
ada di Sumbawa. Dapat dikatakan bahwa konflik horizontal yang menguat bukan
karena perbedaan identitas atau terkait etnis namun lebih pada materialisme.
Seperti yang dinyatakan Malasevic bahwa konflik etnis pada dasarnya adalah
konflik kelas yang tersembunyi, sehingga pertentangan antar sesama masyarakat
di Sumbawa disebabkan ketimpangan struktur. Namun hal ini perlu diseikapi

dengan tegas, karena pada titik tertentu dapat meluas yang berujung pada konflik
berdarah-darah karena terkadang melibatkan emosi, sentimen dari masing-masing
kelompok masyarakat.

Kata Kunci: Hutan Dodo, Hutan Sumbawa, Konflik Agraria, Kontestasi Akses,
Masyarakat Adat

SUMMARY
FAHRUNNISA. Escalation of Multiparties’ Strained Relation and Implications
of The Agrariarian Struggle in Sumbawa Regency, NTB. Supervised by
ENDRIATMO SOETARTO and NURMALA K. PANDJAITAN.
The New regime had laid a foundation of Indonesia's economic
development based on natural resources extraction. In order to support the policy,
the Act of Foreign Investment (UUPMA) No. 1 supported by the Principal Act of
Forestry No. 5 of 1978 was initiated. Based on the regulation government
established a work contract with PT. Newmont Nusa Tenggara (PT.NNT) in 1986.
PT. NNT concentrates its business activity in the gold and copper mining industry
that got a concession area of 1,127,134 ha in Lombok and Sumbawa Island. The
operation of PT.NNT in Sumbawa, particularly at Elang Dodo Block had
burdened the community in economic, social, and culture. The company

concession area was also the territory of Sumbawa indigenous community. These
condition led to strained relationship and overlapping claims between the
company and local government. On the other hand, there was a conflict among
local people who were different in the acceptance of the existence of the company.
The study aimed to analyze the historical background and claims between
the parties, the mounting of multiparties’ strained relationship in Dodo Forest, and
its implications. The study was conducted in March to August 2015, located in the
Village of Lebangkar and Lawin, Ropang District, Sumbawa Regency, West Nusa
Tenggara. Data were also carried out from several Regional Work Units (SKPD)
of Sumbawa regency including Bappeda, Forestry Department, Mining
Department, the National Land Agency, as well as Indigenous People Alliance of
Sumbawa Region. Methods of data collection and analysis were based on
qualitative approach with constructivist paradigm.
The results showed that conflicts have taken hold since 1933 when the
government made the indigenous people left Dodo Forest. A strained relationship
was continued when the government established a work contract with the
company in terms of mining concessions in Dodo Forest. The authority given to
the company limited people's access to Dodo Forest since it considered as an
interference for the company’s activities. On the other hand, the company was
considered had illegally entered the territory of indigenous community and

disrupted their economical and socio-cultural activity and has brought them into
difficulties. That condition led a conflict between Lebangkar and Lawin
community with the company.
Strained relation between the three parties has been continuing. Even, each
party has made some effort to gain power either through the right-based
mechanism or relational and structural-based mechanism since 2000. Another
parties that have some interests, such as the community of Ropang and Lantung
Districts involved in this process. The strain then reached its crisis phase in 2006,
marked by the burning of the company’s camp in Dodo Forest by people of
Ropang District. It evoked a condemnation from the community of Lantung
District which accepted the company's existence. After the camp burning accident,
people's collective actions stopped, but it has begun to continue since 2008 n until
the early 2011 of, with the presence of Cek Bocek Indigenous Peoples Alliance of

the Archipelago (AMAN) who asked to be recognized as indigenous peoples. In
2011, confrontation grew stronger and had reached the crisis phase in the time of
the second exploration phase. Cek Bocek community dissolved company's
activities, but they got intimidation from the company and security guards. As the
result, both parties reported each other to police. The crisis phase was also caused
by the inauguration of Sultan Sumbawa along with the acknowledgment of the

existence of Institute of Traditional Land Sawamwa (LATS) by Sumbawa local
government. The next strain phase happening since 2012 was confrontation where
all interested parties have been building power continuously to gain authority in
Dodo Forest.
The ongoing strained relation has caused the loose of authority and
structural distribution. In another words, the expectations of community have
begun to be accommodated either by the company or government. However, feel
of dislike, resentment, and sentiments has emerged from both community that
supported the company and which acknowledged itself as the origin community
of Sumbawa, as Cek Bocek was considered profit oriented whose existence
disturbing the investment that delayed the labor recruitment. The dislike
arguments tended to be more structural in relation to the issues of labor as well as
the economic and development inequality and development in Sumbawa. It could
be said that the risen horizontal conflicts were not initiated by the identity or
ethnic-related differences but by the issue of materialism. As stated by Malasevic
that ethnics’ conflict is essentially a hidden class conflict, so conflict between the
members of society in Sumbawa were caused by structural inequality. Yet, it was
needed to be followed up seriously, because at certain points it is potentially
extended and led to blooded conflict, involving emotions and sentiment of each
community.


Keywords: Agrarian Conflict, Access Contestation, Dodo Forest, Indigenous
People, Sumbawa Forest

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Eskalasi Ketegangan Hubungan Multi Pihak dan Implikasi dari
Perebutan Sumber Agraria di Kabupaten Sumbawa, NTB

FAHRUNNISA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Rilus Kinseng, MA

Judul Tesis : Eskalasi Ketegangan Hubungan Multi Pihak dan Implikasi dari
Perebutan Sumber Agraria di Kabupaten Sumbawa, NTB
Nama
: Fahrunnisa
NIM
: I353130021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Endriatmo Soetarto, MA
Ketua

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr.

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 adalah Eskalasi Ketegangan
Hubungan dan Implikasi dari Perebutan Sumber Agraria di Kabupaten Sumbawa,
NTB.
Dengan segala tulus, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada dosen Sosiologi Pedesaan, teman-teman seperjuangan,
para sahabat, para kolega dan keluarga besar atas do’a dan dukungannya. Secara
khusus penulis ingin sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MA dan Dr. Nurmala K. Pandjaitan
MS,DEA selaku pembimbing yang memiliki peran besar bagi penulis dan
proses penyelsaian tesis ini.
2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawa MS, Agr selaku Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus Kinseng, MA selaku Wakil Ketua
Program Studi yang juga merupakan dosen penguji Luar Komisi.
3. Saudara seperjuangan di Sosiologi Pedesaan angkatan 2013: Ratna
Patriatna, Helmi Ayurardi Mihardja, Habibi Azhar dan Doni Moidadi,
terimakasih atas kehangatan persahabatannya.
4. Para sahabat, senior, dan teman diskusi yang selalu menyediakan solusi uni
Nining Erlina Fitri, Mas Eko Cahyono, Annisa Konno, Sitti M Meliana
Rustam dan Turasih.
5. Keluarga besar Asrama Mahasiswa NTB di Bogor yang tidak dapat saya
sebutkan satu demi satu.
6. Keluarga Samawa Center yang memotivasi untuk melanjutkan studi:
Muslim, M.Sos, Amrullah, Msi, M Nurdayat, SP, Endang Komaladewi, SE,
Julmasyah S.Hut.Msi, Mahyuddin Soud, Spd, terimakasih atas dukungannya
selama studi, walaupun terkadang dibeberapa hal kita tidak sejalan.
7. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas
Petambangan dan Energi, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah
Kecamatan dan Pemerintah Desa di Lingkup Kecamatan Ropang), dan
Perwakilan Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang telah berbagi
informasi dan pengalaman dilapangan.
8. Keluarga Bapak Aziz (Lebangkar), Bapak Anggo (Lawin), Bapak M. Saleh
(Ranan), Bapak H. A Latif (Ropang) dan Sudarmono (Lawin) atas
jamuannya sehari-hari serta tumpangan.
9. Tesis ini penulis persembahkan untuk Masyarakat se-Kecamatan Ropang,
khususnya masyarakat Lebangkar dan Lawin yang bersedia menerima
penulis, berbagi pengalaman maupun pengetahuan serta mendukung
berjalannya penelitiannya ini.
10. Persembahan khusus untuk orang tua tercinta Bapak Irfan H. Arsyad dan
Ibu Nurmala A. Kadir; Bapak Fataholla S.H dan Ibu Hayatunnufus; Bunda
Drs. Nurseha; Tante Awani; Adinda Dwi Syafitri; atas do’a, kasih sayang
dan selalu mengusahakan yang terbaik.

Selsainya penulisan karya ini adalah berkat doa’a dan dukungan suami
Januar Adeka Putra,Ssi. Terimakasih atas cinta kasih, pengertiannya, bersedia
menjadi asisten lapangan, guru, dan teman diskusi saat penelitian berlangsung.
Serta penantiannya selama tiga tahun ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat,
khususnya bagi saudara-saudara ku pegiat agraria.
Bogor, Agustus 2016
Fahrunnisa