Pendahuluan Proceeding S III July 2 3 2013 Sri Wahyuni

474 PERUNDUNGAN BAHASA DAERAH MELALUI PENGGUNAAN LOGAT DIALEK DALAM TAYANGAN SINETRON DI TELEVISI Sri Wahyuni Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah candu_koeyahoo.com Abstrak Penggunaan logat dapat menjadi usaha pemertahanan bahasa daerah dengan memasukkan unsur lokalitas dalam tayangan sinetron. Namun, penggunaan logat daerah dapat juga menjadi perundungan bahasa daerah itu sendiri. Hal ini terjadi jika dilakukan dengan pencitraan yang buruk serta berlebihan oleh artis penutur logat daerah. Penggunaan logat daerah hanya dijadikan sebagai bahan tertawaan atau olok-olokan saja. Bahkan terbentuk semacam stereotip berkaitan dengan sifat dari penggunaan logat daerah. Pencitraan yang buruk melalui penuturan logat daerah tertentu dikhawatirkan dapat mengakibatkan sikap inferior bagi penutur aslinya. Tentu saja ini bukan sikap yang positif berkaitan dengan usaha pemertahanan bahasa daerah. Kata kunci: pemertahanan bahasa daerah, perundungan bahasa daerah, dan sikap inferior penutur asli.

1. Pendahuluan

Kebutuhan manusia moderen saat ini tidak hanya terbatas pada kebutuhan primer berupa makanan, minuman, dan, perumahan saja. Semakin moderen suatu peradaban, kebutuhan manusia semakin bertambah. Salah satunya adalah kebutuhan akan hiburan. Sebagian orang memilih pergi keluar atau berlibur di tempat lain, sebagian lagi hanya tinggal di rumah. Namun, mereka yang tinggal di rumah juga berhak mendapat pilihan untuk mendapatkan hiburan yang berkualitas. Salah satu hiburan yang dapat diperoleh di rumah adalah melalui televisi. Televisi menjadi alat ajaib yang dimiliki oleh sebagian besar keluarga di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Tidak hanya hiburan, berbagai informasi dan berita juga dapat diperoleh melalui siaran televisi. Sebenarnya, televisi dapat menjadi media pembelajaran dan informasi yang sangat efektif dan praktis mengingat bahwa sebagian masyarakat memilikinya. Asalkan, masyarakat lebih disiplin dalam menerapkan komitmen untuk memilih tayangan-tayangan yang berkualitas. Namun, siaran televisi juga dapat membawa pengaruh yang buruk. Baik itu melalui hiburan maupun siaran berita. Siaran berita yang menimbulkan agitasi dan provokasi anarkis tentu saja tidak memberikan pengaruh positif bagi masyarakat. Sedangkan, hiburan-hiburan yang berlebihan tanpa ada filter juga mampu mengaburkan antara mimpi dan kenyataan. Semua tayangan di televisi menggunakan bahasa sebagai media untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Saat ini, tayangan sinetron didominasi oleh artis-artis yang menuturkan bahasa Indonesia logat Jakarta. Bahasa Indonesia logat Jakarta menjadi superior. Namun, kita juga sering melihat artis-artis sinetron di televisi swata berdialog dengan menggunakan logat daerah tertentu dalam tayangan berbahasa Indonesia. Ada perbedaan pendapat dalam menyikapi masalah ini. Pendapat pertama yang setuju menyatakan penggunaan logat daerah merupakan bagian dari usaha menunjukkan lokalitas atau kedaerahan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan bahasa. Sementara yang tidak setuju menyatakan penggunaan logat daerah dalam sinetron dapat merundung, mengganggu, dan menenggelamkan bahasa daerah itu sendiri. Makalah ini akan membahas sisi negatif penggunaan logat daerah dalam tayangan sinetron di telivisi. Penggunaan logat daerah yang tidak sesuai secara tidak langsung telah menjadikan bahasa daerah mengalami perundungan. Keadaan ini jauh dengan sikap menghormati bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Padahal pasal 32 UUD 1945 tentang pendidikan dan kebudayaan menyebutkan, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional . Penjelasan pasal tersebut menyebutkan pula bahasa daerah dinyatakan sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Selain itu, salah satu rumusan hasil Seminar Politik Bahasa Nasional 1975 adalah bahasa-bahasa Sasak, Bali, Batak, Bugis, Jawa, Madura, Sunda, dan lain-lain, yang terdapat di wilayah Republik Indonesia, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Hal ini menunjukkan pentingnya menghormati bahasa daerah dalam kedudukannya sebagai kekayaan budaya nasional. Oleh sebab itu, usaha pemertahanan bahasa daerah adalah sebuah keniscayaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. 475 2. Perundungan Bahasa Daerah dalam Tayangan Sinetron di Televisi Sebelumnya, mari kita bahas makna kata perundungan terlebih dulu. Kata perundungan merupakan bentuk turunan dari kata dasar rundung yang berdasarkan KBBI 2008: 1191 memiliki makna 1mengganggu; mengusik terus-menerus; menyusahkan: 2 menimpa tt kecelakaan, bencana, kesusahan, dsb: Jadi, kata perundungan memiliki makna hal mengganggu, hal mengusik, dll. Kata perundungan bahasa daerah dalam makalah ini memiliki makna hal yang mengganggu atau mengusik bahasa daerah. Konsep dasar tentang perundungan bahasa daerah melalui penggunaan logat dalam tayangan sinetron di televisi dapat dijabarkan seperti ini. Televisi sebagai media komunikasi audio visual berfungsi untuk menginformasikan berita, mendidik, dan menghibur masyarakat. Masing-masing dari fungsi tersebut seharusnya seimbang. Beberapa stasiun televisi sesuai dengan kebijakan internal mereka ada yang memprioritaskan fungsi-fungsi tersebut. Metro TV dan TV One misalnya lebih menekankan fungsi informasi atau berita meskipun tidak meninggalkan sama sekali fungsi menghibur dan mendidik. Namun, ada beberapa stasiun televisi lain yang justru hanya mengedepankan fungsi menghibur. Mereka gencar memproduksi tayangan-tayangan sinetron yang kurang memiliki kepedulian dan tanggung jawab moral. Sinetron-sinetron tersebut kadang menyelipkan tokoh yang menggunakan logat daerah tertentu dalam tayangan berbahasa Indonesia. Sebenarnya hal ini tidak akan menimbulkan permasalahan, jika penggunaan logat tersebut memang dibutuhkan untuk peran tokoh tersebut. Namun, seringkali tokoh yang menuturkan logat daerah tertentu berfungsi sebagai bahan olok-olokan yang cenderung berlebihan. Bahkan sebagian karakter tersebut menjadi karakter yang negatif atau antagonis. Hal inilah yang membuat penggunaan logat daerah tertentu dalam tayangan sinetron menjadi sebuah perundungan. Berkaitan dengan pemertahanan bahasa ibu yang gencar dicanangkan oleh pemerintah, tentu saja ini bertentangan dengan program tersebut. Logat daerah yang digunakan oleh tokoh antagonis tersebut dapat memengaruhi penutur aslinya. Apalagi pengaruh siaran televisi sangat besar bagi masyarakat. Lama kelamaan logat daerah yang dituturkan oleh tokoh antagonis ini dapat menimbulkan sifat inferior bagi penutur aslinya. Seperti yang dikatakan oleh Ranjabar 2006: 145, jika interaksi semacam ini terjadi dalam waktu yang cukup lama dan dalam bermacam-macam situasi sosial, kebudayaan yang kurang kuat mungkin akan menghilang pelan-pelan dan keberadaannya sebagai suatu kebudayaan yang mandiri di daerah itu akan lenyap. Dengan cara lain, tradisi budaya yang sedikit pengikutnya, misalnya kelompok etnik kecil bisa hilang sama sekali walaupun penganut lama masih tetap ada. Jika sifat inferior semakin kuat, lama kelamaan penutur asli dikhawatirkan akan meninggalkan dialek yang dituturkannya. Bangsa yang terhormat akan terlihat dari penggunaan bahasa penuturnya. Pepatah Jawa juga menyebutkan ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana. Maksud pepatah ini yaitu kehormatan diri berasal dari lisan atau cara berbicara, sedangkan kehormatan badan atau jasmani berasal dari cara berpakaian. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan bahasa dengan kepribadian seorang manusia. Ketika sebuah sinetron berbahasa Indonesia ditayangkan di televisi, masyarakat yang menonton akan mengikuti jalan cerita yang ditawarkan sinetron tersebut. Jika itu ditayangkan setiap malam, konsep berpikir penonton terhadap tokoh-tokohnya pun lama-lama terbentuk melalui pencitraan ini. Penonton televisi tentu mengingat bagaimana stereotip yang dibangun oleh pengusaha dunia sinetron tentang orang Jawa Jawa Tengah. Orang Jawa seringkali dilukiskan sebagai orang kampung melalui logat yang mereka tuturkan. Bahkan, penggunaan istilah Jawa menjadi pembeda antara orang Jakarta, orang Madura, atau orang Bandung, meskipun ketiganya termasuk penduduk pulau Jawa juga. Tentu saja, hal ini mengakibatkan pembentukan karakter yang buruk terhadap tokoh-tokoh yang menggunakan logat dialek daerah tersebut. Menurut Dendy Sugono, dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya wajar saja jika penutur yang berasal dari bahasa ibu Batak, Jawa, Sunda, Bugis akan merefleksikan gaya bertutur bahasa ibunya, karena memang saat ini belum ada bahasa tutur baku di dalam bahasa Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat multilingual yang sementara ini memiliki realitas 746 bahasa daerah diperkirakan kekayaan bahasa daerah tersebut akan bertambah mengingat sebagian besar daerah Papua belum dipetakan. Gaya bertutur yang hidup di tengah masyarakat yang memiliki kekayaan bahasa daerah sebanyak itulah yang kemudian direfleksikan di layar lebar atau sinetron. Namun, kadang hal itu dilakukan secara berlebihan. Begitu banyak karakter dengan logat tertentu ditokohkan secara negatif dalam sinetron. Hal ini menjadi pola tertentu yang cenderung merupakan stereotip sebuah peran dalam sinetron. Misalnya, tokoh yang menggunakan logat Jawa diidentikkan dengan keluguan dan kepolosan, logat Batak dan Madura diidentikan dengan kekerasan dan kekasaran, logat Tegal diidentikan dengan kekonyolan, logat Betawi diidentikan dengan keegoisan. 476 Selain itu, seringkali tokoh penutur logat dalam sinetron diidentikkan sebagai masyarakat kelas bawah. Hal ini merupakan pencitraan yang buruk tentang kedudukan logat bahasa dan unsur-unsur lokal di masyarakat. Fungsi menghibur yang berlebihan seperti inilah yang akhirnya secara tidak langsung menimbulkan perundungan pada penutur dialek tersebut. Jika ini terjadi pada penutur suatu dialek, maka akan berpengaruh negatif juga pada dialek itu sendiri dan bahasa daerah pula pada umumnya. Berikut adalah contoh beberapa sinetron yang pemerannya menggunakan logat daerah. Si Doel Anak Betawi Perundungan bahasa daerah melalui logat terjadi pada tokoh Mas Karyo yang diperankan oleh pelawak Basuki dalam Si Doel Anak Betawi. Tokoh Mas Karyo digambarkan sebagai orang yang suka mengambil keuntungan, mencari selamat, dan miskin. Selain itu, ada juga tokoh Nunung dan Pak Bendot. Mereka digambarkan sebagai pendatang dari kampung. Dalam sinetron Si Doel Anak Betawi ada juga tokoh Mandra yang menggunakan dialek Betawi. Dialek Betawi memang banyak memengaruhi cara berbahasa Indonesia masyarakat sekarang khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya, seperti pemakaian kata sebutan aye dan ente yang berpadanan dengan aku dan kamu. Selain itu, ada sebutan lu dan gue yang berpadanan sama juga yaitu aku dan kamu dalam penggunaan bahasa Indonesia lesan gaya Jakarta. Ini juga kemudian yang memunculkan idiom lo lo, gue gue yang memiliki makna menjadi urusan masing-masing, jangan saling mencampuri dalam tuturan bahasa Indonesia. Berikut adalah petikan dialog Si Doel Anak Betawi . Mandra : Gara-gara lu, nih motor Doel jadi ditahan Mas Karyo : Lha wong situ yang salah lho ya. Atun : Iye, Bang, jangan nyalahin orang melulu Mas Karyo : Ya begitu itu, Mas Mandra, lha wong aku yang njamin lho malahan, supaya Mas Mandra gak ditahan, lha kok mesthi aku sing disalahke. Sumber: www.youtube.com Mas Karyo dalam sinetron ini ditokohkan sebagai orang Jawa yang tinggal di lingkungan masyarakat Betawi. Hal ini terlihat pada penggunaan kata situ yang merupakan terjemahan kata kono dari bahasa Jawa dengan makna kamu . Selain itu, klausa lha kok mesthi aku sing disalahke juga menegaskan asal Mas Karyo. Perundungan bahasa daerah dalam sinetron ini terjadi pada penokohan Mas Karyo. Ia memiliki karakter lebih tenang daripada tokoh Mandra yang ekspresif. Namun ketenangan tokoh Mas Karyo cenderung oportunis, dia selalu memanfaatkan kesempatan yang dapat diambilnya. Dia juga pintar menyembunyikan isi hati dan pikirannya. Bagi sebagian penonton hal ini dapat dinilai sebagai kebohongan dan kemunafikan. Para Pencari Tuhan Jilid 6 Perundungan bahasa daerah melalui penuturan logat terjadi juga pada tokoh Pak RW dalam sinetron Para Pencari Tuhan. Pak RW digambarkan sebagai tokoh yang tamak dan culas. Penggunaan logat Jawa melalui tokoh Pak RW terlihat jelas sekali. Penggunaan kata sampeyan kamu menegaskan asal tokoh Pak RW. Kemudian, makian kata wedhus kambing juga seringkali terlontar melalui mulutnya. Hal-hal semacam inilah yang menimbulkan dampak negatif terhadap citra penutur asli dialek tersebut. Berikut adalah salah satu petikan dialog Para Pencari Tuhan Jilid 6 . Pak RT : Mau dijawab gak nih, lama-lama Bang Jack bisa ngamuk kalau gak diangkat. Pak RW : Semua sudah ndhak penting Pak RT : Saya yang njawab ya? Pak RW : Satu patah kata dari mulut sampeyn... Pak RT : Tahu ah Hakim : Kopinya gak diminum, Pak? Saya minum yah? Pak RW : Sekalian aja ambil ama taplaknya, Kim, bawa pulang Kalau masih kurang, cabut pager rumah saya buat oleh-oleh orang di rumah Hakim : Ya elah gak ngenakin orang hidup. Bilang, aja, gak boleh Ngeselin banget sih jadi orang. Pak RT : Gimana kalao jadi jin? Lebih ngeselin lagi kali ye? Pak RW : Pak RT mau fotokopi surat nikah saya? Atau mau cetak foto istri saya? Nanti saya bikinin, sekalian saya kasih bingkai. 477 Pak RT : Lu kenapa sih? Kalau mau bete, bete aja sendiri jangan ngajakin orang Sumber: www.youtube.com Dialog Pak RW Idrus, Pak RT Yos, dan bendahara kampung Hakim menunjukkan latar belakang masing-masing tokoh tersebut. Di antara ketiganya Pak RW-lah yang memiliki latar belakang dari Jawa. Penggunaan kata sampeyan dan gaya berbicara yang menggunakan logat bahasa Jawa menunjukkan hal tersebut. Selain itu, penyingkatan kata tidak menjadi ndhak juga menegaskan hal tersebut. Dalam sinetron ini Pak RW yang menjadi pemimpin, tokoh paling culas dalam sinetron tersebut. Ia yang paling gencar memengaruhi Pak RT dan bendahara kampung untuk berbuat curang dan mengambil untung sendiri. Sifat Pak RW dan Mas Karyo yang bertujuan merefleksikan karakter Jawa dengan penggunaan logat Jawa ini memiliki kesamaan. Namun, apakah sifat tersebut benar-benar refleksi budaya Jawa? Sungguh sangat mengkhawatirkan jika pencitraan buruk tentang orang Jawa terus dilakukan oleh pekerja sinetron. Masyarakat yang melihat tayangan ini akan mendapat pengaruh dengan pencitraan buruk tentang orang Jawa tersebut. Cinta Fitri Sinetron Cintra Fitri memiliki alur cerita yang bercabang dan sangat panjang. Namun, sinetron ini memiliki rating jumlah penonton yang cukup banyak. Dalam 4 tahun, Cinta Fitri telah dibuat dalam 7 sekuel dan 1002 episode. Berikut adalah petikan dialog Cintra Fitri . Farel : Ini cuma bercanda, kok . Fitri : Kok bercanda, piye ta? Farel : Kamu jangan bikin malu, dong. Kalau kamu gak bisa bayar, ya aku yang bayar Fitri : Bapak yang bayar? Kalau gitu saya pesen lagi ya buat dibawa pulang? Farel : Kamu jangan norak gitu dong, Fit Makannya jangan bunyi . Farel : Ini sih gak ada apa-apanya. Paling cuma pepsi-pepsi doang. Fitri : Pepsi apaan? Farel : Pepsi itu bikin hati tenang. Tapi kalau orang kampung sih gak bakalan minum ini. Fitri : Bapak kok ngatain saya kampungan? Farel : Buktinya kamu gak berani minum ini Sumber: www.youtube.com Dialog antara Farel dan Fitri ini menunjukkan karakteristik tokoh Fitri. Tokoh Fitri diceritakan berasal dari Jawa Jawa Tengah, tepatnya Wonogiri. Hal ini terlihat pada penggunaan frasa piye ta dan logat Jawa yang mencoba difasihkan medok dalam bahasa Jawa. Meskipun memiliki hati dan kepribadian yang baik, Fitri adalah orang kampung yang lugu dan polos. Ia tidak mengetahui perbedaan minuman bersoda dan minuman keras. Ia juga memiliki banyak kelemahan lainnya. Oleh karena itu, ia menjadi tokoh yang paling mudah dibohongi dan dianiaya dalam sinetron tersebut. Bagi mereka yang memahami tentu saja banyak yang tidak setuju. Namun, bagi mereka yang tidak, hal ini bukan informasi dan gambaran yang baik tentang orang Jawa. Di sinilah perundungan unsur lokalitas terjadi, meskipun tidak dapat dipungkiri dari mana pun ia berasal, selalu ada orang dengan karakter dan sifat demikian. 3 Semprul Mendadak Jadi Jutawan dan 3 Semprul Pelayan Kheki Sinetron ini termasuk dalam sinetron komedi. Terdiri dari 2 sekuel, yaitu 3 Semprul Mendadak Jadi Jutawan dan 3 Semprul Pelayan Kheki . Secara garis besar, kisahnya tentang 3 orang pemuda yang sedang mencari pekerjaan. Sinetron ini diperankan oleh Gading Marten, Narji, dan Andhika Partama. Tokoh yang menggunakan bahasa Indonesia logat Tegal yaitu Narji. Berikut dialog dalam salah satu adengan 3 Semprul Pelayan Kheki yang menggunakan bahasa Indonesia logat Tegal. Narji : Kata idola inyong Bang Haji nyari musuh lebih gampang dari nyari kerjaan. Mudah- mudah di tempat ini ada lowongan. Pak e, Buk e, doain inyong, biar inyong dapet kerja. Inyong gak muluk-muluk, jadi manajer inyong juga iklas. Misi, Pak e, apa di sini ada lowongan kerja? Satpam : Gak ada. Narji : Masak sih gak ada lowongan buat inyong? Satpam : Iya, gak ada 478 Narji : Yang bener pake? Satpam : Saya bilang gak ada, ya, gak ada. Sudah, sana pergi Tokoh Narji berpostur tubuh pendek dan gemuk. Paras mukanya tidak rupawan. Secara keseluruhan, ia tidak memiliki penampilan yang menawan. Dibandingkan kedua temannya yang ganteng, penampilannya sangat kontras. Tokoh Narji menuturkan dialek Tegal, sementara kedua temannya menuturkan bahasa Indonesia dengan gaya Jakarta. Penyebutan kata Pak e, Buk e, dan inyong pada dialog I menegaskan latar belakang daerah Narji. Sedangkan dialog II menggambarkan keadaan fisiknya yang tidak ganteng. Perundungan ini terjadi pada penokohan karakter Narji. Dialek Tegal sebenarnya telah banyak digunakan oleh beberapa artis. Bahkan dialek ini menjadi identitas mereka setiapkali tampil di televisi. Misalnya tokoh Parto dari grup lawak Patrio, Cici Tegal, Kartika dari Pesbukers, atau tokoh Indro dalam film-film Warkop. Dialek ini menjadi sangat populer di antara dialek-dialek lainnya di Indonesia. Namun, hampir semua artis yang menuturkan dialek tersebut menjadikannya sebagai bahan olok-olokan maupun tertawaan. Di sinilah perundungan logat bahasa ini juga terjadi.

3. Penutup