Efisiensi Superovulasi Pada Sapi Melalui Sinkronisasi Gelombang Folikel Dan Ovulasi

(1)

EFISIENSI SUPEROVULASI PADA SAPI

MELALUI SINKRONISASI GELOMBANG

FOLIKEL DAN OVULASI

MAIDASWAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Efisiensi Superovulasi Pada Sapi Melalui Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Maidaswar Nrp 651030021


(3)

ABSTRACT

MAIDASWAR. Efficiency of Superovulation in Cattle Throught Synchronization of Follicular Wave and Ovulation. Under supervised by ARIEF BOEDIONO, M. AGUS SETIADI.

Reproductive biotechnology in cattle especially embryo transfer technology has been widely developed. In vivo embryo production from the donor improve the genetic of cattle. Superovulation methods in cattle were designed to obtain the huge number of embryos several. Experiments were carried out to observe the effect of gonadotrophin injection period and GnRH treatments on superovulated

response rate and embryo recovery. Studies were devided into two experiments: a). Injection of gonadotrophin (1000 IU FSH and 1000 IU LH) for 3, 4 and 5 days

(decreasing doses); b). Follicular wave synchronization (WaveSynch) was done by injection of GnRH (86 µg gonadorelin) at 2 days before FSH-LH injection; and combination of follicular wave synchronization followed by ovulation synchronization (Wave-OvSynch) by injection of GnRH at 2 days before FSH-LH (WaveSynch) followed by GnRH at 48 hours after PGF2α injection (OvSynch).

The number of corpus luteum (CL) were examined by rectal palpation on collecting embryo day. Results of the experiments indicated that FSH-LH injection for 4 days FSH-LH treatment tended to be better than 3 and 5 days, with the response rate were (60 % vs 40 % vs 60 %) respectively, average of CL per donor were ( 5.90 vs 2.70 vs 4.20) respectively and the number of embryo-oocytes recovery were (5.20 vs 2.50 vs 2.80) respectively. Superovulation response of WaveSynch treatment tended to be greater than control: response rate were (90 % vs 60 %) respectively, the average of CL were (17.22 vs 9.83) respectively, the average of embryo-oocytes recovery were (18.22 vs 8.67) respectively and the average of transferable embryo were (5.56 vs 4.67) respectively but statistically is not significant different (P>0.05). Number of transferable embryo of the Wave-OvSynch treatment tended to be greater than the WaveSynch treatment, however the number of CL, embryo oosit were higher in the WaveSynch treatment. The WaveSynch could be better to improve the response of superovulated cattle, however of unfertilized oocytes was also increase. The Wave-OvSynch could increase the response of superovulated cattle and decrease the number of unfertilized oocytes. According to breed, the application of the Wave-OvSynch treatment on beef cattle tended to be higher than dairy cattle in the superovulation response. In conclusion, the Wave-OvSynch could improve the in vivo embryo production and as choice for efficiency of the superovulation treatments.


(4)

RINGKASAN

MAIDASWAR. Efisiensi Superovulasi Pada Sapi Melalui Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi. Dibimbing oleh ARIEF BOEDIONO dan M. AGUS SETIADI.

Bioteknologi reproduksi pada sapi khususnya embrio transfer sudah sangat berkembang. Produksi embrio secara in vivo melalui superovulasi hewan donor merupakan salah satu cara yang tepat dalam mempercepat pembentukan bibit unggul. Ternak sapi memiliki potensi ratusan ribu oosit yang secara alami hanya dapat menghasilkan anak sekitar 6-8 ekor sepanjang hidupnya. Potensi oosit yang sangat banyak tersebut dapat dioptimalkan dengan bioteknologi reproduksi antara lain melalui superovulasi. Sampai saat ini, pelaksanaan superovulasi masih dihadapkan kendala antara lain: respon donor yang bervariasi dan hasil perolehan embrio belum maksimal, khususnya permasalahan tingkat kerusakan embrio (degeneratif) dan jumlah oosit yang tidak terbuahi (unfertilized) masih tinggi. Bertolak dari hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji tingkat respon ovarium dan perolehan embrio sapi pada berbagai metode superovulasi, agar didapatkan metode superovulasi yang tepat dan efisien.

Kajian superovulasi ini terdiri atas 2 penelitian yaitu a). Pengaruh pemberian gonadotropin (1000 IU FSH dan 1000 IU LH dalam dosis menurun) selama 3, 4 dan 5 hari yang dimulai pada hari ke-9 setelah estrus (Penelitian I), b). Pengaruh sinkronisasi gelombang folikel (SGF) melalui pemberian GnRH (86 µg gonadorelin) 2 hari sebelum superovulasi dan kombinasi SGF dengan sinkronisasi ovulasi (SGFO) melalui pemberian GnRH1 (86 µg gonadorelin) pada

2 hari sebelum superovulasi dan GnRH2 (86 µg gonadorelin) pada 48 jam setelah

pemberian PGF2α(Penelitian II). Hewan uji yang digunakan adalah sapi donor

perah (FH) non laktasi dan potong (Simmental dan Limousin).

Pengamatan dilakukan dengan melihat jumlah donor yang memberikan respon dan tidak respon berdasarkan jumlah CL pada ovarium, yang dievaluasi secara palpasi rektal dengan bantuan USG. Tingkat perolehan embrio diamati berdasarkan jumlah perolehan embrio dan oosit serta jumlah embrio yang layak dan tidak layak transfer, yang dikoleksi secara teknik non bedah menggunakan kateter Foley. Klasifikasi embrio layak transfer meliputi embrio grade A, B, dan C. Sedangkan yang termasuk embrio tidak layak transfer adalah embrio yang mengalami kerusakan (degeneratif) dan oosit yang tidak terbuahi (unfertilized). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisa sidik ragam (Anova), selanjutnya untuk mengetahui perbedaan nilai tengah antar perlakuan dilakukan uji Duncan. Untuk data nonparametrik seperti nilai respon dan tidak respon dari donor digunakan uji Kruskal Wallis.

Hasil penelitian pemberian FSH-LH selama 4 hari (8 kali penyuntikan) cenderung memberikan hasil lebih baik dibandingkan 3 dan 5 hari dengan prosentase donor yang respon (60 % vs 40 % vs 60 %) dan rata-rata CL ( 5.90 vs 2.70 vs 4.20), embrio-oosit (5.20 vs 2.50 vs 2.80), walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil pada perlakuan 4 hari ini dapat disebabkan karena: a) Pembagian dosis dalam proporsi yang optimal sesuai dengan waktu paruh FSH dan LH, b). Durasi 4 hari merupakan waktu optimal yang memungkinkan bertemu


(5)

awal gelombang folikel dengan pengaruh gonadotropin untuk perkembangan banyak folikel. Dari hasil ini, pemberian FSH-LH selama 4 hari cenderung memberikan hasil lebih baik dan efisien dalam waktu, tenaga, dana, serta penggunaan donor.

Perlakuan SGF cenderung memberikan hasil lebih baik dari perlakuan tanpa SGF (4 hari FSH-LH) dengan prosentase donor yang respon (90 % vs 60 %) dan rata-rata CL (17.22 vs 9.83), embrio-oosit (18.22 vs 8.67), embrio layak transfer (5.56 vs 4.67). Hal ini membuktikan bahwa metode SGF dengan pemberian GnRH mampu meningkatkan respon donor dan perolehan embrio. Namun pada SGF, didapatkan proporsi embrio layak transfer lebih rendah dibanding embrio tidak layak transfer (30.49 % vs 69.51 %). Embrio layak transfer yang tinggi pada SGF disebabkan oleh jumlah oosit yang tidak terbuahi cukup tinggi (10.00), demikian juga jumlah embrio yang mengalami degenerasi (2.67).

Perlakuan SGFO menunjukkan tingkat respon donor yang sama dengan perlakuan SGF (90 %) dan cenderung lebih tinggi dari kontrol (60 %). Perolehan embrio layak transfer SGFO cenderung lebih baik dari SGF dengan rata-rata (6.00 vs 5.56) dan prosentase (58.06 vs 30.49). Perlakuan SGFO menunjukkan peningkatan dalam perolehan embrio layak transfer dan penurunan jumlah embrio tidak layak transfer (terutama oosit yang tidak terbuahi), yang hal tersebut merupakan tujuan utama dari pengembangan metode superovulasi.

Perlakuan SGFO pada sapi potong memberikan hasil cenderung lebih tinggi dari sapi perah non laktasi dimana respon donor (100 % vs 80%) dengan rata-rata: CL (14.60 vs 11.25), embrio-oosit (12.20 vs 8.00) dan embrio layak transfer (7.40 vs 4.25) namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0.05). Prosentase embrio layak transfer pada sapi potong juga lebih tinggi daripada sapi perah non laktasi (60.66 % vs 53.12 %), dan hasil keduanya lebih tinggi dari prosentase embrio tidak layak transfer. Perbedaan hasil pada sapi potong dan sapi perah ini, dapat disebabkan karena perbedaan jenis dan ras serta faktor herediter yang secara fisologis mempengaruhi penampilan reproduksi karena dipengaruhi banyak gen.

Secara umum prinsip utama yang harus diperhatikan dalam aplikasi gonadotropin adalah ketepatan waktu aplikasi dengan awal munculnya gelombang folikel pada ovarium, karena folikel-folikel tersebut yang menjadi target stimulasi gonadotropin. Metode SGFO merupakan metode aplikatif yang bertitik tolak pada prinsip tersebut. Secara ekonomis dengan menambah sedikit input produksi pada SGFO, dapat meningkatkan respon donor dan perolehan embrio. Karena itu, metode SGFO disarankan dapat digunakan sebagai penyempurnaan metode superovulasi konvensional dalam meningkatkan produksi embrio secara in vivo, melalui efisiensi perlakuan superovulasi.

Kata kunci : superovulasi, gelombang folikel, ovulasi, corpus luteum, embrio.


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(7)

EFISIENSI SUPEROVULASI PADA SAPI

MELALUI SINKRONISASI GELOMBANG

FOLIKEL DAN OVULASI

MAIDASWAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(8)

Judul Tesis : Efisiensi Superovulasi Pada Sapi Melalui Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi

Nama : Maidaswar NRP : B 651030021 Program Studi : Biologi Reproduksi

Disetujui

Komisi Pembimbing

drh. Arief Boediono, Ph.D.

Diketahui

Tanggal Ujian : 29 Mei 2007 Tanggal Lulus: 2007 Dr. drh. M. Agus Setiadi

Ketua Anggota

Dekan Sekolah Pascasarjana Ketua Program Studi

Biologi Reproduksi

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S.


(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia, rahmat dan maghfirahNya sehingga tesis ini bisa selesai dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW atas suri tauladannya. Penelitian yang dilaksanakan di Balai Embrio Ternak Cipelang-Bogor ini berjudul Efisiensi Superovulasi Pada Sapi Melalui Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Komisi Pembimbing: drh. Arief Boediono, Ph.D. sebagai ketua komisi dan Dr. drh. M. Agus Setiadi sebagai anggota, yang telah banyak membimbing dan

mengarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.

2. Dr. drh. Tuty L.Yusuf, M.S., Dr. dra. R. Iis Arifiantini, MSi. yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat, juga Dr. drh. Iman Supriatna dan drh. R. Kurnia Achyadi, MS. atas konsultasi dan curahan ilmunya.

3. Dr. Drh. Sjamsul Bahri, M.S. Direktur Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian selaku pimpinan penulis yang berkenan menjadi penguji luar IPB demi kesempurnaan tesis dan pemanfaatannya.

4. Rekan-rekan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Pascasarjana Biologi Reproduksi (Wacana BIOREP) dan Forum Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Wacana IPB) yang senantiasa memberikan masukan.

5. Drh. Hasan Mardijono selaku Kepala Balai Embrio Ternak Cipelang-Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian dan rekan-rekan sekantor (drh. Nurwidayati, drh. M. Arifin Basyir, drh. Winarno, drh. Syamsul Fikar, drh. Bagyaningtyas, Ir. Sugiono, Ir. Tri Harsi MP., Ir. Slamet Supriyanto, MP., M. Imron Spt. MSi., Yude Maulana Yusuf Spt., Sugeng Riyanto, Laelatul Choiriyah, Ilyas Spt., Muslihudin, Agus Jamaludin, Spt., Parto Spt., yang turut memberikan dukungan dalam produksi embrio.

6. Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Pertanian Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Departemen Pertanian, yang telah memberikan kesempatan studi dan beasiswa kepada penulis.


(11)

7. Istri tercinta Fuji Mariati SP. dan anak-anak yang sangat menyejukkan hati Fathiyya Nisatudz Dzikra, Fadlan Rizqon Tsany, Aziz Muhammad Zhafran, Ahmad Zaid Al Fatih, yang menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi penulis.

8. Ayahanda Syafiruddin dan Ibunda Sitti Aisyah yang konsisten menanamkan embrio pencarian keesaan Allah SWT agar tetap istiqomah dijalanNya, atas dukungan dan doanya yang tak pernah henti, semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal. Demikian juga ucapan terima kasih kepada Bapakanda Muhamad Soleh dan Ibunda Markumi serta seluruh saudara-saudara atas pengertian, doa, dan perhatian yang senantiasa diberikan.

Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dimasa datang, terutama penerapan bioteknologi reproduksi embrio transfer dalam menunjang pembangunan peternakan di Indonesia.

Bogor, Mei 2007


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pasaman Sumatera Barat pada tanggal 19 Mei 1967 dari Ayah Syafiruddin dan Ibu Sitti Aisyah. Penulis merupakan putra ketujuh dari sembilan bersaudara.

Pada tahun 1986 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk Sikaping. Dengan izin Allah SWT pada tahun yang sama diterima pada Institut Pertanian Bogor melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan dan menyelesaikan Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1990, serta meraih gelar Dokter Hewan pada tahun 1991.

Setelah menggeluti dunia kajian lingkungan (AMDAL) dengan memperoleh sertifikasi AMDAL A dan B, serta profesi dokter hewan pada perusahaan obat-obatan, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil tahun 1994 pada Departemen Pertanian, tepatnya di Balai Embrio Ternak Cipelang-Bogor, institusi tempat penulis bekerja sampai sekarang.

Menikah pada tahun 1996 dengan Fuji Mariati, SP. dan dikaruniai empat orang anak masing-masing Fathiyya Nisatudz Dzikra, Fadlan Rizqon Tsany, Aziz Muhammad Zhafran dan Ahmad Zaid Al Fatih.

Pada bulan Maret sampai dengan September 1998, penulis berkesempatan mengikuti kursus “Feed Production and Utilization for Ruminant Animal” di Jepang atas biaya dari Japan International Corporation Agency (JICA). Pada saat yang sama penulis memanfaatkan banyak kesempatan dan aktif mempelajari teknologi embrio transfer di National Livestock Breeding Centre (NLBC) Fukushima Jepang.

Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, sebagai pegawai tugas belajar yang mendapat beasiswa dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Departemen Pertanian.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………..… xv

DAFTAR GAMBAR ………..…... xvi

PENDAHULUAN………..…… 1

Latar Belakang ……….……. 1

Kerangka Pemikiran……….….…. 2

Hipotesis ………..……. 4

Tujuan Penelitian ……….….… 4

Manfaat Penelitian ……….……... 4

TINJAUAN PUSTAKA ……….……... 6

Hormon dan Perannya dalam Dinamika Ovari ...……….….. 6

Gelombang Perkembangan Folikel ……….…... 9

Sinkronisasi Gelombang Folikel ……….……….…. 11

Superovulasi pada Sapi Donor ……….……. 12

Sinkronisasi Ovulasi pada Sapi Donor ………. ……….. 13

Pembentukan Corpus luteum ……… 14

MATERI DAN METODE ………..….. 17

Waktu dan Tempat Penelitian ……….…….. 17

Materi Penelitian………..………..……… 17

Metode Penelitian .………..……….. 17

Penelitian I. Respon Superovulasi dengan Pemberian Gonadotropin dengan lama waktu berbeda ………..…… 19


(14)

xiv

Penelitian II. Introduksi Sinkronisasi Gelombang Folikel (SGF) dan

kombinasi dengan Sinkronisasi Ovulasi (SGFO) …... 22

Parameter yang diamati …………..……….……….. 25

Evaluasi dan Klasifikasi Embrio... 26

Pengumpulan, Pengolahan dan Analisa Data ……… 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ………..……… 30

Respon Superovulasi dengan Pemberian Gonadotropin dengan lama waktu berbeda ………. 30

Introduksi Sinkronisasi Gelombang Folikel (SGF) dan kombinasi dengan Sinkronisasi Ovulasi (SGFO) ………. …... 34

Sinkronisasi Gelombang Folikel (SGF) ………. 34

Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi (SGFO) …………... 39 Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi (SGFO) pada Sapi Potong dan Perah Non Laktasi ... 42

SIMPULAN DAN SARAN …..……….… 46

Simpulan ...……….….. 46

Saran ……….…. 46

DAFTAR PUSTAKA ……….... 47


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Protokol Aplikasi Gonadotropin FSH-LH pada perlakuan selama

3 hari ……….. 19

2 Protokol Aplikasi Gonadotropin FSH-LH pada perlakuan selama

4 hari………... 20

3 Protokol Aplikasi Gonadotropin FSH-LH pada perlakuan selama

5 hari ……….. 20

4 Protokol Sinkronisasi Gelombang Folikel (SGF) sebelum aplikasi

Gonadotropin ……….. ………. 22

5 Protokol Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi (SGFO) ……….. 24 6 Klasifikasi embrio berdasarkan kualitas... 27 7 Respon superovulasi dengan pemberian FSH-LH selama 3, 4 dan

5 hari ………. 30

8 Respon superovulasi pada perlakuan kombinasi FSH-LH dengan dengan Sinkronisasi Gelombang Folikel (SGF) serta Sinkronisasi

Gelombang Folikel dan Ovulasi (SGFO) ………... 35 9 Respon superovulasi sapi potong dan sapi perah non laktasi pada

kombinasi FSH-LH dengan Sinkronisasi Gelombang Folikel dan


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Gelombang perkembangan folikel pada sapi ………. ……... 10

2 Respon Ovarium setelah perlakuan superovulasi ………... 16

3 Alur Proses Superovulasi dengan Model Penelitian ………... 18

4 Diagram Penelitian Pemberian FSH-LH selama 3, 4 dan 5 hari ... 21

5 Diagram Penelitian Sinkronisasi Gelombang Folikel (SGF) dan Sinkronisasi Gelombang Folikel-Ovulasi (SGF) …………... 23

6 Teknik panen embrio non bedah menggunakan kateter Foley ... 26


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian pertanian Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan penciptaan bibit unggul ternak, aplikasi bioteknologi reproduksi pada taraf rekayasa proses dan rekayasa genetik seperti MOET (Multiple Ovulations and Embryo Transfer), IVF (In vitro Fertilization), transfer inti (nuclear transfer) menjadi pilihan strategis yang tepat.

Setelah tiga dasawarsa aplikasi IB dan satu dasawarsa aplikasi TE di Indonesia, teknologi ini telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan populasi dan genetik ternak sapi Nasional, meskipun belum maksimal. Khususnya dalam aplikasi Transfer Embrio (TE) senantiasa dilakukan pengkajian dan penelitian untuk penyempurnaan di masa datang. Dalam kegiatan Transfer Embrio masih terus dikembangkan metode produksi embrio maupun transfer embrio untuk efisiensi produksi bibit unggul, khususnya pada sapi.

Ternak sapi secara alami hanya dapat menghasilkan anak sekitar 6-8 ekor sepanjang hidupnya, meskipun sebenarnya memiliki puluhan ribu potensi oosit. Toelihere (1985) menyebutkan bahwa dalam ovarium sapi terdapat sekitar 140.000 oosit sampai sapi mencapai umur empat sampai enam tahun dan kemudian jumlahnya menurun sampai 25.000 pada umur 10 sampai 14 tahun dan mendekati nol pada umur 20 tahun.

Potensi oosit sapi yang cukup banyak tersebut dapat dioptimalkan dengan introduksi bioteknologi reproduksi antara lain melalui superovulasi (SOV), sehingga sapi unggul dapat menghasilkan anak jauh lebih banyak semasa hidupnya. Superovulasi adalah upaya stimulasi perkembangan folikel dan induksi ovulasi ganda dengan penggunaan hormonal seperti gonadotropin.

Dalam pelaksanaannya sampai saat ini, proses produksi embrio melalui superovulasi pada sapi donor, masih menghadapi beberapa kendala antara lain: bervariasinya respon donor terhadap perlakuan superovulasi dan perolehan embrio yang belum maksimal. Demikian juga permasalahan tingginya tingkat


(18)

kerusakan embrio (degeneratif) dan jumlah oosit yang tidak terbuahi (unfertilized), merupakan fokus penting yang harus diatasi.

Masalah tersebut diatas, secara ekonomis akan meningkatkan biaya produksi per satuan embrio. Hal ini dapat menjadi kendala dalam penerapan teknologi transfer embrio, sehingga prospek agribisnis transfer embrio dapat terkendala. Disisi lain respon peternak cukup tinggi terhadap ternak hasil transfer embrio karena telah terbukti keunggulannya baik produksi susu (sapi perah) maupun bobot badan (sapi potong).

Dalam upaya meningkatkan efisiensi proses produksi embrio in vivo, maka dilakukan penyempurnaan dari metode superovulasi konvensional kepada metode superovulasi yang lebih maju melalui pengkajian terhadap: model aplikasi gonadotropin, sinkronisasi gelombang folikel melalui eliminasi folikel dominan, sinkronisasi ovulasi menyertai sinkronisasi gelombang folikel.

Kerangka Pemikiran

Pada proses produksi embrio secara in vivo, sapi donor merupakan “mesin produksi” yang sangat penting. Karena itu kondisi donor harus senantiasa prima dengan didukung oleh kesehatan dan nutrisi yang baik.

Pengenalan siklus ovari ternak donor secara cermat sangat menentukan keberhasilan kegiatan superovulasi untuk menghasilkan embrio. Pengenalan siklus ovari yang dimaksud meliputi pengenalan gelombang pertumbuhan folikel (dinamika folikel), deteksi keberadaan folikel dominan, deteksi keberadaan korpus luteum, pola ovulasi ganda dan deteksi birahi. Proses pertumbuhan folikel meliputi tahap rekrutmen folikel primordial, seleksi folikel dan terbentuk folikel dominan (Johnson & Everit 1995). Dengan pemahanan hal diatas maka dapat dilakukan aplikasi hormonal (GnRH dan atau gonadotropin) secara tepat untuk tujuan superovulasi dan sinkronisasi ovulasi agar respon ovarium dan perolehan embrio meningkat.

Pertumbuhan folikel pada sapi dapat terdiri dari 2 atau 3 gelombang (follicular waves). Superovulasi akan efektif jika dilakukan pada awal perkembangan folikel (saat muncul gelombang folikel) yang mempunyai sensitifitas terhadap hormon gonadotropin (Lucy et al. 1992; Rocha 2005;


(19)

Sato et al. 2005). Pada saat tersebut, sejumlah folikel dapat tumbuh sampai mencapai folikel dominan setelah distimulasi dengan hormon gonadotropin, dan akan lebih efektif jika terlebih dahulu disertai dengan penghilangan (eliminasi) folikel dominan. Dalam keadaan normal pada setiap gelombang folikel, ada sebuah folikel yang akan menjadi folikel dominan. Folikel dominan tersebut menghasilkan inhibin yang mempunyai efek menekan pertumbuhan folikel-folikel lain serta menghalangi kemunculan gelombang folikel. Dalam kegiatan superovulasi, dimana dikehendaki lebih banyak folikel yang berkembang, maka folikel dominan tersebut harus dieliminasi baik secara mekanis maupun hormonal, untuk selanjutnya diikuti kemunculan gelombang folikel, yang merupakan saat terbaik dimulai superovulasi untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Rocha 2005).

Dalam kegiatan superovulasi, penggunaan hormon gonadotropin eksogen berfungsi untuk meningkatkan stimulasi pertumbuhan folikel. Aplikasi gonadotropin yang tepat baik lama waktu, dosis, jenisnya akan mempengaruhi respon donor dan perolehan embrio. Waktu optimal aplikasi gonadotropin akan memberikan hasil yang maksimal, efisiensi waktu, tenaga, biaya dan penggunaan donor. Induksi gonadotropin menyebabkan sejumlah folikel akan berkembang menjadi dominan dalam waktu yang hampir bersamaan. Semua folikel dominan tersebut semestinya mengalami ovulasi dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Namun pada banyak donor ditemukan kegagalan ovulasi (anovulation) dari beberapa folikel–folikel dominan atau waktu ovulasi yang relatif tidak serentak (Putro 1996). Kegagalan ovulasi dan proses ovulasi yang tidak serentak dapat menurunkan jumlah dan kualitas embrio (Saito 1997).

Solusi dari permasalahan diatas, dalam penelitian ini disamping penggunaan hormon gonadotropin (FSH-LH) terutama untuk menstimulasi pertumbuhan folikel, juga dilakukan sinkronisasi gelombang folikel dan sinkronisasi ovulasi dengan pemberian GnRH. Demikian juga keberadaan korpus luteum (CL) yang menghasilkan progesteron dieliminasi dengan penyuntikan PGF2α, sehingga

dengan lisisnya CL akan terjadi penurunan kadar progesteron (Senger 1999). Dengan rendahnya kadar progesteron, maka mekanisme penghambatan


(20)

gonadotropin oleh progesteron akan dihilangkan, sehingga gonadotropin endogen dikeluarkan terutama pelepasan LH sebagai induktor ovulasi.

Hipotesis

Hipotesa terhadap hasil penelitian, adalah sebagai berikut :

1. Perbedaan lama aplikasi gonadotropin akan memberikan pengaruh terhadap tingkat respon ovarium dan perolehan embrio.

2. Sinkronisasi gelombang folikel akan mempengaruhi respon ovarium dan perolehan embrio pada perlakuan superovulasi.

3. Sinkronisasi ovulasi menyertai sinkronisasi gelombang folikel pada superovulasi akan lebih mempengaruhi jumlah perolehan embrio yang layak transfer.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji pengaruh lama aplikasi gonadotropin terhadap tingkat respon ovarium dan perolehan embrio.

2. Mengkaji pengaruh sinkronisasi gelombang folikel terhadap tingkat respon ovarium dan perolehan embrio.

3. Mengkaji pengaruh sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi terhadap jumlah perolehan embrio terutama embrio yang layak transfer.

Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan dan penyempurnaan dalam proses produksi embrio in vivo pada sapi donor khususnya di Balai Embrio Ternak Cipelang-Bogor dan umumnya di Indonesia.

2. Sebagai upaya menuju efisiensi produksi embrio in vivo dan efisiensi reproduksi ternak sapi donor.


(21)

3. Sebagai penyempurnaan aplikasi bioteknologi dalam terobosan percepatan produksi bibit unggul ternak, untuk mendorong peningkatan populasi ternak Nasional.


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Hormon dan Perannya dalam Dinamika Ovari

Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH). GnRH tidak secara

langsung mempengaruhi ovarium, tetapi hormon yang dihasilkan hipotalamus ini bekerja menstimulus sintesis dan pelepasan gonadotropin (FSH atau LH) dari hipofise anterior. Senger (1999) menyatakan hormon GnRH mengatur sekresi gonadotropin yang juga disebut LH/FSH releasing hormone (LH/FSH-RH).

GnRH telah digunakan secara luas sejak tahun 1970 an untuk mengatasi kejadian sistik folikel. Penggunaan pada donor untuk produksi embrio ditujukan untuk sinkronisasi gelombang folikel dan meningkatkan ovulasi. Preparat sintetis GnRH merupakan dekapeptida, dengan rantai 10 asam amino.

Pemberian GnRH selama siklus estrus menyebabkan regresi dan ovulasi folikel dominan dan inisiasi segera gelombang folikel baru pada 2.5 hari kemudian (Pursley et al. 1995). Pemberian GnRH diketahui akan menyebabkan ovulasi folikel dominan atau regresi folikel sampai atresia tergantung pada status folikel pada saat pemberian GnRH (Twaqiramungu et al. 1995). Penyuntikan GnRH akan dapat menginduksi pelepasan LH dan FSH dari hipofise anterior, yang efeknya tergantung kepada dosis GnRH yang digunakan. Penggunaan dosis GnRH yang tinggi dapat berpengaruh sebaliknya pada penurunan simpanan LH dan sensitivitasnya akibat menurunnya jumlah reseptor pada sel-sel pituitary, yang akhirnya menekan sekresi gonadotropin dari kelenjar hipofise (Ulker et al. 2001)

Twaqiramungu et al. (2002) menyarankan penggunaan GnRH setelah pemberian PGF2α untuk memastikan ovulasi folikel dominan. Lebih lanjut

dinyatakan pemberian GnRH pada 48 jam setelah pemberian PGF2αmeningkatkan

ovulasi dan diketahui waktu yang tepat untuk inseminasi buatan (24 jam kemudian). Pemberian GnRH sebelum superovulasi, menginduksi pelepasan LH dan ovulasi atau luteinisasi folikel dominan yang ada, selanjutnya akan terjadi gelombang folikel yang baru dalam 2 hari. Pemberian PGF2α untuk menginduksi

regresi CL yang asli dan CL yang terbentuk hasil induksi GnRH. Penyuntikkan GnRH yang kedua berguna untuk meningkatkan induksi sinkronisasi ovulasi.


(23)

Pentingnya pemberian GnRH kedua telah ditunjukkan dengan tingkat ovulasi yang lebih tinggi pada sapi yaitu 99 % dibandingkan dengan satu kali pemberian GnRH yang hanya 77 % (Bergfelt et al.1997).

Twaqiramungu et al. (1995) menyatakan bahwa aplikasi GnRH eksogenous pada proses produksi embrio ada dua bentuk: pertama: aplikasi sebelum superovulasi dengan tujuan untuk sinkronisasi gelombang folikel, melalui eliminasi folikel dominan. Awal gelombang folikel terjadi 3-4 hari setelah penyuntikan GnRH, yang sangat penting artinya dalam sinkronisasi antar individu. Penggunaan GnRH untuk sinkronisasi gelombang folikel dilakukan Martinez et al. (2000) pada sapi perah, Moghaddam et al. (2002) pada sapi perah dan potong, Fernandez et al. (2002) pada sapi perah induk dan dara. Aplikasi kedua GnRH bertujuan untuk sinkronisasi ovulasi, diberikan 48 jam setelah pemberian PGF2α atau 12 jam sebelum IB (Sato et al. 2005) atau saat

pelaksanaan IB (Ptaszynka 2002), yang akan meningkatkan pelepasan LH sebagai induktor ovulasi. Aplikasi GnRH untuk tujuan sinkronisasi ovulasi telah banyak dilakukan antara lain oleh Barros et al. (2000) pada sapi potong, Caravalho et al. (2002) pada kerbau, Dominiguez et al. (2000) pada sapi potong, Irikura et al. (2002) pada kerbau. Penggunaan GnRH untuk sinkronisasi gelombang folikel (diawali ovulasi folikel dominan) dan sinkronisasi ovulasi sangat penting artinya dalam meningkatkan efisiensi reproduksi ternak (Rajamahendran 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa superovulasi pada saat ada folikel dominan memberikan respon yang sangat bervariasi, bahkan tidak menimbulkan respon.

Berbagai macam GnRH sintetik sering digunakan dalam penelitian. Martinez et al. (2003) membuktikan bahwa penggunaan gonadorelin diacetate tetrahydrate, gonadorelin hydrochloride dapat meningkatkan pelepasan LH untuk menginduksi ovulasi folikel dominan dan segera terjadi gelombang folikel baru.

Peter (2005) menyatakan bahwa GnRH dapat digunakan untuk mencegah kematian embrio, pengaturan program sinkronisasi perkembangan folikel, induksi ovulasi pada anestrus setelah partus, dan penanggulangan sistik ovari. Lebih lanjut dinyatakan GnRH efektif dalam meningkatkan angka kebuntingan, jika diberikan pada saat inseminasi atau antara hari ke 11 dan 14 setelah inseminasi.


(24)

Folicle Stimulating Hormone (FSH) - Luteinizing Hormone (LH).

Toelihere (1985) menyatakan bahwa hormon utama yang digunakan pada superovulasi adalah hormon gonadotropin, yaitu FSH dan LH. FSH merupakan hormon gonadotropin dengan unsur glikopeptida yang memiliki reseptor pada sel granulosa folikel, berfungsi menstimulasi pertumbuhan folikel, sehingga sangat diperlukan dalam proses superovulasi. FSH mempunyai berat molekul 32.700 sampai 33.700 kDa pada ternak kambing dan kuda (Kaltenbach & Dunn 1980 dalam Yusuf 1990) dan 29.000 kDa pada babi.

Secara kimiawi FSH mempunyai dua sub unit, rantai α dan rantai β, yang tidak identik dan tidak terdapat ikatan kovalen diantara keduanya. Rantai β terdiri dari 96 asam amino dan dua rantai karbohidrat, sedangkan rantai α terdiri dari 119 asam amino dan satu rantai karbohidrat ( Kaltenbach & Dunn 1980 dalam Yusuf 1990). Salah satu preparat gonadotropin yang dapat digunakan dalam superovulasi yaitu Pluset® (Laboratorios Callier, S.A., Spain) yang merupakan ekstraksi hipofise, dimana setiap dosis mengandung 1000 IU FSH dan 1000 IU LH (Anonim 2002). Hormon gonadotropin ini disusun oleh sub unit α dan sub unit β (BM 27.000 – 34.000 kDa). Lebih lanjut dinyatakan bahwa aplikasi FSH-LH tersebut pada ternak sapi, menunjukkan waktu paruh dari FSH adalah 150 menit dan LH selama 40 menit. LH berfungsi sebagai induksi proses ovulasi, pematangan akhir folikel dan proses luteinisasi. Pemberian LH harus dalam kadar yang optimal, karena kelebihan LH dapat menurunkan angka fertilitas disebabkan proses pematangan oosit yang prematur (Donaldson & Ward 1996).

Progesteron, Estrogen dan Prostaglandin 2 Alpha. Johnson dan Everit (1995), menyatakan tingginya konsentrasi progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum pada fase luteal secara alami menghambat terjadinya ovulasi folikel dominan, sehingga akhirnya folikel tersebut mengalami atresia. Menurut Senger (1999) ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi dimana kadar progesteron dominan, kondisi hormonal yang sesuai untuk perkembangan akhir folikel akan nyata setelah luteolisis (tanpa CL) dan menurunnya kadar progesteron. Pada superovulasi, ovulasi beberapa folikel de Graaf juga diinduksi oleh penurunan


(25)

progesteron akibat lisis korpus luteum oleh aplikasi hormon PGF2α. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa mekanisme alami stimulasi aktivitas PGF2α endogen diawali

oleh sekresi oxytocin oleh korpus luteum dengan reseptor yang sudah terbentuk pada dinding uterus. Respon selanjutnya uterus mensekresi PGF2α ke dalam

pembuluh darah sampai mencapai reseptornya di sel luteal besar dari korpus luteum. Mekanisme kerja dari PGF2α ada dua cara yaitu: melalui mekanisme

apoptosis dari sel luteal dan mekanisme aktivasi protein kinase (PKC) yang menghambat konversi kolesterol menjadi progesteron.

Estrogen merupakan hormon steroid yang terdapat dalam cairan folikel. Kegagalan ovulasi menimbulkan tingginya kadar estrogen dalam darah, keberadaannya pada saat pertumbuhan embrio akan berefek menurunkan kualitas embrio (Saito 1997).

Gelombang Perkembangan Folikel

Perkembangan folikel di dalam ovarium merupakan proses yang berkesinambungan dan tidak hanya melibatkan satu folikel selama siklus, tetapi sekelompok folikel sehingga dianalogikan sebagai gelombang folikel (Bo et al. 1995: Senger 1999). Gelombang folikel didefinisikan sebagai perkembangan folikel dengan diameter 4 sampai 5 mm dalam jumlah besar secara serentak, diikuti dengan mekanisme seleksi, perkembangan menjadi folikel dominan dan penekanan/supresi terhadap perkembangan folikel subordinat.

Dalam satu siklus estrus yang normal pada sapi terdapat 2 atau 3 gelombang pertumbuhan folikel (Lucy et al. 1992; Rajamahendran 2002). Menurut Ooe et al. (1997) pada tipe dua gelombang, gelombang terjadi umumnya pada satu hari setelah estrus ( D1) dan hari ke-10 (D10), sedangkan pada tipe 3 gelombang ,

gelombang terjadi pada hari ke-1(D1), hari ke-8 (D8) dan hari ke-15 (D15).

Sedangkan menurut Ginther et al. (1989) gelombang folikel terdeteksi pada hari estrus (Do) dan hari ke-10 (D10) pada tipe dua gelombang dan pada hari estrus (Do), hari ke-9 (D9), serta ke-16 (D16) pada tipe tiga gelombang. Lucy et al. (1992) menyatakan bahwa dari semua awal gelombang folikel tersebut, gelombang folikel kedua merupakan gelombang yang lebih sensitif terhadap hormon gonadotropin (Gambar 1). Gelombang folikel ini sangat penting artinya


(26)

Gelombang

GelombangPerkembanganPerkembanganFolikelFolikel

ovulation R R R R R R R R R R R R R R R R R R S S S S S S S S S S S S S S S S D D D D A A A A A A A A A A A A A A A A A Diestrus Estrus 0

Gambar 1 Gelombang perkembangan folikel pada sapi. A.Tipe 2 gelombang; B. Tipe 3 gelombang (modifikasi dari Lucy et al. 1992; Ginther et al. 1989).

dalam penentuan waktu yang tepat untuk memulai superovulasi sapi donor. Apabila superovulasi dimulai pada awal gelombang folikel, maka keberhasilan akan lebih tinggi. Disisi lain pada hari keenam siklus estrus, dari kedua tipe gelombang folikel tersebut hampir selalu mempunyai sebuah folikel dominan

10 1 10 18 20

ovulation Luteolisis Progesteron DD Proestrus A Gelombang

GelombangPerkembanganPerkembanganFolikelFolikel

ovulation R R R R R R R R R R R R R R R R R R S S S S S S S S S S S S S S S S D D D D D A A A A A A A A A A A A A A A A A A Diestrus Estrus

0 10 1 8 9 15 16 20 22 Proestrus


(27)

yang berdiameter lebih dari 8 mm (Sato et al. 2005). Keberadaan folikel dominan menurunkan respon superovulasi karena inhibin dan estradiol yang dihasilkan menghambat perkembangan folikel lain (subordinat) melalui mekanisme umpan balik negatif terhadap FSH di hipofise anterior (Rajamahendran 2002). Juga keberadaan sebuah folikel dominan tersebut menghalangi munculnya gelombang folikel berikutnya (Adam et al. 1994).

Sinkronisasi Gelombang Folikel

Sinkronisasi gelombang folikel merupakan upaya penyerentakan terjadinya awal gelombang gelombang folikel, yang dapat terjadi setelah penghilangan folikel dominan baik secara hormonal maupun secara mekanis/aspirasi. Pada prinsipnya merupakan penghilangan efek penekanan dari folikel dominan sehingga dapat memunculkan gelombang folikel baru (Bo et al. 1995). Pemberian GnRH atau aspirasi folikel 2 hari sebelum superovulasi terbukti dapat meningkatkan respon ovulasi (Kohram et al. 1998). Sato et al. (2005) menyatakan bahwa penyuntikan GnRH dapat menginduksi ovulasi dan kemudian menstimulasi peningkatan FSH endogen selanjutnya gelombang folikel terjadi dalam waktu yang tepat tanpa variasi waktu pada semua sapi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penyuntikan 25 μg GnRH pada hari ke-6 siklus estrus, (2.5 hari sebelum superovulasi) menghasilkan embrio layak transfer yang lebih tinggi dibanding perlakuan 50 dan 100 μg GnRH. Ablasi (penghilangan) folikel dominan sebelum superovulasi terbukti dapat meningkatkan perolehan total embrio dan embrio yang layak transfer pada sapi perah produksi susu tinggi (Amiridis et al. 2006). Bo et al. (1995) melakukan aspirasi semua folikel yang berdiameter lebih atau sama dengan 5 mm, sebagai sebuah metode ablasi folikel untuk menginduksi sinkronisasi gelombang folikel dan sinkronisasi ovulasi. Hasilnya adalah sebuah gelombang folikel baru muncul pada 1.5 hari kemudian, dan setelah pemberian PGF2α terdeteksi ovulasi yang serentak. Ablasi folikel transvaginal dengan

bantuan USG merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat dalam sinkronisasi gelombang folikel dalam kegiatan superovulasi. Untuk tujuan sinkronisasi gelombang folikel, Kanitz et al. (2006) melaporkan pemberian GnRH pada hari 14 atau 16 atau 18 siklus estrus, dari 27 ekor sapi perah dara ,


(28)

22 ekor diantaranya (81.5 %) mengalami ovulasi antara 27 sampai 33 jam setelah pemberian GnRH.

Mengenai kapan munculnya gelombang folikel setelah mendapat perlakuan, ada beberapa pendapat yaitu 3-4 hari setelah pemberian GnRH (Twaqiramungu et al. 1995); 2-4 hari setelah pemberian GnRH (Pursley et al. 1995); 1.5 hari setelah aspirasi folikel dan 3-6 hari setelah pemberian Progesteron implant-Estradiol 17β (Bo et al.1995). Sebuah folikel dominan akan terbentuk dalam 2 hari setelah munculnya gelombang folikel (Ginther et al. 1996) atau dalam 3-4 hari setelah aplikasi GnRH (Bo et al. 1995). Folikel dominan baru tersebut berkembang menjadi folikel ovulatory setelah proses luteolisis yang diinduksi dengan PGF2α.

Superovulasi pada Sapi Donor

Ovulasi adalah pecahnya folikel de Graaf dan keluarnya ovum bersama sel-sel yang menyelubunginya dan sedikit cairan folikel yang terjadi akibat rangsangan hormon LH (Hafez & Hafez 2000). Secara normal pada sapi, ovulasi terjadi pada akhir fase estrus yaitu sekitar 12-18 jam sesudah akhir estrus (Jemmeson 2006) atau 30 jam setelah onset estrus (Whittier & Geary 2007). Secara alami jumlah oosit yang diovulasikan pada satu kali ovulasi pada sapi adalah satu oosit (Toelihere 1985). Umumnya hanya folikel dominan yang akan ovulasi pada akhir siklus estrus meskipun rekruitmen pada gelombang folikel terjadi beberapa kali dalam satu siklus (Setiadi et al. 2005). Secara normal, ovulasi dapat terjadi pada setiap situs di permukaan ovarium kecuali pada hilus (Senger 1999).

Superovulasi pada sapi bertujuan untuk mendapatkan sejumlah besar embrio yang dapat ditransfer dengan kemungkinan tinggi menghasilkan kebuntingan (Mapletoft & Pierson 1993). Unsur utama pada superovulasi adalah pemberian hormon gonadotropin yang dimulai pada hari ke-9 dari siklus birahi untuk sapi dengan panjang siklus birahi 21-23 hari dan pada hari ke-10 untuk sapi dengan panjang siklus birahi 18-20 hari (Dielleman & Bevers 1993). Sato et al. (2005) melaporkan superovulasi dapat dilakukan antara hari ke 8 dan hari ke 12 siklus estrus atau 2.5 hari setelah pemberian GnRH. Lebih lanjut dinyatakan bahwa respon donor dapat meningkat ketika superovulasi dilakukan pada waktu


(29)

gelombang folikel terjadi atau tanpa keberadaan folikel dominan. Demikian juga Setiadi et al. (2005) menyatakan bahwa aplikasi hormon gonadotropin pada saat muncul gelombang folikel dapat meningkatkan respon superovulasi. Beragam variasi dari respon ovarium terhadap perlakuan superovulasi pada sapi berkaitan erat dengan beragamnya status perkembangan folikel pada saat perlakuan (Bo et al. 1995; Rajamahendran 2002; Sato et al. 2005). Respon ovarium lebih rendah apabila superovulasi dilakukan pada saat kehadiran sebuah folikel dominan karena adanya inhibin, sebaliknya respon lebih tinggi jika dilakukan saat keberadaan sejumlah besar folikel-folikel kecil (Romero et al. 1991; Sato et al. 2005). Respon untuk ovulasi terhadap pemberian gonadotropin pada satu hari sebelum atau pada hari munculnya gelombang folikel, lebih tinggi dari perlakuan pada satu atau dua hari setelah munculnya gelombang folikel (Bo et al. 1995).

Colenbrander (2004) menyatakan bahwa secara umum periode superovulasi pada sapi terdiri dari 2 periode perkembangan oosit sampai embrio. Pertama, periode folikel yang berlangsung 5-6 hari, dimulai sejak pemberian gonadotropin pada fase luteal sampai dengan ovulasi. Kedua, periode intraoviduk dan intra uterin, berlangsung 6-7 hari, mulai saat fertilisasi, perkembangan embrio sampai embrio siap dikoleksi.

Sebelum pelaksanaan superovulasi pada ternak donor, salah satu pertimbangan yang utama adalah pengenalan siklus estrus, pemeriksaan ovarium (deteksi awal gelombang folikel, deteksi dan penghilangan folikel dominan, deteksi korpus luteum). Menurut Hafez dan Hafez (2000) pemeriksaan kondisi ovarium secara klinis dapat dilakukan dengan cara palpasi rektal dan menggunakan ultrasonografi.

Sinkronisasi Ovulasi pada Sapi Donor

Sinkronisasi ovulasi merupakan upaya penyerentakan pelepasan oosit (ovulasi) dari folikel de Graaf. Pada sapi donor sangat dibutuhkan ovulasi serentak agar dari sekian banyak oosit yang diovulasikan, kesemuanya dapat terfertilisasi dalam waktu yang relatif bersamaan, sehingga dapat diperoleh embrio dalam tahap perkembangan yang sama. Melalui sinkronisasi ovulasi, perolehan embrio berkualitas baik/layak transfer kemungkinan meningkat, dan


(30)

embrio yang tidak layak transfer (degenerasi) serta oosit tidak terbuahi menurun (Saito, 1995). Sinkronisasi ovulasi telah demikian berkembang, dengan berbagai macam protokol dan metode yang dilakukan. Dejarnette dan Marshall (2003) menyatakan bahwa sinkronisasi ovulasi pada sapi perah laktasi menggunakan GnRH pada 48 jam setelah pemberian PGF2α atau 12 jam sebelum pelaksanaan

inseminasi terbukti meningkatkan konsepsi. Sedang Kanitz et al. (2006) melaporkan pemberian PGF2α diikuti GnRH 48 jam kemudian, menyebabkan

81.5 % sapi dara mengalami ovulasi rata-rata 24.4 jam setelah perlakuan GnRH. Pemberian GnRH setelah gonadotropin pada kegiatan superovulasi dapat menghasilkan ovulasi yang serentak, kepastian waktu IB yang tepat tanpa menurunkan jumlah perolehan embrio yang berkualitas (Bo et al. 2006). Pentingnya GnRH untuk sinkronisasi ovulasi pada sapi dibuktikan dengan angka ovulasi yang tinggi yaitu 99 % (Bergfelt et al. 1997).

Pembentukan Corpus Luteum

Setelah terjadi ovulasi maka pada situs pelepasan oosit akan terbentuk Corpus Luteum (CL). Selama awal fase luteal (metestrus), CL dibentuk dari sel-sel luteal. Pada pertengahan fase luteal (diestrus) sel-sel-sel-sel luteal menghasilkan sejumlah besar progesteron. Selama akhir fase luteal, CL dilisiskan oleh PGF2α

yang dihasilkan oleh endometrium uterus. Lisis CL diikuti dengan penurunan kadar progesteron, sehingga mekanisme umpan balik negatif progesteron pada hypotalamus hilang, mengakibatkan peningkatan GnRH yang menandakan dimulai fase folikular. Ukuran CL pada hari ke 3 - 5 mulai meningkat ukurannya sampai maksimal disertai dengan peningkatan produksi progesteron sampai kadar maksimal sekitar hari ke-10 (Senger 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa CL tersusun atas sel-sel luteal yang berperan menghasilkan progesteron. Konsitensi/ kekenyalan badan CL sangat ditentukan oleh jumlah sel-sel luteal dan vaskuralisasi darah kebagian tersebut. Demikian juga kemampuan CL memproduksi progesteron tergantung pada tingkat vaskularisasi pada lapisan seluler. Fungsi CL yang rendah (sintesa dan sekresi progesteron sedikit) diyakini akan menjadi penyebab penting kegagalan reproduksi, ketidakmampuan uterus dalam mendukung perkembangan embrio dini (Amiridis et al. 2006).


(31)

Pada sapi CL dapat diperiksa secara palpasi rektal. Namun status fungsional CL sulit dikenali secara palpasi rektal sebab ukuran CL tidak selalu berkaitan dengan kemampuannya memproduksi progesteron. Secara palpasi, umumnya CL yang fungsional akan teraba karena menonjol pada permukaan ovarium. Namun tidak semua badan CL selalu muncul dengan jelas pada permukaan ovarium, kadangkala pada CL yang telah mencapai ukuran maksimal dan fungsional namun sedikit bagian yang muncul. Hal ini penting diperhatikan apabila akan menilai keberadaan dan status fungsional CL. Stabenfeld dan Edqvist (1984) dalam Yusuf (1990) menyatakan bahwa ukuran CL mencapai maksimum pada hari ke tujuh sampai ke sembilan dari siklus estrus.

Dalam satu siklus estrus, CL harus mengalami lisis agar fase folikular dimulai. Ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi dimana kadar progesteron dominan (Senger 1999). Luteolisis berarti disintengrasi atau dekomposisi dari CL, yang terjadi 2-3 hari pada akhir fase luteal. Ada dua hormon yang berperan penting dalam lisis CL yaitu oxytocin yang dihasilkan CL dan hormon PGF2α

yang dihasilkan endometrium uterus.

Pada sinkronisasi gelombang folikel, terutama dengan menggunakan GnRH pada hari ke 6-7 siklus estrus, sebuah CL baru dapat terbentuk setelah terjadi ovulasi folikel dominan, sehingga terdapat dua CL pada saat bersamaan (Jemmeson 2006; Whittier & Geary 2007). Pada kegiatan superovulasi, dimana terjadi ovulasi sel telur dalam jumlah banyak, maka secara siklus pada bekas ovulasi akan terbentuk CL dalam jumlah yang sama. Secara morfologi, ovarium menjadi berukuran lebih besar dari normal dengan permukaan dipenuhi CL (Gambar 2), yang dapat terdeteksi dengan jelas secara palpasi atau dengan pemeriksaan menggunakan USG.


(32)

F JO

CL

Gambar 2 Respon ovarium yang setelah perlakuan superovulasi. Pembentukan CL yang cukup signifikan sebagai indikator respon. CL: corpus luteum, F: folikel, JO: jaringan ovarium (sumber foto: BET Cipelang)


(33)

MATERI DAN METODA

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April 2005 sampai dengan Januari 2006 bertempat di Laboratorium Produksi Embrio Balai Embrio Ternak Cipelang-Bogor- Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian.

Materi Penelitian

Materi penelitian terdiri dari lima puluh (50) ekor sapi donor yaitu perah non laktasi FH (Frissien Holstein) dan potong (Simmental dan Limousin) yang berumur antara 3 sampai 7 tahun, telah pernah beranak, rata-rata telah 3 kali dilakukan superovulasi dengan respon baik untuk produksi embrio, nilai BCS 3.0–4.0, kesehatan yang baik dan diberikan pakan yang sesuai standar donor, dipelihara dalam kandang pada manajemen dan lingkungan yang sama.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap. Penelitian I bertujuan untuk membandingkan pengaruh lama pemberian (3, 4 dan 5 hari) gonadotropin terhadap respon ovarium dan jumlah perolehan embrio. Penelitian II untuk melihat pengaruh sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dan kombinasi dengan sinkronisasi ovulasi (SGFO) terhadap respon ovarium dan jumlah perolehan embrio. Pada penelitian II, lama waktu superovulasi yang dipakai adalah waktu terbaik yang diperoleh dari penelitian I. Berikut ini diuraikan secara lengkap masing-masing langkah penelitian yang meliputi alur proses superovulasi (Gambar 3) disertai jenis perlakuan, rincian dosis gonadotropin, GnRH dan prostaglandin yang digunakan (1 sampai 5), serta diagram masing-masing penelitian kegiatan (Gambar 4 dan 5).


(34)

PENYIAPAN DONOR

ESTRUS

PENGECEKAN REPRODUKSI

SINKRONISASI GELOMBANG FOLIKEL

Gambar 3 Alur proses superovulasi dengan model penelitian

INJEKSI GONADOTRPOIN

INSEMINASI

PANEN EMBRIO (FLUSHING)

EVALUASI EMBRIO SINKRONISASI

OVULASI PGF2α

Evaluasi CL

= SOV konvensional

= SGF


(35)

Penelitian I: Respon superovulasi dengan pemberian gonadotropin dengan lama waktu berbeda.

Tiga puluh (30) ekor sapi (perah dan potong) dibagi menjadi 3 grup perlakuan yang mana kesemuanya pada hari ke 9 setelah estrus diberi perlakuan superovulasi dua kali sehari dosis menurun dengan gonadotropin (1000 IU FSH dan 1000 IU LH, Pluset ®, Laboratorios Callier, S.A., Spain): a) selama 3 hari (grup 1, n = 10) dalam 6 kali injeksi, b) selama 4 hari (grup 2, n = 10) dalam 8 kali injeksi dan c) selama 5 hari (grup 3, n = 10) dalam 10 kali injeksi. Pada hari ke 11 sore dan 12 pagi diberikan PGF2α masing-masing 25 mg (dinoprost

tromethamine; LutalyseTM , Pharmacia, NV., Belgium). Semua sapi dilakukan inseminasi buatan pada 12, 24, 36 jam setelah awal estrus atau sekitar 60, 72, 84 jam setelah penyuntikan PGF2α pertama. Pemanenan embrio dilakukan pada hari

ke 7 setelah inseminasi pertama (kira-kira hari ke-20/21 setelah estrus). Secara rinci waktu dan pembagian dosis aplikasi gonadotropin FSH-LH dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Protokol aplikasi gonadotropin (1000 IU FSH-1000 IU LH) pada perlakuan selama 3 hari

Hari ke- Perlakuan Superovulasi

0 estrus

9 pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH) sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH) 10 pagi 3.5 ml i.m. (175 iu FSH + 175 LH)

sore 3.5 ml i.m. (175 iu FSH + 175 LH) 11

pagi 2.5 ml i.m. (125 iu FSH + 125 LH)

sore 2.5 ml im(125 iu FSH + 125 LH) +25 mg dinoprost

tromethamin (PGF2α)

12 pagi, penyuntikan 25 mg dinoprost tromethamin (PGF2α)

13 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus) 14 IB pagi dan sore

15 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus) 20/21 panen embrio


(36)

Tabel 2 Protokol aplikasi gonadotropin (1000 IU FSH-1000 IU LH) pada perlakuan selama 4 hari

Hari ke- Perlakuan Superovulasi

0 estrus

9 pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH) sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH) 10 pagi 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH) sore 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH) 11

pagi 2ml i.m. (100 iu FSH + 100 LH)

sore 2ml im (100 iu FSH + 100 LH) + 25 mg dinoprost

tromethamin (PGF2α)

12

pagi 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) + 25 mg dinoprost

tromethamin (PGF2α)

sore 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) 13 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus) 14 IB pagi dan sore

15 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus) 20/21 panen embrio

Tabel 3 Protokol aplikasi gonadotropin (1000 IU FSH-1000 IU LH) pada perlakuan selama 5 hari

Hari ke- Perlakuan Superovulasi

0 estrus

9 pagi 3ml im (150 iu FSH + 150 LH) sore 3ml im (150 iu FSH + 150 LH) 10 pagi 2.5ml im (125 iu FSH + 125 LH)

sore 2.5ml im (125 iu FSH + 125 LH) 11

pagi 2ml im (100 iu FSH + 100 LH)

sore 2ml im (100 iu FSH + 100 LH) + 25 mg dinoprost

tromethamin (PGF2α)

12

pagi 1.5 ml im (75 iu FSH + 75 LH) + 25 mg dinoprost

tromethamin (PGF2α)

sore 1.5 ml im (75 iu FSH + 75 LH) 13 pagi 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) sore 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) 14 IB pagi dan sore

15 IB pagi 21 panen embrio


(37)

(38)

PENELITIAN I

PGF2α (25 mg dinoprost tromethamin) 2 kali

a. 3 Hari Gonadotropin ¾¾

ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂÂ

FSH-LH 6 x dosis menurun IB 3 x

0 1 2 3 4 5 6 7 8

9 1 0 1 1

12 13

1 4 1 5

16 17 18 19 20 21

¾ ¾ ¾

Estrus Panen

embrio, evaluasi CL PGF2α(25 mg dinoprost tromethamin) 2 kali

a. 4 Hari Gonadotropin ¾¾

ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂÂ FSH-LH 8 x dosis menurun IB 3x

0 1 2 3 4 5 6 7 8

9 1 0 1 1 1 2

13

1 4 1 5

16 17 18 19 20 21

¾ ¾ ¾

Estrus

PGF2α (25 mg dinoprost tromethamin) 2 kali Panen embrio, evaluasi CL a. 5 Hari Gonadotropin ¾¾

ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂÂ

FSH-LH 10 x dosis menurun IB 3x

0 1 2 3 4 5 6 7 8

9 1 0 1 1 1 2 1 3

1 4 1 5

16 17 18 19 20 21

¾ ¾ ¾

Panen

embrio, evaluasi CL Estrus


(39)

Penelitian II : Introduksi sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dan kombinasi dengan sinkronisasi ovulasi (SGFO).

Sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dengan GnRH

Sepuluh (10) ekor sapi (perah-potong) pada hari ke 7 setelah estrus diberi GnRH (86 µg gonadorelin, Fertagyl®, Intervet Inc.Millsboro, Holland). Selanjutnya pada hari ke 9 dilakukan superovulasi dengan gonadotropin (1000 IU FSH dan 1000 IU LH, Laboratorios Callier, S.A., Spain) dua kali sehari selama 4 hari dalam 8 dosis menurun. Pemberian PGF2α, inseminasi buatan, pemanenan

embrio dilakukan sama seperti pada penelitian I. Tujuan dari perlakuan ini adalah untuk sinkronisasi gelombang folikel sebelum superovulasi. Secara rinci waktu dan pembagian dosis aplikasi gonadotropin FSH-LH dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 4 Protokol sinkronisasi gelombang folikel sebelum aplikasi gonadotropin 1000 IU FSH-1000 IU LH)

Hari ke- Perlakuan Superovulasi

0 estrus

7 Penyuntikan GnRH (86 μg gonadorelin) 9 pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)

sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH) 10 pagi 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH) sore 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH)

11

pagi 2ml i.m. (100 iu FSH + 100 LH)

sore 2ml im (100 iu FSH + 100 LH) + 25 mg dinoprost

tromethamin (PGF2α)

12

pagi 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) + 25 mg dinoprost

tromethamin (PGF2α)

sore 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) 13 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus) 14 IB pagi dan sore

15 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus) 20/21 panen embrio


(40)

(41)

PENELITIAN II

Sinkronisasi gelombang folikel (SGF)

PGF2α (25 mg dinoprost tromethamin) 2 kali ¾¾

ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂÂ

GnRH (86 μg gonadorelin)

¾ FSH-LH 8 x dosis menurun IB 3x

0 1 2 3 4 5 6

7

8

9 1 0 1 1 1 2

13

1 4 1 5

16 17 18 19 20 21

¾ ¾ ¾

Panen Embrio, evaluasi CL

Estrus

Sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi (SGFO)

PGF2α (25 mg dinoprost tromethamin) 2 kali ¾¾

ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂÂ

GnRH (86 μg gonadorelin)

¾ FSH-LH 8 x dosis menurun IB 3x

0 1 2 3 4 5 6

7

8

9 1 0 1 1 1 2

1 3

1 4 1 5

16 17 18 19 20 21

¾ ¾ ¾ ¾ Estrus

Gambar 5 Diagram penelitian sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dan kombinasi dengan sinkronisasi ovulasi (SGFO) Panen

Embrio, evaluasiCL

GnRH (86 μg gonadorelin)

Estrus


(42)

Sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi (SGFO) dengan GnRH.

Pada penelitian ini, perlakuan seperti pada SGF ditambah dengan kombinasi pemberian GnRH pada hari ke 13 setelah estrus atau 40-48 jam setelah PGF2α

pertama. Lebih rinci adalah sebagai berikut: sepuluh (10) ekor sapi (perah-potong) pada hari ke 7 setelah estrus diberi GnRH (86 µg gonadorelin, Intervet Inc.Millsboro, Holland). Pada hari ke 9 dilakukan superovulasi dengan gonadotropin (1000 IU FSH dan 1000 IU LH,Laboratorios Callier, S.A., Spain) dua kali sehari selama 4 hari dengan dosis menurun. Pemberian PGF2α,

inseminasi buatan, pemanenan embrio dilakukan sama seperti pada SGF. Tujuan dari perlakuan ini adalah superovulasi yang dikombinasikan dengan sinkronisasi gelombang folikel dan sinkronisasi ovulasi. Secara rinci waktu dan dosis aplikasi gonadotropin FSH-LH adalah sebagai berikut :

Tabel 5 Protokol Sinkronisasi Gelombang Folikel dan Ovulasi serta Aplikasi Gonadotropin (1000 IU FSH-1000 IU LH)

Hari ke- Perlakuan Superovulasi

0 estrus

7 Penyuntikan GnRH (86 μg gonadorelin) 9 pagi 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH)

sore 4 ml i.m. (200 iu FSH + 200 LH) 10 pagi 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH) sore 3 ml i.m. (150 iu FSH + 150 LH) 11

pagi 2ml i.m. (100 iu FSH + 100 LH)

sore 2ml im (100 iu FSH + 100 LH) + 25 mg dinoprost

tromethamin (PGF2α)

12

pagi 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH) + 25 mg dinoprost

tromethamin (PGF2α)

sore 1 ml im (50 iu FSH + 50 LH)

13 Penyuntikan kedua GnRH (86 μg gonadorelin) IB (fakultatif, tergantung kepada estrus) 14 IB pagi dan sore

15 IB (fakultatif, tergantung kepada estrus) 20/21 panen embrio


(43)

Penelitian sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi (SGFO) juga akan diamati secara spesifik pada jenis sapi (perah non laktasi atau potong) yang digunakan, membandingkan tingkat respon dan perolehan embrio diantara kedua jenis sapi tersebut.

Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil dari ketiga eksperimen tersebut dibandingkan berdasarkan parameter yang diamati menggunakan analisa statistik sidik ragam (Anova), selanjutnya untuk melihat perbedaan nilai tengah antar perlakuan digunakan uji Duncan. Khusus untuk tingkat respon juga digunakan uji Kruskal Wallis. Pemeriksaan dan penghitungan corpus luteum pada ovarium dilakukan secara palpasi rektal dibantu dengan Ultrasonografi (Aloka SSD 500, Matsushita Electric Co. Tokyo, Japan) pada saat panen embrio.

Parameter yang diamati a. Tingkat respon donor :

Donor dianggap memberikan respon bila memiliki jumlah corpus luteum (CL) lebih besar dari 1 (CL > 1) dan dianggap tidak berespon jika jumlah corpus luteum kecil atau sama dengan 1 (CL ≤ 1).

b. Tingkat perolehan embrio

Perolehan embrio yang diamati adalah jumlah embrio oosit keseluruhan yang didapat, jumlah embrio layak transfer (kualitas A,B,C) dan jumlah embrio tidak layak transfer (embrio yang mengalami degenerasi /Dg serta jumlah oosit yang tidak terbuahi/Uf), serta proporsi jumlah embrio dengan jumlah CL (Recovery rate).

Sebelumnya seluruh sapi percobaan diamati waktu estrusnya secara cermat. Berpijak dari data estrus tersebut setiap donor dilakukan pemeriksaan ovarium secara palpasi rektal untuk menilai kelayakan dan kesiapan dimulai superovulasi pada donor tersebut. Pemanenan embrio dilakukan secara non bedah menggunakan kateter Foley yang dimasukkan ke dalam kornua uterus


(44)

(Gambar 6). Penghitungan jumlah CL dilakukan sebelum panen embrio, secara palpasi rektal dan dikonfirmasi dengan USG.

Cairan masuk Kateter

Foley

Cairan keluar

Gambar 6 Teknik panen embrio metode non bedah menggunakan kateter Foley

Evalusi dan klasifikasi embrio

Evaluasi embrio berpedoman kepada klasifikasi embrio menurut Saito (1997), yang mana embrio dibedakan ke dalam 5 kelompok (grade) yaitu : A, B, C, Dg (degenerated), Uf (unfertilized), dengan kriteria masing-masing seperti pada Tabel 6 dan Gambar 7. Secara garis besar klasifikasi tersebut dimasukkan kedalam kelompok embrio layak transfer (A,B,C) dan embrio tidak layak transfer (embrio yang mengalami degenerasi, dan oosit yang tidak terbuahi). Klasifikasi embrio ini secara teknis kualitas tidak berbeda dengan klasifikasi embrio yang dikeluarkan International Embryo Transfer Society (IETS).


(45)

Tabel 6 Klasifikasi embrio berdasarkan kualitas (Saito 1997) Klasifikasi Grade Penjelasan

Excellent A • Morfologi embrio simetris sempurna, batas tepi jelas dan mulus, blastomer kompak

• Kerusakan blastomer kurang dari 10%

• Tahapan perkembagan embrio sesuai dengan umurnya

Good B • Morfologi embrio baik, blastomer kurang kompak

• Kerusakan blastomer 10 - 20%

• Terkadang bentuknya tidak simetris Fair C • Kerusakan blastomer 20 - 30%

• Batas tepi yang tidak jelas, blastomer kurang kompak

• Terbentuk vesicel-vesicel

Poor Dg • Bentuk tidak normal, blastomer terpisah

• Tahapan perkembangan tidak jelas Unfertilized UF • Oosit tidak mengalami pembelahan

• Badan kutub tidak jelas atau mengalami degenerasi

A B C

D E F

Gambar 7 Klasifikasi embrio berdasarkan kualitas. A. Oosit tidak terbuahi (Uf:

unfertilized), B. Embrio yang mengalami degenerasi (Dg), C dan D. Embrio kualitas C, E. Embrio kualitas B, F. Embrio


(46)

Metode pengumpulan, pengolahan dan analisa data

Pengumpulan data dilakukan secara langsung dengan mencatat data primer hasil penelitian meliputi tingkat respon donor, tingkat perolehan embrio, untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data. Analisa dan interpretasi data dilakukan untuk dapat menilai setiap parameter yang diamati seperti berikut ini.

Tingkat respon (response rate) yaitu perbandingan jumlah sapi donor yang respon terhadap jumlah sapi donor yang di superovulasi, dengan rumus :

∑ sapi donor yang respon (ekor)

Tingkat respon = ──────────────────── x 100 %

∑ sapi donor yang disuperovulasi (ekor)

Recovery rate yaitu perbandingan jumlah embrio dan ovum yang terkoleksi terhadap jumlah corpus luteum, dengan rumus :

∑ embrio dan oosit yang terkoleksi

Recovery rate = ──────────────────── x 100 % ∑ corpus luteum pada ovarium

Jumlah embrio dan ovum yang terkoleksi yaitu jumlah embrio kualitas A, B, C, Dg (degenerasi) dan Uf ( oosit tidak terbuahi ).

Jumlah corpus luteum yaitu jumlah corpus luteum yang terdapat pada ovarium kiri dan kanan, berdasarkan penghitungan secara palpasi rektal dan USG.

Proporsi embrio layak transfer yaitu perbandingan jumlah embrio layak transfer (A,B,C) terhadap jumlah embrio dan oosit yang terkoleksi (A,B,C,Dg,Uf), dengan rumus :

Proporsi embrio ∑ embrio layak transfer (A,B,C)

layak transfer = ──────────────────── x 100 % ∑ embrio dan oosit (A,B,C,Dg,Uf)


(47)

Proporsi embrio tidak layak transfer yaitu perbandingan jumlah embrio tidak layak transfer (Dg, Uf) terhadap jumlah embrio dan oosit yang terkoleksi (A,B,C,Dg,UF), dengan rumus :

Proporsi embrio ∑ embrio tidak layak transfer (Dg, Uf)

tidak layak transfer = ──────────────────── x 100 % ∑ embrio dan oosit (A,B,C,Dg,Uf)

Untuk melihat pengaruh dari setiap perlakuan maka data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam/Analisa Varian (ANOVA) pola statistika rancangan acak lengkap/RAL. Model matematika menurut Steel and Torrie sebagai berikut :

+

ε

Yij = µ + Ai ij

Yij = respon percobaan karena pengaruh perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = rataan umum hasil percobaan A = perlakuan ke-i i

ε

ij = kesalahan percobaan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

Jika hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang berbeda maka dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan’s Multiple Range Test. Khusus untuk tingkat respon juga digunakan uji Kruskal Wallis karena data yang bersifat non parametrik.


(48)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian superovulasi ini dilakukan dalam dua penelitian yaitu membandingkan lama waktu (3, 4 dan 5 hari) pemberian gonadotropin FSH-LH (Penelitian I), dan kajian pengaruh sinkronisasi gelombang folikel/SGF dan kombinasi dengan sinkronisasi ovulasi/SGFO (Penelitian II) terhadap tingkat respon ovarium dan perolehan embrio.

Penelitian I: Respon superovulasi dengan pemberian gonadotropin pada periode berbeda.

Berdasarkan penelitian ini, perlakuan pemberian FSH-LH selama 4 dan 5 hari menghasilkan respon yang cenderung lebih tinggi dari perlakuan selama 3 hari (60 % vs 60 % vs 40 %) (Tabel 7). Hal ini antara lain dapat disebabkan oleh waktu aplikasi yang lama memungkinkan bertemunya awal gelombang folikel baik pada sapi dengan 2 atau 3 tipe gelombang folikel dengan pengaruh gonadotropin.

Tabel 7 Respon superovulasi dengan pemberian FSH-LH selama 3, 4 dan 5 hari.

Donor Corpus luteum Embrio dan oosit

Perlakuan

∑ Respon (%) ∑ Rataan ∑ Rataan

3 hari

Catatan : Angka dengan superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0.05)

Pada aplikasi gonadotropin yang lebih singkat yaitu 3 hari menghasilkan respon yang rendah, dapat disebabkan karena pemberian gonadotropin yang memiliki waktu paruh 150 menit (FSH) dan 40 menit (LH) tidak tepat pada saat awal kemunculan gelombang folikel atau dosis telah menurun meskipun tepat di awal kemunculan gelombang folikel (Anonim 2002; Twaqiramungu et al. 2002).

FSH-LH 10 4 (40)

a

27 2.70±4.35 a 25 2.50±4.22 a 4 hari

FSH-LH 10 6 (60)

a

59 5.90±6.45 a 52 5.20±6.29 a 5 hari

FSH-LH 10 6 (60)

a


(49)

Penyebab lain adalah terdapat sebuah folikel dominan yang menghasilkan inhibin dengan efek menekan perkembangan folikel subordinat sehingga perlakuan tersebut kurang memberikan efek terhadap perkembangan folikel pada ovarium (Adam et al. 1994; Sato et al. 2005).

Jumlah embrio yang ditemukan lebih sedikit dari jumlah CL yang ada, dapat disebabkan oleh kehilangan embrio karena: a). jatuhnya embrio ke dalam rongga perut bila cairan pembilas yang dimasukkan terlalu banyak, b). tertinggalnya embrio di dalam uterus karena pembilasan yang kurang sempurna c). pada uterus yang besar dan menggantung dapat menyebabkan penutupan oleh balon kateter kurang sempurna sehingga cairan pembilas dapat merembes ke sisi lain (Yusuf 1990). Pada perlakuan selama 5 hari, terdapat beberapa donor yang menghasilkan lendir bersama cairan pembilas, hal ini juga menyulitkan penemuan kembali embrio. Produksi lendir dipengaruhi oleh hormon estrogen yang dihasilkan oleh sebagian folikel yang belum terovulasi (Saito 1997).

Beragam variasi dari respon ovarium terhadap perlakuan superovulasi pada sapi berkaitan erat dengan beragamnya status perkembangan folikel pada saat perlakuan (Bo et al. 1995; Rajamahendran 2002; Sato et al. 2005). Respon ovarium lebih rendah apabila superovulasi dilakukan pada saat kehadiran sebuah folikel dominan karena inhibin yang dihasilkan folikel dominan menekan pertumbuhan folikel-folikel subordinat. Sebaliknya respon lebih tinggi jika dilakukan saat keberadaan sejumlah besar folikel kecil/sub ordinat (pool follicles) (Romero et al.1991) yang terjadi pada awal munculnya gelombang folikel.

Pemberian FSH-LH selama 4 hari menunjukkan hasil yang cenderung lebih baik dari dua perlakuan lain, dengan rata-rata 5.90 CL per donor dan 5.20 embrio per donor, meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil yang diperoleh pada perlakuan selama 4 hari dapat disebabkan karena pembagian dosis dalam proporsi yang optimal sesuai dengan waktu paruh FSH dan LH (Anonimous 2002). Faktor lain adalah perlakuan selama 4 hari merupakan waktu optimal yang memungkinkan bertemu awal gelombang folikel dengan pengaruh gonadotropin untuk perkembangan folikel subordinat sampai folikel de Graaf pada semua tipe gelombang folikel (Romero et al. 1991). Pada perlakuan selama 5 hari, terjadi efek stimulasi yang lama terhadap ovarium, sehingga pada


(50)

penelitian ini ditemukan beberapa donor memiliki folikel de Graaf yang belum terovulasi, disamping keberadaan CL pada saat panen embrio (hari ke-7) (Gambar 2). Saito (1997) menyatakan bahwa estrogen merupakan hormon steroid yang terdapat dalam cairan folikel, yang keberadaannya pada saat pertumbuhan embrio akan berefek menurunkan kualitas embrio. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kegagalan ovulasi menimbulkan tingginya kadar estrogen dalam darah. Faktor lain yang juga dapat memberi pengaruh adalah proporsi FSH dan LH. Pemberian LH harus sesuai dengan fungsi ovarium dan dalam perbandingan yang optimal dengan FSH, kelebihan LH akan mengurangi respon ovarium. Pemberian LH eksogen dapat menghambat fertilisasi karena stimulasi prematur terhadap pematangan ovum sehingga sel telur yang dihasilkan infertil (Donaldson & Ward 1996), hal ini juga dapat terjadi pada perlakuan selama 5 hari.

Model superovulasi yang dilakukan pada penelitian I ini merupakan superovulasi konvensional, dimana pendekatan superovulasi masih bersifat umum yang hanya berpatokan pada keberadaan CL dalam fase luteal dan perkiraan muncul gelombang folikel sesuai tipe gelombang folikel, tanpa mempertimbangkan keberadaan folikel dominan yang menghasilkan inhibin yang mempunyai efek supresif terhadap folikel lain. Disamping itu pada superovulasi konvensional ini, munculnya gelombang folikel pada setiap individu donor yang dilakukan superovulasi tidak selalu diketahui secara tepat. Apalagi pada kegiatan superovulasi massal yang dimulai serentak pada beberapa donor, dimana donor tersebut memiliki variasi gelombang folikel sesuai dengan tipe gelombang folikel masing-masing, sehingga aplikasi gonadotropin menghasilkan respon ovarium yang bervariasi. Pada donor yang kemunculan gelombang folikelnya tepat saat aplikasi gonatropin akan memberikan respon yang baik, tetapi sebaliknya pada donor yang kemunculan gelombang folikel tidak tepat dengan aplikasi gonadotropin akan memberikan respon rendah atau malah tidak memberikan respon (Rajamahendran 2002).

Superovulasi dalam penelitian I dimulai pada hari ke- 9, berdasarkan pernyataan Dielleman dan Bevers (1993) bahwa superovulasi adalah pemberian gonadotropin yang dimulai pada hari ke-9 untuk sapi dengan panjang siklus birahi 21-23 hari dan pada hari ke-10 untuk sapi dengan panjang siklus birahi 18-20 hari.


(51)

Demikian juga Sato et al. (2005) menyatakan bahwa superovulasi dapat dilakukan antara hari ke-8 sampai hari ke-12 siklus birahi. Kelemahan dari superovulasi konvensional adalah pemberian gonadotropin kurang efektif bila masih terdapat folikel dominan dan waktu aplikasi yang tidak bertepatan dengan munculnya gelombang folikel atau aplikasi terlambat karena telah memasuki tahap seleksi folikel dominan berikutnya, sehingga hasil superovulasi tidak optimal (Rocha 2005).

Menurut Saito (1997) ada dua parameter utama yang dapat digunakan untuk menganalisa dan menginterprestasikan hasil superovulasi yaitu tingkat respon ovarium dan tingkat perolehan embrio. Respon ovarium dapat dilihat dari jumlah donor yang ovariumnya terpengaruh oleh perlakuan dengan mengevaluasi perkembangan ovarium berdasarkan jumlah korpus luteum yang terbentuk. Yusuf (1990) menyatakan bahwa banyaknya CL yang berkembang di dalam ovarium sesudah pemberian hormon gonadotropin memberi gambaran tentang keberhasilan superovulasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa semakin banyak CL yang terbentuk, maka semakin tinggi keberhasilan superovulasi.

Pemberian gonadotropin FSH-LH dengan dosis yang sama tetapi dengan lama waktu aplikasi yang berbeda dapat menghasilkan respon donor yang berbeda juga. Perbedaan respon berkaitan erat dengan status ovarium saat dimulainya superovulasi, khususnya kehadiran folikel dominan yang menghasilkan inhibin dan ketepatan saat munculnya awal gelombang folikel (Rocha, 2005). Pada penelitian I, superovulasi dilakukan dengan mengabaikan kehadiran folikel dominan, seperti pada umumnya superovulasi konvensional. Dampak kehadiran sebuah folikel dominan yang menghasilkan inhibin adalah terjadi penekanan terhadap perkembangan folikel-folikel subordinat, sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal .

Penentuan lama waktu aplikasi gonadotropin, disamping pertimbangan farmakodinamik dan farmakokinetik hormon tersebut, juga faktor kemudahan dan efisiensi dalam aplikasinya, baik waktu, tenaga, dan dana. Kajian aplikasi gonadotropin selama 3, 4 dan 5 hari dilakukan untuk mendapatkan waktu yang optimal untuk kegiatan superovulasi tanpa menurunkan tingkat respon dan perolehan embrio.


(52)

Berdasarkan hasil penelitian I, superovulasi konvensional dengan pemberian gonadotropin (FSH-LH) selama 4 hari cenderung memberikan hasil yang lebih baik dari perlakuan selama 3 dan 5 hari.

Penelitian II. Introduksi sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dan kombinasi dengan sinkronisasi ovulasi (SGFO)

Sinkronisasi Gelombang Folikel (SGF)

SGF dengan pemberian 86 μg GnRH pada hari ke-7 (dua hari sebelum dimulai superovulasi dengan FSH-LH selama 4 hari) dimana pada saat tersebut terdapat folikel dominan menghasilkan respon donor yang lebih tinggi dari kontrol (90 % vs 60 %) (Tabel 8). Hal ini sesuai dengan hipotesa awal bahwa pemberian GnRH sebelum perlakuan superovulasi dapat meningkatkan respon ovarium dari hewan donor, melalui mekanisme sinkronisiasi munculnya gelombang folikel akibat ovulasi folikel dominan, dan gonadotropin diberikan pada saat yang tepat. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Romero et al. (1991) bahwa respon ovarium lebih rendah apabila superovulasi dilakukan pada saat kehadiran sebuah folikel dominan karena inhibin yang dihasilkan folikel dominan menekan pertumbuhan folikel-folikel subordinat, sebaliknya respon akan lebih tinggi jika dilakukan saat tidak ada folikel dominan atau saat munculnya sejumlah besar folikel-folikel kecil/sub ordinat (pool follicles). Juga sejalan dengan pernyataan Kohram et al. (1998) bahwa pemberian GnRH atau aspirasi folikel 2 hari sebelum superovulasi dapat meningkatkan respon ovarium. Demikian juga Sato et al. (2005) menyatakan bahwa penyuntikan GnRH dapat menginduksi ovulasi dan kemudian menstimulasi peningkatan FSH endogen selanjutnya muncul gelombang folikel dalam waktu yang tepat tanpa variasi waktu pada semua sapi. Hasil SGF ini lebih baik dari hasil yang diperoleh Kanitz et al. (2006) dimana pemberian GnRH menghasilkan ovulasi 81.5 % pada sapi perah dara.

Mekanisme kerja GnRH dijelaskan Whittier dan Geary (2007) bahwa pemberian GnRH akan menginduksi pelepasan LH dari hipofise anterior. Pelepasan LH ini mengakibatkan terjadi lonjakan konsentrasi LH dalam darah


(53)

Tabel 8 Respon superovulasi pada perlakuan kombinasi FSH-LH dengan sinkronisasi gelombang folikel (SGF) serta sinkronisasi gelombang folikel-ovulasi (SGFO)

Perolehan embrio

Donor Corpus luteum

Embrio-oosit Embrio layak transfer (A,B,C)

Embrio tidak layak transfer (Dg dan Uf) Perlakuan

∑ Respon (%) ∑

Rataan/ respon ∑

Rataan/ respon

Reco-very Rate

(%) ∑ Rataan/

respon % ∑ %

Rataan Dg/ respon

Rataan Uf/ respon

Tanpa SGF

(kontrol) 10 6 (60) a

59 9.83±5.34 a 52 8.67±5.92 a 88.14 28 4.67±4.32 a 53.85 24 46.15 2.33±1.51 a 1.67±1.37 a

SGF 10 9 (90) a 155 17.22±8.63 a 164 18.22±13.26a 105.81 50 5.56±8.76 a 30.49 114 69.51 2.67±3.12 a 10.00±8.19 b

SGFO 10 9 (90) a 118 13.11±6.35 a 93 10.33±8.62 a 78.81 54 6.00±6.08 a 58.06 39 41.94 1.78±2.68 a 2.56±2.70 a

Catatan: - Tanpa SGF yaitu perlakuan FSH-LH selama 4 hari; SGF = sinkronisasi gelombang folikel; SGFO = sinkronisasi gelombang folikel dan ovulasi - Angka dengan superskript yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (a-b, P>0.05).


(1)

Secara ekonomis dengan menambahkan sedikit input produksi pada SGFO, dapat meningkatkan perolehan embrio lebih banyak. Karena itu, teknik SGFO disarankan untuk digunakan sebagai penyempurnaan metode superovulasi konvensional dalam meningkatkan efisiensi produksi embrio.


(2)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Pemberian gonadotropin selama 4 hari yang dimulai pada hari ke-9 cenderung lebih efektif dari pemberian selama 3 dan 5 hari.

2. Sinkronisasi gelombang folikel (SGF) dengan pemberian GnRH sebelum superovulasi terbukti dapat meningkatkan respon ovarium dan perolehan embrio.

3. Sinkronisasi gelombang folikel (SGF) yang diikuti sinkronisasi ovulasi (SGFO) dengan pemberian GnRH sebelum dan setelah superovulasi terbukti disamping dapat meningkatkan respon ovarium dan perolehan embrio juga dapat meningkatkan prosentase embrio layak transfer.

4. Perlakuan SGFO pada sapi potong menunjukkan hasil yang cenderung lebih baik daripada sapi perah non laktasi.

Saran

1. Penyuntikan gonadotropin sebaiknya dilakukan pada saat munculnya gelombang folikel, karena itu siklus ovarium donor penting diketahui dengan tepat menggunakan USG.

2. Perlu penelitian tentang profil hormon estrogen, progesteron, FSH dan LH sejalan dengan proses superovulasi.

3. Perlu penelitian yang serupa pada donor yang masih muda dan baru pertama kali dilakukan superovulasi, mengunakan jenis gonadotropin dengan kandungan FSH-LH optimal.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adam GP, Evans ACO, Rawling NC. 1994. Follicular Wave and Circulating Gonadotropins in 8-month-old Prepubertal Heifer. J Reprod Fertil 1994:100: 27-33.

Amiridis GS, Tsiligianni T, Vainas E. 2006. Folicle Ablation Improves the Ovarian Response and The Number of Collected Embryos in Superovulated Cows during the Early Stages Lactation. Reprod Dom Anim 5: 402-407.

[Anonim]. 2002. Aplication of Swine Pituitary Gonadotropin for Superovulation in Bovines. Laboratorios Calier, SA. Spain.

Barros CM, Morreira MBP, Fiquiredo RA. 2000. Synchronization of Ovulationin Beef Cows (Bos indicus) using GnRH, PGF2α and Estradiol Benzoat. Theriogenology 53 (5):1121-1134.

Bergfelt DR, Bo GA, Mapletoft RJ, Adams GP. 1997. Superovulatory Response Following Ablation Induced Follicular Wave Emergence at Random Stages of the Estrus Cycle in Cattle. Anim Reprod Sci 49: 1 – 12.

Bo GA, Adams GP, Pierson RA, Mapletoft RJ. 1995. Exogenous Control of Follicular Wave Emergence in Cattle. Theriogenology 4: 31-40.

Bo GA, Baruselli PS, Chesta PM, Martin CM. 2006. The timing of Ovulation and Insemination Schedules in Superstimulated Cattle. Theriogenology 65 (1): 89-101.

Caravalho NAT, Baruselli PS, Zircareli L Madureira EH. 2002. Control of Ovulation with GnRH agonist after Superstimulation of Follicular Growth in Bufallo Fertilazation and Embryo Recovery. Theriogenology 58(9):1641-1650.

Colenbrander B. 2004. Assisted Reproduction in the Female Animal Production-Conservation. Utrecht University.

Dejarnette JM, Marshall CE. 2003. Effect of pre Synchronization using Combinations PGF2α and GnRH on Pregnancy rates of Ovsvsynch and Cosynch treated Lactating Holstein Cows. Anim Reprod Sci 77(2003): 51-60.

Dielleman SJ, Bevers MM. 1993. Folliculogenesis and Oocyte Maturation in Superovulated Cattle. Mol Reprod Dev 36: 271-273.

Dominiguez GA, Lares S, Formia N. 2002. Resynchronization of Ovulation and Timed Insemination in Beef Catlle. Theriogenology 57(1):374-380.


(4)

Donaldson LE, Ward DN. 1996. Effect of Luteinizing Hormone on Embryo Production in Superovulated Cows. Vet Rec 119:625-626.

Ginther OJ, Kastelic JP, Knopft L. 1989. Composition and Characteristic of Follicular Waves during the Bovine Estrus Cycle. Anim Reprod Sci 20:187-200.

Ginther OJ, Wiltbank MC, Frieke PM, Gibbons JR, Kot K. 1996. Selection of the Dominant Folikel in Catte. Biol Reprod 55:87-94.

Fernandez CAC, Viana JAM, Ferreira AM. 2002. Follicular Population and Superovulatory Responsein Cows and Heifers. Theriogenology 57: 606-612.

Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7 th Ed. Lippincott Williams and Wilkins Press. Kiawah Island, South Carolina, USA.

Irikura CR, Martin I, Gimenes LU. 2002. Synchronization of the Eestrus Cycles and Ovulation in Buffalo (Bubalus bubalis) using the protocols GnRH-PGF2α-GnRH . Theriogenology 57(1):380-385

Jemmeson A. 2006. Synchronizing Ovulation in Dairy Cows with Either Two Treatmnets of Gonadotropin Releasing Hormone and One of Prostaglandin, or Two Treatments of Prostaglandin.

http://www.ava.com.au/avj/0002/00020108.html [12 Pebruari 2007].

Johnson MH, Everit JB. 1995. Essential Reproduction. 4th Ed. Blackwell Science Ltd., Malden, USA.

Kanitz W, Bhojwani S, Becker F, Schneider F. 2006. Follicular Dynamic and Characteristics of Ovulations in Heifers after Ovsynch Treatment in the Last Third of the Estrous Cycle. http:// isiknowledge. Html [12 Pebruari 2007].

Kohram H, Twaqiramungu H, Bousquet D, Durocher J, Gulibault LA. 1998. Ovarian Superstimulation after Follicular Wave Synchronization with

GnRH at Two Different Stages of the Estrus Cycle in Cattle. Theriogenology 49:1175-1186.

Lucy WC, Savio JD, Badinga L, de la Sota RL, Thatcher WW. 1992. Factors that Affect Ovarian Follicular Dyanmics in Cattle. J Anim Sci 70:3615

Mapletoft RJ, Pierson RA. 1993. Featured article: Factors Affecting Superovulation in Cow: Practical Considerations. Embryo Transfer News.11:15-24


(5)

Martinez MF, Adams GP, Kastelic JP. 2000. Induction of Follicular Wave Emergence for Estrus Synchronization and Artificial Insemination in Heifers. Theriogenology 54(5):757-770.

Martinez MF, Adams GP, Kastelic JP, Carruthers T. 2003. The effect of 3 Gonadorelin Products on Luteinizing Hormone Release, Ovulation, and Follicular Wave Emergence in Cattle. Canad Vet 44(2):125-131.

Moghaddam AA, Naslaji AN, Bolourchi M. 2002. Synchronizationof Follicular

Waves Emergence Using either GnRH or Steroid in Cattle. Theriogenology 57(1):615-621.

Ooe M., Rajamahendran R, Boediono A, Suzuki T. 1997. Ultrasound Guided Follicle Aspiration and IVF in Dairy Cows Treated with FSH after Removal of Estrous cycle. Vet Med Sci 59 5):371-376 .

Peter AR. 2005. Veterinary Clinical Application of GnRH- Questions of Efficacy. Anim Reprod Sci 88(1):155-167.

Ptaszynka M. 2002. Compendium of Animal Reproduction. 7 th Ed. Intervet International Co. France.

Pursley JR, Mee MO, Wiltbank MC. 1995. Synchronization of Ovulation in Dairy Cows using PGF2α and GnRH. Theriogenology 44:915-923.

Putro PP. 1996. Superovulation Techniques for Embryo Transfer in the Cow. Makalah pada Workshop on Bovine Transfer Embryo, UGM, Yogyakarta.

Rajamahendran R. 2002. Advanced Technology in Molecular Biology and Biotechnology of Farm animals. Faculty of Agriculture The University of British Columbia, Vancouver, Canada.

Rocha EHR. 2005. Analysis of Record of Embryo Production in Red Brahman Cows. Thesis. Texas A&M University.

Romero A, Albert J, Brink Z, Seidel GE. 1991. Number of Small Follicles in Ovaries Affect Superovulation Response in Cattle. Theriogenology 35:265.

Saito S. 1997. Manual on Embryo Transfer of Cattle. National Livestock Embryo Centre (BET Cipelang)-DGLS and Japan International Cooperation Agency (JICA).

Saito S. 1997. Personal Communication

Sato et al. 2005. The Effect of Pretreatment with Different Doses of GnRH to Synchronize Follicular Wave on Superstimulation of Follicular Growth in Dairy Cattle. J Reprod and Dev 51(5):573-578.


(6)

Senger PL. 1999. Pathways to Pregnancy and Parturition. Current Concept Inc. Washington, USA.

Setiadi MA, Supriatna I, Boediono A. 2005. Follicle Development after Gonadotrophin Treatment in Garut sheep for Laparoscopic Ovum pick up. J Agric Rur Dev in the tropics and subtropics 83: 153-158.

Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung Indonesia.

Twaqiramungu H, Guilbault LA, Proulx JG. 1995. Influences of Corpus Luteum and Induced Ovulation on Ovarian Follicular Dynamics in post partum Ciclic Cows Treated Buserelin and Cloprostenal. J Anim Sci 72:1796-1805

Twaqiramungu H, Guilbault LA, Dufour JJ. 2002. Synchronization of Ovarian Follicular Waves with a Gonadotropin-Releasing Hormone Agonist to Increase the Precision of Estrus in Cattle : a review. J Anim Sci 73:3141-3151.

Ulker H, Gant BT, de Avila DM, Reeves JJ. 2001. LHRH Antagonist Decreases LH and Progesterone Secretion but does not alter Length of Estroes Cycle in Heifers. J Anim Sci 79: 2902-2907.

Webb R, Garnsworthy PC, Gong JG, Amstrong DG. 2003. Control of Follicular Growth: Local Interactions and Nutritional Influences. J Anim Sci 81: 4 (abstract).

Whittier JC, Geary TW. 2007. Frequently Asked Questions About Synchronizing Estrus and Ovulation in Beef Cattle with GnRH.

http://www.iowabeefcenter.org/Publications/FAQWhittier.pdf

[26 Pebruari 2007].

Yusuf TL. 1990. Pengaruh Prostaglandin F2α dan Gonadotropin Terhadap Aktivitas Estrus dan Superovulasi Dalam Rangkaian Kegiatan Transfer Embrio Pada Sapi Fries Holand, Bali dan Peranakan Ongole. Disertasi. IPB Bogor.