Paradigma Kebudayaan Berbasis Nilai-Nilai Filsafat Hidup Piil Pesenggiri

Himyari Yusuf, Dimensi Aksiologis ... 293 arah yang jelas. Strategi pengembangan kebudayaan harus ditujukan kepada sikap keterbukaan terhadap kebudayaan dan agama agar keduanya dapat saling menerima dan memberi. Konsekuensi logis dari sikap keterbukaan semacam itu adalah keharusan untuk mendudukkan agama Islam sebagai faktor penghubung dan melayani semua sistem budaya yang bersifat lokal termasuk local wisdom masyarakat Lampung serta menumbuhkan universalitas pandangan baru yang tanpa tercerabut dari akar kesejarahannya masing-masing. Apapun upaya yang dilakukan dalam rangka pengembangan kebudayaan, fokus utama yang tidak dapat diabaikan adalah bentuk kebudayaan yang berdasarkan nilai-nilai fundamental kemanusiaan yang tidak tercerabut dari nilai-nilai agama ketuhanan religius dan berfungsi untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sehingga tampilan kebudayaan adalah untuk ‘memanusiakan’ manusia.

2. Paradigma Kebudayaan Berbasis Nilai-Nilai Filsafat Hidup Piil Pesenggiri

Paradigma kebudayaan yang berbasis nilai-nilai filsafat hidup Piil Pesenggiri tentunya sangat berbeda dengan paradigma kebudayaan modern yang berbasis materialisme dan kapitalisme. Paradigma kebudayaan yang dimaksud adalah yang sepenuhnya berdasarkan dan relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara totalitas. Dalam hal ini Kuhn 2002: 44 mengemukakan jika suatu paradigma bertentangan dengan karakteristik dan hati nurani manusia, maka dapat menimbulkan ketidakserasian dan ketidakse- imbangan dalam kehidupan dan peradaban manusia. Hal mana dijelaskan pula oleh Tjokrowinoto 2001: 53 bahwa peradaban dan kepribadian yang berkualitas adalah meliputi berbagai bidang dalam kehidupan, antara lain seperti religiusitas dan moralitas, penghayat- an wawasan kebangsaan, kemandirian, kreatifitas dan sebagainya. Pengembangan aspek-aspek kepribadian seperti aktifitas, kemandirian, ketahanan mental, etos kerja yang baik, hendaknya diletakkan dalam konteks religiusitas dan moralitas serta penghayatan akan wawasan kebangsaan. Secara reflektif pandangan ini mengisyaratkan bahwa paradigma kebudayaan yang menjadikan nilai-nilai religiusitas dan moralitas, tampilan kebudayaan akan menampakkan perilaku kehidupan manusia atau masyarakat yang penuh kepedulian bahkan rasa kasih sayang terhadap sesama manusia. Berwawasan kebangsaan yang baik berarti ada suatu kepedulian terhadap realitas kesemestaan, baik terhadap problem Jurnal Filsafat Vol.20, Nomor 3, Desember 2010 294 kemanusiaan sebagai makhluk mikrokosmos maupun terhadap problem alam lingkungan atau makro kosmos suatu kebudayaan yang didasari oleh rasa cinta. Perilaku yang menampilkan rasa kepedulian terhadap seluruh realitas kesemestaan selanjutnya akan dialami dan dirasakan oleh setiap individu maupun masyarakat dalam tampilan kehidupan yang harmonis yang penuh dengan cinta, kasih dan sayang, sehingga tidak ada manusia atau masyarakat yang merasa terancam kehidupannya dari kerakusan dan ketamakan materialisme, kapitalisme yang egoisme dan individualisme. Jadi, paradigma kebudayaan yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana nilai-nilai yang terkandung di dalam filsafat hidup Piil Pesenggiri pasti akan menampakkan keharmonis- an hidup, baik terhadap sesama manusia, terhadap alam lingkungan dan juga terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 3. Politik Kepemimpinan dan Strategi Pengembangan Kebudayaan Daerah Lampung yang Berbasis Nilai-Nilai Filsafat Hidup Piil Pesenggiri Filsafat hidup Piil Pesenggiri juga berbicara tentang politik kepemimpinan pemegang kekuasaan. Hal ini dapat dilihat pada pasal Prilaku Penyimbang dalam kitab Kuntara Radjaniti bahwa ada beberapa pasal yang menjelaskan: “1 Prilaku penyimbang memelihara anak buah masyarakatnya, 2 Jangan kurang hidmat sejangka zaman, 3 Jangan kurang hati-hati sebelum mati, 4 Jangan kurang hati-hati melaksanakan budi, 5 Karena tujuh sebab yang merusak negeri, yaitu wanita atau gadis, uang, makanan, tanam tumbuhan, matapencarian dan kelakuan.” Kalimat-kalimat dalam pasal tersebut secara filosofis dapat diinterpretasikan sebagai berikut; kalimat pertama secara singkat mengandung arti seorang pemimpin penyimbang harus memiliki kemampuan yang berkualitas tinggi sebagai dasar untuk memberikan kepeloporan dan kepengayoman serta keteladanan yang baik pada masyarakat yang dipimpinnya. Kalimat kedua mengandung makna bahwa pemimpin penyimbang harus memiliki kemampuan dalam memahami apa yang menjadi keinginan dan cita-cita luhur masyarakat, serta harus memiliki jiwa patriotisme dan rela berkorban dalam berjuang untuk mewujudkan masyarakat yang tentram damai dan sejahtera sesuai dengan cita-cita dan tujuan hidup manusia. Selain itu sikap kepeloporan tentunya harus dibarengi dengan kemampuan intelektual dan moral yang Himyari Yusuf, Dimensi Aksiologis ... 295 berkualitas, dalam arti seorang pemimpin harus memiliki integritas religiusitas, spiritualitas, moralitas dan intelektualitas serta komitmen semacam itu harus dijalankan secara konsekuen sebagai panggilan suci dan penuh dengan tanggungjawab. Kalimat ketiga mengandung makna seorang pemimpin harus berhati-hati dalam menetapkan suatu kebijakan, karena setiap kebijakan akan membawa konsekuensi baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhan pemimpin harus moralis dan teologis. Kalimat keempat mengandung makna bahwa pemimpin harus menjaga moralitas agar tidak terjebak dalam prilaku yang tidak baik, sehingga masuk dalam ranah kejahatan. Kalimat kelima menunjukkan beberapa contoh yang dapat merusak kehidupan masyarakat jika pemimpin penyimbang tidak dapat menjaga dan melaksanakan empat ketentuan sebelumnya, misalnya pemimpin tidak dapat mewujudkan kebersamaan, berperilaku yang tidak berkeadilan dan tidak memberikan kepeloporan, keteladanan dan tidak memahami keinginan dan cita-cita luhur masyarakat. Jadi aktualisasi politik kepemimpinan sangatlah urgen sebagai strategi pengembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat yang berbasis nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam filsafat hidup Piil Pesenggiri. Untuk menciptakan kebudayaan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut, secara kausalitas sangat tergantung pada model politik para pemimpin yang mengedepankan asas musyawarah dan mufakat yang dalam filsafat hidup Piil Pesenggiri disebut sebagai kongkretisasi nilai keseimbangan dan kewibawaan. Nilai keseimbangan artinya tidak berfokus pada kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, melainkan untuk kebersamaan dan keadilan yang berkeseimbangan. Nilai kewibawaan artinya seorang pemimpin harus mampu memahami eksistensi diri yang dikelilingi oleh berbagai realitas yang dipimpin, maka pemimpin harus memiliki kemampuan, baik kemampuan lahiriah maupun batiniah.

4. Politik Ekonomi dan Strategi Pengembangan Kebudayaan