Hukum adat 001

KEADILAN MENURUT ADAT
I. Latar belakang
Dalam setiap masyarakat, adat dipahami sebagai seperangkat nilai-nilai dan peraturanperaturan sosial yang timbul dan tumbuh dari pengalaman hidup masyarakat tersebut.
Selama hidupnya, masyarakat itu mengalami aneka kejadian yang menggembirakan dan
menyedihkan, serta yang memperkokoh dan merusak ketentraman. Pengalaman hidup
masyarakat inilah yang menjadi sumber nilai-nilai adat. Oleh karena berpuluh-puluh juta
penghuni bumi Indonesia hidup dan bertempat tinggal di daerah masing-masing yang
berbeda sifatnya, maka setiap golongan penduduk menciptakan tata-hidup yang sesuai
dengan pengalaman dalam lingkungan alamnya. Atau dengan kata lain, setiap masyarakat
mempunyai konsep tentang keadilan yang diterapkan secara internal.
Namun, setelah masyarakat tumbuh dan berkembang dalam hubungan antar warga, dan
antara warga dan komunitas (masyarakat kecil), timbullah kekuatan-kekuatan sosial yang
menguntungkan dan merugikan kehidupan bersama dalam komunitas itu. Dalam
pemahaman seperti ini, dikemukakan, bahwa masyarakat adalah kumpulan individu yang di
satu sisi mau bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, tetapi
di sisi lain, masing-masing individu ini mempunyai pembawaan (modal dasar) serta hak
yang berbeda, dan semua itu tidak bisa dilebur dalam kehidupan sosial. Persoalannya,
bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan individu (modal dasar) itu di satu
pihak, dan keinginan hidup bersama dipihak lainnya, agar terwujud kehidupan bersama
yang berkeadilan?.
Jika mengikuti teori keadilan maka setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan atau

dipertimbangkan. Pertama, kebebasan yang sama atau setara (principle of equal libertiy),
bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama, antara lain, a) kebebasan
politik, b) kebebasan berfikir, c) kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, d) kebebasan
personal, dan e) kebebasan untuk memiliki kekayaan. Dan yang Kedua, prinsip
ketidaksamaan (the principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara
manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga
ketidaksamaan tersebut, 1) dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang
yang secara kodrati tidak beruntung, dan 2) melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi
yang terbuka bagi semua orang.
Berdasarkan dua prinsip keadilan di atas, maka makalah ini akan mencoba menguraikan
makna keadilan yang terkandung dalam Hukum Adat yang dianut oleh masyarakat Jambi
II. Terbentuknya Hukum Adat
Berdasarkan sejarah lisan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat diketahui bahwa
sebelum diberlakukan sebagai hukum adat yang berlaku umum untuk seluruh masyarakat,
di wilayah ini sudah berlaku satu hukum . Hukum ini lebih menjurus kepada tindakantindakan yang tidak berperikemanusiaan, atau dapat dikatakan siapa yang kuat dialah yang
menang – hukum rimba. Kehidupan masyarakat yang hampir “tanpa aturan” ini, kemudian
diperbaharui dengan hadirnya para pendatang yang tiba diwilayah ini, setelah diterima oleh
penduduk asli dan menjadi penguasa setempat, kemudian mengadakan pembaharuan-

pembaharuan dan berhasil meletakan suatu hukum dasar yang kenal dengan hukum adat

seperti yang sekarang.
Dengan demikian, hukum adat , oleh masyarakat dipahami sebagai warisan budaya dari
para leluhur dan mengandung nilai-nilai yang mencerminkan ahlak dan martabat serta
budaya yang tinggi dari masyarakat Jambi Karena itu, sebelum menguraikan makna dan
fungsi dari hukum adat ini, perlu diuraikan sekilas tentang latar belakang sejarah terjadinya
kedua hukum, yang kemudian menjadi satu tersebut.

2.1. Sekilas tentang Hukum Adat jambi
Seloko adat Jambi menyebutkan “Adat Selingkung Negeri, Undang Selingkung Alam” artinya
dalam kehidupan masyarakat Jambi tentunya berada dalam kerangka atau koridor hukum
adat (Adat Selingkung Negeri) dan hukum positif (Undang Selingkung Alam). Masyarakat
adat Jambi mengakui adanya tingkatan hukum yang lebih tinggi yang berlaku disamping
hukum adat. Dari seloko tersebut tersirat, bahwa segala permasalahan yang ada terlebih
dahulu diselesaikan secara adat, dan jika tidak bisa diselesaikan secara adat baru mengacu
kepada hukum yang lebih tinggi (Undang Selingkung Alam). Masyarakat Jambi adalah
masyarakat yang relijius, sehingga hukum adat Jambi senantiasa berpedoman pada
ketentuan agama yang tergambar dalam seloko “Adat bersendikan syara’, syara’
bersendikan Kitabullah”.
Hukum adat Jambi mempunyai tingkatan-tingkatan dalam pengambilan keputusan, Seloko
adat Jambi menyebutkan “Bejenjang naik betanggo turun, turun dari takak nan diatas, naik

dari takak nan di bawah” dan dalam mengambil keputusan pun tidak sembarangan harus
mengacu kepada kata mufakat karena adat Jambi adalah “Adat nan Berlembago” Pepatah
adat mengatakan “Bulat aek dek pembuluh, bulat kato dek mufakat”. Dalam mufakat ada
ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan sampai menemukan kata putus menurut adat,
ketentuan tersebut salah satunya dengan melihat akar dari suatu permasalahan, Seloko
adat Jambi menyebutkan “Dak ado asap kalo dak ado api, Kalo aek keruh dimuaro cubo
tengok ke hulu”. Dalam adat Jambi juga dikenal istilah azas pembuktian “ Jiko tepijak benang
arang hitam tapak, jiko tersuruk di gunung kapur putih tengkuk” sehingga dalam
pembuktian ini bisa dibuktikan yang salah tetap salah dan yang benar tetap benar “yang
melintang patah, yang membujur lalu”.
III. Nilai Perekat Masyarakat dan Konsep Keadilannya.
Dengan memahami kedudukan dua persekutuan masyarakat adat yang telah diuraikan di
atas, dapat dilihat sisi persamaan dan perbedaannya. Perbedaan diakibatka karena
keduanya saling mempertahankan status quo, menjadi ‘raja-raja kecil’ yang tetap
mempertahankan identitas komunal. Identitas komunal tidak hanya merupakan sesuatu
yang penting, melainkan juga menentukan kepatuhan atau loyalitas masyarakat kepada
raja-raja kecilnya, yang seolah kodrati, merupakan sesuatu yang terberi, tanpa perlu campur
tangan manusia. Dengan demikian ada semacam paksaan untuk menerima ikatan
kekuasaan yang cenderung absolut, dan ditopang kekerasan sekaligus menuntut kepatuhan
dari mereka yang terpenjara rasa takut. Sedangkan pada sisi persamaan, kedua

persekutuan masyarakat adat ini dipayungi oleh hukum adat , dan dalam interaksi sosialnya,
hanya mengenal satu identitas bahasa yakni, bahasa Jambi dan berkembang menggunakan

bahasa nasional seiring kemajuan intelektual masyarakatnya. Makna dan arti symbol negeri
jambi
:: Keris ::
Keris tersebut bernama “KERIS SIGINJAI” dan merupakan lambang kebesaran serta
kepahlawanan Raja dan Sultan Jambi dahulu, karena barang siapa yang memiliki keris
tersebut dialah yang diakui sebagai penguasa atau berkuasa untuk memerintah Kerajaan
Jambi.
:: Garis Biru 9 Buah ::
Garis-garis ini melambangkan luasnya wilayah Kerajaan Jambi dahulu yang meliputi 9 buah
lurah dialiri oleh anak-anak sungai (batang), masing-masing bernama :
1. Batang Asai
2. Batang Merangin
3. Batang Masurai
4. Batang Tabir
5. Batang Senamat
6. Batang Jujuhan
7. Batang Bungo

8. Batang Tebo
9. Batang Tembesi
Batang-batang ini merupakan Anak Sungai Batanghari yang keseluruhannya itu merupakan
wilayah Kerajaan Jambi.
:: Garis Hijau 6 Buah ::
Garis ini melambangkan bahwa wilayah Kota Jambi dahulunya secara administratif terdiri
dari 6 kecamatan, yaitu :
1. Kecamatan Pasar Jambi
2. Kecamatan Jambi Timur
3. Kecamatan Jambi Selatan
4. Kecamatan Telanaipura
5. Kecamatan Danau Teluk
6. Kecamatan Pelayangan

:: Pohon Pinang ::
Pohon Pinang melambangkan asalnya isitlah atau perkataan “DJAMBE” dahulu yang
kemudiam dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah ini (Keresidenan Jambi, Propinsi
Jambi dan Kota Jambi)
Istilah “JAMBI” ini berasal dari perkataan “DJAMBE” (bahasa Jawa). Dan “DJAMBE” ini nama
sejenis Pohon Pinang. Istilah “DJAMBE” lama kelamaan berubah menjadi “DJAMBI”. Dan

terakhir karena ejaan yang disempurnakan maka istilah “DJAMBE” berubah pula menjadi
JAMBI.
MOTTO “TANAH PILIH PESAKO BETUAH”
Kota Jambi mempunyai motto “TANAH PILIH PESAKO BETUAH” yang tertera pada sehelai Pita

Emas dibawah Lambang Kota Jambi, yang mengandung pengertian secara harfiah :
a. Tanah : permukaan bumi paling atas atau kondisi area suatu tempat.
b. Pilih : pilihan yang dipilih dari yang lain dengan teliti
c. Pesako : warisan
c. Betuah : memiliki kelebihan luar biasa (sakti) yang tidak dimiliki oleh yang lain
TANAH PILIH PESAKO BETUAH pada hakekatnya mengandung pengertian sebagai berikut :
a. Melambangkan suatu pernyataan bahwa Kota Jambi adalah berasal dari tanah yang dipilih
oleh Raja Jambi untuk dijadikan Pusat Pemerintahan Kerajaan Melayu Jambi yang diwariskan
kepada kita yang mempunyai nilai-nilai sejarah yang sangat berharga untuk kita jaga dan
pelihara untuk kemudian kita wariskan kepada anak cucu kita kelak.
b. Menggambarkan kehidupan masyarakat Kota Jambi yang rukun, damai, aman, makmur
dan sejahtera lahir-batin karena mengutamakan kegotongroyongan.
TANAH PILIH PESAKO BETUAH secara filosofis mengandung pengertian sebagai berikut :
“Bahwa Kota Jambi sebagai Pusat Pemerintahan Kota sekaligus sebagai Pusat Sosial Ekonomi
serta Kebudayaan juga mencerminkan jiwa masyarakatnya sebagai duta kesatuan baik

individu, keluarga dan kelompok maupun secara institusional yang lebih luas, berpegang
teguh dan terikat pada nilai-nilai adat istiadat dan hukum adat serta peraturan perundangundangan yang berlaku
IV. Penutup
Dua istilah teknis yaitu efisiensi dan perbedaan. Prinsip efisiensi dapat dipenuhi jika sistem
ekonomi yang membawa keuntungan pada sekelompok orang tidak merugikan pada pihak
lain. Artinya, konsumsi produksi, pembagian sarana produksi dan seterusnya diperuntukan
kepada pihak yang kurang beruntung, dan akan dianggap efisien jika hal itu tidak merugikan
pihak lainnya. Jika pembagian tersebut hanya menguntungkan suatu pihak dan ternyata
kemudian justru merugikan pihak lainnya, berarti tidak efisien
Adapun prinsip perbedaan dimaksudkan sebagai batasan untuk mengendalikan
ketidakpastian dari prinsip efisiensi. Sebab, menurut prinsip efisiensi di atas masih dapat
bersifat sewenang-wenang jika hanya diberikan syarat yang samar, “tidak merugikan pihak
lain”. Karena itu, di sini harus ada batasan lebih lanjut, yaitu prinsip perbedaan. Prinsip ini
menyatakan bahwa mereka yang berada dalam posIsi yang menguntungkan harus ikut
berperan aktif dalam memperbaiki kondisi mereka yang kurang beruntung. Perbaikan
kondisi ini berupa pengadaan prospek yang sama untuk meraih kedudukan dan fungsinya di
mana pembagian sarana sosial ekonomi tersebut dikaitkan. Artinya, kegiatan masyarakat
yang diasumsikan memenuhi tuntutan kebebasan yang sama (prinsip I) dan tuntutan
kesamaan kesempatan yang fair (prinsip II) hanya akan dianggap adil jika perolehan sarana
sosial ekonomi yang diterima pihak yang menguntungkan dipergunakan untuk memperbaiki

kondisi pihak-pihak yang kurang beruntung. Akhirnya sebuah syair tua yang didaulat
sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat saya ketengahkan disini, sebagai bagian dari
falsafah hidup, sampai dengan pola pembagian lahan untuk kawasan darat maupun
kawasan laut, (kita menjaga tanah dan pantai, laut dan darat, ikan-ikan mematuk akar,
kuskus memakan dedaunan, tempat kediaman ulat dan cacing). Syair ini memberi
gambaran yang jelas bahwa manusia dan alam beserta segenap isi kandungannya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perkataan fitroa fitnangan (tujuh di laut,
tujuh di darat) berarti sudah mencakup keseluruhan yang ada di laut maupun di darat.

Bahkan lebih ditegaskan lagi bahwa ulat dan cacing sekalipun, mempunyai hak untuk hidup
di tempat keberadaannya. Manusia dan alamnya hidup untuk saling menghidupi.
itulah makna keadilan menurut masyarakat yang terpancar dari hukum adatnya