Pemetaan Profil Dasar Laut Lintasan INDOMIX 2010 Menggunakan Multibeam Echosounder dan Shuttle Radar Topography Mission

PEMETAAN PROFIL DASAR LAUT LINTASAN INDOMIX 2010
MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SHUTTLE
RADAR TOPOGRAPHY MISSION

NYIMAS SITI EVI SEPTIANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Profil Dasar
Laut Lintasan INDOMIX 2010 Menggunakan Multibeam Echosounder dan
Shuttle Radar Topography Mission adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 22 Agustus 2014
Nyimas Siti Evi Septiani
NIM C54100022

ABSTRAK
NYIMAS SITI EVI SEPTIANI. Pemetaan Profil Dasar Laut Lintasan INDOMIX
2010 Menggunakan Multibeam Echosounder dan Shuttle Radar Topography
Mission. Dibimbing oleh HENRY M MANIK.
Survei batimetri merupakan suatu kegiatan dengan melakukan pengukuran
kedalaman suatu perairan untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran dan
bentuk permukaan (topografi) dasar perairan. Kualitas data batimetri hasil
pemeruman di perairan Laut Halmahera memiliki nilai kesalahan pengukuran
kedalaman tertinggi sebesar 6.687 meter dengan batas toleransi kedalaman
sebesar 70.096 meter dan nilai kesalahan pengukuran kedaalaman terendah
sebesar 1.312 meter dengan batas toleransi kedalaman sebesar 27.035 meter.
Pengukuran kedalaman laut dengan menggunakan Multibeam Echosounder
(MBES) pada lintasan INDOMIX 2010 dapat menghasilkan gambaran topografi
dasar laut secara jelas dibandingkan Shuttle Radar Topography Mission (SRTM).

Interpretasi topografi dasar laut berupa basin (Laut Banda), gunung bawah laut
(perairan Paparan Sunda Kecil), guyot (Laut Halmahera dan Selat Ombai), palung
(Laut Seram), dan punggung laut (Laut Halmahera dan Selat Ombai).
Kata kunci: Batimetri, INDOMIX 2010, MBES, SRTM, Topografi

ABSTRACT
NYIMAS SITI EVI SEPTIANI. Mapping Profile of Seabed Cruise INDOMIX
2010 Using Multibeam Echosounder and Shuttle Radar Topography Mission.
Supervised by HENRY M MANIK.
Bathymetric survey is an activity to measure the depth of water coloumn
to get a picture and information about the surface shape (topography) of bottom
waters. The result of quality data sounding in the Halmahera sea waters had the
highest depth error value of 6.687 meters with a depth limit error of 70.096 meters
and a lowest depth error value of 1.312 meters with the lowest limit error of
27.035 meters depth. Measurement of sea depth using Multibeam Echosounder
(MBES) in INDOMIX 2010 cruise to produced seabed topography clearly than
the Shuttle Radar Topography Mission (SRTM). Interpretation of seabed
topography were basin (Banda Sea), seamount (Small Sunda arcs), guyot
(Halmahera Sea and Ombai Street), trench (Seram Sea), and ridge (Halmahera Sea
and Ombai Street).

Keywords: Bathymetry, INDOMIX 2010, MBES, SRTM, Topography

PEMETAAN PROFIL DASAR LAUT LINTASAN INDOMIX 2010
MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SHUTTLE
RADAR TOPOGRAPHY MISSION

NYIMAS SITI EVI SEPTIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Pemetaan Profil Dasar Laut Lintasan INDOMIX 2010
Menggunakan Multibeam Echosounder dan Shuttle
Radar Topography Mission
Nama
: Nyimas Siti Evi Septiani
NIM
: C54100022

Disetujui oleh

Dr. Henry M. Manik, S.Pi,.M.T
Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir I Wayan Nurjaya, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga
penyusunan karya ilmiah yang berjudul “Pemetaan Profil Dasar Laut Lintasan
INDOMIX 2010 Menggunakan Multibeam Echosounder dan Shuttle Radar
Topography Mission”. Karya ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Dr. Henry M. Manik, S.Pi,.M.T selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
saran dan kritik dalam penyelesaian karya ilmiah ini, kepada proyek INDOMIX
2010, Bapak Dr. Ir. Agus S Atmadipoera, M.Sc yang telah membantu dalam
perolehan data serta Bapak Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc selaku dosen penguji
dan Bapak Vincentius P. Siregar selaku dosen penguji dari perwakilan Gugus
Kendali Mutu (GKM). Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang
tua, kakak, dan adik yang selalu mendoakan dan memotivasi, serta teman-teman
ITK 47 yang turut membantu terselesaikannya karya ilmiah ini. Penulis menyadari
bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.


Bogor, 22 Agustus 2014
Nyimas Siti Evi Septiani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE


2

Waktu dan Tempat

2

Alat dan Bahan

2

Pengolahan Data

3

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Kualitas Data Hasil Pemeruman


8
8

Perbandingan Data Batimetri Perairan berdasarkan MBES dan SRTM

10

Topografi Perairan berdasarkan Multibeam Echosounder (MBES)

19

KESIMPULAN DAN SARAN

21

Kesimpulan

21


Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

26

DAFTAR TABEL
1 Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan
2 Kualitas data batimetri hasil deteksi dan pengukuran multibeam
echosounder (MBES) di perairan Laut Halmahera


7
9

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Lintasan kapal pada lokasi penelitian
Diagram alir koreksi kedalaman
Diagram alir pengolahan data batimetri perairan
Lintasan survei MBES perairan Laut Halmahera
Profil batimetri perairan Laut Halmahera dalam tampilan 3 dimensi. (1)
MBES dan (2) SRTM
6 Lintasan survei MBES perairan Laut Seram
7 Profil batimetri perairan Laut Seram dalam tampilan 3 dimensi. (1)
MBES dan (2) SRTM

8 Lintasan survei MBES perairan Laut Banda
9 Profil batimetri perairan Laut Banda dalam tampilan 3 dimensi. (1)
MBES dan (2) SRTM
10 Lintasan survei MBES perairan Selat Ombai
11 Profil batimetri perairan Selat Ombai dalam tampilan 3 dimensi. (1)
MBES dan (2) SRTM
12 Lintasan survei MBES perairan Paparan Sunda Kecil
13 Profil batimetri perairan Paparan Sunda Kecil dalam tampilan 3 dimensi.
(1) MBES dan (2) SRTM

3
4
5
10
11
12
13
14
15
16
16
17
18

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, maka kemajuan teknologi juga
semakin berkembang. Perkembangan teknologi tidak hanya untuk keperluan di
darat saja, melainkan perkembangan teknologi juga diciptakan untuk keperluan di
perairan. Salah satunya perkembangan teknologi yang semakin berkembang yaitu
teknologi dalam bidang hidroakustik. Hidroakustik merupakan suatu teknologi
pendeteksian bawah air dengan menggunakan gelombang akustik. Informasi yang
diberikan berupa informasi secara cepat (real time) dan secara langsung pada area
deteksi (in situ), serta tidak membahayakan objek yang diteliti dengan frekuensi
tertentu. Metode akustik merupakan solusi yang tepat dan efektif dalam
melakukan pendeteksian dasar laut (Jackson et al. 1986). Hal ini terus mengalami
perkembangan untuk tujuan ilmiah, antara lain digunakan untuk mempelajari
proses perambatan gelombang suara, sehingga memberikan informasi mengenai
kondisi dasar laut. Informasi mengenai kondisi dasar laut didapatkan melalui
survei batimetri.
Survei batimetri merupakan suatu kegiatan pengukuran kedalaman suatu
perairan untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran (model) dan bentuk
permukaan (topografi) dasar perairan (seabed surface) atau dikenal dengan
metode pemeruman (Poerbandono dan Djunarsah 2005). Survei batimetri hanya
mendapatkan gambaran mengenai bentuk dari dasar perairan dan tidak sampai
dengan kandungan material ataupun biota yang hidup disana (Poerbandono 1999).
Penentuan kedalaman dan konfigurasi dasar laut dalam survei batimetri dilakukan
berdasarkan analisis profil kedalaman, sehingga dapat dibuat garis kontur
kedalaman yang akan memberikan variasi topografi kedalaman dasar laut.
Alat pemeruman yang digunakan dalam survei batimetri berupa multibeam
echosounder. Alat ini sangat sesuai untuk mengukur kedalaman laut karena
cakupan area dasar laut yang luas dan memiliki resolusi yang tinggi (0.1 meter
pada akurasi vertikal dan kurang dari 1 meter pada akurasi horizontalnya) dengan
tingkat pendeteksian kedalaman yang cukup dalam (Urick 1983). Multibeam
echosounder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis Thomson
Marconi Sonar (TSM) 5265. Alat ini menggunakan pemrosesan sinyal baru untuk
batimetri dan teknik-teknik baru untuk citra dan profil sub-bottom dengan resolusi
spasial sekitar 50 meter (d’Acremont 2005). Sistem ini melakukan liputan dasar
laut dua dimensi dengan tingkat besar data digunakan untuk meningkatkan
kualitas laut cakupan lantai, batimetri, dan analisis citra (Denis and Ollivier 1994).
Batimetri atau kedalaman perairan juga dapat dimodelkan dengan
menggunakan data yang berasal dari citra radar Shuttle Radar Topography
Mission (SRTM). SRTM merupakan salah satu teknik penginderaan jarak jauh
yang semakin baik dan berkembang serta data yang up to date yang
memungkinkan untuk melakukan pemodelan batimetri (Nugraha 2013). Data
SRTM sebagai sumber data yang mempunyai cakupan global dengan resolusi
spasial 30”X30” dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan (Iswanto dan
Aditya 2009).

2

Informasi yang didapat oleh multibeam echosounder berupa data posisi
(x,y) dan data kedalaman (h) suatu perairan yang memungkinkan untuk
mengekstrak informasi mengenai gambaran bentuk permukaan dasar laut. Dalam
mendapatkan data kedalaman yang terjamin kualitasnya, pengukuran batimetri
menggunakan multibeam echosounder mengikuti standarisasi atau acuan teknis
yang berlaku. Dalam hal ini, standarisasi yang digunakan mengacu pada IHO
Standards Of Hydrographic Surveys SP-44 tahun 2008 dan SNI (Standar Nasional
Indonesia) 7646-2010.
Tujuan Penelitian
1.
2.

3.

Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah
Pengukuran kedalaman laut hasil pemeruman menggunakan multibeam
echosounder (MBES) di perairan Laut Halmahera.
Menganalisis perbandingan data hasil pengukuran kedalaman laut
menggunakan multibeam echosounder (MBES) dengan data batimetri dari
shuttle radar topography mission (SRTM) di perairan Laut Halmahera, Laut
Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Paparan Sunda Kecil.
Melakukan interpretasi karakter fisik dasar laut seperti topografi berdasarkan
hasil pemeruman dengan menggunakan multibeam echosounder (MBES).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2014. Data yang
digunakan merupakan data primer dari penelitian dan pengukuran pada pelayaran
INDOMIX (Indonesia-France Collaborative Research on Internal Tides and
Mixing in the Indonesian Throughflow) 2010. Data yang diperoleh menggunakan
instrumen hidroakustik multibeam echosounder Thomson Marconi Sonar (TSM)
5265 dengan frekuensi 12 kHz yang terpasang pada kapal riset Marion Dufresne
milik Institut Polaire Francais Paul-Emile Victor (IPEV). Pengambilan data
kedalaman dilakukan selama 10 hari sejak tanggal 11 Juli 2010 sampai 19 Juli
2010.
Lokasi kajian penelitian ini berada sepanjang jalur pelayaran INDOMIX
2010 yakni perairan Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan
Paparan Sunda Kecil. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik dan
Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada Gambar 1
memperlihatkan lintasan survei yang digunakan pada saat melakukan
pengambilan data hidroakustik.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengolahan data adalah seperangkat komputer
berbasis Windows yang sudah terinstalasi perangkat lunak ArcGIS 10, Global

3

Mapper 13, Matlab R2013a, dan Surfer 10. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dari penelitian dan pengukuran pada pelayaran
INDOMIX Juli 2010.

Gambar 1 Lintasan kapal pada lokasi penelitian

Pengolahan Data
Pengukuran kedalaman laut pada penelitian ini menggunakan Multibeam
Echosounder (MBES) dan Shuttle Radar Topography Mission (SRTM). MBES
merupakan instrumen hidroakustik yang menggunakaan prinsip yang sama
dengan single beam namun perbedaannya terletak pada jumlah beam yang
dipancarkan lebih dari satu pancaran. Pola pancaran dari beamnya melebar dan
melintang terhadap badan kapal. Setiap beam mendapatkan satu titik kedalaman
sehingga kumpulan dari beberapa titik kedalaman akan membentuk suatu profil
dasar laut. Pada saat pemeruman, MBES menyapu dasar laut sehingga
menggambarkan suatu luasan area permukaan dasar laut (Moustier 2005).
Metode pengukuran kedalaman laut menggunakan MBES dengan
memanfaatkan suatu susunan tranduser (tranducer array) yang terdiri dari
serangkaian elemen yang memancarkan pulsa suara dalam sudut yang berbeda
(Hammerstad 2000). Pada prinsipnya MBES menggunakan pengukuran selisih
fase pulsa yang merupakan fungsi dari selisih pulsa waktu pemancaran dan
penerimaan pulsa akustik serta sudut datang dari sinyal tiap-tiap tranduser
(Sasmita 2008).
SRTM merupakan citra satelit yang diperoleh dari model elevasi digital
untuk menghasilkan topografi digital dengan resolusi tinggi (Werner 2001). Data

4

ini didapatkan dari satelit geodesi dengan resolusi temporal yang diambil selama
30 detik per kilometer dan resolusi spasial berkisar antara 10 sampai 90 meter
dengan resolusi rata-rata 30 meter yang mempunyai 33 region dengan format
.srtm (Becker et al. 2009). SRTM digunakan untuk menghasilkan data topografi
digital dan elevasi dari 80% permukaan daratan bumi melalui sensor radar (Hajar
2007).
Metode pengukuran kedalaman laut menggunakan SRTM dengan
memanfaatkan sistem SAR (Synthetic Aperture Radar) dengan mengukur
kedalaman laut berdasarkan paras muka laut yang selanjutnya dimodelkan dengan
algoritma. Pada prinsipnya SRTM menggunakan 2 buah antenna yaitu antenna
utama dan antenna ujung yang dipisahkan oleh sebuah tiang yang memiliki
panjang sekitar 60 meter atau 200 kaki. Antena pada SRTM berfungsi sebagai
pemancar (transmitter) dan penerima (receiver) yang terdiri dari 2 kanal yaitu C
radar dan X radar. C radar menggunakan 2 polarisasi untuk membentuk 2 beam
agar dapat memetakan sebesar 225 km (petak) per orbit yaitu yellow beam dan
blue beam. Yellow beam menggunakan HH polarisasi (horizontally transmitted
dan horizontally received) sedangkan blue beam menggunakan VV polarisasi
(vertically transmitted dan vertically received). X radar menggunakan single beam
dengan VV polarisasi. Gambar yang diperoleh dengan resolusi tinggi (50 km
(petak) per orbit yang telah menggambarkan secara global (Hennig et al. 2001).
Keunggulan sistem radar SRTM adalah adanya sensor aktif yang tidak
terpengaruh oleh cahaya matahari serta pengaruh dari cuaca dan awan sehingga
memungkinkan untuk beroperasi pada siang dan malam hari. Data hasil rekaman
SRTM ini berupa data Digital Elevation Model (DEM). Data DEM merupakan
data digital berformat raster yang memiliki informasi mengenai posisi bujur (x),
lintang (y), serta kedalaman (z) pada setiap pixel.
Proses pengolahan koreksi data kedalaman hasil pemeruman MBES pada
penelitian ini menggunakan perangkat lunak Surfer 10 dan Global Mapper 13.
Data kedalaman hasil pemeruman MBES dengan format .txt dibuka pada Surfer
10 untuk menghasilkan data kedalaman dalam format .dat. Data dalam format .dat
dibuka pada Global Mapper 13 untuk menampilkan lajur pemeruman yang
kemudian dilakukan proses pembuatan grid elevasi. Langkah selanjutnya,
dilakukan koreksi dengan menggunakan 3D path profile/line of sight tool yang
menghasilkan data dalam format .xyz. Data yang dihasilkan dibuka pada
microsoft excel untuk melihat perbedaan kedalaman pada posisi lajur pemeruman
yang mengalami overlap. Overlap yang dimaksudkan dalam penelitian ini
merupakan adanya tumpang tindih kedalaman pada saat kapal melintas pada
posisi (bujur dan lintang) yang sama. Koreksi pasang surut (Lampiran 1) dalam
penelitian ini terdapat dalam perhitungan limit error dengan konstanta a pada
standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan (IHO 2008). Diagram alir
pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 2.

5

Gambar 2 Diagram alir koreksi data kedalaman
Pengolahan data batimetri perairan untuk menghasilkan profil batimetri
dalam bentuk 3 dimensi berdasarkan hasil pemeruman MBES dan SRTM.
Langkah pertama, pengolahan data batimetri hasil pemeruman multibeam
echosounder dalam format .xyz diubah kedalam format .txt pada Surfer 10 yang
selanjutnya diolah di Matlab R2013a. Pada Matlab R2013a, data dalam format
.txt di load dan dilakukan penyesuaian batas wilayah dan kedalaman perairan
pada jendela editor. Setelah list program sesuai dengan data penelitian dan
tahapan input bahasa pemograman, selanjutnya program dijalankan dengan
perintah run untuk membuat kontur tiga dimensi.
Langkah selanjutnya, pengolahan data batimetri dari citra satelit SRTM.
Pengolahan data batimetri SRTM dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak Global Mapper 13. Langkah pertama, membuka file data batimetri yang
berformat .srtm pada Global Mapper 13. Kemudian memasukkan koordinat peta
(bujur dan lintang) wilayah penelitian pada menu contour generation options
untuk melihat secara jelas kontur dari wilayah penelitian. Setelah kontur terlihat,
selanjutnya melakukan export data pada export elevation grid format untuk
mendapatkan data posisi (bujur dan lintang) serta data kedalaman pada wilayah
penelitian sehingga dapat divisualisasikan kedalam kontur 3 dimensi. Data
keluaran dari Global Mapper 13 ini dalam format .xyz yang kemudian diubah
kedalam format .txt pada Surfer 10. Kemudian data dalam format .txt di load dan
dilakukan proses pengolahan batimetri sama dengan pengolahan data batimetri

6

hasil pemeruman multibeam echosounder. Pengolahan data batimetri perairan
dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pengolahan data batimetri perairan
Langkah selanjutnya, pengolahan data batimetri dari citra satelit SRTM.
Pengolahan data batimetri SRTM dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak Global Mapper 13. Langkah pertama, membuka file data batimetri yang
berformat .srtm pada Global Mapper 13. Kemudian memasukkan koordinat peta
(bujur dan lintang) wilayah penelitian pada menu contour generation options
untuk melihat secara jelas kontur dari wilayah penelitian. Setelah kontur terlihat,
selanjutnya melakukan export data pada export elevation grid format untuk
mendapatkan data posisi (bujur dan lintang) serta data kedalaman pada wilayah
penelitian sehingga dapat divisualisasikan kedalam kontur 3 dimensi. Data
keluaran dari Global Mapper 13 ini dalam format .xyz yang kemudian diubah
kedalam format .txt pada Surfer 10. Kemudian data dalam format .txt di load dan
dilakukan proses pengolahan batimetri sama dengan pengolahan data batimetri
hasil pemeruman multibeam echosounder.
Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan perhitungan
terhadap hasil pengukuran batimetri yang didapatkan. Hasil batimetri berupa data
kedalaman (h) dan data posisi (x,y). Acuan yang digunakan yaitu berdasarkan
IHO Standards of Hydrographic Surveys SP-44 tahun 2008 dan SNI (Standar
Nasional Indonesia) 7646-2010 dengan tingkat kepercayaan 95%.

7

Adapun rumus yang digunakan dalam perhitungan batimetri ini sebagai
error value (1) dan limit error (2) :
|s| = dawal - dakhir…...………...…………………......……...………...…......(1)
........…......……...………...………………….....…(2)
Keterangan :
|s|
= error value (m)
σ
= limit error
dawal
= kedalaman awal (m)
dakhir
= kedalaman akhir (m)
a
= kesalahan independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap) (m)
b
= faktor kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah kesalahan
yang bersifat tidak tetap)
d
= kedalaman terukur (m)
(b. d) = Kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan
kedalaman yang dependen) (m)
Koefisien nilai a dan b merupakan konstanta atau parameter yang digunakan
untuk menghitung akurasi kedalaman dari kesalahan kedalaman yang disesuaikan
dengan orde survei yang dilakukan pada penelitian ini seperti yang tercantum
pada Tabel 1.
Tabel 1 Standar ketelitian pengukuraan kedalaman perairan
Orde
Contoh area
yang dipetakan

Spesial
Pelabuhan,
tempat
berlabuh, dan
saluransaluran kritis
dengan
hambatan
serta
hambatan
sarat kapal
minimum

1a
Pelabuhan,
pelabuhan
yang
mendekati
terusan,
jaluran
anjuran, dan
daerah
perairan
dengan
kedalaman
hingga 100 m
a = 0,5 m

Konstanta
a = 0,025 m
(ketelitian
horizontal dan
vertikal dengan b = 0,075
b = 0,013
tingkat
kepercayaan
95%)
Sumber : IHO SP-44 Tahun 2008

1b
Daerah yang
tidak tercakup
dalam orde 1a
atau daerah
dengan
kedalaman
hingga 200 m

2
Daerah yang
tidak tercakup
dalam orde
spesial atau
orde 1a dan
1b dengan
kedalaman
lebih dari 200
m

a = 0,5 m

a = 1,0 m

b = 0,013

b = 0,023

8

IHO Standards of Hydrographic Surveys merupakan standarisasi atau acuan
teknis yang dikeluarkan oleh IHO (International Hydrography Organization). IHO
Hydrographic Surveys SP-44 tahun 2008 adalah standarisasi terbaru yang telah
mengalami pembaharuan (IHO 2008). Pada IHO SP-44 tahun 2008 ini,
pengukuran terhadap toleransi kedalaman dilakukan. Jika nilai kesalahan pada
data beda kedalaman masih dalam batas toleransi yang diperoleh dengan
perhitungan rumus (I), maka kualitas data kedalaman masuk ke dalam batas
toleransi yang mengacu pada IHO Standards of Hydrographic Surveys SP-44
tahun 2008. Nilai kesalahan pada data beda kedalaman di luar batas toleransi
maka kualitas kedalaman tidak masuk ke dalam batas toleransi. Tabel 1 adalah
standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan (IHO 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Kualitas Data Hasil Pemeruman
Lokasi yang menjadi pengukuran kedalaman pada penelitian ini adalah
perairan Laut Halmahera dengan kedalaman berkisar antara 21 sampai 6448
meter. Hal ini dikarenakan adanya jalur pemeruman pada saat survei yang
mengalami overlap (tumpang tindih). Penelitian ini dilakukan dengan
membandingkan nilai kedalaman pada jalur pemeruman yang mengalami overlap.
Berdasarkan ketentuan IHO SP-44 tahun 2008, perairan Laut Halmahera masuk
ke dalam orde 2 yang berada di kedalaman lebih dari 200 meter. Skala
pemeruman menentukan resolusi dari peta batimetri yang dihasilkan (IHO 2008).
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa terdapat 11 titik analisis yang dapat
digunakan untuk uji kualitas data hasil pemeruman. Posisi titik analisis (posisi
awal dan posisi akhir) merupakan titik koordinat adanya jalur kapal yang melintas
sebanyak dua kali pada posisi yang sama. s merupakan error value atau nilai
kesalahan pengukuran kedalaman pada data batimetri. σ adalah limit error atau
nilai batas toleransi kedalaman. Berdasarkan IHO SP-44 tahun 2008, perhitungan
ketelitian kedalaman pada orde 2 menggunakan konstanta yaitu a = 1,0 meter dan
b = 0,023 (Tabel 1).
Contoh pada data 1 dengan kedalaman d = 3029,341 meter

= 69,682 meter
Tabel 2 menunjukkan adanya perbedaan batimetri di perairan Laut
Halmahera pada posisi koordinat (bujur dan lintang) yang sama. Jalur pemeruman
pada 11 titik koordinat memiliki nilai kesalahan yang beda. Nilai kesalahan
tertinggi berada pada data 3 dengan posisi 129° 59' 2.4" BT dan 0° 57' 43.19"-0°
56' 31.19" LU. Nilai kesalahan terendah berada pada data 9 dengan posisi 129°

9

10' 1.2" BT dan 0° 3' 21.59"-0° 3' 10.79" LU. Nilai kesalahan tertinggi sebesar
6,687 meter sedangkan nilai kesalahan terendah sebesar 1,312 meter. Nilai
kesalahan tersebut didapatkan dari selisih kedalaman antara kedalaman rata-rata
awal dengan kedalaman rata-rata akhir.
Tabel 2 Kualitas data batimetri hasil deteksi dan pengukuran multibeam
echosounder (MBES) di perairan Laut Halmahera
Posisi Titik Analisis

Kedalaman

Kesalahan

Limit
error

Data
Awal

Akhir

σ

d awal
(m)

d akhir
(m)

|s|
(m)

(m)

3029,341

781,553
932,005
882,462
1343,129
956,394
1174,623

3032,052
3059,458
3040,650
779,104
926,379
887,514
1339,987
958,412
1175,935

2,711
2,732
6,687
2,448
5,626
5,052
3,142
2,018
1,312

69,682
70,312
70,096
18,004
21,459
20,321
30,908
22,226
27,035

0°44'38,4" 1472,509
0°45'21,59" 1403,866

1469,281
1408,555

3,228
4,688

33,882
32,304

Bujur

Lintang

Bujur

Lintang

1
2
3
4
5
6
7
8
9

129°59'6"
129°59'6"
129°59'2,4"
129°12'32,4"
129°8'49,19"
129°11'2,39"
129°10'11,99"
129°11'2,39"
129°10'1,2"

0°57'21,59"
1°0'46,79"
0°57'43,19"
0°4'51,6"
0°5'34,8"
0°3'57,6"
0°3'28,8"
0°3'39,6"
0°3'21,59"

129°59'6"
129°59'6"
129°59'2,4"
129°12'32,4"
129°8'49,19"
129°11'2,39"
129°10'11,99"
129°11'2,39"
129°10'1,2"

0°57'17,99"
0°59'56,39"
0°56'31,19"
0°4'8,4"
0°3'43,19"
0°3'32,4"
0°2'23,99"
0°3'21,59"
0°3'10,79"

10
11

128°53'5,99"
128°52'58,8"

0°44'34,79" 128°53'5,99"
0°45'17,99" 128°52'58,8"

3056,736
3047,336

Data 3 memiliki nilai rata-rata kedalaman awal sebesar 3047,336 meter dan
kedalaman akhir sebesar 3040,650 meter dengan nilai kesalahan tertinggi (6,687
meter). Tingginya nilai kesalahan disebabkan oleh rentang kedalaman rata-rata
pada data 3. Kedalaman tersebut memiliki batas toleransi kesalahan sebesar
70,096 meter. Batas toleransi kesalahan dipengaruhi kedalaman, sehingga
semakin dalam perairan maka semakin besar batas toleransi kedalamannya. Pada
data 9 memiliki nilai kedalaman awal sebesar 1174,623 meter dan kedalaman
akhir sebesar 1175,935 meter dengan nilai kesalahan terendah (1,312 meter).
Kedalaman tersebut memiliki batas toleransi kesalahan sebesar 27,035 meter.
Nilai kesalahan dikatakan memenuhi standarisasi orde 2 IHO SP-44 tahun
2008 apabila nilai kesalahan tidak melebihi nilai batas toleransi kesalahan (|s| <
σ). Hal ini menunjukkan bahwa nilai kesalahan pengukuran pada penelitian ini
memenuhi standarisasi orde 2 IHO SP-44 tahun 2008, sehingga kualitas data
batimetri yang dihasilkan dikategorikan baik dengan selang kepecayaan 95%.
Kedalaman di perairan Laut Halmahera berkisar antara 21 sampai 6.448
meter. Berdasarkan IHO SP-44 tahun 2008, dimensi kedalaman laut tersebut
termasuk kedalam kategori laut dalam. Penggunaan orde 2 sesuai dengan
standarisasi yang dikeluarkan oleh IHO untuk survei hidrografi di perairan yang
melebihi 200 meter. Hasil Tabel 2 membuktikan bahwa kedalaman rata-rata
melebihi 200 meter.
Perbedaan kedalaman pada saat pemeruman dipengaruhi oleh kecepatan
kapal dan sifat fisik air laut. Kecepatan kapal mempengaruhi hasil pengukuran
kedalaman dikarenakan adanya perbedaan kerangka acuan yang mengakibatkan
perbedaan nilai besaran dibandingkan dengan pengambilan data dalam kondisi

10

diam. Permukaan air yang dinamik menyebabkan kapal dalam keadaan miring
sehingga terjadi perubahan kedalaman (Sarmili and Halbach 2001; Cardwell and
Isacks 1978).
Sifat fisik air laut seperti kecepatan suara, suhu dan salinitas. Kecepatan
suara mempengaruhi hasil pengukuran kedalaman karena perambatan gelombang
suara mengalami hambatan. Perubahan kedalaman mempengaruhi suhu dan
salinitas perairan sehingga mempengaruhi densitas perairan juga. Semakin dalam
perairan, maka densitas akan semakin besar. Perubahan densitas ini akan
mengakibatkan kecepatan rambat gelombang akustik. Hal ini mengakibatkan
penjalaran gelombang akustik mengalami pemantulan dan pembiasan selama
melintasi lapisan air laut (Mazel 1985).

Perbandingan Data Batimetri Perairan berdasarkan MBES dan SRTM
Perairan Laut Halmahera
Jalur pemeruman MBES di perairan Laut Halmahera dapat dilihat pada
Gambar 4. Jalur pemeruman tersebut terletak pada koordinat 128° 43' 39.3594"131° 32' 54.9594" BT dan 1° 2' 43.8" LU-1° 9' 27.7194" LS. Kedalaman
pemeruman di perairan ini berkisar antara 21 sampai 6448 meter. Pada koordinat
yang sama, menghasilkan kedalaman perairan berdasarkan data batimetri dari
citra radar SRTM berkisar antara 0 sampai 4465.07 meter di perairan dan 0
sampai 1026.726 meter di daratan. Ketebalan jalur lintasan (Gambar 4)
disebabkan adanya pancaran gelombang akustik dari beam yang terpasang pada
kapal.

Gambar 4 Lintasan survei MBES perairan Laut Halmahera

11

Pengolahan batimetri perairan berdasarkan hasil pemeruman MBES dan
data batimetri SRTM di perairan Laut Halmahera menggunakan perangkat lunak
Matlab R2013a dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil pengolahan batimetri tersebut
merupakan profil batimetri dalam plot 3 dimensi. Profil batimetri ini
menunjukkan perbandingan antara hasil pengukuran kedalaman perairan
menggunakan MBES dan SRTM.
Gambar 5 menunjukkan sebaran kedalaman perairan yang variatif antara
MBES dan SRTM. Profil kedalaman perairan dapat terlihat jelas dengan
menggunakan plot 3 dimensi dari perangkat lunak Matlab R2013a. Variasi warna
kedalaman perairan menggunakan plot 3 dimensi dapat mendeskripsikan
kedalaman perairan di wilayah tersebut sehingga topografinya dapat terlihat
dengan jelas (Rostianingsih dan Kartika 2004). Plot tiga dimensi pada gambar
diatas menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan terkait dengan data hasil
pengukuran MBES dengan data yang diperoleh dari citra radar SRTM. Perbedaan
yang signifikan terlihat pada nilai rentang warna dari tampilan MBES dan SRTM
(Whiteway 2009). Gambar 5 menunjukkan profil batimetri perairan Laut
Halmahera dalam tampilan 3 dimensi berdasarkan MBES dan SRTM.
(m)

(1)

(m)

(2)

Gambar 5 Profil batimetri perairan Laut Halmahera dalam tampilan 3 dimensi. (1)
MBES dan (2) SRTM
Pada profil batimetri 3 dimensi dari pemeruman MBES dan SRTM
memiliki nilai kedalaman perairan yang berbeda berdasarkan variasi warna. Hal
ini dikarenakan SRTM hanya melakukan pengukuran batimetri berdasarkan paras
muka laut dengan resolusi spasial rata-rata 30 meter dan resolusi temporal 30
detik (Becker et al. 2009).
Kedalaman perairan Laut Halmahera berdasarkan data dari MBES pada
koordinat 129° 0' 0"-131° 0' 0" BT dan 1° 0' 0" LU-1° 0' 0" LS memiliki
kedalaman rata-rata berada pada kisaran dari 0-6448 meter sedangkan data dari
SRTM pada kisaran bujur dan lintang yang sama memiliki kedalaman rata-rata 04500 meter di perairan dan 0-1030 meter di daratan. Hal ini menunjukkan bahwa

12

kualitas pengambilan data batimetri dengan menggunakan MBES lebih baik dan
detail dibandingkan dengan SRTM (Beaman and Philip 2011; Reuter et al. 2007).
Perairan Laut Seram
Jalur pemeruman MBES di perairan Laut Seram dapat dilihat pada gambar
6. Jalur pemeruman tersebut terletak pada koordinat 127° 15' 59.04"-128° 25'
28.55" BT dan 1° 42' 50.39"-4° 2' 50.63" LS. Kedalaman pemeruman di perairan
ini berkisar antara 17 sampai 6469 meter. Pada koordinat yang sama,
menghasilkan kedalaman perairan berdasarkan data batimetri dari citra radar
SRTM berkisar antara 0 sampai 5357.43 meter di perairan dan 0 sampai 988.226
di daratan. Gambar 6 menunjukkan lintasan survei perairan Laut Seram.

Gambar 6 Lintasan survei MBES perairan Laut Seram
Berdasarkan hasil pemeruman MBES dan data batimetri SRTM di
Laut Seram dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil pengolahan batimetri
menggambarkan profil batimetri dalam plot 3 dimensi. Pada gambar
menunjukkan perbandingan antara hasil pengukuran kedalaman
menggunakan MBES dan SRTM.

perairan
tersebut
tersebut
perairan

13

(m)

(1)

(m)

(2)

Gambar 7 Profil batimetri perairan Laut Seram dalam tampilan 3 dimensi.
(1) MBES dan (2) SRTM
Gambar 7 menunjukkan sebaran kedalaman perairan yang variatif antara
MBES dan SRTM. Variasi kedalaman perairan menggunakan plot 3 dimensi
dapat mendeskripsikan kedalaman perairan di wilayah tersebut sehingga
topografinya dapat terlihat dengan jelas (Rostianingsih dan Kartika 2004). Plot
tiga dimensi pada gambar diatas menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan
terkait dengan data hasil pengukuran MBES dengan data yang diperoleh dari citra
radar SRTM. Perbedaan yang signifikan terlihat pada nilai rentang warna dari
tampilan MBES dan SRTM (Whiteway 2009).
Profil batimetri 3 dimensi dari pemeruman MBES memiliki nilai
kedalaman perairan yang berbeda dibandingkan dengan profil batimetri 3 dimensi
dari citra radar SRTM. Hal ini dikarenakan SRTM hanya melakukan pengukuran
batimetri berdasarkan paras muka laut dengan resolusi spasial rata-rata 30 meter
dan resolusi temporal 30 detik (Becker et al. 2009).
Pemeruman di perairan Laut Seram antara MBES dan SRTM memiliki
kualitas batimetri yang baik meskipun terdapat perbedaan kedalaman perairan
secara visualisasi. Kedalaman perairan Laut Seram berdasarkan data dari MBES
pada koordinat 127° 24' 0"-128° 0' 0" BT dan 2° 0' 0"-2° 30' 0" LS menunjukkan
tampilan kedalaman yang berbeda. Pada MBES terlihat kedalaman berkisar antara
3000-6000 meter sedangkan SRTM memiliki kedalaman 0-6000 meter.
Selanjutnya, tampilan 3 dimensi SRTM pada koordinat 127° 47' 59.99"-128° 24'
0" BT dan 2° 30' 0"-4° 0' 0" LS menunjukkan adanya daratan. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas pengambilan data batimetri dengan menggunakan
MBES lebih baik dibandingkan SRTM (Beaman and Philip 2011; Reuter et al.
2007).
Perairan Laut Banda
Jalur pemeruman MBES di perairan Laut Banda dapat dilihat pada gambar
8. Jalur pemeruman tersebut terletak pada koordinat 125° 45' 32.4"-127° 22'
58.08" BT dan 4° 2' 27.6"-7° 41' 55.31" LS. Kedalaman pemeruman di perairan
ini berkisar antara 16 sampai 6484 meter. Pada koordinat yang sama,

14

menghasilkan kedalaman perairan berdasarkan data batimetri dari citra radar
SRTM berkisar antara 0 sampai 5783.78 meter di perairan dan 0 sampai 1224.167
meter di daratan. Gambar 8 menunjukkan lintasan survei perairan Laut Banda.

Gambar 8 Lintasan survei MBES perairan Laut Banda
Pengolahan batimetri perairan berdasarkan hasil pemeruman MBES dan
data batimetri SRTM di perairan Laut Banda dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil
pengolahan batimetri tersebut merupakan profil batimetri dalam plot 3 dimensi.
Profil batimetri ini menunjukkan perbandingan antara hasil pengukuran
kedalaman perairan menggunakan MBES dan SRTM. Gambar 9 menunjukkan
tampilan 3 dimensi perairan Laut Banda berdasarkan MBES dan SRTM.

15

(m)

(1)

(m)

(2)

Gambar 9 Profil batimetri perairan Laut Banda dalam tampilan 3 dimensi.
(1) MBES dan (2) SRTM
Gambar diatas menunjukkan sebaran kedalaman perairan yang variatif
antara MBES dan SRTM. Profil kedalaman perairan dapat terlihat jelas dengan
menggunakan plot 3 dimensi. Variasi kedalaman perairan menggunakan plot 3
dimensi dapat mendeskripsikan kedalaman perairan di wilayah tersebut sehingga
topografinya dapat terlihat dengan jelas (Rostianingsih dan Kartika 2004). Plot
tiga dimensi pada gambar diatas menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan
terkait dengan data hasil pengukuran MBES dengan data yang diperoleh dari citra
radar SRTM. Perbedaan yang signifikan terlihat pada nilai rentang warna dari
tampilan MBES dan SRTM (Whiteway 2009).
Hasil pemeruman di perairan Laut Banda antara MBES dan SRTM
memiliki kualitas batimetri yang baik meskipun terdapat perbedaan kedalaman
perairan secara visualisasi. Kedalaman perairan Laut Banda berdasarkan data dari
MBES dan SRTM pada koordinat yang sama yaitu 125° 0' 0"-127° 0' 0" BT dan
4° 0' 0"-6° 0' 0" LS menunjukkan tampilan yang berbeda. Profil kedalaman dari
pemeruman MBES memiliki kedalaman yang berkisar antara 2000-6000 meter
sedangkan SRTM memiliki kedalaman yang berkisar antara 1500-7000 meter. Hal
ini menunjukkan bahwa kualitas pengambilan data batimetri dengan
menggunakan MBES lebih baik karena pemeruman dilakukan secara insitu
(Beaman and Philip 2011; Reuter et al. 2007).
Perairan Selat Ombai
Jalur pemeruman MBES di perairan Selat Ombai dapat dilihat pada Gambar
10. Jalur pemeruman tersebut terletak pada koordinat 125° 22' 57.3594"- 125° 51'
12.23" BT dan 7° 38' 49.2"-8° 37' 46.91" LS. Kedalaman pemeruman di perairan
ini berkisar antara 22 sampai 6434 meter. Pada koordinat geodetik yang sama,
kedalaman perairan berdasarkan data batimetri dari citra radar SRTM berkisar
antara 0 sampai 4851.44 meter di perairan dan 0-1508.969 di daratan. Gambar 10
menunjukkan lintasan survei perairan Laut Selat Ombai.

16

Gambar 10 Lintasan survei MBES perairan Selat Ombai
Pengolahan batimetri perairan berdasarkan hasil pemeruman MBES dan
data batimetri SRTM di perairan Selat Ombai dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil
pengolahan batimetri tersebut merupakan profil batimetri dalam plot 3 dimensi.
Profil batimetri ini menunjukkan perbandingan antara hasil pengukuran
kedalaman perairan menggunakan MBES dan SRTM. Gambar 11 menunjukkan
tampilan 3 dimensi perairan Selat Ombai berdasarkan MBES dan SRTM.
(m)

(m)

(1)

(2)

Gambar 11 Profil batimetri perairan Selat Ombai dalam tampilan 3 dimensi.
(1) MBES dan (2) SRTM

17

Gambar 11 menunjukkan sebaran kedalaman perairan yang variatif antara
MBES dan SRTM. Profil kedalaman perairan dapat terlihat jelas dengan
menggunakan plot 3 dimensi. Variasi kedalaman perairan menggunakan plot 3
dimensi dapat mendeskripsikan kedalaman perairan di wilayah tersebut sehingga
topografinya dapat terlihat dengan jelas (Rostianingsih dan Kartika 2004). Plot
tiga dimensi pada gambar diatas menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan
terkait dengan data hasil pengukuran MBES dengan data yang diperoleh dari citra
radar SRTM. Perbedaan yang signifikan terlihat pada nilai rentang warna dari
tampilan MBES dan SRTM (Whiteway 2009).
Pemeruman di perairan Selat Ombai antara MBES dan SRTM memiliki
kualitas batimetri yang baik meskipun terdapat perbedaan kedalaman perairan
secara visualisasi. Tampilan 3 dimensi dari pemeruman MBES terlihat lebih detail
dibandingkan SRTM. Kedalaman perairan Selat Ombai berdasarkan data dari
MBES dan SRTM pada koordinat yang sama yaitu 124° 30' 0"-125° 30' 0" BT
dan 7° 42' 0"-8° 35' 59.99" LS secara keseluruhan menunjukkan tampilan yang
hampir sama. Profil kedalaman dari pemeruman MBES memiliki kedalaman yang
berkisar antara 2000-6500 meter sedangkan SRTM memiliki kedalaman yang
berkisar antara 0-5000 meter. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pengambilan
data batimetri dengan menggunakan MBES dan SRTM pada Selat Ombai
menunjukkan kemiripan topografi (Beaman and Philip 2011; Reuter et al. 2007).
Perairan Paparan Sunda Kecil
Jalur pemeruman MBES di perairan Paparan Sunda Kecil dapat dilihat pada
Gambar 12. Jalur pemeruman tersebut terletak pada koordinat 114° 4' 9.1194"124° 24' 16.1994" BT dan 6° 47' 32.2794"-9° 11' 21.1194" LS.

Gambar 12 Lintasan survei MBES perairan Paparan Sunda Kecil

18

Kedalaman pemeruman (Gambar 13) di perairan ini berkisar antara 34
sampai 3708 meter. Pada koordinat geodetik yang sama, kedalaman perairan
berdasarkan data batimetri dari citra radar SRTM berkisar antara 0 sampai
5176.09 meter di perairan dan 0 sampai 3180.974 di daratan.
(m)

(m)

(1)

(2)

Gambar 13 Profil batimetri perairan Paparan Sunda Kecil dalam tampilan 3
dimensi. (1) MBES dan (2) SRTM
Gambar diatas memperlihatkan sebaran kedalaman perairan yang variatif
antara MBES dan SRTM. Profil kedalaman perairan dapat terlihat jelas dengan
menggunakan plot 3 dimensi. Variasi kedalaman perairan menggunakan plot 3
dimensi dapat medeskripsikan kedalaman perairan di wilayah tersebut sehingga
topografinya dapat terlihat dengan jelas. Plot tiga dimensi pada gambar diatas
menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan terkait dengan data hasil
pengukuran MBES dengan data yang diperoleh dari citra radar SRTM. Perbedaan
yang signifikan terlihat pada nilai rentang warna dari tampilan MBES dan SRTM
(Whiteway 2009). Gambar 13 menunjukkan profil batimetri perairan Paparan
Sunda Kecil dalam tampilan 3 dimensi berdasarkan MBES dan SRTM.
Pemeruman di perairan Paparan Sunda Kecil memiliki kualitas batimetri
yang baik meskipun terdapat perbedaan kedalaman perairan secara visualisasi.
Kedalaman perairan Paparan Sunda Kecil berdasarkan data dari MBES dan
SRTM pada koordinat yang sama yaitu 117° 0' 0"-124° 0' 0" BT dan 7° 0' 0"-9° 0'
0" LS secara keseluruhan menunjukkan tampilan yang hampir sama. Kedalaman
dari pemeruman MBES memiliki kedalaman yang lebih rendah dibandingkan
kedalaman dari data SRTM. Kedalaman rata-rata berdasarkan pemeruman MBES
berkisar antara 0-4500 meter sedangkan data dari SRTM berkisar antara 0-8000
meter. Profil kedalaman pada SRTM terlihat adanya daratan yang berkisar antara
0-2000 meter. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pengambilan data batimetri
dengan menggunakan MBES lebih baik karena pemeruman dilakukan secara
insitu (Beaman and Philip 2011; Reuter et al. 2007).

19

Topografi Perairan berdasarkan Multibeam Echosounder (MBES)
Topografi dasar perairan merupakan bentuk relief dasar laut yang berbentuk
unik dan tidak dapat dilihat langsung secara kasat mata. Topografi dapat
divisualisasikan dengan peta yang dikenal sebagai peta batimetri. Peta batimetri
dapat dimanfaatkan dalam berbagai sektor seperti pehubungan laut, eksplorasi,
riset, dan sebagainya (Davis 1974).
Nontji (1993) menyatakan bahwa dasar laut terbagi atas beberapa bentuk
yaitu paparan (shelf) yang dangkal, depresi dalam berbagai bentuk (basin, palung),
berbagai bentuk elevasi berupa punggung (ridge, rise), gunung bawah laut
(seamount), terumbu karang dan sebagainya. Pada tepian benua yang merupakan
peralihan antara daratan dan samudera terdapat perubahan kedalaman dari pantai
ke arah laut, dimulai dari paparan benua (continental shelf) yang relatif sangat
landai dan dangkal (dikenal sebagai landas kontinen), lereng benua (continental
slope) yang lebih curam dan selanjutnya kaki kontinen (continental rise) atau
palung laut dalam (trench). Penggolongan topografi berdasarkan kedalaman yaitu
0-200 meter termasuk kategori continental shelf, 200-2000 meter termasuk
kategori continental slope, 2000-5000 meter termasuk kategori continental rise,
dan 6000-11.000 meter termasuk kategori trench (Stewart 2006).
Perairan Laut Halmahera
Berdasarkan pengambilan data dengan multibeam echosounder di perairan
Laut Halmahera (Gambar 5), terlihat bahwa pada koordinat 128° 43' 39.3594"131° 32' 54.9594" BT dan 1° 2' 43.8" LU-1° 9' 27.7194" LS memiliki tingkat
kedalaman yang berbeda. Rentang kedalaman perairan Laut Halmahera berkisar
antara 200 sampai 4500 meter. Kedalaman tersebut dapat digolongkan ke dalam
continental rise (Stewart 2006).
Perairan Laut Halmahera dengan kisaran kedalaman 200-4500 meter.
Kedalaman ini menunjukkan bahwa di perairan ini terdapat bentuk relief dasar
laut yang di dominasi oleh punggung laut dan guyot. Guyot merupakan gunung di
dasar laut yang memiliki bentuk serupa dengan seamount dengan puncak yang
datar (Nontji 1993). Samudera Pasifik merupakan perairan yang banyak dijumpai
guyot, Laut Halmahera salah satu perairan yang berada sekitar Samudera Pasifik
(Gordon, et al 2003).
Perairan Laut Seram
Berdasarkan pengambilan data dengan multibeam echosounder di perairan
Laut Seram (Gambar 7), terlihat bahwa pada koordinat 127° 15' 59.04"-128° 25'
28.55" BT dan 1° 42' 50.39"-4° 2' 50.63" LS memiliki topografi dasar perairan
yang landai dan berangsur curam dengan kisaran kedalaman 1500-4500 meter.
Kedalaman tersebut dapat digolongkan ke dalam continental rise. Koordinat 127°
24' 0"-128° 0' 0" BT dan 3° 0' 0"-4° 0' 0" LS memiliki topografi dasar perairan
yang curam dan berbentuk cekungan dengan kedalaman 1500-3800 meter
(Stewart 2006).
Kedalaman 1500-4500 di Perairan Laut Seram menunjukkan bentuk relief
dasar laut yang curam. Laut Seram memiliki variasi kedalaman maksimum sekitar

20

1800 sampai 3500 meter dari Kepulauan Aru. Secara umum Laut Seram tidak ada
lantai basin, tetapi terdapat lipatan-lipatan dasar laut yang membentuk palung
(Teas et al. 2009). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa peta batimetri 3
dimensi menunjukkan adanya palung laut pada posisi 127° 24' 0"-127° 47' 59.99"
BT dan 2° 0' 0"-2° 30' 0" LS.
Perairan Laut Banda
Berdasarkan pengambilan data dengan multibeam echosounder di perairan
Laut Banda (Gambar 9), terlihat bahwa pada koordinat 125° 45' 32.4"-127° 22'
58.08" BT dan 4° 2' 27.6"-7° 41' 55.31" LS memiliki topografi dasar perairan
yang landai dengan kisaran kedalaman 2000-4000 meter. Koordinat 125° 0' 0"127° 0' 0" BT dan 5° 0' 0"-6° 0' 0" LS memiliki topografi dasar perairan yang
curam dengan kedalaman 4000-6000 meter. Koordinat 125° 0' 0"-127° 0' 0" BT
dan 6° 0' 0"-7° 0' 0" LS dengan topografi dasar perairan yang berbentuk bukit
dengan kedalaman 2000-6000 meter. Koordinat 125° 0' 0"-127° 0' 0" BT dan 7° 0'
0"-8° 0' 0" LS dengan topografi dasar perairan yang kembali curam dan berbentuk
bukit dengan kedalaman 4000-6000 meter. Kedalaman dari keempat posisi dapat
digolongkan ke dalam continental rise (Stewart 2006).
Kedalaman perairan Laut Banda berada pada kisaran 0 sampai 6000 meter.
Perairan Laut Banda berada di perairan Indonesia bagian timur, perairan ini
terbentuk oleh subduksi dari lempeng Indo-Austalia dibawah lempeng Asia
Tenggara (Cardwell and Isacks 1978). Perairan ini memiliki dua basin yaitu pada
posisi 125° 0' 0"-127° 0' 0" BT dan 7° 0' 0"-7° 30' 0" LS serta 126° 30' 0"-127° 0'
0" BT dan 6° 0' 0"-6° 30' 0" LS. Hal ini berdasarkan fisiografi perairan Indonesia
bagian timur memiliki pulau-pulau yang berderet dengan pemisah laut dalam
sehingga mempunyai tatanan tekanan tektonik lebih rumit (Chase et al. 1994).
Basin tersebut berada di selatan dan utara dengan kedalaman lebih dari 5000
meter (Lapouille et al. 1985), hal ini sesuai dengan peta batimetri 3 dimensi
(Gambar 9) yang memiliki kedalaman 0-6000 meter.
Perairan Selat Ombai
Berdasarkan pengambilan data dengan multibeam echosounder di perairan
Selat Ombai (Gambar 11), terlihat bahwa pada koordinat 125° 22' 57.3594"- 125°
51' 12.23" BT dan 7° 38' 49.2"-8° 37' 46.91" LS memiliki topografi dasar perairan
yang landai dengan kisaran kedalaman 1500-3500 meter. Kedalaman tersebut
dapat digolongkan ke dalam continental rise. Koordinat 125° 0' 0"-125° 47'
59.99" BT dan 8° 11' 59.99"-8° 35' 59.99" LS memiliki topografi dasar perairan
yang semakin curam dengan kedalaman 2000-5000 meter. Kedalaman tersebut
dapat digolongkan ke dalam continental rise (Stewart 2006).
Perairan Selat Ombai dengan kisaran kedalaman 1500-6000 meter
memiliki bentuk relief dasar laut yang berbeda-beda. Guyot dan punggung laut
merupakan bentuk relief dassar laut yang mendominasi di perairan Selat Ombai.
Selat ombai yang terletak di selatan Laut Banda memiliki pengaruh tektonik.
Pulau-pulau yang terdapat di sekitar Selat Ombai berderet dengan pemisah laut,
hal ini sesuai dengan fisiografi perairan Indonesia bagian timur yang memilki
banyak pulau dengan tatanan tektonik dasar laut yang rumit. Peta batimetri Selat

21

Ombai menunjukkan beberapa tatanan tektonik yang rumit dengan terdapatnya
punggung laut dan guyot yang tidak beraturan (Chase et al. 1994).
Perairan Paparan Sunda Kecil
Berdasarkan pengambilan data dengan multibeam echosounder di perairan
Paparan Sunda Kecil (Gambar 13), terlihat bahwa pada koordinat 114° 4' 9.1194"124° 24' 16.1994" BT dan 6° 47' 32.2794"-9° 11' 21.1194" LS memiliki topografi
dasar perairan yang semakin dalam dengan kisaran kedalaman 0-2000 meter.
Kedalaman tersebut dapat digolongkan ke dalam continental slope. Selanjutnya,
koordinat 120° 0' 0"-124° 0' 0" BT dan 7° 0' 0"-9° 0' 0" LS memiliki topografi
dasar perairan yang bervariasi dengan kisaran kedalaman 1500-4000 meter.
Kedalaman tersebut dapat digolongkan ke dalam continental rise (Stewart 2006).
Perairan Paparan Sunda Kecil dengan kisaran kedalaman 0-4000 meter
memiliki bentuk relief dasar laut yang berbeda-beda. Punggung laut dan gunung
bawah laut merupakan bentuk relief dasar perairan Paparan Sunda Kecil.
Ekspedisi Bandamin 1 sampai 3 dengan lokasi yaitu Laut Flores Timur pada
posisi 123°43’12”-123°54’ BT dan 7°56’24”-8°3’36” LS dan perairan selatan
Pantar, Laut Timor pada posisi 123°43’12”-123°54’00” BT dan 7°56’24”-8°3’36”
LS menunjukkan adanya gunung bawah laut (Noor 2003;Sarmili and Halbach
2001). Ekspedisi ini mendukung hasil penelitian pada posisi 114° 4' 9.11"-124°
24' 16.19" BT dan 6° 47' 32.27"-9° 11' 21.11" LS terdapat gunung bawah laut.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kedalaman laut hasil pemeruman menggunakan MBES di perairan Laut
Halmahera berkisar antara 21 sampai 6448 meter, Laut Seram berkisar antara 17
sampai 6469 meter, Laut Banda berkisar antara 16 sampai 6484 meter, Selat
Ombai berkisar antara 22 sampai 6434 meter, dan perairan Paparan Sunda Kecil
berkisar antara 34 sampai 3708 meter, sedangkan kedalaman laut berdasarkan
SRTM di perairan Laut Halmahera berkisar antara 0 sampai 4465.07 meter, Laut
Seram berkisar antara 0 sampai 5357.43 meter, Laut Banda berkisar antara 0
sampai 5783.78 meter, Selat Ombai berkisar antara 0 sampai 4851.44 meter, dan
perairan Paparan Sunda Kecil berkisar antara 0 sampai 5176.09 meter.
Hasil pemeruman multibeam echosounder di perairan Laut Halmahera
memenuhi standar ketelitian IHO SP-44 tahun 2008. Kualitas pengambilan data
batimetri pada jalur pelayaran INDOMIX 2010 menggunakan MBES lebih baik
dibandingkan citra radar SRTM dengan menghasilkan topografi dasar laut berupa
basin (Laut Banda), gunung bawah laut (perairan Paparan Sunda Kecil), guyot
(Laut Halmahera dan Selat Ombai), palung (Laut Seram), dan punggung laut
(Laut Halmahera dan Selat Ombai) yang terlihat jelas dan dapat diinterpretasikan
secara visual.

22

Saran
Penelitian lebih lanjut harus dilakukan dengan menambahkan beberapa
parameter pendukung. Parameter oseanografi seperti arus, pasang surut, dan
gelombang, sedangkan parameter geologi memiliki fungsi untuk mengetahui
morfologi dasar laut seeperti pngambilan sedimen. Kedua parameter tersebut
membantu dan memastikan bahwa topografi dasar laut dengan berbagai bentuk
dapat diketahui dengan jel