Analysis of water balance and aridity index in catchment and irrigation area of Jatiluhur Reservoir

ANALISIS NERACA AIR DAN INDEKS KEKERINGAN
DI DAERAH TANGKAPAN AIR DAN DAERAH IRIGASI
WADUK JATILUHUR

BUDI HARSOYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Neraca Air dan Indeks
Kekeringan di Daerah Tangkapan Air dan Daerah Irigasi Waduk Jatiluhur adalah
karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011

Budi Harsoyo
NRP. A155080011

ABSTRACT
BUDI HARSOYO. Analysis of Water Balance and Aridity Index in Catchment
and Irrigation Area of Jatiluhur Reservoir. Supervised by NORA H.
PANDJAITAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO.
One of the functions of Jatiluhur Reservoir is to supply irrigation water for
264.000 ha of agricultural land in Pantura, West Java. Most of the farmlands in
these area had water deficit during dry season. The purpose of this study were to
analyze the water balance and aridity index in catchment and irrigation area of
Jatiluhur reservoir, to calculate crop water requirements, irrigation water
requirements and efficiency of irrigation channels on farms in the region Pantura
West Java, and also to identify and mapping the areas that should receive high
priority irrigation water supply. Water balance analysis using ThornthwaiteMather method was done to obtain water resource potential representation of
upstream Citarum watersheed, that hystorically had higher rainfall than its
downstream. Irrigation water requirement was calculated by Penman – Monteith
method of water balance analysis, using CropWat for Windows version 8.0
software. The result of rainfall analysis showed that dry season in Pantura was
occured from April until November (eight months), and wet season was occured

from December until March (four months). The result of water balance analysis
showed that soils in this region experienced water deficit during April to
December. Analysis of aridity index showed that the coastal region Pantura
experienced severe drought from June to October, with August as the peak. Water
balance of Citarum river and Jatiluhur reservoir indicated that irrigation water
demand for agricultural land in Pantura could not fulfilled only by Citarum River,
so it need subvention from local resource. Moreover, calculation using CropWat
for Windows showed that water requirement for all agricultural land in Pantura
was 3.797,7 million m3/year, while data from PJT II showed that the average of
irrigation water supply for this area was 5.519,6 million m3/year. It indicated that
efficiency of the irrigation Jatiluhur channels was about 68,8%.
Keywords : Water Balance, Aridity Index, Water Requirement, Water Supply,
Jatiluhur Irrigated Area

RINGKASAN
BUDI HARSOYO. Analisis Neraca Air dan Indeks Kekeringan di Daerah
Tangkapan Air dan Daerah Irigasi Waduk Jatiluhur. Di bawah bimbingan NORA
H. PANDJAITAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Salah satu fungsi Waduk Jatiluhur sebagai pengendali aliran Sungai
Citarum adalah memberikan pasokan air irigasi bagi lahan pertanian seluas

264.000 ha yang merupakan daerah sentra produksi beras nasional di wilayah
Pantura Jawa Barat. Saat musim kemarau, sebagian besar lahan pertanian di
wilayah ini sering mengalami kekeringan. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1)
menganalisis neraca air dan indeks kekeringan di DTA Waduk Jatiluhur dan
daerah irigasinya di wilayah Pantura Jawa Barat; (2) menghitung kebutuhan air
tanaman, kebutuhan air irigasi dan efisiensi penyaluran air irigasi pada lahan
pertanian di wilayah Pantura Jawa Barat; serta (3) mengidentifikasi dan
memetakan daerah yang perlu mendapat prioritas pasokan air irigasi. Penelitian
dilakukan di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta II (PJT-II) seluas 1.364.072 ha,
dengan fokus pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu, yang merupakan
Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Jatiluhur, dan pada lahan pertanian di
Daerah Pantura Jawa Barat yang mendapat pasokan air irigasi dari Waduk
Jatiluhur.
Analisis neraca air dengan metode Thornthwaite-Mather dilakukan untuk
mendapatkan gambaran potensi sumberdaya air di DAS Citarum bagian hulu yang
secara historis memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan daerah hilir.
Analisis neraca air waduk bertujuan untuk mengetahui potensi simpanan air di
Waduk Jatiluhur yang dapat dimanfaatkan guna berbagai kebutuhan di daerah
hilir, khususnya kebutuhan air irigasi. Kebutuhan air di daerah irigasi dihitung
melalui analisis neraca air yang diperoleh dengan menggunakan metode Penman –

Monteith pada program CropWat for Windows versi 8.0.
Dari hasil analisis curah hujan diketahui bahwa curah hujan di daerah
penelitian mempunyai pola monsoonal. Puncak curah hujan di DAS Citarum Hulu
terjadi pada bulan Desember dan Maret, sementara curah hujan terendah terjadi
pada bulan Agustus. Untuk daerah Pantura, curah hujan tertinggi terjadi pada
bulan Februari dan terendah pada bulan Agustus. Musim hujan di DAS Citarum
Hulu terjadi selama periode bulan November hingga April (6 bulan) sedangkan
musim kemarau terjadi selama periode bulan Mei hingga Oktober (6 bulan).
Untuk daerah Pantura, periode musim kemarau lebih panjang dibandingkan
musim hujan. Periode musim hujan baru berlangsung selama bulan Desember
hingga Maret (4 bulan), sementara periode bulan April hingga November (8
bulan) adalah musim kemarau. Rerata total curah hujan tahunan di DAS Citarum
Hulu sebesar 1.856 mm/tahun, sementara untuk wilayah Pantura sebesar 1.408
mm/tahun.
Berdasarkan selisih jumlah curah hujan (P) dan potensial evapotranspirasi
(PE) pada analisis neraca air terlihat bahwa kondisi tanah di DAS Citarum Hulu
mengalami defisit air selama 4 bulan (Juni sampai dengan September), sementara

pada bulan-bulan berikutnya mengalami surplus air. Rerata total surplus air
sepanjang tahun di DAS Citarum Hulu sebesar 708 mm. Dengan luas area

464.702,66 ha maka total surplus air di DAS Citarum Hulu sebesar 3.287,9 juta
m3/tahun. Di daerah Pantura, dari bulan Januari sampai dengan Maret daerah ini
mengalami surplus, tetapi pada bulan-bulan berikutnya daerah ini mengalami
defisit air. Rerata total defisit air sepanjang tahun di daerah Pantura sebesar -377
mm. Dengan luas area 372.460,23 ha maka total defisit air di daerah Pantura
sebesar 1.404,2 juta m3/tahun.
Analisis indeks kekeringan memperlihatkan bahwa wilayah pesisir Pantura
mengalami kekeringan berat dari bulan Juni hingga Oktober, dengan puncaknya
terjadi di bulan Agustus. Dari neraca air Sungai Citarum dan Waduk Jatiluhur
diketahui bahwa kebutuhan air irigasi bagi lahan pertanian di daerah Pantura tidak
akan tercukupi jika hanya mengandalkan pasokan air dari Sungai Citarum,
sehingga tambahan dari sumber lokal masih sangat diperlukan.
Dengan membandingkan rerata total volume air yang terpakai untuk irigasi
dari Neraca Air Sungai Citarum yang besarnya 5.519,6 juta m3/tahun dengan hasil
perhitungan kebutuhan air irigasi di lahan sawah irigasi Jatiluhur yang besarnya
3.797,7 juta m3/tahun, maka nilai efisiensi pengaliran di saluran irigasi Jatiluhur
adalah sekitar 68,8%.

Kata Kunci : Neraca Air, Indeks Kekeringan, Kebutuhan Air, Pasokan Air,
Daerah Irigasi Jatiluhur


(C) Hak cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB
2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

ANALISIS NERACA AIR DAN INDEKS KEKERINGAN
DI DAERAH TANGKAPAN AIR DAN DAERAH IRIGASI
WADUK JATILUHUR

BUDI HARSOYO

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis

:

Nama
NRP

:
:


Analisis Neraca Air dan Indeks Kekeringan di Daerah
Tangkapan Air dan Daerah Irigasi Waduk Jatiluhur
Budi Harsoyo
A155080011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc
Anggota

Dr. Ir. Nora. H. Pandjaitan, DEA
Ketua

Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan DAS

Dekan Pascasarjana IPB


Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, MSc

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian : 18 Agustus 2011

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas izin dan petunjuk-Nya
sehingga penulisan karya ilmiah yang berjudul “Analisis Neraca Air dan Indeks
Kekeringan di Daerah Tangkapan Air dan Daerah Irigasi Waduk Jatiluhur” dapat
diselesaikan.
Rasa hormat dan ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Nora H.
Pandjaitan, DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Dwi Putro Tejo
Baskoro, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan selama penelitian hingga selesainya penulisan karya ilmiah
ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala UPT Hujan Buatan
BPPT beserta jajaran manajemen atas kesempatan dan ijin yang telah diberikan

untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih diucapkan kepada Bapak Sutisna Pikrasaleh, Ibu Reni Mayasari dan
Ibu Erni Murniati dari Perum Jasa Tirta II atas bantuan data dan waktu untuk
diskusi yang telah diberikan. Terima kasih kepada rekan Muchlis Muchammad
Bakrie dan seluruh rekan-rekan angkatan 2008 (TNH, ATT, PWL dan DAS) serta
rekan-rekan Forum Pascasarjana Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan untuk
kebersamaan yang telah terbina selama ini.
Pada kesempatan ini ingin disampaikan terima kasih yang tidak terhingga
kepada seluruh keluarga, Bapak Moh. Nurhadi dan Ibu Siti Utami di Yogyakarta
yang tidak bosan-bosannya memberikan doa dan restu serta kasih sayangnya, istri
tercinta, Andriati Cahyaningsih yang tak pernah berhenti memberikan semangat,
serta kedua buah hati tersayang, Farras Adityo dan Faris Bramantyo yang selalu
memberi tambahan motivasi selama ini.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
terkait dan pihak-pihak lain yang membutuhkan informasi.

Bogor, Agustus 2011
Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 9 November 1975,
sebagai putra kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Suwarno (alm.)
dan Ibu Rahayu Sri Hartiningsih.
Pendidikan Sarjana Geografi jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh
diselesaikan di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada Tahun 2001.
Penulis bekerja sebagai staf peneliti di Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan –
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (UPT Hujan Buatan - BPPT) sejak
tahun 2005 sampai sekarang. Tahun 2008, penulis mendapat kesempatan ijin
belajar dari UPT Hujan Buatan - BPPT untuk mengikuti program pascasarjana
pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................ i
DAFTAR TABEL .................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... iv
PENDAHULUAN ...................................................................................
Latar Belakang .............................................................................
Kerangka Pemikiran ......................................................................
Perumusan Masalah ......................................................................
Tujuan Penelitian .........................................................................

1
1
3
7
7

TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
Neraca Air ....................................................................................
Kekeringan dan Indeks Kekeringan ...............................................
Kebutuhan Air Tanaman dan Irigasi ..............................................
Musim Tanam dan Penyediaan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur ......

8
8
9
10
13

METODE PENELITIAN .........................................................................
Lokasi dan Waktu ........................................................................
Pengumpulan Data ........................................................................
Analisis Data ................................................................................

15
15
15
19

HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian .......................................
Neraca Air Lahan Daerah Penelitian .............................................
Indeks Kekeringan .......................................................................
Neraca Air Waduk Jatiluhur .........................................................
Neraca Air Sungai Citarum ...........................................................
Kebutuhan Air Daerah Irigasi Jatiluhur .........................................
Penentuan Daerah Prioritas Pemberian Air Irigasi Jatiluhur...........
Evaluasi Pengelolaan Air Irigasi dan Pola Tanam..........................

28
28
31
35
37
39
39
43
45

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 48
Kesimpulan .................................................................................. 48
Saran ............................................................................................ 48
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 49
LAMPIRAN............................................................................................. 51

i

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Indikasi Kebutuhan Air Tanaman Pada Berbagai Kondisi Iklim .......

11

2.

Pendugaan Water Holding Capacity Berdasarkan Kombinasi Tipe
Tanah dan Vegetasi ...........................................................................

21

3.

Kelas Indeks Kekeringan ...................................................................

23

4.

Nilai Kc dan Perkolasi Untuk Tanaman Padi dan Palawija Pada
Berbagai Tingkat Umur di DI Jatiluhur..............................................

24

Kebutuhan Air Untuk Pengolahan Tanah Selama MT Rendeng dan
MT Gadu di DI Jatiluhur (mm/hari) ...................................................

24

Tahun-tahun Kejadian El Nino, La Nina, IOD Positif dan
IOD Negatif ......................................................................................

29

7

Neraca Air DAS Citarum Hulu ..........................................................

31

8.

Neraca Air Daerah Pantura ................................................................

32

9.

Indeks Kekeringan di Daerah Penelitian.............................................

36

10.

Neraca Air Historis Waduk Jatiluhur (dalam juta m3).........................

38

11.

Neraca Air Sungai Citarum ................................................................

39

12.

Kebutuhan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur ..........................................

40

13.

Nilai Evapotranspirasi Potensial (ETo) Bulanan di Daerah Pantura.....

41

14.

Hasil Simulasi Kebutuhan Air di DI Jatiluhur dengan Skenario
Jadwal MT Maju 1 Bulan ..................................................................

46

Hasil Simulasi Kebutuhan Air di DI Jatiluhur Dengan Skenario
Jadwal MT Mundur 1 Bulan ..............................................................

47

5.

6.

15.

ii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Keseimbangan Air Pada Suatu Lahan ................................................

12

2.

Peta Daerah Irigasi Jatiluhur ..............................................................

13

3.

Contoh capture citra satelit SPOT Image dari Google Earth .............

18

4.

Lokasi Stasiun Cirata, Stasiun Darangdan, Stasiun Cimeta
dan Stasiun Cikundul ........................................................................

20

5.

Diagram Alir Penelitian .....................................................................

26

6.

Curah Hujan Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1990-2009 ...............

28

7.

Curah Hujan Tahunan Daerah Penelitian Tahun 1990-2009 ...............

28

8.

Pola Curah Hujan di Daerah Penelitian ..............................................

29

9.

Peta Isohyet Historis Tahunan di Daerah Penelitian ...........................

30

10. Peta Selisih Curah Hujan (P) dan Potensial Evapotranspirasi (PE)
Historis Tahunan di Daerah Penelitian ...............................................

33

11. Neraca Air Historis di Daerah Penelitian ...........................................

35

12. Indeks Kekeringan di Daerah Penelitian ............................................

35

13. Peta Indeks Kekeringan Historis Tahunan di Daerah Penelitian .........

37

14. Korelasi Curah Hujan dan Neraca Air di DAS Citarum Hulu
Dengan Simpanan Air di Waduk Jatiluhur .........................................

38

15. Kebutuhan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur..........................................

42

16. Peta Prioritas Pemberian Air Irigasi Pada Blok Sawah di DI Jatiluhur

44

iii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Peta Lokasi Daerah Penelitian ...........................................................

51

2.

Contoh perhitungan neraca air berbasis bahasa program
visual delphi 5 ..................................................................................

52

3.

Tahapan Perhitungan Neraca Air Thornthwaite-Mather .....................

53

4.

Contoh aplikasi program CropWat for Windows versi 8.0 ..................

55

5.

Data Curah Hujan (mm) di Daerah Penelitian ...................................

56

6.

Peta Isohyet Historis Bulanan di Daerah Penelitian............................

57

7.

Data Elevasi dan Suhu Udara di Daerah Penelitian ............................

63

8.

NIlai Water Holding Capacity (WHC) di Daerah Penelitian ..............

64

9.

Selisih Curah Hujan (P) dan Potensial Evapotranspirasi (PE) (mm) ..

66

10. Peta Selisih P-PE Historis Bulanan di Daerah Penelitian ...................

67

11. Indeks Kekeringan Historis Tahunan di Daerah Penelitian.................

73

12. Peta Indeks Kekeringan Historis Bulanan di Daerah Penelitian ..........

74

13. Total Air yang Masuk dan yang Keluar di Waduk Jatiluhur
(Tahun 2000 – 2008) .........................................................................

79

14. Total Kebutuhan Air di DI Jatiluhur dengan Program
CropWat for Windows versi 8.0 .........................................................

80

15. Rekapitulasi Total Kebutuhan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur ..........

85

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu
memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah
pantai utara (Pantura) Jawa Barat, tetapi juga sampai ke kota Jakarta. Waduk yang berada
di daerah Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat ini mempunyai peran yang
sangat strategis. Waduk yang juga dikenal dengan nama Waduk Ir. H. Juanda ini bersama
dengan Waduk Cirata dan Waduk Saguling merupakan tiga waduk kaskade yang berfungsi
sebagai reservoir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Ketersediaan air di DAS
Citarum sangat ditentukan oleh peranan ketiga waduk ini, terutama Waduk Jatiluhur.
Waduk Jatiluhur mengairi areal pertanian kurang lebih seluas 264.000 ha di
wilayah Pantura Jawa Barat (meliputi Kabupaten Karawang, Bekasi, Purwakarta, Subang
dan Indramayu) yang merupakan daerah sentra produksi padi. Produksi padi dari daerahdaerah ini mempunyai persentase yang cukup tinggi terhadap total produksi padi Provinsi
Jawa Barat maupun nasional. Pada kurun waktu tahun 1990 – 1996, kontribusi dari lahan
sawah di Daerah Irigasi (DI) Jatiluhur terhadap total produksi padi Provinsi Jawa Barat
berkisar antara 40 – 45 %, sementara terhadap total produksi padi nasional berkisar antara
7 – 9,4 % (Pamungkas, 2005).
Waduk Jatiluhur yang berdaya tampung normal sekitar 3 milyar m3 juga berfungsi
untuk memberikan pasokan terhadap kebutuhan air baku bagi Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) di beberapa kabupaten di Jawa Barat dan DKI Jakarta serta untuk
kawasan industri yang berada di wilayah Kota Jakarta dan sekitarnya. Menurut Ali (2005)
pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan di wilayah DKI Jakarta yang dikelola oleh
PDAM DKI Jaya baru mampu melayani sekitar 44% dari total jumlah penduduk Jakarta
dan masih mengandalkan pasokan air dari Waduk Jatiluhur melalui Saluran Tarum Barat
yang berjarak ± 70 km dari Jakarta.
Aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat juga
dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang cukup memberikan
kontribusi terhadap pasokan kebutuhan listrik nasional, khususnya bagi jaringan
interkoneksi Jawa-Bali. PLTA dari ketiga waduk kaskade Citarum menghasilkan produksi
listrik sebesar 5 miliar KWh/tahun atau setara dengan 16 juta ton daya yang dihasilkan
bahan bakar minyak tiap tahunnya (Pamungkas, 2005).
1

Mengingat fungsi ketiga Waduk Kaskade Citarum yang berbeda-beda, maka para
pengelola masing-masing waduk sepakat membuat Rencana Operasi Waduk setiap
tahunnya dengan sistem equal sharing. Sistem equal sharing tersebut sudah diterapkan
sejak tahun 1998 hingga sekarang dan dianggap dapat memenuhi kebutuhan masingmasing pengelola waduk. Dalam pelaksanaannya, Rencana Operasi Waduk Kaskade
Citarum dibuat dan dikelola oleh Tim Sekretariat Pelaksana Koordinasi Tata Pengaturan
Air (SPK TPA) Sungai Citarum, yang kemudian dipakai secara bersama sebagai pedoman
dalam mengelola sumberdaya air Sungai Citarum. Dalam prakteknya, Forum SPK TPA
Sungai Citarum dikoordinir oleh Perusahan Umum Jasa Tirta II (PJT-II) selaku pengelola
Waduk Jatiluhur yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 1999 juga
ditetapkan sebagai institusi yang bertanggungjawab di dalam pengelolaan sumberdaya air
DAS Citarum secara terpadu.
Dalam Rencana Operasi Waduk Kaskade Citarum disebutkan bahwa pemanfaatan
air dari ketiga waduk kaskade Citarum tersebut diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan
air di hilir Waduk Jatiluhur, dengan urutan prioritas sebagai berikut : (1) kebutuhan air
minum dan rumah tangga, (2) sanitasi lingkungan, (3) kebutuhan air irigasi, (4) kebutuhan
pembangkit tenaga listrik, dan (5) kebutuhan industri.
Meskipun secara prioritas pemenuhan kebutuhan air yang dipasok dari Waduk
Jatiluhur untuk kebutuhan irigasi berada pada prioritas ketiga, namun dari segi kuantitas
jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan untuk sektor lainnya. Berdasarkan data dari PJTII, rerata volume pasokan air yang dialirkan dari Waduk Jatiluhur untuk kebutuhan irigasi
di daerah hilir adalah sekitar 5.520 juta m3/tahun, sedangkan untuk kebutuhan domestik
hanya 531 juta m3/tahun dan kebutuhan industri 221 juta m3/tahun. Menurut Sosiawan dan
Subagyono (2009) secara umum pemanfaatan air tawar di Indonesia didominasi untuk
sektor pertanian (76%), sedangkan sisanya untuk domestik (13%) dan industri (11%).
Uraian di atas menggambarkan betapa pentingnya kontribusi dan fungsi Waduk
Jatiluhur sebagai pengendali aliran air Sungai Citarum. Oleh karenanya ketersediaan air di
DAS Citarum perlu dikelola dengan baik. Pengelolaan sumberdaya air bertujuan untuk
menjaga ketersediaan sumberdaya air yang cukup sepanjang tahun. Untuk itu perlu
diketahui potensi sumberdaya air yang tersedia di suatu wilayah. Potensi sumberdaya air di
DAS Citarum dapat diketahui melalui analisis neraca air (water balance), yang merupakan
perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Citarum. Keluaran dari analisis
neraca air ini akan memberikan gambaran tentang daya dukung DAS Citarum dari segi
potensi/ketersediaan sumberdaya air dan kebutuhannya.
2

Perubahan iklim sebagai dampak pemanasan global menyebabkan terjadinya pola
musim yang tidak menentu. Lama periode musim hujan dan musim kemarau tidak lagi
seimbang, dan waktunya pun tidak dapat dipastikan secara tepat. Perubahan iklim dan
kondisi DAS yang kritis menyebabkan distribusi sumberdaya air yang tersedia tidak lagi
merata baik secara spasial maupun temporal. Fenomena banjir pada saat musim hujan tiba
dan kekeringan pada saat musim kemarau menjelaskan bahwa ketersediaan sumberdaya air
di suatu DAS tidak dapat dijaga keseimbangannya. Situasi ini dialami oleh hampir seluruh
DAS di Indonesia yang umumnya sudah mengalami kerusakan, tidak terkecuali DAS
Citarum.
Menurut Idrus dan Mayasari (2008), DAS Citarum memiliki pola variasi musiman
debit sungai yang mengikuti distribusi curah hujannya, ditandai oleh perbedaan nyata
antara musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan di DAS Citarum bervariasi dari
sekitar 4.000 mm/tahun pada daerah tangkapan di hulu (daerah pegunungan) sampai
dengan 1.500 mm/tahun untuk daerah hilir (wilayah Pantura). Oleh karena itu apabila saat
musim kemarau tiba, sebagian besar lahan di wilayah Pantura Jawa Barat sering
mengalami kekeringan.
Berdasarkan fakta tersebut, perlu dikaji tingkat kekeringan yang terjadi di wilayah
Pantura Jawa Barat, yang merupakan daerah irigasi pertanian di bagian hilir DAS Citarum,
dengan melakukan perhitungan indeks kekeringan (aridity index). Lebih lanjut, perlu
disusun strategi pengelolaan yang tepat agar curah hujan yang cukup tinggi di daerah hulu
mampu untuk menambah pasokan air irigasi bagi daerah pertanian di wilayah Pantura pada
bagian hilir yang secara klimatologis memiliki curah hujan yang lebih rendah.

Kerangka Pemikiran
Sumberdaya air di DAS Citarum yang memiliki peran strategis dalam banyak aspek
kehidupan masyarakat luas sangat memerlukan perencanaan yang tepat dalam praktek
pengelolaannya, sehingga pemenuhan kebutuhan air dapat dilakukan secara adil, baik
menurut skala prioritas, jumlah maupun lokasinya. Pengelolaan sumberdaya air berbasis
metode neraca air merupakan sebuah pendekatan yang mendasarkan perencanaan
sumberdaya air secara komprehensif dengan mengidentifikasikan secara cermat potensi
sumberdaya air yang ada sebagai supply dan memperkirakan kebutuhan masyarakat akan
air sebagai demand, sehingga dapat diprediksi kebutuhan masyarakat akan sumberdaya air
dan potensi sumberdaya air tetap terjaga dengan baik.
3

Dalam konteks ilmu hidrologi, neraca air merupakan suatu penjelasan tentang
hubungan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk
suatu periode tertentu dari proses sirkulasi air. Apabila dapat diketahui besarnya aliran
masuk dan keluar maka akan dapat diketahui besarnya simpanan air, yang mencerminkan
potensi sumberdaya air yang ada di dalam suatu wilayah.
Dalam penelitian ini neraca air diperhitungkan sebagai perbandingan antara dua
komponen, yaitu ketersediaan air di hulu DAS Citarum dan kebutuhan air di daerah
hilirnya. Perhitungan neraca air dilakukan untuk tiga subyek dan sasaran yang agak
berbeda, yaitu neraca air lahan, neraca air Waduk Jatiluhur dan neraca air Sungai Citarum.
Neraca air lahan digunakan untuk menggambarkan kondisi potensi sumberdaya air di
daerah penelitian secara keseluruhan, sementara neraca air Waduk Jatiluhur dan neraca air
Sungai Citarum secara khusus dihitung untuk mengetahui potensi air dari Sungai Citarum
yang tersimpan di Waduk Jatiluhur.
Neraca air lahan disusun menurut konsep klimatologi dan bermanfaat untuk
mengetahui berlangsungnya periode basah (surplus air) dan periode kering (kekurangan
air) pada suatu wilayah secara umum. Dalam penelitian ini, neraca air lahan dianalisis
untuk memberikan gambaran potensi sumberdaya air secara hidroklimatologis di DAS
Citarum bagian hulu dan di daerah hilirnya, yang merupakan daerah irigasi Jatiluhur di
daerah Pantura Jawa Barat. Jumlah aliran yang masuk dapat dianalisis dari curah hujan
yang diterima dan aliran yang keluar dianalisis dari besarnya evapotranspirasi potensial
yang terjadi pada wilayah tersebut. Besarnya jumlah aliran masuk dan aliran keluar dalam
konteks neraca air lahan diperhitungkan dengan menggunakan metode ThornthwaiteMather dengan bantuan program neraca air yang berbasis bahasa program Visual Delphi 5.
Secara lebih spesifik, neraca air lahan pada lahan pertanian irigasi Waduk Jatiluhur
di daerah Pantura Jawa Barat juga dihitung dengan membandingkan selisih antara jumlah
air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air dari tanaman beserta tanah melalui
proses evapotranspirasi. Dalam penelitian ini, analisis neraca air lahan pertanian di daerah
irigasi Jatiluhur dihitung dengan menggunakan metode Penman – Monteith dengan
bantuan program CropWat for Windows versi 8.0.
Program CropWat for Windows versi 8.0 juga digunakan untuk menghitung total
kebutuhan air tanaman dan air irigasi pada lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur. Hasil
perhitungan kebutuhan air tersebut nantinya akan dibandingkan dengan potensi air yang
tersimpan di Waduk Jatiluhur dari hasil analisis neraca air waduk.

4

Neraca air Waduk Jatiluhur dihitung dari perbandingan selisih antara debit inflow
dan outflow waduk. Debit inflow yang digunakan dalam analisis merupakan total aliran air
yang masuk ke dalam Waduk Jatiluhur, yang berasal dari outflow Waduk Cirata yang
dialirkan masuk ke inlet Waduk Jatiluhur dan ditambah dengan inflow lokal yang berasal
dari curah hujan yang jatuh di Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Jatiluhur dan
baseflow yang masuk menjadi aliran ke dalam Waduk Jatiluhur. Debit outflow Waduk
Jatiluhur sendiri merupakan total air yang dikeluarkan dari outlet Waduk Jatiluhur untuk
digunakan berbagai kebutuhan air baku dan air irigasi di daerah hilir. Selisih antara debit
inflow dan outflow waduk dapat mencerminkan volume potensi simpanan/ketersediaan air
dari Sungai Citarum yang tersimpan di Waduk Jatiluhur.
Sungai Citarum mengalir dari arah selatan masuk ke Waduk Saguling. Aliran dari
Waduk Saguling kembali lagi ke Sungai Citarum dan masuk ke Waduk Cirata, untuk
kemudian dialirkan lagi melalui Sungai Citarum ke Waduk Jatiluhur. Dari Waduk Jatiluhur
air mengalir lagi ke Sungai Citarum menuju bagian hilir. Aliran ini akan bertambah dengan
masuknya anak-anak sungai di sepanjang aliran tersebut hingga sampai ke bagian hilir, dan
kemudian didistribusikan ke tiga buah saluran, yaitu Tarum Barat, Tarum Timur dan
Tarum Utara. Saluran Tarum Barat memberikan pasokan air ke wilayah DKI Jakarta dan
Bekasi untuk kebutuhan air baku PDAM dan kawasan industri serta irigasi pertanian di
sekitar daerah tersebut. Saluran Tarum Timur memberikan pasokan air irigasi bagi daerah
Subang dan Indramayu, sedangkan saluran Tarum Utara memberikan pasokan air irigasi
bagi daerah Subang dan Karawang. Pemecahan air menuju Tarum Barat dan Tarum Timur
dilakukan di Bendung Curug, adapun untuk Tarum Utara dilakukan di Bendung Walahar.
Bila air di Waduk Jatiluhur melebihi kebutuhan ketiga saluran, maka air akan mengalir ke
Bendung Walahar dan akhirnya bermuara di Laut Jawa. Skema aliran air Sungai Citarum
mulai dari hulu hingga ke hilir dapat dilihat dalam Peta Lokasi Daerah Penelitian pada
Lampiran 1.
Dalam analisis supply and demand untuk pasokan air irigasi di daerah hilir,
pasokan air diperhitungkan dari aliran Sungai Citarum yang dikeluarkan dari Waduk
Jatiluhur yang kemudian dialirkan ke arah saluran Tarum Barat, Timur dan Utara. Aliran
pada ketiga saluran ini akan ditambahkan dengan aliran yang masuk dari beberapa anak
sungai (sumber lokal) yang ada di sepanjang lintasan saluran Tarum. Total aliran ini akan
dibandingkan dengan total kebutuhan air di daerah irigasi Jatiluhur, sehingga dapat
diketahui adanya kelebihan ataupun kekurangan air irigasi pada daerah tersebut.

5

Curah hujan bulanan dianalisis untuk mengetahui saat dimana kebutuhan air irigasi
di daerah irigasi Jatiluhur tersebut tercukupi dan juga saat terjadinya kekurangan air. Suatu
wilayah dapat mengalami surplus air untuk periode tahunan, namun bila dianalisis untuk
periode bulanan mungkin pada bulan-bulan tertentu wilayah tersebut mengalami defisit air.
Hal ini terjadi karena hujan tidak pernah merata penyebarannya baik dari unsur tempat,
jumlah maupun waktu, sehingga tingkat ketersediaan air antara daerah satu dengan lainnya
juga akan berfluktuasi.
Kekeringan dan kemarau panjang yang terjadi secara ekstrim seperti pada kondisi
El-Nino menyebabkan cadangan air semakin berkurang dan sementara itu hujan yang
menjadi sumber air utama tidak ada. Jika keadaan ini berlangsung dalam waktu lama akan
menyebabkan tanaman pertanian mengalami kekurangan air. Kekeringan merupakan salah
satu bencana alam yang dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat terutama petani.
Bencana kekeringan selain diakibatkan oleh kurangnya curah hujan juga dapat disebabkan
oleh kurangnya daya serap lahan akan air. Menurunnya daya serap lahan dapat disebabkan
oleh perubahan tata guna lahan seperti kawasan hutan yang berubah menjadi kawasan
industri dan perumahan, sehingga ketersediaan air pada satu kawasan tidak lagi cukup
untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pertanian dan kebutuhan air bersih sehari-hari.
Dalam bidang pertanian, informasi spasial tentang indeks kekeringan sangat
diperlukan, terutama untuk menentukan pola tanam atau varietas yang cocok untuk
ditanam. Informasi indeks kekeringan dapat dibuat berdasarkan karakteristik iklim seperti
pola hujan bulanan, suhu udara, penguapan dan sifat tanah itu sendiri. Informasi lain yang
penting adalah informasi ketersediaan air tanah. Dengan informasi ini dapat direncanakan
budidaya tanaman dan tataguna lahan, sehingga dapat dihitung kebutuhan air tanaman, luas
areal tanaman dan volume air yang dibutuhkan selama periode masa tanam secara
keseluruhan.
Hasil analisis data curah hujan, perhitungan neraca air lahan dan indeks kekeringan
ini nantinya akan digambarkan dalam bentuk peta. Dari hasil analisis spasial ketiga peta
tematik tersebut akan dapat ditentukan daerah-daerah yang perlu mendapatkan prioritas
pemberian air irigasi.

6

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, secara garis besar
permasalahan yang akan dianalisis adalah :
1. Dengan pola musim yang tidak menentu sebagai dampak dari pemanasan global yang
terjadi saat ini, perlu diidentifikasi secara klimatologis lokasi dan waktu terjadinya
kondisi surplus air maupun defisit air di DAS Citarum Hulu yang merupakan Daerah
Tangkapan Air (DTA) Waduk Jatiluhur dan daerah irigasinya pada bagian hilir di
wilayah Pantura Jawa Barat melalui pendekatan analisis neraca air. Hasil analisis
neraca air ini akan mampu memberikan gambaran mengenai potensi sumberdaya air
yang ada di Waduk Jatiluhur selaku daerah yang memberikan supply air irigasi,
maupun kondisi sumberdaya air di wilayah Pantura Jawa Barat itu sendiri sebagai
wilayah yang membutuhkan (demand) air irigasi untuk lahan pertanian di daerah
tersebut.
2. Kekeringan yang terjadi pada daerah irigasi Jatiluhur di wilayah Pantura Jawa Barat
perlu diidentifikasi melalui analisis indeks kekeringan, untuk mengetahui potensi
kekeringan yang mungkin terjadi di wilayah tersebut.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis neraca air dan indeks kekeringan di DTA Waduk Jatiluhur dan daerah
irigasinya di wilayah Pantura Jawa Barat.
2. Menghitung kebutuhan air tanaman, kebutuhan air irigasi dan efisiensi penyaluran air
irigasi pada lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur untuk periode waktu tertentu.
3. Mengidentifikasi dan memetakan daerah yang perlu mendapat prioritas pasokan air
irigasi.

7

TINJAUAN PUSTAKA
Neraca Air
Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di
atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun
waktu tertentu. Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977) dalam perhitungan neraca air, hujan
satu titik dan hujan wilayah dapat menggunakan nilai rata-rata selama beberapa tahun
pengamatan atau menggunakan peluang melampaui nilai tertentu. Setelah sampai di
permukaan perjalanan air hujan akan ditentukan oleh karakteristik permukaan yang
meliputi sifat fisik tanah, penutupan vegetasi dan karakteristik air permukaan pada badan
air seperti sungai dan cekungan yang menyimpan air. Akhirnya, sebagai keluaran dalam
perhitungan neraca air adalah limpasan dan evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah
kombinasi antara evaporasi dan penguapan oleh vegetasi. Evapotranspirasi disebut juga
pemakaian konsumtif air untuk menunjukkan jumlah air yang dikonsumsi oleh tanaman.
Berdasarkan ketersediaan energi dan air, evapotranspirasi yang terjadi pada permukaan
tanah terbagi atas evapotranspirasi potensial (PE) dan evapotranspirasi aktual (AE).
Konsep neraca air dalam suatu DAS dirumuskan oleh Seyhan (1977) sebagai
berikut :
P = R + AE ± Δ St .......(1)
dimana ; P
R

= curah hujan
= limpasan permukaan

AE = evapotranspirasi aktual
Δ St = perubahan simpanan

Apabila neraca air tersebut diterapkan untuk periode rata-rata tahunan, maka Δ St
dapat dianggap nol, sehingga surplus air yang tersedia adalah :
R = P – AE .......(2)
Jika tanah dalam keadaan cukup air dan vegetasi yang tumbuh di atasnya menutupi
seluruh permukaan, maka evapotranspirasi yang terjadi disebut evapotranspirasi potensial
(PE). Dalam keadaan demikian besarnya evapotranspirasi ditentukan oleh keadaan cuaca
(atmosfer). Keadaan tanah yang makin kering menyebabkan kecepatan evapotranspirasi
berada di bawah evapotranspirasi potensial dan disebut evapotranspirasi aktual (AE).
Selanjutnya evapotranspirasi pada setiap tanaman dan fase pertumbuhan berbeda-beda
akibat kekasaran aerodinamik dan proporsi penutupan tanah, maka dikenal istilah
evapotranspirasi acuan (ET0).
8

Metode Thornthwaite-Mather merupakan salah satu metode yang umum digunakan
untuk mengetahui neraca air lahan pada suatu DAS. Metode ini memperhitungkan
beberapa parameter neraca air dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabular. Dengan
metode ini fluktuasi ketersediaan air tanah dari bulan ke bulan dapat diketahui.
Nasir (1986, dalam Zulkarnaini, 1995) mengenalkan tiga model neraca air yang
didasarkan pada tujuan penggunaannya sebagai berikut : (1) neraca air umum, disusun
menurut konsep klimatologi dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya periode
basah (surplus air) dan periode kering (kekurangan air) pada suatu wilayah secara umum;
(2) neraca air lahan (pertanian), yaitu analisis dengan memperhatikan sifat dan perilaku
tanah terhadap atmosfer, dan sebagai penunjangnya diperlukan data fisik tanah terutama
kandungan air pada tingkat kapasitas lapang dan pada titik layu permanen; serta (3) neraca
air lahan tanaman, ruang lingkup pemakaiannya lebih sempit, karena berlaku hanya untuk
jenis tanaman tertentu selama periode pertumbuhannya.
Selanjutnya disebutkan pula oleh Zulkarnaini (1995) bahwa hasil perhitungan
neraca air yang memberikan informasi berupa kadar air tanah, surplus dan defisit air serta
limpasan permukaan dapat dimanfaatkan untuk perencanaan sistem usaha tani, yaitu : (1)
mempertimbangkan kesesuaian pertanian lahan kering, berdasarkan kandungan air
tanahnya; (2) mengatur waktu tanam dan pola tanam; (3) merencanakan pemberian air
berdasarkan kebutuhan air dan pertumbuhan serta perkembangan tanaman.

Kekeringan dan Indeks Kekeringan
Pengertian kekeringan menurut Bapennas (2003) adalah kurangnya air bagi
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak
kekurangan air. Kekeringan merupakan suatu fenomena alam yang tidak bisa dielakkan
yakni merupakan variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami. Kekeringan menyangkut
neraca air antara inflow dan ouflow atau antara presipitasi dan evapotranspirasi.
Kekeringan tidak hanya dilihat sebagai fenomena fisik cuaca saja tetapi hendaknya juga
dilihat sebagai fenomena alam yang terkait erat dengan tingkat kebutuhan masyarakat
terhadap air.
Lebih jauh, Bappenas juga mengklasifikasikan kekeringan menjadi beberapa
kriteria sebagai berikut :
a. Kekeringan Meteorologis; berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal
dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama
adanya kekeringan.
9

b. Kekeringan Hidrologis; berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air
tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan
elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai
menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.
Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan.
c. Kekeringan Pertanian; berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air
dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada
periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah
gejala kekeringan meteorologi.
d. Kekeringan Sosial Ekonomi; berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak
terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti rusaknya tanaman, peternakan, perikanan,
berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air,
menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan perkotaan.
e. Kekeringan Hidrotopografi; berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara
musim hujan dan musim kering dan topografi lahan.
Menurut Sudibyakto (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan adalah
ketidakmampuan tanah untuk menahan air yang berasal dari air hujan untuk jangka waktu
tertentu. Kemampuan tanah menahan air menurut Thornthwaite-Mather (1957, dalam
Sudibyakto, 1985) sangat ditentukan oleh jenis tanah (terutama tekstur) dan jenis
vegetasinya. Vegetasi yang jenisnya sama apabila tumbuh pada jenis tanah yang berbeda,
maka akan mempunyai kedalaman zona perakarannya yang berbeda, sehingga nilai Water
Holding Capacity (WHC) atau kapasitas lengas tanahnya juga berbeda. Perbedaan faktor
inilah yang dapat menimbulkan kekeringan.
Menurut Thornthwaite-Mather (1957, dalam Sudibyakto, 1985) besarnya
kekeringan di suatu daerah dirumuskan sebagai indeks kekeringan yang diperhitungkan
berdasarkan besarnya curah hujan tahunan dengan besarnya evapotranspirasi potensial
tahunan. ILACO (1981, dalam Sudibyakto et al, 1999) mengemukakan bahwa indeks
kekeringan (aridity index) merupakan salah satu subvisi dari klasifikasi iklim
Thornthwaite.

Kebutuhan Air Tanaman dan Irigasi
Tanaman membutuhkan air agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Air
tersebut dapat berasal dari air hujan maupun air irigasi. Sosrodarsono dan Takeda (1987)
mengatakan bahwa kebutuhan air tanaman memiliki pengertian yang sama dengan
10

konsumsi air oleh tanaman yang didefinisikan sebagai banyaknya air yang hilang dari area
bervegetasi per satuan luas per satuan waktu yang digunakan untuk transpirasi atau
pertumbuhan dan perkembangan serta evaporasi dari permukaan vegetasi dan tanah.
Definisi lain kebutuhan air tanaman dikemukakan oleh Doorenbos dan Pruitt (1977), yaitu
banyaknya

air

yang

dibutuhkan

untuk

mengimbangi

kehilangan

air

melalui

evapotranspirasi dari tanaman yang tumbuh di lahan yang luas, pada kondisi air tanah dan
kesuburan tidak dalam keadaan terbatas, serta dapat mencapai produksi potensial.
Kebutuhan air tanaman atau evapotranspirasi tanaman (ETc) dirumuskan oleh
Doorenbos dan Pruitt (1977) sebagai perkalian antara evapotranspirasi acuan (ET0) dengan
koefisien tanaman (Kc) yang besarnya tergantung dari jenis dan umur tanaman, atau :
ETc =Kc x ET0 ..... (3)
dimana ; ETc = evapotranspirasi tanaman (mm)
Kc

= koefisien tanaman

ET0 = evapotranspirasi acuan (mm)

Menurut Brouwer dan Heibloem (1986, dalam Soehadi, 2005) nilai kebutuhan air
tanaman yang tinggi akan ditemukan pada daerah yang suhunya tinggi, kelembaban
udaranya rendah, berangin dan kondisi langit tidak berawan. Untuk nilai kebutuhan air
tanaman yang rendah akan ditemukan pada daerah bersuhu rendah, kelembaban udaranya
relatif tinggi, sedikit berangin dan kondisi langitnya berawan.
Tabel 1. Indikasi Kebutuhan Air Tanaman Pada Berbagai Kondisi Iklim

Faktor Iklim
Suhu
Kelembaban Udara
Kecepatan Angin
Lama Penyinaran

Kebutuhan Air Tanaman
Tinggi
Rendah
Panas
Dingin
Rendah (kering)
Tinggi (basah)
Berangin
Sedikit berangin
Terang (tidak berawan)
Gelap (berawan)

Sumber : Brouwer dan Heibloem (1986, dalam Soehadi, 2005)

Air irigasi menurut Suroso (2006) adalah sejumlah air yang umumnya diambil dari
sungai atau waduk dan dialirkan melalui sistem jaringan irigasi, guna menjaga
keseimbangan jumlah air di sawah. Keseimbangan air yang masuk dan keluar dari suatu
lahan dapat dilihat dalam Gambar 1. Menurut Gambar 1, sumber air pada suatu lahan
pertanian dapat berasal dari air hujan (R) maupun air irigasi (IR), dimana air tersebut
kemudian ada yang merembes ke dalam tanah melalui proses perkolasi (P) dan infiltrasi
(I), terpakai untuk pengolahan tanah (Pd) dan juga untuk evapotranspirasi (ET).

11

Gambar 1. Keseimbangan air pada suatu lahan (Suroso, 2006)

Berdasarkan Gambar 1, maka keseimbangan air pada suatu lahan pertanian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
IR + R = ET + Pd + P&I...... (4)
atau,
IR = (ET + Pd + P&I) - R ......(5)
dimana ; IR

= air irigasi (mm)

ET

= evapotranspirasi (mm)

Pd

= kebutuhan air untuk pengolahan tanah (mm)

P&I = perkolasi dan infiltrasi (mm)
R

= curah hujan (mm)

Efisiensi penyaluran air irigasi (Ec) adalah istilah yang digunakan untuk
menyatakan besarnya prosentase air irigasi yang dapat digunakan secara efisien dengan
sudah termasuk memperhitungkan kehilangan air selama penyaluran (seperti evaporasi,
rembesan dan perkolasi). Menurut Schwab et al (1981, dalam Soehadi, 2005) nilai efisiensi
penyaluran air irigasi dapat diperhitungkan sebagai berikut :
Ec = (Wf / Wr) x 100% ...... (6)
dimana ; Ec
Wf

= efisiensi penyaluran air irigasi (%)
= jumlah air yang sampai di areal pertanian (m3)

Wr = jumlah air yang disalurkan (m3)

12

Musim Tanam dan Penyediaan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur
Dalam praktek pengelolaan jaringan irigasinya, PJT-II terbagi atas 3 divisi yaitu
Divisi Barat, Utara dan Timur yang masing-masing bertanggungjawab atas jaringan irigasi
pada Saluran Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur. Daerah irigasi (DI) Jatiluhur
seperti yang tergambar dalam peta pada Gambar 2, terbagi atas 5 golongan, yaitu dari
golongan I sampai dengan V. Seluruh petak sawah dalam satu golongan mendapatkan jatah
air yang sama sesuai dengan kegiatan produksi. Pembagian golongan tersebut diputuskan
dalam rapat panitia irigasi yang terdiri dari pihak PJT-II, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan
dan wakil petani, dengan mempertimbangkan faktor ketersediaan air, kapasitas saluran
irigasi dan kebutuhan air irigasi.

Gambar 2. Peta Daerah Irigasi Jatiluhur

Hingga saat ini konfigurasi pembagian air menjadi 5 golongan merupakan pilihan
terbaik, karena sebelumnya telah pernah dicoba juga dengan 3 golongan, 4 golongan, 6
golongan dan 7 golongan. Saat konfigurasi 3 golongan dan 4 golongan digunakan, ternyata
banyak petani yang tidak dapat mengikuti jadwal tanam, sedangkan pada penggunaan 6
golongan dan 7 golongan terjadi banyak pemborosan air irigasi. Setelah melalui berbagai
pendekatan kepada petani, sejak tahun 2006 Daerah irigasi Jatiluhur terbagi menjadi 5
golongan seperti saat ini. Pembagian ini juga dilakukan dengan mempertimbangkan
kesiapan petani untuk memulai musim tanam dan ketersediaan air irigasi. Dengan
13

diberlakukannya sistem golongan maka semua petak pertanaman dalam satu golongan
harus melakukan kegiatan produksi yang sama.
Pembagian golongan menentukan perbedaan masa dimulainya pemberian air irigasi
dengan selisih interval 15 hari dari satu golongan ke golongan yang selanjutnya. Sebagai
contoh MT padi rendeng dimulai pada tanggal 1 Oktober untuk golongan I, tanggal 16
Oktober untuk golongan II, tanggal 1 November untuk golongan III, dan seterusnya.
Begitu pula pada saat MT padi gadu.
Dengan demikian, masa tanam maupun masa panen padi di daerah irigasi Jatiluhur
tidak dilaksanakan secara serempak. Luas lahan pertanian pada tiap golongan tersebut
adalah sebagai berikut : golongan I seluas 47.153,5 ha, golongan II seluas 58.113,5 ha,
golongan III seluas 56.662,6 ha, golongan IV seluas 64.115,8 ha, dan golongan V seluas
37.574,0 ha.
Dalam SK Direksi PJT-II Nomor:1/420/KPTS/2010 dijelaskan bahwa pemberian
air irigasi untuk daerah irigasi Jatiluhur di wilayah Pantura Jawa Barat dijadwalkan untuk 3
kali musim tanam (MT) dalam setahun. Yang pertama adalah MT padi rendeng selama 4,5
bulan (awal Oktober sampai dengan pertengahan Pebruari), kemudian MT padi gadu
selama 4 bulan (awal Maret sampai dengan akhir Juni) dan MT palawija selama 2 bulan
(awal Juli sampai dengan akhir Agustus). Pemberian air akan dihentikan secara serempak
pada hari terakhir bulan Agustus. Pengeringan jaringan irigasi ditetapkan selama bulan
September dan pelaksanaannya diatur sesuai dengan kebutuhan dalam rangka pemeriksaan
berkala, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi.

14

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta II yang mempunyai luas
1.364.072 ha, terutama pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu yang merupakan
Daerah Tangkapan Air (DTA) bagi Waduk Jatiluhur dan juga pada lahan pertanian di
daerah Pantura Jawa Barat yang mendapat pasokan air irigasi dari Waduk Jatiluhur. Lokasi
Daerah Penelitian ditunjukkan pada peta di Lampiran 1.
Luas DAS Citarum Hulu adalah 456.251 ha, sementara luas daerah irigasi Jatiluhur
di wilayah Pantura adalah 372.460 ha. Penelitian ini dilakukan kurang leb