Analisis kolerasi pola heterotik inbrida berbasis marka mikrosatelit dalam menduga penampilan fenotipik hasil silang uji dan silang dialel hibrida jagung

(1)

ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA

BERBASIS MARKA MIKROSATELIT DALAM MENDUGA

PENAMPILAN FENOTIPIK HASIL SILANG UJI

DAN SILANG DIALEL HIBRIDA JAGUNG

Oleh

MARCIA BUNGA PABENDON

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Correlation Analysis of Heterotic Pattern of Inbreds Microsatellite Marker-Based to the Phenotypic Performance of Test Cross and Diallel Cross of Maize Hybrid

Abstract

The objectives of this study are: (a) to estimate the level of genetic diversity, genetic distance (GD), heterotic groups, and the SSRs marker package that are effective to differentiate among 34 inbreds and relatively stable in their heterotic groups, (b) to correlate between the GD and seed weight per plant of single cross through testcrossed method, (c) to correlate between the GD and seed weight per plant of single cross hybrid through diallel method, and (d) to determine the hybrids that potential to develop as new hybrid varieties. Genetic diversity study characterizing 34 inbred lines by using 36 SSRs loci are distributed throughout the maize genome. SSRs marker package develops the data through simulation (data iteration) and Principal Component Analysis (PCA). Testcross method uses two testers (Mr4 and Mr14), crossed with 32 genotyped inbreds to get F1 single cross plus three cultivars for each set i.e. Bima1, Bisi2, and Semar10. Evaluation of the phenotypic performance of the two sets of F1 single cross is conducted at the Bajeng Experimental Station. The layout of the trials is alpha lattice 7 x 6 with two replications. Diallel method uses seven selected inbreds (from low to high average GD value), developing a set of 21 single cross hybrids. Evaluation of the phenotypic performance consists of 21 hybrids and four check cultivars (Bima1, Bima2, Bima3, and Semar10) conducted at the Bajeng Experimental Station, South Sulawesi and Muneng Experimental Station, East Java. The experiment uses Randomized Complete Block Design (RCBD) with four replications. The results shows that the observed GD between 34 inbreds ranging from 0.22 to 0.86, indicates the broad ranges of genetic variability of the inbreds. Construction of the dendrogram can differentiate among the inbreds, and also cluster the inbreds in five groups based on the genetic similarities (GS), and generally be consistent with the pedigree data. The limitation of using pedigree data showed up in this study where there are four inbreds having the same initial pedigree (SP007) scattered in the three groups or have unclear pedigree data. A set of twenty five SSRs markers package provides a high value of cophenetic correlation was 0.79; however, the correlation value is good enough to differentiate the inbreds. Heterotic groups that developed based on the 36, 30, and 25 SSRs markers do not assertively cluster the inbreds into five groups. There is a medium to high correlation between the genetic distance value and the seed weight per plant of F1 single cross using Mr4 and Mr14 testers i.e 0.81 and 0.76 respectively. The average correlation values of hybrids between GD and average seed weight per plant, GD and specific combining ability (SCA), GD and high parent heterosis (HPH), as well as GD and MPH are in the medium level i.e. 0.67, 0.59, 0.55, and 0.64 respectively. There are six hybrids showing potential to be developed as new hybrid varieties with seed weight ranging from 176.05 to 181.24 g/plant. These hybrids are Bisma-140-2×SP007-68, BM(S1)C0-172×Mr4, SP007-68×SP008-120, P5/GM26-22×SP008-120, Bisma-140-2×Mr14, and BM(S1)C0-172×Mr14. The intergroup inbreds placed by genotyping, generally produced hybrids with greater yield potential than the intragroup inbreds. This experiment indicates that the development of hybrids based on SSRs marker can reduce the number of crossing, and one or two cultivating seasons. The evaluation of phenotypic performance is sufficient by using one of the two methods of the process of hybrid development i.e. testcross or diallel methods. However, there is a need to add more primers in order to get the stable dendrogram. In the field experiment, there is also a need to find more locations and to add new hybrids specialty with medium to high GD value to have more oppotunities to obtain the best heterosis.


(3)

RINGKASAN

MARCIA BUNGA PABENDON. Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Uji dan Silang Dialel Hibrida Jagung. Supervisors: HAJRIAL ASWIDINNOOR, JAJAH KOSWARA, dan I MADE JANA MEJAYA.

Studi disertasi ini menduga hubungan antara marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida serta parameter genetik inbrida jagung dalam upaya untuk menjadikan marka molekuler bermanfaat dalam memprediksi penampilan hibrida.

Percobaan pertama, mengamati keragaman genetik 34 inbrida jagung yang dibentuk dari beberapa sumber populasi yang berbeda. Hasil penelitian menggambarkan keragaman genetik yang tinggi dari materi yang diuji yang ditunjukkan oleh nilai polimorfisme yang cukup tinggi (0,61). Konstruksi dendrogram berdasarkan UPGMA dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain. Berdasarkan kemiripan genetik, inbrida dapat dikelompokan menjadi lima grup dan secara umum konsisten dengan data pedigree. Namun demikian keterbatasan data pedigree ditemukan dalam penelitian ini antara lain pada empat inbrida dengan inisial SP007 menyebar pada tiga kelompok yang berbeda sehingga klasternya kurang tegas. Informasi ini akan efektif untuk digunakan dalam menyeleksi tetua dan dijadikan sebagai salah satu strategi dalam program pemuliaan jagung hibrida.

Percobaan kedua dilakukan untuk memperoleh paket marka yang efektif dalam memprediksi tetua hibrida potensial melalui simulasi data biner dari 34 inbrida yang dikarakterisasi. Hasil menunjukkan bahwa paket dengan 25 primer dengan total 128 alil menghasilkan koefisien korelasi tertinggi yaitu 0,79, mengindikasikan bahwa 128 alil mampu untuk membedakan 34 inbrida dengan jelas. Walaupun demikian, 128 alil belum mampu untuk menghasilkan konstruksi dendrogram yang stabil. Kelompok heterotik yang dibentuk berdasarkan 36, 30, dan 25 primer belum tegas membagi inbrida ke dalam lima kelompok heterotik, yang ditunjukkan oleh masih adanya beberapa inbrida yang berpindah kelompok jika paket marka diubah. Merupakan hal yang penting untuk tidak hanya membedakan inbrida satu dengan yang lain tetapi juga menghasilkan dendrogram yang stabil yang menggambarkan hubungan genetik yang benar di antara inbrida sehingga inbrida yang terseleksi tetap stabil.

Percobaan ketiga dilaksanakan untuk memperoleh informasi tentang korelasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji dari dua set hibrida hasil silang uji (inbrida penguji Mr4 dan Mr14). Terdapat korelasi dari sedang sampai tinggi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal dengan Mr4 dan Mr14 yaitu masing-masing 0,81 dan 0,76. Terdapat dua genotipe F1 silang tunggal yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima1 yaitu P5/GM26-9xMr4 dan Bisma-3-1xMr14 dengan bobot biji 179,10 dan 178,52 g/tanaman, dan nilai jarak genetik masing-masing adalah 0,82 dan 0,84. Jarak genetik kultivar Bima1 adalah 0,65. Salah satu hal yang penting untuk dipertimbangkan dari penelitian ini adalah untuk menelusuri lebih banyak galur inbrida yang lebih potensial dari inbrida penguji Mr4 dan Mr14 yang dapat digunakan sebagai pola heterotik potensial di Indonesia dengan menggunakan alat bantu marka molekuler.

Percobaan keempat dilaksanakan untuk mengetahui korelasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji hibrida hasil silang dialel. Korelasi pada level medium


(4)

teridentifikasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal, nilai daya gabung khusus (DGU), serta heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi yaitu 0,67, 0,59, 0,55, dan 0,64. Persilangan antargrup berbasis marka mikrosatelit menghasilkan bobot biji yang lebih tinggi dibandingkan persilangan intragrup. Penggunaan materi silang uji dan silang dialil memberikan informasi korelasi yang sama antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman. Oleh sebab itu dalam program pemuliaan jagung hibrida dapat dianjurkan menggunakan hanya salah satu dari materi genetik tersebut. Penggunaan marka mikrosatelit juga efisien dalam mengklasifikasi inbrida ke dalam kelompok heterosis pada awal seleksi. Namun demikian masih diperlukan penambahan sejumlah primer untuk meningkatkan nilai korelasi baik korelasi kofenetik maupun korelasi antara nilai jarak genetik dengan penampilan fenotipik hibrida F1.


(5)

SUMMARY

MARCIA BUNGA PABENDON. Correlation Analysis of Heterotic Pattern of Inbreds Microsatellite Marker-Based to the Phenotypic Performance of Single Cross Maize

Hybrid. Supervisors: HAJRIAL ASWIDINNOOR, JAJAH KOSWARA, and I MADE JANA MEJAYA.

This research disertation observes the relationship of microsatellite markers with hybrid phenotypic performance as well as the genetic parameters in maize inbreds in an attempt to make use of molecular markers in predicting hybrid performance.

The first study observe the genetic diversity of 34 inbred lines originating from various source populations. The result reveals high levels of genetic diversity between inbred lines, indicated by the average level of polymorphism (0.61). The genotipic data also show that the dendrogram construction based on UPGMA (unweighted pair group method of arithmetic means) could be differentiated among inbreds each other, and clustered the inbreds in five groups based on the genetic similarities and consistent with the pedigree data. However, the limitation of using pedigree data showed up in this study where four inbreds which have the same initisal (SP007) scattered in the three groups or have no clear pedigree data. Using microsatellite marker is effective to select hybrid parents and becomes one of the rational strategies in hybrid breeding program.

The second study identifies the set of markers to predict potential hybrid parents through simulation of binary data of 34 genotyping inbreds . The result shows that the set of 25 primers with the total of 128 alleles have the highest coefficent correlation i.e. 0.79 indicated that 128 alleles are sufficient to differentiate all 34 inbred lines. However, 128 alleles are insufficient to construct a stable dendrogram to objectively reflect genetic relationships. It is important to not only discriminate the inbreds but also to obtain a stable dendrogram that reflects the true genetic relationships among maize inbreds so that core collections can be established. The result shows that 25 SSR markers package provide the highest value of cofenetic correlation (0.79); however, this value is good enough to differentiate the inbreds. Heterotic groups developed based on 36, 30, and 25 SSRs are yet to be assertive to divide into five groups. It is necessary to continue iterating the binary data or add primers whether higher correlation than the value of 0,79 could be found.

The third studies on correlation between the value of the genetic distance (GD) and seed weight per plant of the two sets of F1 maize test crosses (Mr4 and Mr14 testers). The result indicates that there is a medium to high correlation between GD and the seed weight per plant of F1 single cross using Mr4 and Mr14 testers (0.81 and 0.76 respectively). Two F1 single crosses are significantly different from the Bima1 as a check i.e P5/GM26-9xMr4 and Bisma-3-1xMr14 with 179.10 and 178.52 g/plant of seed weight respectively. The value of GD of the two hybrids were 0.82 dan 0.84 respectively, while the value of genetic distance of Bima1 was 0.65. It is worth considering to search more inbreds which are more potential than Mr4 and Mr14 testers that can serve as the best heterotic pattern in Indonesia by using molecular markers as tools.


(6)

On the fourth study, a medium level of correlation is observed between the value of GD and seed weight per plant of F1 single cross, specific combining ability (SCA), as well as mid parent heterosis (MPH) and high parent heterosis (HPH) i.e. 0.67, 0.59, 0.55, and 0.64 respectively. The intergroup crossing placed by genotypic grouping, in general, produces hybrids with greater yield potential than intragroup crossing. It was concluded that the use of microsatellite markers were efficient in placing the inbreds in different heterotic groups. However, there is a need to add more primers to obtain the best correlation between the value of GD and seed weight per plant.

Detailed characterization of the maize germplasm and in-depth understanding of the genetic basis of heterosis are required for molecular markers to have practical utility in predicting hybrid performance.


(7)

RINGKASAN

MARCIA BUNGA PABENDON. Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Tunggal Hibrida Jagung. Supervisors: HAJRIAL ASWIDINNOOR, JAJAH KOSWARA, dan I MADE JANA MEJAYA.

Studi disertasi ini mengamati hubungan antara marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida serta parameter genetik inbrida jagung dalam upaya untuk menjadikan marka molekuler bermanfaat dalam memprediksi penampilan hibrida.

Percobaan pertama, mengamati keragaman genetik 34 inbrida jagung yang dibentuk dari beberapa sumber populasi yang berbeda. Hasil penelitian menggambarkan keragaman genetik yang tinggi dari materi yang diuji yang ditunjukkan oleh nilai polimorfisme yang cukup tinggi (0,61). Konstruksi dendrogram berdasarkan UPGMA dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain. Berdasarkan kemiripan genetik, inbrida dapat dikelompokan menjadi lima grup dan secara umum konsisten dengan data pedigree. Namun demikian keterbatasan data pedigree ditemukandalam penelitian ini antara lain pada empat inbrida dengan inisial SP007 menyebar pada tiga kelompok yang berbeda sehingga klasternya kurang tegas. Informasi ini akan efektif untuk digunakan dalam menyeleksi tetua dan dijadikan sebagai salah satu strategi dalam program pemuliaan jagung hibrida.

Percobaan kedua dilakukan untuk mengetahui paket marka yang efektif dalam memprediksi tetua hibrida potensial melalui simulasi data biner dari 34 inbrida yang dikarakterisasi. Hasil menunjukkan bahwa paket dengan 25 primer dengan total 128 alil menghasilkan koefisien korelasi tertinggi yaitu 0,79, mengindikasikan bahwa 128 alil mampu untuk membedakan 34 inbrida dengan jelas. Walaupun demikian, 128 alil belum mampu untuk menghasilkan konstruksi dendrogram yang stabil. Kelompok heterotik yang dibentuk berdasarkan 36, 30, dan 25 primer belum tegas membagi inbrida ke dalam lima kelompok heterotik, yang ditunjukkan oleh masih adanya beberapa inbrida yang berpindah kelompok atau memjadi pencilan jika paket marka diubah. Merupakan hal yang penting untuk tidak hanya membedakan inbrida satu dengan yang lain tetapi juga menghasilkan dendrogram yang stabil yang menggambarkan hubungan genetik yang benar di antara inbrida sehingga inbrida yang terseleksi tetap stabil.

Percobaan ketiga dilaksanakan untuk mengetahui korelasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji dari dua set F1 hasil silang uji (test cross). Terdapat korelasi dari sedang sampai tinggi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal dengan Mr4 dan Mr14 yaitu masing-masing 0,81 dan 0,76. Terdapat dua genotipe F1 silang tunggal yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima1 yaitu P5/GM26-9xMr4 dan Bisma-3-1xMr14 dengan bobot biji 179,10 dan 178,52 g/tanaman, dan nilai jarak genetik masing-masing adalah 0,82 dan 0,84. Jarak genetik kultivar Bima1 adalah 0,65. Salah satu hal yang penting untuk dipertimbangkan dari penelitian ini adalah untuk menelusuri lebih banyak galur inbrida yang lebih potensial dari inbrida penguji Mr4 dan Mr14 yang


(8)

dapat digunakan sebagai pola heterotik potensial di Indonesia dengan menggunakan alat bantu marka molekuler.

Korelasi pada level medium teridentifikasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal, nilai daya gabung khusus (DGU), serta heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi yaitu 0,67, 0,59, 0,55, dan 0,64. Persilangan antargrup berbasis marka mikrosatelit menghasilkan bobot biji yang lebih tinggi dibandingkan persilangan intragrup. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan marka mikrosatelit efisien dalam mengklasifikasi inbrida ke dalam kelompok heterosis, tetapi dalam penelitian ini masih diperlukan untuk menambah sejumlah primer untuk meningkatkan nilai korelasi baik korelasi kofenetik maupun korelasi antara nilai jarak genetik dengan penampilan fenotipik hibrida F1.

Karakterisasi plasma nutfah jagung secara detail dan memahami lebih jauh dasar genetik dari heterosis dibutuhkan dalam program pemuliaan hibrida berbasis-marka molekular sehingga bisa dilaksanakan oleh para pemulia dalam memprediksi penampilan inbrida.


(9)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Tunggal Hibrida Jagung” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya

Bogor, Juni 2008

Marcia Bunga Pabendon NRP A361040111/AGR


(10)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya iimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu maasalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(11)

ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA

BERBASIS MARKA MIKROSATELIT DALAM MENDUGA

PENAMPILAN FENOTIPIK HASIL SILANG UJI

DAN SILANG DIALEL HIBRIDA JAGUNG

Oleh:

MARCIA BUNGA PABENDON

A361040111

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Doktor pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Judul Disertasi : Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Uji dan Silang Dialel Hibrida Jagung.

Nama Mahasiswa : MARCIA BUNGA PABENDON No. Pokok : A361040111

Program Studi : Agronomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara Dr. Ir. I Made Jana Mejaya, M.Sc.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(13)

Penguji Luar Komisi Penguji Ujian Tertutup: Dr. Ir. Muhammad Yusuf

(Staf Pengajar pada Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB)

Penguji Ujian Terbuka: 1. Dr. Edi Santosa, SP, M.Si.

(Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB)

2. Prof. Dr. Ir. Andi Hasanuddin, M.Sc., APU

(Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian)


(14)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah atas segala rahmat, cinta, dan perkenanNya yang tidak terhingga yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

Disertasi yang berjudul “ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA BERBASIS MARKA MIKROSATELIT DALAM MENDUGA PENAMPILAN FENOTIPIK HASIL SILANG UJI DAN SILANG DIALEL HIBRIDA JAGUNG” disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Marka Molekuler Tanaman, Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Maros, Rumah Kaca Balitsereal, Kebun Percobaan (KP) Bajeng, Sulawesi Selatan, dan di KP. Muneng, Jawa Timur.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, atas bimbingan, inspirasi, kritik dan saran, serta dukungan moril mulai dari pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian, sampai penyelesaian disertasi ini. Kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara, yang mengajarkan ketelitian sampai hal-hal yang kecil, memberikan petuah, juga inspirasi serta dukungan moril selama penelitian dan penulisan disertasi. Kepada Bapak Dr. Ir. I Made Jana Mejaya atas bimbingan di lapangan, dalam penulisan, serta ketulusan hati untuk berusaha hadir dalam setiap tahapan pengujian walaupun ditugaskan jauh dari IPB.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Pertanian Tanaman Pangan, dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3, serta bantuan sebagian kecil biaya penelitian melalui proyek ARM (Agricultural Research Management). Kepada staf peneliti dan pegawai Balitsereal, khususnya kepada rekan-rekan peneliti, teknisi dan administrasi di kelompok peneliti pemuliaan tanaman seperti Dr. Muh. Azrai, Sri Sunarti, SP, Haryati, SP., Rismayanti, SP., Sampara, Wen Langgo, SP., Stephanus Misi, Fransiskus Misi, Adrian, Kasmiati yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Marsum Dahlan (alm), Dr. Maria Luz George (ex koordinator proyek Asian Maize Biotechnology Network = AMBIONET), Dr. Muh. Azrai (Balitsereal), Dr. I Made Jana Mejaya (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Maluku Utara), Dr. Firdaus Kasim (Balai Penelitian Tanaman Sayuran), Dr. Sutrisno (Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian), yang banyak membantu dan memberi dukungan untuk membuka laboratorium satelit marka molekuler di Balitsereal Maros mulai dari pengadaan peralatan dan bahan kimia, sampai laboratorium tersebut bisa digunakan dan dapat memproduksi data molekuler yang digunakan oleh penulis dalam disertasi.

Dengan segenap rasa hormat dan bangga serta terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta Bapak Antonius D. Pabendon (alm) dan Ibunda tercinta Christina Sima Palalangan semua kakak dan adik masing-masing dengan keluarga tercinta, dimanapun berada yang telah memberikan dukungan moril dan materil, kasih


(15)

sayang, bimbingan dan doa kepada penulis. Secara khusus dengan penuh rasa haru saya ucapkan terima kasih kepada adik saya Agus Friska Pabendon dan keluarga tercinta yang bersedia dengan tulus hati membiayai sebagian besar pendidikan S3 saya.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa dan rekan-rekan peneliti yang selama ini banyak membantu baik selama kuliah, penelitian dan penulisan yaitu: Ir. Suskandari, MP., Refli Noor, SP, MSi, Nur Kholilatul Izah, SP. MP., Haryati, SP., Yusniwati, SP. MP., A. Takdir Makkulawu, SP. MP, Neny Iriani, SSi. MP., Ir. Minangsari, MP., Roberdi, SP. MSi, Wening Enggarini SSi. M.Si., Roy Efendy, SP., Musdalifa, SP., Amin Noor, SP., dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat digunakan untuk kepentingan penelitian, kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kehidupan.

Bogor, Juni 2008 Penulis,

Marcia Bunga Pabendon NRP A361040111


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tana Toraja pada tanggal 20 Oktober 1962, dari pasangan Bapak Antonius D. Pabendon (alm) dan Ibu Christina S. Palalangan sebagai anak kedua dari sembilan bersaudara. Pendidikan dasar pada tahun 1973 di SD. Katolik Yayasan Yosef, Tana Toraja. Pendidikan Menengah Pertama tahun 1976 di SMP Katolik Yayasan Paulus, Tana Toraja. Pendidikan Menengah Atas tahun 1980 di SMA Katolik Yayasan Paulus, Tana Toraja. Gelar Sarjana Pertanian Program Studi Ilmu Tanah diraih tahun 1985 pada Fakultas Pertanian di Universitas Hasanuddin, Makassar. Pada tahun 2002 memperoleh gelar Magister Pertanian (MP) dari Program Studi Ilmu Tanaman, pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, melalui Program Bea Siswa proyek ARM, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 2004 melanjutkan studi ke program Doktor (S3) dimana sebagian kecil biaya penelitian dibantu dari proyek ARM melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sedangkan biaya lainnya ditanggung oleh keluarga (orang tua dan saudara) dan penulis.


(17)

Glossary

alel adalah salah satu bentuk alternatif dari gen yang dapat muncul sebagai lokus tunggal.

data biner adalah data pola pita yang distandarisasi menjadi suatu nilai yaitu satu (1) jika ada pita atau nol (0) jika tidak ada pita sehingga bisa dianalis secara statistik.

kelompok heterotik adalah kumpulan aksesi atau genotipe berdasarkan tingkat kemiripan genetik.

koefisien korelasi kofenetik adalah tingkat keakuratan dendrogram yang dihasilkan berdasarkan analisis pautan rata-rata.

marker adalah lokasi fisik pada kromosom yang teridentifikasi dan pewarisannya dapat dimonitor (mis. marka mikrosatelit atau SSR).

mikrosatelit atau marka SSR (Simple Sequence Repeats) adalah tipe DNA berulang dengan pengulangan basa secara tandem yang sangat pendek seperti dua nukleotida, tiga nukleotida, atau empat nukleotida.

MAS (Marker Assisted Selection) adalah seleksi dengan alat bantu marka.

PCA (Principal Component Analysis) atau Analisis Komponen Utama adalah analisis untuk mengetahui posisi relatif inbrida yang dikarakterisasi.

PCoA (Principal Coordinate Analysis) atau Analisis Koordinat Utama sama dengan PCA tetapi PCoA digunakan jika dalam hasil skoring ditemukan missing data.

phylogeni adalah suatu diagram yang menggambarkan sejarah evolusi populasi dari organisme yang berkerabat.

pleiotropik adalah satu gen yang mengendalikan beberapa karakter.

polimorfisme adalah penampakan bentuk yang berbeda yang berasosiasi dengan variasi alel dari satu gen atau homolog dari satu kromosom.

silang puncak (top cross) adalah persilangan antara sejumlah galur yang berbeda sebagai tetua betina dengan populasi sebagai tetua jantan.

silang uji (test cross) adalah persilangan antara sejumlah galur yang berbeda sebagai tetua betina dengan galur homosigot yang sama sebagai tetua jantan.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

I. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

Strategi Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Dasar Pembentukan Jagung Hibrida ... 8

Peranan Pola Heterosis dalam Pemuliaan Jagung Hibrida ... 9

Aplikasi Marka Molekuler ... 10

Marka Molekuler untuk analisis keragaman genetik ... 12

Keragaman molekuler pada jagung ... 13

Marka SSR berbasis PCR ... 13

Analisis statistik untuk data molekuler ... 15

Korelasi marka DNA dengan informasi fenotipik ... 18

III. ANALISIS KERAGAMAN GENETIK INBRIDA JAGUNG BERBASIS MARKA MOLEKULER ... 20

Abstrak... 20

Pendahuluan ... 22

Bahan dan Metode ... 24

Hasil ... 30

Pembahasan ... ... 34

Kesimpulan ... 36

IV. SIMULASI ANALISIS MARKA MIKROSATELIT UNTUK PENDUGA HETEROSIS PADA POPULASI INBRIDA ... 37

Abstrak... 37

Pendahuluan ... 39

Bahan dan Metode ... 41

Hasil ... 42

Pembahasan ... ... 51

Kesimpulan ... 54

V. ANALISIS KORELASI POLA HETEROTI INBRIDA JAGUNG BERBASIS MARKA MIKROSATELIT TERHADAP PENAMPILAN FENOTIPIK F1 HASIL SILANG UJI ... 55

Abstrak... 55


(19)

xii Halaman

Bahan dan Metode ... 58

Hasil ... 62

Pembahasan ... ... 65

Kesimpulan ... 68

VI. ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA JAGUNG BERBASIS MARKA MIKROSATELIT TERHADAP PENAMPILAN FENOTIPIK HIBRIDA HASIL SILANG DIALEL ... 69

Abstrak... 69

Pendahuluan ... 71

Bahan dan Metode ... 72

Hasil ... 77

Pembahasan ... ... 85

Kesimpulan ... 89

VII. PEMBAHASAN UMUM ………. 90

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 95

Kesimpulan ……….. 95

Saran ……… 96

DAFTAR PUSTAKA ………. 97


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Sumber populasi 39 galur inbrida yang digunakan dalam

penelitian ini ... 25

Tabel 2. Profil hasil karakterisasi 34 inbrida jagung menggunakan

36 marka SSR ... 31

Tabel 3. Komposisi genotipee dalam gerombol berdasarkan tingkat

kemiripan genetik... 33

Tabel 4. Jumlah marka, koefisien korelasi kofenetik (r), jumlah alil,

dan tingkat polimorfisme (PIC) ... 47

Tabel 5. Nilai komponen utama (PC) dari masing-masing

pita/alil yang berperanan dalam membedakan 34 genotipe

jagung yang dikarakterisasi ... 49

Tabel 6. Primer SSR yang tidak berperan dalam pembentukan

dendrogram berdasarkan analisis komponen utama (PCA) ... 50

Tabel 7. Jarak genetik dan bobot biji per tanaman hibrida F1 hasil silang uji 32 inbrida dengan penguji inbrida Mr4 dan

Mr14, KP. Bajeng, Sulawesi Selatan, 2006 ... 63

Tabel 8. Nilai rata-rata jarak genetik dan bobot biji dua set genotipe

hasil silang uji ... 64

Tabel 9. Materi genetik yang digunakan dalam

persilangan dialil ... 72

Tabel 10. Analisis Ragam silang dialil metode II ... 74

Tabel 11. Analisis varians daya gabung metode II (Griffings’, 1956) ... 75

Tabel 12. Nilai jarak genetik 21 pasangan hibrida F1 hasil silang tunggal 78

Tabel 13. Nilai jarak genetik dan bobot biji per tanaman hibrida F1

hasil silang tunggal di KP. Bajeng dan KP. Muneng, MP 2007 79

Tabel 14. Penampilan rata-rata beberapa karakter fenotipik hibrida

F1 hasil silang tunggal ... 81

Tabel 15. Estimasi daya gabung khusus (DGK) pasangan inbrida pada dua lokasi, MP 2007 ... 82


(21)

xiv Halaman

Tabel 16. Estimasi heterosis tetua tertinggi, dan heterosis rata-rata

tetua hibrida F1 silang tunggal pada dua lokasi, MP 2007 ... 83

Tabel 17. Nilai duga DGU tujuh inbrida yang digunakan sebagai

tetua dalam pembentukan hibrida ... 84

Tabel 18. Korelasi (r) antara nilai jarak genetik dengan bobot biji, DGK, dan heterosis pada dua lokasi (KP. Bajeng dan KP.

Muneng) ... 85


(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian ... 7

Gambar 2. Visualisasi pola pita DNA menggunakan marka SSR phi374118 menggunakan elektroforesis vertikal 4,5%

PAGE (Polyacrilamide Gel Electrophoresis) ……... 30

Gambar 3. Dendrogram 34 inbrida berdasarkan UPGMA dengan

menggunakan 36 marka SSR polimorfis……… 32

Gambar 4. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka

SSR (r = 0,76)... 43

Gambar 5. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka

SSR (r = 0,78)... 43

Gambar 6. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka

SSR (r = 0,78)... 44

Gambar 7. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka

SSR (r = 0,79)... 44

Gambar 8. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka

SSR (r = 0,79)... 45

Gambar 9. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka

SSR (r = 0,76)... 45

Gambar 10. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka

SSR (r = 0,76)... 46

Gambar 11. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka

SSR (r = 0,76)... 46

Gambar 12. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka

SSR (r = 0,76)... 47

Gambar 13. Diagram jumlah primer dan koefisien korelasi kofenetik 48

Gambar 14. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 29 marka

SSR (r = 0,72) ... 50

Gambar 15. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka

SSR (r = 0,72) ... 51


(23)

xvi Gambar 16. Bentuk penutupan kelobot dan nilai skoring ... 60

Gambar 17. Hasil regresi jarak genetik berdasarkan marka SSR terhadap bobot biji per tanaman (g) hibrida F1 hasil silang uji dengan inbrida Mr4 dan Mr14. Nilai r adalah hasil analisis korelasi antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman (g) hibrida F1 hasil silang uji dengan

inbrida Mr4 dan Mr14 ... 65

Gambar 18. Keragaan biji hibrida silang tunggal (atas) dan kultivar pembanding (bawah). Rendemen biji masing-masing sebesar 0,8 (T1xT6), 0,75 (T6xT7), 0,79 (T1xT3), 0,73

(Bima1), 0,74 (Bima2), 0,76 (Bima3) ... 87

Gambar 19. Ilustrasi pasangan tetua hibrida potensial berdasarkan bobot biji yang berbeda nyata terhadap kultivar cek Bima1, Bima3 dan Semar10 pada dua lokasi (KP.Bajeng dan KP.


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Sumber populasi 39 galur inbrida yang digunakan dalam

penelitian ini ... 106

Lampiran 2. Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil

silang uji dengan Mr4 dan Mr14 ... 107

Lampiran 3. Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil

silang dialel di lokasi Bajeng, Muneng dan Gabungan …… 107

Lampiran 4. Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Bajeng dan empat kultivar pembanding. Gambar a, b, dan c adalah hibrida harapan; g, h, i, dan j adalah kultivar

pembanding ... 108

Lampiran 5. Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Muneng dan empat kultivar pembanding. Gambar d, e, dan f adalah


(25)

BAB. I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung merupakan komoditas penting kedua dalam ekonomi tanaman pangan di Indonesia setelah padi/beras. Akan tetapi dengan berkembang pesatnya industri peternakan, dimana jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan, diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan benih. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan (Kasryno et al., 2007). Dengan semakin meningkatnya krisis energi, manfaat jagung semakin luas yaitu sebagai salah satu komoditas pertanian sumber bioetanol yang menyebabkan lahan-lahan pertanian komoditas tertentu seperti kedelai di Amerika beralih fungsi menjadi lahan pertanaman jagung. Oleh karena itu jagung sebagai komoditas multifungsi mempunyai prospek yang sangat baik, sekarang dan di masa datang.

Salah satu kendala dalam teknologi peningkatan produksi selama ini adalah penggunaan kultivar dengan potensi hasil yang masih rendah. Oleh sebab itu, salah satu upaya untuk mengurangi impor adalah penggunaan kultivar hibrida yang berpotensi hasil tinggi. Dalam proses pembentukan kultivar hibrida yang memiliki heterosis tinggi, pemilihan tetua sangat menentukan dan secara konvensional memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit (Subandi, 1998).

Di dalam program pemuliaan hibrida tanaman ada tiga tahapan penting yang secara rutin dilakukan oleh pemulia yaitu: membentuk populasi tanaman sesuai karakter yang diinginkan, mengevaluasi dan menyeleksi individu superior, dan melakukan rekombinasi dari individu superior untuk menghasilkan populasi baru untuk siklus selanjutnya serta peningkatan hasil (Allard, 1960; Poehlman, 1987; Simmonds, 1979). Metode klasik tersebut telah menghasilkan kemajuan genetik yang penting pada jagung.


(26)

Kontribusi pemuliaan konvensional atau pemuliaan dengan penanda atau marka fenotipik murni dalam meningkatkan potensi hasil telah didokumentasikan dengan memisahkan kemajuan genetik murni dari lingkungan serta mengamati dan menganalisis dampak perubahannya dalam jangka panjang terhadap potensi hasil dan toleransinya terhadap tekanan dari jagung hibrida komersial.

Duvick (1984) mengemukakan bahwa sejak tahun 1930 sampai tahun 1980, potensi genetik hibrida di AS meningkat 92 kg/ha/tahun. Metode pemuliaan berbasis marka fenotipik telah memberikan hasil yang impresif. Dahlan et al. (1996) telah membentuk pola heterotik antara dua pasangan populasi, yaitu pasangan Malang Sintetik (MS) J1 dengan J2 versi umur dalam, dan pasangan MS K1 dengan K2 versi umur genjah. Prosedur seleksi yang digunakan ialah “Modifikasi Seleksi Berulang Berbalasan” dimana satu daur seleksi terdiri dari 4 musim tanam yakni : pembentukan galur S1, pembentukan silang puncak galur S1 menggunakan penguji populasi pasangannya, evaluasi silang puncak, dan rekomendasi galur-galur terpilih. Pengaruh langsung akibat satu daur seleksi berulang berbalasan pada pasangan populasi J1 dan J2 serta pasangan K1 dan K2 yaitu berupa peningkatan hasil silang populasi J1 x J2 dan K1 x K2; serta kenaikan heterosis. Pengaruh tidak langsung yaitu berupa peningkatan hasil pada keempat populasi K1, K2, J1 dan J2. Hibrida silang tiga-jalur yang diperoleh dari seleksi berulang berbalasan J1 dan J2, memberikan hasil biji 32% di atas hasil silang tunggal populasi asal J1CO x J2CO. Pasangan populasi MS.J1 dengan J2 dan K1 dengan K2 memiliki peluang untuk memperoleh hibirida jagung berdaya hasil tinggi di Indonesia.

Namun dengan berubahnya fungsi utama jagung sebagai konsumsi pangan dan benih ke arah industri seperti pakan, bahan makanan atau sebagai salah satu sumber bahan baku bioetanol, hal tersebut belum menjamin bahwa kemajuan genetik secara historis tersebut dapat dipertahankan hanya dengan menggunakan marka fenotipik. Fakta telah mulai muncul bahwa peningkatan hasil pada tanaman sereal utama, seperti jagung, mulai menurun pada beberapa negara (Pingali, 2001). Oleh sebab itu, untuk memastikan bahwa peningkatan produktivitas akan bisa mengimbangi permintaan yang meningkat untuk bahan konsumsi dan bahan baku industri, berbagai alat bantu dibutuhkan. Dalam proses seleksi tetua hibrida, tidak mungkin untuk menilai semua


(27)

3

koleksi inbrida. Salah satu alternatif adalah melakukan persilangan berdasarkan perbedaan genetik tetua dengan menggunakan marka molekuler (Arcade et al., 1996; Melchinger, 1999).

Pabendon et al. (2002) melakukan karakterisasi marka molekuler berdasarkan kemiripan genetik pada sejumlah koleksi galur inbrida di Balitsereal. Hasil analisis gerombol menunjukkan MSJ1 dan J2 berada pada gerombol yang berbeda. Nilai jarak genetik J1 vs J2 cukup tinggi antara lain J2-R-144 vs J1-46 sebesar 0,80, J2-R-144 vs J1-19-1 sebesar 0,72. Dengan demikian, informasi daya gabung khusus konsisten dengan informasi nilai jarak genetik secara molekuler. Oleh sebab itu, penggerombolan galur-galur jagung ke dalam kelompok heterotik sebelum pengujian di lapangan akan memungkinkan bagi pemulia untuk mengurangi biaya dan waktu pengujian karena uji daya gabung umum (DGU) tidak perlu dilakukan lagi. Selain itu dapat menghindari terjadinya persilangan di dalam kelompok heterotik.

Pemahaman aplikasi marka molekuler dalam pemuliaan tanaman memerlukan pemahaman yang detail mengenai metodologi pemuliaan tanaman (siklus waktu), genetika kuantitatif, dan statistik. Pengetahuan genetika kuantitatif dan statistik dibutuhkan untuk mengerti bagaimana kultivar terbaru dan hibrida dikembangkan sebagai dasar teori dari metodologi pemuliaan tanaman; desain, implementasi, dan interpretasi dalam eksperimen pemuliaan tanaman; dan kemampuan statistik dibutuhkan untuk mendeteksi perbedaan di antara kultivar dan hibrida. Supaya program menjadi sukses, ekonomi pengembangan kultivar harus dipertimbangkan secara berkelanjutan bersama dengan desain program pemuliaan.

Dari sejumlah marka molekuler, marka mikrosatelit atau SSR (Simple Sequence Repeat) telah dikenal secara luas banyak memberikan harapan dalam studi keragaman genetik dan prediksi hibrida karena sesuai dengan pewarisan Mendel dan penampilannya yang kodominan, sehingga dapat mengidentifikasi genotipee homozigot dan heterozigot di dalam populasi. Selain itu, telah tersedia sejumlah besar set mikrosatelit yang dapat digunakan pada jagung, sebagian besar telah diidentifikasi berasosiasi dengan QTL (Quantitative Trait Loci) karakter hasil biji (Sibov et al., 2003).

Marka DNA merupakan alat bantu yang lebih tegas dalam membedakan variasi di antara plasma nutfah tanaman, identifikasi genotipe dan studi hubungan kekerabatan


(28)

(Caetano Anolles, 1996). Reif et al. (2003) mempelajari hubungan antara heterosis dan jarak genetik berdasarkan 85 marka SSR dengan menyilangkan tujuh populasi jagung tropis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa marka SSR merupakan alat bantu yang potensial untuk mengelompokkan plasma nutfah berdasarkan tingkat kemiripan genetik. Selain itu marka SSR sebagai komplemen yang sangat penting untuk percobaan lapangan dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok yang mempunyai respon heterosis yang baik.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah marka molekuler (mikrosatelit) dapat dimanfaatkan sebagai alat prediksi awal dalam seleksi tetua potensial melalui informasi:

• Keragaman genetik, jarak genetik, kelompok heterotik, dan hasil analisis paket marka yang berbeda dengan menggunakan marka mikrosatelit.

• Korelasi nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida F1 hasil silang uji (test cross).

• Korelasi nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan hibrida F1 hasil silang dialel.

• Potensi hasil (bobot biji) hibrida hasil persilangan antar tetua yang diseleksi berdasarkan nilai jarak genetik dengan menggunakan marka mikrosatelit.

Hipotesis

• Jarak genetik berbasis marka molekuler berkorelasi positif dengan penampilan fenotipik hibrida F1 hasil silang uji dan hasil silang dialel.

• Penggunaan materi genetik hasil silang uji dan materi genetik hasil silang dialel memberikan informasi korelasi yang sama.

• Hibrida potensial diperoleh dari pasangan tetua kelompok heterotik yang berbeda.


(29)

5

Strategi Penelitian

Penelitian melingkupi dua aspek: (1) mekanisme prebreeding dengan alat bantu marka SSR, (2) mekanisme breeding (pemuliaan) menggunakan metode silang uji dan metode dialel. Adapun strategi pemuliaan untuk mempercepat proses pembentukan hibrida heterosis tinggi dengan memanfaatkan marka mikrosatelit adalah dengan melihat nilai korelasi antara marka molekuler dalam hal ini marka mikrosatelit dan marka morfologi yaitu melalui penampilan fenotipik F1.

Selama ini pembentukan varietas hibrida masih membutuhkan waktu selama lima sampai 10 tahun. Dari sejumlah besar koleksi inbrida yang telah tesedia dimana pembentukannya juga memakan waktu yang lama perlu diupayakan sehingga materi-materi genetik tersebut lebih bermanfaat. Jika hanya mengandalkan marka morfologi maka eksploitasi heterosis secara maksimum tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu dalam penelitian ini tahapan-tahapan penelitian dilakukan dalam upaya untuk mendapatkan nilai korelasi sebagai penanda apakah marka molekuler efisien sebagai alat prediksi untuk menyeleksi tetua lebih awal tanpa harus menguji sejumlah besar pasangan persilangan untuk penentuan kandidat-kandidat tetua hibrida potensial.

Sejumlah 34 koleksi inbrida nasional yang berasal dari beberapa sumber populasi yang berbeda dan telah berada pada generasi S4 sampai S8. Dari antara populasi ini akan diseleksi tetua hibrida berdasarkan nilai jarak genetik. Langkah awal adalah melihat keragaman genetik semua materi yang diuji melalui karakterisasi genotipik menggunakan 36 marka mikrosatelit, mengelompokkan materi tersebut berdasarkan kemiripan genetik. Visualisasi kelompok dalam konstruksi dendrogram akan memudahkan dalam menetapkan beberapa kelompok yang terbentuk. Dalam penelitian ini, kegiatan karakterisasi molekuler selain sebagai alat penyaring pertama sejumlah besar materi genetik, juga sekaligus sebagai sidikjari dari materi genetik yang diuji. Selain itu data biner yang diperoleh dilakukan iterasi data untuk mengetahui apakah ada peluang untuk melakukan pengurangan jumlah primer yang digunakan tanpa mempengaruhi akurasi data untuk melakukan seleksi tetua hibrida. Dari hasil karakterisasi, akan diperoleh nilai jarak genetik dalam bentuk matriks genetik untuk semua peluang persilangan. Nilai jarak genetik akan digunakan untuk memprediksi


(30)

inbrida yang akan dijadikan sebagai tetua dalam set persilangan melalui metode silang uji dan metode silang dialel. Metode silang uji menggunakan inbrida Mr4 dan Mr14 sebagai materi penguji. Sedangkan untuk persilangan dialel, tetua hibrida diseleksi berdasarkan nilai rata-rata jarak genetik dari semua peluang persilangan dalam matriks jarak genetik. Dari kedua metode persilangan tersebut, masing-masing set persilangan diperoleh F1 yang kemudian diuji di lapang untuk mendapatkan data penampilan fenotipik. Hasil tersebut kemudian dikorelasikan dengan nilai jarak genetik masing-masing pasangan tetua. Adapun tahapan kegiatan adalah sebagai berikut:

1. Analisis keragaman genetik inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit untuk mengetahui keragaman genetik antar inbrida, menetapkan kelompok heterotik berdasarkan konstruksi dendrogram dan dibandingkan dengan data silsilah (pedigree).

2. Simulasi analisis marka mikrosatelit untuk penduga heterosis pada populasi inbrida untuk melakukan simulasi paket marka dalam bentuk data biner melalui iterasi data biner, dan juga melalui analisis komponen utama (Principal Componen Analysis=PCA).

3. Analisis korelasi antara jarak genetik inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida F1 hasil silang uji melalui uji daya hasil genotipe F1 hasil silang uji dengan inbrida penguji Mr4 dan Mr14. Nilai jarak genetik akan dikorelasikan dengan penampilan fenotipik khususnya bobot biji untuk memperoleh nilai korelasi (r). Selain itu dapat diketahui apakah materi silang uji yang digunakan selama ini masih layak untuk digunakan sebagai materi penguji dalam pembentukan hibrida berdasarkan metode silang uji.

4. Analisis korelasi antara jarak inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida hasil silang dialel melalui uji daya hasil hibrida F1 hasil silang dialel yang dilakukan pada dua lokasi. Nilai jarak genetik juga akan dikorelasikan dengan penampilan fenotipik F1 khususnya bobot biji untuk memperoleh nilai korelasi (r). Selain itu diharapkan ada hibrida yang potensial sebagai kandidat hibrida potensial.


(31)

7

Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian MATERI GENETIK

INBRIDA

DATA PEDIGREE

KARAKTERISASI MOLEKULER

SILANG DIALEL BERBASIS MARKA SSR ITERASI SET

MARKA SSR DATA KERAGAMAN

GENETIK

DATA JARAK GENETIK

ANALISIS KORELASI JARAK GENETIK

VS BOBOT BIJI

ANALISIS KORELASI JARAK GENETIK

VS

BOBOT BIJI

DGK

HETEROSIS

HIBRIDA POTENSIAL

SILANG UJI (TEST CROSS) BERBASIS


(32)

BAB. II

TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Pembentukan Jagung Hibrida

Kultivar hibrida mengandung makna bahwa biji (benih) yang dipergunakan untuk pertanaman produksi komersial adalah biji generasi F1, dan merupakan hasil persilangan genotipe-genotipe yang terpilih melalui seleksi. Kultivar hibrida dibentuk dengan memanfaatkan gejala heterosis atau vigor hibrida pada F1, yang akan digunakan sebagai tanaman produksi. Pada generasi lebih lanjut akan terjadi segregasi sehingga manfaat heterosis hilang.

Dalam pemuliaan tanaman, tingkat keberhasilan seleksi sangat ditentukan oleh tersedianya variabilitas genetik bahan atau materi pemuliaan yang akan diseleksi. Hal tersebut erat kaitannya dengan cara menghasilkan materi pemuliaan. Tersedianya informasi tentang tingkat diversitas genetik dari materi plasma nutfah sangat diperlukan untuk identifikasi kandidat tetua persilangan yang potensial. Melalui persilangan tetua yang potensial dapat diharapkan adanya kisaran variabilitas genetik pada F2 yang luas, serta tingkat heterosis yang tinggi pada generasi F1 (Daradjat et al., 1991).

Dalam pembuatan inbrida (galur murni), ada lima kelompok sumber tetua yaitu kultivar komersial, galur-galur elit pemuliaan, galur-galur pemuliaan dengan satu atau beberapa karakter superior, spesies introduksi tanaman, dan kerabat-kerabat liar (Fehr, 1987). Dahlan dan Sugiyatni (1992) mengemukakan bahwa keberhasilan program hibrida tergantung dari bahan dasar galur-galur murni. Heterosis akan menjadi lebih efektif jika menggunakan sumber genetik yang berasal dari varietas bersari bebas. Tomes, (1998) mengemukakan bahwa cara yang produktif dalam observasi heterosis pada jagung hibrida adalah dengan memanfaatkan sumber genetik yang tersedia seperti kultivar bersari bebas atau jenis lokal.


(33)

9

Peranan Pola Heterosis dalam Pemuliaan Jagung Hibrida

Kelompok dan pola heterotik merupakan dasar yang sangat penting dalam pemuliaan hibrida. Prinsip dasar dan sistematika yang mendukung identifikasi kelompok dan pola heterotik serta perluasan dasar genetik harus diberi perhatian khusus dengan menggunakan marka molekuler untuk pengelompokan plasma nutfah (Melchinger and Gumber, 1998). Melalui identifikasi kelompok dan pola heterotik maka penampilan hibrida rata-rata pada sejumlah besar persilangan dapat ditentukan dengan akurat melalui evaluasi di lapang dengan menggunakan ulangan, estimasi variasi genetik tetua atau populasi hibrida melalui percobaan lapang dari sejumlah besar generasi S1, half-sib, atau turunan (progeny) full-sib per populasi. Namun demikian, kegiatan tersebut sangat banyak memerlukan tenaga dan waktu. Sebagai alternatif, marka molekuler seperti RFLP, SSR, AFLP dapat dimanfaatkan, yang terbukti efektif di dalam mengukur diversitas genetik (genetic diversity) pada level DNA (Melchinger, 1993).

Messmer et al. (1993) menyatakan bahwa di dalam pemuliaan jagung hibrida, informasi pedigree telah umum digunakan untuk mengelompokkan galur-galur harapan baru ke dalam kelompok heterotik yang sama sebagai turunan tetua jantan (progenitor) dan memilih tester yang tepat untuk pengujian kemampuan daya gabung umum (DGU). Oleh sebab itu berdasarkan asal-usul (coancestri) dengan dukungan marka molekuler akan mampu untuk mengukur rata-rata tingkat kekerabatan dan untuk identifikasi galur-galur yang sangat berkerabat. Romero-Severson et al. (2001) menambahkan bahwa polimorfisme yang memunculkan perbedaan di antara genotipe harus dihubungkan dengan identitas dari galur murni bersangkutan jika identitas merupakan faktor penentu.

Fenomena munculnya heterosis yaitu bila dua individu homozigot yang berbeda disilangkan, maka keturunannya akan memperlihatkan gejala heterosis atau vigor hibrida (Poehlman dan Sleeper, 1995). Manifestasi heterosis biasanya tergantung pada perbedaan genetik dari dua tetua persilangan. Perbedaan genetik dari tetua dapat diduga dari pola heterosis yang secara nyata diketahui dari seri persilangan (Hallauer dan Miranda, 1988). Heterosis, secara mendasar tergantung pada pengaruh genetik dominan (Fehr, 1987; Falconer dan McCay, 1989). Oleh sebab itu memaksimalkan diversitas genetik di antara genotipe-genotipe galur murni, merupakan langkah utama dalam


(34)

program pemuliaan hibrida sehubungan dengan peningkatan heterosigositas yang maksimal untuk lokus over-dominan dan komplit-dominan pada turunan F1 (Melchinger dan Gumber, 1998).

Telah diketahui bahwa refleksi morfologi bukan hanya merupakan konstitusi genetik dari kultivar tetapi juga hasil interaksi genotipe dan lingkungan. Melchinger et al. (1991) menambahkan bahwa klasifikasi materi persilangan jagung ke dalam kelompok heterosis yang didasarkan misalnya hanya pada tipe endosperm (flint vs dent) diakui tidak memuaskan karena variasi tipe endosperm hanya dikendalikan oleh satu gen saja.

Konsep DGU dan daya gabung khusus (DGK) diperkenalkan oleh Sprague dan Tatum (1942) dan model matematikanya di set oleh Griffing (1956) dalam tulisan yang klasik yang berhubungan dengan persilangan dialel. Istilah kemampuan DGU untuk melihat penampilan rata-rata galur-galur dalam kombinasi hibrida, sedangkan istilah DGK untuk mengklarifikasi sejumlah kombinasi tertentu yang relatif lebih baik atau lebih jelek dari yang diperkirakan pada penampilan rata-rata dari galur-galur yang terlibat. Nilai dari setiap populasi tergantung pada potensi per se dan kemampuan daya gabung dalam persilangan (Vacaro et al., 2002). Pemanfaatan konsep ini untuk karakterisasi suatu inbrida dalam persilangan telah populer di antara pemulia jagung sejak beberapa dekade terakhir.

Aplikasi marka molekuler

Inbrida jagung mempunyai sejarah yang kompleks karena dibentuk dari varietas bersari bebas dan disilangkan pada sejumlah inbridanya sendiri. Kondisi ini yang menyebabkan sulitnya menempatkan inbrida ke dalam kelompok yang tepat berdasarkan pedigree dan hubungan kekerabatan genetiknya. Walaupun informasi pedigree dapat digunakan sebagai penuntun, namun seleksi dan penghanyutan genetik (genetic drift) selama proses silang dalam (inbreeding) dapat menyebabkan ketidak sesuaian di antara silsilah (pedigree) dan konstitusi genetiknya. Selain itu seringkali didapati informasi silsilah yang tidak komplit, kurang akurat dan saling bertentangan (Liu et al., 2003).


(35)

11

Data morfologi telah lama digunakan dalam perlindungan varietas tanaman, registrasi tanaman untuk deskripsi identifikasi, dan dalam membedakan kultivar-kultivar dan galur-galur yang mengacu pada Union Pour la Protection des Obtention Vegetales (UPOV). Namun karakter-karakter morfologi sering tidak menggambarkan hubungan genetik akibat interaksi lingkungan dan sejumlah kontrol genetik yang tidak diketahui (Smith dan Smith, 1989).

Data biokimia yang diperoleh melalui pemisahan protein dengan menggunakan elektroforesis atau gas kromatografi merupakan pembeda genotipe yang superior karena secara nyata tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan dasar genetiknya secara umum dapat diketahui (Smith dan Smith, 1987). Informasi silsilah dan marka DNA telah banyak dimanfaatkan untuk memperkirakan hubungan genetik dari sejumlah kultivar pada beberapa tanaman (Cox et al., 1985; Murphy et al., 1986; van Beuningen dan Bush, 1997).

Melchinger et al. (1991) mengestimasi jarak genetik pada sejumlah galur dengan menggunakan penanda molekuler RFLP dengan persamaan Roger Distance (RD) memperoleh diversitas genetik yang luas pada sejumlah galur-galur dari Iowa Shift Stalk Synthetic (BSSS), Reid Yellow Dent (RYD) dan Lancaster Sure Crop (LSC). Senior et al. (1998) mengemukakan hasil analisis gerombol yang mengelompokkan galur-galur murni yang diuji menjadi sembilan gerombol dan sesuai dengan kelompok heterotik utama atau jagung kelas komersial di Amerika Utara.

Paterson et al. (1991) melaporkan bahwa marka genetik dapat meningkatkan kemampuan dalam mempelajari pengaruh gen secara individual. Dengan demikian lebih memungkinkan untuk menentukan fenomena yang manakah yang lebih berperan di dalam pemunculan heterosis, apakah dominan, over dominan atau gabungan dari keduanya. Menurut Karp dan Edward (1998), marka yang informatif merupakan elemen penting yang perlu dipertimbangkan dalam membandingkan metode yang berbeda, namun faktor-faktor lain seperti biaya, tingkat keterampilan yang dibutuhkan, tingkat ketelitian dan perbanyakan marka molekuler yang akan digunakan juga perlu dipertimbangkan.

Jika marka berkorelasi secara positif dengan kemampuan daya gabung, maka marka ini dapat digunakan sebagai penyaring pertama yang dapat mengidentifikasi


(36)

maksimal 50% dari hasil pengujian lapangan dari progeni tersebut, sehingga hanya tanaman atau progeni tertentu yang disilangkan dengan tester. Namun, prosedur ini tidak akan mengurangi waktu yang digunakan untuk pengujian dan pengembangan hibrida potensial, walaupun dapat menurunkan jumlah materi yang diuji.

Marka molekuler untuk analisis keragaman

Ada tiga tipe utama marka genetik: (i) marka morfologi adalah ciri atau karakter fenotipik; (ii) marka biokimia, yang menyangkut varian alelik dari ensim yang disebut isozim; dan (iii) marka DNA (molekuler), yang menggambarkan letak variasi DNA (Tanksley and McCouch, 1997). Marka morfologi secara visual dikarakterisasi secara fenotipik seperti warna bunga, bentuk biji, tipe tumbuh atau pigmentasi. Marka isozim adalah marka yang dapat membedakan enzim yang dideteksi melalui elektroforesis dan merupakan penanda spesifik. Keterbatasan dari marka-marka biokimia dan morfologi terbatas dalam jumlah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau fase perkembangan dari tanaman (Tanksley dan McCouch, 1997).

Marka DNA adalah tipe yang paling luas mendominasi dalam kaitannya dengan jumlah. Marka tersebut berkembang dari perbedaan klas dalam mutasi DNA seperti mutasi titik (substitution), insersi atau delesi (rearrangement) atau kesalahan dalam replikasi dari DNA berulang secara tandem (Matsuoka et al., 2002). Tidak seperti marka morfologi dan biokimia, marka DNA pada kenyataannya selain tidak terbatas di dalam jumlah, juga tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan/atau fase perkembangan dari tanaman (Tanksley and McCouch, 1997). Terlepas dari penggunaan marka DNA di dalam konstruksi pemetaan terpaut, aplikasinya banyak terkait dengan pemuliaan tanaman seperti pendugaan tingkat keragaman genetik di dalam plasma nutfah (Warburton et al., 2002) dan identifikasi kultivar (Gethi et al., 2002).

Sekarang ini, jumlah pengujian molekuler yang tersedia untuk studi keragaman tanaman meningkat secara dramatis, dimana masing-masing metode berbeda dalam prinsip, aplikasi, tipe dan jumlah polimorfisme yang terdeteksi, dan juga biaya dan waktu yang dibutuhkan (Tanksley and McCouch, 1997). Marka DNA secara luas dapat dibagi dalam tiga klas berdasarkan metode deteksi: (i) berbasis hibridisasi seperti RFLPs


(37)

13

(Restriction Fragment Length Polymorphisms) ; (ii) berbasis PCR (polymerase chain reaction) seperti AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), SSR (Simple Sequence Repeats), dan (iii) berbasis sekuen DNA seperti SNPs (Single Nucleotide Polymorphisms) (Tanksley and McCouch, 1997).

Keragaman genetik pada jagung

Dengan munculnya metode molekuler untuk menduga variasi genetik, berbagai studi mengenai keragaman genetik dan hubungannya dengan galur-galur inbrida jagung, hibrida dan bersari bebas. Keragaman molekuler pada jagung telah diteliti untuk berbagai kepentingan. Mum dan Dudley (1994) telah berhasil mengidentifikasi kelompok heterotik utama dan subgrup dalam set yang terdiri atas 148 galur inbrida Amerika Serikat (A.S.), menggunakan 46 marka RFLP. Sebaliknya, Warburton et al. (2005) tidak menemukan gerombol yang jelas dalam set 218 galur inbrida yang bervariasi secara fenotipik yang dibentuk di CIMMYT. Mereka menyimpulkan bahwa alat bantu marka molekuler bermanfaat di dalam menyaring kelompok heterotik dan menyeleksi tester representatif yang akan digunakan di dalam program pemuliaan hibrida. Di Cina, Xia et al. (2004a) menunjukkan bahwa SSR dapat digunakan untuk menduga hubungan antara galur inbrida jagung, tetapi sukar untuk memprediksi heterosis dan penampilan hibrida. Berdasarkan analisis molekuler dengan menggunakan 83 marka SSR, Lu dan Bernardo (2001) menyimpulkan bahwa keragaman genetik sejumlah galur inbrida A.S. terbaru telah menurun pada level genetik tetapi tidak pada level populasi jika dibandingkan dengan galur-galur penting yang telah lama digunakan. George et al. (2004a) menduga keragaman genetik untuk penyakit bulai terhadap 102 galur inbrida Asia menggunakan 76 marka SSR dan menyimpulkan bahwa aktivitas pemuliaan jagung di Asia tidak menyebabkan penurunan keragaman genetik dalam skala besar pada daerah tertentu dimana aktivitas dilakukan.


(38)

Marka SSR berbasis PCR

Single Sequence Repeats atau biasa disebut mikrosatelit merupakan unit pengulangan 1 - 6 pasang basa DNA dengan variasi yang tinggi (Gupta et al., 1996; Senior et al., 1998). Primer SSR dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif (conserved flanking region) lokus SSR (Akkaya et al., 1992), yang bisa menghasilkan amplifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) pada lokus SSR tersebut. Hasil produk PCR dapat dielektroforesis yang dibedakan menurut jumlah unit pengulangan DNA dalam alel-alel SSR yang muncul dan menghasilkan polimorfisme yang tinggi antar spesies (Senior dan Heun, 1993; Taramino dan Tingey, 1996; Senior et al., 1998), dan yang lebih penting adalah antar individu-individu di dalam spesies dan populasi (Gupta et al., 1996; Chen et al., 1997). Marka SSR juga bersifat multialelik dan mudah diulangi, yang menjadikan marka SSR ini penggunaannya lebih menarik dalam mempelajari keragaman genetik di antara genotipe-genotipe yang berbeda (Senior et al., 1998). Ditambahkan bahwa teknik SSR sering menggunakan gel polyakrilamid karena lokus SSR mengandung dinucleotida yang berulang yang mengamplifikasi produk PCR pada kisaran 100 sampai 300 bp, dimana jika susunannya berbeda setiap 2 bp maka pada kisaran tersebut gel agarose tidak mampu digunakan. Gel polyacrylamide mempunyai resolusi yang lebih tinggi dari pada gel agarose menyebabkan gel tersebut mampu mendeteksi sejumlah besar alel per lokus (Macaulay et al., 2001).

Kemudahan SSR dalam amplifikasi dan deteksi serta tingginya polimorfisme yang dihasilkan menyebabkan ideal untuk dipakai dalam studi dengan jumlah sampel yang banyak. Selain itu dalam teknik PCR metode SSR hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil dari genom. SSR dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena hanya sedikit yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain seperti biji atau pollen (Senior et al., 1996).

Pada tanaman kedelai, marka SSR menghasilkan perkiraan heterosigositas yang paling tinggi, sedangkan marka AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) menghasilkan rasio multipleks efektif paling tinggi (Powel et al., 1996b). Pejic et al. (1998) melaporkan bahwa apabila yang menjadi target utama adalah jumlah alel per


(39)

15

lokus, secara rata-rata marka SSR dapat menghasilkan informasi dua kali lebih tinggi dari AFLP dan RAPD, dan 40% lebih tinggi dari pada RFLP.

Penggunaan marka molekuler pada tahap awal, khususnya SSR diketahui cukup mahal namun dengan bantuan marka tersebut maka seleksi genotipe berdasarkan hubungan kekerabatan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih cepat dan pemanfaatan sifat heterosis dapat dieksploitasi secara maksimal. Secara khusus DNA berdasarkan tingkat polimorfisme merupakan alat yang paling kuat dalam memperoleh similaritas genetik antara breeding stock (Lee, 1995). Senior et al. (1998) meneliti penggunaan marka SSR untuk menentukan hubungan kekerabatan genetik pada jagung dengan menggunakan sistem gel agarose. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan pola perbedaan genetik yang digambarkan oleh polimorfisme hasil SSR, konsisten dengan informasi pedigree.

Macaulay et al. (2001) mengemukakan bahwa akan lebih baik jika data genetik yang dihasilkan menggunakan metode yang fleksibel, dengan breeding record yang sesuai dengan gabungan dari set data pada waktu yang berbeda serta laboratorium yang berbeda di seluruh dunia. Marka mikrosatelit merupakan tipe pengujian yang potensial dalam menghasilkan format set data seperti itu (Powel et al., 1996a).

Warburton et al., (2002) menjadikan marka SSR sebagai marka pilihan untuk sidikjari (fingerprinting) dan keragaman genetik tanaman karena merupakan marka yang ideal dalam kaitannya dengan pewarisan ko-dominan, lokus spesifik, dan karakter multi alelik. Marka molekuler berbasis PCR seperti SSR dapat menganalisis dataset dalam jumlah besar dalam periode waktu yang relatif singkat (Rebourg et al., 2001). Dalam studi 33 galur murni jagung, SSR menghasilkan informasi dua kali lebih banyak dari pada AFLP dan RAPD, lebih besar 40% dibandingkan RFLP dalam kaitannya dengan jumlah alel per lokus (Pejic et al., 1998).

Analisis Statistik untuk Data Molekuler

Metode statistik dan multivariat secara luas digunakan untuk analisis pola genotipe DNA dalam studi keragaman tanaman. Khusus untuk analisis genotipe DNA dilakukan untuk kemiripan genetik atau matriks jarak genetik dalam jumlah yang lebih


(40)

besar dibandingkan pada matriks raw data multivariat. Pilihan yang tepat untuk mengukur jarak genetik merupakan komponen penting dalam analisis keragaman genetik sejumlah set genotipe. Untuk data marka molekuler dimana produk amplifikasi dapat diasumsikan dengan alel, sebagai seperti SSR dan RFLP, sehingga frekuensi alel dapat dihitung dan data tersebut akan digunakan dalam bentuk matriks data biner untuk analisis statistik. Untuk marka ko-dominan, dapat menggunakan koefisien simple matching (SM) (Sokal and Michener, 1958), koefisien Jaccard (1908), koefisien Nei dan Li (1979), dan jarak Rogers’ termodifikasi (Roger, 1972) umumnya digunakan untuk mengukur kemiripan genetik dimana data dalam bentuk binari (ada atau tidak ada). Koefisien simple matching adalah ratio jumlah yang matches (sesuai/sepadan) terhadap jumlah matches dan mismathes sedangkan koefisien Jaccard adalah rasio matches positif terhadap jumlah matches positip dan mismatches. Prasanna (2002, komunikasi pribadi) menyarankan untuk menggunakan koefisien Jaccard pada data yang mempunyai missing data. George et al. (2004a) menghitung kemiripan genetik sejumlah pair-wise comparisons galur inbrida jagung dalam kaitannya dengan resistensi penyakit bulai menggunakan koefisien SM dan Jaccard. Dalam studi galur murni jagung Brazilia, Oliveira et al. (2004) menemukan koefisien kemiripan Jaccard berkisar dari 0,345 sampai 0,891 dan menentukan hubungan genetik sejumlah pasangan inbrida menggunakan koefisien tersebut. Modifikasi jarak Roger telah digunakan dalam menentukan jarak genetik antara sejumlah galur inbrida jagung dataran rendah tropis (Xia et al., 2004b), dan galur inbrida serta populasi CIMMYT (Warburton et al., 2002). Estimasi jarak genetik Nei dan Li (1979) telah dikembangkan untuk analisis restriction site polimorphisms, dan pengestimasinya dihasilkan oleh Dice (1945) pada era pra-molekuler. Barcaccia et al. (2003) menggunakan pengukuran jarak genetik Neis’s unbiased untuk menghitung jarak antara populasi dari landrace jagung Itali yang disebut Nostrano I.

Analisis gerombol, analisis komponen utama (PCA=Pricipal Component Analysis), Analisis koordinat utama (PCoA=Principal Coordinate Analysis) dan Multidimensional Scaling (MDS) adalah sejumlah metode multivariat yang umum digunakan untuk studi keragaman genetik. Alat statistik yang menonjol dan pertimbangan di dalam analisis kemiripan genetik pada tanaman dibahas oleh


(41)

17

Mohammadi dan Prasanna (2003). PCA dan PCoA juga digunakan untuk menunjukkan penyebaran posisi relatif dari materi yang diuji dalam dua atau tiga dimensi sehingga jarak geometrikal sejumlah materi yang diuji merefleksikan jarak genetik di antara materi tersebut dengan sedikit distorsi. Pengelompokan materi dalam plot sebaran akan menunjukkan set berdasarkan kemiripan genetik secara individu. George et al. (2004b) menggunakan PCoA untuk mendapatkan perbedaan visualisasi yang lebih baik pada resistensi penyakit bulai pada sejumlah set galur inbrida di Asia, sedangkan Warburton et al. (2005) menggunakan PCA pada set data yang dihasilkan dari analisis SSR dan RFLP. Xia et al. (2005) menggunakan PCoA terhadap set galur inbrida jagung di daerah subtropika, mid-altitude dan dataran tinggi berdasarkan data SSR.

Analisis gerombol yang mengarah pada materi dalam grup yaitu genotipe yang berdasarkan pada karakteristik yang dimilikinya, dimana individu dengan diskripsi yang serupa/sama secara matematik dikumpulkan ke dalam gerombol yang sama. Metode geromboling biasanya digambarkan dalam bentuk diagram pohon atau dendrogram dimana gerombol dapat diidentifikasi secara visual (Mohammadi dan Prasanna, 2003). Analisis gerombol juga telah digunakan dalam studi variasi SSR pada galur-galur penting U.S (Gethi et al., 2002). Oliveira et al. (2004) menggunakan analisis gerombol dalam mengevaluasi hubungan antara galur inbrida tropika dari Brazil, tetapi tidak berhasil untuk membedakan dengan jelas galur-galur tersebut dalam kelompok.

Tidak ada aturan statistik formal untuk menetapkan berapa marka genetik yang dibutuhkan untuk mengklasifikasi aksesi secara akurat, menjelaskan pola genetik atau mengestimasi jarak genetik atau fenogram secara akurat. Smith et al. (1991) menggunakan 200 marka RFLP yang menyebar pada seluruh genom jagung untuk sidikjari 11 galur inbrida. Mereka mengestimasi matriks jarak genetik dengan sampling lima sampai 200 marka RFLP dengan melakukan lima penambahan pada setiap tahap (mis. 5, 10, 15, ...200). Mereka menyimpulkan bahwa akurasi sudah cukup dengan 100 atau lebih marka. Bernardo (1993) menyimpulkan bahwa 250 atau lebih lokus marka dibutuhkan untuk menghasilkan estimasi yang tepat untuk koefisien coancestry pada jagung. Jumlah marka genetik yang digunakan di dalam analisis kemungkinan bisa ditentukan oleh faktor-faktor nonstatistik. Hasil analisis mungkin merupakan satu kriteria yang digunakan untuk menyeleksi marka genetik untuk analisis ke depan.


(42)

Kemiripan genetik antara dua populasi dipengaruhi oleh jumlah dan karakteristik dari sampel marka genetik. Idealnya, marka genetik untuk tujuan perlindungan varietasdan untuk mengklasifikasi materi genetik yang belum diketahui, harus dengan marka polimorfisme tinggi dan menyebar secara merata pada genom.

Korelasi Marka DNA dengan Informasi Fenotipik

Penelitian mengenai hubungan antara marka-marka dan karakter-karakter yang bernilai ekonomi, penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu dalam pemuliaan. Perhatian utama dalam pogram pemuliaan jagung hibrida adalah mengidentifikasi galur-galur murni dimana dari hasil persilangannya akan diperoleh tingkat heterosis yang optimal (Lee et al., 1989). Estimasi kedekatan genetik antara tanaman bermanfaat di dalam studi evolusi populasi atau spesies dan dalam perencanaan persilangan untuk hibrida atau dalam pengembangan kultivar homozigous (Cox et al., 1985).

Hubungan genetik dapat bermanfaat sebagai alat peramal dalam penampilan kombinasi genotipe untuk program pemuliaan sehingga dapat mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pengujian hibrida. Eksploitasi secara komersial dari fenomena heterosis adalah salah satu kontribusi yang sangat penting dari pemanfaatan hubungan genetik dalam pemuliaan tanaman di abad ini (Barbosa-Neto et al., 1996).

Estimasi jarak genetik sejumlah galur murni jagung yang dilakukan oleh Lee et al. (1989) berdasarkan MRD (Modified Rogers’ Distance) menunjukkan bahwa hasil (ton/ha) dan kemampuan daya gabung khusus (DGK) mempunyai korelasi yang nyata dengan MRD pada enam dari 10 peta kromosom jagung. Oleh sebab itu, gerombolisasi galur-galur jagung ke dalam kelompok heterosis sebelum pengujian di lapangan akan memungkinkan bagi peneliti pemulia untuk mengurangi biaya karena dapat menghindari terjadinya persilangan di dalam kelompok heterosis.

Pinto et al. (2003) mengamati pengaruh seleksi berulang berbalasan (recurrent resiprokal) pada struktur genetik populasi jagung tropik pada lokus mikrosatelit, menemukan adanya reduksi jumlah alel setelah seleksi yang sejalan dengan terjadinya perubahan di dalam frekuensi alel.


(43)

19

Riday et al. (2003) membandingkan antara nilai jarak genetik dengan morfologi dan heterosis pada Medicago sativa sub sp. sativa dan subsp. Falcata, menemukan bahwa jarak genetik berdasarkan AFLP tidak berkorelasi dengan hasil daya gabung khusus (DGK) namun sebaliknya matriks jarak berdasarkan morfologi terhadap 17 karakter agronomik dan karakter kualitatif mempunyai korelasi yang nyata dengan heterosis.

Salah satu aplikasi yang penting dari marka DNA adalah memprediksi heterosis pada hibrida. Evaluasi hibrida untuk heterosis dan nilai daya gabung di lapang mahal dan boros waktu (Sant et al., 1999). Parameter-parameter lain seperti informasi pedigree, karakter kualitatif dan kuantitatif (Smith et al., 1990; Wang et al., 1992) dan data biokimia (Leonardi et al., 1991) telah digunakan untuk studi heterosis. Marka DNA juga telah digunakan secara ekstensif untuk korelasi keragaman genetik dan heterosis pada jagung (Smith et al., 1990; Ajmone Marshan et al., 1998; Parentoni et al., 2001), pada padi (Xiao et al., 1996; Zhang et al., 1994; Zhao et al., 1999), oat (Mosser dan Lee, 1994; O’Donoughue et al., 1994), barley (Melchinger et al., 1990) dan cheakpea (Sant et al., 1999).

Pemuliaan tanaman secara sederhana terdiri atas (a) meningkatkan variasi genetik melalui rekombinasi dan (b) seleksi untuk mengidentifikasi rekombinan superior untuk kemajuan di dalam program pemuliaan. Semua metode pemuliaan mengandung kedua tahap tersebut. Protokol yang digunakan pada masing-masing tahapan kompleks dengan dengan metode pemuliaan yang berbeda sesuai tujuan pemuliaan, dan materi genetik yang digunakan (Hallauer, 1990; Fehr, 1987). Sampai sekarang pada umumnya metodologi pemuliaan tanaman masih membutuhkan proses panjang lima sampai 10 tahun untuk mendapatkan kultivar baru atau hibrida sampai di pasaran. Perbaikan masih diperlukan, dan tawaran marka molekuler adalah salah satu terobosan yang dapat dimanfaatkan.


(44)

BAB. III

Analisis Keragaman Genetik Inbrida Jagung Berbasis

Marka Mikrosatelit

ABSTRAK

Keragaman genetik merupakan salah satu kriteria untuk seleksi tetua dalam program pemuliaan hibrida. Tujuan penelitian ini adalah (a) untuk mengetahui hubungan genetik dan tingkat keragaman genetik 34 inbrida elit berdasarkan marka mikrosatelit atau Single Sequence Repeats (SSR) dan data pedigree, dan (b) mendapatkan informasi kelompok heterotik dan nilai jarak genetik yang akan digunakan untuk seleksi tetua hibrida. Data yang dianalisis adalah tingkat polimorfisme, keragaman genetik, dan jarak genetik menggunakan koefisien Jaccard. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat polimorfisme cukup tinggi, berkisar dari 0,22 sampai 0,86 dengan nilai rata-rata 0,61 dengan keragaman alelik 4,5 alel per lokus. Jarak genetik berkisar dari 0,21 sampai 0,88 mengindikasikan variabilitas genetik inbrida yang dikarakterisasi cukup luas. Konstruksi dendrogram dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain, dikelompokkan ke dalam lima grup berdasarkan kemiripan genetik, dan pada umumnya sesuai dengan data pedigree. Keterbatasan penggunaan data pedigree nampak dalam penelitian ini dimana terdapat empat inbrida dengan inisial pedigree yang sama menyebar pada tiga kelompok yang berbeda atau kelompoknya belum tegas. Informasi marka molekuler efektif digunakan sebagai dasar dalam mengidentifikasi galur inbrida sebagai dasar untuk menyeleksi tetua hibrida sebagai salah satu strategi yang rasional dalam program pemuliaan hibrida.


(45)

21

Microsatellite-Based Genetic Diversity Analysis among

Maize Inbreds

ABSTRACT

Genetic diversity is considered as one criteria for selection of parents in hybrid breeding program. The present study is undertaken to evaluate genetic divergence among inbreds and to assess the relationship between heterosis and parental genetic distance. The objective of this study are (a) to estimate the level of genetic diversity among 34 inbred lines from different population sources based on microsatellite or single sequence repeats (SSR) markers and pedigree data, and (b) to obtain information of heterotic groups and genetic distance of the inbreds as used in parental hybrid selection. The data are analyzed by polymorphic information content (PIC), genetic diversity, and genetic distance (Jaccard’s coefficient). Banding patterns range in percentage of polymorphism from 0.22 to 0.82 with an overall mean of 0.61 with an allelic diversity of 4.5 alleles/primer. Genetic distance value ranging from 0.21 to 0.88 indicates the broad ranges of genetic variability of the inbreds. Construction of the dendrogram can differentiate inbreds, and cluster the inbreds in to five groups based on genetic similarities and is generally consistent with the pedigree data. The limitation of using pedigree data is shown in this study where four inbreds having the same initial pedigree (SP007) scattered in the three groups or having no obvious pedigree data. This information of molecular markers is effective to select hybrid parents and one of the rational strategies in hybrid breeding program.


(46)

PENDAHULUAN

Klasifikasi galur-galur elit dan penetapan galur-galur murni ke dalam kelompok heterotik merupakan faktor utama dalam pengambilan keputusan di dalam program pembentukan jagung hibrida (Kantety et al., 1995). Lee (1998) menyatakan bahwa kelompok dan pola heterotik mempunyai implikasi yang besar dan berpengaruh jangka panjang dalam program pemuliaan. Penetapan kelompok dan pola heterotik akan menjadi sumber informasi yang sangat penting dalam melakukan identifikasi dan penetapan tetua hibrida. Selain itu dapat memberikan arah dalam seleksi, persilangan, dan pengujian kombinasi tetua sebagai kandidat hibrida. Jika menyeleksi calon tetua hibrida tanpa mengetahui kelompok heterotik maka akan sukar untuk memprediksi besarnya heterosis yang akan dicapai, dan kemungkinan besar hasil yang akan diperoleh tidak optimal.

Metode klasik dalam mengestimasi sejumlah kelompok tanaman pada umumnya berdasarkan karakter morfologi dimana ANOVA memegang peranan penting dalam penentuan spesies tanaman dan kerabatnya. Salah satu strategi alternatif yang perlu diperhatikan dan dipikirkan adalah teknis analisis yang didasarkan pada asumsi bahwa daya gabung khusus yang terekspresi pada suatu hibrida berhubungan erat dengan jarak genetik antar galur-galur tetua (Lee et al., 1989). Untuk memanfaatkan sifat heterosis secara optimum di dalam pemuliaan hibrida, maka tetua betina dan tetua jantan secara genetik masing-masing harus berasal dari pool yang berkerabat jauh yang disebut dengan kelompok heterotik (Melchinger dan Gumber, 1998).

Sebelum reorganisasi Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian, sebagian besar inbrida jagung yang dibentuk di Balai Penelitian Tanaman Pangan pada umumnya memperoleh materi genetik jagung yang diintroduksi dari CIMMYT Mexico (sub tropis) dan CIMMYT Asia, (Thailand) (tropis). Berdasarkan informasi pengembangan populasi dan inbrida di Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Maros, sumber-sumber materi genetik baik dalam bentuk populasi maupun inbrida, selain dari CIMMYT, juga sebagian besar dari Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang, yang sekarang telah menjadi Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) serta Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, sekarang telah


(1)

Warburton, M.L., X. Xianchun, S. Ambriz, L. Diaz, E. Villordo, and D. Hoisington. 2001. Use of molecular markers in maize diversity studies at CIMMYT. Seven Eastern and Southern Africa Regional Maize Conference, 11th-15th Feb. 2001. pp 130-133.

Warburton, M., J.M. Ribaut, J. Franco, J. Crossa, P. Dubreuil and F.J. Betran. 2005. Genetic characterization of 218 elite CIMMYT maize inbred lines using RFLP markers. Euphytica 142: 97-106.

Weir. B.S. 1996. Genetic data analysis II. 2nd ed. Sinauer Associates. Inc., Sunderland. Xia, X. C., J.C. Reif, A.E. Melchinger, M. Frisch, D.A. Hoisington, D. Beck, K. Pixley,

and M.L. Warburton. 2005. Genetic diversity among CIMMYT maize inbred lines investigated with SSR markers: II. Subtropical, tropical, midaltitude, and highland maize inbred lines and their relationships with elite U.S. and European Maize. Crop Sci. 45: 2573-2582.

Xia, X., J. Liu, and L. Gong-She. 2004a. The use ofSSRs for predictin the hybrid yield and yield heterosis in 15 key inbred lines of Chinese maize. Hereditas 141: 207-215.

Xia, X., J. C. Reif, D.A. Hoisington, A.E. Melchinger, M. Frich, and M.L. Warburton, 2004b. Genetic diversity among CIMMYT maize inbred lines investigated with SSR markers: I. Lowlanf tropical maize. Crop Sci. 44: 2230-2237.

Xiao, J., J. Li, L. Yuan, S.R. McCouch and S.D. Tanksley. 1996. Genetic diversity and its relationship to hybrid performance and heterosis in rice as revealed by PCR-based maekers. Theor. Appl. Genet. 92: 637-643.

Zhang, Q., Y.J. Gao, S.H. Yang, R. Ragab, M.A. Saghai Maroof and Z.B. Li. 1994. A diallel analysis of heterosis in elite hybrid rice based on RFLPs and microsatellites. Theor. Appl. Genet. 89: 185-192.

Zhang, X.Y., C.W. Li, L.F. Wang, H.M. Wang, G.X. You, and Y.S. Dong. 2002. An estimation of the minimum number of SSR alleles needed to reveal genetic relationships in wheat varieties. I. Information from large-scale planted varieties and cornerstone breeding parents in Chinese wheat improvement and production. Theor. Appl. Genet. 106: 112-117.

Zhao, M.F., X.H. Li, J.B. Yang, G.G. Xu, R.Y. Hu, D.J. Liu, and Q. Zhang. 1999. Relationship between molecular marker heterozygosity and hybrid performance an intra- inter-subspecific crosses of rice. Plant Breed. 118: 139-144.


(2)

Lampiran 1 Larutan stok, konsentrasi akhir dan volume cocktail PCR

Larutan stok Konsentrasi akhir Volume3 (μl)

dd H2O

10 x Taq buffer 50 mM MgCl2

1 mM dNTP

Masing-masing Primer Mix (F dan R) 5 μM 1) 5 U/μl Taq DNA Polimerase (Promega) DNA (10 ng/μl)

Total volume reaksi

- 1,0 x 1,50 mM

Masing-masing 0,25μM Masing-masing 0,25μM 0,38 U

10,00 ng

5,624 1,000 0,300 1,000 0,500 0,076 1,500 10,00

Keterangan: 1)R = reverse, F = forward.

Lampiran 2 Tahapan proses amplifikasi dengan metode SSR Tahap 1

Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Tahap 6 Tahap 7

Denaturasi awal Denaturasi-1 Annealing Extention PCR

PCR extention Soak

94o C, 2 menit 94o C, 30 detik 56o C, 1 menit 72o C, 1 menit Tahap 2-4, 29 x 72o C, 5 menit 4o C, tak terhingga Keterangan : Suhu annealing tergantung dari primer yang digunakan.

Lampiran 3 Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil silang uji dengan Mr4 dan Mr14

Sumber variasi

Hibrida F1 hasil silang uji dengan Mr4

Hibrida F1 hasil silang uji dengan Mr14 Kuadrat

Tengah

LSD0,05 Kuadrat

Tengah

LSD0,05


(3)

Lampiran 4 Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil silang dialel di lokasi Bajeng, Muneng dan Gabungan

Sumber variasi

Hibrida F1 hasil silang dialel (Bajeng)

Hibrida F1 hasil silang dialel (Muneng)

Hibrida F1 hasil silang dialel (Gabungan) Kuadrat

Tengah

LSD0,05 Kuadrat

Tengah

LSD0,05 Kuadrat

Tengah

LSD0,05

Bobot biji per tan. 14,4931* 4,37953 49,5878* 5,35660 17133,8** 3,44602 Jumlah biji per baris 0,45054* 0,52853 0,27409* 0,72852 301,829** 0,44486 Jumlah baris per tkl 0,04627tn 0,40957 0,22484* 0,53348 7,33874** 0,33604 Bobot 1000 biji 1,20510* 1,42974 15,6624* 4,55570 30379,2** 2,36787 Tinggi tanaman 5080,07** 23,3337 425,216** 14,2669 2508,85** 14,3654 Tinggi tongkol 3573,65** 16,5867 183,260* 10,2554 1052,75** 10,5239 Rendemen biji 0,00087* 0,02866 0,00033tn 0,04352 0,03582** 0,02576 Panjang tongkol 6,11585* 1,84694 28,3464** 2,81039 73,9599** 1,75019 Diameter tongkol 0,10581* 0,31516 0,11119tn 0,68023 3,67555** 0,37155 Keterangan: tn = tidak nyata

Tabel 5 Korelasi (r) antara DGK dan heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi, bobot biji dan rata-rata tetua dan tetua tertinggi, DGK dan bobot biji pada dua lokasi (KP. Bajeng dan KP. Muneng)

Parameter genetik Korelasi (r)

Bajeng Muneng Gabungan DGK dengan Heterosis rata-rata tetua 0,82 0,83 0,82 DGK dengan Heterosis tetua tertinggi 0,76 0,76 0,76 Bobot biji dengan Heterosis rata-rata tetua 0,81 0,87 0,83 Bobot biji dengan Heterosis tetua tertinggi 0,80 0,79 0,79


(4)

Lampiran 6. Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Bajeng dan empat kultivar pembanding. Gambar a, b, dan c adalah hibrida harapan; g, h, i, dan j adalah kultivar pembanding. Tanda panah adalah marker-pen (panjang 14,5 cm) yang dapat menggambarkan ukuran panjang dari tongkol.

b. BM(S1)C0-172×Mr4 (T3xT4) a. Bisma-140-2×SP007-68

(T2xT5)

g. Bima1


(5)

Lampiran 7. Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Muneng dan empat kultivar pembanding. Gambar d, e, dan f adalah hibrida harapan; g, h, i, dan j adalah kultivar pembanding. Tanda panah adalah marker-pen (panjang 14,5 cm) yang dapat menggambarkan ukuran panjang dari tongkol.

d. P5/GM26-22×SP008-120 (T1xT6)

e. Bisma-140-2×Mr14 (T2xT7)

f. BM(S1)C0-172×Mr14 (T3xT7)

g. Bima1

h. Bima2

i. Bima3


(6)

Lampiran 8 Matriks jarak genetik hasil karakterisasi 34 inbrida jagung berbasis marka mikrosatelit P5/G M 25-42 P5/G M 25-97 P5 /G M 25-20 3 P5/G M 25-23 3 P5/G M 25-24 1 P5/G M 26-9 P5/G M 26-22 P5/G M 26-87 P5/G M 30-9 P5/G M 30-54 P5/G M 30-66 Bis m a- 3-1 Bis m a-137 Bis m a- 140-2 Bis m a- 181-1 B M (S1 )C0 -1 0 B M (S1 )C0 -1 7 2 MK B-24 MK B-52 SP 006 BB B B -2 7 SP 006 BB B B -6 5 SP 007-2 3 SP 007-6 8 SP 007-8 5 SP 007-1 1 8 SP 008-7 0 SP 008-1 2 0 SP 008-1 2 8 SP 008-1 3 5 SM5-9x SW 7-6 SM7-1 1 x Mr 4 Mr 14

P5/GM25-42 0.0

P5/GM25-97 0.7 0.0

P5/GM25-203 0.7 0.6 0.0

P5/GM25-233 0.6 0.6 0.7 0.0

P5/GM25-241 0.7 0.6 0.7 0.5 0.0

P5/GM26-9 0.7 0.6 0.5 0.6 0.5 0.0

P5/GM26-22 0.6 0.6 0.6 0.5 0.5 0.5 0.0

P5/GM26-87 0.7 0.6 0.7 0.7 0.6 0.7 0.7 0.0

P5/GM30-9 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.6 0.7 0.6 0.0

P5/GM30-54 0.7 0.8 0.7 0.7 0.7 0.6 0.6 0.7 0.6 0.0

P5/GM30-66 0.8 0.8 0.7 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.0

Bisma-3-1 0.7 0.7 0.8 0.7 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.0

Bisma-137 0.7 0.7 0.7 0.6 0.6 0.7 0.6 0.7 0.7 0.7 0.6 0.7 0.0

Bisma-140-2 0.7 0.8 0.7 0.5 0.5 0.7 0.6 0.6 0.7 0.6 0.6 0.7 0.2 0.0

Bisma-181-1 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.6 0.8 0.8 0.7 0.7 0.0

BM(S1)C0-10 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.6 0.7 0.9 0.7 0.7 0.7 0.0

BM(S1)C0-172 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.8 0.6 0.4 0.0

MKB-24 0.8 0.8 0.7 0.8 0.8 0.8 0.9 0.8 0.7 0.7 0.9 0.7 0.8 0.8 0.7 0.8 0.7 0.0

MKB-52 0.7 0.8 0.7 0.8 0.8 0.7 0.8 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.3 0.0

SP006BBBB-27 0.7 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.7 0.8 0.7 0.8 0.8 0.7 0.8 0.8 0.8 0.8 0.7 0.8 0.7 0.0

SP006BBBB-65 0.7 0.8 0.7 0.8 0.7 0.8 0.7 0.8 0.8 0.6 0.8 0.8 0.7 0.8 0.8 0.5 0.6 0.8 0.8 0.7 0.0

SP007-23 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.7 0.7 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.0

SP007-68 0.8 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.7 0.8 0.8 0.8 0.7 0.7 0.8 0.8 0.7 0.0

SP007-85 0.8 0.7 0.8 0.7 0.6 0.8 0.7 0.7 0.8 0.8 0.8 0.7 0.7 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.7 0.8 0.7 0.7 0.0

SP007-118 0.7 0.9 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.7 0.8 0.9 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.7 0.8 0.7 0.8 0.8 0.0

SP008-70 0.7 0.8 0.6 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.8 0.7 0.7 0.8 0.8 0.6 0.0

SP008-120 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.7 0.6 0.7 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.6 0.6 0.0

SP008-128 0.8 0.8 0.7 0.8 0.7 0.8 0.7 0.8 0.7 0.8 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.8 0.8 0.7 0.5 0.5 0.0

SP008-135 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7 0.7 0.8 0.8 0.6 0.6 0.7 0.8 0.8 0.9 0.9 0.8 0.7 0.7 0.8 0.8 0.7 0.6 0.3 0.6 0.0

SM5-9x 0.7 0.7 0.8 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.8 0.6 0.9 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8 0.8 0.7 0.8 0.7 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.0