Identifikasi keragaman gen penyandi tahan panas (Heat Shock Protein 70) ayam lokal serta respon fisiologisnya terhadap cekaman panas akut

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PENYANDI TAHAN PANAS
(HEAT SHOCK PROTEIN 70) AYAM LOKAL SERTA RESPON
FISIOLOGISNYA TERHADAP CEKAMAN PANAS AKUT

MOH. HASIL TAMZIL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Identifikasi
Keragaman Gen Penyandi Tahan Panas (Heat Shock Protein 70) Ayam Lokal
Serta Respon FisiologisnyaTerhadap Cekaman Panas Akut adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Moh. Hasil Tamzil
D161090021

RINGKASAN
MOH. HASIL TAMZIL. Identifikasi Keragaman Gen Penyandi Tahan
Panas (Heat Shock Protein 70) Ayam Lokal Serta Respon Fisiologisnya Terhadap
Cekaman Panas Akut.
Dibimbing oleh: CECE SUMANTRI, RONNY
RACHMAN NOOR, PENI SUPRAPTI HARDJOSWORO, dan WASMEN
MANALU.
Stres panas pada ternak unggas berdampak negatif pada pertumbuhan dan
produksi telur serta rentan terhadap munculnya berbagai macam penyakit.
Masalah utama adalah ternak unggas merupakan hewan homeotermik yang
hampir semua bagian tubuhnya ditutupi bulu dan tidak memiliki kelenjar keringat.
Kondisi tubuh seperti ini mempengaruhi kemampuan membuang panas tubuh,
terutama bila dipelihara pada lingkungan panas. Pada praktik budi daya ternak
unggas selama ini, upaya mengatasi bahaya stres lebih fokus pada pendekatan

manajemen perkandangan dan pakan. Pendekatan melalui kedua aspek ini
berdampak pada peningkatan ongkos biologis. Oleh sebab itu, dilakukan
terobosan baru menggunakan pendekatan genetik dengan mengeksplorasi
keragaman gen HSP 70 yang merupakan gen yang bertanggung jawab pada
bahaya stres panas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan genotipe
ayam yang toleran pada pemeliharaan suhu tinggi, sedangkan tujuan khusus
adalah 1) Mengkaji keragaman gen HSP 70 pada ayam kampung, ayam arab, dan
ayam ras; 2) Mengkaji pengaruh genotipe ayam kampung, ayam arab, dan ayam
ras pada kemampuan adaptasi pada pemeliharaan di suhu lingkungan tinggi.
Penelitian ini menggunakan 96 ekor ayam kampung betina, 94 ayam arab
betina, dan 87 ekor ayam ras betina, yang dibesarkan sejak anak ayam umur sehari
(DOC) sampai umur 20 minggu. Anak ayam umur sehari ayam kampung
diperoleh dari hasil penetasan sendiri dengan telur tetas didatangkan dari daerah
dataran rendah (0 - 100 meter di atas permukaan laut), sedang (700 - 800 meter di
atas permukaan laut), dan dataran tinggi (1400 - 1600 meter di atas permukaan
laut) di Pulau Lombok, sedangkan DOC ayam ras dibeli di poultry shop, dan
DOC ayam arab dibeli di peternak. Semua anak ayam dari ke tiga jenis ayam
tersebut dipelihara dalam kandang pembesaran secara terpisah. Pada saat ayam
berumur 12 minggu, darah diambil lewat vena sayap menggunakan spuit insulin 1
cc dan selanjutnya diekstraksi untuk mendapatkan DNA genom. Tahap

selanjutnya dilakukan amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) gen HSP 70
yang dilanjutkan dengan analisis SSCP (Single Strand Conformation
Polymorphism), genotyping dan analisis sekuensing. Pada umur 20 minggu
sebanyak 4 ekor dari masing-masing genotipe dari masing-masing jenis ayam
yang diperoleh dari hasil genotyping diujitantang pada suhu 40oC. Masing-masing
1 ekor sebagai kontrol (tidak diberi uji tantang), 1 ekor diuji tantang selama 0.5
jam, 1 ekor diuji tantang selama 1 jam, dan 1 ekor diuji tantang selama 1.5 jam.
Hasil analisis menunjukkan bahwa gen HSP 70 mempunyai 4 alel, yaitu
alel A, B, C, dan D serta 7 genotipe pada ayam kampung, yaitu genotipe AA, AB,
AC, CC, AD, DD, dan BC, 6 genotipe pada ayam arab, yaitu AA, AB, AC, CC,
AD, dan BC, dan 1 genotipe pada ayam ras, yaitu DD. Frekuensi alel tertinggi
pada ayam kampung adalah alel A, berikutnya diikuti oleh alel D, C, dan terendah
adalah alel B. Pada ayam arab frekuensi alel tertinggi adalah alel A dan C

(frekuensi sama), selanjutnya diikuti oleh alel B dan terendah adalah alel D,
sementara pada ayam ras hanya terdapat 1 alel, yaitu alel D. Frekuensi alel gen
HSP 70 ayam kampung setelah dirinci berdasarkan sumber materi genetik, ayam
yang berasal dari daerah dataran rendah dan sedang memperlihahatkan pola yang
sama dengan frekuensi alel gen HSP 70 ayam kampung secara keseluruhan, hanya
populasi ayam kampung yang berasal dari daerah dataran tinggi yang

memperlihatkan fenomena yang beda, yaitu frekuensi alel tertinggi adalah A,
selanjutnya diikuti oleh alel C, B, dan terendah adalah alel D.
Pada ayam kampung, frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe AD,
selanjutnya diikuti oleh genotipe AA, AC, dan DD (frekuensi sama), genotipe AB,
dan genotipe dengan frekuensi terendah adalah genotipe CC dan BC (frekuensi
sama). Pada ayam arab frekuensi genotipe tertinggi adalah genotipe AC,
selanjutnya diikuti oleh genotipe BC, AB, AD, CC, dan terendah adalah genotipe
AA, sedangkan pada ayam ras hanya terdapat 1 genotipe, yaitu genotipe DD.
Frekuensi genotipe HSP 70 ayam kampung setelah dirinci berdasarkan sumber
materi genetik, ayam kampung yang berasal dari daerah dataran rendah dan
sedang memperlihatkan pola yang sama dengan frekuensi genotipe ayam
kampung secara keseluruhan, hanya populasi ayam kampung yang materi
genetiknya dari daerah dataran tinggi yang memperlihatkan fenomena yang beda,
yaitu frekuensi genotipe tertinggi adalah AA, selanjutnya diikuti oleh genotipe
AD, DD, AC, AB dan frekuensi terendah adalah genotipe CC dan BC (frekuensi
sama). Paparan data ini memberikan simpulan bahwa gen HSP 70 pada populasi
ayam kampung di Pulau Lombok lebih banyak bergenotipe AD, sedangkan pada
populasi ayam arab lebih banyak bergenotipe AC, sedangkan pada ayam ras
hanya didapat 1 genotipe, yaitu DD. Hasil penelitian ini memberikan informasi
bahwa terdapat perbedaan jumlah, frekuensi alel dan alel dominan serta frekuensi

dan genotipe dominan gen HSP 70 pada ayam kampung, ayam arab, dan ayam ras.
Hasil uji Chi-square (χ2) terhadap gen HSP 70 didapatkan bahwa pada
populasi ayam kampung dan ayam arab berada dalam kondisi tidak seimbang
(χ2hitung > χ2tabel), sedangkan nilai Chi-square ayam kampung, setelah dirinci
berdasarkan sumber materi genetik, menunjukkan hasil bahwa populasi gen HSP
70 berada pada kondisi keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2hitung < χ2tabel). Nilai Ho
pada populasi ayam kampung dan ayam arab tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata, demikian pula halnya nilai Ho tidak menunjukkan perbedaan yang besar
dibandingkan dengan nilai He. Hal yang sama berlaku pada nilai PIC. Nilai PIC
populasi ayam kampung tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan
nilai PIC populasi ayam arab, sedangkan nilai PIC ayam ras tidak dilakukan
penghitungan karena ayam ras termasuk ternak yang monomorfik.
Berdasarkan hasil sekuensing, gen HSP 70 hasil penelitian ini didapat
persamaan dengan gen HSP 70 ayam yang terdapat di gen bank dengan nomor
akses AY143693.1. Dijumpai 7 situs polimorfik, yaitu perubahan basa AG pada
situs 617, perubahan basa AG pada situs 628, perubahan basa GC pada situs
646, perubahan basa CT pada situs 661, perubahan basa AG pada situs 699,
perubahan basa GC pada situs 754, dan perubahan basa AG pada situs 792.
Mutasi pada situs 628, 646 dan 661 merupakan silent mutation.
Perubahan basa AG pada situs 628 menyebabkan perubahan TCA

menjadi TCG, perubahan GC pada situs 646 menyebabkan perubahan
CCGCCC, dan perubahan CT pada situs 661 menyebabkan perubahan AAC

menjadi AAT. Ketiga situs mutasi ini tidak mengubah asam amino, karena TCA
dan TCG pada situs 628 sama-sama menyandi asam amino serina; CCG dan CCC
pada situs 646, sama-sama menyandi asam amino metionina; AAC dan AAT pada
situs 661 sama-sama menyandi asam amino asparagina. Lain halnya dengan
mutasi pada situs 617, perubahan basa AG menyebabkan perubahan ACA
(penyandi asam amino trionina) berubah menjadi GCA yang menyandi asam
amino alanina. Mutasi pada situs 699, perubahan basa AG menyebabkan GGT
yang menyandi asam amino glisina berubah menjadi GAT (penyandi asam
aspartat). Pada mutasi di situs 754, perubahan basa GC menyebabkan ATG
yang menyandi asam amino metionina berubah menjadi ATC (penyandi asam
isoliosina), sedangkan mutasi pada situs 792, CAG (penyandi asam amino
glutamina) berubah menjadi CGG yang menyandi asam amino arginina. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dari tujuh situs polimorfik tersebut tiga di
antaranya (situs 626, 646 dan 661) tergolong silent mutation karena tidak
mengubah asam amino protein HSP 70.
Jenis ayam (ayam kampung, ayam arab, dan ayam ras) mempengaruhi
frekuensi panting, kadar air feses, serta nilai hematokrit darah, namun tidak

mempengaruhi waktu mulai panting, konsumsi air minum, konsumsi pakan, suhu
rektal, ekspresi HSP 70, kadar hormon kortikosteron, kadar eritrosit, hemoglobin,
kadar leukosit, heterofil, basofil, limfosit, monosit, dan eosinofil serta rasio H/L.
Cekaman panas akut menyebabkan peningkatan frekuensi panting, konsumsi air
minum, suhu rektal, kadar air feses, ekspresi HSP 70, kadar hormon kortikosteron,
persentase heterofil, basofil, dan rasio H/L, serta meyebabkan penurunan
konsumsi pakan, kadar eritrosit, hemoglobin, nilai hematokrit, kadar leukosit,
serta persentase limfosit dan monosit. Perlakuan cekaman panas tidak
menyebabkan perubahan persentase eosinofil. Lama cekaman panas tidak
mempengaruhi waktu mulai panting, konsumsi air minum, konsumsi pakan, suhu
rektal, kadar air feses, kadar hormon kortikosteron, kadar eritrosit, hemoglobin,
nilai hematokrit, kadar leukosit, persentase heterofil, persentase eosinofil,
persentase basofil, persentase limfosit, dan persentase monosit, namun lama
cekaman panas meningkatkan frekuensi panting dan ekspresi HSP 70. Dalam
penelitian ini didapat pengaruh interaksi antara jenis ayam dan lama cekaman
panas pada konsumsi air minum dan kadar air feses, namun tidak didapat
pengaruh interaksi pada frekuensi panting, waktu mulai panting, konsumsi pakan,
suhu rektal, ekspresi HSP 70, kadar hormon kortikosteron, kadar eritrosit, kadar
hemoglobin, nilai hematokrit, kadar leukosit dan komponen leukosit (heterofil,
eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit) serta rasio H/L.

Genotipe HSP 70 mempengaruhi frekuensi panting, waktu mulai panting,
suhu rektal, kadar hormon kortikosteron, ekspresi HSP 70, kadar leukosit darah,
serta diferensiasi leukosit. Ternak ayam yang bergenotipe AD, memperlihatkan
frekuensi panting paling rendah dengan waktu mulai panting paling lambat, serta
suhu rektal, kadar hormon kortikosteron, ekspresi HSP 70 serta persentase
heterofil dan nilai rasio H/L paling rendah, namun mempunyai kadar leukosit dan
persentase limfosit paling tinggi. Genotipe DD memperlihatkan ekspresi
sebaliknya, sedangkan genotipe-genotipe yang lain tidak memperlihatkan
perbedaan yang sangat nyata. Penelitian mendapatkan asosiasi antara jenis ayam
dan genotipe HSP 70 pada peubah-peubah yang mencerminkan ketahanan panas.
Ayam kampung mempunyai ketahanan panas paling baik dibandingkan dengan

ayam arab dan ayam ras, sedangkan genotipe HSP 70 ayam yang paling toleran
pada suhu tinggi adalah genotipe AD, dan sebaliknya adalah genotipe DD.
Kata kunci: gen HSP 70, ayam lokal, kortikosteron, panting, hematologi

SUMMARY
MOH. HASIL TAMZIL. Identifikasi Keragaman Gen Penyandi Tahan
Panas (Heat Shock Protein 70) Ayam Lokal Serta Respon Fisiologisnya Terhadap
Cekaman Panas Akut. Dibimbing oleh: CECE SUMANTRI, RONNY

RACHMAN NOOR, PENI SUPRAPTI HARDJOSWORO, dan WASMEN
MANALU.
This study was designed to obtain HSP 70 genotypes of chickens which
were tolerant to high ambient temperature or heat stress, while the specific
objectives were: 1) To examine the HSP 70 gene polymorphism in local, Arabic,
and commercial chickens, 2) To examine the genotype effect of local, arabic, and
commercial chickens on their adaptability to the high environmental temperature.
The study used 96 blood samples from local chicken, 94 samples from Arabic
chickens, and 87 samples from commercial chickens which were taken from the
brachial vein at the age of 12 weeks. Day old Kampong chickens were obtained
by hatching the eggs that were collected from lowlands, medium, and high
altitude areas in Lombok Island, while the day old Arabic chickens were obtained
from local farmer. Day old commercial chickens were purchased from the local
poultry shop. Each genotype from each chicken classes wasrepresented by 4
chickens to be challenged to heat stress at 40oC, one chicken as a control (was not
exposed to given heat to heat stress), one chicken was exposed to heat stress for
0.5, 1, and 1.5 hours, respectively. The genotyping results by using PCR-SSCP
analysis showed that kampong and Arabic chickens were polymorphic, while
commercial chickens were classified as monomorphic. Kampong chickens had
seven genotypes of HSP 70, namely AA, AB, AC, CC, AD, DD, and BC. The

AD genotypes and A allele had the highest frequency in kampong chickens.
Arabic chickens had six genotypes, namely AA, AB, AC, CC, AD, and BC, which
AC genotype and A allele had the highest frequencies. However, the commercial
chickens had only one genotype, namely DD. Seven were polymorphic sites
found in applicated area, namely AG mutation at site 617, AG mutation at
sites 628 and G C mutation at site 646, mutation CT at sites 661 and AG
mutation at site 699, mutation GC at site 754, and AG mutation at site 792.
Mutation at site 628, 646 and 661 were considered as silent mutation. HSP 70
gene in kampong and arabic chickens population in this study were in equilibrium.
The values of Ho, He, and PIC of kampong and Arabic chickens were not
significant.
The chicken breeds (local, arabic and commercial chickens) affected the
panting frequency, feces water content, and the blood hematocrit values as well,
but did not affect the onset of panting, drinking water consumption, feed
consumption, rectal temperature, HSP 70 expression, the serum corticosterone
concentration, erythrocytes concentration, hemoglobin, leucocyte concentration,
heterophils, basophils, lymphocytes, monocytes, eosinophil, and the H/L ratio.
Acute heat stress caused an increase in the panting frequency, drinking water
consumption, rectal temperature, feces water content, the expression of HSP 70,
the serum corticosterone concentration, the heterophils, basophils, and the H/L

ratio, and decreased feed intake, erythrocytes, hemoglobin, hematocrit value,
leucocyte, lymphocytes, and monocytes percentages. Heat stress treatment did not

affect the percentage of eosinophils. Long-term heat stress did not affect the onset
of panting, drinking water consumption, feed consumption, rectal temperature,
feces water content, serum corticosterone concentration, erythrocytes
concentration, hemoglobin, hematocrit values, leucocyte concentration, and
heterophils, eosinophils, basophils, lymphocytes, monocytes percentage. However,
long-term heat stress increased the frequency of panting and HSP 70 expression.
In this study, the interaction between the chicken types and the duration of heat
stress was significant on water consumption and feces water content, but did not
affect panting frequency, the onset of panting, feed consumption, rectal
temperature, HSP 70 expression, serum corticosterone concentration, erythrocyte
concentration, hemoglobin, hematocrit values, leokocyite level and leucocyte
component (heterophils, eosinophils, basophils, lymphocytes, and monocytes),
and H / L ratio.
Genotype of HSP 70 affected panting frequency, on set of panting, rectal
temperature, serum corticosterone concentration, HSP 70 expression, blood
leucocyte and differentiation of leucocyte. The AD genotype of chicken showed
the lowest panting frequency, panting on set, rectal temperature, serum
cortikosterone concentration, HSP 70 expression, heterophile percentage and H/L
ratio, but the AD genotype of Chicken had the highest leucocyte concentrations
and lymphocyte percentage. DD genotype showed the other way around, while
other genotypes did not show any significance differences. It is concluded that
genotype of HSP 70 that most tolerant to heat stress is AD genotype and the most
intolerant is DD genotype.
Key Words: HSP 70 gene, local chickens, corticosterone, panting, hematologic

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PENYANDI TAHAN PANAS
(HEAT SHOCK PROTEIN 70) AYAM LOKAL SERTA RESPON
FISIOLOGISNYA TERHADAP CEKAMAN PANAS AKUT

MOH. HASIL TAMZIL

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof (R) Dr Ir Sofjan Iskandar, MSc
Dr Jakaria Thabrani, SPt MSi

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir H Muhamad Ichsan, MS
Dr Ir Rukmiasih, MS

Judul Disertasi: Identifikasi Keragaman Gen Penyandi Tahan Panas (Heat Shock
Protein 70) Ayam Lokal Serta Respon Fisiologisnya Terhadap
Cekaman Panas Akut
Nama

: Moh. Hasil Tamzil

NIM

: D161090021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cece Sumantri, M Agr Sc
Ketua

Prof Dr Ir Ronny R Noor, M Rur Sc
Anggota

Prof Dr Peni Suprapti Hardjosworo, M Sc.
Anggota

Prof Dr. Ir. Wasmen Manalu
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Muladno, MSA

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 23 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillahi Robbil Alamin, penulis panjatkan kehadirat Alloh
Subhanahu Wata„ala, atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah yang
berjudul: Identifikasi Keragaman Gen Penyandi Tahan Panas (Heat Shock Protein
70) Ayam Lokal serta Respon Fisiologisnya Terhadap Cekaman Panas Akut,
dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret 2011 sampai
dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Ternak Unggas dan Laboratorium
Mikrobiotek Fak. Peternakan Universitas Mataram, Laboratorium Immunobiologi
Fak. MIPA Universitas Mataram, Laboratorium Reproduksi Fak. Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga Surabaya serta Laboratorium Genetika Molkuler
Institut Pertanian Bogor. Sebagian dari disertasi ini telah diterbitkan di
International Journal of Poultry Science, volume 12 no. 5 tahun 2013, dengan
judul: Acute Heat Stress Responses of Three Lines of Chickens with Different
Heat Shock Protein (HSP)-70 Genotypes, dan pada Jurnal Veteriner, volume 14,
No. 3 tahun 2013, dengan judul: Keragaman Gen Heat Shock Protein (HSP) 70
ayam kampung, arab dan ras.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada yang terhormat: Prof Dr Ir Cece Sumantri, M agr Sc., selaku ketua komisi
pembimbing, Prof Dr Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur. Sc., Prof (Em) Dr Peni
Suprapti Hardjosworo, MSc. dan Prof Dr Ir Wasmen Manalu, masing-masing
sebagai anggota komisi pembimbing, atas kerelaannya dalam membekali penulis
dengan ilmu pengetahuan, serta saran dan perbaikan sehingga karya ilmiah ini
dapat terselesaikan. Kerelaan dan keikhlasan para pembimbing dalam membekali
penulis dengan dasar-dasar keilmuan yang kuat, sungguh merupakan suatu yang
tidak dapat dinilai secara material. Dalam kesempatan ini, penulis hanya mampu
memanjatkan doa kepada Yang Maha Esa, semoga semuanya dapat bernilai
ibadah di sisi Alloh dan mendapat ganjaran yang setimpal dari-Nya. Amien.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, juga tidak lupa
penulis sampaikan kepaka semua penguji luar komisi, baik pada ujian tertutup
[Prof (R) Dr Ir Sofjan Iskandar, MSc. dan Dr Jakaria Thabrani, SPt. Msi] maupun
ujian terbuka (Prof Dr Ir H Muhammad Ichsan, MS dan Dr Ir Rukmiasih, MS),
saran-saran perbaikan yang diberikan, sangat bermakna dalam penyempurnaan
karya tulis ini. Semoga Alloh SWT membalasnya dengan ganjaran yang setimpal.
Melalui kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Direktorat Jendral Perguruan
Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas
dukungan dananya melalui Program Hibah Disertasi Doktor. Semoga dengan
bantuan yang diberikan untuk penyelesaian karya tulis ini dapat menempatkan
karya ini sebagai penambah hasanah ilmu pengetahuan dan bernilai ibadah di sisi
Alloh SWT. Amien.
Melalui disertasi ini, penulis juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr Muhamad Ali, SPt.
MSi., drh I Made Sri Asih, MAgr Sc. PhD, Ir. Sulaiman Ngongo Depemede, M
Bioteck, PhD (Dosen Fak. Peternakanan Universitas Mataram), Susilawati, SSi
dan Dedi Isnaini, SPt. (Laboran pada Laboratorium Mikrobiologi dan
Bioteknologi Fakultas Peternakan Universitas Mataram), I Gusti Ayu Sri
Andayani, SSi. (laboran pada Laboratorium Immunobiologi Fakultas MIPA,

Universitas Mataram), Eryk Andreas, SPt, MSi. (Penanggung-jawab pada
Laboratorium Genetika Molkuler Fak. Peternakan, IPB), H. Kamaruddin, staf
pada kandang unggas di Teaching Farm Fakultas Peternakan Universitas
Mataram, di desa Lingsar Lombok Barat, serta kepada semua pihak yang telah
turut serta membantu kelancaran penelitian ini, yang tidak dapat penulis sebut satu
per satu. Semoga semua bantuan yang diberikan kepada penulis bernilai ibadah di
sisi Alloh SWT. Amien.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga secara
khusus penulis sampaikan kepada orang-orang terdekat penulis. Kepada istri
tercinta, Dra. Abdiah, dan anak-anak tersayang; Wahyu Dian Silviani, S.Si,
Ahmad Hadian Tsauri, Almira Amini, serta Fatin Nabila Fitri yang secara utuh
memberikan dukungan, do‟a serta motivasi, sehingga muncul motivasi kuat untuk
penyelesaian Program S3 ini. Semoga semuanya dapat berperan sebagai penguat
keluarga sakinah mawaddah warrahmah yang sudah dibina selama ini, dalam
upaya mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Khusus kepada anakanakku tersayang, semoga semua ini dapat berperan sebagai motivator untuk
menggapai pendidikan yang setingi-tingginya, amien.
Bogor, Juli 2013
Moh. Hasil Tamzil

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tjuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
KERAGAMAN GEN HEAT SHOCK PROTEIN (HSP) 70 PADA
AYAM KAMPUNG, ARAB DAN RAS PETELUR
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
RESPON CEKAMAN PANAS AKUT PADA TIGA TIPE AYAM
DENGAN GENOTIPE HEAT SHOCK PROTEIN 70 YANG
BERBEDA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan pembahasan
Simpulan
PEMBAHASAN UMUM
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ix
x
xi
1
1
2
2
2
3
3
4
7
15
16
16
17
20
51
53
55
55
55
56
61
79

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Ringkasan hasil sekuensing
Frekuensi genotipe Heat Shock Protein-70 ayam kampung, ayam arab, dan
ayam ras

11
12

Frekuensi alel gen Heat Shock Protein-70 ayam kampung, ayam arab, dan
ayam ras

12

Nilai χ2 (Chi-square) ayam kampung dan rincian berdasarkan sumber
materi genetik, serta ayam arab dan ayam ras petelur

14

Nilai heterozigositas pengamatan (Ho), heterozigositas harapan (He), dan
nilai PIC gen HSP 70 ayam kampung, ayam arab, dan ayam ras

15

Rataan bobot badan dan luas relatif permukaan tubuh ayam percobaan
umur 5 bulan

20

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
waktu mulai panting (menit)

21

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
frekuensi panting (kali/menit)

23

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
konsumsi pakan (gram/ekor/menit)

25

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
konsumsi air minum (mL/ekor/menit)

26

Pengaruh tipe ayam (ayam kampung, ayam arab, dan ayam ras) serta lama
cekaman panas akut pada perbandingan konsumsi pakan dan air minum

28

Pengaruh genotipe HSP 70 ayam pada perbandingan antara konsumsi
pakan dan konsumsi air minum

29

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
suhu rektal (oC)

29

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar air feses (%)

31

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar ekspresi HSP 70 ( x107) (copy mRNA)

33

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar hormon kortikosteron (µg/dL)

35

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar eritrosit darah (x106/mm3)

38

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar hemoglobin darah (g/dL)

39

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
nilai hematokrit (%)

41

20
21
22
23
24
25
26

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar leukosit darah (x103/mm3)

43

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada kadar
heterofil darah (%)

45

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar eosinofil (%).

45

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar basofil (%)

46

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar limfosit (%)

46

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
kadar monosit (%)

47

Pengaruh cekaman panas akut pada ayam kampung dan ayam arab pada
rasio H/L

47

DAFTAR GAMBAR
1

Daerah gen HSP 70 yang diamplifikasi berdasarkan pada sekuen gen
HSP 70 di Gen Bank, no akses AY143693

5

2

Hasil elektroforisis produk PCR fragmen gen HSP 70 ayam

8

3

Genotipe HSP 70 ayam yang diperoleh menggunakan PCR-SSCP

8

4

Perbedaan lokasi mutasi pada pada masing-masing genotipe gen heat
shock protein (HSP) 70 ayam

10

5

Frekuensi genotipe HSP 70 ayam kampung, ayam arab, dan ayam
ras

11

6

Frekuensi alel gen HSP 70 ayam kampung, ayam arab, dan ayam ras

12

7

Frekuensi genotipe HSP 70 ayam kampung dengan sumber telur
tetas dari daerah dataran rendah, sedang, dan dataran tinggi serta
gabungan dari ketiga sumber tersebut

13

Frekuensi alel gen HSP 70 ayam kampung dengan sumber telur tetas
dari daerah dataran rendah, sedang, dan dataran tinggi serta
gabungan dari ketiga sumber tersebut

13

8

9

Pengaruh genotipe HSP 70 pada waktu mulai panting pada ayam
(menit)

23

10

Pengaruh genotipe HSP 70 pada frekuensi panting pada ayam
(kali/menit)

24

11

Pengaruh
genotipe
ayam(g/ekor/menit)

25

12

Pengaruh cekaman panas akut pada konsumsi air minum ayam kampung

HSP

70

pada

konsumsi

pakan

dan ayam arab

27

13

Pengaruh genotipe HSP 70 pada konsumsi air minum ayam
(mL/ekor/menit)

28

14

Pengaruh genotipe HSP 70 pada suhu rektal ayam (oC)

30

15

Pengaruh cekaman panas akut pada kadar air feses ayam kampung
dan ayam arab

31

16

Pengaruh genotipe HSP 70 pada kadar air feses ayam (%)

32

17

Pengaruh genotipe HSP 70 ayam pada ekspresi HSP 70 (x107) (copy
mRNA)

34

18

Pengaruh genotipe HSP 70 ayam pada kadar hormon kortikosteron
ayam (µg/dL)

38

19

Pengaruh genotipe HSP 70 pada rataan kadar eritrosit darah ayam
(x106/mm3)

39

20

Pengaruh genotipe HSP 70 ayam pada kadar hemoglobin darah
ayam (g/dL)

40

21

Pengaruh genotipe HSP 70 pada nilai hematokrit ayam (%)

42

22

Pengaruh genotipe HSP 70 pada kadar leukosit darah ayam
(x103/mm3)

44

23

Pengaruh genotipe HSP 70 pada persentase heterofil darah ayam

48

24

Pengaruh genotipe HSP 70 pada persentase eosinofil darah ayam

49

25

Pengaruh genotipe HSP 70 pada persentase basofil dalam darah
ayam

49

26

Pengaruh genotipe HSP 70 pada persentase limfosit darah ayam

50

27

Pengaruh genotipe HSP 70 pada persentase monosit dalamdarah
ayam

50

28

Pengaruh genotipe HSP 70 pada nilai rasio H/L darah ayam

52

DAFTAR LAMPIRAN
1
2a
2b
3a
3b
4a
4b
5a
5b
6a

Sekuen gen HSP 70 yang diakses dari Gen Bank dengan nomer
akses AY143693
Hasil sekuensing genotipe AA gen HSP 70 (F)
Hasil sekuensing genotipe AA gen HSP 70 (R)
Hasil sekuensing genotipe AB gen HSP 70 (F)
Hasil sekuensing genotipe AB gen HSP 70 (R)
Hasil sekuensing genotipe AC gen HSP 70 (F)
Hasil sekuensing genotipe AC gen HSP 70 (R)
Hasil sekuensing genotipe CC gen HSP 70 (F)
Hasil sekuensing genotipe CC gen HSP 70 (R)
Hasil sekuensing genotipe AD gen HSP 70 (F)

61
64
65
66
67
68
69
70
71
72

6b
7a
7b
8a
8b

Hasil sekuensing genotipe AD gen HSP 70 (R)
Hasil sekuensing genotipe DD gen HSP 70 (F)
Hasil sekuensing genotipe DD gen HSP 70 (R)
Hasil sekuensing genotipe BC gen HSP 70 (F)
Hasil sekuensing genotipe BC gen HSP 70 (R)

73
74
75
76
77
7

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam kampung merupakan sumber daya genetik asli Indonesia dan sudah
berdaptasi baik dengan lingkungan tropik dan pemeliharaan sederhana di
pedesaan. Ayam kampung lebih banyak dipelihara dengan cara diumbar, yaitu
dibiarkan hidup berkeliaran di sekitar rumah dengan pemberian pakan tambahan
sekedarnya berupa limbah pertanian seperti dedak dan sisa-sisa dapur. Pada
malam harinya dimasukkan ke dalam kandang sederhana, bahkan tidak jarang
dibiarkan tidur bertengger di ranting pohon atau atap rumah. Ayam kampung
merupakan bagian dari kehidupan petani di pedesaan dan banyak membantu
petani sebagai penyedia uang tunai, sehingga hampir tidak ada satu keluarga
petanipun yang tidak memiliki ayam kampung. Hal inilah yang menyebabkan
populasi ayam kampung di Indonesia tetap bertahan bahkan meningkat. Populasi
ayam kampung pada tahun 2011 mencapai 274 892 875 ekor, dengan kemampuan
produksi telur mencapai 179 605.35 ton dan produksi daging sebesar 283 135.04
ton (Kementan 2012). Kemampuan ayam kampung sebagai penyedia daging
nasional berada pada posisi nomor 3 (12.123%) setelah ayam broiler (54.395%)
dan ternak sapi (19.945%).
Dalam perkembangannya, ayam kampung lebih banyak tumbuh alami, tanpa
banyak mendapat pembinaan dan campur tangan pemerintah. Meskipun pada
beberapa tempat pemerintah telah melaksanakan beberapa program dalam upaya
meningkatkan produktivitas ayam kampung, namun program-program tersebut
tidak banyak menunjang peningkatan produktivitas. Program-program tersebut
antara lain adalah program Intensivikasi Ayam Buras (INTAB), Village Breeding
Centre (VBC), dan Rural Rearing Multiplication Centre (RMC). Salah satu
kendala dalam peningkatan populasi ayam kampung adalah ketersediaan bibit.
Bibit dengan kualitas tinggi akan berdampak positif terhadap efisiensi produksi.
Bibit ayam kampung pada saat sekarang ini lebih banyak diusahakan oleh
pembibit-pembibit tradisional yang menyebar di seluruh sentra peternakan ayam
kampung. Masih belum ada pengusaha yang mau menanamkan modalnya untuk
pendirian breeding farm ayam kampung seperti breeding farm ayam ras. Kualitas
bibit yang beredar sangat beragam dan cenderung ke arah kualitas yang rendah,
sehingga menghasilkan pertumbuhan yang sangat lambat, dan untuk mencapai
bobot potong memerlukan waktu cukup lama. Selain itu untuk mendapatkan telur
tetas seragam dalam jumlah banyak sulit diperoleh, karena berhubungan dengan
tingkat produksi telur yang rendah. Oleh sebab itu diperlukan langkah strategis
untuk mengoptimalkan fungsi sumber daya genetik ayam kampung tersebut untuk
kemaslahatan manusia dan konservasi plasma nutfah asli Indonesia.
Rendahnya tingkat pertumbuhan dan produksi telur ayam kampung
menyebabkan ayam kampung tidak dapat digolongkan sebagai ayam tipe
pedaging maupun ayam tipe petelur, sehingga untuk mencukupi kebutuhan daging
dan telur nasional dikembangkan ayam ras dan ayam arab. Populasi ayam ras
petelur pada tahun 2011 adalah 110 300 428 ekor, dan populasi ayam broiler
mencapai 1 041 968 246 ekor (Kementan 2012), sedangkan populasi ayam arab
tidak dilaporkan secara rinci karena ayam arab dalam pendataan digolongkan
sebagai ayam buras (bukan ras). Ayam arab merupakan ayam petelur introduksi

2

yang dalam perkembangannya terjadi perkawinan dengan ayam lokal, sehingga
genetik dan fenotipiknya dikenal menjadi ayam arab seperti yang dipelihara
masyarakat sekarang ini. Ayam arab mempunyai kemampuan adaptasi dengan
lingkungan tropik cukup baik, sementara ayam ras memperlihatkan respon
sebaliknya, karena tipe ayam ini berasal dari negara sub tropik, sehingga bila
dipelihara di daerah panas akan menderita cekaman panas (stress).
Lain halnya dengan ayam kampung yang merupakan keturunan ayam hutan
merah (Gallus gallus) dan didomestikasi di daratan kepulauan Nusantara. Ayam
ini dari generasi ke generasi tumbuh dan berkembang di Indonesia, sehingga
tergolong ayam yang sudah beradaptasi baik dengan lingkungan tropik serta sifat
tersebut diwariskan ke keturunannya. Dalam perkembangannya ayam kampung
berkembang menjadi berbagai macam galur dengan fenotipik seperti warna bulu,
warna kulit, bentuk jengger dan ciri fisik lainnya yang beragam, serta dengan
genotipik yang bervariasi pula. Tingginya variasi ini berdampak terhadap
kemampuan merespon pengaruh lingkungan termasuk suhu lingkungan tempat
pemeliharaan.
Galur ayam tahan panas antara lain dapat dihasilkan melalui program seleksi
ke arah keragaman gen Heat Shock Protein-70 (HSP 70) yang berfungsi untuk
melindungi mahluk hidup dari bahaya stres panas. Penelitian ini dirancang untuk
mengidentifikasi keragamanan gen HSP 70 pada 3 tipe ayam dalam upaya
pemetaan gen tahan panas ayam Indonesia sebagai dasar pembentukan galur ayam
tahan panas.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan genotipe ayam yang
toleran pada pemeliharaan suhu tinggi, sedangkan tujuan husus penelitian ini
adalah:
1. Mengkaji keragaman gen HSP 70 pada ayam kampung, ayam arab dan
ayam ras.
2. Mengkaji pengaruh genotipe HSP 70 ayam terhadap kemampuan adaptasi
pada pemeliharaan di suhu lingkungan tinggi.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk pemetaan gen ketahanan panas
ayam Indonesia, sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar untuk
pembentukan galur ayam tahan panas.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
a. Identifikasi keragaman gen HSP 70 ayam kampung, ayam arab dan ayam
ras
b. Hubungan keragaman gen HSP 70 terhadap ketahanan pada pemeliharaan
suhu tinggi

3

2. KERAGAMAN GEN HEAT SHOCK PROTEIN (HSP) 70
PADA AYAM KAMPUNG, ARAB DAN RAS PETELUR
Pendahuluan
Secara umum ada tiga tipe ayam yang berkembang di Indonesia sebagai
unggas penghasil daging dan telur konsumsi, yaitu ayam kampung, ayam arab,
dan ayam ras (pedaging dan petelur). Ayam kampung merupakan ayam asli
Indonesia yang beriklim tropik basah, sedangkan ayam ras, merupakan tipe ayam
yang didatangkan dari Eropa (beriklim dingin). Ayam arab merupakan ayam
petelur introduksi, yang asal-usulnya masih diperdebatkan. Sulandari et al.
(2007ab), serta Sartika dan Iskandar (2007) menyatakan ayam arab, merupakan
ayam pendatang, yaitu ayam braekel kriel silver dan braekel kriel gold (ayam
lokal Eropa). Ayam arab masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980-an, sehingga
dapat digolongkan sebagai ayam lokal (Sulandari et al. 2007b). Ayam arab
mempunyai kemampuan adaptasi dengan lingkungan tropik cukup baik, dan
sangat cocok untuk daerah beriklim panas. Sama halnya dengan ayam kampung
yang diturunkan dari Gallus gallus (Nishida et al. 1982; Fumihito et al. 1996;
Sartika dan Iskandar 2007; Sulandari et al. 2007ab), ayam arab berkembang di
Indonesia sehingga toleran dengan lingkungan tropik. Dalam perkembangannya,
ayam kampung berkembang dengan fenotipe dan genotipe yang beragam.
Keberagaman ini berdampak pada kemampuan merespons pengaruh lingkungan
termasuk suhu lingkungan tempat pemeliharaan. Individu yang memiliki
keragaman kombinasi gen tinggi memiliki kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan lebih baik dibandingkan dengan individu yang komposisi gennya
lebih seragam (Noor & Seminar 2009). Tingginya keragaman ayam kampung
merupakan modal yang dapat dikembangkan ke arah dihasilkannya galur ayam
yang mampu beradaptasi lebih baik dengan lingkungannya.
Ternak unggas termasuk hewan homeothermic (suhu tubuh berkisar antara
40.5- 41.5oC) (Etches et al. 2008), tidak memiliki kelenjar keringat serta hampir
semua bagian tubuhnya ditutupi bulu. Kondisi tubuh seperti ini menyebabkan
ternak unggas kesulitan membuang panas tubuh ke lingkungannya, sehingga
sangat rentan terhadap bahaya cekaman panas (Lin et al. 2005; Al-Fataftah &
Abu-Dieyeh 2007; Al-Ghamdi 2008; Al-Aqil & Zulkifli 2009; Zulkifli et al.
2009; Ajakaiye et al. 2010). Oleh karena itu, ternak unggas harus dipelihara pada
thermoneutrality zone, dan pemeliharaan di atas thermoneutrality zone (lebih dari
32oC), ternak akan menderita stres panas (Cooper & Washburn 1998; Mujahid et
al. 2007). Dampak selanjutnya adalah, ternak mengalami penurunan pertumbuhan,
produksi telur, dan ketahanan tubuh yang menyebabkan rentan terhadap
bermacam penyakit yang dapat menimbulkan kematian sehingga secara ekonomis
merugikan usaha (Al-Fataftah 1987; Al-Fataftah & Abu-Dieyeh 2007; Czaririck
& Faichild 2008; Faisal et al. 2008; Virden & Kidd 2009; Sohail et al. 2010).
Dalam kondisi stres, tubuh terganggu dan tubuh berusaha keras untuk
mengembalikan homeostasis ke kondisi seperti sebelum terjadi stres. Bila stres
terus meningkat dan tubuh tidak mampu mengatasinya, maka akan digunakan
jalur genetis, yaitu dengan cara mengaktifkan gen HSP, termasuk HSP 70, yang
berfungsi hanya dalam kondisi stres (Noor & Seminar 2009). Gen ini mempunyai
beberapa situs polimorfik yang dapat dipakai sebagai penanda ayam yang toleran
terhadap suhu tinggi (Mazzi et al. 2003; Zhen et al. 2006; Gaviol et al. 2008).

4

Oleh sebab itu, keberadaan ayam kampung, ayam arab, dan ayam ras yang
berkembang di Indonesia, dengan latar belakang perbedaan asal usul dan tempat
pengembangan, akan memperlihatkan genotipe HSP 70 yang berbeda. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui keragaman gen HSP 70, ayam kampung, ayam
arab, dan ayam ras.

Bahan dan Metode
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 96 ekor
ayam kampung, 94 ekor ayam arab, dan 87 ekor ayam ras petelur strain CP 909.
DOC ayam kampung diperoleh dari hasil penetasan sendiri dengan telur tetas
didatangkan dari berbagai daerah di Pulau Lombok yang diambil berdasarkan
ketinggian tempat di atas permukaan laut, yaitu daerah pantai dengan ketinggian
0-100 meter di atas permukaan laut, daerah sedang dengan ketinggian sekitar
700–800 meter di atas permukaan laut, dan daerah pegunungan/dataran tinggi
dengan ketinggian sekitar 1400 sampai 1600 meter di atas permukaan laut. DOC
ayam ras dibeli di poultry shop, dan DOC ayam arab dibeli pada peternak.
Semua anak ayam dari ke tiga tipe ayam tersebut dipelihara dalam kandang
pembesaran secara terpisah. Pembesaran ternak ayam dilakukan di Laboratorium
Terapan Fakultas Peternakan Universitas Mataram, di desa Lingsar Lombok
Barat. Pada umur 12 minggu dilakukan sexing, dan individu yang berkelamin
betina dipergunakan sebagai sampel penelitian.
Ekstraksi DNA Genom
Pada saat ayam berumur 12 minggu, darah diambil lewat vena sayap (vena
brakhialis) menggunakan spuit insulin 1 cc dan dimasukkan ke tabung EDTA 5
mL. Ekstraksi DNA genom dilakukan menurut prosedur kerja Sulandari & Zein
(2003), yaitu DNA genom yang diperoleh dari 250 µL darah dimasukkan ke
dalam tabung ependorf, dan ditambahkan 250 µL lysis buffer dan digoyang
dengan tangan selama 15 menit, disentrifugasi pada 8500 rpm dalam suhu kamar
selama empat menit. Supernatant dibuang dan endapannya ditambahkan 250 µL
rinse buffer dan digoyang menggunakan tangan sampai endapan larut dan
divorteks. Selanjutnya ditambahkan 250 µL digestion buffer dan digoyang
menggunakan tangan selama 10 menit dan divorteks, berikutnya sampel
diinkubasi dalam water bath pada suhu 55oC selama 16 jam. Setelah
ditambahkan 400 µL phenol, lalu digoyang dengan tangan selama 30 menit dan
disentrifugasi pada 14000 rpm dalam suhu kamar selama 10 menit. Supernatant
yang berwarna putih telur dipindahkan ke dalam tabung effendorf baru dan
ditambahkan phenol chloroform dengan perbandingan satu berbanding satu, dan
digoyang menggunakan tangan selama 30 menit serta divorteks. Setelah
disentrifugasi selama 10 menit pada 14000 rpm dalam suhu kamar, supernatant
dipindah ke tabung effendorf baru dan ditambahkan ethanol 100% sebanyak dua
kali volume sampel. Sampel digoyang dengan tangan selama 10 menit, dan
dimasukkan ke dalam suhu -20o C selama lima menit. Setelah disentrifugasi pada
suhu kamar (14000 rpm selama 10 menit), supernatant dibuang dan dicuci
menggunakan 600 µL ethanol 75%. Setelah sentrifugasi terakhir, ethanol dibuang
perlahan-lahan agar pellet tidak ikut terbuang. Tahapan terakhir adalah
mengeringkan material/pellet DNA pada suhu kamar. Setelah pellet kering,
ditambahkan larutan TE (1 mM EDTA pH 8.0, 10 mM Tris HCL pH 8.0)

5

sebanyak 100 µL dan dinkubasi pada suhu 37oC selama 5 menit. Sampel DNA
disimpan di freezer (-20oC) sampai siap digunakan.
Amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) gen HSP 70
Sampel DNA yang diperoleh dari masing-masing ternak dipergunakan
sebagai template (cetakan) untuk mengamplifikasi lokus-lokus gen melalui reaksi
PCR menggunakan primer Forward 5‟AACCGCACCACACCCAGCTATG 3‟
dan Reverse 5‟CTGGGAGTCGTTGAAGTAAGCG 3‟ (360 bp) (Mazzi et al.
2003). Fragmen gen HSP 70 yang diamplifikasi berada pada daerah ekson
sepanjang 360 bp dari gen HSP 70 dengan panjang 2594 bp, seperti tertera pada
Gambar 1.
421
481
541
601
661
721
781

ttgcgtgggt
caccacaccc
gaaccaagtg
caagtatgat
cgagggtggc
agaggagatc
aaaaaaggta

gtcttccagc
agctatgtgg
gcaatgaacc
gaccccacag
aagcccaagg
agctctatgg
cagaatgctg

atggcaaagt
ccttcaccga
ccaccaacac
tgcagtcaga
tgcaggtgga
tgctcaccaa
ttatcacagt

ggagatcatt
tacagagcgc
catctttgat
catgaagcac
gtacaagggt
gatgaaggag
gcccgcttac

gccaacgacc
ctcatcgggg
gccaagcgtc
tggccgttcc
gagatgaaga
attgctgagg
ttcaacgact

aggggaaccg
atgctgccaa
tcatcggccg
gtgtggtgaa
ccttcttccc
cctatctggg
cccagcgcca

Keterangan: bagian yang dicetak tebal dan digaris bawah adalah primer Forward
(F), sedangkan bagian yang dicetak tebal, digaris bawah dan tercetak
miring adalah primer Revers (R)

Gambar 1 Daerah gen HSP 70 yang diamplifikasi berdasarkan pada sekuen gen
HSP 70 di Gen Bank, no akses AY143693
Reaksi PCR dikondisikan pada volume 10 µL (1 µL 10 X ex taq buffer,
0.5 µL primer HSP 70 F dan 0.5 µL primer HSP 70 R, 1 µL dNTP mix, 0.5 µL
template DNA, 0.07 µL ex taq dan 6.43 µL dH2O). Reaksi PCR dimulai dengan
denaturasi awal pada 95oC selama lima menit, selanjutnya dilakukan amplifikasi
selama 35 siklus, masing-masing pada 95oC selama 30 detik, 60oC selama 30
detik, dan 72oC selama satu menit, kemudian diakhiri elongasi akhir pada 72o C
selama lima menit.
Analisis Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP)
Pelaksanaan analisis Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP)
mengacu pada metode yang dipergunakan oleh Mazzi et al. (2003) yaitu dengan
cara melarutkan endapan DNA yang didapat ke dalam 15 µL larutan SCCP buffer
(95% formamide, 20 mM EDTA, 0.05% bromofenol blue, dan 0.05% xilen sianol).
Campuran didenaturasi pada suhu 100oC selama lima menit, kemudian
didinginkan selama lima menit dengan es dan dimasukkan ke dalam sumuran gel
akrilamid-bis akrilamid 12 - 20% (49:1). Elektroporesis dilakukan dalam buffer 1
X TBE pada 100 volt selama 24 jam kemudian dilanjutkan dengan Silver Staining
menurut prosedur kerja Wright et al. (1996). Penentuan posisi pita DNA pada gel
poliakrilamid dilakukan secara manual. Ukuran dan jumlah alel yang muncul pada
gel ditentukan berdasarkan asumsi bahwa semua pita DNA dengan laju migrasi yang
sama adalah homolog, sedangkan alel dengan migrasi paling lambat ditetapkan
sebagai alel A, berikutnya adalah alel B dan seterusnya.

6

Analisis Sekuensing
Jumlah sampel yang disekuensing adalah tujuh sampel (masing-masing
satu sampel dari tujuh genotipe gen HSP 70 hasil analisisis SSCP). Analisis
sekuensing menggunakan produk PCR yang dimurnikan. Produk alikuot murni
digunakan untuk kuantifikasi dalam 1% gel agarose dan sekitar 50-100 ng dari
produk tersebut digunakan untuk sekuensing dalam reaksi dengan buffer
sekuensing (0.5x), 2 µL Big Dye (versi 3), 5 pmol primer F atau R dan air steril,
sehingga volume akhir mencapai 10 µL. Setelah 35 siklus reaksi (95°C selama 30
detik; 60°C selama 30 detik dan 72°C selama 1 menit), sampel dicuci dengan 80
µL isopropanol 75% selama 15 menit dan disentrifugasi pada 4500 rpm selama 25
menit pada suhu 20°C. Sampel dicuci menggunakan 200 µL etanol 70% dan
disentrifugasi pada 4500 rpm selama 15 menit pada suhu 20°C. Sampel tersebut
kemudian divakum kering dan dimuat ke gel poliakrilamid di ABI-377 DNA
sequencer (Perkin Elmer).
Analisis Data
Data keragaman DNA yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya
dirata-ratakan dan dicari frekuensi alel, frekuensi genotipe dan nilai
heterozigositas.
Frekuensi alel dihitung berdasarkan rumus Nei (1987), yaitu:
Xi =
Keterangan: xi = Frekuensi alel ke-i
nii= Jumlah individu bergenotipe ii
nij= Jumlah individu bergenotipe ij
N = Jumlah individu sampel
Frekuensi genotipe dapat diketahui dengan cara mengestimasi frekuensi
heterozigositas pengamatan (Ho), Heterozigositas harapan (He) dan standar eror
heterozigositas harapan (Weir, 1996; Nei, 1987).

Keterangan: Ho
N1ij
N

= frekuensi heterozigositas pengamatan
= Jumlah individu heterozigot
= jumlah individu yang dianalisis

Keterangan: He = heterozigositas harapan
P1i = frekuensi alel ke-I
N = jumlah alel pada lokus ke-i

7

Keterangan:
(He) = ragam heterozigositas harapan
xi = frekuensi gen ke-i
Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan Chi-square (χ2 ) (Hartl dan
Clark 1997), yaitu:

Keterangan: χ2 = uji Chi-square
Obs= jumlah pengamatan genotipe ke-i
Exp= jumlah harapan genotipe ke-i
Nilai PIC (Polymorphic Informative Content) dihitung berdasarkan rumus
Botstein et al. (1980), yaitu:

Keterangan:
Pi = Frekuensi alel ke-i
n = jumlah alel

Hasil dan Pembahasan
Polimorfisme Gen Heat Shock Protein-70
Hasil amplifikasi fragmen gen HSP 70 tiga tipe ayam (ayam kampung,
ayam arab, dan ayam ras) dilakukan menggunakan mesin PCR. Denaturasi awal
dimulai pada 95oC selama 5 menit, dan amplifikasi selama 35 siklus, masingmasing pada 95oC selama 30 detik, 60oC selama 30 detik, dan 72oC selama satu
menit, kemudian diakhiri elongasi akhir pada 72oC selama 5 menit. Hasil
amplifikasi tertera pada Gambar 2. Terlihat bahwa amplifikasi gen HSP 70 pada
posisi 475 sampai dengan 836, berhasil dilakukan dengan menggunakan primer
forward dan reverse, dengan panjang produk PCR 360 bp.
Hasil analisis genotipe gen HSP 70 ayam menggunakan Single Strand
Comformation Polymorphism (SSCP) dapat dilihat pada Gambar 3. Dari Gambar
3 terlihat bahwa, didapat empat alel, yaitu alel A, B, C, dan D, serta tujuh
genotipe, yaitu genotipe AA, AB, AC, CC, AD, DD dan BC. Sebanyak tujuh
genotipe terdapat pada ayam kampung yaitu AA, AB, AC, CC, AD, DD, dan BC,

8

(-)

500 bp
400 bp
300 bp
200 bp

360 bp

(+)
M

1

2

3

Keterangan: M (marker) : ladder (100 bp)
1–3
: sampel
Gambar 2 Hasil elektroforisis produk PCR fragmen gen HSP 70 ayam

(-)

(+)
Genotipe AA

AC

AD

DD

CC

BC

AB

Gambar 3 Genotipe HSP 70 ayam yang diperoleh menggunakan PCR-SSCP
enam genotipe pada ayam arab (AA, AB, AC, CC, AD, dan BC) dan satu
genotipe, yaitu DD, pada ayam ras. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
ayam kampung Indonesia mempunyai keragaman kombinasi gen HSP 70 yang
tertinggi dibandingkan dengan ayam arab dan ayam ras petelur. Rendahnya
keragaman pada ayam ras, disebabkan karena ayam tersebut sudah mengalami
seleksi secara intensif untuk menjadi ayam unggul, sesuai dengan tujuan
pemeliharaannya.
Tingginya keragaman kombinasi gen HSP 70 pada ayam kampung dan
ayam arab merupakan peluang dilakukannya seleksi untuk mendapatkan genetik
ayam yang lebih toleran pada suhu lingkungan pemeliharaan yang tinggi, karena
ternak dengan keragaman kombinasi gen yang tinggi, mempunyai kemampuan
beradaptasi lebih baik dengan lingkungan pemeliharaan (Noor & Seminar 2009).
Hasil sekuensing tujuh genotipe gen HSP 70 ayam, tertera pada Gambar 4, dan
ringkasan hasil sekuensing disajikan pada Tabel 1. Hasil sekuensing memberikan
informasi bahwa gen HSP 70 yang diperoleh dari hasil sekuensing mempunyai

9

persamaan dengan gen HSP 70 ayam yang terdapat di Gen Bank (nomor akses
AY143693.1) dan didapat 7 situs (lokasi) polimorfik, yaitu perubahan AG pada
situs 617, perubahan AG pada situs 628, perubahan GC pada situs 646,
perubahan CT pada situs 661, perubahan AG pada situs 699, perubahan
GC pada situs 754, dan perubahan AG pada situs 792. Perubahan AG pada
situs 628 menyebabkan perubahan TCA menjadi TCG, perubahan GC pada
situs 646 menyebabkan perubahan CCGCCC, dan perubahan CT pada situs
661 menyebabkan perubahan AAC menjadi AAT. Ketiga situs mutasi ini tidak
mengubah asam amino, karena TCA dan TCG pada situs 628 sama-sama
menyandi asam amino serina; CCG dan CCC pada situs 646, sama-sama
menyandi asam amino metionina; AAC dan AAT pada situs 661 sama-sama
menyandi asam amino asparagina. Lain halnya dengan mutasi pada situs 617,
dimana perubahan AG menyebabkan perubahan ACA (penyandi asam amino
trionina) menjadi GCA yang menyandi asam amino alanina. Mutasi pada situs
617, perubahan AG menyebabakan ACA yang menyandi asam amino trionina
berubah menjadi GCA yang menyandi asam amino alanina. Mutasi pada situs 699,
perubahan AG menyebabkan GGT yang menyandi asam amino glisina berubah
menjadi GAT (penyandi asam aspartat). Pada mutasi di situs 754, perubahan
GC menyebabkan ATG yang menyandi asam amino metionina berubah
menjadi ATC (penya