Ekologi, Pemanfaatan, dan Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove di Kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.

(1)

EKOLOGI, PEMANFAATAN, DAN DAMPAK AKTIVITAS

MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE DI

KAWASAN SERAPUH KECAMATAN TANJUNG PURA,

KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Oleh: Devi Sri Yanti 051202045/Budidaya Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAK

DEVI SRI YANTI. Ekologi, Pemanfaatan, dan Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove di Kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Dibawah bimbingan ONRIZAL, S. Hut, M.Si dan Ir. ARIEF MAHMUD, M.Si.

Kehidupan masyarakat sekitar pesisir sangat tergantung pada flora dan fauna pesisir pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengukur pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal, mengidentifikasi flora dan fauna hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat setelah dieksploitasi, mengevaluasi dampak dari kegiatan manusia terhadap struktur vegetasi hutan mangrove. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti, struktur vegetasi, komposisi jenis, kualitas perairan yang meliputi suhu, salinitas dan pH serta karakteristik responden. Data sekunder berupa data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa komposisi jenis yang terletak di kawasan Serapuh disusun oleh 17 jenis tumbuhan. Pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal adalah untuk kayu bakar, kontruksi, obat-obatan, bahan makanan, serta bahan pakan ternak. Selain itu, ada perbedaan nyata antara jumlah permudaan, dengan pohon dewasa sehingga pengambilan kayu oleh masyarakat lokal tidak mendorong hilangnya struktur ekosistem hutan mangrove di kawasan Serapuh. Kata kunci : Mangrove, Komposisi Jenis, Pemanfaatan mangrove, Struktur


(3)

ABSTRACT

DEVI SRI YANTI. Ecology, Utilization, and Human Activity Impact on

Mangrove Ecosystem in Serapuh area, District of Tanjung Pura, Sub-Province of

Langkat. Under supervision by ONRIZAL S. Hut, M.Si and

Ir. ARIEF MAHMUD, M.Si.

Life of society around coastal area very depend on fauna and flora of coastal area, either through indirect and also direct. This matter can be seen from existence of displacing farm function (mangrove) become fishpond, settlement, industrial, etcetera and also hewing by society to various need. Target of this research is to measure exploiting of mangrove to local society, identifying forest fauna and flora of mangrove in Serapuh area, District of Tanjung Pura, Sub-Province of Langkat after exploited, evaluating impact of activity of human being to structure of vegetation forest of mangrove. This research is done by collecting primary data like, structure of vegetation, species composition, quality of water (temperature, salinity, and pH) and also respondent characteristic. Secondary data was obtained from generally data of village government resort. Result of research conclude that type composition which located in Serapuh area by 16 plant type. Exploiting of mangrove by local society is firewood, material construction, medicines, food-stuff, and also of food livestock. Besides, there is difference of reality of young amount, with adult tree so that intake of wood by local society do not push the loss of structure of ecosystem forest of mangrove in Serapuh area.

Keywords : Mangrove species, Composition, Utilization of mangrove, Vegetation structure.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan Sumatera Utara pada tanggal 16 Desember 1987 dari pasangan Bapak Ali Akbar Sitanggang dan Ibu Ramaida Sitorus. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 067242 Kemuning tahun 1999, pada tahun 2002 lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta Katolik St. Yoseph Medan, dan pada tahun 2005 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Katolik St. Yoseph Medan. Melalui jalur tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswi di Program Studi Budidaya Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (S1).

Penulis selama studinya aktif dalam kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) Departemen Kehutanan. Prestasi yang pernah diraih adalah menjadi asisten praktikum Dendrologi. Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Karo Sumatera Utara serta kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di HPHTI PT. Musi Hutan Persada Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya berupa kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Ekologi, Pemanfaatan dan Dampak Aktivitas Manusia terhadap Ekosistem Mangrove di Sepanjang Sungai Serapuh Kabupaten Langkat tepat pada waktunya dan sesuai dengan harapan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ayah Ali Akbar Sitanggang dan Ibu Ramaida Sitorus, Abang Henriko Juni Edi Sitanggang, Adik Enny Tresiawati Sitanggang dan Wiwin Kristiantony Sitanggang. Bapak Onrizal, S.Hut, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Arief Mahmud, M.si selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada teman-teman tersayang Ade Oktavia Sirait Lastria V Pardede, Sigit Prastiyo, Eden Desmon Pardede, Ririn, Inge, dan teman-teman khususnya program studi Budidaya Hutan 2005 atas dukungan dan semangatnya selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu penulis dengan kerendahan hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Sekian dan terima kasih.


(6)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Hutan Mangrove ... 5

Ekosistem Hutan mangrove ... 6

Vegetasi Hutan Mangrove ... 7

Zonasi Hutan Mangrove ... 9

Peranan Ekologis Mangrove ... 9

Dampak Kegiatan Manusia terhadap Ekosistem Mangrove ... 10

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Kawasan ... 13

Iklim ... 13

Pemerintahan ... 14

Kecamatan Tanjung Pura ... 15

Letak Kawasan ... 15

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

Alat dan Objek Penelitian ... 17

Cara Kerja ... 17

Penentuan Lokasi Petak Contoh ... 17

Pengumpulan Data Primer dan Sekunder ... 20

Analisis Vegetasi Hutan Mangrove ... 20

Etnobotani Mangrove ... 22

Analisis Data ... 22

Ekologi Hutan Mangrove ... 22

Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis ... 23

Uji Antar Petak Ukur Per Lokasi ... 25


(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden ... 28

Umur ... 28

Agama ... 28

Jenis Pekerjaan ... 29

Tingkat Pendidikan ... 29

Tingkat Pendapatan ... 30

Lama Menetap ... 31

Sosial Kependudukan dan Ciri Ekonomi ... 31

Komposisi Jenis dan struktur Tegakan ... 32

Komposisi Jenis ... 32

Struktur Tegakan ... 34

Penggunaan Mangrove ... 41

Tingkat Pengetahuan Mangrove ... 41

Etnobotani Mangrove ... 41

Kayu Bakar dan Arang ... 42

Konstruksi ... 44

Bahan Makanan ... 46

Obat-obatan ... 46

Bahan Pakan Ternak ... 49

Perikanan ... 49

Pandangan Masyarakat Lokal Mengenai Perubahan Area Mangrove ... 50

Penggunaan Lahan Mangrove dan Dinamika Flora dan Fauna ... 55

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 61

Saran ... 61


(8)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Ekosistem Mangrove ... 11 2. Kelompok Umur Responden ... 28 3. Pendapatan Serta Aset yang Dimiliki oleh Responden ... 32 4. Jenis Vegetasi Hutan Mangrove Sungai Serapuh, Desa Pulau

Banyak Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat ... 32 5. Parameter Lingkungan (suhu, pH, salinitas) ... 34 6. Penggunaan Tanaman Mangrove oleh Masyarakat di Hutan Mangrove

Desa Pulau Banyak Kabupaten Langkat ... 48 7. Kondisi Fauna Sebelum Tahun 1980 dan Setelah Tahun 1980-2009 ... 60


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Rata-rata Curah Hujan Bulanan Kabupaten Langkat ... 14

2. Rata-rata Suhu dan Kelembaban Kabupaten Langkat ... 14

3. Kondisi Tegakan Mangrove pada Setiap Stasiun Pengamatan ... 18

4. Peta Lokasi Penenlitian ... 19

5. Desain Kombinasi Metode Jalur dan Metode Garis Berpetak ... 21

6. Jenis Pekerjaan Responden ... 29

7. Tingkat Pendidikan Responden ... 30

8. Tingkat Pendapatan Responden ... 30

9. Lama Menetap Responden ... 31

10.Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Flora Mangrove ... 32

11.Variasi Kelimpahan Regenerasi dan Pohon pada 4 Stasiun ... 36

12.Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Flora Mangrove ... 41

13.Manfaat Mangrove oleh Responden ... 43

14.Pembelian Kayu Mangrove oleh Responden ... 44

15.Intensitas Responden Masuk Hutan Mangrove... 45

16.Jenis Tanaman Untuk Obat-obatan ... 47

17.Hasil yang di Kumpulkan dari Hutan Mangrove Berhubungan dengan Perikanan ... 50

18.Jarak dari Desa ke Hutan Mangrove ... 50

19.Perubahan Area Mangrove ... 51

20.Kegiatan/Aktivitas Pemanenan Mangrove ... 52

21.Status Kawasan Hutan Mangrove Tempat Responden Beraktivitas ... 53

22.Tempat Kawasan Responden Beraktivitas ... 54

23.Kondisi Flora Mangrove sampai dengan Tahun 1980 ... 58

24.Kondisi Flora Mangrove dari Periode 1980 - 2009 ... 58

25.Kondisi Fauna Mangrove sampai dengan Tahun 1980 ... 59


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Analisis vegetasi hutan mangrove stasiun I (Jauh dari desa) ... 64

2. Analisis vegetasi hutan mangrove stasiun II (Dekat dari desa) ... 67

3. Analisis vegetasi hutan mangrove stasiun III (Dekat muara sungai) ... 70

4. Analisis hutan mangrove stasiun IV (Daerah tambak) ... 74

5. Hasil uji t ... 77

6. Kuisoner di Lapangan ... 78


(11)

ABSTRAK

DEVI SRI YANTI. Ekologi, Pemanfaatan, dan Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove di Kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Dibawah bimbingan ONRIZAL, S. Hut, M.Si dan Ir. ARIEF MAHMUD, M.Si.

Kehidupan masyarakat sekitar pesisir sangat tergantung pada flora dan fauna pesisir pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengukur pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal, mengidentifikasi flora dan fauna hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat setelah dieksploitasi, mengevaluasi dampak dari kegiatan manusia terhadap struktur vegetasi hutan mangrove. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti, struktur vegetasi, komposisi jenis, kualitas perairan yang meliputi suhu, salinitas dan pH serta karakteristik responden. Data sekunder berupa data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa komposisi jenis yang terletak di kawasan Serapuh disusun oleh 17 jenis tumbuhan. Pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal adalah untuk kayu bakar, kontruksi, obat-obatan, bahan makanan, serta bahan pakan ternak. Selain itu, ada perbedaan nyata antara jumlah permudaan, dengan pohon dewasa sehingga pengambilan kayu oleh masyarakat lokal tidak mendorong hilangnya struktur ekosistem hutan mangrove di kawasan Serapuh. Kata kunci : Mangrove, Komposisi Jenis, Pemanfaatan mangrove, Struktur


(12)

ABSTRACT

DEVI SRI YANTI. Ecology, Utilization, and Human Activity Impact on

Mangrove Ecosystem in Serapuh area, District of Tanjung Pura, Sub-Province of

Langkat. Under supervision by ONRIZAL S. Hut, M.Si and

Ir. ARIEF MAHMUD, M.Si.

Life of society around coastal area very depend on fauna and flora of coastal area, either through indirect and also direct. This matter can be seen from existence of displacing farm function (mangrove) become fishpond, settlement, industrial, etcetera and also hewing by society to various need. Target of this research is to measure exploiting of mangrove to local society, identifying forest fauna and flora of mangrove in Serapuh area, District of Tanjung Pura, Sub-Province of Langkat after exploited, evaluating impact of activity of human being to structure of vegetation forest of mangrove. This research is done by collecting primary data like, structure of vegetation, species composition, quality of water (temperature, salinity, and pH) and also respondent characteristic. Secondary data was obtained from generally data of village government resort. Result of research conclude that type composition which located in Serapuh area by 16 plant type. Exploiting of mangrove by local society is firewood, material construction, medicines, food-stuff, and also of food livestock. Besides, there is difference of reality of young amount, with adult tree so that intake of wood by local society do not push the loss of structure of ecosystem forest of mangrove in Serapuh area.

Keywords : Mangrove species, Composition, Utilization of mangrove, Vegetation structure.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur digenangi air laut atau dipengaruhi pasang surut air laut, daerah pantai dengan kondisi tanah berlumpur, berpasir atau lumpur berpasir (Indriyanto, 2006). Sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain: pelindung garis pantai, pencegah intrusi air laut, tempat tinggal (habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit (Rochana, 2006).

Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri atas lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km Soegiarto, (1984) dalam Onrizal dan Kusmana (2008). Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Dipandang dari segi luas areal, hutan mengrove di Indonesia adalah yang terluas di dunia. Di Indonesia, mangrove tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua, dengan luas sangat bervariasi bergantung pada kondisi fisik, komposisi substrat, kondisi hidrologi, dan iklim yang terdapat di pulau-pulau tersebut FAO (1992); Soemodihardjo, Ongkosono dan Abdullah (1986) dalam Onrizal dan Kusmana


(14)

(2008). Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan menurut Departemen Kehutanan (1997) dalam Onrizal dan Kusmana (2008) pada tahun 1993 luas hutan mangrove menjadi 3,7 juta ha, sehingga terjadi penurunan luas 0,55 juta ha dalam kurun waktu 11 tahun atau laju kerusakan 0,05 juta ha/tahun.

Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi yang memiliki hutan mangrove terluas. Luas keseluruhan hutan mangrove di Sumatera Utara mencapai 364.580,95 ha, sebanyak 280.939,71 ha dilaporkan dalam keadaan rusak berat atau sekitar 77,06 %, 47.645,41 ha dalam keadaan rusak sedang (13,06 %) dan 35.995,83 ha dalam keadaan tidak rusak atau sekitar 9,87 % hutan mangrove di Sumatera Utara yang masih baik (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, 2006).

Kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatra Utara. Jika dilihat di 12 kabupaten/kota yang memiliki hutan mangrove di Sumatera Utara, kerusakan paling tinggi berada di wilayah Kabupaten Labuhan Batu yaitu mencapai 121.702,1 ha dari luas yang ada yakni 128.438,2 ha sedangkan kondisi yang masih baik yaitu 2.250,7 ha. Seperti halnya di Kabupaten Labuhan Batu, kerusakan hutan mangrove juga terjadi di Kabupaten Langkat yakni mencapai 22.387,57 ha dari total keseluruhan yaitu 43.014,47 ha sedangkan

kondisi hutan mangrove yang masih baik hanya 2.711,05 ha (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II, 2006).

Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya adalah dengan memanfaatkan ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi


(15)

lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan (Rochana, 2006).

Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya. Kerusakan kawasan hutan mangrove juga terdapat di Kawasan Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, namun belum ada publikasi ilmiah terkait dengan hutan mangrove di desa tersebut terhadap aktivitas masyarakat dalam pemanfaatannya dan dampak lingkungan terhadap eksploitasi mangrove di wilayah tersebut, oleh karena itu, penelitian tentang Ekologi, Pemanfaatan, dan Dampak Aktivitas Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove di Kawasan Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat perlu dilakukan.


(16)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengukur pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal.

2. Mengidentifikasi flora dan fauna hutan mangrove di Kawasan Serapuh Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara setelah dieksploitasi.

3. Mengevaluasi dampak dari kegiatan manusia terhadap struktur vegetasi hutan mangrove.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat lokal mengenai dampak kegiatan masyarakat terhadap ekosistem mangrove serta kegunaan dari hutan mangrove tersebut bagi masyarakat.

2. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan para pembaca mengenai dampak pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut.

3. Masukan bagi pengambil kebijakan untuk pengelolaan hutan mangrove yang lebih baik di masa akan datang.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Hutan Mangrove

Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tentang silvikultur hutan payau, hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Menurut Nybakken (1992) dalam Rochana (2006) hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang di dominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

Ciri-ciri hutan mangrove menurut Soerianegara dan Indrawan (1982)

dalam Basyuni (2002) adalah sebagai berikut: tidak dipengaruhi iklim, terpengaruh pasang surut, tanah tergenang air laut atau berpasir dan tanah liat, hutan tidak mempunyai stratum tajuk, tinggi mencapai 30 meter. Jenis tumbuhan mulai dari laut ke darat adalah Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera, dan tumbuh-tumbuhan bawah yang hidup diantaranya

Acrostichum aureum, Achanthus illicifolius, dan Achanthus ebracteatus.

Kata mangrove telah digunakan untuk menunjuk kepada tumbuhan yang secara konsisten, tumbuhannya terdapat di daerah hutan tropis intertidal atau komunitas tumbuhan itu sendiri. Definisi lain, mangrove adalah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang berisi tanaman mangrove, ditandai oleh kesetiaan tinggi mereka kepada ekoton yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tomlinson, 1986).


(18)

Ekosistem Hutan Mangrove

Mangrove adalah khas daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang baik pada temperatur dari 19° sampai 40°C dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10 °C. Berbagai jenis mangrove yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas. Khas karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan mangrove. Hutan mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak (Irwanto, 2006).

Menurut Nugroho, Setiawan dan Harianto (1991) dalam Zaitunah (2002) Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di laguna, estuaria, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali.

Berbagai hewan seperti, reptil, hewan ampibi, mamalia, datang dan hidup walaupun tidak seluruh waktu hidupnya dihabiskan di habitat mangrove. Berbagai jenis ikan, ular, serangga dan lain-lain seperti burung dan jenis hewan mamalia dapat bermukim di sini. Sebagai sifat alam yang beraneka ragam maka berbeda tempat atau lokasi habitat mangrovenya maka akan berbeda pula jenis dan


(19)

keragaman flora maupun fauna yang hidup di lokasi tersebut. Beberapa jenis hewan yang bisa dijumpai di habitat mangrove antara lain adalah; dari jenis serangga misalnya semut (Oecophylla sp.), ngengat (Attacus sp.), kutu (Dysdercus

sp.); jenis krustasea seperti lobster lumpur (Thalassina sp.), jenis laba-laba (Argipe spp., Nephila spp., Cryptophora spp.); jenis ikan seperti ikan blodok (Periopthalmodon sp.), ikan sumpit (Toxotes sp.); jenis reptil seperti kadal (Varanus sp.), ular pohon (Chrysopelea sp.), ular air (Cerberus sp.); jenis mamalia seperti berang-berang (Lutrogale sp,) dan tupai (Callosciurus sp.), golongan primate (Nasalis larvatus) dan masih banyak lagi seperti nyamuk, ulat, lebah madu, kelelawar dan lain-lain (Irwanto, 2006).

Vegetasi Hutan Mangrove

Vegetasi mangrove mempunyai morfologi dan anatomi tertentu sebagai respons fisiogenetik terhadap habitatnya. Vegetasi mangrove yang bersifat

halopitik menyukai tanah-tanah yang bergaram, misalnya Avicennia sp.,

Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., dan Xylocarpus sp. Vegetasi tersebut menentukan ciri lahan mangrove berdasarkan sebaran, dan sangat terikat pada habitat mangrove. Vegetasi yang tidak terikat dengan habitat mangrove antara lain adalah Acanthus sp., Baringtonia sp., Callophyllum sp., Calotropis sp., Cerbera sp., Clerodendron sp., Derris sp., Finlaysonia sp., Hibiscus sp., Ipomoea sp., Pandanus sp., Pongamia sp., Scaevola sp., Sesuvium sp., Spinifex sp., Stachytarpheta sp., Terminalia catappa, Thespesia sp., dan Vitex sp. Menurut

Kitamura et al. (1997) dalam Gunarto (2004), vegetasi mangrove dapat dibagi


(20)

Di mangrove Pulau Bali dan Lombok ditemukan 17 spesies vegetasi utama, di antaranya Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera cylindrica, dan Xylocarpus granatum (vegetasi utama), 13 spesies vegetasi pendukung antara lain Aegiceras aureum, Aegiceras corniculatum, dan Aegiceras floridum, serta 19 spesies vegetasi mangrove asosiasi, misalnya Acanthus sp., Baringtonia sp., Callophyllum sp., Calotropis sp., Cerbera sp., Clerodendron sp., dan Derris sp. MacIntosh (1984) dalam Gunarto (2004) menyatakan bahwa beberapa jenis kepiting antara lain Sesarma onychophorum, Cleistocoeloma mergueinensis, Uca triangularis, Uca dussumieri, Uca rosea, Ilyoplax spp., dan Metaplax spp. hidup di area vegetasi utama. Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok sesuai dengan kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan mangrove, yakni:

1. Flora mangrove mayor (flora yang sebenarnya), yakni flora yang

menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dan mengontrol garam. Contohnya adalah: Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia, dan Nypa.

2. Flora mangrove minor, yaitu flora mangrove yang tidak mampu

membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contohnya: Excoecaria, Xylocarpus,


(21)

Heritiera, Aegialitis, Achrostichum, Camptostemon, Schyphipora, Phempis, Osbornia, dan Peliciera.

3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris,

Hibiscus, Calamus.

Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2001) dalam Irwanto (2006), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp., yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus

spp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

Peranan Ekosistem Hutan Mangrove

Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarin sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian, daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut.


(22)

Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).

Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove

Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya, seperti yang terlihat pada Tabel 1:


(23)

Tabel 1. Dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove

No. Kegiatan Dampak Potensial

1. Tebang habis Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang di tebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi.

2. Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi.

- Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan.

- Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara melalui aliran air tawar berkurang.

3. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan

- Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan atau stadium muda ikan dan udang.

- Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.


(24)

Tabel 1. Lanjutan

No. Kegiatan Dampak Potensial

- Pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove di konversi mengendap di hutan mangrove.

- Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang mempertahankan keberadaannya melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut.

- Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.

4. Pembuangan sampah cair (Sewage)

Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik antara lain menghasilkan hidrogen sulfide (H2S) dan amonia

(NH3) yang keduanya merupakan racun bagi

organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur

busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik.

5. Pembuangan sampah padat

Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. Serta perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.


(25)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Kawasan

Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 30 14’ – 40 13’ Lintang Utara, 970 52’ – 980 45’ Bujur Timur dan 4 – 105 m dari permukaan laut. Kabupaten Langkat memiliki luas area seluas ± 6.263,29 Km2 (626.329 Ha) yang terdiri dari 20 kecamatan dan 226 desa serta 34 kelurahan definitif. Area Kabupaten Langkat di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Acah Tamiang dan Selat Malaka, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, di sebelah barat berbatsan dengan Kabupaten Aceh Tenggara / Tanah Alas dan di

sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, 2008).

Iklim

Seperti umunya daerah-daerah lainnya yang berada di kawasan Sumatera Utara, Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis. Sehingga daerah ini memiliki 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau dan musim hujan biasanya ditandai dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan pada bulan terjadinya musim. Rata-rata curah hujan, suhu dan kelembaban bulanan, dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.


(26)

168.00 168.83 118.33 163.17 372.83 127.33 224.25 242.50 274.25 225.67 313.33 194.33 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 Janu ari Febr uari Mar et Apr il

Mei Juni Jul i Agu stus Sept embe r Okt obe r Nov em ber Des embe r Bulan C u ra h h u ja n (m m/ bu la n)

Gambar 1. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan Kabupaten Langkat (Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Langkat, 2007)

26,9 26,6 26,5 27,3 27,5 27,3 26,8 26,9 26,8 26,7 26,7 26,1

83 82 85 83 82 83 84 84 85 86 87 87

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Janu ari Febr uari Ma ret

April Mei Juni Juli Agus tus Sept em ber Okt obe r Nove mbe r Dese mbe r Bulan S u hu da n K e le m ba b a n Suhu (˚C) Kelembaban (%)

Gambar 2. Rata-Rata Suhu dan Kelembaban Kabupaten Langkat (Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Medan, 2007)

Pemerintahan

Kabupaten Langkat terbagi dalam 20 kecamatan, 226 desa dan 34 kelurahan yang didiami oleh penduduk dari beragam etnik/suku bangsa, agama dan budaya seperti Melayu, Karo, Simalungun, Tapanuli, Madina, Jawa dan lainnya. Potensi sumberdaya alam di Kabupaten Langkat diantaranya: sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan serta sektor pariwisata. Jenis produksi hasil hutan di Kabupaten Langkat yaitu hasil hutan berupa log rimba, log


(27)

pinus, kayu gergajian sawnwood; hasil ikutan berupa kayu bakar, tiang, kasau, anak kayu, rotan, kulit kayu, nibung, getah-getahan, sampan, arang dan getah tusam. Jenis komoditi yaitu arang, bambu, damar, kayu gelondongan, kayu jati, kayu bakar, getah tusam, rotan, meranti, kayu campuran/sembarang, lainnya/kayu olahan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, 2008).

Kecamatan Tanjung Pura Letak Kawasan

Kawasan hutan mangrove desa Pulau Banyak Kecamatan Tanjung Pura yang menjadi objek penelitian terletak antara Lintang Utara : 03° 14’ 00” - 04° 13’ 00” dan Bujur Timur: 97° 52’ 00” - 98° 45’ 00” dan terletak pada 0 - 4 meter di atas permukaan laut. Dengan luas wilayah 16.578 Ha (165.78 Km2). Sebelah utara kawasan ini berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Hinai / Kecamatan Padang Tualang, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gebang / Kecamatan Padang Tualang dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Secanggang.

Kecamatan Tanjung Pura memiliki 19 desa, desa tersebut yaitu: 1. Kelurahan Pekan Tanjung Pura

2. Desa Serapuh Asli 3. Desa Pematang Tengah 4. Desa Paya Perupuk 5. Desa Pekubuan 6. Desa Teluk Bekung 7. Desa Baja Kuning


(28)

8. Desa Pematang Sungai 9. Desa Pulau Banyak 10. Desa Lalang

11. Desa Pantai Cermin 12. Desa Pematang Cengal 13. Desa Bubun

14. Desa Tapak Kuda 15. Desa Kwala Langkat 16. Desa Kwala Serapuh 17. Desa Karya Maju 18. Desa Suka Maju

19. Desa Pematang Cengal Barat

Kawasan Surapuh sebagai lokasi penelitian memiliki luas wilayah sekitar 7,50 Km2 dengan jumlah penduduk sekitar 3,236 jiwa serta kepadatan penduduk / Km2 431 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, 2008)


(29)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Penelitian lapangan dilaksanakan selama 3 bulan mulai Januari sampai dengan Maret 2009.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: pacak, tali plastik, phiband, pita ukur, kompas, alat tulis, kamera digital, kalkulator, thermometer, troll 9500 dan GPS (Global Positioning System). Adapun bahan yang digunakan adalah data primer, data sekunder, kuisioner, buku panduan mangrove (JICA dan Wetlands) serta peta Kabupaten Langkat.

Cara Kerja

Tahap-tahap penelitian yang dilakukan adalah: penentuan lokasi petak contoh, wawancara dan analisis data primer dan sekunder. Survei lapang bertujuan untuk mengetahui kondisi struktur dan komposisi jenis hutan mangrove. Wawancara bertujuan untuk mengetahui keterkaitan dan penggunaan komponen penyusun mangrove oleh masyarakat sekitar kawasan. Tahap-tahap penelitian tersebut antara lain:

Penentuan Lokasi Petak Contoh

Untuk mendapatkan struktur vegetasi, komposisi jenis dan dampak aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove maka akan dipilih 4 lokasi untuk


(30)

peletakan petak contoh. Stasiun pengamatan ditentukan berdasarkan tataguna dan peruntukan wilayah pesisir hutan mangrove yang dibagi menjadi 4 stasiun pengamatan (Gambar 2), yaitu sebagai berikut:

- Stasiun 1 merupakan daerah yang jaraknya jauh dari desa (04o01’23,5”N, 98o27’20,8”E)

- Stasiun 2 merupakan daerah yang jaraknya dekat dengan desa (04o01’41,7”N, 98o27’06,1”E)

- Stasiun 3 merupakan daerah yang dekat dengan muara sungai (04o01’01,7”N, 98o27’27,9”E)

- Stasiun 4 merupakan daerah pertambakan dan budidaya (04o00’37,7”N, 98o27’13,6”E)

Gambar 3. Kondisi Tegakan Mangrove pada Setiap Stasiun Pengamatan I

III IV


(31)

(32)

Pengumpulan Data Primer dan Sekunder

Data primer adalah data yang diperoleh dengan melakukan pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan. Data primer yang terkait dengan ekologi tegakan yang diukur langsung di lapangan meliputi struktur vegetasi, komposisi jenis, serta kualitas perairan meliputi suhu, salinitas dan pH. Data primer yang lain adalah persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove, yang dilakukan melalui wawancara langsung dengan 50 orang responden menggunakan bantuan kuisioner yang telah dipersiapkan. Responden yang akan diwawancarai meliputi: camat, kepala desa, masyarakat lokal, nelayan, dan petambak.

Data sekunder diperoleh dari dinas terkait antara lain, Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II Medan, Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Pemerintah Daerah setempat dan nara sumber lainnya. Data sekunder yang diperlukan antara lain adalah letak dan luas desa, jumlah penduduk, dan data dari sumber lain.

Analisis Vegetasi Hutan Mangrove

Analisa vegetasi yang akan dilakukan secara rinci diamati sebagai berikut: 1. Pada setiap stasiun pengamatan, ditetapkan transek-transek garis dari arah

laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang formasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah pasang surut.

2. Pada setiap zona hutan mangrove yang berada di sepanjang transek garis, diletakkan secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m sebanyak 3 (tiga) petak contoh (plot) ke arah


(33)

laut (Gambar 5). Ukuran permudaan yang digunakan dalam kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove adalah sebagai berikut:

a. Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m

b. Pancang : Permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm

c. Pohon : Pohon berdiameter 10 cm atau lebih

Selanjutnya ukuran sub – petak untuk setiap tingkat permudaan adalah: a. Semai : 2 x 2 m

b. Pancang : 5 x 5 m c. Pohon : 10 x 10 m

3. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur diameter batang setiap pohon mangrove pada setinggi dada (sekitar 1,3 m).

4. Pada setiap zona sepanjang transek garis, diukur parameter lingkungan seperti: suhu, salinitas dan pH.

10 m

Arah Rintis

2 m 5 m

Gambar 5. Desain Kombinasi Metoda Jalur dan Metoda Garis Berpetak (Onrizal, 2007)


(34)

Etnobotani Mangrove

Untuk mengetahui etnobotani mangrove dilakukan wawancara dengan mewawancarai 50 rumah tangga di sekitar desa yang berdekatan dengan hutan mangrove. Pengambilan contoh secara sistematis untuk mengunjungi setiap rumah. Hanya 1 orang yang akan diwawancarai dalam satu keluarga untuk menghindari pengulangan dari anggota keluarga yang sama. Wawancara dimulai dengan pertanyaan mengenai pemahaman responden mengenai istilah mangrove, untuk memastikan bahwa pewawancara dan responden tersebut berbicara mengenai pokok dan konsep yang sama. Responden yang akan diwawancarai berkisar mulai dari 16 tahun sampai usia 55 tahun (Dahdouh-Guebas, et al, 2000).

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden terhadap ethnobotani mangrove digunakan suatu katalog yang berisi dokumentasi yang menggambarkan pohon, daun, bunga, dan akar. Daftar pertanyaan lain adalah dengan membuat pilihan-pilihan pada setiap pertanyaan. Pertanyaan tersebut mencakup ethnobotani, isu terkait yang berhubungan dengan pemanfaatan mangrove, keadaan sosial ekonomi masyarakat serta persepsi masyarakat tentang hutan mangrove. Survei dilengkapi dengan pengamatan visual dan pengumpulan data sekunder (Dahdouh-Guebas, et al, 2006).

Analisa Data

Ekologi Hutan Mangrove

Untuk mengetahui dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem hutan mangrove maka dilakukan perhitungan besarnya nilai parameter vegetasi


(35)

yaitu kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif, dan indeks nilai penting.

Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis a. Kerapatan Jenis

Kerapatan (K) =

contoh petak luas jenis suatu individu

Kerapatan Relatif (KR) = x100%

jenis seluruh K jenis suatu K b. Frekuensi

Frekuensi (F) =

contoh petak sub seluruh jenis ya ditemukann petak sub

Frekuensi Relatif (FR) = x100%

jenis seluruh F jenis suatu F c. Dominansi

Dominansi (D) =

contoh petak Luas jenis suatu dasar bidang Luas

Dominansi Relatif (DR) = x100%

jenis seluruh D jenis suatu D

d. Indeks Nilai Penting (INP)

INP = KR + FR + DR (untuk tingkat pohon) INP = KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang) e. Indeks Keanekaragaman

Untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi dapat dipergunakan beberapa indeks sebagai berikut:


(36)

- Index Simpson’s

Formula yang digunakan untuk melihat keragaman Simpson’s adalah: D = 1 -

Pi2

Keterangan:

D : Indeks Simpson’s

Pi : Kelimpahan relatif spesies ke-i Pi2 : (Ni/Nt)2

Ni : Jumlah individu spesies ke-i Nt : Jumlah total untuk semua individu - Indeks Shannon-Wienner

Formula yang digunakan untuk melihat indeks keragaman Shannon-Wienner adalah:

H’ =

s

i

Pi e Pi

1

) (log

Keterangan:

H’ : Indeks Shannon-Wienner Pi : Kelimpahan relatif spesies ke-i Pi2 : (Ni/Nt)2

Ni : Jumlah individu spesies ke-i Nt : Jumlah total untuk semua individu

Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Nilai Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif, Indeks Simpson’s dan Indeks Shannon-Wienner dimaknai


(37)

dengan mengkaitkannya terhadap pengelolaan dan kelestarian hasil hutan (Latifah, 2005).

Menurut Barbour et al (1987) dalam Onrizal (2007) menyatakan bahwa nilai H’ berkisar antara 0 – 7 dengan kriteria : (a) 0 -2 tergolong rendah, (b) 2 -3 tergolong sedang, dan (c) 3 atau lebih terglong tinggi. Menurut Bengen (2000), kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan dominansi vegetasi dengan menggunakan indeks Simpson’s:

Mendekati 0 = indeks semakin rendah atau dominansi oleh satu spesies Mendekati 1 = indeks besar atau cenderung dominansi oleh beberapa spesies

Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar (Indriyanto, 2006).

Uji Antar Petak Ukur Per Lokasi

Pengambilan contoh vegetasi pada metode petak ganda dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata pada areal yang dipelajari, dan peletakan petak contoh sebaiknya secara sistematis. Ukuran petak contoh disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan bentuk tumbuhannya (Indriyanto, 2006).

Ukuran petak contoh untuk pohon dewasa adalah 10 m x 10 m dengan diameter ≥ 10 cm, pancang 5 m x 5 m dengan tinggi lebih dari 1,5 m dan diameter


(38)

< 10 cm, serta semai 2 m x 2 m dengan tinggi kurang dari 1,5 m. Untuk mendapatkan variasi kelimpahan dari permudaan pohon (semai dan pancang) dan regenerasi dihitung kerapatan.

Dari masing-masing stasiun sebanyak 3 plot berukuran 10 x 10 m dilakukan pengukuran tinggi dan diameter. Diameter yang digunakan adalah > 2,5 cm pada setinggi dada. Pengukuran ini dimaksudkan untuk menguji perbedaan peubah sebagai fungsi dari penempatan lokasi yang berbeda (Dave, 2006).

Dianalis indeks dampak manusia tersebut sebagai perbandingan anakan untuk pohon yang dewasa pada variasi yang berbeda antar 4 lokasi. Digunakan distribusi kelas ukuran diameter pohon untuk melihat perbedaan antar lokasi dalam peremajaan jenis. Digunakan uji t untuk melihat kelimpahan pohon dewasa dan permudaan/anakan dengan menggunakan software SPSS 15.

Analisis Data Etnobotani

Hasil dari wawancara kemudian akan dianalisis menurut Dahdouh- Guebas, et al. (2006) seperti tingkat pengetahuan responden terhadap mangrove, berdasarkan umur responden (16 sampai 55 tahun). Kategori tersebut dibagi kedalam 4 kategori seperti rendah (< 50 %), sedang (50-70 %), baik (70-80 %), dan sangat baik (≥ 80 %). Secara rinci, data ethnobotani akan dianalisis berupa:

a. Sosial kependudukan dan ciri ekonomi responden. Dianalisis pendapatan rata-rata responden per tahun, serta aset yang dimilki oleh responden. b. Penggunaan mangrove bagi masyarakat lokal (misalnya untuk kayu bakar,


(39)

c. Pandangan lokal oleh masyarakat mengenai perubahan area mangrove. Misalnya perubahan area magrove selama responden tinggal didesa tersebut.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden Umur

Kelompok umur responden berada antara 16 – 55 tahun, dapat dilihat pada Tabel 2. Dominan umur responden (masyarakat) di kawasan Serapuh adalah kelompok umur 36 – 40 tahun (30 %). Kelompok umur 16 – 20 tahun merupakan kelompok umur yang sangat rendah yaitu 2 %.

Tabel 2. Kelompok Umur Responden

Umur Frekuensi Persen (%)

16-20 1 2,0

21-25 2 4,0

26-30 11 22,0

31-35 4 8,0

36-40 15 30.0

41-45 7 14,0

46-50 6 12,0

51-55 4 8,0

Jumlah 50 100,0

Agama

Berdasarkan hasil kuisioner diketahui bahwa responden masyarakat di kawasan Serapuh beragama Islam. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara dengan 50 responden diketahui bahwa 100% beragama Islam.

Jenis Pekerjaan

Pekerjaan utama masyarakat di kawasan Serapuh sangat beragam, yaitu terdiri dari: petani, wiraswasta, pegawai negeri sipil (PNS), pedagang, nelayan, pengambil daun nipah dan ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara


(41)

dengan 50 orang responden dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk di kawasan Serapuh memiliki pekerjaan sebagai nelayan (38 %), seperti yang terlihat pada Gambar 6. Hal ini disebabkan karena Desa Pulau Banyak merupakan kawasan pesisir pantai, sehingga mayoritas pekerjaan masyarakatnya adalah sebagai nelayan.

2% 12%

4%

18% 38%

14%

12% Bertani

wiraswasta PNS Pedagang Nelayan

Pengambil daun Nipah Ibu rumah tangga

Gambar 6. Jenis Pekerjaan Responden

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan responden di kawasan Serapuh didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (64 %) (Gambar 7). Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat di kawasan Serapuh belum mengerti tentang arti pentingnya pendidikan, dapat dilihat juga bahwa tidak ada responden yang memiliki tingkat pendidikan sarjana, bahkan sebanyak 26 % diketahui masyarakatnya belum bersekolah.


(42)

64% 26%

4%0% 6%

SD SLTP

SMA/Sederajat Sarjana

Belum Bersekolah

Gambar 7. Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat Pendapatan

Berdasarkan hasil kuisioner diketahui bahwa tingkat pendapatan masyarakat di kawasan Serapuh berkisar mulai dari < Rp. 500.000,- sampai > Rp. 2.000.000,- per bulan (Gambar 8). Tingkat pendapatan responden yang paling dominan adalah berkisar antara Rp. 1.500.000,- sampai Rp. 2.000.000,- per bulan yaitu sebesar 78 %. Tingkat pendapatan responden yang paling rendah adalah kurang dari Rp. 500.000,- per bulan yaitu sebesar 12 %.

12%

78% 10% 0%

Kel I Kel II Kel III Kel IV

Gambar 8. Tingkat Pendapatan Responden

Keterangan: Kel I < Rp 500.000,-; Kel II Rp. 500.000,- - Rp 1.500.000,- ; Kel III Rp 1.500.000,- - Rp 2.000.000,- ; Kel IV > Rp 2.000.000,-


(43)

Lama Menetap

Dari hasil kuisioner diketahui bahwa masyarakat di kawasan Serapuh terdiri dari masyarakat asli. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa responden yang menetap lebih dari 7 tahun adalah 92 % sedangkan masyarakat yang menetap kurang dari 5 tahun hanya 2 %. Hal ini dapat diketahui bahwa penduduk asli mendominasi desa tersebut dibandingkan penduduk pendatang.

2% 4% 2%0%

92%

< 5 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun > 7 tahun

Gambar 9. Lama Menetap Responden

Sosial Kependudukan dan Ciri Ekonomi

Dari Tabel 3 yaitu pendapatan rata-rata responden per tahun serta aset yang dimiliki responden dapat dilihat bahwa rata-rata responden memiliki pendapatan sekitar Rp. 1.500.000 - Rp. 2.000.000, serta aset yang dimiliki adalah kapal boat atau perahu. Hal ini dikarenakan rata-rata responden bermata pencaharian sebagai nelayan.


(44)

Tabel 3. Pendapatan Serta Aset yang Dimiliki oleh Responden

Aset Jumlah keluarga/Responden Persentase (%)

Tanah 12 24,0

Tanaman 0 0,0

Kapal boat/Perahu 18 36,0

Sepeda motor 10 20,0

Televisi 5 10,0

Lainnya 5 10,0

Jumlah 50 100,0

Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Komposisi Jenis

Berdasarkan inventarisasi flora diketahui bahwa hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura disusun oleh 17 jenis tumbuhan, yang terdiri dari 16 famili, dimana 11 berhabitus pohon, dan 2 merupakan palma dan 4 jenis vegetasi lainnya merupakan tumbuhan bawah. Jenis-jenis yang dijumpai tersebut berdasarkan Tomlinson (1986), terdiri dari 6 jenis mangrove sejati, 3 jenis mangrove pendukung, dan 8 jenis termasuk asosiasi mangrove. Untuk lebih jelasnya hasil inventarisasi flora dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis Vegetasi Hutan Mangrove kawasan Serapuh, Desa Pulau Banyak, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

No. Suku No. Jenis Nama Lokal Habitus

Mangrove Sejati

1. Avicenniaceae 1. Avicennia alba Blume Api-api Pohon

2. Arecaceae 2. Nypa fruticans Wurmb Nipah Palma

3. Oncosperma tigillarium Nibung Palma

3. Combretaceae 4. Lumnitzera littorea (Jack)

Voigt

Teruntun Pohon

4. Rhizophoraceae 5. Rhizophora apiculata

Blume

Bakau Pohon

5. Sonneratiaceae 6. Sonneratia alba J. Sm. Perepat, Berembang Pohon

Mangrove Pendukung

6. Euphorbiaceae 7. Excoecaria agallocha L. Buta-buta Pohon

7. Pteridaceae 8. Acrostichum aureum Linn. Piai Terna

tanah


(45)

Tabel 4. Lanjutan

No. Suku No. Jenis Nama Lokal Habitus

Asosiasi Mangrove

9. Leguminosae 10. Pongamia pinnata (L.) Pierre Kacang kayu laut Pohon

10. Verbenaceae 11. Clerodendrum inerme Gaertn. Dadap laut Belukar

11. Pandanaceae 12. Pandanus odoratissima Pandan Pandan

12. Achantaceae 13. Acanthus illicifolius L. Jeruju Herba

tanah

13. Combretaceae 14. Terminalia catappa L. Ketapang Pohon

14. Verbenaceae 15. Hibiscus tilliaceus L. Waru laut Pohon

15. Casuarinaceae 16. Casuarina equisatifolia Cemara laut Pohon

16. Bombacaceae 17. Ceiba petandra Kapuk Pohon

Selain ekologi tegakan mangrove diukur juga parameter lingkungan seperti suhu, salinitas dan pH (Tabel 5). Dari hasil pengukuran didapat bahwa suhu diluar tegakan lebih tinggi dibandingkan didalam tegakan, hal ini dikarenakan sedikitnya atau tidak adanya vegetasi diluar tegakan hutan mangrove itu sendiri. Suhu di lokasi penelitian berkisar 29 oC hingga 38 oC. Suhu terendah terdapat pada stasiun I yaitu stasiun yang kondisi vegetasinya masih baik, sedangkan suhu tertinggi terdapat pada stasiun III (daerah tambak) yaitu 38,4 oC, hal ini dikarenakan areal tersebut merupakan areal tambak, dimana vegetasinya kurang sehingga sinar matahari lebih banyak terserap. Untuk pH yang terdapat pada daerah penelitian ini adalah 7,01 – 7,22. Menurut Sari (2004) dalam Pratiwi (2009) dalam penelitiannya pada habitat mangrove Ulee Lheue mendapatkan nilai pH pada kisaran 6,09 –7,83 yang juga tergolong dalam keadaan normal dan baik untuk kehidupan kepiting. Untuk tingkat salinitas, salinitas di daerah penelitian ini berkisar antara 4,55 ppt – 24,48 ppt. Menurut Pratiwi (2009) pada kisaran salinitas 20 ppt – 32 ppt merupakan kisaran yang masih dapat mendukung kehidupan krustasea, sehingga pada kondisi salinitas ini jenis-jenis krustasea masih dapat berkembang dengan baik.


(46)

Tabel 5. Parameter lingkungan (suhu, pH, salinitas)

No. Stasiun T (oC) pH Salinitas

(ppt) T dalam tegakan T luar tegakan

1 I (Jauh dari desa) 29,0 29,1 7,01 23,20

2. II (Dekat dari desa) 29,0 30,0 7,20 24,48

3. III (tambak) 37,6 38,4 7,12 4,55

4. IV (muara sungai) 36,0 36,7 7,22 4,96

Struktur Tegakan

Gambar 11 yaitu variasi kelimpahan semai (anakan pohon) dan pohon dewasa antar 4 stasiun, dapat dilihat bahwa pada stasiun I dan II Sonneratia alba

memiliki kelimpahan yang sangat besar di tingkat semai pada stasiun I, namun tidak ditemukan pada stasiun III dan IV baik pada semai maupun pohon. Hal ini dikarenakan jenis ini hanya terdapat pada stasiun I (daerah yang jauh dari desa atau rumah penduduk.

Berdasarkan hasil uji t pada masing-masing stasiun, pada stasiun I dapat diketahui bahwa t hitung adalah 1,253 dengan probabilitas 0,242. Untuk uji 2 sisi, angka probabilitas adalah 0,242/2 = 0,121, oleh karena 0,121 > 0,025, maka Ho diterima, artinya tidak ada perbedaan nyata antara jumlah regenerasi (semai dan pancang) dengan pohon dewasa.

Pada stasiun II dapat diketahui bahwa t hitung adalah 2,866 dengan probabilitas 0,019. Untuk uji 2 sisi, angka probabilitas diperoleh 0,0095. Oleh karena 0,0095 < 0,025, maka Ho ditolak, artinya ada perbedaan nyata antara jumlah regenerasi (semai dan pancang) dengan pohon dewasa sehingga pengambilan kayu oleh masyarakat mendorong hilangnya struktur hutan mangrove yang terletak di kawasan Serapuh. Pada tingkat semai, pancang dan pohon jenis yang dominan adalah Sonneratia alba, sedangkan jenis yang dominan digunakan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan adalah Avicennia alba,


(47)

Bruguiera gymnorrhiza, dan Rhizophora apiculata. Menurut Dahuri et al (1996)

dalam Rochana (2006) bahwa dampak potensial dari adanya tebang habis adalah berubahnya komposisi tumbuhan, pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang di tebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi.

Pada stasiun III dapat diketahui bahwa t hitung adalah 2,305 dengan probabilitas 0,047. Untuk uji 2 sisi, angka probabilitas diperoleh 0,0235. Oleh karena 0,0235 < 0,025, maka Ho ditolak, artinya jumlah regenerasi (semai dan pancang) dengan pohon dewasa berbeda secara nyata. Sama seperti pada stasiun II pengambilan kayu oleh masyarakat mendorong hilangya struktur hutan mangrove yang terletak di kawasan Serapuh. Pada stasiun ini spesies yang dominan pada tingkat semai adalah Bruguiera gymnorrhiza, pada tingkat pancang spesies yang dominan adalah Dolichandron sphantaceae dan pada tingkat pohon spesies yang dominan adalah Lumnitzera littorea. Pada tingkat pohon spesies Bruguiera gymnorrhiza sudah digantikan oleh spesies Lumnitzera littorea. Hal ini disebabkan karena Bruguiera gymnorrhiza merupakan salah satu spesies yang banyak digunakan masyarakat untuk konstruksi.

Pada stasiun IV dapat diketahui bahwa t hitung adalah 2,244 dengan probabilitas 0,052. Untuk uji 2 sisi, angka probabilitas diperoleh 0,026 karena 0,026 > 0,025, maka Ho diterima, artinya tidak ada perbedaan nyata antara jumlah regenerasi (semai dan pancang) dengan pohon dewasa.


(48)

Keterangan: Sa = Sonneratia alba; Ci = Clerodendron inerme; Aa = Avicennia alba; Ea = Excoecaria agallocha; Tc = Terminalia catappa; Pp =

Pongamia pinnata; Bg = Bruguiera gymnorrhiza; Ra = Rhizophora apiculata; Ll = Lumnitzera littorea; Dc = Dolichandrone sphantaceae

Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada keempat stasiun dijumpai 10 jenis flora penyusun tegakan hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Pada stasiun pertama yaitu daerah yang jaraknya jauh dari desa ditemukan 3 jenis flora yaitu Sonneratia alba, Clerodendron inerme, Excoecaria agallocha pada ketiga plot. Pada tingkat semai diketahui bahwa indeks nilai penting (INP) Sonneratia alba adalah 159,6154 % dan untuk Clerodendron inerme adalah 40,38462 %, dengan indeks Shannon-Wienner adalah 0,4741 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,29. Pada tingkat pancang ditemukan 3 jenis spesies yaitu Sonneratia alba dengan kerapatan relatif (KR) adalah 53,33 %. Avicennia alba 26,67 % sedangkan Excoecaria agallocha

Stasiun I 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000

S a C i A a E a T c P p B g R a L l D s N f

Jenis K e li m pa ha n (i n d /h a ) Permudaan Pohon Stasiun II 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000

S a C i A a E a T c P p B g R a L l D s N f

Jenis K e li m pa ha n (i nd/ ha ) Permudaan Pohon Stasiun III 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

S a C i A a E a T c P p B g R a L l D s N f

Jenis K el im p ah an ( in d /h a ) Permudaan Pohon Stasiun IV 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

S a C i A a E a T c P p B g R a L l D s N f

Jenis K e li m pa h a n (i nd/ h a ) Permudaan Pohon


(49)

memiliki KR sebesar 20 %. Sedangkan untuk indeks keanekaragaman Shannon-Wienner pada tingkat ini adalah 1,00 dan indeks Simpson nya yaitu 0,60. Untuk fase pohon hanya ditemukan 1 jenis pohon yaitu Sonneratia alba karena pada tingkat ini merupakan daerah komunitas Sonneratia spp. Jenis ini memiliki kerapatan relatif sebesar 100 %, sedangkan untuk indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dan indeks Simpson pada jenis ini adalah 0, hal ini karena keanekaragamannya sangat rendah.

Pada stasiun kedua, merupakan daerah yang jaraknya dekat dengan desa memiliki 5 jenis flora yaitu Avicennia alba, Sonneratia alba, Excoecaria agallocha, Pongamia pinnata, dan Terminalia catappa. Pada tingkat semai kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Soneratia alba dengan jumlah 32,35% sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada jenis Pongamia pinnata yaitu 5,88 % sedangkan indeks nilai keanekaragaman Shannon-Wienner pada stasiun ini yaitu 1,51 dan indeks Simpson nya yaitu 0,75. Untuk tingkat pancang, kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba yaitu 31,03 % sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada jenis Avicennnia alba dan

Excoecaria agallocha yaitu masing-masing 13,79 % sedangkan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner pada tingkat pancang ini yaitu 1,56 dan indeks Simpson nya yaitu 0,78. Pada fase pohon terdapat 4 jenis yaitu Aveicennia alba, Sonneratia alba, Excoecaria agallocha dan Terminalia catappa. Dimana kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Sonneratia alba dengan kerapatan relatif sebesar 43,75 % sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada


(50)

masing-masing 18,75 %. Untuk indeks Shannon-Wienner pada fase ini yaitu 1,56 dan indeks Simpson nya yaitu 0,78.

Pada stasiun ketiga yaitu daerah yang dekat dengan muara sungai ditemukan 5 jenis flora, yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Lumnitzera littorea, Dolichandrone sphantaceae dan Nypa fruticans. Pada tingkat semai untuk jenis yang memiliki kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Nypa fruticans yaitu 27,65 %, sedangkan untuk kerapatan relatif terendah terdapat pada

Lumnitzera littorea yaitu 14,89 %. Untuk indeks keanekaragaman Shannon-Wienner pada fase ini yaitu 1,58 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,78. Pada fase pancang kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Dolichandrone sphantaceae yaitu 28,57 %, sedangkan untuk kerapatan relatif terendah terdapat pada Rhizophora apiculata yaitu 8,57 %. Untuk indeks Shannon-Wienner pada fase ini yaitu 1,54 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,78. Pada fase pohon kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Lumnitzera littorea yaitu 35,29 %, sedangkan untuk kerapatan relatif terendah terdapat pada Rhizophora apiculata

yaitu 11,76 %. Untuk indeks Shannon-Wienner pada fase ini yaitu 1,31 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,72.

Pada stasiun keempat yaitu daerah pertambakan, berdasarkan hasil analisis vegetasi pada tingkat semai ditemukan 4 jenis flora mangrove yaitu, Rhizophora apiculata, Avicennia alba, Pongamia pinnata serta Excoecaria agallocha. Pada tingkat ini kerapatan relatif tertinggi terdapat pada Avicennia alba yaitu 36,36 %, sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada jenis Excoecaria agallocha

yaitu sebesar 13,63 %, sedangkan indeks Shannon-Wienner pada tingkat ini yaitu sebesar 1,31 dan indeks Simpson nya yaitu 0,71. Pada tingkat pancang, ditemukan


(51)

5 jenis flora yaitu Avicennia alba, Soneratia alba, Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza serta Excoecaria agallocha. Dari kelima jenis ini kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Avicennia alba dengan nilai 30 % sedangkan kerapatan relatif terendah yaitu Soneratia alba dengan nilai 6,67 % dan indeks Shannon-Wienner pada tingkat pancang ini adalah 1,50 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,76. Pada fase pohon ditemukan 4 jenis flora, dimana kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Lumnitzera littorea, yaitu 35,29 % sedangkan kerapatan relatif terendah terdapat pada jenis Rhizophora apiculata

yaitu sebesar 11,76 %. Pada fase ini indeks keanekaragaman Shannon-Wienner nya adalah 1,49 sedangkan indeks Simpson nya yaitu 0,75.

Berdasarkan hasil perhitungan analisis vegetasi dapat diketahui bahwa indeks keanekaragaman masing-masing stasiun untuk setiap fase pertumbuhan tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Barbour

et al (1987) dalam Onrizal (2007) yang menyatakan bahwa nilai H’ berkisar antara 0–7 dengan kriteria : (a) 0-2 tergolong rendah, (b) 2-3 tergolong sedang, dan (c) 3 atau lebih tergolong tinggi. Menurut Indriyanto (2006) suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan.

Pada stasiun I dan II dapat diketahui bahwa Sonneratia alba memiliki spesies yang dominan, dengan indeks nilai penting (INP) tertinggi di semua fase pertumbuhan (semai, pancang, dan pohon). Untuk stasiun III Bruguiera gymnorrhiza memiliki INP tertinggi pada fase pertumbuhan semai dan pancang sedangkan pada stasiun IV Lumnitzera littorea memiliki INP tertinggi pada tingkat pohon.


(52)

Pada hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara, gangguan utama perkembangan mangrove adalah konversi lahan untuk tambak yang telah dilakukan 20 tahun yang lalu dan kelapa sawit yang masih baru (5 tahun yang lalu) serta pengambilan pohon mangrove untuk kayu bakar dan pembuatan arang. Jenis utama yang dijadikan arang adalah kelompok Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. Penggunaan kedua jenis tersebut untuk arang karena kandungan kalornya yang tinggi, sebagaimana dilaporkan oleh FAO (1994) dalam Onrizal (2008). Kayu dari jenis Avicennia

spp., Ceriops spp. dan Xylocarpus spp. dijadikan sebagai kayu bakar pada tungku arang atau kayu bakar untuk rumah tangga. Penggunaan jenis-jenis tersebut sebagai bahan bakar juga dilaporkan di Papua, Indonesia Leonard et al., (2003)

dalam Onrizal (2008) dan Mida Creek, Kenya (Dahdouh-Guebas et al., 2000) dan Andhra Pradesh, (Dahdouh-Guebas et al., 2006) oleh karena itu, pada areal tersebut sangat sulit vegetasi mangrove mencapai tingkat pohon karena sebelum mencapai tingkat pohon telah ditebang untuk kayu bakar.

Pada Gambar 25 dapat dilihat jenis yang dominan pada stasiun I dan II yaitu Sonneratia alba, Pada stasiun III yaitu Pongamia pinnata serta Avicennia alba. Onrizal (2008) menyatakan, jenis-jenis yang dominan diperkirakan akan merajai populasi tingkat pohon mangrove di lokasi penelitian di masa mendatang jika faktor gangguan bisa diatasi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya populasi dan suksesi tingkat semai dan pancang di lokasi penelitian.


(53)

Penggunaan mangrove

Tingkat Pengetahuan Terhadap Flora Mangrove

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa responden yang diwawancarai mayoritas memiliki kategori pengetahuan yang rendah terhadap flora mangrove yaitu sebesar 42 %, sedangkan tingkat pengetahuan responden yang sangat baik hanya 10 %. Jadi dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden belum banyak mengenal flora atau tumbuhan magrove tersebut.

42%

26% 22%

10%

Rendah Sedang Baik Sangat baik

Gambar 12. Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Flora Mangrove

Etnobotani Mangrove

Etnobotani merupakan pemanfaatan tumbuhan mangrove oleh masyarakat secara tradisional. Menurut Dharmono (2007) etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan sehari-hari dan adat suku bangsa. Studi etnobotani tidak hanya mengenai data botani taksonomis saja, tetapi juga menyangkut pengetahuan botani yang bersifat kedaerahan, berupa tinjauan interpretasi dan asosiasi yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan tanaman, serta menyangkut pemanfaatan tanaman tersebut yang lebih diutamakan untuk kepentingan budaya dan kelestarian sumber daya alam.


(54)

Selain secara tradisional masyarakat di kawasan Serapuh memanfaatkan ekosistem hutan mangrove secara langsung. Pemanfaatan langsung ini dilakukan, baik dengan mengubah area tersebut maupun tidak mencakup tambak ikan/udang, pemasangan jaring apung (keramba), tempat penangkapan langsung, sumber kayu bakar dan arang, sumber kayu bangunan, sumber bahan pangan, pakan ternak, serta bahan obat (Setyawan dan Winarno, 2006). Manfaat hutan mangrove di kawasan Serapuh dapat dilihat pada Gambar 13.

Kayu Bakar dan Arang

Mangrove memiliki berbagai fungsi, seperti fungsi fisik, biologis dan fungsi ekonomis. Fungsi ekonomis ini yang kemudian dimanfaatkan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fungsi ekonomis tersebut diantaranya adalah penghasil kayu bakar, untuk konstruksi, serta obat-obatan. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Gunarto (2004) yang menyatakan bahwa fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan.

Dari Gambar 13, dapat dilihat bahwa penggunaan mangrove untuk kayu bakar atau pembuatan arang sebanyak 6 responden (12 %). Jenis mangrove yang

digunakan oleh responden untuk kayu bakar adalah Avicennia spp., kemudian

Rhizophora spp., Bruguiera spp., dan jenis lainnya. Jenis yang paling banyak digunakan oleh responden adalah jenis Avicennia spp. yaitu sekitar 40 % dari total responden.


(55)

22%

12%

0% 0% 2% 0% 18%

2% 34%

6% 4%

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6 Kelompok 7 Kelompok 8 Kelompok 9 Kelompok 10 Kelompok 11

Gambar 13. Manfaat Mangrove oleh Responden

Keterangan: Kel 1, memancing; Kel 2, Kayu bakar dan arang; Kel 3 Konstruksi rumah dan pembuatan perahu; Kel 4 Obat-obatan; Kel 5, Mebel; Kel 6, Bahan makanan; Kel 7, Memancing dan kayu bakar; Kel 8, Memancing, kayu bakar, konstruksi dan pembuatan perahu; Kel 9, Semuanya, Kel 10, Tidak menggunakan, Kel 11, Tidak tahu

Karakteristik yang digunakan oleh responden untuk kayu bakar yaitu daya kalori yang tinggi dan kayu yang kecil. Seperti yang telah dikemukakan oleh

Setyawan dan Winarno (2006) yaitu jenis pohon yang ditebang untuk pembuatan

arang umumnya Rhizophora spp. karena memiliki kalori yang cukup tinggi, sedangkan untuk kayu bakar hampir semua pohon digunakan.

Kayu yang kecil ini seharusnya tidak boleh digunakan sebagai kayu bakar

karena kayu kecil ini merupakan permudaan atau regenerasi yang kemudian akan

menjadi tingkat pohon. Jika kayu kecil ini terus dieksploitasi maka besar kemungkinan akan habis sehingga hutan mangrove menjadi rusak. Seperti yang terjadi di kawasan hutan mangrove Tanjung Pura, data yang diperoleh dari Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II Medan menyebutkan bahwa kerusakan tersebut mencapai 5648,87 Ha yang telah mengalami kerusakan yang berat dan hanya tinggal 464,61 Ha mangrove di kawasan tersebut yang tidak rusak. Setyawan dan Winarno (2006) menyatakan bahwa pembabatan pepohonan


(56)

merupakan penyumbang utama kerusakan ekosistem mangrove di dalam kawasan hutan, seperti pada kawasan hutan mangrove di Segara Anakan Propinsi Jawa Tengah. Penebangan hutan hingga tingkat yang tidak memungkinkan penyembuhan secara alami merupakan ancaman serius ekosistem mangrove. Pembabatan hutan mangrove menyebabkan abrasi di Bulak dan Telukawur Propinsi Jawa Tengah, hingga menghapus beberapa kawasan dari peta. Sebaliknya pengelolaan hutan mangrove yang baik di sekitar Pasar Banggi Propinsi Jawa Tengah menyebabkan kawasan tersebut aman dari abrasi dan badai. Badai tsunami merupakan salah satu bencana alam paling merusak di kawasan pantai. Hasmonel et al, (2000) dalam Setyawan dan Winarno (2006).

Selain mengambil langsung kayu mangrove ke hutan ada juga responden yang membeli kayu mangrove. Responden yang membeli kayu mangrove yaitu sebesar 22 %. Responden membeli kayu mangrove dari masyarat sekitar (14 %) dan penjual kayu mangrove (8 %) (Gambar 14).

14%

8% 0%4%

74%

masy arakat sekitar p enjual kay u mangrove p erusahaan kay u lainny a tidak ada

Gambar 14. Pembelian Kayu Mangrove oleh Responden

Konstruksi

Jenis mangrove yang digunakan oleh responden untuk konstruksi (kayu pertukangan) adalah Bruguiera spp., Rhizophora spp., dan Avicennia spp. Jenis


(57)

yang paling dominan digunakan untuk kayu konstrusi adalah Bruguiera sp., (20 %). Seperti yang dikemukakan oleh Setyawan dan Winarno (2006) jenis mangrove yang digunakan untuk bahan bangunan, yaitu Rhizophora spp., selain itu digunakan pula Sonneratia spp. dan Bruguiera spp.

Kriteria yang digunakan oleh responden untuk kayu konstruksi ini adalah ketahanan yang tinggi dan kuat. Sebuah tanaman mangrove dapat bertahan 5 hingga 10 tahun, tetapi bagi responden sebuah kayu mangrove biasanya bertahan 5 tahun. Sebanyak 32 % responden menyatakan bahwa kayu mangrove dapat bertahan 5 tahun, untuk ketahanan 7 tahun sebanyak 16 %, 9 tahun (10 %) dan ketahanan 10 tahun sebanyak 6 %. Tetapi menurut responden jika kayu mangrove tersebut diberi minyak maka kayu tersebut akan bertahan lebih lama lagi. Intensitas responden berkunjung ke hutan untuk mengambil kayu sebagai konstruksi rumah mereka dapat dikategorikan sering, karena mereka mengambil kayu mangrove tersebut kapan saja jika dibutuhkan (Gambar 15).

6% 2%

22%

8% 8% 28%

26% 1 x seminggu

2 x seminggu 3 x seminggu 4 x seminggu > 4 x seminggu tidak pernah

kapan saja jika dibutuhkan


(58)

Bahan Makanan

Pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai bahan pangan di lokasi penelitian ini, jauh lebih rendah dari pada potensi yang ada. Jenis yang digunakan masyarakat sebagai bahan makanan di Pulau Banyak ini yaitu Nypa fruticans.

Menurut Bandaranayake (1998) dalam Setyawan dan Winarno (2006). Tumbuhan mangrove menyediakan berbagai bahan makanan. Buah/hipokotil

Bruguiera spp., Sonneratia caseolaris, dan Terminallia catapa mengandung pati dan dapat menjadi sumber karbohidrat. Daun muda Acrostichum aureum, Avicennia marina, dan Pluchea indica, hipokotil B. gymnorrhiza dan B. sexangula, serta buah, biji dan semai A. marina, A. officinalis, B. sexangula dapat dijadikan sayuran. Ekstrak galih kayu Avicennia alba dan A. officinalis dapat digunakan sebagai tonik; buah Rhizophora spp. dan Sonneratia caseolaris secara berturut-turut dapat dijadikan tuak dan sari buah. Nira bunga N. fruticans dapat diolah menjadi gula merah dan tuak, karena kandungan sukrosanya yang tinggi. Nipah juga dapat menghasilkan minyak goreng, daunnya untuk kertas rokok, dan abunya untuk sumber garam

Obat-obatan

Selain untuk kayu bakar dan konstruksi, manfaat lainnya dari hutan mangrove ini adalah untuk obat-obatan. Masyarakat di kawasan Serapuh masih ada yang memanfaatkan tanaman mangrove sebagai alternatif penyembuhan untuk penyakit. Misalnya untuk mengobati kulit terbakar, responden menggunakan Acanthus ilicifolius. Sebanyak 34 % responden (Gambar 16) menggunakan buah Acanthus sp. atau yang biasa mereka sebut jeruju untuk mengatasi kulit terbakar, mengobati cacingan serta pembersih darah. Kemudian


(59)

perasan buah atau akar dapat digunakan untuk mengatasi racun gigitan ular. Di Bogowonto dan Segara Anakan, Jawa Tengah masyarakat mengetahui potensi obat beberapa tumbuhan mangrove, seperti buah (biji) Acanthus ilicifolius yang berpotensi untuk pengobatan hepatitis. Menurut Bandaranayake (1998) dalam

Setyawan dan Winarno (2006), tumbuhan ini berperan sebagai afrodisiak, asma, pembersih darah (buah), diabetes, diuretik, dispepsia, hepatitis, lepra (buah, daun, akar), neuralgia, paralisis, cacingan, rematik, penyakit kulit, gigitan ular, dan sakit perut (kulit kayu, buah, daun). Caranya adalah dengan langsung memakan bagian buah dari tanaman tersebut. Kemudian ada Excoecaria agallocha atau biasa disebut buta-buta, bagian tanaman ini yaitu akar digunakan untuk menyembuhkan penyakit sakit gigi (Tabel 6).

34%

0% 2% 10% 0%

14% 6%

0% 34%

Acanthus sp Avicennia sp Bruguiera sp Excoecaria sp Hibiscus sp Ceiba petandra Casuarina sp Lainnya Tidak tahu

Gambar 16. Jenis Tanaman untuk Obat-obatan

Selain tanaman mangrove responden juga menggunakan daun dari pohon

Ceiba petandra atau biasa disebut sebagai kapuk. Sebanyak 14 % responden menggunakan daun Ceiba petandra ini untuk mengobati demam. Cara mengolah daun tersebut adalah langsung diletakkan diatas dahi si penderita. Disamping itu ada Casuarina equisatifolia atau cemara yang daunnya digunakan dalam kegiatan ritual atau acara tradisional tertentu, misalnya untuk menyembuhkan kesurupan.


(1)

Tabel 3. Penggunaan Utama Mangrove untuk Kayu Bakar

No Daftar Pertanyaan Pilihan

1

Jenis mangrove apa yang saudara gunakan untuk kayu bakar, sebutkan nama lokal ? Jumlah

Persentase

Rhizophora sp 11 22

Bruguiera sp 4 8

Avicennia sp 20 40

Soneratia sp 0 0

Lainnya (sebutkan)

8 16

Tidak tahu 3 6

Tidak menggunakan

4 8 2

Apakah ada ukuran/karakteristik yang saudara

jadikan untuk kayu bakar? Daya kalori tinggi Asap sedikit Kayu kecil kayu besar

Lainnya (sebutkan)

tidak

menggunakan

Jumlah 18 2 16 3 3 8

Persentase 36 4 32 6 6 16

3 Apakah saudara membeli kayu mangrove? Ya Tidak

Jumlah 11 39

Persentase 22 78

3

apakah saudara membeli kayu mangrove? Jika

ya,dari siapa? masyarakat sekitar

penjual kayu mangrove

perusahaan

kayu Lainnya (sebutkan)

Tidak

membeli

Jumlah 7 4 2 37

Persentase 14 8 0 4 74

4

Seberapa sering saudara masuk ke hutan

mangrove untuk mengumpulkan kayu bakar? 1 x seminggu 2 x seminggu 3 x seminggu 4 x seminggu

> 4 x

seminggu tidak pernah

kapan saja jika

dibutuhkan lainnya

Jumlah 3 1 11 4 4 14 12 1

Persentase 6 2 22 8 8 28 24 2

5

Berapa jarak pengambilan kayu dari desa ke

hutan? 1 Km 2 Km 3 Km 4 Km > 4 Km Tidak tahu

Jumlah 7 4 6 8 13 12

Persentase 14 8 12 16 26 24


(2)

Tabel 4. Penggunaan Utama Mangrove untuk Konstruksi

No Daftar Pertanyaan Pilihan

1

Jenis mangrove apa saja yang saudara

gunakan untuk kayu bangunan? Rhizophora sp Bruguiera sp Avicennia sp Soneratia sp

Lainnya

(sebutkan) Tidak menggunakan

Jumlah 8 10 1 0 19 12

Persentase 16 20 2 0 38 24

2

apakah ada kriteria tanaman mangrove tertentu yang saudara gunakan untuk

konstruksi rumah? ketahanan tinggi kuat

sesuai dengan

ukuran Lainnya (sebutkan) Tidak tahu

Jumlah 27 10 0 1 12

Persentase 54 20 0 2 24

3

Berapa lama konstruksi sebuah rumah yang

terbuat dari kayu mangrove dapat bertahan? 5 tahun 7 tahun 9 tahun 10 tahun

Lainnya

(sebutkan) Tidak tahu

Jumlah 16 8 5 3 6 12

Persentase 32 16 10 6 12 24

4

Berapa jarak pengambilan kayu mangrove

tersebut dari rumah saudara? 1 Km 2 Km 3 Km 4 Km > 4 Km Tidak tahu

Jumlah 7 4 6 8 13 12

Persentase 14 8 12 16 26 24

5

Seberapa sering saudara mengunjungi hutan

mangrove untuk memanen kayu? sekali sebulan

2 x dalam

sebulan 1 x dalam 2 bulan

kapan saja jika

dibutuhkan Tidak pernah

Jika kayu tidak tahan lagi

Jumlah 2 3 0 24 16 5


(3)

Tabel 5. Penggunaan Utama Mangrove untuk Obat-obatan

No. Daftar Pertanyaan Pilihan

1

Jenis mangrove apa saja yang saudara

gunakan untuk obat-obatan? Excoecaria sp Bruguiera sp Avicennia sp Soneratia sp Acanthus sp Hibiscus sp Ceiba sp Casuarina Lainnya Tidak

tahu

Jumlah 5 1 0 0 17 0 7 3 0 17

Persentase 10 2 0 0 34 0 14 6 0 34

2

Bagian mana yang saudara ambil untuk

dijadikan obat? daun kulit batang akar buah bunga getah

tidak

tahu

Jumlah 16 0 1 13 0 4 16

Persentase 32 0 2 26 0 8 32

3

Bagaimana cara mengolah

bagian-bagian tersebut? dijemur direbus ditumbuk

langsung dimakan

Lainnya

(sebutkan) tidak tahu

Jumlah 0 9 1 19 5 16

Persentase 0 18 2 38 10 32

4

Untuk pengobatan apa bagian-bagian

tersebut? sakit perut sakit gigi demam

mengobati

luka Bisul Lainnya

tidak

tahu

Jumlah 8 4 6 3 11 2 16

Persentase 16 8 12 6 22 4 32

Tabel 6. Penggunaan Utama Mangrove untuk Perikanan

No. Daftar Pertanyaan Pilihan

1

Apa yang saudara kumpulkan dari mangrove berhubungan dengan

perikanan? Udang Kerang Ikan

Udang dan

Ikan Semuanya Tidak ada

Jumlah 3 0 10 33 1 3

Persentase 6 0 20 66 2 6

2

Seberapa sering saudara pergi untuk

memancing (menjala)? 1 x seminggu

2 x

seminggu 3 x seminggu

4 x seminggu

> 4 x seminggu

< 1 x

seminggu lainnya

Jumlah 6 5 4 13 11 1 10

Persentase 12 10 8 26 22 2 20

3

Berapa jarak pengambilan ikan

tersebut dari rumah saudara? 1 Km 2 Km 3 Km 4 Km > 4 Km

Tidak pernah

Kapan saja jika dibutuhkan

Jumlah 3 1 11 4 4 14 13

Persentase 6 2 22 8 8 28 26

4

Apakah hasil pemancingan tersebut

saudara konsumsi atau untuk dijual? konsumsi dijual

dijual dan

dikonsumsi tidak tahu

Jumlah 7 15 25 3


(4)

Tabel 7. Perubahan Area Mangrove

No. Daftar Pertanyaan Pilihan

1

Seberapa penting mangrove untuk mata pencaharian

saudara? sangat penting sedikit penting

tidak begitu penting

sama sekali tidak penting

tidak

tahu

Jumlah 37 10 3 0 0

Persentase 74 20 6 0 0

2

Apakah ada perubahan yang saudara ketahui mengenai hutan mangrove didesa ini selama saudara tinggal di desa ini? Perubahan apa yang terjadi?

Penurunan

vegetasi Peningkatan vegetasi tidak tahu

Jumlah 48 0 2

Persentase 96 0 4

3 Apakah ada usaha pemanenan/pengambilan kayu? ada tidak

Jumlah 36 14

Persentase 72 28

4

Didalam hutan bagian mana dilakukan aktivitas pemanenan kayu mangrove?

sepanjang tepi hutan, terdekat

ke rumah di tengah hutan

dibagian terjauh

dai hutan tidak tahu

Jumlah 19 15 5 11

Persentase 38 30 10 22

5

Bagaimana saudara mengorganisir aktivitas pemanenan tersebut?

melakukan

pembagian tugas melakukan sendiri lainnya

Jumlah 7 28 15

Persentase 14 56 30

6

Apakah saudara mengetahui status kawasan hutan

mangrove tempat anda beraktivitas? tahu tidak tahu

Jumlah 32 18

Persentase 64 36

7 Bila tahu sebutkan statusnya?

kawasan hutan

masyarakat hutan produksi hutan lindung

hak milik/bukan

kawasan hutan

Tidak

tahu

Jumlah 19 3 3 7 18

Persentase 38 6 6 14 36

8 Dimana aktivitas pemanenan kayu dilakukan?

Kawasan suaka

margasatwa hutan lindung hutan produksi

hak milik/bukan

kawasan hutan

Tidak

tahu


(5)

Persentase 0 14 0 52 34

9

Apakah anda memanen mangrove untuk keperluan lain selain kebutuhan rumah tangga?Jika demikian, untuk keperluan apa?

Perdagangan

kecil Sebagai persediaan Penggunaan lain Tidak ada Tabel 7 . Lanjutan

Jumlah 4 13 11 22

Persentase 8 26 22 44

10 Apakah memanen mangrove tersebut mudah atau sulit? Mudah Sulit Tidak tahu

Jumlah 25 23 2

Persentase 50 46 4

11 Alasannya

peralatan yang

terbatas Aksesibilitas sulit

Pengawasan yang ketat

Lainnya (sebutkan)

Tidak sulit

Tidak tahu

Jumlah 2 10 10 2 23 3

Persentase 4 20 20 4 46 6

12

Apakah pernah dilakukan kegiatan pembibitan dan

penanaman yang dianjurkan petugas kehutanan? Pernah Tidak pernah

Jumlah 9 41

Persentase 18 82

13 Kapan? 1 tahun yang lalu 2 tahun yang lalu

3 tahun yang lalu

4 tahun yang

lalu lainnya Tidak

tahu

Jumlah 0 4 2 2 1 41

Persentase 0 8 4 4 2 82

14

Apakah didaerah ini pernah dilakukan kegiatan

konservasi? Pernah Tidak pernah

Jumlah 7 43

Persentase 14 86

15 Kapan? 1 tahun yang lalu 2 tahun yang lalu

3 tahun yang lalu

4 tahun yang lalu

tidak pernah

Tidak tahu

Jumlah 1 2 1 2 36 8

Persentase 2 4 2 4 72 16

16

Apakah ada perubahan jumlah dan jenis satwa pada hutan mangrove selama saudara tinggal di desa ini?Jika

ada coba sebutkan. Ya Tidak

Jumlah 43 7


(6)

Tabel 8. Konversi Hutan Mangrove dan Dinamika Flora dan Fauna

No. Daftar Pertanyaan Pilihan

1

Apa saja bentuk pemanfaatan

lahan mangrove? Tambak Pemukiman Kebun kelapa sawait ketiganya

tambak dan kelapa

sawit

tambak dan

pemukiman

Jumlah 2 0 2 43 1 2

Persentase 4 0 4 86 2 4

2

Sejak kapan mangrove

dikonversi menjadi tambak? 15 tahun yang lalu 20 tahun yang lalu 25 tahun yang lalu

30 tahun yang lalu

35 tahun yang lalu

> 35 tahun yang lalu

> 15 tahun

yang lalu tidak tahu

Jumlah 7 26 6 1 1 6 0 3

Persentase 14 52 12 2 2 12 0 6

3

Sejak kapan mangrove dikonversi menjadi

pemukiman? 10 tahun yang lalu 15 tahun yang lalu 20 tahun yang lalu

25 tahun yang lalu

>25 tahun

yang lalu tidak tahu

Jumlah 7 5 23 2 9 4

Persentase 14 10 46 4 18 8

4

Sejak kapan mangrove dikonversi menjadi kebun

kelapa sawit? 5 tahun yang lalu 10 tahun yang lalu 15 tahun yang lalu

20 tahun yang lalu

> 20 tahun yang lalu

< 5 tahun yang lalu

tidak

tahu

Jumlah 38 0 0 1 0 9 2