Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Air Bersih Di Hulu DAS Latuppa Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan

ANALISIS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR BERSIH
DI HULU DAS LATUPPA KOTA PALOPO
PROVINSI SULAWESI SELATAN

JIBRIA RATNA YASIR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

RINGKASAN
JIBRIA RATNA YASIR. Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Air Bersih Di
Hulu DAS Latuppa Kota Palopo. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan
METI EKAYANI
Meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
menyebabakan ketersediaan dan pemanfaatan air besih (fresh water) untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia dan peningkatan kinerja ekonomi,
mengalami perubahan dan cenderung menimbulkan kelangkaan akan air bersih.
UNEP (2002) melaporkan, setiap tahun air yang digunakan untuk segala macam
keperluan aktivitas manusia diseluruh dunia adalah 12.500-14.000 Km3. Proporsi

ini akan semakin meningkat sejalan dengan tuntutan akan peningkatan kualitas
hidup manusia.
Peningkatan degradasi daerah aliran sungai (DAS) yang merupakan
ekosistem tempat dimana air itu mengalir mendorong tumbuhnya kesadaran untuk
mengenali kegiatan pelayanan lingkungan yang dapat dilakukan untuk menjaga
fungsi DAS tersebut. Seperti halnya DAS Latuppa Kota Palopo yang memiliki
potensi sumberdaya air yang cukup besar, salah satunya sebagai sumber air baku
bagi PDAM Kota Palopo dan irigasi bagi lahan pertanian masyarakat. Kini DAS
tersebut tengah menghadapi permasalahan yang cukup serius, ditandai oleh
adanya perubahan pada kondisi biofisiknya akibat pemanfaatan yang terusmenerus oleh penduduk, baik untuk kayu bakar, pemukiman, maupun untuk
budidaya tanaman palawija dan sayuran, akibatnya dalam satu dekade kerap
terjadi berbagai kasus seperti banjir dimusim hujan serta kekeringan dimusim
kemarau.
Masalah ini merupakan salah satu kondisi yang dialami oleh pemanfaat
jasa air bersih dari kawasan hulu DAS Latuppa yang juga merupakan sumber
intake bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Palopo. Fluktuasi dan
penurunan debit yang terjadi di sungai Latuppa mengakibatkan terganggunya
distribusi air bersih kepada pengguna jasa air bersih oleh PDAM, karena pada saat
musim hujan pasokan air melimpah, namun disertai dengan tingkat kekeruhan
yang tinggi, sedangkan pada saat musim kemarau jumlah pasokan air tidak

mampu mencukupi kapasitas intake dari PDAM. Oleh karena itu perlindungan
sistem tata air pada daerah aliran sungai (DAS) Latuppa hulu dengan penetapan
mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PES), dilakukan untuk meminimalisasi
kerusakan water catchment area agar kontiunitas pasokan air bersih oleh PDAM
tetap terjaga.
Tujuan umum penelitian ini adalah mengestimasi besaran nilai kompensasi
untuk masyarakat hulu dan membangun kelembagaan yang sesuai untuk
penerapan pembayaran jasa lingkungan air bersih di DAS Latuppa hulu. Adapun
yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah (1) mengkaji persepsi dan
perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi lahan dan air di hulu DAS
Latuppa, (2) mengestimasi kontribusi nilai ekonomi air baku bagi PDAM Kota
Palopo, (3) mengkaji kesanggupan PDAM membayar untuk menjaga water
cathment area di hulu agar pasokan air baku tetap berkelanjutan, (4) menganalisis
kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air bersih
di DAS Latuppa hulu, sebagai implikasi dari penelitian.

Penelitian ini dilakukan di dua Kecamatan yaitu Kecamatan Mungkajang
dan Kecamatan Sendana yang merupakan Kecamatan yang berada di Hulu DAS
Latuppa Kota Palopo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan analisis spearmen (skala likert)

dengan rataan skor untuk mengetahui persepsi dan pola perilaku masyarakat
dalam melakukan rehabilitasi di hulu DAS Latuppa. Perhitungan nilai sisa dalam
produksi (Residual Imputation Approach) untuk mengestimasi kontribusi nilai
ekonomi air baku bagi PDAM Kota Palopo. Conversion Value untuk mengkaji
kesanggupan PDAM membayar untuk menjaga water cathment area di hulu.
Serta analisis para pihak (stakeholders) untuk mengetahui pihak-pihak yang
terlibat serta membangun kelembagaan pembayaran jasa lingkungan di hulu DAS
Latuppa.
Masyarakat hulu DAS Latuppa di Kecamatan Mungkajang dan Sendana
yang merupakan penyedia jasa lingkungan khususnya kelompok tani To’buangin
dan kelompok tani Se’pon bersedia merehabilitasi lahan dan air di hulu DAS
Latuppa dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Total kontribusi nilai
ekonomi air (Water Rent) PDAM Kota Palopo pada tahun 2013 adalah sebesar Rp
5.876.247.800. PDAM Kota Palopo bersedia memberikan 5% dari total
keuntungan bersih tahun berjalan kepada masyarakat hulu DAS Latuppa
khususnya kelompok tani To’buangin dan kelompok tani Se’pon dalam upaya
mereka merehabilitasi lahan dan air di hulu. PDAM Kota Palopo dan kelompok
tani To’buangin dan Se’pon merupakan pihak primer sedangkan Wallacea Palopo,
Forum DAS Paremang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo, Dinas
Pertanian Kota Palopo, BPDAS Saddang, BLH Kota Palopo, dan PSDA Kota

Palopo merupakan pihak sekunder dan merupakan pihak-pihak yang akan terlibat
dalam kelembagaan pembayaran jasa lingkungan air bersih di Kota Palopo.
Kata Kunci: Water Cathment area, Pembayaran Jasa Lingkungan,
Residual Imputation Approach.

SUMMARY
JIBRIA RATNA YASIR. Analysis of Payment for Ecosystem Services of
Fresh Water in Latuppa Water catchment Area at Palopo City, South Sulawesi.
Supervised by YUSMAN SYAUKAT and METI EKAYANI
The increasing number of population and economic growth lead to the
increasing of water demand. Furthermore, it will also affect the availability of fresh
water to meet the needs of human activities. UNEP (2002) reported that the total of
water consumption in the world reach 12.500-14.00 km3 per year. This number is
believed will continuously increase as the increasing needs of a better life.
The rise of watershed degradation (DAS) in supporting human activities leads
to the increasing of people awareness to keep it sustainable. One way is to conduct an
environmental policy that can control the use of resources (water resource) in a
watershed area. One of watershed area in Sulawesi that serve fresh water for many
people is Latuppa watershed in Palopo City. The watershed has big potential to
support human life, such as a source of fresh water for water supply corporation

(PDAM) of Palopo and for agriculture irrigation. But, the Latuppa watershed is now
facing a serious problem, characterized by its biophysical changes due to the
continuous unsustainable use by the community, either timber exploitation and
firewood, housing, as well as the agricultural activities. As a consequence, flood is
happened in rainy season and drought in dry season occurred in the last decade.
Those problems faced by the upstream and downstream Latuppa watershed
user including PDAM Palopo City, which is the water form Latuppa watershed is a
source of intake for their corporation. Fluctuation of water volume in Latuppa river
lead to disruption of the distribution of fresh water distribution to consumers of
PDAM due to over capacity of water in rainy season with high contaminated and
scarcity in dry season that could not fulfill the intake capacity of water production in
PDAM Palopo. Therefore, the protection of water use system in the watershed area
(DAS) of Latuppa upstream using payment mechanism for ecosystem services was
initiated to minimize degradation of water catchment area that was purposed to
maintain the continuity of fresh water produced by PDAM.
The general objective of this study is to estimate the amount (price) of
compensation for the upstream community keep the watershed sustain and provided
appropriate organization to handle payment of environmental service to fresh water in
Latuppa upstream area. The specific purposes of this study are: (1) to study local
community’ perceptions and behavior for rehabilitating land and water in the

upstream of Latuppa watershed, (2) to estimate the contribution of the economic
value of raw water for the PDAM of Palopo, (3) to assess the ability of PDAM to pay
for keeping the water catchment area in the upstream in order to remain sustainable
supply of raw water, (4) analyze the institutional mechanisms for the implementation
of payment for ecosystem services of fresh water in Latuppa watersheds.
This research was conducted in two sub-districs, Mungkajang and Sendana, as
two major areas located in Latuppa upstream of water stream area (DAS) Palopo. The
data used were primary and secondary data. This research used Spearmen analysis
(Likert scale), The mean score to identify population’s perceptions and attitudes
towards conservation in water stream of Latuppa upstream, Residual value in
production using Residual imputation approach to estimate contribution of economic
value to water supply of PDAM Palopo, and Conversion value to study capability of
PDAM to pay protection of water catchment area in upstream. To analyze elements

involved in providing organization that would handle payment of
environmental service in water stream of Latuppa area, analysis of stakeholders was
used.
Latuppa upstream communities in District Mungkajang and Sendana as a
provider of ecosystem services especially To'buangin and Se'pon farmer groups are
willing to rehabilitate land and water in the upstream of Latuppa watersheds area

through payment mechanisms for ecosystem services. The total contribution of water
rent to PDAM Palopo in 2013 was Rp 5.876.247.800. PDAM Palopo was able to
distribute 5% of net profit to the population in water stream, Latuppa upstream
especially to farmer groups of To’buangin and Se’pon in order to rehabilitate land and
water in upstream area. PDAM Palopo and to farmer groups of To’buangin and
Se’pon were primary stakeholders and Wallacea Palopo, Forum of DAS Paremang,
Forestry department in Palopo, agriculture department in Palopo, BPDAS Saddang,
BLH Palopo, and PSDA Palopo were secondary stakeholders by which they will
involve in organization of payment of environmental service to fresh water in Palopo.
Keywords: Water Catchment area, Payment for ecosystem Services, Residual
Imputation Approach.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR BERSIH
DI HULU DAS LATUPPA KOTA PALOPO
PROVINSI SULAWESI SELATAN

JIBRIA RATNA YASIR

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan Air Bersih Di Hulu DAS


Judul Tesis

Latuppa Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan

Yasir

Nama

Jibria Ratna

NIM

}{45r12002t

%

r

Disetujui Oleh

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Yusman

Svaukat. M Ec
Ketua

Dr. Meti Ekavani,

S

IIut. M

Sc

Anggota

Diketahui Oleh,

Ketua Program Studi


Dekan Sekolah Pascasaq'ana IPB

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Tanggal Ujian :

23lunn20l5

ranggallulus

:

J 4 JUL A0lr

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai Agustus
2014 ini adalah jasa lingkungan, dengan judul Analisis pembayaran jasa
lingkungan air bersih di hulu DAS Latuppa Kota Palopo Provinsi Sulawesi
Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat dan
Ibu Dr Meti Ekayani selaku pembimbing yang bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan, serta Bapak Prof Dr Ir Akhmad Fauzi yang
telah banyak memberi pelajaran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Ir Asrul dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo, Ibu
Yumna M Si Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Andi Djemma, Bapak
Sukrimin dan Bapak Masse Ketua Kelompok Tani To’Buangin dan Kelompok
Tani Se’pon serta Bapak Yasir MM beserta staff dan pegawai bagian keuangan,
produksi, dan tekhnik Perusahaan Daerah Air Minum Kota Palopo, yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Teh Sofi yang bersedia menjadi sahabat dan membantu penulis selama
menempuh pendidikan. Teman-teman pada program studi Ekonomi Sumberdaya
dan Lingkungan atas dukungan dan motivasinya. Terakhir ucapan terimakasih
kepada kedua orang tua tercinta Bapak Yasir dan Mama Hamida, serta seluruh
keluarga, untuk kasih sayang dan doa selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015

Jibria Ratna Yasir

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

iv

1 PENDAHULUAN

1

1.1 Latar Belakang

1

1.2 Perumusan Masalah

3

1.3 Tujuan Penelitian

5

1.4 Manfaat Penelitian

5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

6

2.1 Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan

6

2.1.1 Kelembagaan Jasa Lingkungan dan Peraturan Perundangan Terkait
Jasa Lingkungan
9
2.2 Instrumen Ekonomi

9

2.2.1 Fungsi Instrumen Ekonomi

10

2.2.2 Tipologi Instrumen Ekonomi

10

2.3 Kawasan DAS

11

2.4 Studi Terdahulu

13

3 KERANGKA PEMIKIRAN

15

4 METODE PENELITIAN

17

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

17

4.2 Jenis Dan Sumber Data

17

4.3 Metode Pengambilan Sampel

17

4.4 Metode Analisis Data

18

4.4.1 Analisis persepsi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan
konservasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa
19
4.4.2 Estimasi nilai ekonomi air baku bagi PDAM.

20

4.4.3 Mengkaji kesanggupan PDAM membayar .

20

4.4.4 Analisis Kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran
jasa lingkungan air bersih
21
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

24

5.1 Peran Penting dan Permasalahan yang Terjadi di DAS Latuppa

24

5.2 Kondisi Fisik Daerah

25

5.2.1 Letak dan Luas Wilayah

25

i

ii

5.2.2 Iklim

26

5.2.3 Topografi

26

5.2.4 Hidrologi

27

5.2.5 Penggunaan Lahan

27

5.2.6 Status Kawasan Hutan

28

5.3 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk

29

5.3.1 Kependudukan

29

5.3.2 Mata pencaharian

29

5.3.3 Karateristik Sosial dan Ekonomi Responden di Lokasi Penelitian

29

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

32

6.1 Persepsi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi lahan
dan air di hulu DAS Latuppa
32
6.2 Estimasi nilai ekonomi air baku bagi PDAM

33

6.3 Mengkaji kesanggupan PDAM membayar

34

6.4 Analisis Kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa
lingkungan air bersih
37
6.4.1 Para Pihak Yang Terlibat Dalam Mekanisme Pembayaran Jasa
Lingkungan di DAS Latuppa
39
6.4.2 Indentifikasi para pihak

39

6.4.3 Peranan Para Pihak

40

6.4.4 Kepentingan, tingkat kepentingan, dan pengaruh para pihak

42

6.4.5 Hak dan kewajiban para pihak

45

6.5 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Latuppa

48

6.5.1 Jenis-jenis tanaman yang disepakati

53

6.5.2 Monitoring

53

6.5.3 Outcome

54

7 KESIMPULAN DAN SARAN

56

7.1 Kesimpulan

56

6.2 Saran

56

DAFTAR PUSTAKA

57

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan penelitian.
Tingkat penilaian kelompok persepsi
Rentang skala interpretasi hasil jawaban kuesioner
Kepentingan (interest) masing-masing pihak
Debit Sungai DAS Latuppa 5 Tahun Terakhir
Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di DAS Latuppa
Status dan Luas Kawasan Hutan di DAS Latuppa
Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, Kepadatan dan Rata-rata anggota Rumah
Tangga, 2011
9 Karateristik Responden di Lokasi Penelitian berdasarkan Usia, Pendidikan
Terakhir, Tingkat Pendapatan, Luas Lahan, dan Jumlah Tanggungan
10 Persepsi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi
11 Nilai water rent dalam proses produksi air bersih PDAM Kota Palopo tahun
2013
12 Perhitungan penggunaan laba PDAM Kota Palopo setelah pajak penghasilan
13 Perbandingan Nilai Water Rent, Laba PDAM Kota Palopo Dan Nilai
Kompensasi
14 Peranan para pihak yang terkait secara langsung dalam mekanisme
pembayaran jasa lingkungan air bersih di DAS Latuppa hulu
15 Hak dan kewajiban para pihak yang disepakati pada saat FGD
16 Hak dan Kewajiban para pihak berdasarkan wawancara
17 Program dan jenis kegiatan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa
lingkungan
18 Outcome yang diharapakan dari proyek pembayaran jasa lingkungan di hulu
DAS Latuppa

iii

18
19
20
22
27
28
28
29
30
32
34
35
37
41
46
47
52
54

iv

DAFTAR GAMBAR
1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (Sumber: Pagiola et al. 2005)
2 Kerangka Pemikiran
3 Diagram matriks kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dari masingmasing pihak
4 Perbandingan Luas DAS Latuppa berdasarkan wilayah administrasi
5 Klasifikasi pihak-pihak yang terlibat
6 Matriks pengaruh dan tingkat kepentingan para pihak dalam program
pembayaran jasa lingkungan air bersih
7 Skema Pembayaran Jasa Ligkungan Air Bersih di Kota Palopo
8 Kelembagaan Dewan Pengelola Jasa Lingkungan Air Bersih Kota Palopo

6
16
22
25
40
44
49
50

DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabel skala likert persepsi kelompok tani terhadap keinginan untuk
merehabilitasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa Kota Palopo
2 Tabel perhitungan Residual Imputation Aproach
3 Laba PDAM Kota Palopo Tahun 2013
4 Naskah Kesepahaman Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air Bersih Di
Kota Palopo
5 Tabel kepentingan para pihak
6 Skoring Pengaruh dan Kepentingan Para Pihak
7 Surat persetujuan pemberian kompensasi jasa lingkungan dari pihak PDAM
Kota Palopo
8 Peraturan Daerah Kota Palopo No.8 Tahun 2005 Tentang Pendirian Perusahaan
Daerah Air Minum Kota Palopo
9 Peta lokasi penelitian Pembayaran Jasa Lingkungan Air Bersih

63
64
66
68
71
73
75
76
79

1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya air di masa lalu terutama di daerah-daerah yang berlimpah,
seakan tersedia secara tidak terbatas; sumberdaya air sebenarnya tersedia secara
terbatas, hal ini dapat terjadi karena adanya penurunan kualitas lingkungan.
Serageldin (1995), Wakil Presiden Bank Dunia, pernah meramalkan bahwa
perang dimasa akan datang bukan lagi dipicu oleh kelangkaan sumber daya
minyak, tetapi oleh kelangkaan sumber daya air. Kekhawatiran ini lebih
ditegaskan oleh para pakar dunia dalam rangkaian pertemuannya mulai dari
pertemuan di Roma, Stockholm, Dublin, Rio de Jeneiro dan terakhir di Paris pada
bulan juni 1998 dalam “International Conference on World Water in the 21 th
Century”.
Meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
menyebabkan ketersediaan dan pemanfaatan air bersih (Fresh water) untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia dan peningkatan kinerja ekonomi,
mengalami perubahan dan cenderung menimbulkan kelangkaan akan air bersih.
Data dari UNEP (2002) menyebutkan bahwa air bersih yang dibutuhkan
penduduk dunia pada tahun 2000 kira-kira 6 kali lipat lebih besar dibandingkan
dengan yang telah digunakan penduduk dunia satu abad yang lalu (tahun 1900).
Hal ini berarti bahwa setiap orang pada saat ini membutuhkan air 2 kali lebih
banyak dibandingkan dengan 1 abad yang lalu. Setiap tahun air yang digunakan
untuk segala macam keperluan aktivitas manusia diseluruh dunia adalah 12.50014.000 km3 proporsi ini akan semakin meningkat sejalan dengan tuntutan akan
peningkatan kualitas hidup manusia.
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan ekosistem tempat dimana air
itu mengalir dari bagian hulu kemudian mengarah ke hilir kini mengalami
degradasi fungsi. Di Indonesia saat ini terdapat sedikitnya 5.590 sungai utama dan
65.017 anak sungai, yang panjang totalnya mencapai 94.573 km dengan luas
daerah aliran sungai mencapai 1.512.466 km2 (Ditjen RRL 1999).
Adanya peningkatan degradasi fungsi DAS mendorong tumbuhnya
kesadaran untuk mengenali kegiatan pelayanan lingkungan yang dapat dilakukan
untuk menjaga fungsi DAS tersebut. Pola penggunaan lahan secara signifikan
berpengaruh terhadap fungsi DAS seperti kualitas air, debit air, pengendali erosi
dan sedimentasi di daerah hilir. Ditjen RRL (1999) melaporkan kecendrungan
kerusakan DAS di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat
22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian meningkat
menjadi 39 DAS pada tahun 1994 dengan luasan mencapai 12.517.632 ha.
Selanjutnya pada tahun 2000 telah mencapai 42 DAS yang kritis dengan luas
23.714.000 ha, kemudian naik menjadi 62 DAS pada tahun 2002 dan pada tahun
2005 diperkirakan telah meningkat lebih dari 4 kali lipat, yakni sekitar 282 DAS
dari 470 DAS yang ada. Kondisi kritis tersebut, ditandai dengan menurunnya
kemampuan DAS dalam menyimpan air, selanjutnya berdampak pada
berkurangnya debit air, terjadinya banjir, longsor pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau (Dephut, 2009).

2
Masifnya tingkat kerusakan DAS, umumnya dipicu oleh laju kerusakan
hutan yang relatif tinggi, sebagai turunan dari “perilaku menyimpang” masyarakat
seperti : illegal logging dan alih fungsi lahan hutan menjadi areal pertanian
tanaman semusim. Dephut (2009) melaporkan sepanjang tahun 2000-2005, hutan
Indonesia telah mengalami kerusakan seluas 5,4 juta Ha, dengan laju kerusakan
rata-rata sebesar 1,09 juta Ha/tahun. Sementara untuk kasus Sulawesi selatan, laju
kerusakan hutannya sepanjang tahun 2008 mencapai 30,6 % dari total area hutan
seluas 2,1 juta Ha1.
Kondisi tersebut telah menimbulkan kekhawatiran dan permasalahannya
menuntut adanya pola pengelolaan DAS yang baik dan tepat. Hal ini dilakukan
guna menjaga kelestarian hutan yang memiliki peran penting sebagai daerah
tangkapan air, mengontrol aliran air, menjaga wilayah hilir dari banjir serta fungsi
lainya (CI Indonesia). Puspaningsih (1999) menyebutkan pula bahwa daerah hulu
memiliki fugsi lindung, fungsi hidrologis, dan merupakan daerah tangkapan air
untuk konsumsi daerah hilir. Selanjutnya Tejowulan dan Suwardji (2008),
menyatakan bahwa perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting
dari keseluruhan pengelolaan DAS, karena hal itu akan menentukan keuntungan
yang dapat diperoleh atau kesempatan yang terbuka dalam pengelolaan DAS hilir.
Adanya siklus saling ketergantungan antara pemanfaat air bersih di hilir
dengan penyedia jasa lingkungan air bersih di hulu menciptakan adanya suatu ide
reward atau penghargaan yang diberikan kepada masyarakat hulu terhadap
berbagai upaya kegiatan yang dilakukan dalam rangka merehabilitasi kawasan
yang selanjutnya diwujudkan dalam kerangka pembayaran jasa lingkungan (PJL)
atau payment for environmental services (PES), Fauzi dan Anna (2013). Konsep
pembayaran jasa lingkungan (Payment for environmental services) timbul dari
diskusi ekonomi tentang bagaimana menginternalkan eksternalitas dalam proses
produksi. Menggunakan instrumen ekonomi untuk mengurangi eksternalitas
negatif seperti kontaminasi melalui internalisasi biaya. Pada tahun 1990an dimulai
eksplorasi atas penggunaan instrument ekonomi untuk mempertahankan dan
mengembangkan aliran eksternalitas positif, seperti jasa lingkungan, dengan
menginternalkan manfaat melalui pembayaran langsung kepada pihak yang
bertanggung jawab mempertahankan penggunaan lahan tertentu, atau melalui
pengembangan pasar dan penciptaan jasa lingkungan (USAID 2007).
Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) merupakan kompensasi yang diberikan
oleh pengguna (users) jasa lingkungan kepada penyedia (provider) jasa
lingkungan sebagai penghargaan atas upaya pengelolaan lingkungan. Dalam
konteks tersebut, perlu adanya pemikiran tentang insentif untuk penyedia jasa
lingkungan air dari pemanfaat jasa air bersih (beneficires) yang harganya
disesuaikan dengan nilai pembayaran jasa lingkungan sebagai biaya rehabilitasi di
hulu (INDEF, 2006; Ekayani et al. 2014; Fauzi & Anna 2013). Penelitian ini
menguraikan pentingnya analisis terhadap pembayaran jasa lingkungan dan
kelembagaan yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan,
serta partisipasi dan pola perilaku masyarakat hulu dalam melakukan rehabilitasi
di hulu sebagai upaya mempertahankan sumberdaya air secara berkelanjutan.

1

http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/1553/profil-antara, diakses pada tanggal 1
februari 2014

3
Perumusan Masalah
DAS Latuppa dengan luas area 6.843,02 ha serta panjang aliran sungai
mencapai 59.472 meter memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar, salah
satunya sebagai sumber air baku bagi PDAM Kota Palopo dan irigasi bagi lahan
pertanian masyarakat. Kini DAS tersebut tengah menghadapi permasalahan yang
cukup serius, ditandai oleh adanya perubahan pada kondisi bio-fisiknya, akibat
dari sebagian kawasan hutannya yang terdiri dari hutan produksi dan hutan
lindung telah kehilangan fungsinya sebagai penyedia jasa yang semestinya
diberikan oleh ekosistem seperti pencegahan bencana, pengendalian erosi, dan
pengaturan tata air. Hal tersebut, umumnya dipicu oleh pemanfaatan yang terus
menerus oleh penduduk, baik untuk kayu bakar, pemukiman maupun untuk
budidaya tanaman palawija dan sayuran, akibatnya dalam satu dekade terakhir
kerap terjadi berbagai kasus seperti banjir dan longsor pada musim hujan serta
kekeringan pada musim kemarau (Kemenhut 2012).
Lebih lanjut Kemenhut (2012), melaporkan bahwa sebagian besar lahan
pada zona hulu yang mencakup hutan negara dan lahan milik masyarakat dengan
slope > 40% dan berada pada ketinggian > 500 mdpl sudah dalam kondisi kritis
karena tidak lagi menunjang aspek konservasi lahan dan air. Tercatat total lahan
yang termasuk dalam kategori kritis di DAS Latuppa 1.839,43 ha dan sangat kritis
687,61 ha, dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsi kawasan sebesar
4.212,70 ha atau sekitar 61,56%, hal ini menyebabkan fungsinya sebagai kawasan
lindung daerah hilir dan kawasan resapan air tidak lagi optimal.
Dampak yang paling signifikan dari rusaknya water catchment area di hulu,
adalah kejadian banjir yang terus menerus terjadi dengan intensitas yang
cenderung meningkat (Kemenhut 2012). Frekuensi kejadian banjir di DAS
Latuppa jika dihubungkan dengan kriteria penilaian banjir (Kepmenhut Nomor:
SK. 346/Menhut-V/2005), maka DAS Latuppa merupakan kategori sangat rusak,
dimana tercatat dalam enam tahun terakhir terjadi banjir, bahkan lebih dari dua
kali banjir dalam satu tahun. Menurut Arsyad (2010) banjir dimusim hujan dan
kekeringan dimusim kemarau yang melanda Kota Palopo menyebabkan fluktuasi
debit sungai yang sangat besar.
Masalah ini merupakan salah satu kondisi yang dihadapi oleh pemanfaat
jasa air bersih dari kawasan hulu DAS Latuppa yang juga merupakan sumber
intake bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Palopo, yang melayani
pelanggan air bersih sebanyak 18.705 pelanggan, (PDAM Kota Palopo 2013).
Fluktuasi dan penurunan debit yang terjadi di Sungai Latuppa mengakibatkan
terganggunya distribusi air bersih kepada pengguna jasa air bersih oleh PDAM,
karena pada saat musim hujan pasokan air melimpah, namun disertai dengan
tingkat kekeruhan yang tinggi, sedangkan pada saat musim kemarau jumlah
pasokan air tidak mampu mencukupi kapasitas intake dari PDAM. Tercatat debit
sungai Latuppa dalam kondisi normal sebesar 6.600 liter/detik, sedangkan pada
saat musim kemarau hanya sebesar 2.309 liter/detik, dengan pengguna jasa air
yang paling besar bukan hanya PDAM, tetapi juga irigasi untuk lahan pertanian,
karena itu debit sungai sebesar 35% pada saat musim kemarau, tidak mampu
mencukupi kapasitas intake sebesar 911 liter/detik oleh PDAM karena
berkurangnya tekanan.

4
Penebangan hutan (deforestasi) dan alih fungsi lahan hutan menjadi areal
pertanian dan pemukiman juga merupakan penyebab tingginya tingkat erosi dan
sedimentasi di sungai, karena meningkatnya limpasan permukaan dan
menurunnya aliran cepat tanah (soil quick flow), hal ini mengakibatkan kapasitas
penyangga DAS menurun, (Subagio 1999). Selain erosi, sedimentasi yang
merupakan proses pengendapan material produk dari proses erosi ini juga
berdampak negatif terhadap DAS, karena selain mempengaruhi kualitas air, yang
membuat air jadi berlumpur dengan tingkat kekeruhan yang sangat tinggi
sehingga menyulitkan pengelolaannya dan meningkatkan biaya pemurnian air
oleh PDAM, juga mengganggu secara fisik karena proses penyempitan dari
material yang mengendap PDAM (2014).2
Dari data diatas terlihat bahwa air permukaan memberikan manfaat
hidrologis yang salah satunya digunakan sebagai sumber air baku oleh PDAM.
Namun, terjadinya degradasi lingkungan di hulu berdampak pada penurunan
kualitas dan kuantitas pasokan air bersih oleh PDAM kepada pelanggan. Hal ini
menjadi masalah dalam menjaga kontiunitas produksi oleh PDAM Kota Palopo.
Menyadari akan hal ini PDAM Kota Palopo serta Dinas kehutanan dan
perkebunan Kota Palopo telah mengupayakan pelestarian kawasan hulu DAS
Latuppa sebagai upaya pelestarian daerah tangkapan air, dengan melakukan
penghijauan. Lahan yang sebagian besar milik masyarakat telah diusahakan secara
intensif untuk budidaya pertanian tadah hujan, dan teknologi konservasi
tradisional sebetulnya telah dilakukan seperti terasering. Akan tetapi, karena
kurangnya pengetahuan masyarakat hulu tentang pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan dan memanfaatkan lahan mereka dengan membudidayakan tanamantanaman agroforestry, sehingga masyarakat tetap melakukan perambahan hutan
untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan jenis tanaman musiman.
Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan, diketahui keberadaan air bersih di
dataran rendah atau dihilir sangat bergantung pada kelestarian hutan yang ada
dikawasan hulu Arsyad (2010). Oleh sebab itu, sebuah harga yang adil ditetapkan
sebagai nilai yang harus di bayar oleh pemanfaat jasa air bersih di hilir dalam hal
ini PDAM Kota Palopo sebagai kompensasi kepada masyarakat di hulu yang
diwujudkan dalam kerangka pembayaran jasa lingkungan untuk tujuan perbaikan
dan pemeliharaan kawasan resapan air dengan melakukan rehabilitasi di kawasan
hulu daerah aliran sungai. Perlindungan sistem tata air pada daerah aliran sungai
(DAS) Latuppa hulu dengan penetapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan,
dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan water catchment area agar kontiunitas
pasokan air bersih oleh PDAM tetap terjaga. Dari uraian permasalahan di atas
maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1) Bagaimana partisipasi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan
rehabilitasi di DAS Latuppa hulu?
2) Berapa kontribusi nilai ekonomi air baku bagi PDAM Kota Palopo?
3) Berapa kesanggupan membayar PDAM untuk menjaga water catchment
area di hulu, agar air baku tetap berkelanjutan?
4) Bagaimana kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air yang optimal,
sebagai implikasi dari penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan?

2

Hasil wawancara dengan bagian tekhnis produksi PDAM Kota Palopo tanggal 05 April 2014

5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
umum dari penelitian ini adalah: mengestimasi besaran nilai kompensasi untuk
masyarakat hulu dan membangun kelembagaan yang sesuai untuk penerapan
pembayaran jasa lingkungan air (minum) bersih di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Latuppa hulu. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:
1) Mengkaji persepsi dan perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi
lahan dan air di hulu DAS Latuppa
2) Mengestimasi konstribusi nilai ekonomi air baku bagi PDAM Kota
Palopo.
3) Mengkaji kesanggupan PDAM membayar untuk menjaga water catchment
area di hulu agar pasokan air baku tetap berkelanjutan.
4) Menganalisis kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa
lingkungan air bersih di DAS latuppa hulu, sebagai implikasi dari
penelitian.

Manfaat Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan
informasi mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan air bersih serta
penerapannya di DAS Latuppa. Bagi para pihak terkait, penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan pertimbangan dan acuan bagi proses perumusan kebijakan
dan peraturan perundangan terkait mekanisme pembayaran jasa lingkungan.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan suatu bentuk penerapan mekanisme
pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air bersih, dengan batasan
wilayah hulu DAS Latuppa. Kelompok tani To’buangin dan kelompok tani
Se’pon di Kecamatan Mungkajang dan Sendana sebagai penyedia jasa lingkungan
dengan pihak pembeli jasa lingkungan, yaitu PDAM Kota Palopo. Objek dari
penelitian ini adalah pihak-pihak yang masuk dalam kategori penyedia jasa, yaitu
kelompok tani To’buangin dan Se’pon yang berada di Kecamatan Mungkajang
dan Sendana serta penerima jasa air yaitu PDAM Kota Palopo, serta mediator
yang memfasilitasi dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air, yaitu
Dinas Kehutanan Kota Palopo, PSDA Kota Palopo dan para pihak terkait lainnya.
Mengestimasi nilai ekonomi air baku bagi PDAM dengan metode nilai sisa dalam
produksi, dilakukan untuk mengetahui besaran nilai kompensasi yang akan
dibayarkan PDAM sebagai pemanfaat jasa lingkungan kepada penyedia jasa
lingkungan di hulu DAS Latuppa. Serta menganalisis kebijakan dan membangun
model kelembagaan untuk penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di
hulu DAS Latuppa Kota Palopo.

6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan
(ESCAP 2009) mendefenisikan jasa lingkungan sebagai keseluruhan konsep
sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi
manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami. Misalnya
hutan sebagai ekosistem alami selain menyediakan berbagai macam produk kayu
juga menyediakan produk non kayu sekaligus juga menjadi reservoir yang dapat
menampung air hujan, menyaring air yang kemudian melepasnya secara gradual,
sehingga air tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia. Soenarno (2012)
menyatakan bahwa dengan adanya penebangan pohon yang tidak terkendali pada
sistem hutan alami dapat menimbulkan gangguan, terutama dalam siklus air
dimana dengan adanya pembabatan hutan dapat menyebabkan banjir pada saat
musim hujan dan menurunnya kualitas air, demikian pula saat musim kemarau
terjadi kekurangan air yang otomatis berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas
air yang dapat menimbulkan kerentanan masyarakat hilir dalam kebutuhan dan
ketersediaan air bersih yang berakibat pada kualitas hidup terancam dan
kesejahteraan masyarakat menjadi menurun. Jasa hidrologis hutan tersebut akan
terancam seiring dengan meningkatnya laju degradasi; untuk itu diperlukan
adanya hubungan hulu-hilir dalam bentuk penyediaan biaya atau dana kompensasi
dari pengguna jasa lingkungan di wilayah hilir.
Pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services)
merupakan kompensasi yang diberikan oleh pengguna (users) jasa lingkungan
kepada penyedia (provider) jasa lingkungan sebagai penghargaan atas upaya
pengelolaan lingkungan (Pagiola et al. 2005). Wunder (2005) mendefenisikan
pembayaran jasa lingkungan (PJL) adalah sebuah transaksi sukarela dengan
kerangka kerja yang telah dinegosiasikan. Dalam pembayaran jasa lingkungan
tersebut terdapat jasa lingkungan yang dapat terukur, di samping itu terdapat
minimal satu pembeli jasa lingkungan dan satu penyedia jasa lingkungan yang
memelihara keberlangsungan jasa lingkungan yang diperjual belikan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan saat negosiasi. Berikut adalah ilustrasi
pembayaran jasa lingkungan (Gambar 1).
Struktur pemerintahan

Penyedia
Jasa

Mekanisme
Pembiayaan

Mekanisme
Pembayaran

Pemanfaat
Jasa

Jasa Lingkungan

Gambar 1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (Sumber: Pagiola et al. 2005)

7
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Pagiola et al. (2005), suatu
kegiatan pembayaran jasa lingkungan memerlukan mekanisme untuk mengatur
berjalannya kegiatan tersebut. Mekanisme pembayaran jasa multifungsi DAS
yang tergolong dalam pembayaran jasa lingkungan dapat dikelompokkan dalam 3
bentuk (Cahyono & Purwanto 2006), yaitu:
1) Kesepakatan yang diatur sendiri.
Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa,
biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara
tatap muka, perjaanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang
rendah dari pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian
hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung
antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan pemilik
lahan yang bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi DAS.
2) Skema pembayaran publik
Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan
landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan
investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis
iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan
penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme
pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang bersifat
melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi pelanggannya.
3) Skema pasar terbuka
Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di Negara
yang sudah maju. Pemerintah dapat mendefenisikan barang atau jasa apa
saja dari multifungsi DAS yang dapat diperjualbelikan. Selanjutnya dibuat
regulasi yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka
regulasi yang kuat dan penegakan hukum, transparansi, penghitungan
secara ilmiah yang akurat dan sistem verifikasi yang terjamin.
Landell-Mills & Porras (2002), menyatakan, terdapat delapan kategori
mekanisme pembayaran jasa DAS, mekanisme-mekanisme tersebut antara lain:
1) Direct negotiation between buyers and sellers. Mekanisme ini melibatkan
rician kontrak untuk membangun praktek manajemen terbaik yang dapat
meningkatkan manfaat DAS atau perjanjian pembelian tanah berdasarkan
negosiasi antara pembeli dan penjual
2) Intermediary-based transaction. Perantara digunakan untuk mengontrol
biaya transaksi dan resiko, dan paling sering dibangun dan dijalankan oleh
LSM, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah. Pada beberapa
kasus dibuat perwakilan dana independen.
3) Pooled transactions. Transaksi terpusat mengontrol biaya transaksi dengan
menyebar resiko pada beberapa pembeli. Mereka juga dipekerjakan untuk
membagi biaya dari transaksi besar seperti yang dibutuhkan pasar DAS.
4) Internal trading. Transaksi dalam suatu organisasi, misalnya pembayaran
dalam intra pemerintahan.
5) Over-the-counter trades/user fees. Mekanisme ini muncul dimana jasa
dikemas untuk dijual, contohnya kredit kualitas air. Jasa DAS seringkali
menawarkan standar tingkatan untuk penerima yang berbeda melalui biaya

8
penggunaan. Tingkatan ini biasanya tidak dinegosiasikan dan dikenakan
pada semua penerima.
6) Clearing-house transaction. Sebuah perantara yang lebih rumit
menawarkan inti bentuk dasar perdagangan kepada pembeli dan penjual
berupa penerimaan cek-cek antar bank. Mekanisme ini tergantung pada
keberadaan dari standar pra pengemasan komoditas. Seperti : kredit
salinitas, ganti rugi kualitas air.
7) Auctions. Seringkali diasosiasikan dengan mekanisme clearing-house dan
perdagangan over-the counter,pelelangan mencoba untuk melangkah lebih
dekat dengan pasar persaingan untuk jasa DAS. Pelelangan ditujukan
untuk menentukan penawaran jasa DAS serta untuk mengalokasikan
kebijakan untuk membayar.
8) Retail-based trades. Dimana pembayaran jasa untuk perlindungan DAS
yang melekat pada pembayaran dari konsumen. Contohnya: produksi
pertanian yang aman. Biasanya diasosiasikan dengan sertifikasi dan skema
pelabelan yang menghasilkan pengakuan konsumen dan kemauan
membayar.
Dari delapan kategori mekanisme untuk pembayaran jasa DAS yang
dikemukakan oleh Landell Mills & Porras, penerapan mekanisme PES untuk
pembayaran jasa air bersih di DAS Latuppa akan menerapkan konsep
intermediary based transaction dengan pihak perantara sebagai pengontrol biaya
transaksi dan resiko. Hal ini dilakukan demi memudahkan transparansi dalam
pengelolaan dana kompensasi.
Pudyastuti (2007) menjelaskan bahwa dalam pembayaran jasa lingkungan
membutuhkan beberapa elemen, khususnya:
 Valuasi nilai jasa lingkungan dari titik yang menguntungkan satu atau
beberapa kelompok stakeholder hilir
 Organisasi sosial yang cukup efektif yang dinegosiasikan antara kelompok
hulu dan hilir untuk mendorong kesepakatan pembayaran secara langsung.
 kesepakatan dengan tujuan yang jelas dan teruji serta berhubungan dengan
kesepakatan implementasi dan monitoring.
 Kerangka kerja yang legal dan institusional
 Ketentuan untuk resolusi konflik.
Menurut USAID (2007), karena konsep PES relatif baru, maka tidak semua
skema kontrak PES yang berkembang telah memiliki kesempurnaan dan siap
diperbanyak untuk daerah lain. Dalam Kongres Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
di Negara-negara Amerika Latin 2003, Forum on Payment Schemes for
Environmental Sevices in Watershed mengidentifikasi pembelajaran yang
diperoleh dari pengalaman pengembangan skema PES di Amerika Latin, yaitu
bahwa:
a) Hingga sekarang skema PES pada pengelolaan DAS yang dikembangkan
masih sangat beragam dengan tahapan kemajuan yang berbeda-beda dan
untuk berbagai tujuan mulai dari tingkatan mikro dengan fokus yang
sangat spesifik hingga tingkatan nasional yang dikontrol oleh negara.
Namun banyak pula skema PES yang beroperasi tanpa kerangka peraturan
yang spesifik.

9
b) Penerapan skema PES di Negara-negara Amerika Latin tergolong sudah
maju di antara negara-negara berkembang lainnya, namun belum semua
penerapan skema PES tersebut terinventarisasi secara baik dan masih
memerlukan kajian-kajian sosial ekonomi dan kaitannya terhadap
lingkungan.
c) Masih adanya ketidakpastian hubungan sebab akibat yang signifikan
antara penggunaan lahan dan jasa-jasa yang dihasilkan.
d) Pada banyak kejadian, penyedia jasa tertarik dengan skema PES dalam
kerangka pengelolaan DAS masih sangat bervariasi.
e) Di beberapa kasus, institusi publik yang terlibat kebanyakan adalah
institusi lokal dibandingkan dengan institusi yang berskala nasional.
f) Penerapan skema PES yang berkembang secara potensial dapat direplikasi
ke berbagai lokasi.
Kelembagaan Jasa Lingkungan dan Peraturan Perundangan Terkait Jasa
Lingkungan
Menurut Alikodra (1998) kelembagaan merupakan perilaku baik formal
maupun informal termasuk konversi sosial dalam berbagai bentuk organisasi yang
berpengaruh terhadap perilaku manusia dan kehidupannya. Kelembagaan
diartikan pula sebagai sistem organisasi dan kontrol terhadap keberadaan
sumberdaya alam yang didalamnya mengatur pula hubungan antara seseorang
dengan yang lainnya, dimana dalam implementasinya memiliki aturan-aturan
(rules) dan kearifan (lokal) yang hidup dalam masyarakat dan yang tertulis dalam
peraturan perundangan formal guna memudahkan hubungan kerjasama dalam
memperoleh harapannya masing-masing sehingga mengurangi ketidakadilan
dalam distribusi sumberdaya.
Kelembagaan yang fleksibel dan sederhana adalah sebuah organisasi dengan
ciri equality, diversity dan efektif; selain itu diperlukan adanya kemauan dari
anggota dalam organisasi tersebut dimana orang-orangnya harus mau belajar
secara terus menerus pada semua tingkatan agar menghasilkan kelembagaan yang
dapat tumbuh dan berkembang serta maju di masa mendatang (Senge 1995).
Sedangkan menurut Alikodra (1998) terkait dengan organisasi atau kelembagaan
Pemerintah atau semi Pemerintah di bidang lingkungan harus mampu menerapkan
konsep good environmental governance dicirikan dengan transparan, partisipatif,
akuntabilitas, mampu melakukan penegakan hukum, efektif, efisien, dan
berkeadilan. Untuk itu diperlukan penyamaan visi dan misi dari semua
stakeholders untuk membangun kelembagaan jasa lingkungan dalam konsep
capacity development in payment of environmental services atau pembangunan
kapasitas kelembagaan pembayaran jasa lingkungan.

Instrumen Ekonomi
Fauzi (2007) mendefinisikan instrumen ekonomi untuk pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan sebagai mekanisme administratif yang
digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi perilaku siapapun yang
memperoleh nilai dari sumberdaya, memanfaatkannya, atau menyebabkan
dampak sebagai efek lain atau eksternalitas yang disebabkan aktivitas mereka.

10
Lebih lanjut definisi instrumen ekonomi ini dikembangkan menjadi instrumen
yang berorientasi kearah peningkatan alokasi ekonomi yang merupakan efisiensi
ekonomi dari sumberdaya alam dengan modifikasi perilaku agen ekonomi dengan
cara memberikan insentif kepada mereka untuk menginternalisasikan eksternalitas
yang mungkin timbul dari aktivitas mereka. Instrumen ekonomi ini didesain untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan produksi baik melalui mekanisme harga atau
dengan merubah atraksi dari aktivitas tertentu.
Fungsi Instrumen Ekonomi
Panayotou (1994) menyebutkan paling tidak ada empat hal utama
menyangkut fungsi instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan, yaitu:
1. Menginternalisasikan eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan
pasar melalui mekanisme full cost pricing dimana biaya subsidi, biaya
lingkungan dan biaya eksternalitas diperhitungkan dalam pengambilan
keputusan.
2. Mampu mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika
dilakukan secara tepat dapat menjadikan pembangunan ekonomi sebagai
wahana untuk perlindungan lingkungan dan sebaliknya.
3. Instrumen ekonomi berfungsi untuk menganjurkan efisiensi dalam
penggunaan barang dan jasa dari sumberdaya alam sehingga tidak
menimbulkan kelebihan konsumsi karena pasar, melalui instrumen
ekonomi akan memberikan sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang
tidak efisien.
4. Instrumen ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue
generating).
Tipologi Instrumen Ekonomi
Menurut Fauzi (2007), instrumen ekonomi dapat dibagi berdasarkan tiga
kategori umum menurut dampaknya terhadap keuangan pemerintah, yaitu:
1) Instrumen peningkatan revenue, seperti pajak dan biaya perizinan yang
dapat meningkatkan biaya relatif dari teknologi intensif dan produk emisi.
Instrument ini menciptakan insentif yang terus menerus pada inovasi untuk
meningkatkan efisiensi emisi atau sabagai pengganti emisi yang lebih
rendah, serta memberikan penerimaan bagi pemerintah.
2) Instrumen Budget-neutral, yang meningkatkan biaya relatif emisi atau
teknologi intensif energi dan produk, namun tidak meningkatkan
penerimaan bagi pemerintah. Kategori ini meliputi peraturan yang bersifat
market-based, yang mengharuskan perusahaan memenuhi standar baku
mutu tetapi memperbolehkan mereka untuk memperjual belikannya
dengan pihak lain untuk memenuhi komitmen standar ini. Instrumen
budget-neutral ini dapat dikhususkan pada teknologi (misalnya: renewable
portfolio standard atau emisi kendaraan bermotor), atau dapat juga
dikhususkan pada kinerja (misalnya: domestic emission trading program).
3) Instrumen expenditure, seperti subsidi dan insentif lainnya yang
menurunkan biaya relatif dari teknologi dan produk dengan emisi yang
lebih rendah dan atau intesitas energi, membuatnya semakin kompetitif
dengan teknologi yang ada. Instrumen ini dapat ditujukan pada keputusan
yang ada (misalnya melalui akselerasi depresiasi untuk tujuan pajak). Atau

11
biaya kompetitif jangka panjang melalui pembiayaan atau penelitian,
pengembangan dan komersialisasi teknologi baru. Dengan membiayai
subsidi ini, pemerintah layaknya harus meningkatkan pajak lainnya atau
menurunkan expenditure.

Kawasan DAS
Daerah aliran sungai (DAS) secara umum adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas didarat merupakan pemisah
topografis dan batas dilaut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas di daratan. Selanjutnya Sub DAS disebut sebagai bagian
DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai
utama (Departemen Kehutanan, 2009).
Secara topografi, DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan hilir yang saling
terkait. Aktivitas yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak langsung maupun
tidak langsung terhadap daerah hilir. Sebagai salah satu sumber daya alam, maka
sumber daya yang ada pada suatu wilayah DAS dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan. Lahan di kawasan DAS dipergunakan untuk pembangunan pertanian
baik yang berada di kawasan hulu maupun hilir.
Pada daerah hulu umumnya merupakan lahan kering seperti tegalan dan
kebun. Adapun daerah hilir umumnya dipergunakan sebagai daerah persawahan
untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, ada keterkaitan
yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, dimana hulu sebagai daerah
tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang dilakukan di hilir.
Sementara hilir berperan sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu
(dampak baik atau buruk). Namun, tidak selalu daerah hulu menerima dampak
dari kegiatan atau aktivitas ekonomi di hilir. Untuk itu diperlukan pengelolaan
sumber daya di dalam DAS secara terpadu untuk dapat mengakomodir semua
kepentingan (Cahyono dan Purwanto 2006).
Berdasarkan topografi, dimana DAS dibagi atas daerah hulu, tengah, dan
hilir dan memiliki keterkaitan yang erat, maka Gill (1979), memandang DAS
sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, dalam pembangunannya harus diperlakukan
sebagai suatu sistem sehingga sasaran pengembangan DAS akan menciptakan
ciri-ciri yang baik yaitu:
1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan
harus memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat
mendukung kehidupan yang layak bagi petani yang mengusahakannya.
Produktivitas yang tinggi dapat diperoleh apabila lahan tersebut digunakan
sesuai dengan kemampuannya. Untuk itu harus dipilih komoditas pertanian
yang cocok dengan faktor biofisik setempat dan dikelola dengan
agroteknologi yang memenuhi persyaratan, sehingga produktivitas tetap
tinggi dan kualitas lahan terjaga secara lestari;
2. Mampu mewujudkan pemerataan produktivitas di seluruh DAS. Perencana
pengelolaan DAS harus memberikan perhatian serius pada hal ini agar
seluruh stakeholder di dalam DAS memperoleh pendapatan yang dapat

12

3.

mendukung kehidupan yang layak. Apabila k