Model Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan Pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji Di Bogor.

MODEL PERILAKU KESELAMATAN KERJA KARYAWAN
PADA STASIUN PENGISIAN BULK ELPIJI DI BOGOR

USEP FIRDAUS ANWAR HUDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Perilaku
Keselamatan Kerja Karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Bogor adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Mei 2016

Usep Firdaus Anwar Huda
H251120211

RINGKASAN
USEP FIRDAUS ANWAR HUDA. Model Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan
pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Bogor. Dibimbing oleh ANGGRAINI
SUKMAWATI dan I MADE SUMERTAJAYA.

Tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi dan cenderung
meningkat setiap tahunnya. Faktor yang paling dominan sebagai penyebab
terjadinya kecelakaan adalah rendahnya perilaku keselamatan kerja karyawan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel-variabel yang memiliki
pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku keselamatan kerja
karyawan. Beberapa variabel yang diduga memiliki pengaruh tersebut antara lain:
kepemimpinan keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja, kepuasan kerja,
kelelahan, dan motivasi keselamatan kerja. Hubungan kausal diantara variabelvariabel tersebut digambarkan dalam sebuah model struktural perilaku
keselamatan kerja.

Populasi penelitian ini adalah seluruh karyawan SPBE di Kota dan
Kabupaten Bogor. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multy stage
random sampling dua tahap. Tahap pertama, Bogor dibagi menjadi empat klaster,
yaitu: Bogor Barat, Bogor Timur, Bogor Utara, dan Bogor Tengah. Dari masingmasing cluster tersebut dipilih SPBE sebagai sampel secara acak. Tahap kedua,
SPBE yang telah terpilih menjadi sampel penelitian dibagi menjadi dua stratifikasi
berdasarkan lingkungan kerja, yaitu: lingkungan kerja kantor dan lingkungan
kerja lapangan. Total sampel yang terpilih sebanyak 100 resonden dan hanya 69
yang dapat dianalisis. Metode analisis data menggunakan structural equation
modelling analysis-partial least squares (SEM-PLS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan safety memiliki
pengaruh yang positif terhadap iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan
kerja, iklim keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap motivasi
keselamatan kerja, dan motivasi keselamatan kerja memiliki pengaruh yang
positif terhadap perilaku keselamatan kerja.
Kata kunci: iklim keselamatan kerja, kecelakaan kerja, kepemimpinan
keselamatan kerja, motivasi keselamatan kerja, perilaku
keselamatan kerja.

SUMMARY
USEP FIRDAUS ANWAR HUDA. Behaviour Model of Worker’s Safety at Elpiji

Bulk Filling Station Bogor. Supervised by ANGGRAINI SUKMAWATI and I
MADE SUMERTAJAYA.
Workplace accident rate in Indonesia is still high and it tends to increase
each year. The most dominant factor causing accident is lack of worker’s safety
behavior. The objective of this research is to analyze variables influencing
worker’s safety behavior both directly and indirectly. The variables cover safety
leadership, safety climate, job satisfaction, fatigue and motivation of safety. The
causal relation of variables was illustrated by a structural model of safety
behavior.
The population of this research is all employees of Elpiji Bulk Filling S
tation (SPBE) in the city and the regency of Bogor. Sampling technique used
multy stage random sampling conducting in two stages. Firstly, Bogor was
divided into four clusters: West Bogor, East Bogor, North Bogor and Central
Bogor. SPBE as the sample were taken from each cluster by using random
sampling. Secondly, all sampling SPBE were divided into two stratifications
based on office and field environment. There were 69 questionnaires analyzed
from 100 respondenst. The methods of analyzing the data was structural equation
modeling analysis-partial least squares (SEM-PLS).
The result indicated that safety leadership had positive effect on safety
climate and worker’s safety behavior. Safety climate had positive effect on

motivation of safety, and motivation of safety had positive effect on worker’s
safety behavior.
Keywords: safety climate, safety leadership, safety motivation, safety behaviour,
workplace accident

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

MODEL PERILAKU KESELAMATAN KERJA KARYAWAN
PADA STASIUN PENGISIAN BULK ELPIJI DI BOGOR

USEP FIRDAUS ANWAR HUDA


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Drs. Sukiswo Dirdjosuparto

PRAKATA
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
Qudroh dan Irodah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Mei 2015 ini adalah
Manajemen Sumber Daya Manusia, dengan judul Model Perilaku Keselamatan
Kerja Karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel-variabel yang memiliki
pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku keselamatan kerja

karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) bersubsidi di Bogor.
Hubungan kausal diantara variabel-variabel tersebut kemudian digambarkan
dalam sebuah model struktural perilaku keselamatan kerja. Selain bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada bidang terkait, hasil penelitian ini juga
diharapkan bermanfaat bagi para pengelola SPBE untuk mengurangi tingkat risiko
terjadinya kecelakaan kerja dengan cara meningkatkan perilaku keselamatan kerja
karyawannya, dan pada akhirnya dapat turut serta membantu mensukseskan
program konversi energi pemerintah dari minyak tanah ke gas elpiji.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Anggraini Sukmawati, MM
dan Dr. Ir. I Made Sumertajaya, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan masukan selama penulis menyelesaikan karya
ilmiah ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Drs. Sukiswo
Dirdjosuparto yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada saat ujian tesis dan
Bapak Arie Anggoro selaku Domestic Gas Region III Manager PT. Pertamina
(persero) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian
pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) di Kota dan Kabupaten Bogor.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
pada bidang terkait, bagi pemerintah, Pertamina, pengelola SPBE, dan seluruh
pihak yang berkepentingan.


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iii

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Batasan Penelitian


1
1
2
3
3
4

2. TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Teoritis
Keselamatan Kerja dan Kecelakaan Kerja
Teori Perilaku
Perilaku Keselamatan Kerja
Motivasi Keselamatan Kerja
Gaya Kepemimpinan dan Kepemimpinan Keselamatan Kerja
Iklim Orgaisasi dan Iklim Keselamatan Kerja
Kelelahan
Kepuasan Kerja
Uji Validitas
Uji Reliabilitas
Sructural Equation Modelling (SEM)

Bentuk SEM dengan Partial Least Square (PLS)
Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya

4
4
4
4
5
6
7
8
9
9
10
11
11
12
14

3. METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran penelitian
Kerangka Konseptual Penelitian
Hipotesis Penelitian
Tahapan Penelitian
Penentuan Lokasi Penelitian
Penentuan Data dan Sumber Data
Responden dan Pemilihan Responden
Analisis Data
Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

16
16
17
18
19
20
20
20
21
21


4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Sampel Karyawan SPBE
Potret Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan
Potret Kepuasan Kerja Karyawan
Potret Kelelahan Kerja Karyawan
Potret Iklim Keselamatan Kerja
Potret Kepemimpinan Keselamatan Kerja

21
21
23
23
24
25
25

ii

Hubungan Karakteristik Profil Responden
dan Variabel Laten Penelitian
Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja
Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja
Pengaruh Motivasi Keselamatan Kerja terhadap Perilaku
Keselamatan Kerja
Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Motivasi
Keselamatan Kerja
Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja
Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap
Iklim Keselamatan Kerja
Pengaruh Iklim Keselamatan Kerja terhadap Motivasi
Keselamatan Kerja
Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Perilaku
Keselamatan Kerja
Pengaruh Kelelahan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja

26
27
29

30
31
32
32
34
34
35

5. IMPLIKASI MANAJERIAL

36

6. KESIMPULAN DAN SARAN

37

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN

41
DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14
15
16

Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya
Definisi Konseptual Variabel Laten
Nilai Cronbach’s Alpha Uji Reliabilitas
Profil Responden
Rataan Skor Perilaku Keselamatan Kerja
Masing-masing Profil Responden
Rataan Skor Kepuasan Kerja Masing-masing Profil Responden
Rataan Skor Kelelahan Masing-masing Profil Responden
Rataan Skor Iklim Keselamatan Kerja
Masing-masing Profil Responden
Rataan Skor Masing-masing Konstruk Iklim Keselamatan Kerja
Rataan Skor Persepsi Kepemimpinan Keselamatan Kerja
Masing-masing Profil Responden
Korelasi antara Mekanisme Kerja Shift dan Perilaku
Keselamatan Kerja
Korelasi antara Masa Kerja dan Iklim Keselamatan Kerja
Variabel Laten, Konstruk, dan Nilai Loading Factor
Model Pengukuran
Composite Reliability, Cronbachs Alpha,
dan AVE Model Pengukuran
Kriteria Evaluasi Model Struktural
Nilai Path Coefficient Model

15
18
21
22
23
24
24
25
25
26
26
27
28
29
30
30

iii

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Angka Kecelakaan Kerja Di Indonesia Tahun 2007 – 2014
Contoh Model Path PLS
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka Konseptual Penelitian
Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja
Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja
Hubungan Struktur Motivasi Keselamatan Kerja dan Perilaku
Keselamatan Kerja
Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan Kerja
dan Motivasi Keselamatan Kerja
Hubungan Struktur Kepuasan Kerja dan Motivasi
Keselamatan Kerja
Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan Kerja
dan Iklim Keselamatan Kerja
Hubungan Struktur Iklim Keselamatan Kerja dan Motivasi
Keselamatan Kerja
Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan kerja
dan Perilaku Keselamatan Kerja
Hubungan Struktur Kelelahan dan Perilaku Keselamatan Kerja

1
13
17
17
27
29
31
31
32
33
34
35
35

DAFTAR LAMPIRAN
1

Hasil Analisis Uji Validitas Kuesioner

41

1

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi dan cenderung
meningkat setiap tahunnya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan mencatat angka kecelakaan kerja tahun 2014 mencapai 129.911
kasus dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 6.8 persen per tahun antara
tahun 2007 sampai tahun 2014. Gambar 1 menunjukkan angka kecelelakaan kerja
karyawan di Indonesia antara tahun 2007 sampai tahun 2014.

129.911

83.714

2007

96.314

98.711

99.491 103.074 103.283

94.736

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Gambar 1. Angka Kecelakaan Kerja Di Indonesia Tahun 2007 – 2014 (sumber:
BPJS Ketenagakerjaan 2015)

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa tahun
2013 tercatat sembilan orang meninggal setiap harinya akibat kecelakaan kerja.
Jumlah itu meningkat 50 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya
mencatat enam orang meninggal setiap harinya akibat kecelakaan kerja.
Internasional Labor Organization (ILO) memiliki data bahwa di Indonesia ratarata per tahun terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja. Dari total jumlah itu,
sekitar 70 persen mengakibatkan kematian dan cacat (Tri 2014). Jika dihitung,
besarnya kerugian akibat kecelakaan kerja tersebut mencapai 283 triliun per
tahun. Ini sama dengan 4 persen pendapatan domestik bruto Indonesia (Ginting
2013). Selain berdampak pada hilangnya nyawa, tingginya angka kecelakaan kerja
ini juga berdampak pada menurunnya kinerja dan produktivitas perusahaan.
Faktor yang paling dominan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan kerja
di industri berisiko tinggi adalah karena perilaku kerja yang tidak selamat (Astuti
2010). Hasil analisa kecelakaan di tempat kerja menunjukkan bahwa 73 persen
diantaranya disebabkan faktor perilaku kerja yang tidak selamat (Ginting 2013).
Hasil investigasi International Nuclear Safety Group (INSAG) dibawah naungan
International Atomic Energy Agency (IAEA) tahun 1992 menyimpulkan bahwa
terjadinya kecelakaan pada reaktor nuklir di Chernobyl dikarenakan lemahnya
budaya keselamatan kerja, dan perilaku tidak selamat inilah yang menjadi sumber
utamanya (Astuti 2010).
Penelitian ini dilakukan pada karyawan Stasiun Pengisian Bulk Elpiji
(SPBE) bersubsidi di Kabupaten dan Kota Bogor. Industri jasa pengisian gas elpiji
tersebut telah menjamur hampir merata di kabupaten dan kota di seluruh provinsi
di Indonesia seiring dengan digulirkannya program konversi penggunaan energi,
dari minyak tanah ke gas elpiji oleh pemerintah tahun 2007. Undang-undang (UU)

2

Nomor 22 tahun 2001 menyebutkan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan
dan kelancaran pendistribusian bahan bakar (minyak) yang merupakan komoditas
vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam tataran praktis, UU tersebut diperinci
dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 dan Nomor 104 Tahun
2007 yang diikuti oleh Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Nomor 3175 K/IO/MEM/2007. Keputusan presiden dan menteri ESDM
tersebut telah menandai babak baru penggunaan energi di Indonesia, dari minyak
tanah ke gas elpiji, khususnya ukuran 3 kg. Sejak saat itu, penggunaan elpiji
sebagai sumber energi, khususnya bagi kebutuhan rumah tangga, sudah merata di
masyarakat.
Sifat dan karakteristik gas elpiji sangat berbahaya karena mudah terbakar,
bahkan meledak jika tersulut api. SPBE merupakan perusahaan dengan
lingkungan kerja berisiko tinggi (high-risk), maka kecelakaan kerja yang mungkin
akan timbul akibat adanya perilaku kerja yang tidak selamat dapat berdampak
lebih luas dan berbahaya jika dibandingkan kecelakaan di lingkungan kerja biasa.
Kelalaian yang menyebabkan kecelekaan kerja dapat membahayakan seluruh
karyawan SPBE dan masyarakat yang berada di sekitarnya. Kebakaran yang
terjadi pada depot elpiji milik Pertamina di Makasar pada tahun 2009 menjadi
contoh mengerikannya dampak yang ditimbulkan akibat kecelakaan kerja yang
terjadi. Selain menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi, kebakaran tersebut
juga telah mengakibatkan terganggunya suplai dan distribusi gas elpiji pada
masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, penting bagi SPBE sebagai industri berisiko
tinggi, melakukan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja
dengan cara menciptakan dan meningkatkan perilaku keselamatan kerja bagi
seluruh karyawannya.
Griffin dan Neal (2006) menyebutkan bahwa motivasi keselamatan kerja
merupakan media yang menghubungkan antara iklim keselamatan kerja dan
perilaku keselamatan kerja. Motivasi keselamatan kerja dapat dipengaruhi oleh
kepemimpinan keselamatan kerja (Hafizah et al. 2014) dan kepuasan kerja
karyawan (Hezberg dalam Kim et al. 2002). Sedangkan iklim keselamatan kerja
dapat dipengaruhi oleh kepemimpinan keselamatan kerja (Xuesheng dan Wenbiao
2012). Selain itu, perilaku keselamatan kerja karyawan dapat juga dipengaruhi
secara langsung oleh kepemimpinan keselamatan kerja (Mullen dan Kelloway
2009) dan kelelahan kerja (El-Moneem dan Keshk 2012).
Perumusan Masalah
Angka kecelakaan kerja yang cukup tinggi, bahkan cenderung meningkat
dari tahun ke tahun merupakan fenomena yang memprihatinkan potret dunia kerja
di negeri ini. Rendahnya perilaku keselamatan kerja diindikasikan sebagai
penyebeb utama tingginya angka kecelakaan ini (Astuti 2010). SPBE bersubsidi
sebagai industri yang berisiko tinggi patut menjadi perhatian utama berkaitan
dengan masalah ini. Dampak yang ditimbulkan oleh lemahnya kesadaran dan
perilaku keselamatan kerja karyawan pada industri tersebut dapat lebih besar dan
lebih luas bila dibandingkan dengan industri lainnya. Keberadaan SPBE yang
tersebar hampir di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia bertanggung jawab
terhadap ketersediaan dan ketahanan energi nasional, khususnya kebutuhan energi
rumah tangga. Permasalahan yang terjadi pada industri ini akan berdampak luar

3

biasa. Selain kerugian materi dan korban jiwa, kecelakaan kerja yang terjadi di
SPBE dapat mengganggu kinerja SPBE dan menyebabkan terganggunya suplai
energi di masyarakat.
Penelitian ini mencoba merumuskan faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi perilaku keselamatan kerja pada karyawan SPBE, baik secara
lansung maupun tidak langsung dan mengembangkan sebuah model yang
menggambarkan hubungan diantara faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor yang
diduga berpengaruh terhadap perilaku tersebut adalah: kepemimpinan
keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja, kepuasan kerja, motivasi keselamatan
kerja dan kelalahan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model perilaku keselamatan
kerja karyawan pada industri berisiko tinggi dan menganalisis hubungan diantara
beberapa faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap perilaku keselamatan
kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya :
1. Menganalisis pengaruh motivasi keselamatan kerja karyawan terhadap
perilaku keselamatan kerja karyawan.
2. Menganalisis pengaruh kepemimpinan keselamatan kerja terhadap motivasi
keselamatan kerja karyawan.
3. Menganalisis pengaruh kepuasan kerja terhadap motivasi keselamatan kerja
karyawan.
4. Menganalisis pengaruh kepemimpinan keselamatan kerja terhadap iklim
keselamatan kerja.
5. Menganalisis pengaruh iklim keselamatan kerja terhadap motivasi
keselamatan kerja karyawan.
6. Menganalisis pengaruh kepemimpinan keselamatan kerja terhadap perilaku
keselamatan kerja karyawan.
7. Menganalisis pengaruh kelelahan terhadap perilaku keselamatan kerja
karyawan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat setidaknya pada dua aspek berikut:
A. Aspek Praktis
Hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat berguna bagi
para pengusaha dan manajer SPBE bersubsidi untuk menyelaraskan strategi
SDM dan organisasi dengan faktor-faktor yang dapat memunculkan
perilaku keselamatan kerja bagi seluruh karyawannya sehingga dapat
mengurangi risiko terjadinya kecelakaan kerja dan menciptakan lingkungan
kerja yang selamat.
Bagi pemerintah, dalam hal ini Pertamina, manfaat yang dapat
diperoleh adalah adanya pencerahan bagi penyusunan strategi yang lebih
luas dalam upaya mengurangi risiko terjadinya kecelakaan kerja dan
peningkatan kualitas keselamatan kerja di seluruh SPBE bersubsidi yang
menjadi rekanannya. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan kelancaran
suplai dan distribusi gas elpiji subsidi di tengah-tengah masyarakat yang
pada akhirnya dapat membantu mensukseskan program pemerintah.

4

B. Aspek Teoritis
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat
memberikan tambahan wawasan keilmuan dan menjadi dasar bagi
penelitian-penelitian pada bidang terkait berikutnya.
Batasan Penelitian
Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini terbatas pada karyawan SPBE subsidi dan tidak berlaku
pada karyawan diluar organisasi tersebut.
2. Penelitian ini terbatas pada karyawan SPBE subsidi yang berada di
Wilayah Kota dan Kabupaten Bogor.
3. Penelitian ini terbatas pada konsep perilaku keselamatan kerja.

4

2. TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Teoritis
Keselamatan Kerja dan Kecelakaan Kerja
Keselamatan kerja atau safety work merupakan suatu upaya untuk
menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah
mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Oleh sebab itu, keselamatan kerja
mutlak harus dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali.
Upaya ini diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya
kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan (Abdidin et al. 2008).
Malthis dan Jackson (2002), menyebutkan bahwa keselamatan kerja
merujuk pada perlindungan kesejahteraan fisik dengan tujuan mencegah
terjadinya kecelakaan atau cedera terkait dengan pekerjaan. Sementara itu,
Hadiguna (2009), memiliki pandangan bahwa keselamatan kerja berarti proses
merencanakan dan mengendalikan situasi yang berpotensi menimbulkan
kecelakaan kerja melalui persiapan prosedur operasi standar yang menjadi acuan
dalam bekerja.
Berbicara masalah keselamatan kerja sangat erat kaitannya dengan
kecelakaan kerja (Husni 2005), yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau
dikenal dengan istilah kecelakaan industri. Kecelakaan industri adalah suatu
kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan
proses yang telah diatur sebelumnya dari suatu aktivitas dalam sebuah industri.
Selanjutnya Hadiguna (2009), menambahkan bahwa kecelakaan kerja merupakan
kecelakaan seseorang atau kelompok dalam rangka melaksanakan kerja di
lingkungan perusahaan, yang terjadi secara tiba-tiba, tidak diduga sebelumnya,
tidak diharapkan terjadi, menimbulkan kerugian ringan sampai yang paling berat,
dan bisa menghentikan kegiatan pabrik secara total.
Teori Perilaku
Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan perkataan lain,
perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk
mencapai tujuan tertentu. Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui secara
sadar oleh individu yang bersangkutan (Winardi 2004). Sementara itu, Skinner
(1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar, oleh karena
perilaku itu terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan
kemudian organisme tersebut merespon. Respon dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
1. Respondent respons atau reflexive, yaitu respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan atau stimulus tertentu. Misalnya cahaya terang menyebabkan
mata tertutup. Respon ini mencakup perilaku emosional, misalnya
mendengar berita musibah menjadi sedih.
2. Operant respons atau instrumental respons, yaitu respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
Misalnya apabila petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik
kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya, maka petugas
kesehatan tersebut akan lebih baik dalam melaksanakan tugasnya.

5

Teori Lawrance Green dan kawan-kawan (1980), menyatakan bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku
(behaviour causes) dan faktor diluar perilaku (non behaviour causes). Selanjutnya
Notoatmodjo (2003), menjelaskan perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk
dari 3 faktor, yaitu:
1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan,
sikap dan sebagainya.
2. Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
keselamatan kerja, misalnya ketersedianya APD, pelatihan dan sebagainya.
3. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini meliputi undangundang, peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya.
Conway (1999), membagi perilaku kerja menjadi dua dimensi, yaitu
dimensi kinerja tugas (task performance) dan kinerja kontekstual (contextual
performance). Kinerja tugas merujuk pada perilaku-perilaku inti dan kegiatankegiatan pokok yang terlibat dalam sebuah pekerjaan. Kinerja kontekstual
merujuk pada perilaku-perilaku yang mendukung lingkungan di mana perilaku
inti berjalan. Contoh yang bersifat umum dari kinerja kontekstual adalah perilaku
menolong teman kerja, melaksanakan tugas dengan sukarela, dan pembelaan
terhadap organisasi (Borman dalam Griffin 2000). Perilaku dalam dimensi ini
memiliki peranan penting dalam pencapaian hasil-hasil organisasi dan khususnya
dalam menyokong kesuksesan dalam jangka panjang (Allen dan Rush 1998).
Perilaku Keselamatan Kerja
Grifiin dan Neal (2006), membagi dua tipe perilaku keselamatan kerja, yaitu
kepatuhan pada prosedur keselamatan kerja (safety compliance) dan partisipasi
pada keselamatan kerja (safety participated). Kepatuhan keselamatan mengacu
pada kegiatan bahwa individu perlu melakukan hal itu untuk menjaga keselamatan
kerja. Perilaku ini termasuk mengikuti prosedur standar kerja dan memakai alat
pelindung diri. Sedangkan partisipasi pada keselamatan kerja menggambarkan
perilaku yang tidak hanya berkontribusi terhadap keselamatan pribadi, tetapi juga
pada keselamatan lingkungan. Perilaku ini mencakup kegiatan seperti
berpartisipasi dalam kegiatan keselamatan secara sukarela, membantu rekan kerja
dengan isu-isu yang terkait dengan keselamatan, dan menghadiri pertemuanpertemuan yang membahas tentang keselamatan kerja. Jadi, perilaku keselamatan
kerja adalah kepatuhan dan partisipasi individu pada aktivitas-aktivitas
pemeliharaan keselamataan di tempat kerja. Sebagai umpan balik, maka karyawan
hendaknya menyadari arti pentingnya keselamatan bagi dirinya maupun bagi
perusahaan tempatnya bekerja.
Motivasi Keselamatan Kerja
Soemanto (1987), mendefinisikan motivasi sebagai suatu perubahan tenaga
yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi pencapaian tujuan. Karena
kelakuan manusia itu selalu bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan
tenaga yang memberi kekuatan bagi tingkah laku mencapai tujuan, telah terjadi di
dalam diri seseorang. Menurut Woodworth dalam As’ad (1982), motivasi
sebagai penyebab dari timbulnya perilaku mempunyai tiga karakteristik, yaitu: (a)
Intensitas, menyangkut lemah dan kuatnya dorongan sehingga menyebabkan

6

individu berperilaku tertentu, (b) Pemberi arah, mengarahkan individu dalam
menghindari atau melakukan suatu perilaku tertentu, dan (c) Persistensi atau
kecenderungan untuk mengulang perilaku secara terus menerus.
Pandangan lain dikemukakan oleh Hull dalam As’ad (1982), yang
menegaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh motivasi atau dorongan
oleh kepentingan mengadakan pemenuhan atau pemuasan terhadap kebutuhan
yang ada pada diri individu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perilaku muncul tidak
semata-mata karena dorongan yang bermula dari kebutuhan individu saja, tetapi
juga karena adanya faktor belajar. Faktor dorongan ini dikonsepsikan sebagai
kumpulan energi yang dapat mengaktifkan tingkah laku atau sebagai motivasional
faktor, dimana timbulnya perilaku menurut Hull adalah fungsi dari tiga hal, yaitu:
kekuatan dari dorongan yang ada pada individu, kebiasaan yang didapat dari hasil
belajar, serta interaksi antara keduanya. Kartono (2008), menyebutkan bahwa
gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi motivasi kerja karyawan sebab
keberhasilannya menggerakan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi
tergantung keberhasilannya dalam memotivasi bawahannya.
Berdasarkan uraian di atas, konsep motivasi yang dikemukakan dalam
kaitannya dengan perilaku dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan suatu
konstruk yang dimulai dari adanya need atau kebutuhan pada diri individu dalam
bentuk energi aktif yang menyebabkan timbulnya dorongan dengan intensitas
tertentu yang berfungsi mengaktifkan, memberi arah, dan membuat persisten atau
perilaku berulang-ulang dari suatu perilaku untuk mengatasi atau memenuhi
kebutuhan yang menjadi penyebab timbulnya dorongan itu sendiri.
Berkaitan dengan motivasi keselamatan kerja, Griffin dan Neal (2000),
menyebutkan bahwa motivasi keselamatan kerja merupakan media yang
menghubungkan antara iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja.
Lebih jauh mereka menyebutkan bahwa motivasi keselamatan kerja merujuk pada
kesediaan atau keinginan individu untuk melakukan perilaku selamat dalam
bekerja dan dorongan seluruh perilaku yang berkaitan dengannya. Motivasi
individu untuk berperilaku selamat dalam bekerja akan meningkat seiring
meningktnya persepsi mereka terhadap iklim keselamatan kerja di tempat kerja.
Banyak hasil penelitian yang telah mendukung pernyataan ini, diantaranya Probst
dan Brubaker (2001), yang menemukan bahwa semangat atau motivasi untuk
keselamatan kerja berdampak pada perilaku kepatuhan pada prosedur keselamatan
kerja diantara karyawan sampai enam bulan kemudian.
Beberapa teori yang mendasari motivasi karyawan untuk berperilaku
selamat dalam bekerja adalah Social Exchange Theory dan Eexpectancy-Valency
Theory. Social Exchange Theory menyebutkan bahwa apabila seorang individu
memiliki persepsi bahwa organisasinya sangat peduli terhadap segala sesuatu
yang memberikan kebaikan pada mereka maka mereka akan termotivasi untuk
melakukan segala sesuatu yang mereka rasakan dapat memberikan keuntungan
bagi organisasi. Penerapan teori ini pada konsep keselamatan kerja telah
dibuktikan oleh Hoffman dan Morgeson (1999). Hasil penelitiannya menunjukkan
karyawan yang memiliki persepsi bahwa organisasinya sangat peduli terhadap
keselamatan kerja telah menimbulkan perilaku kepatuhan terhadap prosedur
keselamatan kerja di tempatnya bekerja.
Eexpectancy-Valency Theory menyebutkan bahwa seorang karyawan akan
termotivasi untuk berperilaku selamat dalam bekerja apabila mereka percaya

7

bahwa hal itu dapat memberikan hasil atau nilai yang baik (Griffin dan Neal
2006).
Gaya Kepemimpinan dan Kepemimpinan Keselamatan Kerja
Wibowo (2011), menyebutkan bahwa teori tentang gaya kepemimpinan
berusaha mengkaji perilaku atau tindakan pemimpin dalam mempengaruhi dan
menggerakkan para pengikutnya guna mencapai suatu tujuan. Perilaku dan
tindakan tersebut pada dasarnya dapat dipahami sebagai dua hal berbeda tetapi
saling bertautan, yakni (1) fokus terhadap penyelesaian tugas atau pekerjaan
(task/production-centered), dan (2) fokus pada upaya pembinaan terhadap
personil yang melaksanakan tugas atau pekerjaan tersebut (people/employeecentered).
Hersey dan Blanchard dalam Yukl (1989) mengembangkan teori
kepemimpinan yang pada awalnya disebut “life cycle theory of leadership” dan
kemudian dinamakan “situational leadership theory”. Argumen dasar dari teori
ini adalah kepemimpinan yang efektif memerlukan kombinasi yang tepat antara
perilaku berorientasi tugas dan perilaku berorientasi hubungan, serta
mempertimbangkan tingkat kematangan bawahan. Berdasarkan kombinasi
tersebut dapat diterapkan beberapa gaya kepemimpinan telling, selling,
participating dan delegating. Gaya Telling (bercerita) berlaku dalam situasi
orientasi tugas tinggi dan orientasi hubungan rendah, dan pegawai sangat tidak
dewasa, sehingga pemimpin harus memberikan pengarahan dan petunjuk untuk
mengerjakan berbagai tugas. Gaya Selling (menjual) berlaku pada orientasi tugas
tinggi dan orientasi hubungan juga tinggi, sementara tingkat kedewasaan pegawai
cukup. Dalam situasi tersebut, pemimpin memberikan pengarahan secara
seimbang dengan memberikan dukungan, meminta dan menghargai masukan dari
pegawai. Gaya Participating (Partisipatif), dengan situasi orientasi tugas rendah
dan orientasi hubungan tinggi, serta tingkat kedewasaan pegawai tinggi. Untuk itu
pimpinan lebih kolaboratif, ada kedekatan emosional sehingga mengedepankan
konsultasi, pembimbingan, dan dukungan; serta sangat sedikit pengarahan tugas.
Gaya Delegating (Delegasi), cocok untuk situasi orientasi tugas rendah dan
orientasi hubungan juga rendah, serta pegawai sangat dewasa.
Menurut Astuti (2010), empat gaya kepemiminan tersebut dapat digunakan
dalam upaya mempengaruhi perilaku keselamatan kerja karyawan. Konsep
selling memberikan bimbingan dan arahan, serta penjelasan dan dorongan. Telling
lebih pada memberikan petunjuk yang benar tentang apa, dimana, kapan dan
bagaimana. Delegating memberikan kebebasan, kepercayaan, dukungan dan
monitoring. Sedangkan Participating lebih cenderung memberikan dukungan,
fasilitas, kerangka dan contoh. Kepemimpinan keselamatan kerja merujuk pada
karakter khusus yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang berhubungan dengan
sikap dan perilaku yang spesifik terkait keselamatan kerja (Astuti 2010).
Sedangakan menurut Wu dalam Xuesheng dan Weinbiao (2012), kepemimpinan
keselamatan kerja adalah proses interaksi diantara pemimpin dan pengikut dimana
para pemimpin dapat mempengaruhi dan mengarahkan pengikutnya untuk
mencapai tujuan keselamatan kerja oganisasi pada keadaan faktor-faktor
organisasi dan individu.

8

Iklim Orgaisasi dan Iklim Keselamatan Kerja
Owens (1995), menyatakan bahwa “organizational climate is the study of
perceptions that individual have of various aspect of the environment in the
organization”. Dengan demikian pengkajian iklim organisasi dapat dilakukan
dengan menggali data dari persepsi individu yang ada dalam organisasi. Taguiri
dan Litwin dalam Soetopo (2010), mengartikan iklim organisasi adalah suatu
kualitas lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggotanya,
mempengaruhi prilakunya dan dapat dideskripsikan dengan nilai-nilai
karakteristik organisasi.
Zohar (1980), mendefinisikan iklim keselamatan kerja (safety climate)
sebagai: “a summary of molar perceptions that employees share about their work
environment”. Seo et al. (2004), menyebutkan lima hal yang dapat menjadi
konstruksi iklim keselamatan kerja, yaitu: (1) Komitmen manajemen pada
keselamatan kerja (management comitment to safety), (2) Pengawasan yang
mendukung keselamatan kerja (supervisory safety support), (3) Dukungan
keselamatan kerja dari rekan kerja (coworker safety support), (4) Parstisipasi
keselamatan kerja dari karyawan (employee safety participation), dan (5) Tingkat
kompetensi terkait keselamatan kerja (competence level).
Mat Zin dan Fardiah Ismail (2012), menyebutkan banyak ilmuwan dan
praktisi sepakat bahwa komitmen manajemen terhadap kinerja keselamatan dan
kesehatan kerja karyawannya memiliki peranan yang sangat penting. Manajemen
puncak harus secara aktif memimpin organisasi dan karyawan terhadap
pencapaian tujuan keselamatan kerja organisasi dengan menunjukkan bahwa
organisasi serius tentang keselamatan kerja. Lebih lanjut mereka menyebutkan
bahwa, komitmen dan dukungan dari manajemen tersebut akan secara signifikan
menaikkan kinerja keselamatan kerja.
Penelitian-penelitian terbaru membuktikan adanya hubungan antara iklim
keselamatan kerja dan keselamatan kerja (safety outcomes) (Hecker dan
Goldenher 2014). Christian et al. (2009), menemukan bahwa iklim keselamatan
kerja organisasi berkorelasi signifikan dengan perilaku atau kinerja keselamatan
kerja (safety behavior/performance) dan keselamatan kerja (safety outcomes).
Griffin dan Neal (2000), menemukan bahwa iklim keselamatan kerja adalah
antiseden dari perilaku keselamatan kerja. Mereka menambahkan bahwa motivasi
keselamatan kerja merupakan perantara hubungan antara iklim keselamatan kerja
dan perilaku keselamatan kerja.
Kelelahan
Kelelahan adalah perpaduan dari wujud penurunan fungsi mental dan fisik
yang menghasilkan berkurangnya semangat kerja sehingga mengakibatkan
efektifitas dan efesiensi kerja menurun (Saito 1999). Menurut Kroemer (1997),
kelelahan kerja merupakan gejala yang ditandai adanya perasaan lelah dan kita
akan merasa segan, aktifitas akan melemah, serta ketidakseimbangan pada kondisi
tubuh. Kelelahan mempengaruhi kapasitas fisik, mental, dan tingkat emosional
seseorang, dimana dapat mengakibatkan kurangnya kewaspadaan, yang ditandai
dengan kemunduran reaksi pada sesuatu dan berkurangnya kemampuan motorik
(Australian safety and Compensation Council 2006).
Kelelahan pekerja dapat berdampak buruk terhadap kesehatan pribadi dan
keselamatan serta efisiensi kerja (Lerman et al. 2012). Kelelahan dapat

9

disebabkan oleh aktivitas fisik, aktivitas kognitif dan emosional, kekurangan tidur,
keracunan bahan kimia, dan bahkan karena penyakit. Aktivitas kerja fisik yang
berat, panjang, dan monoton serta setres kerja merupakan faktor dominan yang
sering ditemui sebagai penyebab utama kelelahan di tempat kerja (Kim et al.,
2009).
Masih menurut Kim et al. (2009), kelelahan fisik dapat menyebabkan lupa,
kehilangan kekuatan, energi, motivasi, ketertarikan pada segala sesuatu, fokus dan
konsentrasi, dan rasa memiliki. Kondisi ini dapat berdampak pada motivasi dan
perilaku keselamatan kerja di tempat kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh El-Moneem dan Keshk (2012), terhadap 49
tenaga medis pada dua lembaga kesehatan di Mesir menemukan bahwa lamanya
jam kerja dan kelelahan fisik berkorelasi signifikan dengan aktivitas fisik mereka.
Lebih jauh mereka menemukan bahwa adanya korelasi yang kuat antara kesalahan
pada tindakan medis dengan kelelahan fisik pada tenaga medis di dua lembaga
kesehatan tersebut.
Kepuasan Kerja
Ketika seorang menejer bertanya, manakah yang lebih dahulu, kepuasan
kerja atau keselamatan lingkungan kerja? Banyak peneliti keselamatan kerja
berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah lebih dahulu. Pekerja puas lebih sering
adalah pekerja yang mengutamakan keselamatan, tapi pekerja yang
mengutamakan keselamatan belum tentu pekerja puas (Blair dalam Kim et al.
2002).
Bigos dalam Kim et al. (2002), menemukan hubungan yang signifikan
antara perilaku karyawan dan setres kerja dengan terjadinya kecelakaan dan
keselamatan dan kesehatan kerja. Temuan ini memberikan implikasi bahwa
menciptakan kepuasan kerja adalah sama pentingnya dengan usaha meminimalisir
terjadinya kecelakaan kerja di tempat kerja. Mereka secara konsisten menemukan
bahwa kepuasan kerja lebih berdampak pada rendahnya tingkat kecelakaan kerja
daripada faktor-faktor lain seperti: demografi, kesehatan, psikologis, dan stres.
Implementasi kepemimpinan yang tidak efektif, seperti: pengawasan yang kurang
peduli dan kurang mendukung, tidak mendengar dan mempertimbangkan
pendapat karyawan, tidak merasa bahwa pekerjaan adalah sesuatu yang penting
bagi mereka adalah titik kritis kinerja keselamatan kerja karyawan (Kim et al.
2002).
Para peneliti dalam psikologi kognitif umumnya sepakat bahwa sikap dapat
diubah, dan bahwa perubahan perilaku yang signifikan dapat mengikuti perubahan
sikap. Studi yang dilakukan oleh Kim dan Hunter (1993), menunjukkan adanya
hubungan yang kuat antara sikap dan perilaku. Eagly (1992), menemukan bahwa
sikap harus memprediksi perilaku, tetapi yang lebih penting adalah bahwa sikap
harus menyebabkan perilaku. Selanjutnya, studi ini menunjukkan bahwa salah
satu cara yang paling efektif untuk menciptakan perubahan sikap adalah untuk
melibatkan peserta dalam pengambilan keputusan dan aktivitas di sekitar sikap
yang ditargetkan. Keberagaman kinerja keselamatan yang tinggi mungkin berasal
dari ketidak-konsistenan kepuasan kerja dalam berbagai faktor pekerjaan yang
berhubungan dalam organisasi (Kim et l. 2002).
Hezberg dalam Kim et al. (2002), menyebutkan bahwa manajemen yang
efektif dan kepuasan kerja yang positif, pada gilirannya, akan memotivasi perilaku

10

karyawan yang positif termasuk peningkatan kinerja keselamatan. Lebih jauh dia
meyebutkan bahwa pada organisasi dengan karakteristik job design-nya organic,
job duties-nya variety, task identity-nya autonomous, Decision making-nya
decentralized, dan comunication-nya open (all direction), maka seiring dengan
peningkatan kepuasan kerja karyawannya berdampak pada penurunan angka
kecelakaan kerja.
Gibson (2000), mengemukakan lima karakteristik penting berkaitan dengan
pengukuran kepuasan kerja, yaitu: (1) Upah: suatu jumlah yang diterima dan
keadaan yang dirasakan dari pembayaran; (2) Pekerjaan itu sendiri: sampai sejauh
mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar
dan untuk menerima tanggung jawab; (3) Kesempatan promosi: adanya
kesempatan untuk maju; (4) Pengawasan: kemampuan seorang pengawas untuk
memperlihatkan ketertarikan dan perhatian kepada pekerja, dan (5) Rekan kerja:
sampai sejauh mana rekan kerja bersahabat, kompeten dan mendukung. Dimensi
tersebut juga telah dikembangkan oleh para peneliti dari Cornel University dalam
Job Descriptive Index (JDI) untuk menilai kepuasan kerja seseorang dengan
dimensi kerja berikut: pekerjaan, upah, promosi, rekan kerja dan pengawasan.
Uji Validitas
Uji validitas item adalah uji statistik yang digunakan untuk menentukan
seberapa valid suatu item pertanyaan mengukur variabel yang diteliti. Uji validitas
item atau butir dapat dilakukan dengan menggunakan software SPSS. Untuk
proses ini, digunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment. Dalam uji ini, setiap
item akan diuji korelasinya dengan skor total variabel yang dimaksud. Dalam hal
ini, masing-masing item yang ada di dalam variabel X dan Y akan diuji
korelasinya dengan skor total variabel tersebut. Suatu kuesioner dianggap valid
jika memiliki butir-butir pertanyaan yang saling berhubungan dengan konsepkonsep yang diingnkan. Apabila ada pertanyaan yang tidak berhubungan, berarti
pertanyaan tersebut tidak valid dan harus dihilangkan atau diganti dengan konsep
pertanyaan lain yang lebih valid.
Agar suatu penelitian lebih teliti, sebuah item sebaiknya memiliki korelasi
(r) dengan skor total masing-masing variabel ≥ 0,25. Item yang punya r hitung <
0,25 akan disingkirkan akibat mereka tidak melakukan pengukuran secara sama
dengan yang dimaksud oleh skor total skala.
Persamaan Uji Korelasi Pearson Product Moment dapat dirumuskan
sebagai berikut:


.....................................................(1)

Keterangan:
N : Jumlah responden
X : Skor masing-masing pertanyaan
Y : Skor total pertanyaan

Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas item adalah uji statistik yang digunakan untuk menentukan
reliabilitas serangkaian item pertanyaan dalam kehandalannya mengukur suatu
variabel. Apabila datanya memang benar sesuai dengan kenyataan maka berapa

11

kali pun diujikan hasilnya akan tetap sama. Uji reliabilitas dilakukan dengan uji
Alpha Cronbach. Rumus Alpha Cronbach sebagai berikut:
...........................................................................(2)
Keterangan:
α
: Reliabilitas kuesioner
k
: Jumlah butir pertanyaan
Si2 : Varians butir pertanyaan
St2 : Varians total

Jika nilai alpha > 0,7 artinya reliabilitas mencukupi (sufficient reliability),
sementara jika alpha > 0,80 ini mensugestikan seluruh item reliabel dan seluruh
tes konsisten karena memiliki reliabilitas yang kuat.
Jika nilai alpha rendah, kemungkinan satu atau beberapa item tidak reliabel.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi dengan
prosedur analisis per item. Item analysis adalah kelanjutan dari tes aplha
sebelumnya untuk melihat item-item tertentu yang tidak reliabel. Melalui Item
Analysis ini maka satu atau beberapa item yang tidak reliabel dapat dibuang
sehingga alpha dapat lebih tinggi lagi nilainya.
Nilai tiap-tiap item sebaiknya ≥ 0.40 sehingga membuktikan bahwa item
tersebut dapat dikatakan punya reliabilitas konsistensi internal. Item-item yang
punya koefisien korelasi < 0.40 akan dibuang kemudian uji reliabilitas item
diulang dengan tidak menyertakan item yang tidak reliabel tersebut. Demikian
terus dilakukan hingga koefisien reliabilitas masing-masing item adalah ≥ 0.40.
Sructural Equation Modelling (SEM)
Structural Equation Modelling (SEM) merupakan kombinasi dari analisis
prtial compnent, analisis regresi, dan analisis path. Ghozali (2008), berpendapat
bahwa SEM adalah sebuah teknik analisis statistik multivariat yang dapat
memungkinkan peneliti dapat menguji hubungan antar variabel yang kompleks,
baik yang bersifat recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran
menyeluruh mengenai suatu model.
SEM terdiri dari 2 bagian, yaitu model variabel laten dan model pengukuran
(Ghozali 2008). Bagian pertama yaitu model variabel laten (latent variable model)
mengadaptasi model persamaan simultan pada ekonometri. Jika pada ekonometri
semua variabelnya merupakan variabel terukur/teramati (measured/observed
variables), maka pada model ini beberapa variabel merupakan variabel laten
(latent variables) yang tidak terukur secara langsung. Sedangkan bagian kedua
yang dikenal dengan model pengukuran (measurement model), menggambarkan
beberapa indikator atau beberapa variabel terukur sebagai efek atau refleksi dari
variabel latennya.
Kedua bagian model ini merupakan jawaban terhadap dua permasalahan
dasar pembuatan kesimpulan ilmiah dalam ilmu sosial dan perilaku. Untuk
permasalahan pertama yang berkaitan dengan masalah pengukuran dapat dijawab
dengan model pengukuran, sedangkan permasalahan kedua yang berkaitan dengan
hubungan kausal dapat dijawab menggunakan model variabel laten.
Teknik analisis SEM menghasilkan model setruktural yang dapat digunakan
untuk keperluan prediksi. Dalam hal ini, SEM setara dengan regresi. SEM juga

12

dapat menguji pengaruh langsung dan tidak langsung variabel bebas terhadap
variabel tidak bebas, menentukan variabel domain, dan jalur-jalur terkait variabel.
Dalam hal ini, SEM setara dengan analisis sidik lintas (path analysis).
Berdasarkan penjelasan di atas, ada dua alasan yang mendasari
digunakannya SEM, yaitu: (1) SEM mempunyai kemampuan untuk mengestimasi
hubungan antar variabel yang bersifat multiple relationship. Hubungan ini
dibentuk dalam model struktural (hubungan antara konstruk dependen dan
independen). (2) SEM mempunyai kemampuan untuk menggambarkan pola
hubungan antara konstruk laten dan variabel manifes atau variabel indikator.
SEM dikembangkan berdasarkan dua kelompok basis, yaitu SEM yang
berbasis kovarian yang diwakili oleh software LISREL dan SEM berbasis varian
yang diwakili oleh Partial Least Squares (PLS). SEM berbasis kovarian lebih
bertujuan memberikan pernyataan tentang hubungan kausalitas atau memberikan
deskripsi mekanisme hubungan kausalitas atau sebab-akibat. Sedangkan SEM
berbasis varian lebih bertujuan untuk mencari hubungan linier prediktif antar
variabel (Ghozali 2008).
Bentuk SEM dengan Partial Least Square (PLS)
Partial Least Square (PLS) pertama kali dikembangkan oleh Herman Wold
(1996) sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan
konstruksi laten dengan multiple indikator (Ghozali, 2008). PLS merupakan
metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua jenis skala
data (distribution free) dimana tidak mengasumsikan data berdistribusi tertentu
sehingga data dapat berupa nominal, kategori, ordinal, interval dan rasio. Di
samping itu, pendekatan SEM dengan PLS juga tidak membutuhkan banyak
asumsi dan ukuran sampel yang dibutuhkan juga tidak harus besar. Selain dapat
digunakan sebagai konfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan untuk membangun
hubungan yang belum ada landasan teorinya atau untuk pengujian proposisi
(Ghozali, 2008). Contoh model path PLS di sajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh Model Path PLS
Keterangan :
 ξ = Ksi, variabel laten eksogen
 ƞ = Eta, variabel laten endogen

13






λx
λy
β
ϒ





Ζ =
=
=

=
=
=
=

Lamnda (kecil), loading faktor variabel laten eksogen
Lamnda (kecil), loading faktor variabel laten endogen
Beta (kecil), koefisien pengaruh variabel endogen terhadap endogen
Gamma (kecil), koefisien pengaruh variabel eksogen terhadap
endogen
Zeta (kecil), galat model
Delta (kecil), galat pengukuran pada variabel laten eksogen
Epsilon (kecil), galat pengukuran pada variabel laten endogen

Berikut adalah konversi model path ke dalam bentuk persamaan PLS
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.
a.

b.

Outer Model
1) Untuk variabel laten eksogen 1 (reflektif)
 X1 = λx1 ξ1 + 1 .........................................................................(3)
 X2 = λx2 ξ1 + 2 .........................................................................(4)
 X3 = λx3 ξ1 + 3 .........................................................................(5)
2) Untuk variabel laten eksogen 2 (formatif)
 ξ2 = λx4 X4 + λx5 X5 + λx6 X6 + 4 .............................................(6)
3) Untuk variabel laten endogen 1 (reflektif)
 y1 = λy1 ƞ1 + 1 .........................................................................(7)
 y2 = λy2 ƞ1 + 1 .........................................................................(8)
4) Untuk variabel laten endogen 2 (reflektif)
 y3 = λy3 ƞ2 + 4 .........................................................................(9)
 y4 = λy4 ƞ2 + 5 .......................................................................(10)
Inner Model
1) Ƞ1 = ϒ1ξ1 + ϒ2ξ2 + ζ1 ...........................................................................(11)
2) Ƞ2 = β1ƞ1 + ϒ3ξ1 + ϒ4ξ2 + ζ2 ..................................................................(12)

Permodelan analisis jalur dalam PLS terdiri dari 3 set hubungan,
yaitu:
a. Inner Model (structural model)
Inner model menspesifikasikan hubungan antar variabel laten
berdasarkan teori. Model persamaannya adalah sebagai berikut:
Ƞj = Σi βji Ƞi + Σi ϒjb ξb + ζj ............................................................... (13)
Dimana ƞ menggambarkan vektor endogen (dependen) variabel laten, ξ
adalah vektor variabel eksogen, ζj adalah vector variabel residual, βji
dan ϒjb adalah koefisien jalur yang menghubungkan prediktor endogen
dan laten eksogen sepanjang range indeks i dan b.
b. Outer Model (measurement model)
Outer Model menspesifikasikan hubungan antar variabel laten dengan
indikator. Outer model terdiri dari 2 macam mode, yaitu mode
reflective (mode A) dan mode formative (mode B). Mode reflektif
merupakan relasi dari peubah laten ke peubah indikator atau effect.
Sedangkan model formative merupakan relasi dari peubah indikator
membentuk peubah laten “causal”.
Blok dengan indikator reflektif memiliki bentuk persamaan sebagai
berikut