Dampak pembentukan Kabupaten baru terhadap pemupukan modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah: kasus Wilayah Teluk Lewoleba Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggar Timur

DAMPAK PEMBENTU
KABUPATEN BARU
TERNADAP PEMUPU
MODAL SOSIAL
DAN PERTUMBU
EKONOMI WILAYAN
Kasus Wilayah Pesisir Teluk Lewoleba
Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur

KRbSTOFORUS LABA

SEKOLAW PASCASARJANA
IPlTSTITUT PERT
N BOGOR
2007

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
yang berjudul:


DAMPAK PEMBENTUKAN KABUPATEN BARU
TERHADAP PEMWUKAN MODAL SOSIAL
Kasus Wilayah Pesisir Teluk Lewoleba, Kabupaten Lembata,
Provinsi Nusa Tenggara Timur

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 2 1 Juni 2007
Yang menyatakan,

Kristoforus Laba

NRP. A155030011

ABSTRAK
KRISTOFORUS LABA. Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap
Pemupukan Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah, Kasus Wilayah
Pesisir Teiuk Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur

(Isang Gonarsyah sebagai Ketua dan D.S. Priyarsono sebagai Anggota Komisi
Pembimbing).
Kabupaten Lembata merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Flores
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NIT).Pembentukan Kabupaten Lembata
diharapkan dapat meningkatkan stok modal sosial yang diperlukan untuk
mendorong dan menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi wilayah. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis dampak pembentukan Kabupaten Lembata
terhadap pemupukan modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah di dua
kecamatan di wilayah Kabupaten Lembata. Analisis data dilakukan secara
deskriptif dan statistik uji beda nyata, serta analisis regresi. Temuan utama
penelitian ini adalah pembentukan kabupaten baru berdampak positif terhadap
pemupukan modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Di samping
sumberdaya alam, stok modal sosial juga sangat menentukan keberhasilan
pembangunan wilayah.
Kata kunei: pembentukan kabupaten, modal sosial, pertumbuhan ekonomi
wilayah.

OHak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang meizgutip dart i?zemperbaizyaktanpa izin terfulis dari

Institut Pertatlian Bogor, sebagian aiau selurrrlrnya dalam betztuk apaputt,
baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dun sebagainya.

DAMPAK PEMBENTUKAN KABUPATEN BARU
TERHADAP PEMUPUKAN MODAL SOSIAL
DAN PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH
Kasus Wilayah Pesisir Teluk Lewoleba
Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur

KRISTOFORUS LABA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007


Judul Tesis

: Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap Pemupukan
Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (Kasus
Wilayah Pesisir Teluk Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi
Nusa Tenggara Timur)

Nama

: Kristoforus Laba

Nomor Pokok

: A15503001 1

Program Studi

: Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Menyetujui,

1. Ko~nisiPembimbing

Dr. Ir. b. S. Privarsono, MS
Anggota

Prof. Ir. Isang Gonarsvah. Ph.D
Ketua

Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilinu-ilmu
Perencanaan Pe~nbangunan
Wilayah dan Perdesaan

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D
Tanggal Ujian : 13 Oktober 2006

Tanggal Lulus :


2

JUN

2007

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa atas segala karuniaya, sehingga dapat menyelesaikan tesis dengan judul:
"Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap Pemupukan Modal
Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (Kasus Wilayah Pesisir Teluk
Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur)". Tesis ini

merupakan tugas akhir pendidikan magister sains pada Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada Prof. Ir. Isang Gonarsyah, PhD sebagai Ketua Komisi
Pembimbing dan kepada Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MS sebagai Anggota Komisi
Pembimbing yang dengan tulus dan ikhlas telah meluangkan waktunya memberi
bimbingan dan arahan serta memotivasi penulis sehingga dapat menyelesaikan
tesis ini.

Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bapak
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS dm Ketua Program Studi Iimu-Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Bapak Prof. Ir. Isang
Gonarsyah, Ph.D, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaanya menerima
penulis untuk mengikuti pendidikan magister serta segala bantuan dan kesempatan
yang diberikan selama mengikuti pendidikan. Demikian juga penulis haturkan
terima kasih kepada para Dosen PS. PWD atas bekal ilmu yang diberikan serta
pandangan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Depdiknas atas kesempatan untuk memperoleh beasiswa. Tidak lupa
penulis menyampaikan terima kasih yang sama kepada Ir. Jacobus oEmatan, MSi
selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Kupang serta Drs. Andreas Duli
Manuk selaku Bupati Lembata yang dengan ikhlas memberikan bantuan dana dan
fasilitas selama mengikuti pendidikan, terutama ketika penulis melaksanakan
penelitian lapangan. Kepada ayah, ibu, dan adik-adik, terutama kepada adik
Bemardus Bala Langobelen (alm) yang telah membantu penelitian lapangan,

seluruh keluarga dan rekan-rekan di Lewoleba dan Kupang, serta semua relawan
yang telah membantu penulis ketika melakukan penelitian lapangan dan penulisan
tesis, penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga. Ucapan terima kasih

juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan PS.PWD 2003 yang sulit disebut satu
per satu atas kebersamaan yang terbina dalam meniti ilmu di bumi Pakuan.
Kepada teman-teman: om Hasan, Mai, A.Lan, Bu Siti, Asdi, dan p.Yunus terima
kasih atas bantuan, perhatian dan motivasi yang diberikan.

Kepada warga

komunitas RT 03 Kampung Gedong Ciampea serta keluarga Pondok IntanCibanteng, terima kasih saya ucapkan atas segala perhatian dan fasilitas yang
diberikan selama tinggal dan menempuh pendidikan di Bogor. Kepada istri
tercinta M. Emi Kusnawati, S.Sos. serta anak-anak tersayang Ius, Emilio, dan
Satrio, karya ini ayah persembahkan atas kesabaran, dedikasi, dan segala
pengorbanan kalian terhadap pendidikan ayah.
Akhirnya disadari tesis ini masih terdapat kekurangan yang disebabkan
oleh keterbatasan penulis. Untuk kesempurnaannya kritik dan saran diharapkan,
semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2007
Kristoforus Laba

RIWAYAT WDUP
Penulis dilahirkan di Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada

tanggal 31 Oktober 1971 sebagai anak pertama dari sembilan bersaudara dari
pasangan Bpk. Yohanes Duli Langobelen dan Ibu Theresia Ose Namang.
Pendidikan sekolah dasar ditempuh pada SD Inpres I Lewoleba dan tamat
tahun 1983, pendidikan sekolah menengah pertama ditempuh pada SMP Negeri
Lewoleba dan tamat tahun 1986 selanjutnya pendidikan sekolah menengah atas
ditempuh pada SMA Negeri Lewoleba dan tamat tahun 1989. Pendidikan sarjana
pada Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana
Kupang dan tamat pada tahun 1994.
Sejak tahun 1995 penulis bekerja sebagai staf pengajar Politeknik
Pertanian Negeri Kupang. Pada tahun 2003 penulis mengikuti pendidikan
Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS dari
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia.

DAFTAR IS1
Hal
.

DAFTAR TABEL ....................................................................

xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................. xiii

I

.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .........................................................
1.2. Perumusan Masalah ....................................................
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................
1.4. Manfaat Penelitian .....................................................

.

I1

.


I11

TINJAUAN TEORITIS DAN PENELITIAN TERDAHULU
2.1. Definisi Modal Sosial .................................................................
2.2. Klasifikasi dan Determinan Modal Sosial ..................................
2.3. Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah .....................
2.4. Pendekatan Ekonomi terhadap Modal Sosial .............................
2.5. Pendekatan dalam Investasi Modal Sosial ..............................
2.6. Peranan Pemerintah dalam Pembentukan Modal Sosial ..............
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran ....................................................
3.2. Hipotesis ...............................................................................
3.3. Metode Penelitian ......................................................
3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................
3.3.2. Metode Penarikan Sampel ......................................
3.3.3. Jenis dan Sumber Data .........................................
3.3.4. Metode Analisis Data .........................................................
3.3.4.1. Analisis Stok Existing Modal Sosial..................
3.3.4.2. Analisis Dampak Pembentukan Kabupaten Baru
terhadap Peningkatan Stok Modal Sosial dan
Peningkatan Kesejahteraan Rurnahtangga........
3.3.4.3. Analisis Dampak Pembentukan Kabupaten Baru
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Wilayah.........
3.3.5. Definisi Operasional..........................................................

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian .........................................
4.2. Stok kisting Modal Sosial .............................................
4.2.1.Dimensi Struktural Modal Sosial ...................................
4.2.1.1. Kepadatan Keanggotaan dalam Asosiasi
Lokal.................................................................
4.2.1.2.Keragaman Keanggotaan ................................
4.2.1.3. Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan.........
4.3.1.4.Dukungan dalam Situasi Krisis ......................
4.3.1.5. Derajat Pembatasan ........................................
4.2.2.Dimensi Kognitif .........................................................
4.2.2.1.Derajat Kesetiakawanan..................................
4.2.2.2.Kepercayaan....................................................
4.2.2.3.Kerjasama........................................................
4.2.2.4. Penyelesaian Konflik .......................................
4.2.3.Aksi Kolektif................................................................
4.2.3.1.Tingkat Aksi Kolektif......................................
4.2.3.2. Jenis Kegiatan Kolektif...................................
4.2.3.3.Kesediaan untuk Berpartisipasi dalam Aksi
Kolektif...........................................................
4.3. Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap
Peningkatan Stok Modal Sosial dan Peningkatan
Kesejahteraan Rumahtangga.................................................
4.3.1. Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap
Peningkatan Stok Modal
Sosial.........................................................................
4.3.2. Hubungan antara Peningkatan Stok Modal Sosial
dengan Peningkatan Kesejahteraan
Rumahtangga.............................................................
4.4. Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ...........................................
4.5. Pembahasan...........................................................................

-

V.

SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan.................................................................................
5.2. Saran dan Implementasi Kebijakan........................................

DAFTAR PUSTAKA.. ............................................................
LAMPIRAN ................................................................................................

DAFTAR TABEL
Nomor

Hal
Kerangka Hubungan antara Pendapat Woolcock dan Narayan
(2000) dengan Pendapat Grootaert dan van Bastaeler (2002).....
Keadaan Umum Kecamatan Nubatukan, Kecamatan Ile Ape,
dan Kabupaten Lembata, 2006 ..................................................
Stok Existing Modal Sosial di Kecamatan Nubatukan dan
Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006..........................
Dimensi Struktural Stok Existing Modal Sosial di Kecamatan
Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata,
2006.............................................................................................

11

27
29

30

Kepadatan Keanggotaan dalam Asosiasi Lokal di Kecamatan
Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata,
2006 ........................................................................... 33
Keragaman Keanggotaan di dalam Tiga Asosiasi Lokal yang
Paling Penting bagi Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan
dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006. ........... 35
Dimensi Kognitif Stok Existing Modal Sosial di Kecamatan
Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata,
2006 .............................................................................................. 38
Stok Existing Aksi Kolektif di Kecamatan Nubatukan dan di
Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006.......................... 42
Dampak Pembentukan Kabupaten Lembata terhadap
Peningkatan Stok Modal Sosial di Kecamatan Nubatukan dan
di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata ................................ 45
Korelasi antara Peningkatan Stok Modal Sosiai dan Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan dan di
47
Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata ....................................
Koefisien Regresi (Model Agregat) Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di
Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten
Lembata ........................................................................................ 48
Koefisien Regresi (Model Disagregat) Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di
Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten
Lembata ........................................................................................ 48
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Kecamatan Nubatukan dan
di Kecamatan Ile Ape, serta di Kabupaten Lembata Tahun
1997-2004....................................................................................
50

DAFTAR GAMBAR
Nomor
1. Laju Rataan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Kecamatan
Nubatukan, di Kecamatan Ile Ape, dan Kabupaten Lembata
Tahun 1997-1999 dan 1999-2001 ............................................
2. Hubungan antara Penyebab Dasar Polarisasi Sosial dan
Indikator Modal Sosial..............................................................
3. Skematik Kerangka Pemikiran..................................................
4. Pertumbuhan ~ k o n o m Wilayah
i
di Kecamatan Nubatukan, di
dan
di
Kabuoaten
Lembata Tahun 1997Kecamatan Ile Aoe,
. .
2004...........................................................................................
5 . Rataan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Kecamatan
Nubatukan, di Kecamatan Ile Ape, dan di Kabupaten Lembata
dalam Tiga Periode Pembentukan Kabupaten Baru ..................
6 . Dampak Pembentukan Kabupaten Lembata terhadap
Peningkatan Laju Rataan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di
Kecamatan Nubatukan, di Kecamatan Ile Ape, dan di
Kabupaten Lembata ..................................................................

Hal

3

21
23
51

52

53

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Hal
1.
Definisi Operasional, Pengukuran Variabel, dan Pengolahan
Data...............................................................................................
63
Perbandingan Beberapa Karakteristik Wilayah antara
Kecamatan Ile Ape dan Kecamatan Nubatukan, Kabupaten
Lembata, 2002...............................................................................
Rumus Perhitungan Indeks Komposit Modal Sosial (BPS,
Bappenas, UNDP 2004)................................................................
Model Logit Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga.........................................................
Hasil Analisis Data dengan Program Aplikasi Minitab 13.1
untuk Regresi Model Logit dengan Peningkatan Stok Modal
Sosial Agregat sebagai Variabel Penjelas terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan,
Kabupaten Lembata......................................................................
Hasil Analisis Data dengan Program Aplikasi Minitab 13.1
untuk Regresi Model Logit dengan Peningkatan Stok Modal
Sosial Disagregat sebagai Variabel Penjelas terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan,
Kabupaten Lembata......................................................................
Hasil Analisis Data dengan Program Aplikasi Minitab 13.1
untuk Regresi Model Logit dengan Peningkatan Stok Modal
Sosial Agregat sebagai Variabel Penjelas terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten
Lembata........................................................................................
Hasil Analisis Data dengan Program Aplikasi Minitab 13.1
untuk Regresi Model Logit dengan Peningkatan Stok Modal
Sosial Disagregat sebagai Variabel Penjelas terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten
Lembata........................................................................................

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Lembata merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Flores
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur

(NTT)berdasarkan UU No. 52 Tahun

1999. Kabupaten Lembata terdiri atas satu pulau, yaitu Pulau Lembata dengan
luas 1.166,39 km2 (Bappeda dan BPS Kabupaten Lembata 2002), yang tergolong
sebagai pulau kecil karena luasnya kurang dari 10.000 kmz dan jumlah
penduduknya kurang dari 200.000 orang (batasan Surat Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan
Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat).
Secara konseptual, pemanfaatan sebuah pulau kecil hendaknya berbasis
pada konsemasi, yakni luas wilayah daratan yang dimanfaatkan untuk kegiatan
sosial ekonomi dan demografi hanya sekitar 50% dari total luas wilayah pulau
(Bengen 2004). Untuk itu kepadatan penduduk pulau kecil seperti Pulau Lembata
hendaknya tidak lebih dari 20 orang per km2, sehingga jumlah penduduk ideal
untuk pemanfaatan Pulau Lembata dengan basis konsemasi adalah 23.328 orang.
Kenyataannya penduduk di Pulau Lembata pada tahun 2002 berjumlah 961763
orang. Dengan jumlah penduduk empat kali lebih besar dari batas ideal tersebut,
maka pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam di dalam pembangunan ekonomi
telah memberikan tekanan yang sangat tinggi terhadap keberlanjutan daya
dukungnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Tekanan penduduk ini terus
meningkat karena pertumbuhan penduduk yang tinggi, yaitu antara tahun 2000
dan 2002 mengalami pertumbuhan sebesar 7,88% (BPS Kabupaten Lembata
2002).
Pembentukan Kabupaten Lembata sebagai akibat dari pemekaran
Kabupaten Flores Timur diharapkan dapat meningkatkan dan menjaga
keberlanjutan pertumbuhan ekonomi wilayah. Dengan tekanan penduduk yang
relatif tinggi, maka pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lembata akan mengalami
stagnasi apabila hanya mengandalkan sumberdaya alam saja. Oleh karena itu,
pembentukan Kabupaten Lembata yang terpisah dari Kabupaten Flores Timur

juga diharapkan dapat meningkatkan stok modal sosial yang diperlukan untuk
mendorong dan menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi wilayah. Peranan
modal sosial terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah ditegaskan oleh Grootaert
(1998), yang menyatakan bahwa modal sosial dapat mendorong dan menjaga
keberlanjutan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Setelah pembentukan Kabupaten Lembata, wilayah pesisir Lewoleba
yang mencakup Kecamatan Nubatukan dan Kecamatan Ile Ape dikembangkan
menjadi kawasan pusat kegiatan perekonomian dan pemerintahan di Kabupaten
Lembata. Sekalipun bemda di dalam satu wilayah pengembangan, pertumbuhan
ekonomi di kedua kecamatan itu sangat berbeda. Penelitian ini menelaah
bagaimana dampak pembentukan Kabupaten Lembata sebagai akibat dari
pemekaran Kabupaten Flores Timur terhadap peningkatan stok modal sosial dan
pertumbuhan ekonomi di kedua wilayah kecamatan tersebut.
1.2. Perumusan Masalah

Kinerja perekonomian yang diukur dari PDRB riil tanpa migas yang
disesuaikan pada tahun 2000, untuk Kabupaten Flores Timur adalah sebesar Rp
781.000 per kapita sedangkan Kabupaten Lembata jauh lebih rendah, yaitu
sebesar Rp 445.000 per kapita (BPS, Bappenas, UNDP 2004).
Laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lembata serta di Kecamatan
Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape berkaitan dengan pembentukan Kabupaten
Lembata, sebagaimana disajikan di dalam Gambar 1, memperlihatkan bahwa
pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lembata pada tahun 1999 meningkat 21,00%
dibandingkan dengan tahun 1997. Demikian pula pertumbuhan ekonomi di
Kecamatan Ile Ape mengalami lonjakan yang sangat tinggi (53,15%). Sebaliknya
pertumbuhan ekonomi di Kecamatan Nubatukan justru mengalami penurunan
sebesar 8,80%. Setelah pembentukan Kabupaten Lembata pada tahun 1999,
pertumbuhan ekonomi di Kecamatan Nubatukan jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan di Kecamatan Ile Ape dan di Kabupaten Lembata. Pertumbuhan ekonomi
di Kecamatan Nubatukan antara tahun 1999-2001 meningkat 7.07%, sedangkan

di Kecamatan Ile Ape dan di Kabupaten Lembata menurun masing-masing
sebesar -27.52% dan -8.60% (Bappeda dan BPS Kabupaten Lembata 2002).

Gambar 1. Laju Rataan Pertumbuhan Ekonomi di Kecamatan Nubatukan, di
Kecamatan Ile Ape, dan di Kabupaten Lembata Tahun 1997-1999
dan 1999-2001.
Sayangnya, laju rataan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di
Kecamatan Nubatukan setelah pembentukan Kabupaten Lembata sebagai hasil
dari pemekaran Kabupaten Flores Timur jnstru diikuti dengan meningkatnya
berbagai kegiatan ekonomi yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan di
wilayah pesisir (antara lain, penebangan pohon bakau dan pengambilan karang
laut), meningkatnya konflik pemanfaatan ruang pesisir (antara lain, konflik antara
nelayan tangkap dengan petani rumput laut), dan berkurangnya kemampuan
pemerintah dan masyarakat di Kecamatan Nubatukan untuk menyelesaikan
konflik tersebut (Laba dan Rahman 2004).
Penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan sejauhmana dampak
pembentukan Kabupaten Lembata sebagai hasil dari pemekaran Kabupaten Flores
Timur pada tahun 1999 terhadap peningkatan stok modal sosial dan pertumbuban
ekonomi wilayah di dua kecamatan di Kabupaten Lembata.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak pembentukan
kabupaten baru sebagai akibat pemekaran kabupaten terhadap peningkatan stok
modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi bagi
Pemerintah Kabupaten Lembata dalam meningkatkan dan menjaga keberlanjutan
kinerja ekonomi witayah melalui pemupukan modal sosial.

11. TINJAUAN TEORITIS DAN PENELITIAN
TERDAHULU
2.1. Definisi Modal Sosial

Modal sosial adalah konsep baru di dalam bidang ekonomi tetapi telah
lama berakar di dalam ilmu-ilmu sosial yang lain (Paldam dan Svendsen 2000a
diacu Lene dan Svendsen 2000). Konsep modal sosial yang paling terkenal
dikemukakan oleh Putnam pada tahun 1993, yang melihat modal sosial sebagai
sekumpulan "asosiasi horisontal" di antara orang-orang yang mempengaruhi
produktivitas komunitas. Asosiasi ini mencakup jaringan dan norma sosial. Ada
dua asumsi yang melandasi konsep ini. Pertama, jaringan dan norma secara
empirik saling berhubungan. Ke-dua, jaringan dan norma memiliki konsekuensi
ekonomi yang penting. Modal sosial berperan dalam memfasilitasi kerjasama
dan koordinasi untuk kemanfaatan bersama bagi anggota-anggota perkumpulan
(Putnam 1993).
Modal sosial menjadi bermakna karena memiliki ciri yang dapat
dibedakan dari bentuk modal yang lain, karena modal sosial adalah "sosial" dan
dapat dibedakan dari bentuk sosial yang lain karena modal sosial adalah "modal".
Modal sosial dikatakan "sosial" karena mencakup kemampuan orang untuk
bersosialisasi. Modal sosial dapat menjadi sosial karena muncul dari interaksi dari
berbagai pihak di luar pasar (non market interaction), namun memiliki pengaruh
ekonomi. Pengaruh ini tidak terinternalisasi ke dalam perhitungan para pelaku
ekonomi yang tercermin dari harga pasar, atau dalam istilah ekonomi disebut
sebagai eksternalitas. Modal sosial dicirikan oleh adanya eksternalitas, yakni:
inisiasi interaksi sosial selalu mengandung eksternalitas, interaksi sosial
mempunyai pengaruh ekonomi yang tidak dimediasi melalui pasar, dan biasanya
pengaruh ekonomi itu bukan merupakan tujuan utama dari interaksi sosial,
melainkan bersifat insidentil dan bahkan tidak direncanakan. Jadi modal sosial
adalah "sosial" apabila terdapat interaksi sosial yang berpengaruh terhadap
munculnya eksternalitas. Modal sosial dikatakan "modal" karena berpengaruh
secara ekonomi. Interaksi sosial yang tidak menghasilkan manfaat ekonomi tidak
termasuk di dalam modal sosial (Collier 1998).

Modal sosial umumnya didefinisikan sebagai suatu kumpulan norma,
jaringan, dan organisasi dengan mana orang-orang mendapatkan akses terhadap
kekuasaan dan sumberdaya sebagai alat yang memungkinkan pengambilan
keputusan dan perumusan kebijakan (Coleman 1988). Paldam (2000) yang diacu
Lene dan Svendsen (2000) menggambarkan modal sosial sebagai perekat yang
menyatukan

masyarakat.

Pendekatan

teoritis

terhadap

modal

sosial

dikelo~npokkan menjadi tiga, yakni: kepercayaan, kerjasama, dan jaringan.
Dengan mengasumsikan bahwa kepercayaan memudahkan kerelaan untuk
bekerjasama, ditunjukkan bahwa hubungan yang sama juga berlaku antara
kepercayaan dan jaringan. Paldam menyimpulkan bahwa definisi dari jaringan
akan lebih bermakna bila ditempatkan dalam definisi kepercayaan-kerjasama.
Konsekuensinya, perekat sosial atau modal sosial dapat didefinisikan sebagai
kepercayaan timbal-balik dalam suatu kelompok.
Portes (1998) mendefiniskan modal sosial sebagai kemampuan dari para
pelaku untuk mendapatkan manfaat melalui keanggotaan di dalam jaringan sosial
atau struktur sosial lainnya. Narayan (1998) memberikan definisi modal sosial
sebagai norma dan hubungan sosial yang tertambat di dalam struktur sosial
masyarakat yang memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan tindakan
dan mencapai tujuan bersama.
Dasgupta (1999) menguraikan tentang penggunaan dan interpretasi modal
sosial dari latar belakang sosiologi, namun lebih menekankan pada latar belakang
ekonomi. Pertama, modal sosial dapat dianalisis pada berbagai level masyarakat,
yaitu pada level mikro (individu/rumahtangga/lingkungan), level meso (institusiinstitusi), dan level makro (level nasional). Ke-dua, Narayan dan Pritchett (2000)
memisahkan literatur modal sosial ke dalam tiga aliran, yaitu: berkenaan dengan
politik pada level negara (mencakup aspek pertumbuhan), fokusnya pada level
mezo (kehandalan institusi-institusi), dan modal sosial berperan di dalam
mengatasi kegagalan pasar pada level mikro. Berkenaan dengan pengukuran,
perbedaan ini tidak menjadi masalah utama. Pada level mikro, modal sosial
mencakup jaringan dan norma yang mengarahkanlmengatur interaksi antar
individu, rumabtangga, dan komunitas. Pada level mezo dan makro, modal sosial

dibangun oleh fungsi dari institusi, penegakan hukum, pemerintah, dan lain-lain.
Disamping itu, modal sosial juga dibedakan atas dua dimensi, yakni dimensi
struktural yang berfungsi memperlancar interaksi sosial, dan dimensi kognitif
yang mempengaruhi/mendorong orang untuk bertindak dengan cara yang
bermanfaat secara sosial.
Bank Dunia mendefinisikan modal sosial menurut dua versi. Pertama,
modal sosial merujuk pada norma, institusi dan hubungan sosial yang membentuk
kualitas interaksi sosial di dalam masyarakat. Ke-dua, modal sosial adalah norma,
institusi, dan hubungan sosial yang memungkinkan orang dapat bekerja sama.
Interaksi ini memungkinkan para pihak untuk memobilisasi lebih banyak
sumberdaya dan mencapai tujuan bersama (Bank Dunia 2001). Kedua definisi
menyatakan dengan jelas adanya kesamaan dalam variabel bebas (norma, institusi,
dan hubungan sosial), namun berbeda dalam variabel terikatnya. Definisi pertama
menunjuk kualitas interaksi sosial di dalam masyarakat sebagai variabel
terikatnya, sedangkan pada definisi ke-dua, yang menjadi variabel terikatnya
adalah peluang orang dapat bekerjasama. Lawang (2004) mendefinisikan modal
sosial sebagai kekuatan sosial komunitas bersama modal-modal lainnya yang
tertambat pada struktur sosial mikro, mezo, dan makro yang menentukan efisiensi
dan efektifitas dalam pengentasan masalah.
Secara umum definisi modal sosial dicirikan oleh keterikatan modal sosial
pada struktur sosial, sehingga kekuatan modal sosial sangat tergantung pada
struktur sosial dimana modal sosial tertambat. Analisis modal sosial juga
kemudian mengikuti level struktur sosial, sehingga dapat dilakukan pada level
mikro, mezo, dan makro.
2.2. Klasifikasi dan Determinan Modal Sosial

Sebuah model yang komprehensif dari modal sosial perlu menginvestigasi
tiga hal, yakni: investasi di dalam modal sosial, akses dan mobilisasi modal sosial,
serta return modal sosial. Secara umum modal sosial memiliki dua ozrtcome,
yaitu: return yang diperoleh dari tindakan instrumental, dan return yang diperoleh
dari tindakan ekspresif (Lin 2001). Tindakan instrumental dilakukan untuk

memperoleh sumberdaya yang tidak dimiliki oleh si aktor. Sedangkan tindakan
ekspresif dilakukan untuk mempertahankan sumberdaya yang telah ada pada si
aktor.

Tindakan instrumental dapat menghasilkan tiga return, yaitu return

ekonomi, politik dan sosial. Return ekonomi adalah kesejahteraan, termasuk
penghasilan, dan aset. Return politik direpresentasikan melalui posisi di dalam
hirarki suatu perkumpulan. Return sosial adalah reputasi yang didefinisikan
sebagai pendapat umum yang sesuailtidak sesuai tentang seseorang di dalam suatu
perkumpulan. Untuk tindakan ekspresif, modal sosial merupakan sesuatu yang
berarti untuk mengkonsolidasi sumberdaya dan mencegah hilangnya sumberdaya
yang dimiliki si aktor. Prinsipnya adalah menganalisis dan memobilisasi orang
lain yang memiliki kepentingan dan kendali atas sumberdaya yang sama sehingga
sumberdaya yang tertambat pada struktur sosial dapat disatukan dan dimiliki
bersama guna melindungi sumberdaya yang telah ada pada mereka. Return dari
tindakan ekspresif, yaitu: kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kepuasan hidup.

Return dari tindakan instrumental dan ekspresif sering memperkuat satu sama
lain.
Modal sosial dapat dikelompokkan dengan membedakan bentuk interaksi
sosial, tipe eksternalitas yang dihasilkan, dan mekanisme yang diinduksi untuk
menghasilkan modal sosial. Interaksi sosial terdiri atas interaksi satu arah (one-

way interaction) dan interaksi timbal-balik (reciprocal interaction). Menurut
tingkatan kapasitas dalam keputusan kelompok, maka interaksi sosial dapat
dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama, mencakup observasi dan
jaringan, yaitu bentuk interaksi sosial dengan tingkatan kapasitas yang lebih
rendah. Kelompok ke-dua, bentuk interaksi sosial dengan tingkatan kapasitas
yang lebih tinggi di dalam pembuatan keputusan kelompok, meliputi hirarki dan
klub. Secara umum, hirarki berkaitan dengan observasi, sementara klub berkaitan
dengan jaringan.

Sedangkan eksternalitas yang dihasilkan dari interaksi sosial

terdiri atas tiga, yaitu eksternalitas pengetahuan mengenai perilaku pihak lain,
ekstemalitas pengetahuan mengenai lingkungan yang tidak berkaitan dengan
perilaku pihak lain (misalnya harga dan teknologi), dan eksternalitas dalam bentuk
kapasitas untuk mengkoordinasikan tindakan sehingga dapat memperoleh manfaat

dari aksi kolektif, yaitu ketika aksi kolektif itu dapat mengatasi masalah
penunggang gratis wee-riders). Modal sosial dapat dihasilkan melalui dua
mekanisme, yaitu pengendalian (copying) yang dapat terjadi melalui interaksi
sosial satu arah, dan penyatuan @ooling) yang dapat terjadi melalui interaksi
sosial timbal balik (Collier 1998).
Falk dan Kilpatrick (2000), menyatakan bahwa modal sosial terbangun
tidak saja dari knowledge resource tetapi juga identity resource. Knowledge
resource mencakup informasi tradisi individu dan kolektif, keterampilan, nilai dan

pola perilaku. Identify resource adalah persepsi masyarakat atau kelompok
mengenai dirinya sendiri atau orang lain serta hubungannya dengan masyarakat
atau kelompok yang lebih besar. Perspektif bersama mengenai masa depan dan
hubungan saling percaya merupakan komponen penting dari identity resource.
Knowledge dan identity resource dibangun dan di gunakan secara simultan

melalui interaksi yang menguntungkan masyarakat dan anggotanya.
Modal sosial terdiri atas dua dimensi, yaitu dimensi

struktural yang

berkaitan dengan jaringan, peran, aturan, dan keteladanan, yang hams dinilai
secara terpisah dari dimensi kognitif, yaitu yang berkaitan dengan norma, nilai,
sikap, dan keyakinan (Grootaert dan Bastaeler 2002). Modal sosial struktural lebih
obyektif dan secara ekstemal dapat terlihat dari struktur sosial, seperti jaringan,
asosiasi, kelembagaan, dan aturan serta prosedur yang ada di dalamnya. Modal
sosial kognitif

lebih subyektif dan unsur-unsumya tidak kelihatan, yakni

kebiasaan yang berlaku umum, norma-norma dalam berperilaku, nilai-nilai
bersama, hubungan timbal balik, dan kepercayaan. Apabila unsur-unsur modal
sosial kognitif mempengaruhi dan mengarahkan orang pada aksi kolektif yang
menghasilkan kemanfaatan bersama, maka unsur-unsur struktural dari modal
sosial berperan dalam memperlancar dan memfasilitasi aksi kolektif itu (Uphoff
2000). Dimensi-dimensi dari modal sosial struktural dan kognitif harus
dikombinasikan untuk mewakili potensi agregat dari aksi kolektif yang
mendatangkan manfaat bersama yang telah ada di dalam suatu komunitas
(Krishna 2000, Uphoff 1999, yang diacu dalam Grootaert dan Bastelaer 2002).

Pendapat dari beberapa ahli yang membedakan modal sosial ke dalam
dimensi struktural dan kognitif terinspirasi oleh pandangan Coleman (1988),
bahwa modal sosial bukanlah merupakan entitas tunggal melainkan terdiri atas
sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama, yaitu semuanya terdiri atas aspek
struktur sosial, dan berfbngsi dalam memfasilitasi tindakan tertentu dari aktor

-

apakah individu atau badan hukum- di dalam struktur sosial itu.
Menurut Isham et a1 (1999) yang diacu Woolcock dan Narayan (2000),
modal sosial dapat dibedakan ke dalam empat perspektif, yaitu: 1) pandangan
komunitarian

(communitiarian view), menyamakan modal sosial dengan

organisasi pada level lokal (seperti asosiasi, klub, dan kelompok-kelompok
warga), 2) pandangan jaringan (nehvorh view), menekankan pentingnya asosiasi
vertikal seperti halnya asosiasi horisontal, dan hubungan di dalam organisasi dan
antar organisasi seperti kelompok-kelompok komunitas dan perusahaan. Dalam
pandangan ini terdapat dua dimensi dasar dari modal sosial pada level komunitas,
yaitu 'strong' intra-community ties ("bonds'? dan 'weak' extra-coniniunity ties

("bridges'?, 3) pandangan kelembagaan (the institutional view), menekankan
bahwa jaringan komunitas dan masyarakat sipil, secara luas merupakan produk
politik,

undang-undang,

dan

lingkungan

kelembagaan.

Jika

pandangan

komunitarian dan jaringan menempatkan modal sosial sebagai variabel bebas;
maka pandangan kelembagaan meletakkan modal sosial sebagai variabel terikat,
4) pandangan sinergi (the synergy view), yaitu pandangan yang menggabungkan

pandangan jaringan dan kelembagaan dengan asumsi bahwa tidak satupun pelaku
pembangunan yang dapat berjalan sendiri dalam mengakses sumberdaya yang
dibutuhkan untuk menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan,
sehingga pandangan ini memfokuskan pada hubungan di dalam dan di antara
pemerintah dan masyarakat sipil.
Modal sosial juga dapat dinilai pada level mikro, mezo, dan makro. Pada
level mikro, modal sosial dapat terlihat dalam bentuk jaringan horisontal antara
individu dan rumahtangga serta norma-norma yang mengatur hubungan itu dan
nilai-nilai yang melandasi jaringan horisontal ini. Pengamatan modal sosial pads
level mezo mencakup hubungan horisontal dan vertikal di antara kelompok,

diilustrasikan dengan pengelompokan asosiasi lokal menurut wilayah. Sedangkan
pada level makro, modal sosial dapat diamati di dalam bentuk lingkungan
kelembagaan dan politik yang mempengamhi seluruh kegiatan ekonomi dan
sosial, serta kualitas dari pengaturan pemerintah. Pada level makro, modal sosial
berkaitan dengan ekonomi kelembagaan yaitu kualitas insentif dan kelembagaan
yang merupakan faktor penentu utama dari pertumbuhan ekonomi (Grootaert dan
Bastelaer 2002).
Tabel 1. Kerangka Hubungan antara Pendapat Woolcock dan Narayan (2000)
dengan Pendapat Grootaert dan Bastelaer (2002).
Level Modal
Sosial
(Grootaert dan
Bastaeler 2002)

Fokus Penilaian

Mikro

Hubungan Horisontal (Bondinglikatan yang
"kuat" di dalam organisasi dan kelompok
lokal)

Meso

Hubungan Vertikal (Bridginglikatan
"lemah" antara satu komunitas dengan
komunitas lain)

Makro

Kekuatan Jaringan antar komunitas
ditentukan oleh
Lingkungan politik, UU, dan kelembagaan.

Mikro+
Meso+Makro

Hubungan di dalam dan di antara
Masyarakat dan Pemerintah, dapat
berbentuk:
Complententaty
~ttbsritution

Pandangan Mengenai Modal
Sosial
(Woolcock dan Narayan
2000)
The Conrntlrnitarian view
Modal sosial merupakan
variabel bebas
The Network view
Modal sosial merupakan
variabel bebas
The Inslilutional vieiv
Modal sosial merupakan
variabel terikat
The Synegty viev:
The Nehvork vieiv + The
/nslitrrtional view

ISumber: Diolah dari Woolcock dan Narayan (2000), Grootaert dan Bastelaer
(2002).
2.3. Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Penelitian modal sosial yang dilakukan oleh Putnam (1993), menunjukkan
bahwa wilayah Italia Utara lebih kaya dibanding Italia Selatan.

Perbedaan

tersebut berkaitan dengan struktur sosial yang ada di masing-masing wilayah.
Wilayah Italia Utara memiliki struktur sosial horisontal sedangkan struktur sosial
di wilayah Italia Selatan lebih berbentuk hirarkhi. Modal sosial diukur dari indeks
perluasan civic comntunity, keterlibatan warga negara dan efisiensi pemerintah.

Putnam menggunakan pengukuran modal sosial untuk menjelaskan perbedaan laju
dan tingkat pertumbuhan ekonomi antara kedua wilayah. Perbedaan lainnya
diasumsikan tidak terlalu besar. Hasil penelitian menunjukkan konvergensi lebih
cepat dan keseimbangan pendapatan terjadi pada tingkat yang lebih tinggi di
wilayah dengan modal sosial yang lebih besar.
Selain di Italia, terdapat bukti-bukti bahwa modal sosial memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah lain. Hasil penelitian
Christoforou (2003) menunjukkan bahwa modal sosial berperan di dalam
memperkokoh pertumbuhan ekonomi di Yunani. Modal sosial dalam penelitian
tersebut merujuk kepada hubungan sosial yang berdasarkan norma, jaringan
kerjasama dan rasa percaya mempengaruhi pasar dan pemerintah dalam
menguatkan collective action antar pelaku dan memperbaiki pertumbuhan dan
efisiensi sosial. Regresi dilakukan terhadap indeks keanggotaan individu. Selain
itu, juga dilakukan regresi antara pendapatan perkapita masyarakat dan indeks
keanggotaan masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa tradisi kevvargaan yang
rendah menghambat reformasi dan pembangunan di Yunani. Perilaku partisipasi
masyarakat tidak saja ditentukan oleh determinan individu tetapi juga determinan
agregat dari modal sosial. Peningkatan dalam tingkat pendidikan dan kesempatan
kerja akan meningkatkan intensif untuk berpartisipasi dalam kelompok sehingga
menguatkan stok modal sosial.
Hubungan positif antar modal sosial terutama dalam bentuk rasa saling
percaya dan aktivitas organisasi terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah juga di
tunjukkan oleh Beugelsdijk dan Schaik (2003) di 54 negara Eropa pada kurun
waktu 1950-1998. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa aktivitas organisasi
(associational activity)

berhubungan

secara

positif

dengan

perbedaan

pertumbuhan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, hasil penelitian Putnam di Italia
dapat digeneralisasi. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa tidak hanya
keberadaan jaringan kerjasama saja yang memacu pertumbuhan ekonomi wilayah
tetapi juga tingkat keterlibatan aktual di dalam jaringan tersebut. Beugelsdijk dan
Schaik (2003) juga memodelkan hubungan antara modal sosial dengan
pertumbuhan dan menggunakan data dari European Value Studies (EVS) untuk

mengujinya. Modal sosial dibedakan atas bonding dan bridging sesuai dengan
pendapatan Putnam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa modal sosial yang
lebih tinggi dapat mendongkrak (crowd out) pertumbuhan ekonomi wilayah.
Semakin kuat modal sosial yang bersifat bridging akan menguatkan pertumbuhan
ekonomi karena partisipasi dalam jaringan kerja interkomunitas mengurangi
insentif untuk melakukan kegiatan rent seeking dan berlaku curang.
Menurut Grootaert dan Bastaeler (2002) modal sosial mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi dengan memperlancar transaksi di antara individu,
rumahtangga, dan kelompok di negara-negara berkembang. Pengaruhnya dalam
tiga bentuk, yaitu: 1) melalui partisipasi individu di dalam jaringan sosial, maka
meningkatkan informasi yang diperolehnya dan mengurangi biaya informasi.
Kemiskinan salah satunya disebabkan oleh informasi yang tidak sempurna, 2)
partisipasi di dalam jaringan lokal dan sikap saling percaya memudahkan
kelompok-kelompok untuk mencapai keputusan kolektif dan mewujudkan aksi
kolektif sehingga menjamin akses terhadap sumberdaya, 3) jaringan dan aturan
mengurangi perilaku "opportunistic" oleh anggota komunitas, sehingga modal
sosial dapat mengontrol perilaku menyimpang dari individu.
Knack dan Keefer (1997) telah melakukan investigasi lintas negara di 29
negara

untuk

mengukur

kinerja

perekonomian

menggunakan

indikator

kepercayaan dan norma dengan data yang berasal dari World Valzres Survey
(WVS). Penelitian ini menemukan bahwa kepercayaan dan norma warga dapat
berpengaruh

secara langsung maupun tidak

langsung terhadap kinerja

perekonomian yang lebih baik, yakni: 1) pengaruh langsung dari kepercayaan dan
norma terhadap kinerja perekonomian. Masyarakat yang memiliki saling percaya
yang kuat, tidak hanya memiliki insentif yang lebih kuat untuk melakukan inovasi
dan mengakumulasi modal fisik, tetapi juga mendapat hasil yang lebih tinggi di
dalam akumulasi modal manusia. Sedangkan norma dapat dikaitkan dengan
hasil-hasil ekonomi, yaitu norma yang dilaksanakan bersama-sama akan
menghalangi kepentingan pribadi yang sempit, dan mengarahkan orang untuk
memberikan kontribusi terhadap kepentingan umum dalam berbagai cara. Dengan
begitu, orang-orang dapat bekerja sama untuk mencari pemecahan atas

ekstemalitas negatif yang menimpa pihak-pihak yang tidak terlibat, 2) secara tidak
langsung, kepercayaan dan norma mempengaruhi kinerja perekonomian melalui
jaiur politik. Kepercayaan dan norma dapat memperbaiki kinerja pemerintah dan
kualitas kebijakan ekonomi melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam
politik. Norma dapat membantu warga sebagai principals untuk melakukan aksi
kolektif di dalam memantau kinerja pejabat pemerintah (agents). Sedangkan
kegiatan

berasosiasi

tidak

berhubungan

dengan

kinerja

perekonomian-

bertentangan dengan temuan Putnam (1993) di Italia.
Narayan dan Princhett (1999) menunjukkan fakta empirik bahwa
karateristik sosial desa, khususnya kerapatan jaringan horisontal dari asosiasi
mempengaruhi penghasilan individu. Penelitian ini menggunakan instrumen
survey, the Social Capital and Prover@ Survey (SCPS), yang ditujukan untuk
menggambarkan aspek kehidupan desa. Rumah tangga yang menjadi responden
dipilih secara random cluster. Data tiga dimensi modal sosial dikumpulkan
melalui:

keanggotaan

dalam

kelompok,

karateristik

kelompok

dimana

rumahtangga berpartisipasi sebagai anggota, serta nilai dan perilaku individu
khususnya pemahaman mengenai definisi, rasa percaya dan persepsinya terhadap
kohesi sosial.
Penelitian mengenai peran modal sosial terhadap kesejahteraan rumah
tangga di Indonesia dilakukan oleh Grootaert e l a1 (1999) di tiga propinsi yaitu
Jambi, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian dibatasi pada modal
sosial di tingkat mikro (individu, rumah tangga) dan mezo (komunitas). Definisi
yang digunakan mencakup asosiasi horisontal dan vertikal. Tujuan penelitian ini
adalah untuk menginvestigasi secara empirik hubungan antara modal sosial,
kesejahteraan rumah tangga dan kemiskinan di Indonesia. Selain itu juga ingin
diperbandingkan antar peran htrnzan capital dan modal sosial dalam upaya
peningkatan kcsejahteraan tersebut. Data dianalisis menggunakan analisis
multivariat untuk mengetahui sejauhmana institusi lokal mempengaruhi
kesejahteraan rumah tangga dan kemiskinan serta menentukan akses ke jasa.
Untuk menentukan variabel-variabel yang berkaitan erat dengan modal sosial
dilakukan

analisis faktor terlebih dahulu.

Berdasarkan analisis tersebut

ditemukan bahwa variabel yang digunakan untuk mengukur modal sosial adalah
kerapatan organisasi, heterogenitas dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran modal sosial dalam peningkatan
kesejahteraan hampir sama dengan peran sumber daya manusia. Selain itu,
ditemukan ada korelasi positif antara modal sosial dan kesejahteraan rumah
tangga dimana rumahtangga dengan modal sosial tinggi memilliki pengeluaran
per kapita lebih tinggi, memiliki aset dan tabungan lebih banyak dan akses kepada
kredit yang lebih baik. Sayangnya determinan modal sosial dalam penelitian ini
masih ditentukan dalam variasi yang sangat terbatas hanya mempertimbangkan
kerapatan keanggotaan, heterogenitas, partisipasi, kehadiran dan orentasi individu.
Peneliti lain yang juga melakukan penelitian di Indonesia adalah Kinven
dan Pierce (2002) khususnya meneliti mengenai rekonstruksi rasa saling percaya
antar masyarakat setelah adanya konflik di Maluku. Penelitian ini hanya
menekankan pada rasa saling percaya dan hasilnya menunjukkan bahwa
membangun rasa percaya dapat dilakukan melalui mediasi pihak ketiga dan
penyediaan ruang-ruang untuk melakukan aktivitas bersama. Namun yang
terpenting adalah penciptaan pengelolaan pemerintahan yang lebih demokratis
dan transparan serta memiliki akuntabilitas yang tinggi.
Miguel et a1 (2002) menguji dampak industrialisasi terhadap modal sosial
selama tahun 1985 hingga 1997, menemukan bahwa kabupaten dengan tingkat
industiralisasi tinggi memiliki modal sosial yang lebih tinggi dibandingkan
kabupaten

di sekitamya. Artinya kemajuan ekonomi justru

mendorong

bertambahnya modal sosial di suatu wilayah. Temuan ini bertentangan dengan
penelitian Putnam (1993) yang menyimpulkan bahwa modal sosial yang lebih
tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.4. Pendekatan Ekonomi terhadap Modal Sosial
Untuk kepentingan pemodelan mekanisme investasi di dalam modal
sosial, maka pandangan ekonomi membedakan modal sosial atas dua, yaitu modal
sosial sosial individu dan modal sosial agregat. Modal sosial individu digunakan
sebagai dasar untuk memodelkan investasi di dalam modal sosial, karena para

ekonom melihat bahwa terdapat perbedaan perilaku antar individu yang tidak
dspat dijelaskan dengan basis kelompok atau komunitas. Modal sosial individu
didefinisikan sebagai karakteristik sosial dari orang-termasuk keterampilan sosial,
karisma- yang memungkinkan individu untuk mendapatkan market return
maupun non-market return dari interaksi dengan orang lain. Sehingga modal
sosial dapat dipandang sebagai komponen sosial dari hutnan capital, dengan
mengasumsikan modal sosial individu mencakup kemampuan intrinsik (misalnya
ekstrovert dan karismatik), dan sebagai hasil dari investasi di dalam modal sosial.
Dalam praktek keduanya sulit dibedakan sehingga keduanya digabungkan
(Glaeser et a1 2001).
Ketetapatan prediksi dari model ekonomi tidak sebaik secara empirik,
sehingga untuk mengatasi kegagalan dari model ini, maka dibahas kemungkinan
apakah keterampilan sosial diperlukan untuk mengatasinya atau melengkapi
bentuk-bentuk lain dari huntan capital. Dengan cara ini, maka

pendekatan

ekonomi terhadap modal sosial menjadi lebih sesuai secara empirik (Glaeser et a1
2001).
Glaeser et a1 (2001) mengemukakan terdapat hubungan yang berarti di
antara variabel-variabel modal sosial, misalnya keanggotaan di dalam organisasi,
dengan dampak-dampak (outcontes) ekonomi yang penting. Bebarapa penelitian
yang dijadikan acuan adalah: 1) Putnam (1993)
mengenai modal sosial

mendasari penelitiannya

ketika dia melihat ada hubungan yang kuat antara

kadartderajat kesepakatan bersama dengan kualitas pemerintah di antara wilayah
utara dan selatan di Italia, 2) Knack dan Keefer (1997) menemukan bahwa
terdapat korelasi positif antara rasa saling percaya pada level negara dengan
pertumbuhan ekonomi, 3) La Porta et al. (1997) menemukan bahwa kadar saling
percaya meningkat (1,0), maka efisiensi pengadilan meningkat (0,7) dan korupsi
berkurang (0,3), 4) Goldin dan Katz (1999) membuktikan bahwa modal sosial di

American Midwest memfasilitasi meningkatnya jumlah sekolah tinggi, 5) Greif
(1993) mengatakan bahwa para ekonom memahami bahwa interaksi sosial yang
bemlang-ulang dapat memainkan peranan di dalam memecahkan masalah free

rider dan mengurangi opportunism, 6 ) Literatur yang berkaitan dengan gattle yang

berulang-ulang (Abreu 1988, Fudenberg dan Maskin 1986, Kreps et al. 1982)
menjelaskan mengapa kerjasama akan menjadi lebih mudah ketika individuindividu menginginkan interaksi yang lebih sering di masa yang akan datang, 7)
Arrow (1972) menemukan bahwa hubungan sosial dapat menggantikan struktur
legal yang hilang atau terlalu memakan biaya di dalam memperlancar investasi
dan transaksi keuangan yang lain.
Glaeser et al (2001) menemukan bahwa secara empirik, hanya sebagian
kecil dari keragaman modal sosial yang terobservasi dapat dijelaskan oleh
variabei-variabel pada level kelompok. Bukti ini menunjukkan bahw