Pengaruh Bising Pesawat Terbang pada Petugas Ground Handling PT.Gapura Angkasa Bandar Udara Polonia Medan

PENGARUH BISING PESAWAT TERBANG PADA PETUGAS GROUND HANDLING PT. GAPURA ANGKASA
BANDAR UDARA POLONIA MEDAN
Oleh : AMELIA MISELLA SAMOSIR
090100272
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

PENGARUH BISING PESAWAT TERBANG PADA PEKERJA GROUND HANDLING PT. GAPURA ANGKASA
BANDAR UDARA POLONIA MEDAN
“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran” Oleh : AMELIA MISELLA SAMOSIR 090100272
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Karya tulis ilmiah ini berjudul “Pengaruh Bising Pesawat Terbang pada Petugas Ground Handling PT.Gapura Angkasa Bandar Udara Polonia Medan”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan masukan kepada penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. dr. M. Rusda, Sp.OG(K) dan dr. Erjan Fikri, Sp.B,Sp.BA, selaku dosen penguji yang telah memberikan penilaian terhadap penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
5. Rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, papa Drs. Benny Samosir dan mama Dra. M. Elly Silalahi, Msi atas doa, perhatian, dan dukungan sebagai bentuk kasih sayang kepada saya. Juga kepada saudara-saudara saya Kevin Yosua Samosir dan Sarah Patricia Samosir terima kasih atas dukungan dan perhatian yang diberikan.
6. Terima kasih sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Arthur Filemon Ginting, SE atas doa, perhatian, dukungan yang tidak putus-putusnya sebagai bentuk cinta kepada saya.
Universitas Sumatera Utara

7. Teman-teman yang telah mendukung penuh selama proses penyusunan karya tulis ilmiah ini, Septrina Amelia Fransisca Ginting dan Melvia Bodi Panjaitan.
Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar penulis dapat menyempurnakan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.
Medan, 11 Januari 2013 Penulis, Amelia Misella Samosir
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 3 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 3 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5 2.1. Telinga ................................................................................................ 5 2.1.1. Anatomi Organ Telinga ....................................................... 5 2.1.2. Fisiologi Pendengaran .......................................................... 9 2.2. Macam-macam Gangguan Pendengaran ........................................... 11 2.2.1. Gangguan Pendengaran Akibat Bising .............................. 12 2.3. Suara ................................................................................................. 19 2.4. Macam-macam Evaluasi Pendengaran ............................................. 23
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 30 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................ 30 3.2. Definisi Operasional Variabel ........................................................... 30 3.2.1. Variabel Independen .......................................................... 30 3.2.2. Variabel Dependen ............................................................. 31 3.3. Hipotesis ............................................................................................ 31
Universitas Sumatera Utara

BAB 4 METODE PENELITIAN ..................................................................... 32 4.1. Jenis Penelitian .................................................................................. 32 4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 32 4.3. Populasi Sampel ................................................................................ 32 4.3.1. Populasi .............................................................................. 32 4.3.2. Sampel ................................................................................ 32 4.4. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 34 4.5. Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 36
Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

2.1. Batas Pajanan Bising sesuai Menteri Tenaga Kerja 1999 .................... 18

2.2. Interpretasi Hasil Uji Rinne .................................................................. 24

2.3. Interpretasi Hasil Uji Schwabach .......................................................... 25

2.4. Klasifikasi Kehilangan Pendengaran .................................................... 27

5.1. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ..................... 36

5.2. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Usia ..................................... 36

5.3. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Pemakaian APD .................. 37


5.4. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Keluhan Tinitus ................... 38

5.5. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Kelainan Audiogram ........... 38

5.6. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Kerja (tahun) ............. 39

5.7. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Kerja (jam) ................ 40

5.8. Distribusi Tuli berdasarkan Masa Kerja pada Telinga Kanan .............. 41

5.9. Distribusi Tuli berdasarkan Masa Kerja pada Telinga Kiri .................. 41

5.10. Distribusi Tuli Telinga Kanan berdasarkan Lama Paparan Harian ...... 42

5.11. Distribusi Tuli Telinga Kiri berdasarkan Lama Paparan Harian ........... 43

5.12. Distribusi Telinga yang Mengalami NIHL ........................................... 43

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6

DAFTAR LAMPIRAN
Lembar Penjelasan Informed Consent Kuestioner Daftar Riwayat Hidup Data Inti Ethical Clearence Form

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Noise induced hearing loss atau yang sering disebut sebagai gangguan pendengaran akibat bising adalah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Bandara Polonia merupakan bandara terbesar keempat di Indonesia. Dalam satu hari ada 150 penerbangan dan 3,8 juta penumpang yang ada di bandara Polonia. Kondisi tersebut cenderung akan meningkatkan faktor risiko kebisingan di Bandara, yang berakibat pada kemungkinan timbulnya gangguan kesehatan bagi petugas yang ada di bandara. Metode pemeriksaan yang menjadi baku emas untuk mengetahui seseorang menderita NIHL adalah dengan menggunakan audiometri. Pemeriksan ini dapat membedakan apakah seseorang menderita tuli ringan, sedang, ataupun berat. Sampai saat ini belum ada data yang menunjukkan tentang pengaruh kebisingan terhadap petugas ground handling bandar udara Polonia, sementara data ini sangat penting untuk mengetahui gangguan pendengaran yang terjadi pada petugas ground handling. Untuk itulah penelitian ini dilaksanakan guna mencari tahu hubungan bising pesawat terbang dengan petugas ground handling bandar udara Polonia.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional yang dilakukan diTerminal Kedatangan Internasional Bandar Udara Poloni, Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui pembagian kuesioner dan pemeriksaan menggunakan audiometri dipilih dengan metode total sampling. Gambaran audiometri yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan klasifikasi ISO tahun 1964.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran tuli yang paling banyak di Bandar Udara Polonia, Medan adalah tuli ringan pada telinga kanan sebanyak 58 orang (58%) dan tuli ringan pada telinga kiri sebanyak 38 orang (38%)
Kata kunci : NIHL, analitik, THT
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT Noise induced hearing loss is a hearing loss condition that caused due to exposure to noise is quite loud in a long enough period of time and is usually caused by noisy work environment .Polonia Airport is the fourth largest airport in Indonesia. In one day there are 150 flights and 3.8 million passengers. These conditions are likely to increase the risk factor in airport noise, resulting in potential health problems for officers at the airport. The method checks the gold standard to determine a person suffering from NIHL is using a audiometri. This examination can determine whether someone suffers from deafness mild, moderate, or severe. Until now there is no data demonstrating the effect of noise on workers Polonia airport ground handling, while the data is very important to know the hearing loss that occurs in ground handling staff. For that reason, the study was conducted to find out the relationship with the officer noisy aircraft ground handling Polonia airport. The method of this descriptive study is cross sectional, which is conducted in the international arrivals terminal Polonia airport. Data collecting procedure collected through the distribution of questionnaires and audiometric examination by a method using total sampling. Audiometric picture obtained ISO grouped by classification in 1964 The results of this study indicate that most deaf picture at Polonia Airport, Medan is mild deafness in the right ear as many as 58 people (58%) and mild deafness in the left ear in 38 people (38%) Key words : noise induced hearing loss, analitic, THT
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Noise induced hearing loss atau yang sering disebut sebagai gangguan pendengaran akibat bising adalah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Bandara Polonia merupakan bandara terbesar keempat di Indonesia. Dalam satu hari ada 150 penerbangan dan 3,8 juta penumpang yang ada di bandara Polonia. Kondisi tersebut cenderung akan meningkatkan faktor risiko kebisingan di Bandara, yang berakibat pada kemungkinan timbulnya gangguan kesehatan bagi petugas yang ada di bandara. Metode pemeriksaan yang menjadi baku emas untuk mengetahui seseorang menderita NIHL adalah dengan menggunakan audiometri. Pemeriksan ini dapat membedakan apakah seseorang menderita tuli ringan, sedang, ataupun berat. Sampai saat ini belum ada data yang menunjukkan tentang pengaruh kebisingan terhadap petugas ground handling bandar udara Polonia, sementara data ini sangat penting untuk mengetahui gangguan pendengaran yang terjadi pada petugas ground handling. Untuk itulah penelitian ini dilaksanakan guna mencari tahu hubungan bising pesawat terbang dengan petugas ground handling bandar udara Polonia.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional yang dilakukan diTerminal Kedatangan Internasional Bandar Udara Poloni, Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui pembagian kuesioner dan pemeriksaan menggunakan audiometri dipilih dengan metode total sampling. Gambaran audiometri yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan klasifikasi ISO tahun 1964.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran tuli yang paling banyak di Bandar Udara Polonia, Medan adalah tuli ringan pada telinga kanan sebanyak 58 orang (58%) dan tuli ringan pada telinga kiri sebanyak 38 orang (38%)
Kata kunci : NIHL, analitik, THT
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT Noise induced hearing loss is a hearing loss condition that caused due to exposure to noise is quite loud in a long enough period of time and is usually caused by noisy work environment .Polonia Airport is the fourth largest airport in Indonesia. In one day there are 150 flights and 3.8 million passengers. These conditions are likely to increase the risk factor in airport noise, resulting in potential health problems for officers at the airport. The method checks the gold standard to determine a person suffering from NIHL is using a audiometri. This examination can determine whether someone suffers from deafness mild, moderate, or severe. Until now there is no data demonstrating the effect of noise on workers Polonia airport ground handling, while the data is very important to know the hearing loss that occurs in ground handling staff. For that reason, the study was conducted to find out the relationship with the officer noisy aircraft ground handling Polonia airport. The method of this descriptive study is cross sectional, which is conducted in the international arrivals terminal Polonia airport. Data collecting procedure collected through the distribution of questionnaires and audiometric examination by a method using total sampling. Audiometric picture obtained ISO grouped by classification in 1964 The results of this study indicate that most deaf picture at Polonia Airport, Medan is mild deafness in the right ear as many as 58 people (58%) and mild deafness in the left ear in 38 people (38%) Key words : noise induced hearing loss, analitic, THT
Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi suara, mengenal suara dan berperan dalam keseimbangan posisi tubuh. Telinga terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Bagian luar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik yang berbeda yaitu koklea, yang mengandung reseptorreseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls-impuls saraf, sehingga kita dapat mendengar dan aparatus vestibularis, yang penting untuk sensasi keseimbangan (Sherwood, 2001). Sebagai suatu organ, telinga juga dapat mengalami kelainan, seperti kelainan bentuk anatomi, peradangan akibat infeksi, dan yang paling sering menimbulkan keluhan adalah gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran bisa dialami oleh bayi, anak dan geriatri. Penyebabpenyebab dari gangguan pendengaran antara lain akibat bising dan obat ototoksik. Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Soepardi.dkk, 2007). Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Secara audiologik bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran corti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz dan yang terberat kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000Hz (Soepardi.dkk, 2007). Ada beberapa hal yang mengakibatkan seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, terpajan suara berfrekuensi tinggi, lamanya terpapar bising. Petugasan juga dapat menjadi salah
Universitas Sumatera Utara

satu faktor resiko seseorang terkena gangguan pendengaran akibat kebisingan. Masyarakat yang berisiko terhadap faktor kebisingan antara lain buruh pabrik dan petugas di lapangan terbang (ground handling).
Sebagai pintu gerbang Sumatera Utara, Bandara Polonia merupakan bandara internasional terbesar keempat setelah Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Juanda Surabaya dan Ngurah Rai Denpasar (Bandar Udara Polonia Medan, 2009). Dari tahun ke tahun arus penumpang Polonia cenderung mengalami peningkatan antara 15 hingga 20 persen. Pada tahun 2003, arus penumpang mencapai 2.736.332 orang, naik dari 2.090.519 pada tahun sebelumnya. Jumlah pergerakan pesawat adalah 36.359 pada tahun 2003, naik dari 29.894 pada tahun 2002. Tercatat ada 13.713 penerbangan domestik dan 4.387 penerbangan internasional dari Polonia pada 1998. Pada 2004 jumlahnya telah mencapai 35.100 penerbangan domestik dan 8.266 penerbangan internasional. Dari segi jumlah penerbangan, pada 1998 terdapat 56 penerbangan dalam sehari, namun pada tahun 2005 telah meningkat antara 125 hingga melebihi 150 penerbangan perhari, dengan penumpang lebih kurang 3,8 juta orang pertahun, baik domestik dan internasional (Kantor Kesehatan Pelabuhan, 2007). Kondisi tersebut cenderung akan meningkatkan faktor risiko kebisingan di Bandara, yang berakibat pada kemungkinan timbulnya gangguan kesehatan bagi petugas yang ada di Bandara. Pengaruh utama kebisingan bagi kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengaran yang menyebabkan ketulian progresif.
PT. Gapura Angkasa adalah perusahaan perseroan terbatas yang didirikan oleh tiga BUMN yaitu PT. Garuda Indonesia selaku airline terbesar di Indonesia, PT. Angkasa Pura I selaku pengelola seluruh bandar udara di Indonesia Timur, dan PT. Angkasa Pura II selaku pengelola seluruh bandar udara di Indonesia Barat. Perusahaan ini bergerak di bidang usaha jasa pelayanan ground handling pesawat udara dan kegiatan usaha lain yang dapat menunjang usaha penerbangan. Perusahaan ini telah beroperasi secara komersial mulai tanggal 01 April 1998 dan telah beroperasi di 23 bandar udara. PT. Gapura Angkasa berkerja sama dengan beberapa perusahaan penerbangan yaitu China Airlines, Citylink, Garuda Indonesia, Hongkong Airlines, Malaysia Airlines, Qatar Airways, Thai Airways .
Universitas Sumatera Utara

PT. Gapura Angkasa memiliki tenaga kerja yang sangat banyak dan tersebar hampir di seluruh Indonesia (PT. Gapura Angkasa, 2008). Banyaknya pekerja yang sering terpapar bising pesawat terbang menjadi salah satu faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran.
Saat ini pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menentukan jenis dan derajat ketulian adalah audiometri. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan jenis ketulian, apakah tuli konduktif tuli saraf (sensorineural) atau tuli campuran. Metode pemeriksaan ini menggunakan alat audiometer. Sebagai salah satu tahapan dalam melakukan upaya pengendalian dampak kebisingan, perlu dilakukan pemantauan tingkat kebisingan yang diterima oleh para petugas di lapangan terbang (ground handling).
Sampai saat ini belum ada data yang menunjukkan tentang pengaruh kebisingan terhadap petugas ground handling PT. Gapura Angkasa bandar udara Polonia, sementara data ini sangat penting untuk mengetahui gangguan pendengaran yang terjadi pada petugas ground handling, sehingga pada akhirnya dapat juga dilakukan penatalaksaan yang sesuai serta tindakan rehabilitasi. Maka penulis tertarik untuk melakukan penetian mengenai pengaruh kebisingan pesawat terbang terhadap petugas ground handling yang nantinya akan diperoleh data yang menunjukkan pengaruh kebisingan pesawat terbang terhadap petugas ground handling
1.2. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas,

maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah pengaruh kebisingan pesawat terbang pada petugas ground handling PT. GAPURA ANGKASA bandar udara Polonia, Medan?
Universitas Sumatera Utara

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh kebisingan pesawat terbang pada petugas ground handling PT. GAPURA ANGKASA bandar udara Polonia, Medan. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Mengetahui tingkat kemampuan pendengaran petugas di lapangan terbang (ground handling). b. Mengetahui tingkat kebisingan yang diterima oleh para petugas ground handling. c. Mengetahui hubungan tajam dengar dengan karakteristik responden (masa kerja dan pemakaian alat pelindung diri).
1.4. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai sumber informasi data epidemiologi untuk penelitian ilmiah tentang gangguan pendengaran akibat kebisingan di masa mendatang, baik oleh peneliti maupun oleh pihak-pihak lainnya. 2. Memberi edukasi kepada masyarakat tentang bahaya gangguan pendengaran.
Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Telinga 2.1.1. Anatomi Organ Telinga
Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi suara, mengenal suara dan berperan dalam keseimbangan posisi tubuh. Telinga mengandung bagian vestibulum dari keseimbangan, namun orientasi kita terhadap lingkungan juga ditentukan oleh kedua mata kita dan alat perasa pada tendon dalam. Jadi telinga adalah organ pendengaran dan keseimbangan (Sloane, 2004). Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Bagian liar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik yang berbeda yaitu koklea, yang mengandung reseptor-reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls-impuls saraf, sehingga kita dapat mendengar dan aparatus vestibularis, yang penting untuk sensasi keseimbangan (Sherwood,2001).
a. Telinga Luar Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari rawan yang diliputi
kulit. Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang di sebelah medial. Seringkali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan rawan ini. Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga sementara prosesus mastoideus terletak di belakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus stiloideus di posteroinferior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis (Higler, 2000).
Pinna merupakan daun kartilago yang menangkap gelombang bunyi dan menjalarkannya ke kanal auditori eksternal (meatus), suatu lintasan
Universitas Sumatera Utara

sempit yang panjangnya sekitar 2,5 cm yang merentang dari aurikula sampai membran timpani (Sloane, 2004).
b. Membrana Timpani Membrana timpani atau gendang telinga adalah perbatasan telinga
tengah. Membran ini memisahkan telinga luar dari telinga tengah, dan memiliki tegangan, ukuran, dan ketebalan yang sesuai untuk menggetarkan gelombang bunyi secara mekanis (Sloane, 2004).
Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas membrana timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas melampaui batas bawah membrana timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membran timpani yang disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid) (Higler, 2000).
c. Telinga Tengah Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu

kotak dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah. Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii media. Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan di bawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis dan tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes. Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah
Universitas Sumatera Utara

stapedius dan berjalan ke lateral depan menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis dan menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior lidah. Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah superolateral menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf vagus masuk ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis ini, muara tuba eustakius dan otot tensor timpani yang berinsersi pada leher maleus. Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di bagian atas, membrana timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah. Bagian yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang menutup lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintasi promontorium ini. Fenestra rotundum terletak di posteroinferior dari promontorium, sedangkan kaki stapes terletak pada fenestra ovalis pada batas posterosuperior promontorium. Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak di atas fenestra ovalis mulai dari prosesus kokleariformis di anterior hingga piramid stapedius di posterior (Higler, 2000).
d. Tuba Eustakius Tuba Eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Bagian lateral tuba eustakius adalah yang bertulang sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriksor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat terbukan melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi
Universitas Sumatera Utara

pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba eustakius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana timpani (Higler, 2000).
e. Telinga dalam Telinga dalam berisi cairan dan terletak dalam tulang temporal, di sisi
medial telinga tengah.Bentuk telinga tengah sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membrana yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium.Labirin membrana dikelilingi oleh cairanoerilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsul otika bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita (Higler, 2000).
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebahai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah) (Ganong, 2002).
Universitas Sumatera Utara

Terletak di atas membrana basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3.000) dan tiga baris sel rambut liar (12.000). Sel-sel ini menggantung nglewat lubang-lubang dengan horisontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai membrana tektoria. Membrana tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus (Sherwood,2001).
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulum, utrikulus dan kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada ensolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otkan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor (Higler, 2000).
Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan saluran menuju sakulus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel reseptor (Higler, 2000).
Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Fisiologi Pendengaran Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang

suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang seling dengan daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut (Sherwood, 2001).
Sewaktu suatu gelombang suara mengenai jendela oval, tercipta suatu gelombang tekanan di telinga dalam. Gelombang tekanan menyebabkan perpindahan mirip gelombang pada membran basilaris terhadap membrana tektorium Sewaktu menggesek membrana tektorium, sel-sel rambut bertekuk. Hal ini menyebabkan terbentuknya potensial aksi. Apabila deformitasnya cukup signifikan, maka saraf-saraf aferen yang bersinaps dengan sel-sel rambut akan terangsang untuk melepaskan potensial aksi dan sinyal disalurkan ke otak (Corwin, 2001).
Frekuensi gelombang tekanan menentukan sel-sel rambut yang akan berubah dan neuron aferen yang akan melepaskan potensial aksi. Misalnya, sel-sel rambut yang terletak dibagian membranan basilaris dekat jendela oval adalah selsel yang mengalami perubahan oleh suara berfrekuensi tinggi, sedangkan sel-sel rambut yang terletak di membrana basilaris yang paling jauh dari jendela oval adalah sel-sel yang mengalami perubahan oleh gelombang berfrekuensi rendah. Otak menginterpretasikan suatu suara berdasarkan neuron-neuron yang diakftifkan. Otak menginterpretasikan intensitas suara berdasarkan frekuensi impuls neuron dan jumlah neuron aferen yang melepaskan potensial aksi (Corwin, 2001).
Penghantaran (konduksi) gelombang bunyi ke cairan di telinga dalam melalui membran timpani dan tulang-tulang pendengaran, yang merupakan jalur utama untuk pengdengaran normal, dosebut hantaran osikular. Gelombang bunyi juga menimbulkan getaran membran timpani kedua yang menutupi fenestra rotundum. Proses ini, yang tidak penting untuk pendengaran normal, disebut hantaran udara. Hantaran jenis ketiga, hantaran tulang adalah penyaluran getaran dari tulang-tulang tengkorak ke cairan di telinga dalam. Hantaran tulang yang
Universitas Sumatera Utara

cukup besar terjadi apabila kita menempelkan garpu tala atau benda lain yang bergetar langsung ke tengkorak. Jaras ini juga berperan dalam penghantaran bunyi yang sangat keras (Ganong, 2002).
2.2. Macam-macam Gangguan Pendengaran Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji
pendengaran yaitu gangguan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan keduanya atau tipe campuran. Gangguan pendengaran konduktif adalah akibat kelainan telinga luar atau tengah. Gangguan pendengaran sensorineural timbul sekunder dari kelainan koklearis, saraf kedelapan atau saluran auditorik sentral (Higler, 2000).
Tuli konduktif disebabkan oleh hal yang menggangu hantaran normal daripada gelombang suara ke organ corti. Jadi merupakan gangguan konduksi rangsangan suara melalui liang telinga, membran timpani, ruang telinga tengah, dan tulang pendengaran (Hassan et al, 2007).
Pada telinga luar misalnya serumen prop atau benda asing dalam liang telinga, otitis eksterna, eksostosis. Pada telinga tengah misalnya OMA supurativa dan nonsupurativa, otitis media kronik dengan atau tanpa mastoiditis, perforasi membranan timpani, otitis media serosa (glue ear), otitis media adesiva, otosklerosis, sumbatan tuba eustachii, barotrauma, trauma kepala disertai gangguan fungsi telinga oleh ossicular chain disruption atau oleh hematoma dalam telinga tengah, neoplasma (Hassan et al, 2007).
Pada tulis sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam, nervus VIII atau di pusat pendengaran (Soepardi et al, 2007). Tuli saraf disebabkan oleh hal yang merintangi atau mengurangi reaksi normal dari sel /rambut terhadap stimulasi oleh gelombang suara atau hal yang merintangi atau mengganggu reaksi normal dari jalan serabut saraf organ corti ke korteks serebral (Hassan et al, 2007).
Kerusakan pada saraf atau koklea dapat disebabkan oleh trauma kepala disertai kerusakan os petrosus, trauma akustik misalnya ketulian akibat bising di pabrik, infeksi (virus pada parotitis, campak, influenza dan sebagainya),
Universitas Sumatera Utara

neoplasma (akustik neuroma, glomus jugulare), obat ototoksi (streptomisin, kanamisin, preparat kina), gangguan serebrovaskular (Hassan et al, 2007).
2.2.1. Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) ialah
gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umunya terjadi pada kedua telinga (Hassan et al, 2007).
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat racun terhadap telinga (obat ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin, garamisin (golongan aminoglikosida), kina, asetosal dan lain-lain (Corwin, 2001).
a. Gejala Klinis Kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di telinga) atau tidak.

Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah berat percakapan yang keraspun sukar dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift) (Hassan et al, 2007).
Gejala klinis lainnya yaitu : 1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan
oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.
Universitas Sumatera Utara

2. Peningkatan ambang dengar sementara merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising dengan intensitas cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari.
3. Peningkatan ambang dengar menetap merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat (explosif) atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis dll (Higler, 2000).
b. Klasifikasi Secara umum dibedakan dua macam yaitu : - Pengaruh Auditorial berupa tuli akibat bising (noise induced hearing loss) dan umumnya terjadi dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan yang tinggi. - Pengaruh non auditorial dapat bermacam-macam misalnya gangguan komunikasi, gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah dan lain sebagainya (Hassan et al, 2007).
c. Patologi Telah diketahui secara umum bahwa bising menimbulkan kerusakan di
telinga dalam. Lesinya sangat bervariasi dari disoiasi organ corti, ruptur membran, perubahan stereosilia dan organel subseluler. Bising juga menimbulkan efek pada sel ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada observasi kerusakan organ corti dengan mikroskop elektron ternyata bahwa sel-sel sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di telinga dalam (Hassan et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara

Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu yang ditimbulkan bergantung pada intensitas lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian menggunakan intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkatan kerusakan sel rambut. Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan serabut aferen (Hassan et al, 2007).
Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan ringan pada silia dan Hensen’s body, sedangkan stimulasi dengan intensitas yang lebih keras dengan waktu pajanan yang lebih lama akan mengakibatkan kerusakan pada struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel dan robekan di membran reisner. Pajanan bunyi dengan efek destruksi yang tidak begitu besar menyebabkan terjadinya ‘floppy silia’ yang sebagian masih reversibel. Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur ‘rootlet’ silia pada lamina retikularis (Warren, 2008).
d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan,
pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti audiometri (Hassan et al, 2007).
Anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih. Pada pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Kesan jenis ketuliannya tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000 – 6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini. Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (short increment sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness balance), audiometeri Bekesy, audiometri tutur (speech audiometry), hasil
Universitas Sumatera Utara

menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recruitment) yang patognomonik untuk tuli sensorineural koklea (Hassan et al, 2007).

Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli sensorineural koklea, dimana telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu setelah terlampaui ambang dengarnya. Sebagai contoh orang yang pendengarannya normal tidak dapat mendeteksi kenaikan bunyi 1 dB bila sedang mendengarkan bunyi nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada rekrutmen dapat mendeteksi kenaikan bunyi tersebut. Contoh sehari-hari pada orang tua yang menderita presbikusis (tuli sensorineural koklea akibat proses penuaan) bila kita berbicara dengan kekerasan (volume) biasa dia mengatakan jangan berisik, tetapi bila kita berbicara agak keras dia mengatakan jangan berteriak, sedangkan orang yang pendengarannya normal tidak menganggap kita berteriak (Higler, 2000).
Orang yang menderita tuli sensorineural koklea sangat terganggu oleh bising latar belakang (background noise), sehingga bila orang tersebut berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapat kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan. Keadaan ini disebut cocktail party deafness (Higler, 2000).
Apabila seseorang yang tuli mengatakan lebih mudah berkomunikasi di tempat yang sunyi atau tenang, maka orang tersebut menderita tuli sensorineural koklea (Higler, 2000).
e. Penatalaksanaan Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan
kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet) (Warren, 2008).
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap (irreversible), bila gangguan pendengaran sudah
Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar / ABD (hearing aid). Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaanya. Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan (Hassan et al, 2007).
f. Prognosis Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli
sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian (Hassan et al, 2007).
g. Pencegahan Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat
mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising lingkungan kerja harus diusahakan lebih rendah dari 85 dB. Hal ini dapat diusahakan dengan cara meredam sumber bunyi, misalnya yang berasal dari generator dipisah dengan menempatkannya di suatu ruangan yang dapat meredam bunyi. Jika bising ditimbulkan oleh alat-alat seperti mesin tenun, mesin penggulungan lembaran baja, kilang minyak atau bising yang ditimbulkan sendiri oleh pekerja seperti di tempat penempaan logam, maka pekerja tersebut yang harus dilindungi denga alat pelindung bising seperti sumbat telinga, tutup telinga dan pelindung kepala. Ketiga alat tersebut terutama melindungi telinga terhadap bising yang berfrekuensi tinggi dan masing-
Universitas Sumatera Utara

masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Tutup telinga memberikan proteksi lebih baik dari pada sumbat telinga, sedangkan helm selain pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus sebagai pelindung kepala. Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup telinga memberikan proteksi yang terbaik. Pekerja yang menjadi tuli akibat terpajan bising di lingkungan kerja berhak mendapat santunan (Hassan et al, 2007).
Selain alat pelindung telinga terhadap bising dapat juga diikuti ketentuan pekerja di lingkungan bising yang berintensitas lebih dari 85 dB tanpa menimbulkan ketulian, misalnya dengan menggunakan tabel berikut
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai keputusan Menteri Tenaga Kerja 1999


Lama pajan/hari

Intensitas dalam dB

Jam 24 80

16 82

8 85

4 88

2 91

1 94

Menit

30 97 15 100 7,50 103 3,75 106 1,88 109 0,94 112

Detik

28,12 14,06 7,03 3,52 1,76 0,88 0,44 0,22 0,11

115 118 121 124 127 130 133 136 139

Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB, walau sesaat

Semua usaha pencegahan akan lebih berhasil bila diterapkan Program Konservasi Pendengaran (PKP) yang bertujuan untuk mencegah atau

Universitas Sumatera Utara

mengurangi tenaga kerja dari kerusakan atau kehilangan pendengaran akibat kebisingan di tempat kerja, tujuan lain adalah mengetahui status kesehatan pendengaran tenaga kerja yang terpajan bising berdasarkan datadata. Untuk mencapai keberhasilan program konservasi pendengaran, diperlukan pengetahuan tentang seluk beluk pemeriksaan audiometri, kemampuan dan ketrampilan pelaksana pemeriksaan audiometri, kondisi audiometer dan penilaian hasil audiogram (Hassan et al, 2007).
Aktivitas Program Konservasi Pendengaran antara lain adalah melakukan identifikasi sumber bising melalui survey kebisingan di tempat kerja (walk through survey), melakukan analisis kebisingan dengan mengukur kebisingan menggunakan Sound Level Meter (SLM) atau Octave Band Analyzer, melakukan kontrol kebisingan dengan berbagai cara peredaman bising, melakukan tes audiometri secara berkala pada pekerja ynag berisiko, menerapkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi, serta menerapkan penggunaan APD (alat pelindung diri) secara ketat dan melakukan pencatatan dan pelaporan data (Hassan et al, 2007).
2.3. Suara Suara atau bunyi adalah suatu bentuk gelombang longitudinal yang
merambat dalam suatu medium secara perapatan dan perenggangan, terbentuk oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh sumber bunyi yang mengalami getaran. Medium atau zat perantara ini dapat berupa zat cair, padat, gas. Jadi, gelombang bunyi dapat merambat misalnya di dalam air, batu bara, atau udara. Sebagai contoh palu yang digunakan untuk mengaplikasikan paku menghasilkan getaran suara yang tersebar melalui udara. Suara dihasilkan dari kompresi molekul-molekul yang berjalan pada suatu medium. Manusia mendengar bunyi saat gelombang bunyi menghasilkan getaran di udara atau medium lain, sampai ke gendang telinga manusia. Batas frekuensi bunyi yang dapat didengar oleh telinga manusia kira-kira dari 20 Hz sampai 20 kHz pada amplitudo umum dengan
Universitas Sumatera Utara

berbagai variasi dalam kurva responsnya. Gelombang suara di atas 20 kHz disebut ultrasonik dan di bawah 20 Hz disebut infrasonik (Stach, 1998).
Gelombang bunyi terdiri dari molekul-molekul udara yang bergetar majumundur. Tiap saat, molekul-molekul itu berdesakan di beberapa tempat sehingga menghasilkan wilayah tekanan rendah. Gelombang bertekanan tinggi dan rendah secara bergantian bergerak di udara menyebar dari sumber bunyi (Stach, 1998).
Bunyi merambat di udara dengan kecepatan 1.224 km/jam. Bunyi merambat lebih lambat jika suhu dan tekanan udara lebih rendah. Di udara tipis dan dingin pada ketinggian lebih dari 11 km, kecepatan bunyi 1.000 km/jam. Di air, kecepatannya 5.400 km/jam, jauh lebih cepat daripada di udara (Higler, 2000).
Suara merambat melalui gelombang suara dan menghasilkan fluktuasi tekanan udara, yang dikonversi menjadi gelombang mekanik ke telinga manusia dan dirasakan oleh otak (Higler, 2000).
Suara merupakan energi mekanik yang merambat melalui materi dalam bentuk gelombang. Melalui cairan dalam bentuk gelombang kompresi dan melalui padat dalam bentuk gelombang kompresi dan geser. Suara dianggap secara lebih rinci melalui gelombang generik, yaitu frekuensi, panjang gelombang, periode, amplitudo, kecepatan, dan arah. Kecepatan dan arah ini digabungkan menjadi vektor kecepatan, atau panjang gelombang dan arah digabungkan menjadi vektor gelombang (Hassan et al, 2007).
Suara tidak dapat terdengar pada ruang hampa udara karena bunyi membutuhkan zat perantara untuk menghantarkan bunyi baik zat padat, cair maupun gas (Higler, 2000).
a. Penentuan Arah Sumber Suara Seseorang menentukan sumber suara dalam arah horizintal melalui dua
prinsip yaitu perbedaan waktu antara masuknya suara ke dalam satu telinga dan masuknya ke dalam telinga yang lain, dan perbedaan antara intensitas suara dalam kedua telinga (Hassan et al, 2007).
Mekanisme pertama berfungsi paling baik untuk frekuensi di bawah 3000 siklus per detik, dan mekanisme kedua bekerja paling baik pada frekuensi yang
Universitas Sumatera Utara

lebih tinggi karena kepala bertindak sebagai sawar suara yang lebih baik pada frekuensi-frekuensi ini. Mekanisme perbedaan waktu dalam membedakan arah, jauh lebih tepat daripada mekanisme intensiats, karena mekanisme ini tidak bergantung pada faktor-fa