Variabilitas Curah Hujan dan Produktivitas Jambu Mete di Kabupaten Muna dan Wonogiri

VARIABILITAS CURAH HUJAN
DAN PRODUKTIVITAS JAMBU METE
DI KABUPATEN MUNA DAN WONOGIRI

HARRYADE PUTRA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Variabilitas Curah
Hujan dan Produktivitas Jambu Mete di Kabupaten Muna dan Wonogiri adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Harryade Putra
NIM G24070035

ABSTRAK
HARRYADE PUTRA. Variabilitas Curah Hujan dan Produktivitas Jambu Mete
di Kabupaten Muna dan Wonogiri. Dibimbing oleh Impron dan Akhmad Faqih.
Produksi jambu mete dipengaruhi faktor iklim, salah satunya yaitu oleh
curah hujan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh keragaman
curah hujan terhadap produktivitas jambu mete di Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara dan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah yang merupakan sentra
produksi jambu mete di Indonesia. Hasil analisis menyimpulkan bahwa anomali
curah hujan berkorelasi negatif dengan anomali produktivitas jambu mete di
kedua kabupaten. Peningkatan anomali curah hujan dapat menyebabkan
penurunan anomali produktivitas atau sebaliknya. Analisis korelasi silang
menunjukkan korelasi terbesar antara produktivitas dengan curah hujan saat
periode pembungaan terjadi pada bulan Agustus di Kabupaten Muna dan bulan
Maret di Kabupaten Wonogiri. Hubungan antara curah hujan dengan anomali
suhu muka laut di Niño 3.4 paling kuat terjadi pada lag 0 di Kabupaten Muna dan

pada lag 2 di kabupaten Wonogiri.
Kata kunci: jambu mete, curah hujan, produktivitas.

ABSTRACT
HARRYADE PUTRA. Rainfall Variability and Productivity of Cashew Crop in
Muna and Wonogiri. Supervised by Impron and Akhmad Faqih.
Cashew crop production is influenced by climate, one of which is by
precipitation. This research was conducted to study the effect of rainfall
variability in cashew crop production in Muna, Southeast Sulawesi and Wonogiri,
Central Java, which are the center of cashew crop production in Indonesia. The
results of the analysis in this study concluded that the rainfall anomalies are
negatively correlated with the productivity of cashew crop in the two districts.
Thus, an increase in rainfall anomalies can lead to decreased productivity, and
vice versa. Cross-correlation analysis showed the highest correlation between
productivity to rainfall at the flowering period in August in Muna and March in
Wonogiri. The relationship between rainfall and sea surface temperature
anomalies in Niño 3.4 was highest occurred at lag 0 in Muna and at lag 2 in
Wonogiri.
Keywords: cashew crop, rainfall, productivity.


VARIABILITAS CURAH HUJAN
DAN PRODUKTIVITAS JAMBU METE
DI KABUPATEN MUNA DAN WONOGIRI

HARRYADE PUTRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Variabilitas Curah Hujan dan Produktivitas Jambu Mete di
Kabupaten Muna dan Wonogiri

Nama
: Harryade Putra
NIM
: G24070035

Disetujui oleh

Dr Ir Impron, MAgrSc
Pembimbing I

Dr Akhmad Faqih
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini ialah Kacang
Mete, dengan judul Variabilitas Curah Hujan dan Produktivitas Jambu Mete di
Kabupaten Muna dan Wonogiri.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Impron, MAgrSc dan
Bapak Dr Akhmad Faqih selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
masukan, dan arahan selama penyelesaian karya ilmiah ini. Serta Bapak Ir Handi
Supriadi yang telah memberikan historis data di lokasi penelitian. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya, dan juga kepada seluruh teman-teman yang telah
memberikan semangat dan motivasinya, serta semua pihak yang telah membantu
penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014
Harryade Putra

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1


TINJAUAN PUSTAKA

2

Variabilitas Iklim di Indonesia

2

Karakteristik Tanaman Jambu Mete

2

Keadaan Iklim yang Mempengaruhi Tanaman Jambu Mete

3

METODE

4


Waktu dan Tempat Penelitian

4

Alat dan Bahan Penelitian

4

Tahapan Penelitian

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Muna
Kabupaten Wonogiri
SIMPULAN DAN SARAN

7
7
15

24

Simpulan

24

Saran

24

DAFTAR PUSTAKA

25

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1 Waktu terjadinya peristiwa El Niño-Southern Oscillation dari tahun

1990 sampai 2010
2 Jadwal berbunga dan panen jambu mete di Kabupaten Muna dan
Wonogiri
3 Persentase korelasi anomali curah hujan dengan produktivitas
4 Persentase korelasi antara anomali suhu muka laut di wilayah Niño
3.4 dengan produktivitas
5 Persentase korelasi antara curah hujan dengan produktivitas di
Kabupaten Wonogiri
6 Persentase korelasi antara anomali suhu muka laut di wilayah Niño
3.4 dengan produktivitas

2
5
10
14
18
22

DAFTAR GAMBAR
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Buah jambu mete
Jumlah produksi dan luas lahan jambu mete di Kabupaten Muna
Produktivitas jambu mete di Kabupaten Muna
Anomali produktivitas jambu mete di Kabupaten Muna berdasarkan
metode first differences
Rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten Muna (tahun 1996-2009)
Scatter Plot anomali produktivitas dengan curah hujan
Hubungan produktivitas dengan curah hujan
Anomali produktivitas berdasarkan kondisi curah hujan
Hubungan produktivitas dengan curah hujan bulan Juli (periode
pembungaan)
Hubungan produktivitas dengan curah hujan bulan Agustus (periode
pembungaan)
Hubungan produktivitas dengan curah hujan bulan September
(periode pembungaan)
Cross correlation antara curah hujan dengan anomali suhu muka laut
di Niño 3.4
Scatter Plot hubungan anomali curah hujan dan anomali suhu muka
laut di Niño 3.4
Hubungan anomali suhu muka laut di wilayah Niño 3.4 dengan curah
hujan pada lag 0
Rata-rata anomali produktivitas berdasarkan jenis peristiwa El NiñoSouthern Oscillation
Anomali produksi dan luas lahan jambu mete di Kabupaten Wonogiri
Produktivitas jambu mete di Kabupaten Wonogiri
Anomali produktivitas jambu mete di Kabupaten Wonogiri
berdasarkan metode first differences
Rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten Wonogiri (tahun 19902010)
Total Curah Hujan Tahunan di Kabupaten Wonogiri (tahun 19902010)

3
7
7
8
9
9
10
10
11
11
12
12
13
13
14
15
15
16
16
17

21 Scatter Plot hubungan anomali produktivitas dan curah hujan di
Kabupaten Wonogiri
22 Anomali produktivitas dan curah hujan di Kabupaten Wonogiri
23 Rata-rata perubahan anomali produktivitas pada saat anomali curah
hujan meningkat dan menurun
24 Hubungan produktivitas dengan curah hujan pada bulan Maret
(periode pembungaan)
25 Hubungan produktivitas dengan curah hujan pada bulan April
(periode pembungaan)
26 Hubungan produktivitas dengan curah hujan pada bulan Mei (periode
pembungaan)
27 Cross correlation anomali suhu muka laut di Niño 3.4 dengan curah
hujan
28 Scatter Plot hubungan anomali curah hujan dengan anomali suhu
muka laut di Niño 3.4
29 Hubungan anomali suhu muka laut di Niño 3.4 dengan anomali curah
hujan pada lag 2
30 Rata-rata anomali produktivitas berdasarkan jenis peristiwa El NiñoSouthern Oscillation

18
18
19
19
20
20
21
21
22
23

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI (2013)
memaparkan bahwa jambu mete (Anacardium occidentale) termasuk komoditas
unggulan dan juga diekspor ke berbagai negara di dunia sehingga menyumbang
perolehan devisa negara. Penghasil mete terbesar jambu mete di dunia yaitu India,
Vietnam, Afrika Barat, Afrika Timur, Brasil, dan diikuti Indonesia pada posisi ke
enam. Jambu mete termasuk salah satu tanaman penghijauan karena mampu
tumbuh baik pada lahan kritis sekalipun.
Wilayah pengembangan jambu mete di Indonesia berada di beberapa provinsi
seperti provinsi Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara
dan Papua. Kabupaten Muna merupakan penghasil komoditi jambu mete terbesar
di Sulawesi Tenggara (Ola et al. 2011), dan Jawa Tengah, merupakan penghasil
komoditi jambu mete terbesar ke tujuh di Indonesia, salah satu daerah yang
memproduksi mete di Jawa Tengah adalah Kabupaten Wonogiri. Beberapa
daerah di Kawasan Timur Indonesia yang merupakan penghasil utama jambu
mete dengan sumbangan terhadap produksi mente nasional adalah Sulawesi
Tenggara (47,5%), Sulawesi Selatan (20,4%), NTT (5,0%) dan Bali (3,5%)
(Nogoseno 1990). Perkebunan mete di Kabupaten Muna dan Wonogiri merupakan
perkebunan rakyat sehingga produksi mete menjadi salah satu sumber penghasilan
utama bagi masyarakat setempat. Jambu mete merupakan komoditas unggulan
dan menjadi salah satu sumber pendapatan petani (Zaubin 2002). Di KTI
komoditas ini memberikan peluang yang besar bagi pengentasan kemiskinan,
karena pada umumnya di kawasan ini sebagian besar berlahan kering (Hadad
dan Koerniati 1996).
Unsur-unsur iklim yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas jambu
mete adalah suhu udara, kelembaban, curah hujan, dan radiasi matahari (Cahyono
2001). Nair et al. (1979) mengatakan bahwa apabila cuaca kering selama musim
berbunga dan pemasakan buah akan meningkatkan hasil panen jambu mete,
apabila pada musim berbunga turun hujan lebat maka produksi akan sangat
menurun, apabila cuaca berawan pada saat musim berbunga akan meningkatkan
serangan nyamuk teh (Helopeltis anacardii), suhu yang terlalu tinggi yaitu
antara 39 – 42ºC akan mengakibatkan kerontokan buah. Pada penelitian ini
unsur iklim yang akan dianalisis hanya curah hujan saja.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh keragaman curah
hujan terhadap produktivitas jambu mete di Kabupaten Muna (Sulawesi
Tenggara) dan di Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah).

2

TINJAUAN PUSTAKA
Variabilitas Iklim di Indonesia
NOAA (2003) memberikan definisi untuk kejadian El Niño dan La Niña
berdasarkan indeks Niño 3.4, yaitu El Niño adalah, fenomena yang terjadi di
Samudera Pasifik ekuator yang dicirikan oleh Suhu Muka Laut (SML) di wilayah
Niño3.4 yang melebihi atau sama dengan 0.5ºC, rata–rata 3 bulan berturut–turut
atau lebih. Sedangkan La Niña adalah fenomena yang juga terjadi di Samudera
Pasifik ekuator yang dicirikan oleh SML di wilayah Niño3.4 kurang dari atau
sama dengan 0.5ºC, rata-rata tiga bulan berturut-turut atau lebih.
Fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) berdampak besar
terhadap keragaman curah hujan di Indonesia dan akan menyebabkan
penurunan curah hujan terutama di musim peralihan saat memasuki musim hujan
jika fenomena tersebut terjadi pada durasi yang semakin panjang, sehingga terjadi
pergeseran awal musim hujan dan juga musim kemarau (Boer 2003; Naylor et al.
2002).
Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan 43 kali sejak tahun 1884,
dan hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan dengan fenomena ENSO
(Boer dan Subbiah 2005). Boer (2001) menyimpulkan bahwa selama
pengamatan dari tahun 1896 sampai 1987 terhadap tahun-tahun El-Niño,
diperoleh bahwa setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Niño
3 rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar
60 mm. Waktu terjadinya peristiwa ENSO dari tahun 1990 sampai tahun 2010
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Waktu terjadinya peristiwa El Niño-Southern Oscillation dari tahun
1990 sampai 2010
Peristiwa ENSO
Tahun Kejadian
El Niño
1991, 1994, 1997, 2002, 2004, 2006, 2009
Normal
1990 1992, 1993, 1996, 2001, 2003, 2005, 2008
La Niña
1995, 1998, 1999, 2000, 2007, 2010
Sumber: cpc.ncep.noaa.gov

Karakteristik Tanaman Jambu Mete
Jambu mete pertama kali dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 1972
yang awalnya untuk program penghijauan pada lahan kritis, beberapa tahun
kemudian tanaman ini dapat meningkatkan pendapatan petani serta memperluas
lapangan kerja (Alaudin 1996). Sejak tahun 1979 Direktorat Jenderal
Perkebunan mulai mengembangkan jambu mete melalui pola Unit Pelayanan
Pengembangan (UPP), walaupun dengan input yang sangat terbatas yaitu
hanya penyaluran benih kepada petani, itupun tidak seluruhnya dibiayai oleh
APBN, tetapi beberapa propinsi oleh APBD (Nogoseno 1996).

3
Tanaman jambu mete mulai berbunga dari umur 1.5 - 3 tahun, tergantung
varietasnya, dan dipengaruhi oleh ketinggian tempat, suhu, kelembaban, dan curah
hujan (Nambiar 1980). Waktu dan musim pembungaan jambu mete bervariasi
pada setiap daerah tergantung pada posisi ketinggian dari permukaan laut,
suhu, kelembapan, dan curah hujan. Pembungaan terjadi setelah puncak
pertumbuhan vegetatif yaitu pada awal musim kering dan berakhir pada musim
hujan (Duncan 2001). Periode pembungaan jambu mete berlangsung selama 2.5
bulan, dan puncak pembungaan terjadi pada minggu keempat setelah bunga
pertama muncul (Wunnachit 1991). Gambar buah jambu mete ditunjukkan pada
Gambar 1 (Rismunandar 1981).

Keterangan gambar:
(a) Buah mete semu atau cashew apple
(b) Buah mete sejati atau cashew nut
Gambar 1 Buah jambu mete
Keadaan Iklim yang Mempengaruhi Tanaman Jambu Mete
Jambu mete biasanya ditanam pada daerah kering yang sering terjadi musim
kemarau dan daerahnya berada pada ketinggian 5 sampai 1200 meter dari
permukaan laut (Steennis 1978).
Jambu mete akan tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan 500 sampai
3800 mm per musim tanam, tanah berpasir dan punya drainase yang baik
(Purseglove 1974)
Tanaman jambu mete tumbuh baik pada daerah-daerah 150LU sampai
150LS dengan kisaran suhu harian sekitar 15 sampai 350C dan curah hujan 1000
sampai 2000 mm pertahun (Ohler 1979), dan dapat tumbuh di tempat-tempat
dengan ketinggian 1 sampai 1200 m di atas permukaan laut (Rismundar 1981).

4

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember
2012 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi,
dengan daerah kajian di Kabupaten Muna dan Wonogiri.

Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini:
Seperangkat komputer.
Microsoft Office (Microsoft Word dan Microsoft Excel 2007).
Minitab 15.
SPSS 16.
Data produksi tahunan tanaman mete di Kabupaten Muna selama 14 tahun
(1996 – 2009) dan data produksi tahunan tanaman mete di Kabupaten
Wonogiri selama 21 Tahun (1990 – 2010). Data diperoleh dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
6 Data curah hujan bulanan di Kabupaten Muna selama 14 tahun (1996 –
2009), dan data curah hujan bulanan di Kabupaten Wonogiri selama 21
tahun (1990 – 2010). Data diperoleh dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
7 Data Anomali Suhu Muka Laut (ASML) di wilayah Niño 3.4 selama 21
tahun
(1990-2010).
Data
tersebut
diunduh
dari
internet
(http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/)
1
2
3
4
5

Tahapan Penelitian
Persiapan Data
Untuk mengetahui produktivitas tanaman mete setiap tahunnya maka
produksi harus dibandingkan dengan luas lahan tanaman setiap tahunnya.
Sehingga akan didapatkan data produksi per hektar di setiap tahunnya. Data
produktivitas tersebut dinyatakan dalam ton/ha.
Produktivitas =
∑ produksi mete
∑ luas penggunaan lahan
Produksi mete selalu mengalami perubahan setiap tahunnya. Perubahan
tersebut bisa diakibatkan oleh faktor-faktor selain faktor iklim, seperti faktor
tanah yang terdiri atas tebal solum, tekstur, kemasaman (pH), kemiringan,
kedalaman permukaan air dan drainase. Oleh karena itu, agar hubungan antara
curah hujan dengan produktivitas lebih terlihat, maka faktor-faktor selain
faktor iklim tersebut harus dihilangkan. Penghilangan faktor selain faktor

5
iklim itu bisa dilakukan dengan salah satu metode analisis tren. Metode analisis
tren yang digunakan pada penelitian ini adalah metode first differences, yaitu:
AYi = Yi – Y(i-1)
Dimana:
AYi : Anomali produksi tahun ke-i
Yi
: Data produksi tahun ke-i
Y(i-1) : Data produksi tahun ke-(i-1)
Data anomali yang telah didapat dengan menggunakan metode first
differences tersebut lalu distandarisasi dengan membagi data dengan standar
deviasinya. Data curah hujan yang digunakan hanya dari fase pembungaan sampai
pada fase panen saja. Fase pembungaan sampai pada fase pemanenan diperkirakan
selama 6 bulan pada setiap daerah. Proses pembungaan jambu mete diperkirakan
terjadi selama 3 bulan dari awal terbentuknya bunga sampai semua pohon sudah
berbunga sepenuhnya, dan bulan selanjutnya adalah periode buah masak yang
terjadi selama 3 bulan juga sampai semua pohon menghasilkan buah yang siap
dipetik. Jadwal awal pembungaan sampai pada panen akan berbeda pada setiap
daerah. Tabel 2 berikut menunjukkan periode pembungaan dan buah masak pada
masing-masing daerah.
Tabel 2 Jadwal berbunga dan panen jambu mete di Kabupaten Muna dan
Wonogiri
Daerah

Periode Pembungaan
Periode Buah Masak
(bulan)
(bulan)
Muna
Juli - September
Oktober - Desember
Wonogiri
Maret - Mei
Juni - Agustus
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Pengolahan Data
a. Analisis pengaruh curah hujan terhadap produktivitas
Analisis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh curah hujan terhadap
produksi jambu mete adalah regresi linear. Data curah hujan digunakan sebagai
peubah bebas, dan data produktivitas digunakan sebagai peubah respon.
Persamaan regresi linear adalah sebagai berikut:
Y = a + bx
dimana:
Y : produktivitas
x : curah hujan
a,b : konstanta
(Tingkat keeratan hubungan antara Y dan x dinyatakan dalam
koefisien determinasi R2, yang nilainya berkisar dari 0-100 %).

6
b. Menghitung persentase korelasi anomali curah hujan dengan produktivitas
Tujuannya yaitu untuk melihat besarnya persentase korelasi anomali yang
berkorelasi positif dan negatif yang mana korelasi positif yaitu kejadian curah
hujan dan produktivitas yang sama-sama mengalami peningkatan atau sama-sama
mengalami penurunan pada tahun yang sama, sedangkan korelasi negatif yaitu
kejadian curah hujan bertolak belakang dengan produktivitas.
Ada 4
kemungkinan korelasi antara curah hujan dengan produktivitas yaitu:
1 pada saat curah hujan meningkat, produktivitas juga meningkat
2 pada saat curah hujan menurun, produktivitas juga menurun
3 pada saat curah hujan meningkat, produktivitas menurun
4 pada saat curah hujan menurun, produktivitas meningkat
Persentase dihitung dengan membagi jumlah masing-masing total kejadian
pada setiap kemungkinan tersebut dengan total semua data. Dengan menghitung
persentase korelasi 4 kemungkinan tersebut akan bisa dilihat persentase kejadian
terbesar yang terjadi di lokasi penelitian.
c. Menghitung anomali produktivitas berdasarkan kondisi curah hujan
Tujuannya yaitu untuk melihat besarnya perubahan nilai rata-rata anomali
produktivitas yang disebabkan oleh pengaruh anomali curah hujan. Cara
perhitungannya adalah dengan merata-ratakan anomali produktivitas pada dua
kondisi perubahan anomali curah hujan tersebut yaitu pada saat peningkatan
anomali dan pada saat penurunan anomali.
d. Menghitung time lag hubungan anomali suhu muka laut dengan curah hujan
Untuk melihat time lag hubungan anomali suhu muka laut dengan curah
hujan digunakan metode analisis cross correlation dengan bantuan software SPSS
16. Data ASML digunakan sebagai peubah bebas dan curah hujan digunakan
sebagai peubah respon.
e. Menghitung persentase korelasi anomali suhu muka laut dan produktivitas
pada berbagai kondisi El Niño-Southern Oscillation
Ada 3 jenis peristiwa ENSO yaitu El Niño, Normal, La Niña. Pada setiap
peristiwa ENSO anomali produktivitasnya bisa meningkat dan menurun.
Perhitungan persentasenya adalah dengan membandingkan besarnya penurunan
dan juga peningkatan produktivitas pada masing-masing peristiwa ENSO dengan
seluruh korelasi data yang ada. Hasil persentase korelasi antara ASML dan
produktivitas ini akan menunjukkan rasio antara kejadian penurunan dan
peningkatan produktivitas pada setiap peristiwa ENSO.
f. Menghitung rata-rata anomali produktivitas berdasarkan jenis peristiwa El
Niño-Southern Oscillation
Tujuannya yaitu untuk melihat besarnya perubahan nilai rata-rata anomali
produktivitas pada saat teradinya peristiwa ENSO. Cara perhitungannya yaitu
merata-ratakan anomali produktivitas untuk masing-masing kondisi perubahan
produktivitas yaitu kejadian penurunan dan peningkatan produktivitas pada
masing-masing kondisi El Niño, Normal, dan La Niña.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Muna
Produktivitas Jambu Mete di Kabupaten Muna
Produksi jambu mete di Kabupaten Muna dari tahun 1996 sampai tahun
2009 tidak merata setiap tahunnya, ada peningkatan dan penurunan produksi.
Begitu juga dengan luas lahan penanaman mete, selalu mengalami perubahan,
setiap tahun selalu terjadi pengurangan atau penambahan luas lahan (Gambar 2).
Pengaruh perubahan luas lahan tanaman jambu mete harus dihilangkan,
yaitu dengan menghitung produktivitas jambu mete setiap tahunnya. Produktivitas
didapatkan dengan membagi produksi tahunan mete dengan luas lahan pada tahun
tersebut. Produktivitas mete dari tahun 1996 sampai 2009 ditunjukkan pada
Gambar 3.

Gambar 2 Jumlah produksi dan luas lahan jambu mete di
Kabupaten Muna

Gambar 3 Produktivitas jambu mete di Kabupaten Muna

8

Gambar 4 Anomali produktivitas jambu mete di
Kabupaten Muna berdasarkan metode first
differences
Berdasarkan Gambar 3, Produktivitas jambu mete di Kabupaten Muna
selalu mengalami perubahan tren setiap tahunnya. Tren tersebut bisa diakibatkan
oleh faktor-faktor selain faktor iklim. Oleh karena itu, agar hubungan antara
curah hujan dengan produktivitas lebih terlihat, maka faktor-faktor selain
faktor iklim tersebut harus dihilangkan dengan salah satu metode analisis untuk
menghilangkan tren. Metode analisis penghilangan tren yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode first differences. Anomali produktivitas jambu mete
yang sudah distandarisasi dengan metode first differences ditunjukkan pada
Gambar 4.
Karekteristik Hujan di Kabupaten Muna
Unsur iklim yang dialisis pada penelitian ini adalah curah hujan. Rata-rata
curah hujan bulanan dari tahun 1996 sampai 2009 di Kabupaten Muna
ditampilkan pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5, Kabupaten Muna memiliki
10 bulan basah dan 1 bulan kering, sehingga Kabupaten Muna termasuk daerah
basah, di mana berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson bahwa Bulan
Basah (BB) adalah bulan dengan curah hujan besar dari 100 mm dan Bulan
Kering (BK) Bulan dengan curah hujan kecil dari 60 mm. Kabupaten Muna
termasuk daerah bercurah hujan tahunan tinggi. Rata-rata curah hujan tahunan
dari tahun 1996 sampai tahun 2009 adalah 2405 mm.
Periode pembungaan jambu mete di Kabupaten Muna dimulai dari bulan
Juli (akhir musim hujan) dan diperkirakan akhir bulan September sudah
memasuki musim kemarau sehingga jambu mete mulai menghasilkan buah dan
mulai dapat dipanen pada akhir bulan September ini. Periode panen berakhir pada
akhir bulan Desember yang sudah memasuki awal musim hujan. Puncak
pembungaan terjadi pada minggu keempat setelah bunga pertama muncul dan
diperkirakan jatuh pada bulan Agustus.

9

Gambar 5 Rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten
Muna (tahun 1996-2009)
Hubungan Produktivitas dengan Curah Hujan
Analisis regresi linear antara produktivitas dengan curah hujan (Gambar 6)
menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi negatif dengan produktivitas dengan
nilai koefisien determinasi yang sangat kecil, yaitu 0.006.
Gambar 7
menunjukkan hubungan anomali curah hujan dengan anomali produktivitas jambu
mete di Kabupaten Muna. Tinggi rendahnya curah hujan tidak selalu
mempengaruhi produktivitas secara konstan, curah hujan yang sangat tinggi tidak
selalu menyebabkan produktivitas menurun, dan begitu juga sebaliknya, curah
hujan yang rendah juga tidak selalu menyebabkan peningkatan produktivitas.
Tabel 3 menunjukkan persentase korelasi anomali curah hujan dengan
produktivitas dengan mengabaikan besarnya jumlah curah hujan yang berdasarkan
pada hubungan produktivitas dengan curah hujan pada Gambar 7. Dari 13 tahun
data curah hujan dan produktivitas di Kabupaten Muna, 61.55% data
menunjukkan korelasi negatif yang berarti hubungan curah hujan berbanding
terbalik dengan produktivitas, sedangkan data yang menunjukkan korelasi positif
hanya 38.46%. Pengaruh curah hujan paling dominan terjadi pada saat anomali
curah hujan menurun, yang menyebabkan produktivitas meningkat, 46.15% data

Gambar 6 Scatter Plot anomali produktivitas dengan
curah hujan

10

Gambar 7 Hubungan produktivitas dengan curah hujan
Tabel 3 Persentase korelasi anomali curah hujan dengan produktivitas
Jenis
Korelasi anomali
Tahun Kejadian
Korelasi
CH dengan P
CH naik, P naik
2003, 2004, 2005
Positif
CH turun, P turun
2000, 2007
CH naik, P turun
1998, 2008
Negatif
CH turun, P naik 1997, 1999, 2001, 2002, 2006, 2009
Keterangan : CH = Curah Hujan, P = Produktivitas

Persentase
(%)
23.08
38.46
15.38
15.38
61.54
46.15

Gambar 8 Anomali produktivitas berdasarkan kondisi
curah hujan
menunjukkan hal ini, sedangkan kolerasi lainnya hanya dibawah 24%. Dapat
disimpulkan bahwa curah hujan akan berpengaruh baik pada produktivitas jambu
mete di Kabupaten Muna jika pada periode pembungaan sampai buah masak
curah hujannya sedikit.
Besarnya perubahan nilai rata-rata anomali produktivitas yang disebabkan
oleh pengaruh anomali curah hujan dapat dilihat pada Gambar 8. Pada saat

11
anomali curah hujan meningkat menyebabkan rata-rata anomali produktivitas
menurun drastis sebesar 0.2. Sedangkan pada saat anomali curah hujan menurun
hanya menyebabkan peningkatan produktivitas yang cenderung sedikit, hanya
sebesar 0.02. Jadi disimpulkan bahwa curah hujan paling dominan mempengaruhi
produktivitas jambu mete pada saat curah hujan menurun, sedangkan pengaruh
curah hujan yang paling besar terjadi pada saat curah hujan meningkat yang
menyebabkan produktivitas menurun drastis.
Periode pembunggaan jambu mete di Kabupaten Muna dimulai dari awal
bulan Juli, yang berlangsung selama 2-3 bulan sampai akhir bulan September,
Periode pembungaan adalah saat tanaman jambu mete paling kritis terhadap curah
hujan. Gambar 9, 10, dan 11 adalah perbandingan hubungan produktivitas dengan
curah hujan setiap bulan pada periode pembungaan. Besarnya nilai koefisien
determinasi yaitu 0.00 pada bulan Juli, 0.513 pada bulan Agustus, dan 0.026 pada
bulan September. Pola hubungan antara produktivitas dengan curah hujan yang
paling terlihat dan nilai koefisien determinasi terbesar adalah pada bulan Agustus.

Gambar 9 Hubungan produktivitas dengan curah hujan
bulan Juli (periode pembungaan)

Gambar 10

Hubungan produktivitas dengan curah hujan
bulan Agustus (periode pembungaan)

12

Gambar 11 Hubungan produktivitas dengan curah hujan
bulan September (periode pembungaan)
Bulan Agustus inilah terjadi puncak pembungaan karena pembungaan jambu mete
berada pada puncaknya pada minggu ke empat setelah bunga pertama muncul.
Disimpulkan bahwa produktivitas jambu mete di Kabupaten Muna akan bagus
jika pada bulan Agustus (puncak pembungaan) curah hujannya kecil.
Hubungan Curah Hujan dan Produktivitas dengan Fenomena El NiñoSouthern Oscillation
Hubungan antara curah hujan di Kabupaten Muna dengan anomali suhu
muka laut (ASML) di Niño 3.4 paling kuat terjadi pada lag 0 (Gambar 12), yang
berarti perubahan ASML akan berdampak langsung terhadap curah hujan pada
saat itu juga. Gambar 13 menunjukkan hubungan antara curah hujan dengan Niño
3.4 pada lag 0.
Berdasarkan analisis secara regresi linear (Gambar 14), besarnya nilai
koefisien determinasi antara ASML di Niño 3.4 dengan curah hujan adalah 0.031.
Tabel 4 menunjukkan rasio kejadian peningkatan dan penurunan anomali
produktivitas pada saat terjadinya peristiwa El Niño-Southern Oscillation.

Gambar 12 Cross correlation antara curah hujan dengan
anomali suhu muka laut di Niño 3.4

13

Gambar 13 Hubungan anomali suhu muka laut di
wilayah Niño 3.4 dengan curah hujan pada
lag 0

Gambar 14 Scatter Plot hubungan anomali curah hujan
dan anomali suhu muka laut di Niño 3.4
Kecenderungan peningkatan produktivitas pada saat El Niño adalah sangat besar,
yaitu 100%, tidak pernah terjadi penurunan produktivitas. Sedangkan pada saat La
Niña, kecenderungan terjadinya peningkatan dan penurunan produktivitas adalah
sama.
Besarnya perubahan rata-rata anomali produktivitas yang disebabkan oleh
pengaruh ENSO dapat dilihat pada Gambar 15. Pada saat El Niño, rata-rata
anomali produktivitas meningkat 0.46. Pada saat kondisi normal, rata-rata anomali
produktivitas juga meningkat tetapi tidak sebesar pada saat El Niño, yaitu sebesar
0.18. Sedangkan pada saat La Niña, rata-rata anomali produktivitas menurun
drastis, yaitu menurun sebesar 0.98
.

14
Tabel 4 Persentase korelasi antara anomali suhu muka laut di wilayah Niño
3.4 dengan produktivitas
Jenis
Enso
El Niño
Normal
La Niña

Anomali
Produktivitas

Tahun Kejadian

Persentase
(%)

P meningkat

1997, 2002, 2004, 2006, 2009

P menurun

-

P meningkat

2001, 2003, 2005, 2008

P menurun

-

P meningkat

1998, 1999

15.38

P menurun

2000, 2007

15.38

Keterangan : P = Produktivitas

Gambar 15 Rata-rata anomali produktivitas berdasarkan
jenis peristiwa El Niño-Southern Oscillation

38.46
0.00
30.77
0.00

15
Kabupaten Wonogiri
Produktivitas Jambu Mete
Besarnya hasil dan produksi jambu mete beserta luas lahan tanamannya di
Kabupaten Wonogiri ditunjukkan pada Gambar 16. Berdasarkan Gambar 16
terlihat produksi mete tidak merata setiap tahunnya, ada peningkatan dan ada
penurunan. Sedangkan luas lahan tanamannya cenderung rata dan mengalami
sedikit peningkatan dan penurunan saja setiap tahunnya. Terlihat bahwa hasil
produksi mete tidak hanya dipengaruhi oleh penambahan luas lahan saja.
Pengaruh perubahan luas lahan tanaman jambu mete harus dihilangkan,
yaitu dengan menghitung produktivitas jambu mete setiap tahunnya. Produktivitas
didapatkan dengan membagi produksi tahunan mete dengan luas lahan pada tahun
tersebut. Produktivitas mete di Kabupaten Wonogiri dari tahun 1990 sampai 2010
ditunjukkan pada Gambar 17.
Berdasarkan Gambar 17, tren produktivitas tanaman jambu mete di
Kabupaten Wonogiri cenderung meningkat setiap tahunnya. Tahun 1990 sampai
tahun 1999 produktivitas jambu mete cenderung stabil. Tahun 1999 sampai 2010
produktivitasnya meningkat, walaupun ada beberapa penurunan di beberapa
tahun. Lonjakan produktivitas meningkat sangat drastis dari tahun 1999 ke tahun

Gambar 16 Anomali produksi dan luas lahan jambu mete
di Kabupaten Wonogiri

Gambar 17 Produktivitas jambu mete di Kabupaten
Wonogiri

16

Gambar 18 Anomali produktivitas jambu mete di
Kabupaten Wonogiri berdasarkan metode
first differences
2000 yaitu peningkatannya hampir empat kali lipatnya, dan kembali turun ke
kondisi normal pada tahun 2001. Begitu juga pada tahun 2002 ke tahun 2003
produktivitas kembali naik 3 kali lipatnya. Puncak produktivitas tertinggi terjadi
pada tahun 2000 yaitu 1.05 ton/ha, dan produktivas terendah terjadi pada tahun
1996 yaitu 0.18 ton/ha.
Pengaruh dari faktor-faktor selain dari faktor iklim harus dihilangkan
dengan metode first differences. Produktivitas jambu mete yang sudah di
standarisasi dengan metode first differences ditunjukkan pada Gambar 18.
Karakteristik Hujan di Kabupaten Wonogiri
Curah hujan rata-rata bulanan dari tahun 1990 sampai tahun 2010 di
Kabupaten Wonogiri ditunjukkan pada Gambar 19. Curah hujan di Kabupaten
Wonogiri menunjukkan tipe hujan monsunal yaitu wilayah yang memiliki
perbedaan yang jelas antara periode musim hujan (DJF) dan periode musim
kemarau (JJA). Musim hujan dimulai pada bulan November dan berakhir pada
bulan April, bulan Mei sampai Oktober merupakan musim kemarau. Bulan kering
berjumlah 3 bulan dan bulan basah berjumlah 7 bulan di mana berdasarkan

Gambar 19 Rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten
Wonogiri (tahun 1990-2010)

17

Gambar 20 Total Curah Hujan Tahunan di Kabupaten
Wonogiri (tahun 1990-2010)
klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson bahwa Bulan Basah (BB) adalah bulan dengan
curah hujan besar dari 100 mm dan Bulan Kering (BK) Bulan dengan curah hujan
kecil dari 60 mm. Musim pembungaan mete di Wonogiri dimulai dari bulan April
dan periode panen berakhir pada akhir bulan Sepetember. Hal ini sesuai dengan
karakteristik tanaman jambu mete yang pembungaannya terjadi pada awal
musim kering dan berakhir pada musim hujan.
Kabupaten Wonogiri termasuk daerah bercurah hujan tahunan tinggi. Dari
rentang tahun 1990 sampai 2010 seperti pada Gambar 20, curah hujan paling
rendah terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah curah hujan 1312 mm, dan curah
hujan paling tinggi terjadi pada tahun 2010 dengan jumlah 3130 mm. Perbedaan
antara tahun dengan curah hujan terendah dan tertinggi adalah dua kali lipat, ini
berarti variabilitas curah hujan di Kabupaten Wonogiri sangat tinggi, begitu juga
dengan tahun-tahun yang lainnya yang dapat dilihat dari naik turunnya jumlah
curah hujan setiap tahunnya. Hal ini diperkirakan akan mempengaruhi
produktivitas jambu mete. Rata-rata curah hujan dari tahun 1990 sampai tahun
2010 adalah 1993 mm.
Hubungan Curah Hujan dengan Produktivitas
Berdasarkan Gambar 21, secara umum curah hujan di Kabupaten Wonogiri
setiap tahunnya tidak selalu mempengaruhi produktivitas jambu mete, perubahan
curah hujan tidak selalu diikuti oleh perubahan produktivitas. Dari tahun 1991
sampai 1997 curah hujan bisa dikatakan dalam kondisi normal karena perubahan
curah hujan tidak terlalu tinggi, dan pada tahun tersebut produktivitas juga
cenderung stabil. Begitu juga pada tahun-tahun normal lainnya yaitu tahun 2004,
2005, 2006, dan 2007, dimana pada tahun ini curah hujan dan produktivitas dalam
keadaan stabil dan dalam hal wajar.
Pada tahun 1998 curah hujan meningkat drastis tetapi produktivitas masih
stabil, serta tahun 2000 disaat curah hujan normal tetapi produktivitas meningkat
sangat drastis dan mencapai level tertinggi di periode 20 tahun tersebut. Setelah
puncak tertinggi produktivitas pada tahun 1999, tahun 2001 terjadi penurunan
produktivitas lagi bahkan sangat drastis, melebihi dari keadaan normal dan
menjadi tahun dengan produktivitas terendah selama periode 20 tahun tersebut
padahal curah hujan pada saat ini dalam kondisi normal.

18

Gambar 21 Scatter Plot hubungan anomali produktivitas
dan curah hujan di Kabupaten Wonogiri

Gambar 22 Anomali produktivitas dan curah hujan di
Kabupaten Wonogiri

Tabel 5 Persentase korelasi antara curah hujan dengan produktivitas di
Kabupaten Wonogiri
Jenis
Korelasi
Positif

Negatif

Korelasi anomali
CH dengan P

Tahun Kejadian

Persentase
(%)

CH naik, P naik

1993, 2000, 2009

15

CH turun, P turun

1991, 1996, 1999, 2003, 2007
1992, 1994 1995, 1998, 2001, 2005,
2008, 2010
1997, 2002, 2004, 2006

25

CH naik, P turun
CH turun, P naik

40

40

60

20

Keterangan : CH = Curah Hujan, P = Produktivitas
Tabel 5 menunjukkan persentase korelasi anomali curah hujan dengan
produktivitas dengan mengabaikan besarnya nilai anomali curah hujan dan
produktivitas itu sendiri. Dari 20 tahun data curah hujan dan produktivitas di
Kabupaten Wonogiri, 60% data menunjukkan kolerasi negatif yaitu berarti curah

19
hujan berbanding terbalik dengan produktivitas sedangkan data yang
menunjukkan kolerasi positif adalah 40%. Pengaruh curah hujan paling dominan
terjadi pada saat anomali curah hujan meningkat, yang menyebabkan
produktivitas menurun, 40% data menunjukkan hal ini. Dapat disimpulkan bahwa
curah hujan akan berpengaruh buruk pada produktivitas jambu mete di Kabupaten
Wonogiri jika pada periode pembungaan sampai buah masak curah hujannya
meningkat.
Analisis korelasi antara curah hujan dengan produktivitas secara regresi
linear ditunjukkan pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar 22, Analisis pengaruh
curah hujan terhadap produktivitas jambu mete menunjukkan korelasi negatif,
yaitu curah hujan berbanding terbalik dengan produktivitas, dengan nilai koefisien
determinasi sebesar 0.107. Semakin tinggi curah hujan maka produktivitas akan
semakin menurun, begitu juga sebaliknya.
Besarnya perubahan nilai anomali produktivitas yang disebabkan oleh
pengaruh curah hujan dapat dilihat pada Gambar 23. Pada saat anomali curah
hujan meningkat menyebabkan rata-rata anomali produktivitas menurun sebesar
0.13. Sedangkan pada saat anomali curah hujan menurun menyebabkan
peningkatan produktivitas sebesar 0.32

Gambar 23 Rata-rata perubahan anomali produktivitas
pada saat anomali curah hujan meningkat dan
menurun

Gambar 24 Hubungan produktivitas dengan curah hujan
pada bulan Maret (periode pembungaan)

20

Gambar 25 Hubungan produktivitas dengan curah hujan
pada bulan April (periode pembungaan)

Gambar 26 Hubungan produktivitas dengan curah hujan
pada bulan Mei (periode pembungaan)
Periode pembunggaan jambu mete di Kabupaten Wonogiri dimulai dari
awal bulan Maret, yang berlangsung selama 2-3 bulan sampai akhir bulan Mei,
Pada periode pembungaan inilah saat kritis terhadap curah hujan. Gambar 24, 25,
dan 26 adalah perbandingan hubungan produktivitas dengan curah hujan setiap
bulan pada periode pembungaan dari bulan Maret sampai bulan Mei dengan nilai
koeisien determinasi 0.143 pada bulan Maret, 0.005 pada bulan April, dan 0.001
pada bulan Mei. Pola hubungan antara produktivitas dengan curah hujan yang
paling terlihat dan nilai koefisien determinasi terbesar adalah pada bulan Maret.
Bulan Maret inilah terjadi puncak pembungaan karena pembungaan jambu mete
berada di puncaknya pada minggu keempat setelah bunga pertama muncul. Dapat
disimpulkan bahwa produktivitas jambu mete di Kabupaten Wonogiri akan bagus
jika pada bulan Maret (puncak pembungaan) curah hujannya kecil.

21
Hubungan Produktivitas dan Curah Hujan dengan Fenomena El NiñoSouthern Oscillation
Berdasarkan Gambar 27 dapat dilihat bahwa perubahan ASML di lokasi
Niño 3.4 paling besar mempengaruhi curah hujan di Kabupaten Wonogiri adalah
pada lag 2, yang artinya perubahan ASML di Niño 3.4 akan mempengaruhi curah
hujan di Kabupaten Wonogiri dalam periode 2 bulan mendatang setelah
perubahan ASML tersebut terjadi. Hubungan curah hujan dengan ASML di Niño
3.4 dapat dilihat dari Gambar 28.
Analisis secara regresi linear menunjukkan nilai koefisien determinasi
antara curah hujan dan ASML di Niño 3.4 di Wonogiri adalah 0.011 (Gambar 29).
Tabel 6 menunjukkan rasio kejadian peningkatan dan penurunan produktivitas
pada saat terjadinya peristiwa ENSO. Pada saat terjadinya El Niño,
kecenderungan terjadinya peningkatan produktivitas lebih besar daripada
terjadinya penurunan produktivitas. Sedangkan pada saat terjadinya La Niña dan
kondisi normal, kecenderungan penurunan produktivitas sangat besar daripada
peningkatan produktivitas.
Besarnya perubahan anomali produktivitas yang disebabkan oleh pengaruh
ENSO pada saat terjadinya El Niño, La Niña, dan saat kondisi normal dapat
dilihat pada Gambar 30. Pada saat El Niño dan La Niña rata-rata anomali

Gambar 27 Cross correlation anomali suhu muka laut di
Niño 3.4 dengan curah hujan

Gambar 28 Scatter Plot hubungan anomali curah hujan
dengan anomali suhu muka laut di Niño 3.4

22
produktivitas sama-sama mengalami peningkatan, tetapi pada saat El Niño
peningkatannya lebih besar daripada saat La Niña. Rata-rata anomali
produktivitas pada saat El Niño meningkat 0.56, sedangkan pada saat La Niña
peningkatannya hanya 0.05. Penurunan rata-rata anomali produktivitas hanya
terjadi pada saat kondisi normal, yaitu menurun sebesar 0.52.

Gambar 29 Hubungan anomali suhu muka laut di Niño
3.4 dengan anomali curah hujan pada lag 2
Tabel 6 Persentase korelasi antara anomali suhu muka laut di wilayah Niño
3.4 dengan produktivitas
Jenis
ENSO
El Niño
Normal
La Niña

Kondisi
Produktivitas

Tahun Kejadian

Persentase
(%)

P meningkat

1997, 2002, 2004, 2006, 2009

25

P menurun

1991, 1994

10

P meningkat

1993

P menurun

1996, 2001, 2003, 2005, 1992, 2008

P meningkat

2000

P menurun

1999, 1995, 1998, 2007, 2010

Keterangan : P = Produktivitas

5
30
5
25

23

Gambar 30 Rata-rata anomali produktivitas berdasarkan
jenis peristiwa El Niño-Southern Oscillation

24

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Analisis pengaruh curah hujan terhadap produktivitas jambu mete di
Kabupaten Muna menunjukkan korelasi negatif dengan nilai koefisien determinasi
0.006. Pengaruh curah hujan terhadap produktivitas yang paling sering terjadi
adalah pada saat anomali curah hujan mengalami penurunan daripada saat
mengalami peningkatan, tetapi perubahan anomali produktivitas lebih besar
adalah pada saat terjadi peningkatan curah hujan. Korelasi terbesar antara
produktivitas dengan curah hujan pada periode pembungaan adalah pada bulan
Agustus. Hubungan antara curah hujan dengan anomali suhu muka laut di Niño
3.4 paling kuat terjadi pada lag 0, yang berarti perubahan anomali suhu muka laut
akan berdampak langsung terhadap curah hujan pada saat itu juga. Perubahan
rata-rata anomali produktivitas pada saat El Niño meningkat 0.46, pada saat
kondisi normal meningkat sebesar 0.18, dan pada saat La Niña menurun sebesar
0.98.
Analisis pengaruh curah hujan terhadap produktivitas jambu mete di
Kabupaten Wonogiri menunjukkan korelasi negatif dengan nilai koefisien
determinasi 0.107. Pengaruh curah hujan terhadap produktivitas paling sering
terjadi pada saat anomali curah hujan mengalami peningkatan, tetapi perubahan
rata-rata anomali produktivitas terbesar terjadi pada saat curah hujan mengalami
penurunan. Korelasi terbesar antara produktivitas dengan curah hujan pada
periode pembungaan terjadi pada bulan Maret. Perubahan anomali suhu muka laut
di Niño 3.4 akan mempengaruhi curah hujan di Kabupaten Wonogiri dalam
periode 2 bulan mendatang setelah perubahan anomali suhu muka laut tersebut
terjadi. Perubahan rata-rata anomali produktivitas pada saat El Niño meningkat
0.56, pada saat kondisi normal yaitu menurun sebesar 0.52, dan pada saat La Niña
meningkat 0.05.

Saran
Perlu dilakukan analisis besarnya curah hujan optimum yang mempengaruhi
penurunan dan peningkatan produktivitas jambu mete di masing-masing
kabupaten supaya didapatkan hasil yang lebih akurat lagi.

25

DAFTAR PUSTAKA
Alaudin. 1996. Status dan pengembangan nasional komoditas jambu mete di
Indonesia. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mete.
Bogor, 5 – 6 Maret 1996. Hlm. 1 – 16.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Pembangunan Model
Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Produksi Jambu Mete dan Mitigasinya.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Boer R. 2001. Analisis Risiko Iklim untuk Produksi Pertanian. Paper
disajikan dalam Pelatihan Dosen PT Se Sumatera-Kalimantan dalam
Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan, Bogor.
Boer R. 2003. Penyimpangan Iklim di Indonesia. Disajikan dalam Seminar
Nasional Ilmu Tanah dengan tema "Menggagas Strategi Alternatif dalam
Menyiasati Penyimpangan Iklim serta Implikasinya pada Tataguna Lahan
dan Ketahanan Pangan Nasional", Gedung University Center Universitas
Gajah Mada.
Boer R, Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. In V.J. Boken, A.P.
Cracknell and R.L. Heathcote (eds). Monitoring and predicting agriculture
drought: A global study. Oxford University Press, New York. p:330-344.
Cahyono B. 2001. Jambu Mete, Teknik Budidaya dan Analisis Usahatani.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Direktorat Tanaman Tahunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian
Pertanian RI. 2013. Memilih Benih Jambu Mete Yang Baik Dan Benar.
Duncan IE. 2001. A Review of the potential for development of Cashew
Production in Zona Paz Region, Guatemala, Central America. P 34. Abt
Associates Inc. Suite 600-4800 Montgomery Lane Bethesda, MD 208145341.
Hadad EA, Koerniati S. 1996. Sambung Pucuk Sebelas Nomor Harapan Jambu
Mete Langsung di Lapang. Prosiding. Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas
Jambu Mente. Tanggal 5 – 6 Maret 1996. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. Bogor.
Nair MK, Bhasakara EVV, Nambiar. 1979. Mono-graph on Plantation Crops-1:
Cashew (Ana-cardium occidentale L.). Central Plantation Crops Research
Institute, Kerala India. p. 43− 65.
Nambiar. 1980. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2006. Peta
Kesesuaian Lahan dan Iklim Jambu Mete.
Naylor RL, Falcon W, Wada N, Rochberg D. 2002. Using El-Niño Southern
Oscillation climate data to improve food policy planning in Indonesia, Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 38, 75-91.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2003. Monthly
Atmospheric and SST Indices. http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/ [2
Oktober 2013]
Nogoseno. 1996. Pengembangan Jambu Mente di Indonesia. Prosiding. Forum
Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mente. Tanggal 5 – 6 Maret 1996.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.

26
Ohler JG. 1979. Cashew. Koninklik Institut voor de tropen. Departmen of
Agricultural Research, Amsterdam.
Ola TL, Nurland F, Salman D, Rukmana D. 2011. Perilaku Ekonomi Petani
Jambu Mete di Kabupaten Buton Dan Muna. Fakultas Pertanian Universitas
Haluoleo, Kendari.
Purseglove JW. 1974. Tropical Crops, Dycotyledons. Long-man Press. London.
Rismunandar. 1981. Memperbaiki Lingkungan dengan Bercocok Tanam Jambu
Mete dan Advokat. Penerbit Sinar Baru, Bandung.
Steenis V. 1978. Flora. Penerbit PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Wunnachit. 1991. Flowering and Fruiting Phenology Cashew in Australia.
Department of Plant Science, Faculty of Natural Resources. Prince of
Songkla University, Hat Yai, Songkhla.90112. 9 P.
Zaubin R. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Nilai Tambah Menunjang
Agribisnis Jambu Mente. Kerjasama Proyek P2RWT/EISCDP-IFAD Ditjenbun
dan Balittro. Balittro. Bogor, 5 p.

27

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baruah Gunuang, Kec. Bukik
Barisan Kab. Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tanggal
15 Desember 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara
pasangan Afrizal M SPd dan Hazlentati SPd. Pendidikan
formal penulis dimulai dari SD Negeri 01 Baruah Gunuang
dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di
SMP 1 Kec. Bukik Barisan dan selesai pada tahun 2004.
Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Suliki dan lulus
seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB) dengan Program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika
dan Meeteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam sebagai
Program Studi Mayor. Pada tahun kedua di IPB, penulis memilih program studi
Sistem Informasi dari Departemen Ilmu Komputer sebagai Program Studi Minor.
Selama menjadi mahasiswa di Depertemen Geofisika dan Meteorologi,
penulis aktif dalam beberapa organisasi seperti Himpunan Mahasiswa
Agrometeorologi (HIMAGRETO), dan ikut berpastisipasi dalam berbagai
kegiatan olahraga seperti Sport Competition and Art Festival in MIPA Faculty
(SPIRIT). Penulis juga aktif dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), tahun
2012 penulis beserta tim berhasil meraih medali emas di Pekan Ilmiah Mahasiswa
Nasional (PIMNAS) di bidang Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis
(PKM-GT). Kegiatan di luar Departemen, penulis aktif dalam organisasi
mahasiswa daerah seperti Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh (IKMP)
dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang (IPMM). Tahun 2012 penulis mengikuti
Cisco Networking Academy Program (CNAP) di Cisco Local Academy (CLA)
Fisika IPB.

28