HUKUM ADAT DI INDONESIA 001

[WIDYA CH P REINER|
40120110039]

THEOLOGY OF
PHILOSOPHY

HUKUM ADAT DI INDONESIA
Sebuah buku terjemahan karya Van Vollenhoven (1987) mencatat bahwa sejarah
penemuan hukum adat tidaklah setenar perkembangan filosofi dunia. Walaupun hukum adat
bangsa Indonesia telah berumur panjang, namun keberadaan hukum tersebut dan nilai-nilai
yang terkandung didalamnya merupakan hal yang baru saja disadari. Layaknya bahasa yang
terus ada tanpa harus disadari, hukum adat baik disadari maupun tidak, diselidiki maupun
tidak tetap akan ada dan berlaku. Dengan demikian “penemuan” hukum adat jelas tidak
disebut sebagai “penemuan” layaknya candi Borobudur yang ditemukan di bawah sebuah
bukit tanah (hal 1).
Dimasa kompeni tidak ada seorang pun yang mengharapkan penelitian hukum adat
yang pada masa itumasih murni dan belum dipengaruhi budaya asing. Fenomena hukum adat
dikalahkan oleh penyelidikan mengenai bahasa, kesusilaan, dan kebiasaan pribumi.Meskipun
demikian pada akhirnya kehadiran wali negeri yang sekaligus adalah sastrawan menunjukkan
satu permulaan garis perkembangan lahirnya tinjauan hukum adat. Satu lonjakan besar baru
dimulai tahun 1783 ketika gubernur Belanda pertama di Malaka, Johan van Twistmemancing

sebuah laporan kecil mengenai sekelompok penduduk asli: orang benua yang diakhirnya
dicetak dua abad kemudian (Van vollenhoven, 1987, hal 7).
Hal serupa dilakukan oleh para wali negeri dan gubernur jenderal yakni dengan
mengumpulkan keterangan danmembuat laporan mengenai berbagai karakteristik dan adat
istiadat daerah kekuasaan.Kehadiran orang pribumi dalam membuat uraian mengenai
peraturan sederhana tentang pelayaran dan biaya pengangkutan orang Wajo menjadi cermin
kekayaan hukum diIndonesia. Tahun 1750-1768 para kompeni akhirnya mengambil langkah
yang lebih jauh dengan menyusun sebuah kitab tentang hukum pidana jawa bagi kepentingan
pengadilan negeri di Semarang. Di Makasar untuk menutupi pemerasan dan kekuasaan
sewenang-wenang para kompeni, gubernur pantai Sulawesi Jan Dirk van Clootwijck
memprakarsai pencatatan hukum adat yang berlaku di istana raja Bone dan raja Gowa. Tahun
1760 kompeni dibawah perintah D.W Freijer menyetujui hukum perkawinan dan warisan
Islam pribumi dan ditempat yang berbeda residen kompeni di Cirebon juga ikut menyusun
kitab mengenai Cirebon. Meskipun keempat langkah dibuat untuk kepentingan para kompeni
semata-mata menurut Van vollenhoven (1987) ini menjadi satu kenyataan bahwa orang mulai
menyadari akan adanya hukum adat dan minat untuk meneliti yang lebih berkembang.

Humanity and Culture| Hukum Adat di Indonesia

1


[WIDYA CH P REINER|
40120110039]

THEOLOGY OF
PHILOSOPHY

Secara etimologi Istilah hukum adat berasal dari bahasa arab, “Huk’m” artinya
suruhan, ketentuan dan “Adah” artinya kebiasaan. Jadi hukum adat adalah hukum kebiasaan
(Hilman Hadikusumo. 2003. hal 8).Van Vollenhoven didalamnya mendefinisikan hukum adat
sebagai aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur
asing, yang mempunyai sanksi bagi satu pihak (maka dikatakan hukum) dan di pihak lain
tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat)(hal 12). Pendapat tersebut disempurnakan oleh Ter
Haar Bzn bahwa adat akan menjadi hukum adat jika diputuskan oleh para petugas hukum
adat dalam suatu kelompok masyarakat. Sedangkan menurut Soekanto (1996) dasar hukum
adat Indonesia adalah hukum melayu-polinesia yang ditambah dengan unsur hukum agama.
Dimasa kini kalangan masyarakat umum lebih sering menggunakan istilah “adat”
untuk penyebutan “hukum adat”. Adat yang dimaksud adalah kebiasaan yang pada umumnya
harus berlaku didalam masyarakat. Perilaku yang dilakukan terus menerus membentuk
kebiasaan pribadi yang memungkinan ditiru orang lain. Jika satu kebiasaan dilakukan oleh

satu kesatuan masyarakat maka lambat laun kebiasaan tersebut menjadi adat kelompok
masyarakat tersebut. misalnya adat Jawa berarti kebiasaan berperilaku dalam masyarakat
Jawa. Jadi hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah yang menunjuk pada aturan kebiasan
yang berlaku dikalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan perundangan yang
dibentuk pemerintah. (Hilman Hadikusumo, 2003).
Menurut soekanto (2007) unsur yang menjadi dasar berlakunya sistem hukum adat
mencakup unsur idil dan unsur riil. Unsur idil mencakup rasa susila, rasa keadilan dan rasio
manusia. Rasa susila merupakan suatu hasrat untuk hidup dengan hati nurani yang bersih.
Keadilan manusia bersumber dari kenyataan bahwa ada golongan yang merasa dirugikan dan
menguntungkan golongan yang lain, dan rasio manusia membantu menghasilkan pengertian
hukum.Sedangkan unsur riil mencakup manusia dengan aspek fisik dan mental, lingkungan,
serta kebudayaan yang senantiasa mempengaruhi kehidupan manusia.
Dalam buku karya Hilman Hadikusimo (2003) kaidah kepribadian bangsa adalah jiwa
hukum Indonesia yaitu hukum adat yang kemudian dijelmakan menjadi jiwa hukum nasional
yang tercantum dalam UUD 1945. Hal sepaham juga dikemukakan oleh soekanto (1996)
bahwa hukum di Indonesia hanya mengandung sedikit hukum yuris, yang terbanyak adalah
hukum-rakyat (hal 1). Dengan kata lain mempelajari hukum adat berarti menjiwai budaya
hukum Indonesia dan selanjutnya membantu mengkritisi budaya hukum asing yang tidak

Humanity and Culture| Hukum Adat di Indonesia


2

[WIDYA CH P REINER|
40120110039]

THEOLOGY OF
PHILOSOPHY

sejalan dengan hukum nasional (Hilman Hadikusumo, 2003). Dalam paper ini hukum adat
yang dibahas dikerucutkan

pada hukum kekeluargaan adat di Indonesia dalam hal ini

mengenai hubungan anak dalam keluarga dan hubungannya dengan hukum perkawinan.
Muh. Bushar (2006) menuliskan bahwa keturunan adalah ketunggalan luhur. Artinya
hubungan darah antar seorang dengan orang lain. Pengaruh ketunggalan luhur setiap daerah
tidaklah sama, namun pandangan pokoknya tetap sama bahwa keturunan adalah unsur yang
hakiki dan mutlak bagi setiap klan, suku maupun kerabat. Oleh karena itu tidak sedikit
kerabat ataupun suku melakukan adopsi untuk menjaga generasi penerusnya terus ada (hal 3).

Bagi sebagian besar hukum adat di Indonesia anak yang lahir didalam perkawinan
masuk kedalam kekerabatan garis kebapakan (patrilineal) yang ditandai dengan penamaan
fam si bapak. Hak-hak dan kewajiban anak ditentukan oleh bapak dan kerabat bapak tersebut.
Hubungan antara anak dengan kerabat orang tua berlaku secara sepihak. Oleh karena itu anak
laki-laki selalu menjadi pelacak dan penentu kelanjutan keturunan atau generasi. Hal ini
menyebabkan dalam perkawinan kehadiran anak laki-laki menjadi satu hal yang sangat
ditinggikan sedangkan perempuan dianggap berguna untuk orang lain sebagai pelanjut
keturunan. Ketiadaan keturunan laki-laki dianggap sebagai ambang kepunahan di beberapa
daerah sebagai hukum adat (Muh. Bushar, 2006).
Berkebalikan dengan daerah minangkabau dimana garis keturunan diatur menurut
garis ibu. Ketiadaan anak perempuan justru menghantarkan kerabat bersangkutan diambang
kepunahan. Pada umumnya kerabat yang tersusun secara unilateral menganggap ketiadaan
pelanjut keturunann mendatangkan kegelisahan, karena kalau sampai lenyap, maka tamatlah
kebesaran dan kebanggaan yang dimiliki selama ini (Ziwar, Effendi, 1987. Hal 50). Hukum
adat ini kemudian menimbulkan kepercayaan bahwa ada seorang ibu asal yang berpengaruh
pada semua sistem sosial. Jadi bagi Minangkabau penguasa di lapangan sosial mencakup hak
milik dan soal-soal keluarga adalah ibu. (Muh. Bushar, 2006. Hal 13).
Pada hakikatnya anak yang lahir harus dibawah lembaga perkawinan yang sah, namun
dalam kenyataan di masyarakat terjadi kejadian abnormal yang tidak bisa dihindari. Didaerah
Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon, wanita yang melahirkan anak diluar perkawinan

dianggap sebagai anak ibu yang bersangkutan. Anak tersebut menggunakan fam dari keluarga
ibu dan tetap diperlakukan selayaknya anak sah didalam perkawinan. Namun beberapa

Humanity and Culture| Hukum Adat di Indonesia

3

[WIDYA CH P REINER|
40120110039]

THEOLOGY OF
PHILOSOPHY

daerah lain mereka dengan keras wajib mencela wanita tersebut. Bahkan konsekuensi yang
diberikan bisa dibuang dari persekutuan bahkan sampai dibunuh. Untuk menghindari hal-hal
demikian adat juga mengenal usaha mencegah pemberlakuan hukum adat dengan
mengawinkan wanita yang telah hamil tersebut dengan pria bersangkutan. Didaerah jawa
juga dikenal istilah nikah tambelan atau pattongtog sirik untuk daerah bugis yaitu usaha
mencari laki-laki yang mau mengawini wanita yang mengandung tersebut sehingga anak
tersebut lahir dalam perkawinan yang sah (Muh Bushar, 2006. Hal 7). Meskipun hal tesebut

tidak dapat menutup pandangan negatif orang namun terlihat bahwa hukum adat jelas
dipengaruhi oleh rasio yang melibatkan emosi dan perasaan. Menurut soekanto (2007) rasio
manusia menghasilkan rasa keadilan dan kesusilaan dalam membentuk filsafat hukum.
Hukum adat diatas juga erat kaitannya dengan hukum adat perkawinan. Dalam buku
Ziwar effendi (1987) didalam perkawinan yang sah selain mengikuti tatacara keagaamaan,
upacara menurut hukum adat juga harus dilakukan. Disebagian besar daerah upacara
perkawinan selalu dimulai dengan prosesi meminang. prosesi ini ditandai dengan pertemuan
calon suami dengan calon mertua dalam hal ini adalah bapak (mengikuti hukum kebapakan).
Setelah pihak calon istri merundingkandengan keluarga kerabat dan mendapat satu keputusan
barulah terjadi pembicaraan mengenai “mas kawin”. Upacara perkawinan setelah itu akan
berbeda disetiap daerah bergantung pada filosofi yang dipercaya, namun secara umum
pemberian mas kawin sebagai bentuk “pengembalian” atas akan diambilnya anggota keluarga
dilakukan disetiap daerah sebagai hukum adat.
Kedua hukum adat diatas saling berhubungan satu dengan yang lain. Masyarakat pada
hakikatnya sangat menjunjung tinggi perkawinan. Oleh karena itu prosesi pekawinan selalu
diikuti dengan serangkaian prosesi adat yang harus dilakukan. Didalam upacara perkawinan
setiap harapan dibuat untuk tujuan yang mulia. Oleh karena itu tuntutan yang keras
keberadaan anak yang haram didaerah Bali, Sumatera selatan dan beberapa daerah lainnya
adalah untuk menjaga luhurnya nilai sebuah perkawinan. Masyarakat yang tidak mendukung
nilai-nilai perkawinan dianggap tidak mendapat tempat didalamnya, sehingga mau tidak mau

mereka tidak lagi dianggap sebagai bagian dari daerah tersebut. Pandangan ini juga sekaligus
memberikan nilai yang berharga akan keberadaan seorang anak didalam lingkungan
bermasyarakat. Manusia adalah makhluk yang berakal yang mampu bernalar, dan mampu
menguasai emosi sehingga sudah seharusnya mampu berperilaku secara bermoral. Hukum

Humanity and Culture| Hukum Adat di Indonesia

4

[WIDYA CH P REINER|
40120110039]

THEOLOGY OF
PHILOSOPHY

adat adalah batasan yang jelas untuk menjaga perilaku manusia tidak keluar dari apa yang
dianggap sebagai perilaku yang benar.

Humanity and Culture| Hukum Adat di Indonesia


5

[WIDYA CH P REINER|
40120110039]

THEOLOGY OF
PHILOSOPHY

DAFTAR PUSTAKA

Bushar, M. (2006). Pokok-pokok hukum adat. Jakarta: Pradnya paramita.
Effendi, Z. (1987). Hukum adat ambon-lease. Jakarta: Pradnya paramita.
Hadikusuma, H. (2003). Pengantar ilmu hukum adat di indonesia. Bandung: Mandar maju.
Soekanto. (1996). Meninjau hukum adat di indonesia . Jakarta: RajaGrafindo Persada
soekanto, S (2007). Hukum adat indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Vollenhoven, C. V. (1987). Penemuan hukum adat. Jakarta: Djambatan.

Humanity and Culture| Hukum Adat di Indonesia

6