Hubungan Frekuensi Makan Jajan di Luar Rumah dengan Kejadian Gizi Lebih pada Mahasiswi di Surakarta

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

SD

18
39
146
16

23
79
165
31

19,56
57,11
156,42
23,29

1,18
10,10

4, 666
3,80

Sumber: Data Primer (2015)
Berdasarkan Tabel 3 diketa hui bahwa
rata-rata responden berumur 19 tahun, rata-rata
berat badan 57,11 kg, rata-rata tinggi badan
156,42 cm, dan rata-rata indeks massa tubuhnya
23,29. Rata-rata responden dalam penelitian ini
berada pada tahapan remaja akhir, rentang 17 –
21 tahun (WHO, 2005). Adapun dari IMT
menunjukkan rata-rata berada pada kate gor i
overweight untuk penduduk As ia (WHO, 2000).
b. Status gizi mahasiswi
Tabel 2 Karakteristik Status Gizi mahasiswi
Status Gizi
Kurus
Normal
Over Weight
Obese 1

Obese 2
Jumlah

Frekuensi
4
20
12
15
4
55

%
7,3%
36,4%
21,8%
27,3%
7,3%
100,0

Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa responden
dengan Status Gizi lebih yang merupakan
gabungan dari overweight, obese 1 dan obese 2
adalah 56,4%. Hal ini menunjukkan bahwa
separoh dari responden penelitian ini berada
pada status gizi lebih.
c. Frekuensi makan
Tabel 3 Distribusi Frekuensi makan
Frekuensi makan
1 x sehari
2 x sehari
3 x sehari
Jumlah

Frekuensi
1
26
28
55


Sumber: Data Primer (2015)

%
1.8%
47.3%
50.9%
100,0

Frekuensi makan
Tidak pernah
2 – 3 kali per bulan
Sekali seminggu
2-3 kali perminggu
Hampir setiap hari
Setiap hari
Jumlah

Frekuensi
1
3

7
14
24
6
55

%
1.8%
5.5%
12.7%
25.5%
43.6%
10.9%
100,0%

Sumber: Data Primer (2015)
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa
proporsi terbesar fre kuensi makan di luar rumah
responden adalah hampir setiap hari (43,6%).
Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa

makan di luar rumah cenderung menjadi trend
masyara kat perkotaan. Makanan jalanan
mewakili bagian penting dari konsumsi pangan
di perkotaan untuk jutaan konsumen masyarakat
menengah ke bawah setiap harinya. Makanan
jalanan merupakan cara yang paling murah dan
paling mudah untuk mendapatkan makanan d i
luar rumah (FAO, 2015).
e. Hubungan Frekuensi Kebiasaan Makan Ja jan
di Luar Rumah dengan Kejadian Gizi Lebih
Tabel 5 Hubungan Frekuensi Kebiasaan Makan
Jajan di Luar Rumah dengan Kejadian
GiziLebih
Frekuen
si
Makan
di Luar
Rumah
2-3 kali
per

Minggu
atau
Jarang
Hampir
atau
Setiap
Hari
Total

Status Gizi

Normal
atau
Kurus

Overwei
ght atau
Obese
I/II


15

10

25

60.00
%

40.00%

100%

9

21

30

30.00

%

70.00%

100%

31

55

56.40%

100%

24
43.60
%

OR
(95% CI)


Mean

55
55
55
55

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa
proporsi terbesar frekuensi makan responden
adalah 3 kali (50,9%)
d. Frekuensi makan di Luar Rumah
Tabel 4 Distribusi Frekuensi makan di luar
rumah

p value

Max

Umur

BB
TB
IMT
Jumlah

Min

Karakteristik
Responden

N

HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
a. Karakteristik Subyek Penelitian
Setelah dilakukan pengambilan data
dengan
menggunakan wawancara
recall
konsumsi 24 jam dan lembar kuesioner pada
setiap responden se banyak 55 mahas iswi, hasil
analisa univariatnya dapat disajikan dalam
bentuk sebagai berikut
Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden

Total

ISSN 2407-9189

0.025

3,5
(1.110.7)

Sumber: Data Primer (2015)
Berdasarkan tabel 5 distribusi diketa hui
bahwa pada responden dengan status gizi
normal atau kurus proporsi frekuensi makan d i
luar rumah 2-3 kali per Minggu atau Jarang (60
%) lebih besar dari proporsi frekuensi hampir
atau setiap hari (30 %). Adapun responden
383

ISSN 2407-9189

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

dengan status gizi Overweight atau Obese I/II
proporsi frekuensi makan di luar rumah 2-3 kali
per Minggu atau Jarang (40.0%) lebih kec il dar i
proporsi frekuensi hampir atau setiap hari (70
%). Dari uji Chi Square diperoleh nilai p value
0,025, yang berarti ada hubungan yang
signifikan antara frekuensi kebiasaan makan d i
luar rumah dengan kejadian gizi lebih. Adapun
nilai OR 3,5 berarti peluang untuk makan di luar
rumah hampir setiap hari atau setiap hari pada
responden kelompok overweight/obese I dan II
adalah 3,5 kali dari kelompok responden normal
atau kurus.
PEMBAHASAN
Dari uji Chi Square diperoleh nilai p
0,025, sehingga Ha diterima dan Ho ditolak
yang berarti ada hubungan yang signifikan
antara frekuensi kebiasaan makan di luar rumah
dengan kejadian gizi lebih. Menurut Steyn,
Demetre, Johanna (2011) Status sosial ekonomi
berkaitan dengan kebiasaan makan di luar
rumah karena mempunyai peranan penting
dalam konsumsi makanan jajan. Karyawan
pekerja memiliki asupan makanan siap saji yang
lebih tinggi yang merefleksikan gaya makanan
barat. Jarak rumah para karyawan pekerja dan
tempat bekerja yang mempunyai jarak tempuh
jauh menyebabkan kecenderungan untuk makan
di luar rumah dikarenakan mudah di dapat, siap
saji, biaya relatif murah untuk bisa memenuh i
kebutuhan.
Seorang yang mempunyai kebiasaa n
makan di luar rumah yang sering, maka semakin
meningkat
kejadian terjadinya
obes itas.
Penelitian yang dilakukan oleh Appelhans, dkk
(2012) juga diperoleh has il bahwa pada wanita
yang mengalami overweight dan obesitas
memiliki hubungan yang erat dengan tingginya
asupan energy yang diperoleh dari makan d i
luar rumah dan makanan siap sa ji.
Menurut Musaiger (2011) di banyak
Negara jumlah makanan yang dijual di luar
rumah mengalami peningkata n. Di Syria
sebagai contoh diperoleh hasil penelitian 67,4%
remaja laki laki usia 13-18 tahun biasa makan di
luar rumah sedangkan pada wanita 54,5%.
Tidak ada perbedaan yang signifikan diantara
yang tinggal di perkotaan (60,1%) dan pedesaan
(58,9%). Makanan yang dimakan di luar rumah
sebagian besar tinggi kalori, tinggi dalam tota l
kalori, total lemak, lemak jenuh, kolesterol, dan
natrium tetapi sedikit calcium dan serat.
384

Pola konsumsi makanan tinggi lemak
dan kalori dan gaya hidup sedentary memainkan
peranan penting dalam peningkatan kejadian
obes itas. Adanya tren konsumsi makanan siap
saji terutama di kalangan anak dan re maja, turut
berkontribusi dalam meningkatkan intake e nergi
dan konse kuensinya adalah peningkatan resiko
kelebihan berat badan.
Makanan yang dimakan di luar rumah
sebagian besar tinggi energi, tinggi dalam tota l
energi, total lemak, lemak jenuh, koles terol, dan
natrium tetapi se dikit calcium dan serat.
Peningkata n frekuensi makan di luar rumah
seperti di rumah makan kemungkinan
dipengaruhi beberapa faktor diantaranya
(1)Banyak wanita yang bekerja sehingga
mereka tidak memiliki waktu untuk
menyiapkan makan di rumah.
(2)Peningkata n income perkapita
(3)Kurangnya tempat tempat untuk rekreasi
menjadikan restoran sebagai alternatif
favorit untuk menghabiskan waktu di akhir
pecan dan hari libur bersama keluarga.
Hubungan frekuensi kebiasaan makan d i
luar rumah dengan kejadian gizi Lebih yang
signifikan juga didukung hasil penelitian in i
yang menunjukkan bahwa semakin tinggi
asupan energi yang berlebih ada kecenderungan
semakin mendekati status gizi overweight ata u
obese, dengan hasil uji Chi Square diperoleh
nilai p 0,055. Apapun penyebab dasarnya,
faktor etiologi primer dari obes itas adalah
konsumsi energi yang berlebihan dari energi
yang dibutuhkan dalam wa ktu lama (Ha nim,
2004). Menurut Steyn et al.(2011), makanan d i
luar rumah secara umum sa ngat terjangkau dan
memiliki energi yang tinggi se hingga
merupakan pilihan utama bagi masyarakat
dengan ekonomi
lemah dalam memenuhi
kebutuhan makannya.
Di se luruh dunia ukuran porsi makanan jajanan
yang dijual di luar rumah telah mengalam i
peningkatan baik pada jenis makanan kemasa n
yang siap dimakan maupun makanan yang
dijual di warung atau rumah makan, sebagai
contoh pada tahun 1916 botol soft drink dijua l
dalam kemasan 5-6 oz. Pada tahun 1950
meningkat menjadi 10-12 oz. Sekarang soft
drink untuk konsumsi individu dijual dalam
kemasan botol 20 ata u 32 oz. Restoran restoran
fast food biasanya ditawarkan dalam ukuran
porsi yang beragam. Mulai dari ukuran kecil
sampai ukuran porsi super. Hasil penelitian
yang telah dilakukan di antara mahas iswa
Quwait
diperoleh kes impulan konsums i

ISSN 2407-9189

makanan siap sa ji secara rutin merupakanfaktor
prediktor untuk terjadinya obes itas (Musa iger,
2011).
SIMPULAN
Kesimpulan
Terdapat hubungan antara kebiasaan makan
jajan di luar rumah dengan kejadian gizi lebih
pada mahasiswi di Surakarta. Semakin sering
frekuensi makan di luar rumah maka semakin
besar risiko kejadian gizi lebih pada mahasisw i
di Surakarta (OR=3.5).
Saran
1. Bagi institusi pendidikan (a) perlu
melakukan pemantauan status gizi pada
mahasiswinya secara periodik sebagai
usaha untuk mengendalikan jumlah
mahasiswa yang mengalami gizi lebih. (b)
perlu menyediakan kantin yang menjual
makanan
maupun
minuman
yang
memperhatikan keseimbangan gizi dan
membatasi penjualan
makanan dan
minuman yang tidak memiliki nilai gizi.
2. Bagi
Mahasiswi
diharapkan
dapat
melakukan pemantauan status gizi secara
mandiri dan dapat mengurangi frekuensi
makan di luar rumah, se bagai upaya
pengendalian gizi lebih.
C. REFERENSI
Appelhans, B.M. 2012. Delay discounting and
intake of readystoseat and awaysfroms
home foods in overweight and obese
woman, NIH Public Access Author
Manuscript Acce pted for publication in
a peer reviewed journal.
Balitbang Ke menkes RI. 2013. Riset Kesehatan
Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI
Bilaver, L.A. 2009. The Causal Effect of Family
Income on Childhood Obesity.Health
Economics Workshop May 14. Colorado

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

Fryar, C.D., Gu, Q., dan Ogden, L.C., 2012,
Anthropometric Reference Data for
Children and Adults, Vital and Health
Statistics, 11, 1-40.
Hanim, D. 200k. Cost Effectiveness of Medical
Nutrition Therapy = Nutrition Related
Diseases Condition and Their Cost =
(Case Study : Obesity and this
Complication). Program Studi Gizi
Masyarakat Sekolah Pasca Sarjana
Institute Pertanian Bogor.
Hidayat. A.A.A. 2007. Metode Penelitian
Keperawatan dan Tekhnik Analisa Data.
Jakarta: Salemba Medika
Mahan LK and Escott-Stump S., 2008.
Weight management. In: Mahan LK,
Escott-Stump S., eds. Krause’s Food
& Nutrition Therapy. 12th ed. St.
Louis: Saunders Elsevier, 532-562.
Musaiger, A.O. 2011.Overweight and Obesity
in Eastern Mediterranean Region:
Prevalence and Possible Causes,
Hindawi
Publishing
Corporation
Journal of Obesity Volume 2011,
article ID k07237, 17 pages
Ogden, C.L and Katherine M.F. 2010.Change in
Terminology for Childhood Overweight
and Obesity. U.S. Departement of Health
and Human Services.Centers for Disease
Control and Prevention. National Center
For Health Statistic.
Steyn, N.P, De metre dan Johanne. 2011.
Factors
which
Influence
The
Consumption of Street Foods and Fast
Foods in South Africa-A NationalSurvey,
Nutrition Journal, volume 10: 104, Cape
Town.
WHO. 2005. Nutrition and Ad olescence Issues
and Challenges for the Health Sector,
Wo rld Health Organisation. Genewa.

385

ISSN 2407-9189

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

PERBANDINGAN LAMA NALA II DAN BERAT BADAN LAHIR
TERHADAP NEJADIAN RUPTUR PERINEUM
Nor Asiyah
Jurusan Kebidanan, STIKES Muhammadiyah Kudus
norasiyah@stikesmuhkudus.ac.id

ABSTRACT
Rupture of the perineum is the result of experience faced by the mother who gave birth
normally. Mothers with delivery too fast, big babies, infants with mal presentation, the
narrow pubic arch, rigid perineum and labor leaders that one can lead to rupture of the
perineum. This research aims to compare the old and the second stage of birth weight on
the rupture of the perineum in the supine position and push the combination (oblique and
semi-sitting). This study was cross-sectional study conducted in population of all mothers
who gave birth at the Maternity Hospital (RB) Fatimah and Private Practice Midwife
Kasmanita that fulfill the inclusion and exclusion criteria. Number of respondents were 40.
The collected data were tested for normality of data and the Mann-Whitney test. The result
of the comparison between the stage II with p value = 0.034 or p 0.05 so there is no relationship between the incidence of
rupture with birth weight in push of the supine position and combination. Conclusion: new
born birth weight does not directly affect the perineum rupture, while the long time of
second stage directly influence the rupture of the perineum in a position to push between
supine and combinations.
Keywords: The time of stage II, new baby birth weight, Rupture of the perineum accident.
PENDAHULUAN
pengalaman penolong persalinan, kala II
duptur perineum merupakan akibat yang berkepanjangan, nullipara, posisi
yang sering dialami oleh ibu yang oksipital melintang atau di belakang, usia
melahirkan secara normal pervaginam. Ibu- ibu hamil kurang dari 21 tahun, ukuran
ibu dengan persalinan yang terlalu cepat, berat lahir dan penggunaan oksitosin.3
Berat badan lahir normalnya antara
bayi yang besar, bayi dengan mal
presentasi, arkus pubis ibu yang sempit, 2500 gram sampai 4000 gram. Meskipun
perineum kaku dan pimpinan persalinan berat badan bayi baru lahir termasuk
yang salah dapat mengakibatkan ruptur kategori normal tetapi hal ini dapat
perineum. Umumnya ibu akan merasa mengakibatkan terjadinya ruptur pada
sangat khawatir apabila terjadi hal itu perineum ibu bersalin. Hasil survai yang
karena memerlukan tindakan perbaikan dilakukan di BPM Kasmanita pada bulan
Pebruari 2015 didapatkan hasil dari 8 ibu
luka yang dapat menimbulkan nyeri.1,2
faktor-faktor yang mempengaruhi yang melahirkan dengan berat bayi normal
robekan perineum derajat 3 adalah 2 ibu mengalami ruptur perineum derajat 2,
episiotomi rutin secara mediolateral, posisi 4 ibu mengalami ruptur perineum derajat 1
mengejan litotomi, persalinan dengan dan 2 ibu mengalami perineum intake
tindakan
vakum
ataupun
forsep, (Utuh).

374

ISSN 2407-9189

Posisi telentang adalah posisi dimana
ibu bersalin saat mengejan tubuh bagian
depan menghadap keatas. Posisi kombinasi
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
gabungan antara dua posisi yaitu pada saat
mengejan ibu menggunakan posisi miring
sampai kepala janin mulai membuka vulva
kemudian pada saat ekspulsi kepala janin
ibu menggunakan posisi semi- duduk.4
Literatur
review
Cochrane
membandingkan posisi telentang dengan
posisi lain pada kala II persalinan.
Hasilnya, pada posisi miring dan tegak
lama kala II lebih pendek, tindakan
episiotomi berkurang, kejadian ruptur
perineum derajat dua sedikit, meningkatkan
risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml,
dan mengurangi sakit pada saat mengejan.5
Bersalin dengan posisi tegak atau
berbaring miring lebih banyak keuntungan
dibandingkan dengan posisi telentang atau
litotomi yaitu meliputi kala dua lebih
pendek, laserasi perineum lebih sedikit dan
mengurangi nyeri.5 Posisi yang berubahubah sesuai keinginan pasien akan
menambah kenyamanan dan membantu
penurunan bayi. Tidak ada salah satu posisi
yang bisa dikatakan sebagai posisi terbaik
bagi ibu dan bayi, setiap posisi mempunyai
kelebihan
dan
kekurangan
yang
kemungkinan dapat membantu dalam
situasi yang berbeda.6
Hasil studi pendahuluan yang
dilakukan terhadap 7 Bidan Praktik
Swasta(BPS) di 4 kecamatan didapatkan
hasil
lebih
banyak
bidan
yang
menganjurkan
pasien
dalam
posisi
telentang saat mengejan yaitu sebanyak 5
bidan (71%) dari pada bidan yang
menganjurkan pasien menggunakan posisi
kombinasi saat mengejan yaitu sebanyak 2
bidan (29%).
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbandingan lama kala II dan
berat badan lahir terhadap kejadian ruptur
perineum pada posisi mengejan antara

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

telentang dan
mengejan.

kombinasi

pada

saat

METODE
dancangan penelitian ini adalah
analitik komparatif dengan pendekatan
prospektif, yaitu pengambilan data di mulai
pada saat pembukaan serviks lengkap dan
pasien mulai dipimpin mengejan sampai
tahap pemeriksaan laserasi jalan lahir pada
langkah APN. Populasi target dalam
penelitian ini adalah semua ibu yang
bersalin. Populasi terjangkau dalam
penelitian ini adalah semua ibu yang
bersalin dengan posisi telentang di dB
Fatimah, dengan alamat Jl. Agil
Kusumadiya Gg. Sempalan Jati Kulon 3/3
Kudus, serta ibu yang bersalin yang
menggunakan posisi kombinasi miring dan
semi-duduk,di BPS Kasmanita dengan
alamat Desa Peganjaran 3/2 Kecamatan Bae
Kabupaten.
Tehnik sampling dengan
consecutive sampling yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi dengan ukuran
sampel 20 per kelompok. Untuk lama kala
II terhadap kejadian ruptur perineum, data
yang terkumpul dilakukan uji mannWhitney
karena jenis penelitiannya
komparatif
dua
kelompok
tidak
berpasangan
dengan
skala
ordinal,
sedangkan untuk Berat Badan Lahir
terhadap kejadian ruptur perineum, data
yang terkumpul dilakukan dengan uji Exac
Fisher dikarenakan skalanya kategorik
(nominal atau ordinal).7
Hasil
Tabel 4.1 Narakteristik Responden.
Karakteristik
1.

2.

Paritas
a. 2
b. 3
c. 4
Usia Ibu (th)

Posisi mengejan
Telentang Kombina
(n=20)
si (n=20)
16
4
0

16
2
2

Nilai
p*)
0,26
4
0,93

375

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

ISSN 2407-9189

3.

4.

5.

a. ≤ 25
b. 26-30
c. ˃ 30
diwayat
duptur
a. dobek
b. Utuh
Pendidikan
Ibu
a. SD
b. SMP
c. SMA
d. S1
Pekerjaan Ibu
a. IdT
b. Bekerja

5
7
8

5
8
7

19
1

19
1

4
6
9
1

3
7
8
2

8
12

9
11

6
1,0

0,89
4

0,74
9

1. Analisis Univariat
Analisis
yang digunakan
untuk
menggambarkan tiap variabel yang diteliti
dengan menggunakan distribusi frekuensi,
adapun variabel yang di teliti adalah lama
kala II, berat badan lahir dengan kejadian
ruptur pada ibu bersalin dengan posisi
mengejan antara telentang dan kombinasi.
a. Lama kala II
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Lama
Nala II

376

b. Berat Badan Lahir
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berat
Badan Lahir

Hasil penelitian posisi mengejan telentang
dan kombinasi dengan lama kala II yang di
tunjukkan pada tabel 1 adalah karakteristik
subjek pada kedua kelompok tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna karena semua nilai p ˃0,05;
berdasarkan homogenitas subjek, maka data
dapat diperbandingkan.

Lama
kala II
≤ 20
Menit
˃ 20
Menit
Total

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa
lama kala II ≤ 20 Menit lebih banyak (75%)
dari pada yang lama kala II > 20 Menit
(25%)

Frekuensi Prosentase
(%)
30
75
10

25

40

100

Berat
Badan
Lahir
< 3 Kg
≥3 Kg
Total

Frekuensi

Prosentase
(%)

6
34
40

15
85
100

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa berat
badan bayi baru lahir yang memiliki berat
≥3 Kg lebih banyak (85 %) dari pada bayi
yang memiliki berat badan kurang dari 3 kg
(15%).
c. Nejadian Ruptur Perineum
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Nejadian
Ruptur Perineum
Nejadian
Ruptur
Perineum
Derajat 2
Derajat 1
Utuh
Total

Frekuensi Prosenta
se (%)
25
8
7
40

62,5
20
17,5
100

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa
kejadian ruptur perineum derajat 2 lebih
banyak (62,5 %) dari pada yang utuh
(17,5%).
2. Analisis bivariabel
Analisis data yang didapat dari berat
badan bayi baru lahir terhadap kejadian
ruptur perineum pada posisi mengejan

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

ISSN 2407-9189

antara telentang dan kombinasi pada ibu
bersalin sebagai berikut:
1) Perbandingan lama kala II dan Berat
Badan Lahir terhadap kejadian
ruptur perineum
Tabel 4.5 Perbandingan lama kala II dan
Berat Badan Lahir terhadap kejadian
ruptur perineum
Faktor yang
mempengar
uhi
1. Lama
kala II
(nmt)
a. Mean
SD)
b. Median
c. dentang
2. Berat
Badan
Lahir
(kg)
a. ˂ 3
b. ≥ 3

Kejadian duptur
duptu
Utuh
r
(n=7)
(n=33)

14,91
(7,92)
15
3-40

27,71
(14,83)
31
10-45

Nilai
uji

Nilai
p

Z m-w
=
2,129

0,034

1
6

*): Exac Fisher
Berdasarkan uji Mann -Whitney
didapatkan nilai p value 0,034 atau p < 0,05
sehingga sangat bermakna antara lama kala
II dengan kejadian ruptur perineum.
Sedangkan untuk Berat Badan Lahir dengan
uji exac Fisher menunjukkan tidak ada
hubungannya dengan kejadian ruptur
perineum.
2) Perbandingan Berat Badan Lahir
dengan posisi Mengejan
Tabel 4.6 Perbandingan Berat Badan
Lahir dengan posisi Mengejan
BBL
(Kg)
˂3
≥3

Posisi Mengejan
T elentang
(n=20)
1
19

Kombinasi
(n=20)
5
15

3,4 (0,33)

3,165(0,27)

2,6-4,0

2,75-3,7

2,486

0,017

Ket *) : Uji t data independen

Berdasarkan tabel diatas pada posisi
telentang Berat Badan Lahir Bayi lebih
tinggi.
3) Norelasi antara Lama Nala II dengan
Berat Badan Lahir (BBL) Bayi.
Korelasi antara lama kala II dengan
Berat Badan Lahir bayi pada posisi
mengejan antara telentang dan kombinasi
pada ibu bersalin dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 4. 7 Norelasi antara Lama Nala II
dengan Berat Badan Lahir (BBL) Bayi.

0,500
*)
5
28

Mean
(SD)
dent ang

T
Hitung*)

Nilai p

Korelasi antara lama kala II
dengan BBL
rs
Nilai p
Telentang (n= 20)
0,117
0,623
Kombinasi (n= 20)
0,247
0,293
Gabungan
0,334
0,035
Ket: r s (Koefisien korelasi rank Spearman)
Posisi mengejan

Dari tabel di atas terdapat korelasi positip
antara berat badan lahir dengan lama kala II
untuk data gabungan semakin lama kala II
maka semakin tinggi berat badan lahir bayi
dengan r = 0,334; p= 0,035. Sedangkan jika
dirinci berdasarkan posisi mengejan ada
korelasi positip tetapi tidak bermakna
dengan r = 0,117; p= 0,623 untuk posisi
mengejan telentang, dan r = 0,247; p =
0,293 untuk posisi mengejan kombinasi.

PEMBAHASAN
Lama kala II ≤ 20 Menit lebih banyak
(75%) dari pada lama kala II > 20 Menit
(25%). Lama kala II dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya meliputi power
terdiri dari his dan tenaga mengejan ibu,

377

ISSN 2407-9189

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

semakin sering his yang muncul maka
keinginan ibu untuk mengejan juga akan
sering terjadi sehingga kala II akan semakin
cepat selesai. Passages (Jalan lahir), jalan
lahir terdiri dari jalan lahir lunak dan keras.
Jalan lahir lunak dimulai dari rahim,
serviks, vagina dan introitus vagina. Jalan
lahir keras di mulai dari PAP (Pintu Atas
Panggul), PTP (Pintu Tengah Panggul) dan
PBP (Pintu Bawah Panggul). Jika antara
kedua jalan lahir lunak dan keras tidak
terdapat kelainan, maka lama kala II akan
berjalan lancar tanpa adanya penyulit yang
berarti. Passenger (Janin), Jika ukuran
kepala dan bahu janin sesuai dengan ukuran
panggul ibu atau lebih kecil maka lama kala
II juga semakin pendek.
Posisi mengejan juga berpengaruh
terhadap lamanya kala II. Menurut hasil
penelitian sebelumnya di dapatkan nilai
rerata (mean), simpangan baku (SD) dan
median pada posisi telentang lebih tinggi
daripada posisi mengejan kombinasi,
dengan rentang waktu terpendek 3 menit
dan terlama 40 menit untuk posisi
telentang. Sedangkan untuk waktu yang
lebih dari 60 menit tidak ada pada kedua
posisi tersebut. Berdasarkan uji Mann Whitney pada perbandingan lama kala II
pada posisi mengejan antara telentang dan
kombinasi dengan uji 1 pihak didapatkan
nilai p = 0, 036 (p ˂ 0,05) yang bermakna.7
berat badan bayi baru lahir yang
memiliki berat ≥ 3 lebih banyak (85 %) dari
pada bayi yang memiliki berat badan
kurang dari 3 kg (15%). Dengan semakin
membaiknya perekonomian Indonesia maka
berdampak pada meningkatnya pendapatan
perkapita masyarakat, hal ini juga
berpengaruh terhadap status gizi ibu hamil
sehingga bayi-bayi yang di lahirkan lebih
banyak yang memiliki berat badan lahir
normal daripada yang kurang dari 2500 gr.
Sesuai dengan hasil diskesdes tahun 2013
bahwa bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari normal sebanyak 10,2 % jika di

378

bandingkan dengan tahun 2010 yang
mencapai 11,1%. 8
.
Kejadian ruptur perineum derajat 2
lebih banyak (62,5 %) dari pada yang utuh
(17,5%). Ibu dengan persalinan yang terlalu
cepat, bayi yang besar, bayi dengan mal
presentasi, arkus pubis ibu yang sempit,
perineum kaku dan pimpinan persalinan
yang salah dapat mengakibatkan ruptur
perineum. Umumnya ibu akan merasa
sangat khawatir apabila terjadi hal itu
karena memerlukan tindakan perbaikan
luka yang dapat menimbulkan nyeri.1,2
Hasil penelitian Angelos dkk. Menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
robekan perineum derajat 3 adalah
episiotomi rutin secara mediolateral, posisi
mengejan litotomi, persalinan dengan
tindakan
vakum
ataupun
forsep,
pengalaman penolong persalinan, kala II
yang berkepanjangan, nullipara, posisi
oksipital melintang atau di belakang, usia
ibu hamil kurang dari 21 tahun, ukuran
berat lahir dan penggunaan oksitosin.3
Perbandingan lama kala II dan Berat
Badan Lahir terhadap kejadian ruptur
perineum
Berdasarkan uji Mann -Whitney
terdapat perbedaan yang bermakna pada
lama kala II antara yang mengalami
kejadian ruptur perineum dan yang tidak
mengalami kejadian ruptur perineum. Pada
kejadian ruptur, lama kala II lebih cepat bila
dibandingkan
dengan
yang
tidak
mengalami ruptur. Dan dari tabel di atas
tidak ada hubungan antara kejadian ruptur
perineum dengan berat badan lahir bayi.
Salah
satu
faktor
yang
menyebabkan terjadinya ruptur perineum
adalah kepala janin yang melewati dasar
panggul terlalu cepat atau terlalu lambat
dan/atau ditambah dengan tindakan yang
tidak
perlu
seperti
kromellas
mengakibatkan
perineum diregangkan
melebihi ambang batas elastisitasnya dan

ISSN 2407-9189

dalam waktu yang cepat, sehingga tidak
terjadi adaptasi regang yang cukup tinggi
pada perineum terhadap kepala janin yang
mengakibatkan perineum mudah ruptur atau
justru sebaliknya yaitu kepala janin terlalu
lama tertahan dengan kuat di jalan lahir
maka akan menyebabkan melemahnya otototot dan fasia dasar panggul sehingga
mudah terjadinya ruptur.
Berat
badan
lahir
tidak
mempengaruhi ruptur perineum pada
penelitian ini di karenakan posisi mengejan
yang dipakai saat persalinan. Karena di
penelitian yang lain yang tidak menjelaskan
tentang posisi mengejan menyatakan bahwa
diantara faktor yang menyebabkan ruptur
perineum salah satunya adalah ukuran berat
badan lahir bayi seperti hasil penelitian
yang dilakukan oleh Angelos dkk.
Terdapat korelasi positip antara berat
badan lahir dengan lama kala II untuk data
gabungan semakin lama kala II maka
semakin tinggi berat badan lahir bayi
dengan r = 0,334; p= 0,035. Sedangkan jika
dirinci berdasarkan posisi mengejan ada
korelasi positip tetapi tidak bermakna
dengan r = 0,117; p= 0,623 untuk posisi
mengejan telentang, dan r = 0,247; p =
0,293 untuk posisi mengejan kombinasi.
Berat badan lahir yang kecil akan
mengakibatkan lama kala II lebih pendek
daripada yang berat badan lahirnya lebih
besar, sedangkan untuk posisi mengejan
hubungannya positif tetapi tidak bermakna
untuk yang telentang.
Pada posisi mengejan kombinasi berat
badan lahir ˂ 3 kg lebih banyak sehingga
kala II nya lebih cepat yang berakibat
kejadian ruptur pada perineum ibu bersalin
lebih tinggi. Kemampuan penolong
persalinan juga dapat mempengaruhi ruptur
perineum, pimpinan mengejan yang tepat,
ketrampilan melindungi perineum dan
keputusan yang tepat waktu akan
mengurangi kejadian ruptur perineum.

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

Nesimpulan:
Berat badan Lahir bayi tidak berpengaruh
terhadap kejadian ruptur pada posisi
mengejan antara telentang dan kombinasi,
tetapi berat badan lahir yang kecil maka
kala II nya semakin cepat, dan kala II yang
terlalu cepat akan menyebabkan ruptur
perineum.
DAFTAR PUSTANA
dustam, M. Sinopsis Obstetri. 1998. EGC.
Jakarta
FK.

Unpad. Obsteri
Eleman. Bandung

fisiologi.

1983.

Angelos Daniilidis, Vasilis Markis,
Menelaos
Tzafetas,
Panagiotis
Loufopoulos, Panagiotis
Hatzis,
Nikolaos Vrachnis, Konstantinos
Dinas. 2012. Third degree perineal
lacerations—How, why and when? A
review analysis. Open Journal of
Obstetri dan Ginekologi, 2012, 2,
304-310
www. Kamus Bahasa Indonesia.org
Gupta JK, Nikodem VC. Women’s position
during second stage of labour.
Cochrane Data base Syst Rev.
2004;(1):CD002006
Joyce T. DiFranco, dN, BSN, LCCE,
FACCE, Amy M. domano, MSN,
CNM, and duth Keen, MPH, LCCE,
FACCE.
Care
Practice
#5:
Spontaneous Pushing in Upright or
Gravity-Neutral Positions. J Perinat
Educ. 2007 Summer; 16(3): 35–38.
Diakses 13-03-2012 [diunduh 13
Maret
2012]
tersedia
dari:
www.ncbi.nlm.nih.gov
Nor Asiyah. Perbedaan lama kala II serta
kejadian ruptur perineum pada posisi
mengejan antara telentang dan
kombinasi pada ibu bersalin [Tesis].

379

ISSN 2407-9189

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

Bandung: Universitas padjadjaran;
2013.

380

www.depkes.go.id Riskesdes 2013.

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

ISSN 2407-9189

HUBUNGAN FRENUENSI MANAN JAJAN DI LUAR RUMAH DENGAN
NEJADIAN GIZI LEBIH PADA MAHASISWI DI SURANARTA
Anis Prabowo1), Weni Hastuti2)
Prodi D III Keperawatan, STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta
email: anisprabo@gmail.com
2
Prodi D III Keperawatan, STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta
email: wenihastuti@yahoo.co.id
1

Abstract
Background: Global estimation of WHO more than 1.4 billion people aged 20 years or more are
overweight. The occurrence of obesity in students is often associated with changes in lifestyle and
diet. This is in line with the times that s tudents are more likely with the street food outside the home.
The purpose of this s tudy was to a nalyze the relationship between the frequency of eating outside the
home with the incidence of overnutrition in female students in Surakarta. Methods: The study was
using observational analytic with cross sectional des ign. Population were all STIKES PKU
Muhammadiyah Surakarta students. Sampling using consecutive sa mpling technique was obtained by
55 students. Nutritional status data was obtained by measuring BMI, eating habits was measured by
recal 24 hours, a nd the student socioeconomic status data using questionnaires. Data were analyzed by
bivariate using Chi Square test with a confidence level of 95% (α = 5%). Re sults: The frequency of
eating outside the home had a significa nt correlation with the incidence of overnutrition in female
students (p = 0.025) and had a value of Od = 3.5. Conclusion: The more often the frequency of
eating outside the home, the greater the risk of incidence of overnutrition in female students in
Surakarta.
Keywords: Eating outside the home, Over nutrition.
PENDAHULUAN
Obesitas seringkali didefinisikan sebaga i
suatu kondisi abnormal ata u berlebihan dar i
akumulas i lemak di dalam jaringan adipose,
yang
selanjutnya
dapat
mempengaruh i
kesehatan. Sementara istilah kelebihan berat
badan (Overweight) digunakan ketika berat
badan melebihi dari standar untuk tinggi badan
(Mahan dan Stump, 2008). Istilah obes itas lebih
tepat dipakai untuk mengungkapkan suatu
kondisi yang serius, yang sangat mendesak, dan
membutuhkan tindakan pengobata n yang
segera,
dibanding
penggunaan
istilah
overweight (Odgen dan Flegal, 2010).
Prevalensi obes itas meningkat secara
signifikan dalam beberapa dekade terakhir dan
dianggap oleh banyak orang sebagai masalah
kesehatan masyarakat yang utama (Bilaver,
2009).Menurut WHO (2013) obes itas telah
menjadi masalah dunia.Kegemukan dan obesitas
merupakan risiko terkemuka kelima untuk
penyebab kematian global.Setidaknya 2,8 juta
orang dewasa meninggal setiap tahun sebagai
akibat dari kelebihan berat badan dan obes itas.
Beberapa estimas i global WHO dari tahun 2008

diantaranya lebih dari 1,4 miliar orang dewasa,
usia 20 tahun ata u lebih mengalami kelebihan
berat badan. Dari jumlah penduduk yang
mengalami kelebihan berat badan tersebut, lebih
dari 200 juta laki laki dan 300 juta wanita
mengalami obesitas.Secara keseluruhan, lebih
dari 10% dari populas i orang dewasa di dunia
mengalami obes itas.Dahulu obes itas dianggap
sebagai permasalahan di negara negara dengan
pendapatan tinggi, sekarang sudah meningkat d i
negara negara berpenghasilan menengah
maupun rendah, khususnya di daerah
perkotaan.Menurut laporan NCHS (National
Center for Health Statistic) selama kurun wa ktu
2009-2010 terjadi peningkatan angka obes itas
pada usia remaja 12-19 tahun, yaitu pada tahun
1976-1980 sebesar 5% dan menjadi 18,4%
pada tahun 2009-2010 (Fryar, 2012).
Prevalensi kelebihan berat badan di negara
negara berpendapatan tinggi dan negara-negara
berpenghas ilan menengah ke atas lebih dari dua
kali lipat dari negara-negara berpenghas ilan
rendah dan menengah bawah. Untuk obes itas,
perbedaannya lebih dari tiga kali lipat, yaitu 7%
obes itas pada kedua jenis kelamin di negaranegara berpenghas ilan menengah ke bawah,
381

ISSN 2407-9189

The 3rd Universty Research Colloquium 2016

menjadi 24% di negara-negara berpenghasilan
menengah ke atas. Wanita obes itas secara
signifikan lebih tinggi daripada laki-laki,
dengan
pengecualian
di
negara-negara
berpenghas ilan
tinggi.Di
negara-negara
berpenghas ilan rendah dan menengah ke bawah,
obes itas di kalangan perempuan adalah sekitar
dua kali lipat dari kalangan pria (WHO, 2013).
Di Afrika, Mediterania Timur dan Asia
Tenggara, perempuan memiliki kira-kira dua
kali lipat prevalensi obesitas. Secara umum
kelebihan berat badan mempunyai prevalens i
yang lebih besar daripada obes itas diantara usia
remaja laki-laki ata u perempuan. Di negara
negara seperti Bahrain, Mesir, Tunisia, Quwa it,
dan Qatar prevalensi kelebihan berat badan
lebih tinggi di kalangan pere mpuan daripada
laki-laki, demikian pula obes itas. Di negara lain
seperti Libanon dan Uni Emirat Arab prevalens i
obes itas dan kelebihan berat badan lebih besar
pada laki-laki daripada pere mpuan (Musa iger,
2011).
Menurut data dISKESDAS (2013)
prevalensi berat badan lebih pada usia 18 tahun
ke atas sebesar 13,5% dan obes itas sebesar
15,4%. Berdasarkan jenis kelamin prevalens i
obes itas peduduk perempuan usia di atas 18
tahun 32,9% naik 18,1% dari tahun 2007
(13,9%) dan 17,5 % dari tahun 2010 (15,5%).
Pada laki-laki, prevalensi obes itas di atas usia
18 tahun 2013 sebanyak 19,7% lebih tinggi dar i
pada tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010
(7,8%). Studi pendahuluan di STIKES PKU
Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2014,
menunjukkan 20,8% mahas iswa mengalam i
obes itas dan kelebihan berat badan.
Terjadinya obes itas pada mahasiswa sering
dihubungkan dengan perubahan gaya hidup dan
pola makan. Hal ini seiring dengan
perkembangan
zaman
yang
menuntun
mahasiswa lebih cenderung senang dengan
makanan jajanan di luar rumah.Makanan
jajanan dalam porsi besar sangat mudah
dijumpai di restoran, tempat makan cepat sa ji,
bioskop, mal, supermarket, maupun kantin
kampus. Makanan jajanan yang dibeli di luar
rumah cenderung mempunyai kandungan yang
lebih tinggi dalam energi tota l, lemak total,
kolesterol, lemak jenuh, dan sodium, tetap i
memiliki kandungan kalcium dan serat yang
rendah. Secara keseluruhan di dunia jumlah
makanan yang dapat diperoleh di luar rumah
terus mengalami peningkatan baik berupa
kemasan makanan siap saji maupun yang ada d i
restoran (Musa iger, 2011).
382

Kejadian obes itas pada remaja se lain
dipengaruhi oleh kebiasaan makan di luar
rumah juga dipengaruhi oleh faktor lain yaitu
genetika dan faktor sedentary life style.
Berdasarkan
data
dISKESDAS
(2013)
menunjukkan bahwa pada kelompok umur 1519 tahun terdapat 68,6 % dengan aktivitas
sedentary 3 – 6 jam. Hal ini menunjukkan
aktivitas sedentary pada remaja mas ih cukup
tinggi. demaja wanita menunjukkan aktivitas
sedentary 3-6 jam sebesar 66,9 %. Wanita
remaja di pendidikan tinggi menunjukkan
aktivitas sedentary 3-6 jam sebesar 65,1 %.
Mahasiswa STIKES PKU Muhammadiyah
Surakarta berasa l dari wilayah Solo dan
sekitarnya. Dari wawancara awal pada 10
mahasiswi STIKES PKU Muhammadiyah
Surakarta yang mengalami kelebihan berat
badan dan obesitas, ada 9 mahasiswi yang
menjawab memiliki kebiasaan makan jajanan d i
luar rumah dan hanya ada 1 yang tidak. Dari 9
mahasiswi yang memiliki kebiasaan makan
jajanan di luar rumah tersebut, ada 6 orang yang
menjawab mengkonsumsi makanan jajanan
melalui penjual makanan keliling, dan 3 orang
makan di warung makan Jawa.
Berdasarkan penelusuran has il penelitian
terdahulu dan studi pendahuluan yang telah
dilakukan maka penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis hubungan frekuensi makan di luar
rumah dan jumlah uang jajan dengan kejadian
gizi lebih pada mahasiswi di Surakarta.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan
adalah
observasional analitik dengan desain cross
sectional. Desain cross sectional merupakan
rancangan penelitian yang pengukurannya ata u
pengamatannya dilakukan secara simultan pada
satu saat (H idayat, 2007). Metode observasional
analitik ini digunakan untuk menggambarkan
hubungan antara kebiasaan makan jajanan d i
luar rumah dengan status gizi lebih pada
mahasiswi.
Penelitian ini dilakukan di STIKES PKU
Muhammadiyah Surakarta.
Sampel dalam
penelitian ini adalah mahasiswi STIKES PKU
Muhammadiyah Surakarta , yang mengalam i
status gizi lebih. Pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling.
Besar sampel dalam penelitian ini adalah 55
orang.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN PERILAKU MAKAN DI LUAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS KECAMATAN KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO

0 3 51

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN DISMENORE PADA MAHASISWI YANG SEDANG MENGERJAKAN SKRIPSI DI Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kejadian Dismenore Pada Mahasiswi Yang Sedang Mengerjakan Skripsi Di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

1 3 19

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kejadian Dismenore Pada Mahasiswi Yang Sedang Mengerjakan Skripsi Di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 2 15

PENDAHULUAN Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kejadian Dismenore Pada Mahasiswi Yang Sedang Mengerjakan Skripsi Di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 3 9

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI DAN FREKUENSI KONSUMSI FASTFOOD DENGAN KEJADIAN OVERWEIGHT PADA REMAJA PUTRI HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI DAN FREKUENSI KONSUMSI FASTFOOD DENGAN KEJADIAN OVERWEIGHT PADA REMAJA PUTRI DI SMK BATIK 1 SURAKARTA.

0 0 17

HUBUNGAN FREKUENSI MAKAN DI LUAR RUMAH DAN JUMLAH UANG JAJAN DENGAN KEJADIAN GIZI LEBIH PADA MAHASISWI DI SURAKARTA.

0 0 12

Hubungan Frekuensi Makan di Luar Rumah dan Jumlah Uang Jajan dengan Kejadian Gizi Lebih pada Mahasiswi di Surakarta IMG 20160222 0001

0 0 1

Tesis Anis Prabowo S530908002

0 2 66

Hubungan Pengetahuan Gizi Dan Pola Makan Dengan Kejadian Anemia Pada Mahasiswi Fk Uisu Medan Tahun 2015

0 0 16

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN FREKUENSI KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI RUMAH SAKIT GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI

0 0 26