Analisis Variabilitas Curah Hujan Indonesia pada Kejadian ENSO

ANALISIS VARIABILITAS CURAH HUJAN INDONESIA
PADA KEJADIAN ENSO

NUR AMALINA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Variabilitas
Curah Hujan Indonesia pada Kejadian ENSO adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Nur Amalina
NIM G24090070

ABSTRAK
NUR AMALINA. Analisis Variabilitas Curah Hujan Indonesia Pada Kejadian
ENSO. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT dan SOBRI EFFENDY.
Indonesia merupakan salah satu negara yang variabilitas curah hujannya di
pengaruhi kejadian El Niño and Southern Oscillation (ENSO). Penelitian ini
bertujuan mengkaji variasi iklim Indonesia yang terkait dengan kejadian ENSO
serta menganalisis pengaruh kejadian ENSO pada curah hujan observasi di
Indramayu (6.35°LS, 108.32°BT) dan Tabing (0.88°LS, 100.35°BT). Metode
analisis komposit dan spasial digunakan untuk mengungkapkan kecenderungan
pada anomali suhu permukaan laut, angin ketinggian 850 hPa, OLR dan curah
hujan TRMM 3B43, sedangkan analisis temporal dan korelasi digunakan untuk
mengamati curah hujan observasi dan indeks nino-3.4. Ketika El Niño anomali
suhu permukaan laut (ASPL) maksimum di bulan Oktober-Desember, angin 850
hPa bergerak berubah dari barat ke Timur bersamaan dengan peningkatan
kecepatan dan OLR menyimpang di bawah rerata di ekuator Pasifik Tengah dan

Timur menunjukkan akumulasi awan berpotensi hujan. Kejadian La Niña
diindikasikan dengan menyimpangnya suhu permukaan laut dari di bawah rerata.
Pusat tekanan rendah di Asia menyebabkan angin 850 hPa dan sirkulasi Walker,
pergerakan udara tersebut membawa massa uap air menuju Indonesia.
Berdasarkan hasil komposit curah hujan TRMM, tampak bahwa pada kejadian El
Niño dampak lebih nyata pada akhir tahun (Oktober-Desember) Indonesia Timur,
Pulau Jawa serta sebagian Sumatera dan Kalimantan, sedangkan La Niña
(Desember-Februari) di Selatan dan Indonesia bagian timur. Pola hujan monsunal
(Indramayu) dibandingkan ekuatorial (Tabing) lebih menunjukkan dampak
ENSO. Pergeseran musim kemarau dan rendahnya curah hujan ditentukan oleh
fluktuasi ASPL wilayah nino-3.4.
Kata kunci: Curah hujan, ENSO, OLR, SPL, TRMM

ABSTRACT
NUR AMALINA. Variability Analysis of Indonesian Rainfall during ENSO
Event. Supervised by RAHMAT HIDAYAT and SOBRI EFFENDY.
Indonesia is one of the countries which experiences El Niño and Southern
Oscillation (ENSO) impact on rainfall variability. The purpose of this study
included to investigate the Indonesian climate variations related to ENSO events
and to understand the effect of ENSO on rainfall temporal distributions at

Indramayu (6.35°LS, 108.32°BT) and Tabing (0.88°LS, 100.35°BT). Composite
analysis method was used to reveal the trend of sea surface temperature anomaly,
wind at 850 hPa, OLR and TRMM 3B43 rainfall data, whereas temporal and
correlation analysis was used to observe rainfall and nino-3.4 index. When El
Niño sea surface temperature anomaly (ASPL) maximum in October-December,
850 hPa wind backwards from west to east along with increased speed and
deviation of OLR below the average values in central and eastern equatorial
Pacific which indicates the accumulation of rain cloud. La Niña occurrence is
indicated by the deviations of sea surface temperature below average. Low
pressure center in Asia reached 850 hPa winds and strengthened Walker
circulation, the movement of the air mass brought moisture to Indonesia. Based on
the composite of TRMM rainfall, it appeared that the El Niño events gave more
significant impact at the end of the year (October to December) on East Indonesia,
Java and parts of Sumatra and Kalimantan, while La Niña (December to February)
in south and eastern part of Indonesia. Monsoonal pattern (Indramayu) showed
ENSO impacts more strongly than equatorial (Tabing). The shift of dry season
and low rainfall were affected by ASPL fluctuations on nino-3.4 region.
Keywords: ENSO, OLR, Rainfall, SPL, TRMM

Judul Skripsi: Analisis Variabilitas Curah Hujan Indonesia pada Kejadian ENSO

Nama
: Nur Arnalina
NIM
: G24090070

Disetujui oleh

Dr Rahmat
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

'2 5 OCT 2GB

Dr Ir Sobri Effendy, MSi
Pembimbing II

ANALISIS VARIABILITAS CURAH HUJAN INDONESIA
PADA KEJADIAN ENSO


NUR AMALINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Analisis Variabilitas Curah Hujan Indonesia pada Kejadian ENSO
Nama
: Nur Amalina
NIM
: G24090070


Disetujui oleh

Dr Rahmat Hidayat, MSc
Pembimbing I

Dr Ir Sobri Effendy, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Rini Hidayati, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
In the name of God, the most gracious and most merciful, puji dan syukur
penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia yang
tanpa jeda sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih

adalah Analisis Variabilitas Curah Hujan Indonesia pada Kejadian ENSO.
Penelitian dilakukan sejak Mei 2013 hingga September 2013. Ungkapan terima
kasih teristimewa, untuk keluarga di rumah yang terus mencurahkan kasih sayang
tak tergantikan serta doa dan dukungan tiada akhir: Bapak Achmad Effendi,
Mama Pudjiarsih, Kak Endang Setiyowati dan suami, Kak Fahrizal, dan
keponakan tersayang Sulthan Syathir Salim, jazakumullah khairan katsir.
Terima kasih penulis sampaikan kepada :
1 Bapak Dr Rahmat Hidayat dan Bapak Dr Sobri Effendy selaku
pembmbing I dan II atas ilmu dan kesabarannya dalam membimbing
penulis
2 Bapak Prof Ahmad Bey selaku penguji dan atas kebaikan dan
perhatiannya kepada mahasiswa
3 Ibu Dr Rini Hidayati selaku ketua departemen GFM dan atas data curah
hujan observasi Indramayu
4 Bapak Ir Bregas Budianto atas saran dan nasihat yang diberikan
5 Bapak Dr Perdinan atas percakapan singkat yang memotivasi penulis
dan seluruh dosen atas ilmu yang diberikan selama perkuliahan
6 Pak Ajiz, Pak Nandang, Pak Djun, Mas Ben Andaru dan seluruh staf
departemen GFM yang membantu terlaksananya seminar dan sidang
penulis

7 Eko, Pak Yopi, Kak Rahmi, Kak Fida, Kak Riri, yang telah membantu
penulis dalam pemahaman ENSO dan perangkat lunak GrADS
8 Om Panuju dan keluarga atas bantuannya sehingga penulis dapat
memulai perkuliahan di IPB
9 Sahabat GFM 46 terkasih (Silvia, Dissa, Hifdi, Dieni, Santi, Asriani,
Noyara, Ocha, Zia, Ima, Nita, Lidel, Winda, Normi, Zaenal, Hanifah,
Risa, Ika Purnamasari, Ika Farah, Eka Fay, Risna, Rini,Dwi Putri,Enda,
Icha, Halimah, Muharom, Bambang, Edo, Tommy, Wengky, Nurjaman,
Ian,Nowa, Didi,Rizal, Dodik, Khabib, Ervan, Dungka, Arifin, Fahmi,
Hijjaz, Dimas, Ronald, Sumertayasa, Athink, May, Umar, Dwi Putra,
Solah, Eka Al)
10 Teman-teman penghuni Wisma Aulia atas pengertiannya
11 Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih memiliki banyak
kekurangan, walaupun demikian harapannya semoga karya ilmiah ini bermanfaat
bagi yang memerlukan.
Bogor, September 2013
Nur Amalina

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1


TINJAUAN PUSTAKA

2

Sirkulasi Udara Global

2

El Niño and Southern Oscillation (ENSO)

2

Tipe Curah Hujan Indonesia

3

Tropical Rainfall Measurement Mission (TRMM)

4


Extended Reconstructed Sea Surface Temperature (ERSST)

4

Outgoing Longwave Radiation (OLR)

5

Angin Zonal dan Meridional

5

METODE

5

Data

5

Alat

6

Prosedur Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Klimatologis SPL dan Curah Hujan Indonesia

7

Analisis Komposit

8

Pola Curah Hujan Indramayu dan Tabing

13

Uji Korelasi Antara Curah HujanTRMM 3B43 dan Observasi

14

Fluktuasi Curah Hujan dengan Indeks Nino-3.4 di Indramayu dan Tabing

14

SIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan

17

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR GAMBAR
1 Skematik ENSO antara 30°LS-30°LU dan 115°BT-90°BB (a) normal
(b) El Niño (c) La Niña
2 Zonasi tipe curah hujan Indonesia (sumber: http://www.bmkg.go.id)
3 Klimatologis suhu permukaan laut (°C) dan angin (m s-1) di ketinggian
850 hPa tahun 1982-2011, Juni-Mei dari kiri atas ke pojok kanan
bawah
4 Klimatologis curah hujan (mm) tahun 1998-2011, Juni-Mei dari kiri
atas ke pojok kanan bawah
5 Indeks nino-3.4
6 Komposit ASPL (°C) dan angin (m s-1) di ketinggian 850 hPa, JuniMei dari kiri atas ke pojok kanan bawah; (atas) El Niño dan (bawah)
La Niña
7 Komposit anomali OLR (W m-2), Juni-Mei dari kiri atas ke pojok
kanan bawah; (atas) El Niño dan (bawah) La Niña
8 Anomali CH TRMM (mm), Juni-Mei dari kiri atas ke pojok kanan
bawah; (atas) El Niño dan (bawah) La Niña
9 Curah hujan rata-rata bulanan (a) Indramayu 1996-2009, (b) Tabing
2001-2009
10 Korelasi CH TRMM dengan CH Observasi bulanan (a) Indramayu
1998-2009 dan (b) Tabing 2001-2009
11 Timeseries hubungan ASPL nino-3.4 dengan curah hujan observasi
bulanan Indramayu 1998-2009
12 Timeseries hubungan ASPL nino-3.4 dengan curah hujan observasi
bulanan Tabing 2001-2009
13 Hubungan ASPL nino-3.4 dengan curah hujan observasi bulanan (a)
Indramayu 1998-2009 , (b) Tabing 2001-2009
14 Hubungan ASPL nino-3.4 tahun 1997-2000 dengan curah hujan di
Stasiun Indramayu, Jawa Barat
15 Hubungan ASPL nino-3.4 tahun 2006-2008 dengan curah hujan di
Stasiun Tabing, Sumatera Barat

3
4

7
8
9

10
11
12
13
14
14
15
15
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data curah hujan bulanan (mm) stasiun Indramayu
2 Data curah hujan bulanan (mm) stasiun Tabing
3 Scripting language klimatologis suhu permukaan laut dan angin di
ketinggian 850 hPa tahun 1982-2011 (°C), bulan Januari
4 Scripting language klimatologis curah hujan TRMM 3B43 tahun
1998-2011, bulan Januari (mm)
5 Scripting language ASPL nino-3.4
6 Scripting language ekstrak CH TRMM 3B43 Tabing

20
20
20
21
22
22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang variabilitas hujannya sangat
dipengaruhi kejadian ENSO (El Niño and Southern Oscillation). Kejadian ENSO
dapat menimbulkan dampak dalam berbagai aspek yaitu; kekeringan, banjir, dan
pada bidang pertanian, perikanan, lingkungan bahkan kesehatan. Mengacu pada
McPhaden (2002) salah satu dampak pergeseran curah hujan ke arah Timur
sepanjang khatulistiwa selama El Niño, Australia tidak mengalami kekeringan
namun negara negara kepulauan di Pasifik tengah dan Barat mengalami hujan
lebat dan banjir. El Niño kuat pada tahun 1997-1998 mengakibatkan lahan kering
dan gagal panen, produksi kopi dan gula menurun serta terjadi kebakaran hutan di
Indonesia (Gutman et al. 2000). Hasil penelitian Kailaku (2009) daerah Kerawang
mengalami penurunan luas panen pada bulan Juli-Oktober yang merupakan
dampak anomali iklim, ENSO.
Unsur iklim yang mengindikasikan berlangsungnya kejadian ENSO salah
satunya kondisi anomali suhu permukaan laut (ASPL). Konveksi interannual di
kolam hangat berhubungan terkait dengan ENSO (Ropelewski dan Halpert 1987).
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara curah hujan
di Indonesia dan suhu permukaan laut saat kejadiaan ENSO (Hamada 2002,
Hendon 2003). Nicholls (1984) menyampaikan di sekitar Utara AustraliaIndonesia bahwa suhu permukaan laut yang panas berhubungan dengan monsun
kuat sedangkan monsun lemah pada umumnya beriringan dengan suhu permukaan
laut yang dingin. Choidi dan Harrison (2010) menunjukkan bahwa adanya
keterkaitan antara radiasi gelombang panjang yang keluar dari bumi dengan
kolam hangat di ekuator Pasifik. Pengukuran radiasi pada puncak awan konfektif
sangat dingin (memancarkan sedikit radiasi gelombang panjang) menggunakan
satelit oleh sensor infra merah dengan satuan W m-2. Awan adalah partikel air,
menyerap radiasi gelombang panjang dengan spektrum serap yang berlangsung di
awan dan sekitarnya 5-8 µm, 17-24 µm (Handoko 1994).
Adanya hubungan yang saling terkait antara unsur iklim tersebut menjadi
menarik untuk dibahas bagaimana evolusi selama kejadian ENSO serta
dampaknya terhadap sebaran curah hujan di Indonesia. Tipe curah hujan dominan
di Indonesia yaitu monsunal dan ekuatorial. Pemilihan Indramayu sebagai daerah
kajian karena mewakili tipe curah hujan monsunal dan Tabing mewakili tipe
curah hujan ekuatorial.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini mengkaji variasi iklim Indonesia yang terkait dengan
kejadian ENSO serta menganalisis pengaruh kejadian ENSO pada curah hujan
observasi di Indramayu, Jawa Barat dan Tabing, Sumatera Barat.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sirkulasi Udara Global
Sirkulasi udara di atas atmosfer Indonesia menurut Aldrian et al. (2007)
letak Indonesia antara dua samudra dan dua benua serta dilalui garis ekuator
menyebabkan wilayah Indonesia dipengaruhi oleh sirkulasi Hadley dan Walker
yang mempengaruhi variabilitas hujan di Indonesia. Sirkulasi Hadley merupakan
sistem sirkulasi udara secara umum, dengan arah meridional (Utara-Selatan). Pada
sirkulasi Hadley diasumsikan bahwa bumi tidak berotasi (pergantian siang-malam
tidak terjadi) permukaan bumi rata, posisi bumi tidak miring. Pada tiap belahan
bumi mengalir udara menuju khatulistiwa, aliran udara tersebut naik dan bertemu
di bagian atmosfer atas kemudian membentuk awan. Gaya Coriolis menyebabkan
pembelokan ke kanan merubah udara yang bergerak dari Barat ke Timur di bumi
bagian Utara dan sebaliknya di bumi bagian Selatan. Pada lintang 30° angin yang
bertiup antara pita tekanan tinggi dan rendah di khatulistiwa di BBU dinamakan
angin pasat Timur Laut dan pasat tenggara di BBS. Sirkulasi Walker adalah
sirkulasi yang bergerak dari Barat ke Timur di sepanjang ekuator, pada bagian
atas arah sirkulasi berlawanan. Secara tidak langsung rotasi bumi yang bergerak
dari Barat ke Timur yang menjadi penyebab pergerakan udara ini. Rotasi ini pula
yang menyebabkan penumpukan materi di laut bagian Barat. Termoklin di
sepanjang ekuator Pasifik lebih dangkal dibandingkan Pasifik Timur dalam
keadaan normal.
Adapun sirkulasi musiman yang dikenal dengan monsoon atau monsun
merupakan sistem sirkulasi udara yang berbalik arah secara musiman yang
disebabkan oleh perbedaan sifat termal antara benua dan lautan (Prawirowardoyo
1996). Perbedaan panas yang diterima merupakan pergerakan semu matahari
kearah Utara-Selatan. Angin monsun berkaitan dengan musim hujan dan kemarau.
Perbedaan panas yang diterima mengakibatkan udara di atas wilayah yang
suhunya lebih tinggi merenggang dan bergerak ke atas sehingga tekanannya lebih
rendah. Perbedaan tekanan menimbulkan gradien tekanan kemudian memicu
udara bergerak. Angin bergerak dari tekanan tinggi ke rendah. Monsun Asia dan
Australia bergantian melintasi Indonesia. Pada bulan Desember-Februari angin
bertiup dari Asia ke Australia sedangkan Juni-Agustus dari Australia menuju
Asia. Sirkulasi lokal yang merupakan sirkulasi yang dipengaruhi topografi,
ketinggian dan geografis juga mempengaruhi curah hujan suatu wilayah dalam
skala kecil.
El Niño and Southern Oscillation (ENSO)
ENSO merupakan fenomena interaksi atmosfer dan samudra di samudra
Pasifik. Istilah El Niño digunakan untuk merujuk pada fenomena laut, sedangkan
Southern Oscillation mengacu pada fenomena atmosfer. Ternberth (1997)
menyatakan bahwa tidak ada definisi tunggal yang universal untuk El Niño.
Definisi yang dapat digunakan untuk analisis analisis yang membutuhkan
perhitungan (analisis kuantitatif) yaitu anomali suhu permukaan laut pada wilayah

3
nino-3.4 yang terjadi selama lima atau enam bulan lebih melampaui 0.4 °C.
Secara umum ENSO berulang antara 2-7 tahun.

(a)
(b)
(c)
Gambar 1 Skematik ENSO antara 30°LS-30°LU dan 115°BT-90°BB (a) normal
(b) El Niño (c) La Niña
Kondisi normal ditandai dengan suhu permukaan laut yang lebih dingin di
Timur Pasifik dan lebih hangat di bagian Barat Pasifik. Kotak dengan garis hijau
putus putus adalah wilayah nino-3.4, warna biru menandakan penyimpangan suhu
di bawah rata-rata SPL sedangkan warna merah sebaliknya. Tekanan udara tinggi
terbentuk di wilayah Tenggara Pasifik pada saat yang sama di sekitar Indonesia
membentuk aliran angin pasat baratan sepanjang ekuator, gradient tekanan
memicu udara bergerak. Pembalikan massa air dari dasar ke permukaan
(upwelling) terjadi di sekitar pantai Peru dan Ekuador. Aliran udara atas bergerak
ke arah Timur yang merupakan sirkulasi walker (Gambar 1 a). El Niño (Gambar 1
b) terjadi perluasan kolam hangat pada saat pusat tekanan rendah berada di sekitar
Peru dan tekanan tinggi di Timur Indonesia, hal ini mengakibatkan angin pasat
melemah serta sirkulasi Walker mengalami perubahan arah karena bergesernya
pusat kovergensi. Termoklin yang merupakan lapisan terjadinya penurunan suhu
yang cepat terhadap kedalaman laut. Pada kejadian El Niño batas atas mendangkal
dan batas bawah lebih dalam dibanding saat La Niña (Kunarso et al. 2012).
Kondisi La Niña yaitu saat kolam dingin di samudra Pasifik meluas dan
pada saat yang bersamaan terjadi pendangkalan termoklin serta angin passat dari
Timur membantu penyebaran suhu permukaan laut lebih rendah dari kondisi
normal. Upwelling terjadi lebih kuat mengakibatkan perpindahan materi dasar laut
lebih banyak ke permukaan sekaligus menurunkan suhu permukaan laut di
wilayah Peru dan sekitarnya (Gambar 1 c). Massa uap air dalam jumlah besar
yang lembab masuk pada aliran angin pasat yang menguat dan melewati atmosfer
Indonesia.

Tipe Curah Hujan Indonesia
Gambar 2 merupakan zonasi tipe curah hujan di Indonesia. Wilayah
berwarna kuning merupakan wilayah bertipe curah hujan monsunal. Tipe ini
memiliki grafik curah hujan tahunan dengan satu puncak dan satu lembah. Hal ini
dikarenakan pergerakan 2 monsun; monsun Barat Laut yang basah (NovemberMaret) dan monsun Tenggara yang kering (Mei-September). Wilayah dengan
warna hijau menampilkan grafik curah hujan tahunan dengan dua puncak yaitu,

4
Oktober-November dan Maret-Mei. Tipe curah hujan tersebut adalah ekuatorial.
Tipe ini dipengaruhi oleh zona konvergensi lintas tropis (ITCZ). Tipe curah hujan
lokal memiliki sifat grafik curah hujan tahunan yang berkebalikan dengan tipe
curah hujan monsunal. Tipe ini pada Gambar 2 merupakan wilayah berwarna
merah.

Gambar 2 Zonasi tipe curah hujan Indonesia (sumber: http://www.bmkg.go.id)

Tropical Rainfall Measurement Mission (TRMM)
Data curah hujan dalam penelitian ini di peroleh dari TRMM produk 3B43
bulanan dalam bentuk .NetCDF dengan resolusi spasial 0.25°x0.25°. Huffman et
al. (2007) menyatakan bahwa data TRMM produk 3B43 merupakan yang pertama
mengkombinasikan TRMM Precipitation Radar (PR) dan TRMM Microwave
Imager (TMI) untuk mengkalibrasi perkiraan jumlah curah hujan dari pengukuran
data Microwave dan Infrared (IR). Data ini telah diuji pada penelitian
sebelumnya, Suryantoro et al. (2008) telah mengkorelasikan tipe curah hujan
terrestrial dan curah hujan TRMM 3B43 pada daerah Sicincin, Padang tahun
2002-2007 dengan r=0.8, Bandara Supadio, Pontianak 1998-2007 dengan r=0.8,
Kayuwatu, Manado 1998-2007 r=0.8, Pulau Baai, Bengkulu 1998-2007 dengan
r=0.7, Kemayoran, Jakarta 2001-2007 dengan r=0.8 dan Siliwangi, Semarang
2001-2007 dengan r=0.8. Hal ini mengindikasikan bahwa data produk TRMM
3B43 sesuai dengan kecenderungan tipe curah hujan di Indonesia sehingga dapat
digunakan.

Extended Reconstructed Sea Surface Temperature (ERSST)
ERSST merupakan data suhu permukaan laut yang telah direkonstuksi
bulanan sejak 1854 sampai sekarang dengan wilayah cakupan global. Data yang
hilang telah dilengkapi dengan metode statistik. Data berasal dari International
Comprehensive Ocean-Atmosphere Data Set (ICOADS). Perkembangan teknologi

5
dalam pengukuran suhu permukaan laut mengalami banyak peningkatan. Kini
ERSST yang dipublikasikan merupakan ERSST versi 3 merupakan data hasil
gabungan estimasi dari satelit, kapal dan buoy (Smith et al. 2008). NOAA
memiliki data yang real time dan yang sudah dalam bentuk jangka panjang,
namun pada penelitian ini menggunakan ERSST rerata bulanan. Data ini tersedia
untuk tahun 1854 dan hingga sekarang.

Outgoing Longwave Radiation (OLR)
Choidi dan Harrison (2010) menunjukkan bahwa adanya keterkaitan
antara OLR dengan fase hangat ENSO di tahun 1982/1983, 1986/1987,
1991/1992, 1997/1998. Meskipun dibandingkan secara historis OLR lebih singkat
dibanding suhu permukaan laut mau pun indeks osilasi selatan, tetapi OLR
menyediakan hubungan langsung dengan pemanasan atmosfer. OLR merupakan
radiasi gelombang panjang yang dipancarkan dari permukaan bumi yang hangat
ke angkasa yang suhunya lebih rendah, oleh bumi. Puncak awan konfektif sangat
dingin dan memancarkan sedikit radiasi gelombang panjang demikian pula
sebaliknya. Semakin kecil nilai OLR menunjukkan semakin besar hambatan
menuju angkasa. Anomali OLR juga termasuk indikator yang baik untuk anomali
curah hujan (Gutman et al. 2000). Pada penelitian ini data yang digunakan
merupakan “Interpolated OLR” setiap gridnya beresolusi 2.5°x 2.5°.
Angin Zonal dan Meridional
Angin zonal (Utara-Selatan) dan meridional (Barat-Timur) data dari NOAA
National Centres for Environmental Prediction-National Center Atmospheric
Research (NCEP-NCAR) reanalyses Climate Data Assimilation System (CDAS).
Setiap grid-nya memiliki resolusi 2.5°x2.5°. Mulyana (2002) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa pada ketinggian 850 hPa angin timuran menguat pada bulan
Maret-Mei dan September-November. Pada bulan Desember-Februari angin
baratan di wilayah Indonesia bagian Selatan ekuator kecepatannya melemah.
Yulihastin (2010) meneliti mekanisme interaksi monsun Asia dan ENSO dengan
angin ketinggian 850 hPa periode 20 tahun, menyatakan bahwa angin pada
monsun kuat terjadi pada Juni-September. Pada tahun monsun melemah, terjadi
depresi pada sirkulasi Walker di Pasifik ekuator hingga terjadi kejadian El Niño.

METODE
Data
Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari website
resmi NOAA (http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/) antara lain Extended
Reconstructed Sea Surface Temperature V3B (ERSST), Interpolated Outgoing
Longwave Radiation (OLR), data angin zonal (Utara-Selatan) dan meridional

6
(Barat-Timur) pada ketinggian 850 hPa hasil reanalysis NCEP-NCAR dengan
masing masing grid berukuran 2°x2°, 2.5°x2.5°, 2.5°x2.5° dengan periode data
bulanan 1982-2011 di wilayah 30°LU-30°LS, 60°BT-90°BB. Data curah hujan
TRMM yang digunakan produk 3B43 bulanan V7 untuk wilayah 15°LU-15°LS &
90°-150°BT periode 1998-2011 dengan ukuran setiap grid 0.25°x0.25°. Data
dapat diunduh melalui website NASA (http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/). Data curah
hujan bulanan observasi stasiun Tabing (0.88°LS, 100.35°BT) +3 mpdl, tahun
2001-2009,diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG), curah hujan bulanan observasi stasiun Indramayu (6.35°LS, 108.32°BT)
+1.17 mpdl, tahun 2001-2009. Data diperoleh dari Dinas PU Pengairan
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan perangkat lunak Microsoft Office dan The Grid Analysis and Display
System (GrADS) versi 2.0.a9.oga.1 yang dapat diunduh secara bebas
(http://www.iges.org/).

Prosedur Analisis Data
Analis komposit merupakan metode penggabungan kondisi beberapa
peristiwa tertentu sehingga hasilnya dapat mewakili kecenderungan peristiwa
tersebut. Analisis spasial dilakukan guna mengkaji evolusi unsur iklim yang
diamati secara temporal. Variabel pada kejadian El Niño dan La Niña yang di
analisis komposit antara lain; anomali suhu permukaan laut (ASPL), angin
ketinggian 850 hPa, OLR, dan curah hujan TRMM 3B43. Curah hujan observasi
serta indeks nino-3.4 dianalisis menggunakan analisis korelasi dan temporal.
Scripting language yang digunakan dalam perangkat lunak GrADS disertakan di
lampiran.
Menghitung indeks nino-3.4 tahun 1982-2011 menggunakan data ERSST
oleh perangkat lunak GrADS tahun El Niño yang diolah adalah 1982/1983,
1987/1988, 1997/1998, 2006/2007 dan tahun La Niña adalah 1988/1989,
1999/2000, 2007/2008, sedangkan untuk curah hujan hanya El Niño tahun
2002/2003, 2006/2007, La Niña 1999/2000, 2007/2008 karena keterbatasan data.
Awal perhitungan pada bulan Juni. Sebagai contoh El Niño 1982/1983 dimulai
dari Juni 1982 hingga Mei 1983, sehingga dikompositkan dengan kejadian El
Niño lainnya pada ulangan yang sama, demikian pula dengan La Niña.
Data curah hujan TRMM 3B43 bulanan di ekstrak sesuai koordinat stasiun
pengamatan. Data yang semula berupa .NetCDF dikonversi menjadi .txt sehingga
dapat diolah dengan Microsoft Office Excel. Analisis korelasi diaplikasikan guna
mengetahui keeratan antara curah hujan observasi dengan curah hujan TRMM
3B43.
∑ni i (∑ni yi )
n ∑ni i yi
√[





][





]

7
Nilai r mendekati 1 maka ada korelasi positif yang tinggi 1 sedangkan jika
mendekati -1 maka ada korelasi negatif yang tinggi antara dua peubah (Walpole
1993). Adalah xi nilai curah hujan TRMM ke-i, dan yi nilai curah hujan observasi,
dan n adalah jumlah data.
Analisis temporal dilakukan dengan menelaah variasi curah hujan di titik
amatan dengan perubahan indeks nino-3.4 pada tahun kejadian ENSO. Pengaruh
dari kejadian ENSO terhadap curah hujan akan lebih diamati pada tahun 19972000 di Indramayu, sedangkan Tabing pada tahun 2006-2008.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Klimatologis SPL dan Curah Hujan Indonesia
Kecenderungan perubahan setiap bulan pada klimatologis SPL dan angin
850 hPa selama 30 tahun (1982-2011) diakibatkan pergerakan matahari (Gambar
3). Pemanasan di wilayah Indonesia maksimal saat puncak musim kemarau (JuniAgustus). Pergerakan angin dari Timur ke Barat kecepatannya bertambah besar
pada bulan Juli dibandingkan bulan lainnya mengakibatkan peningkatan suhu dan
memperbesar gradien tekanan udara hal ini tampak dari panjang panah di Timur
samudra Hindia. Monsun Australia berhembus membawa angin yang dingin dan
kering.

Gambar 3 Klimatologis suhu permukaan laut (°C) dan angin (m s-1) di ketinggian
850 hPa tahun 1982-2011, Juni-Mei dari kiri atas ke pojok kanan bawah

8
Klimatologis curah hujan TRMM 3B43 selama 14 tahun (1998-2011)
menunjukkan keragaman jumlah curah hujan diseluruh wilayah Indonesia. Pada
Gambar 4 tampak bahwa setiap bulan di bagian Selatan Indonesia curah hujannya
kurang dari 50 mm, wilayah Utara dan Barat Indonesia mengalami curah hujan
yang lebih dari 100 mm hingga 300 mm. Sepanjang pantai pulau Sumatera hampir
sepanjang bulan curah hujannya tidak kurang dari 100 mm, demikian pula
sebagian besar wilayah pulau Papua. Pergantian musim kemarau ke musim hujan
akan dialami oleh wilayah Indonesia bagian Barat kemudian berangsur-angsur ke
bagian tengah lalu Timur.

Gambar 4 Klimatologis curah hujan (mm) tahun 1998-2011, Juni-Mei dari kiri
atas ke pojok kanan bawah

Analisis Komposit
Indeks nino-3.4 merupakan ASPL di wilayah 5°LS-5°LU dan 170°-120°BB.
ASPL positif (negatif) lebih dari 0.5-0.9 °C di kategorikan El Niño (La Niña)
lemah, 1.0-1.4 °C dikategorikan sedang dan lebih dari 1.5 °C dikategorikan kuat.
Hendon (2003) dalam jurnalnya menyatakan bahwa SPL wilayah nino-3.4
digunakan sebagai acuan dikarenakan variabilitasnya sebesar 50% dari variasi
seluruh curah hujan Indonesia dan viariabilitas SPL di samudra Hindia sebesar 1015%. Indeks nino-3.4 yang dihitung telah diuji keeratannya dengan indeks nino3.4 keluaran IRIDL (Http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.Indices/.nino
/.EXTENDED/.NINO34/) dengan nilai koefisien korelasi r=0.97. Keeratan
tersebut meyakinkan bahwa indeks nino-3.4 hasil hitungan penulis dapat
digunakan. Tahun El Niño yang dikomposit antara lain 1982/1983, 1987/1988,
1997/1998, 2006/2007 dan La Niña yaitu 1988/1989, 1999/2000, 2007/2008.

9
2

1
0,5
0
-0,5

1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

ASPL nino-3.4 (°C)

1,5

-1
-1,5
-2

Gambar 5 Indeks nino-3.4
Suhu Permukaan Laut dan Angin
Penyimpangan SPL dari nilai rata-ratanya saat El Niño dan La Niña berubah
setiap bulan. Komposit ASPL bulan Juni-Juli pada peristiwa El Niño masih
bernilai rendah (0.5-1 °C) kolam hangat pada samudra Pasifik cukup jelas
terbentuk (Gambar 6 atas). ASPL mencapai 1 °C pada bulan Agustus dan terus
menguat di bulan September. Bulan Oktober-Januari tampak di ekuator samudra
Pasifik tengah dan Timur penyimpangan SPL mencapai 2 °C. El Niño melemah
pada bulan Februari hingga Mei.
Pada kondisi normal monsun Asia Timur di bulan Desember-Februari
(musim dingin di BBU) membawa massa uap air dari pusat tekanan tinggi di
bagian Utara Asia dan Siberia namun ketika melintasi khatulistiwa dibelokkan
karena pengaruh rotasi bumi sehingga di atas Indonesia berubah menjadi angin
monsun Barat. Perbedaan yang besar pada tekanan udara; rendah (Pasifik) dengan
tinggi (Indonesia, Asia) mengakibatkan angin yang bergerak dari Barat memiliki
arus yang kuat, sebaliknya angin pasat yang bergerak dari Timur melemah hal ini
menjelaskan perubahan kecepatan angin di bulan Oktober, November, Desember
dan Januari saat El Niño (Gambar 6 atas) berurutan 7 m s-1, 8 m s-1, 7 m s-1 dan
5 m s-1. Pada La Niña (Gambar 6 bawah) terjadi peningkatan kecepatan angin
secara tajam. Bulan Juni-Desember sebesar 5 m s-1 kemudian pada Januari
mencapai 9 m s-1, kembali melambat pada Februari sebesar 7 m s-1 dan Maret
6 m s-1. Pergerakan arah angin di bulan Desember-Januari serupa saat kondisi
normal, ke arah Barat. Pada tahun monsun kuat terjadi penurunan suhu di Timur
Ekuator Pasifik sejak Juli-Maret, periode tersebut juga menguatkan sirkulasi
Walker di Pasifik (Yulihastin 2010).
Hasil penelitian Kunarso et al. (20 2) “… Berdasarkan variasi antar tahunan
iklim global ditemukan bahwa batas atas pada kejadian El Niño umunya lebih
dangkal (rerata 50.9-51.7 m) dari pada La Niña (rerata 58.4-60.2 m. Sebaliknya
batas bawah termoklin pada saat El Niño lebih dalam 262.9-281.8 m) daripada La
Niña (rerata 204.5-2589.6 m) ketebalan termoklin pada saat El Niño ditemukan
umunnya lebih tebal (211.2-230.9 m) dibandingkan La Niña (144.4-20 .2 m) …”.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa setiap bulan memiliki ketebalan
termoklin yang berbeda, hal ini dikarenakan dinamika arah relatif arus dalam,
selain itu hal tersebut juga mempengaruhi pergerakan angin di atas permukaan.

10

Gambar 6 Komposit ASPL (°C) dan angin (m s-1) di ketinggian 850 hPa, JuniMei dari kiri atas ke pojok kanan bawah; (atas) El Niño dan (bawah) La
Niña
OLR
Nilai OLR bulan Juni diatas Indonesia saat peristiwa El Niño (Gambar 7
atas) bernilai 10-15 W m-2. Pulau Jawa dan bagian Timur Indonesia bernilai 10-20
W m-2. Terjadi peningkatan nilai OLR di sekitar Indonesia namun di ekuator
samudra Pasifik menurun. Semakin kecil nilai OLR menunjukkan semakin besar
hambatan. Uap air dan es merupakan zat yang menghalangi terukurnya OLR oleh
satelit. Nilai OLR bulan Oktober-Januari yang di bawah 0 W m-2 di daerah
ekuator samudra Pasifik meluas, bahkan pada pusat tekanan rendahnya mencapai 35 W m-2 nilai ini sangat rendah dibandingkan bulan bulan sebelumnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa di daerah tersebut diliputi awan dengan jumlah yang

11
besar dan memiliki awan kumulus berpotensi hujan. Awan yang merupakan air di
atas atmosfer ekuator samudra Pasifik merupakan air yang dipindahkan dari
perairan di sekitar Indonesia oleh angin monsun Barat sehingga di Indonesia
mengalami kenaikan nilai OLR. Divergensi terjadi di Indonesia sedangkan di
ekuator samudra Pasifik terjadi konvergensi.
Wilayah Indonesia yang terdiri atas banyak pulau mengakibatkan aliran
massa udara di Selatan Indonesia yang bergerak menuju samudra Hindia (Gambar
3 bawah) membentuk osilasi. Keadaan demikian merangsang pembentukan awan
di beberapa daerah Indonesia dan meningkatkan curah hujan (Handoko 1994).
Gambar 7 bawah menunjukkan tingkat keawanan di atmosfer Indonesia dan
ekuator Pasifik pada peristiwa La Niña. Tampak pada bulan Juni nilai OLR
negatif (positif) di Indonesia (ekuator Pasifik), hanya Pulau Jawa yang bernilai

Gambar 7 Komposit anomali OLR (W m-2), Juni-Mei dari kiri atas ke pojok
kanan bawah; (atas) El Niño dan (bawah) La Niña

12
OLR 5 W m-2. Liputan awan kumulus menutupi Indonesia di bulan Februari-April
namun pada Mei seluruh pulau Sumatera, Jawa dan Selat Karimata serta Laut
Jawa telah bernilai 5 W m-2.
Curah Hujan TRMM 3B43
Analisis komposit curah hujan karena keterbatasan data maka baik El Niño
maupun La Niña hanya komposit pada dua kejadian yakni, 2002/2003, 2006/2007
dan 1999/2000, 2007/2008. El Niño memberikan penurunan curah hujan di
Indonesia secara nyata (Gambar 8 atas).

Gambar 8 Anomali CH TRMM (mm), Juni-Mei dari kiri atas ke pojok kanan
bawah; (atas) El Niño dan (bawah) La Niña
Curah hujan di Pulau Jawa -50 mm hingga -100 mm di bulan Juni. ASPL
negatif meluas dan memuncak nilainya pada bulan Oktober, kecuali di perairan
sebelah Barat Sumatera Utara. Kejadian ini melemah pada Januari namun untuk
wilayah Indonesia Timur ASPL negatif terus berlangsung hingga Mei dengan
kisaran -50 mm sampai -150 mm di perairan Pulau Halmahera dan Sorong.
Kejadian El Niño menguat pada akhir tahun, Oktober hingga Desember.

13
Komposit dari empat tahun kejadian, dua diantaranya El Niño kuat cukup
merepresentasikan evolusi tiap bulan. Pada bulan El Niño kuat pun Utara
Sumatera dan sebagian Kalimantan masih mengalami peningkatan curah hujan 50
sampai 100 mm (Gambar 8 atas). Dengan demikian dampak El Niño tidak dialami
semua wilayah di Indonesia sesuai dengan hasil penelitian terdahulu Tjasyono
(2008) dan Aldrian (2002).
Hujan dengan intensitas tinggi terjadi di samudra Hindia bagian Timur Laut,
perairan Selatan Jawa hingga pulau Sumba saat bulan Februari dikarenakan massa
udara yang naik di ekutor samudra Pasifik terbawa dan turun di wilayah Indonesia
yang memiliki suhu permukaan laut yang lebih hangat (tekanan yang rendah).
Kubota et al. (2011) sepanjang khatulistiwa Pasifik Barat, curah hujan memiliki
variabilitas yang jelas terkait dengan ENSO. Gambar 6 bawah menunjukkan
anomali curah hujan 0-150 mm hanya terjadi di selat Makassar, perairan bagian
Timur Sulawesi, Pulau Halmahera dan Marauke. Selebihnya, Sumatera,
Kalimantan dan Pulau Jawa bernilai anomali curah hujan 50-100 mm.

Pola Curah Hujan Indramayu dan Tabing

Curah hujan observasi (mm)

500
400
300
200
100
0
J F M A M J J A S O N D

Curah hujan observasi (mm)

Grafik curah hujan rata-rata bulanan stasiun Indramayu (Gambar 7 a)
berpola curah hujan monsunal dengan satu puncak (Oktober) dan satu lembah
(Agustus). Gambar 7 b yaitu curah hujan rata-rata stasiun Tabing menampilkan
grafik pola curah hujan ekuatorial dengan 2 puncak, Oktober dan Maret. Beda
kedua daerah tersebut dikarenakan bedanya sirkulasi atmosfer yang
mempengaruhi pergerakan awan berpotensi hujan. Pada daerah monsunal hal ini
diakibatkan monsun Barat Laut yang basah (November-Maret) dan monsun
Tenggara yang kering (Mei-September). Pola curah hujan ekuatorial dipengaruhi
oleh ITCZ, zona ini merupakan suatu deretan kelompok awan yang berkembang
baik (Prawirowardoyo 1996).
500
400
300
200
100
0
J F M A M J J A S O N D

(a)
(b)
Gambar 9 Curah hujan rata-rata bulanan (a) Indramayu 1996-2009, (b) Tabing
2001-2009

14
Uji Korelasi Antara Curah HujanTRMM 3B43 dan Observasi
Keeratan antara curah hujan observasi dengan curah hujan TRMM 3B43
diketahui melalui nilai koefisien korelasi, r. Indramayu memiliki r=0.7 untuk dan
Tabing sebesar r=0.8 (Gambar 9). Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa curah
hujan TRMM 3B43 dapat digunakan untuk menentukan besarnya nilai data curah
hujan dengan tipe monsunal dan ekuatorial.

CH Obsevasi (mm)

600

r = 0.71

400
200
0
0

200

400

600

CH TRMM (mm)

800

CH Observasi (mm)

800

800

600
r = 0.81

400
200
0
0

200

400

600

800

CH TRMM (mm)

(a)
(b)
Gambar 10 Korelasi CH TRMM dengan CH Observasi bulanan (a) Indramayu
1998-2009 dan (b) Tabing 2001-2009

Fluktuasi Curah Hujan dengan Indeks Nino-3.4 di Indramayu dan Tabing

2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
-0,5
-1,0
-1,5
-2,0

800
600
400
200
0

ASPL nino-3.4 (°C)

1000

Jan-96
Jun
Nov
Apr
Sep
Feb
Jul
Dec
May
Oct
Mar
Aug
Jan-01
Jun
Nov
Apr
Sep
Feb
Jul
Dec
May
Oct
Mar
Aug
Jan-06
Jun
Nov
Apr
Sep
Feb
Jul
Dec
May
Oct

Curah hujan observasi (mm)

Fluktuasi (turun-naik) curah hujan menunjukkan adanya pola keterkaitan
dengan indeks nino-3.4. Garis merah pada Gambar 11 dan 12 menjadi ambang
batas penentu terjadi atau tidaknya kejadian ENSO. Indeks nino-3.4 tahun 19962000 di Indramayu selalu terjadi perubahan. Gambar 11 menunjukkan ASPL
tertinggi pada September 1997 hingga Januari 1998 sedangkan terendah pada
Januari 1999, Januari 2000 dan Februari 2008. ASPL positif bersamaan dengan
jumlah curah hujan observasi dibawah curah hujan rata-rata, sedangkan ASPL
negatif bertambahnya jumlah curah hujan observasi dibandingkan dengan curah
hujan rata-rata di Indramayu.

Curah hujann observasi

Curah hujan rata-rata

ASPL nino-3.4

Gambar 11 Timeseries hubungan ASPL nino-3.4 dengan curah hujan observasi
bulanan Indramayu 1998-2009

15

2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
-0,5
-1,0
-1,5
-2,0

800
600
400
200
0

ASPL nino-3.4 (°C)

1000

Jan-01
May
Sep
Jan-02
May
Sep
Jan-03
May
Sep
Jan-04
May
Sep
Jan-05
May
Sep
Jan-06
May
Sep
Jan-07
May
Sep
Jan-08
May
Sep
Jan-09
May
Sep

Curah hujan observasi (mm)

Kejadian ENSO di Tabing hanya dpaat diamati saat kejadian ENSO lemah
karena keterbatasan data. ASPL tertinggi yaitu Januari 2007 dan terendah adalah
Februari 2008. ASPL positif yang tinggi tidak selalu diikuti dengan rendahnya
curah hujan yaitu pada Desember 2002 saat ASPL mencapai 1.2 °C curah hujan
tabing berada pada angka 424 mm per bulan (Gambar 12). Hal ini akan dibahas
lebih lanjut pada Gambar 15.

Curah hujan observasi

Curah hujan rata-rata

ASPL nino-3.4

Gambar 12 Timeseries hubungan ASPL nino-3.4 dengan curah hujan observasi
bulanan Tabing 2001-2009

800

600

600

400

400
200
0
-2,0

-1,0

0,0
-200
-400
ASPL nino-3.4

1,0

2,0

Anomali curah hujan bulanan

Anomali curah hujan bulanan

Gambar 13 a dan Gambar 13 b memiliki persamaan y = -23.3x - 0.682 dan
y = -1.879x + 0.205, dengan koefisien determinasi 0.022 dan 0.00006. Persamaan
yang bernilai negatif menjelaskan bahwa dengan meningkatnya nilai ASPL nino3.4 maka curah hujan di Indramayu dan Tabing berkurang begitu pun sebaliknya,
jika ASPL nino-3.4 menurun maka curah hujan meningkat. ASPL nino-3.4
menjelaskan curah hujan di Indramayu sebesar 2.2% sedangkan di Tabing 0%.
Tampak pada kedua gambar bahwa garis kecenderungan yang lebih curam adalah
Gambar 13 a dibandingkan Gambar 13 b. Hal ini menjelaskan bahwa perubahan
ASPL-nino3.4 lebih berpengaruh pada anomali curah hujan di Indramayu dari
pada di Tabing.

200
0
-2,0

-1,0

0,0

1,0

2,0

-200
-400
-600
ASPL nino-3.4

(a)
(b)
Gambar 13 Hubungan ASPL nino-3.4 dengan curah hujan observasi bulanan (a)
Indramayu 1998-2009 , (b) Tabing 2001-2009

16
Saat El Niño 1997/1998 selama lebih dari 6 bulan, curah hujan bulanan
kurang dari rata-rata setempat curah hujan bulanan. Indramayu mengalami
kemunduran berakhirnya musim kering, hal ini dilihat dari curah hujan pada bulan
November masih bernilai 0 mm, seharusnya pada Jawa Barat masuk musim hujan
pada pertengahan September. La Niña 1998/1999 dibandingkan La Niña
1999/2000 walau besar ASPL nino-3.4 tidak jauh berbeda namun peningkatan
curah saat La Niña 1999/2000 sangat nyata pada Januari 2000 bahkan mencapai
611 mm.
2
La Nina

El Nino

1
0,5

-1,5

Nov

Sep

Jul

May

Mar

Nov

Jan-00

Jul

1999

Sep

May

Mar

Jan-99

Nov

Jul

1998

Sep

May

Mar

Sep

Nov

Jul

Mar

1997

Jan-98

-1

May

0
-0,5

Jan-97

ASPL nino-3.4 (°C)

1,5

2000

800
700
600
500
400
300
200
100
0

Curah hujan rata-rata

Jan-97
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan-98
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan-99
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan-00
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec

Curah hujan observasi (mm)

-2

Gambar 14 Hubungan ASPL nino-3.4 tahun 1997-2000 dengan curah hujan di
Stasiun Indramayu, Jawa Barat
Puncak musim hujan Desember-Februari 2007 pada saat yang bersamaan
terjadi peningkatan ASPL. Umumnya kejadian El Niño mempengaruhi jumlah
curah hujan yang diterima dan sebaliknya pada kejadian La Niña. Januari 2007
curah hujan mencapai 776 mm. Hal ini menurut Kunarso et al. (2010) walaupun
angin pasat ke Barat melemah saat kejadian El Niño, namun karena angin baratan
tersebut berasal dari Laut Cina Selatan yang lembab maka tidak banyak
pengaruhnya terhadap curah hujan yang turun di Indonesia. Pada Tabing, saat La
Niña 2008 bulan Februari curah hujan saat itu di bawah curah hujan rata-ratanya,
413 mm. Tjasyono (1997) dalam Boer et al. (2009) El Niño akan kuat
pengaruhnya pada daerah dengan pola hujan monsun, lemah pada pola ekuatorial
dan tidak jelas pada sistem lokal. Jumlah curah hujan tipe ekuatorial lebih
dipengaruhi oleh fenomena ekinoks dibandingkan oleh monsun Australia, karena
wilayah yang dilalui oleh monsun Australia cenderung pendek dan tidak lebih
banyak mengandung uap air dibandingkan monsun Asia (Tjasyono 2008),
sehingga peningkatan curah hujan lebih nyata bertambah di wilayah Selatan
Indonesia bagian Timur.

17
La Nina

1

El Nino

0,5
0
-0,5
-1
-1,5

Jan-06
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan-07
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan-08
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec

Anomali SPL (°C)

1,5

2006

2007

2008

900
800
700
600
500
400
300
200
100
0

Curah hujan rata-rata

Jan-06
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan-07
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan-08
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec

Curah hujan observarsi (mm)

-2

Gambar 15 Hubungan ASPL nino-3.4 tahun 2006-2008 dengan curah hujan di
Stasiun Tabing, Sumatera Barat

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kejadian ENSO mempengaruhi unsur iklim di Indonesia. Saat El Niño
ASPL maksimum di bulan Oktober-Desember. Arah angin di 850 hPa berubah
dari Barat ke Timur di bulan Oktober bersamaan dengan peningkatan kecepatan.
OLR menyimpang di bawah rerata menunjukkan berkumpulnya awan berpotensi
hujan di ekuator Pasifik tengah dan Timur. Kejadian La Niña diindikasikan
dengan menyimpangnya suhu permukaan laut dari di bawah rerata, penurunan
maksimum terjadi pada bulan Desember-Februari. Pusat tekanan rendah di Asia
menyebabkan angin pasat dan sirkulasi Walker menguat, pergerakan udara
tersebut membawa massa uap air menuju Indonesia.
Berdasarkan hasil komposit CH TRMM tampak bahwa pada kejadian El
Niño berdampak lebih nyata pada akhir tahun (Oktober-Desember) Indonesia
Timur, Pulau Jawa serta sebagian Sumatera dan Kalimantan, sedangkan La Niña
saat Desember-Februari di Selatan Indonesia dan Indonesia bagian Timur. Pola
hujan monsunal (Indramayu) dibandingkan ekuatorial (Tabing) lebih
menunjukkan dampak ENSO. Pergeseran musim kemarau dan rendahnya curah
hujan ditentukan oleh fluktuasi ASPL wilayah nino-3.4.

18
Saran
Dilakukan penelitian terhadap unsur iklim pada kejadian ENSO yang
bersamaan dengan kejadian anomali iklim interannual maupun interseasonal
lainnya serta kajian dampaknya terhadap anomali unsur iklim pada semua wilayah
pola curah hujan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification Three Dominant Rainfall Regions
within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. Int J
Climatol. 23:1435-1452.doi:10.1002/joc950
Aldrian E. 2002. Spasial Pattern of ENSO Impact on Indonesian Rainfall. Jurnal
Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 3:5-15
Aldrian E. 2007. Seasonal Variability of Indonesian Rainfall in ENCHAM4
Simulation and in The Reanalyses : The Role of ENSO. Theo Appl Climatol.
87:41-59.doi:10.1007/
Boer R, Tamkani K, Las Irsal, Purwani ET, Srimulya, Kirno E, Suparmo, Wahab
I, Surmaini E, Elramija K, et al. 2009. Modul Dasar II Sekolah Lapangan
Iklim; Pemanfaatan Informasi Iklim dalam Pengelolaan Risiko Iklim. Bogor
(ID)
Choidi AM, Harrison DE. 2010. Notes and Correspondence; Characterizing
Warm ENSO Variability in the Equatorial Pacific: An OLR Perspective. J
Climate. 23:2428-2439.doi:10.1175/2009JCLI13030.1
Gutman G, Csiszar I, Romanov P. 2000. Using NOAA/AVHRR Products to
Monitor El Niño Impacts: Focus on Indonesia in 1997-1998. Bull Amer Meteor
Soc. 81:1189-1204
Hamada J-I, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winaso PA, Srimbiwati T.
2002. Spatial and Temporal Variation of the Rainy Season over Indonesia and
their Link to ENSO. J Meteor Soc Japan. 80:285-310
Hendon HH. 2003. Indonesian Rainfall Variability: Impacts of ENSO and Local
Air-Sea Interaction. J Climate. 16:1775-1790
Huffman GJ, Adler RF, Bolvin DT, Gu G, Nelkin EJ, Bowman KP, Hong Y,
Stocker EF. 2007. The TRMM Multisatellite Precipitation Analysis
(TMPA):Quasi-Global, Multiyear, Combined-Sensor Precipitation Estimates at
Fine Scales. J Hydrometeor. 8:38-55.doi: 10.1175/JHM560.1
Kailaku TE. 2009. Pengaruh ENSO dan IOD terhadap dinamika waktu tanam padi
di wilayah tipe hujan ekuatorial dan monsunal [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Kubota H, Shirooka R, Hamada J-I. 2011. Interannual Rainfall Variability over
the Eastern Maritime Continent. J Meteor Soc Japan. 89A:111122.doi:102151/jmsj.2011-A07.
Kunarso, Hadi S, Ningsih NS, Baskoro MS. 2012. Perubahan kedalaman dan
Ketebalan Termoklin pada Variasi Kejadian ENSO, IOD, dan Monsun di
Perairan Selatan Jawa Hingga Pulau Timor. Ilmu Kelautan. 17(2):87-98

19
McPhaden, MJ. 2002. El Niño and La Niña: Causes and global consequences. The
Earth system: physical and chemical dimensions of global environmental
change. Encyclopedia of Global Environmental Change. 1:353-370.ISBN 0471-97796-9.
Mulyana E. 2002. Analisis Angin Zonal di Indonesia Selama Perione ENSO.
Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. 3:115-120
Nasir AA, Handoko, June T, Hidayati R, Impron, Koesmaryono Y, Suharsono H.
1994. Klimatologi Dasar. Bogor. Handoko, editor. (ID): Pustaka Jaya.
Nicholls N. 1984. The Southern Oscillation and Indonesian Sea Surface
Temperature. Mon. Wea. Rev. 112:424-432.doi:10.117/2010JAS3348.1
Prawirowardoyo S. 1996. Meteorologi. Bandung (ID): Penerbit Institut Teknologi
Bandung
Ropelewski CF, Halpert MS. 1987. Global and regional scale precipitation
patterns associated with the El Nino/Southern Oscillation. Mon Wea Rev.
115:1606–1626.
Smith T, Reynolds RW, Peterson TC, Lawrimore J. 2008. Improvements to
NOAA’s Historical Merged Land-Ocean Surface Temperature Analysis (18802006). J Climate. 21:2283-2296.doi:101175/2007/JCLI2100.1
Suryantoro A, Halimurrahman, Harjana T. 2008. Aplikasi Satelit TRMM Untuk
Prediksi Curah Hujan di Wilayah Indonesia. Di dalam: Workshop Nasional
Aplikasi Sains Atmosfer dan Iklim [Internet]. [1 Desember 2008]. Bandung
(ID): LAPAN. hlm 1-12; [diunduh 2013 Juni 27]. Tersedia pada:
www.dirgantara-lapan.or.id/moklim/publikasi/2008/full/paper_1_-_rewakhir_-penelitian-ariefs-dkk-ultah%20LAPAN.pdf
Tjasyono B, Lubis A, Juaeni I, Ruminta, Harijono SWB. 2008.Dampak Variasi
Temperatur Samudra Pasifik dan Hindia Ekuatorial Terhadap Curah Hujan di
Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara. 5:83-95
Trenberth KE. 1997. The Definition of El Niño. Bull Amer Meteor. Soc. 78:2771–
2777.doi:10.1175
Walpole R. 1993. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): PT Gramedia Putaka Utama
Yulihastin E. 2010. Mekanisme Interaksi Monsun ASIA dan ENSO. Berita
Dirgantara. 11:99-105

20
Lampiran 1 Data curah hujan bulanan (mm) stasiun Indramayu
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1996
491 351 345 114
81
79 33
43
64 163 161 115
1997
681 124 121 251
28
31
0
0
0
0
7 242
1998
26 245 164 288 221 210 101
95
92 142 371 216
1999
170 348
67 162
35
9
8
0
0
36
43 176
2000
611
98
82 131
67 339
9
3
29
16 150 289
2001
134 184 219 127
76 123 21
0
4 103 417
85
2002
830 933 107 169 119
0 81
0
0
0 168 143
2003
185 402
46 284 105
0
0
0
0 134 148 200
2004
380 571 182
92
97
93 25
0
0
0 151 324
2005
231 245
23 167
81
62 113
49
19
22 150 126
2006
513 279 145
24 230
0
5
0
0
0
26 171
2007
101 433 153 154 139 211 19
0
0 119 111 326
2008
254 704 128 154
73
42
0
0
0
29 151 126
2009
445 236
45
82 131
39
2
0
0
15
68 126
Rerata 361 368 131 157 106
88 30
14
15
56 152 190

Lampiran 2 Data curah hujan bulanan (mm) stasiun Tabing
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2001
238 538 245 174 182 231 386 217 249 258 309 139
2002
461 272 208 430 287 175 286 203 350 689 765 424
2003
245 369 246 557 231 121 181 464 396 478 739 501
2004
234 167 353 382 247 136 370 236 361 511 504 418
2005
428 272 310 138 275 245 369 553 689 879 417 399
2006
360 376 814 418 142 318 273 232
88
30 269 461
2007
776 289 349 413 167 394 305 176 344 579 230 591
2008
98 413 554 271 190 493 437 234 305 352 398 669
2009
272 211 236 252 150 134 436 244 320 446 562 367
Rerata 346 323 368 337 208 250 338 284 345 469 466 441

Lampiran 3 Scripting language klimatologis suhu permukaan laut dan angin di
ketinggian 850 hPa tahun 1982-2011 (°C), bulan Januari
#************************************************************
#Scripting Language untuk ER_SST ; Vektor AnginTahun 1982-2011
#Oleh : Nur Amalina G24090070
#
Departemen Geofisika dan Meteorologi
#
Institut Pertanian Bogor
#************************************************************
#SST
'reinit'
'sdfopen d:\data\ersstmon1982_2011.nc'
#Klimatologi SST tahun 1982-2011
'set t 1 12 '
'define ersstclim = ave(ersstmon, t+0, t=360, 12)'
'modify ersstclim seasonal'
#************************************************************

21
#ZONAL
'sdfopen d:\data\umon1982_2011.nc'
#MERIDIONAL
'sdfopen d:\data\vmon1982_2011.nc'
#Klimatologi 1982 - 2011 angin zonal
'set t 1 12 '
'define winduclim = ave(umon.2, t+0,