SATV, CIKAL BAKAL MUHAMMADIYAH SURAKARTA (Catatan Tambahan untuk Mu’arif)

SOHIFAH

SATV, CIKAL BAKAL
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
(Catatan Tambahan untuk Mu’arif)
MOHAMAD ALI
(SEKRETARIS LEMBAGA PUSTAKA PDM SURAKARTA)

A

De
mo
(

Vi
sit

rtikel ini dimaksudkan sebagai catatan tambahan terkait
kemunculan Persyarikatan Muhammadiyah di Surakarta.
Benar, bahwa SATV (Sidik Amanah Tabligh Vathonah)
adalah perkumpulan keagamaan lokal yang kemudian meleburkan diri menjadi Muhammadiyah. Namun demikian, dari awal

SATV memang dipersiapkan sebagai Cabang Muhammadiyah
yang benihnya disebar oleh Kiai Ahmad Dahlan. Untuk memahami
masalah tersebut, dibutuhkan penjelasan lebih rinci tentang dinamika organisasi dan proses peleburan itu berlangsung.
Kalau dicermati secara seksama, ada satu hal yang mengemuka dalam uraian Muarif, yaitu memakai pendekatan (sejarah)
pers atau pesuratkabaran. Oleh karena itu, tidak aneh kalau
kemudian sosok Misbach terlihat begitu menonjol dalam perjalanan
SATV. Padahal, Misbach hanya satu tahun saja menjadi ketua
SATV. Pendekatan pers tentu saja tidak keliru, tetapi kurang memadai pisau analisis untuk membedah keberadaan perkumpulan
pra Muhammadiyah di Surakarta. Melalui pendekatan sejarah
sosial, sebagaimana dilakukan dalam artikel ini, keberadaan SATV
dapat diteropong lebih jelas. Akan diuraikan secara kronologis
sesuai dengan perkembangan internal yang terjadi.
Sebenarnya tidak terlalu mengherankan kalau Muhammadiyah sejak awal bisa hadir di Surakarta. Bukan hanya karena wilayahnya berdekatan (kira-kira 60 km) dan terdapat jalur transportasi
kereta api yang begitu mudah dijangkau. Lebih dari itu, jaringan
Yogya-Solo (Surakarta) semakin diperkuat karena melibatkan

56

7 - 21 SYAWAL 1431 H


w.

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

koneksi perdagangan batik dan hubungan-hubungan kekerabatan.
Seperti diketahui, tatkala berdagang Kiai Ahmad Dahlan selalu
meluangkan waktu untuk menemui kiai ataupun ulama berpengaruh setempat untuk menyampaikan gagasan pembaruannya.
KHR Mohamad Adnan, rektor PTAIN Yogyakarta pertama,
termasuk yang dikunjungi Kiai Ahmad Dahlan (Abdul Basit Adnan,
1990). Cara ini ternyata sangat efektif untuk membuka jalan lahirnya
SATV yang seluruh pelopornya adalah para santri pedagang batik
di Kauman dan Laweyan.

Sebelum SATV lahir, Kiai Ahmad Dahlan sudah demikian
popular di kalangan umat Islam Surakarta. Peristiwa yang meroketkan namanya adalah perdebatan di muka umum antara Kiai
Bagus Arfah, paman Kiai Ahmad Dahlan yang juga pimpinan
Madrasah Mambaul Ulum, dengan Kiai Suleman berkaitan
dengan hukum menafsirkan Al-Qur’an. Peristiwa itu terjadi sekitar
tahun 1910. Posisi Kiai Bagus Arfah dalam keadaan terpojok,
tetapi atas saran dan pendampingan Kiai Ahmad Dahlan kemudian
dapat memenangi perdebatan itu secara gemilang. Umat Islam
Surakarta menilai bahwa kemenangan Kiai Bagus Arfah tidak
lepas dari peran Kiai Ahmad Dahlan, keponakannya, sebagai
peracik strategi yang jitu.

htt
p:/
/w
w

Tulisan Muarif di Suara Muhammadiyah (No
14-16/Th ke-95) tentang perkumpulan pra
Muhammadiyah menarik untuk disimak dan

didiskusikan lebih lanjut. Menarik, karena
kajian sejarah Muhammadiyah lokal yang
sejauh ini diabaikan, dapat memperkaya
khazanah pengembangan dakwah, sekaligus
sebagai cermin diri dalam merencanakan dan
menatap masa depan secara bijak.

Dinamika SATV
Sebagaimana dijelaskan Surono (1957: 51), kemunculan SATV
bermula dari dibukanya Ranting (kring) Sarekat Islam Kampungsewu, Kecamatan Jebres Surakarta pada tahun 1913. Di bawah kepemimpinan Darsosasmito perkumpulan ini merencanakan
kursus (kajian) Islam tengah bulanan dengan mengundang Kiai
kenamaan, di antaranya H. Misbach (1876-1924) dan KHR Mohammad Adnan. Pada tahun 1914 rupanya kursus Islam ini semakin berkembang. Kegiatan itu disertai tanya jawab yang intensif
sehingga pembicaraannya berkembang sedemikian rupa sampaisampai memunculkan persoalan-persoalan yang tidak bisa terjawab, seperti tentang perbandingan agama, teosofi, kebatinan dan
lain-lain. Untuk memahami dan mendalami permasalahan tersebut,
H Misbach menyarankan agar mengundang Kiai Ahmad Dahlan.
Saran H Misbach bisa diterima seluruh peserta kursus Islam.
Diterimanya usulan H Misbach tentu tidak lepas dari kepopuleran
Kiai Ahmad Dahlan di mata umat Islam Surakarta. Pada tahun

SOHIFAH

Sastrasumarto, R Ng Samsu Hadiwijoto, dan M Abu Thoyib.
Pada tahun 1921 beslit pemerintah Hindia Belanda telah
membolehkan Persyarikatan Muhammadiyah beroperasi dan
membuka Cabangnya di seluruh wilayah Nusantara. Namun
demikian, mungkin karena harus mempersiapkan berbagai
persyaratan yang harus dipenuhi, baru pada tahun 1923 SATV
dibubarkan dan berganti nama menjadi Muhammadiyah cabang
Surakarta. Proses transisi SATV ke Persyarikatan
Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Kiai Muchtar Buchary.
Amat disayangkan, dalam usia masih sangat muda menginjak
usia 27 tahun beliau meninggal dunia, di tahun 1926.

Sebelum SATV lahir, Kiai

litm
erg
er.
co
m)


Ahmad Dahlan sudah
demikian popular di kalangan
umat Islam Surakarta...

pd

fsp

Perintis SATV
Menyimak kronologi kemunculan SATV, sebagaimana uraian
di atas, dapat diketahui bahwa orang-orang yang terlibat dalam
upaya perintisan dan pengembangan SATV tidak sedikit. Namun
demikian, ada dua tokoh yang perlu digarisbawahi, yaitu H.
Misbach (1876-1924) dan Kiai Muchtar Buchary (1899-1926).
Meskipun hanya satu tahun menjadi ketua SATV (1917-1918),
tetapi ia telah meletakkan fondasi organisasi yang kokoh. Setelah
lengser dari kursi ketua, H Misbach masih menjadi mubaligh
SATV sampai akhir hayatnya dan mencurahkan tenaga dan
pikirannya untuk melakukan pembelaan terhadap petani, buruh,
dan kaum miskin kota. Akibat tindakannya yang radikal, pada

bulan Juli 2003 H. Misbach di buang ke Manokwari, Papua oleh
pemerintah Hindia Belanda. Ketika dalam pembuangan, ternyata
H Misbach masih berupaya mengenalkan Muhammadiyah di
Indonesia bagian timur. Berkembangnya Muhammadiyah di
Indonesia timur tidak lepas dari aktivitasnya. Selama di
pembuangan, ia berhasil merumuskan gagasan kontroversialnya
tentang sinergi “Islam dan Komunisme” yang memerlukan
elaborasi secara jernih.
Kalau H Misbach adalah saudagar sukses yang menyukai
aktivitas politik radikal, Kiai Muchtar Buchary seorang mubaligh
intelektual yang berkemajuan. Setamat dari HIS, melanjutkan ke
Madrasah Islamiyah Arabiyah hingga rampung, lalu belajar di
pesantren Termas Pacitan. Di samping mengadakan kursus
mubaligh, ia sebagaimana H Misbach juga aktif menjadi redaktur
di Medan Moeslimin, Islam bergerak, Bintang Islam, Majalah AlIslam, dan Wewarah Islam. Melihat banyaknya majalah yang
menjadi organ SATV Surakarta menunjukkan bahwa mereka
sangat peduli dengan dunia tulis-menulis, sebuah aktivitas yang
belakangan ini terabaikan.l

De

mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

1916 terbentuklah panitia tabligh umum yang akan mendatangkan
Kiai Ahmad Dahlan dengan susunan sebagai berikut: H. Misbach
(ketua), Darsosasmito (wakil ketua), M. Harsolumakso (penulis),
R.Ng Parikrangkungan (penulis II), R. Sontohartono (bendahara),
M. Sukarno dan M. Sudiono sebagai pembantu. Panitia
mempersiapkan acara secara matang. Sebab, kedatangan Kiai
Ahmad Dahlan ke Surakarta ternyata akan dijadikan momentum

untuk meresmikan keberadaan Muhammadiyah. Sebagaimana
di tempat lain, seperti Banyuwangi, Surabaya, Pekalongan,
kegiatan tabligh umum yang dihadiri Kiai Ahmad Dahlan sekaligus
menandai dibukanya Cabang baru Muhammadiyah.
Satu tahun kemudian, 1917 acara tabligh umum baru bisa
terlaksana bertempat di rumah Harsolumekso (Kerabon).
Kegiatan ini dihadiri masyarakat umum dan mengundang sejumlah
Kiai berpengaruh di Surakarta yang sehaluan dengan pemikiran
Muhammadiyah, di antaranya Kiai Imam Bisri dan Kiai Idris
Jamsaren. Dari Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan mengajak serta
Fachruddin, Hadjid, dan Bagus Hadikusumo. Setelah mendengar
isi ceramah Kiai Ahmad Dahlan, niatan panitia tabligh umum untuk
membentuk dan meresmikan Muhammadiyah cabang Surakarta
semakin mantap. Panitia tabligh umum menjadi pengurus inti
ditambah M Abu Thayib, R. Martodihardjo, R.M. Mangkutaruno,
dan Muchtar Buchary (1899-1926).
Sayang sekali, semangat mendidih umat Islam Surakarta untuk
mendirikan Muhammadiyah di wilayahnya belum dapat terwujud
saat itu. Keadaan ini terjadi karena terhalang beslit pemerintah Hindia
Belanda yang membatasi ruang gerak Muhammadiyah terbatas di

daerah Yogyakarta. Maka, sebagai jalan keluarnya, perkumpulan
ini oleh Kiai Ahmad Dahlan diberi nama Persyarikatan Sidik Amanah
Tabligh Vathonah (SATV). Dengan demikian, sejak tahun 1917
Persyarikatan Muhammadiyah telah memiliki Cabang yang riil di
Surakarta dengan nama SATV. Namun, secara hukum (di mata
pemerintah kolonial), belum diakui. Maka tidak aneh kalau kegiatan
SATV senafas dan sebangun dengan aktivitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Baru satu tahun memimpin SATV, pada bulan Juli 1918 H
Misbach mengundurkan diri dari kursi ketua, tapi masih tetap menjadi
anggota (mubaligh SATV). H Misbach mengundurkan diri karena
usahanya untuk membelokkan haluan SATV ke arah gerakan politik
yang bersikap radikal terhadap pemerintah kolonial Belanda ditolak
oleh pengurus yang lain. Penolakan ini menunjukkan bahwa
koordinasi antara SATV dengan Muhammadiyah Yogya berjalan
lancar. Muhammadiyah mengutamakan gerakan sosial dan
pendidikan, bukan gerakan politik.
Mundurnya H Misbach (ketua) dan meninggalnya Darsosasmito (wakil ketua) tidak mengendorkan semangat kawankawan untuk terus berkiprah di SATV. Pada tahun 1919 disusun
ulang kepengurusan SATV dengan mempertimbangkan keahlian
masing-masing. Susunan kepengurusan baru tahun 1919-1920

di ketuai oleh kalangan muda energik berpengetahuan luas, Kiai
Muchtar Buchary. Saat itu ia baru berusia 20 tahun. Kemudian
berturut-turut dibantu oleh: R Ng Parikrangkungan (wakil ketua),
M Harsolumakso (penulis), R Sontohartono (bendahara), dan
pembantu adalah R Ng Sastrosugondo, R Ng Wignjodisastro, R

SUARA MUHAMMADIYAH 18 / 95 | 16 - 30 SEPTEMBER 2010

57