Hubungan Jaksa Agung Dan Presiden Dalam Ketatanegaraan Indonesia

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Assidiqie, Jimly, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang Undang, Konpres, dan Watampone Press, Jakarta.

Effendy, Marwan, 2009, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Gramedia, Jakarta.

_______ 2010, Kejaksaan dan Penegakkan Hukum, Timpani Publishing, Jakarta. Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi,

Yrama Wijaya, Bandung.

Ghofar, Abdul, 2009, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan 8 (delapan) Negara Maju, Kencana, Jakarta. Hadi, Nurudin, 2007, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Prestasi Pustaka PUB,

Jakarta.

Huda, Ni’matul, 2003, Teori dan Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta.

Joenarto, 1986, Sejarah Ketetanegaraan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta. Kansil, C.S.T, 1978, Sistem Pemerintahan Indonesia, Aksara Baru, Jakarta.

Kencana, Syafiie Inu, 2005, Sistem Pemerintahan Indonesia, Refika Aditama, Jakarta.

Manan, Bagir, 1999, Lembaga Kepresidenan, Gama Media-Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Prakoso, Djoko, I Ketut Murtika, 1987, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, PT Bina Aksara.

Rosyada, Ikhsan P.D, 2006, Mahkamah Konstitusi: Memahami Keberadannya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.


(2)

Soemantri, Sri, 1976, Sistem Pemerintahan Negara–negara ASEAN, Tarsito, Bandung.

Tutik, Titik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Prenada Media Group, Jakarta.

Wahjono, Padmo, 1984, Masalah Ketatanegaraan Indonesia, Rajawali, Jakarta. Wheare, K.C, Konstitusi Konstitusi Modern, 2003, Terj. Muhammad Hardani

Penerbit Uereka, Surabaya.

Yuhana, Abdy, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokusmedia, Bandung.

Internet/Jurnal

Arsyad, Arwan, 2012, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam Sistem Pemerintahan Indonesia (http://arwanblack74.blogspot.com diakses pada tanggal 14 Februari 2013)

Mahendra, Ihza, 2010, Kedudukan Kejaksaan Dan Posisi Jaksa Agung Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (http://yusril.ihzamahendra.com diakses pada tanggal 22 November 2012 pukul 20.13 wib)

Kejaksaan Republik Indonesia, 2009, Tentang Kejaksaan (http://kejaksaan.go.id, diakses pada tanggal 12 Januari 2010 tanggal 25 Januari 2013)

Nazriyah, Riri, 2010, Pemberhentian Jaksa Agung dan Hak Prerogatif Presiden, (www.mahkamahkonstitusi.go.id)

Kejaksaan Tinggi, 2011, Struktur Organisasi Kejati Sumut, (http//kejati-sumut.go.id/struktur-organisasi.html, diakses terakhir pada tanggal 17 Februari 2013)

Undang-Undang/Putusan/Peraturan-Peraturan

Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1959 Republik Indonesia, Undang Undang Dasar Tahun 1945


(3)

_______ Undang Undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Undang Undang Kejaksaan (TLN 1961 No. 254)

_______ Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (LN 1991 No. 59; TLN No. 3451)

_______ Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (LN 2004 No. 67, TLN No. 4401)

_______ Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman _______ Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LN

1985 No. 73, TLN No. 3316)

_______ Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (LN 1999 No. 5, TLN No. 4312)

_______ Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (LN 1999 No. 50, TLN No. 4327)

_______ Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN 2003 No. 98, TLN No. 4380)

_______ Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 2004 No. 35, TLN No. 4380)

_______ Undang Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial (LN 2004 No. 89, TLN No. 4415)

_______ Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI _______ Peraturan Jaksa Agung No: 011/A/JA/01/2010/Tentang Rencana Strategis

Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2010-2014 Tanggal 28 Januari 2010 _______ Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 38 Tahun 2010 Tentang


(4)

BAB III

JAKSA AGUNG SEBAGAI PEJABAT NEGARA

A. Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia

1. Sejarah Perkembangan Institusi Kejaksaan

Hampir seluruh negara modern di dunia ini mempunyai sebuah institusi yang disebut dengan istilah “kejaksaan”, yang mempunyai tugas utama melakukan penuntutan dalam perkara pidana ke pengadilan. Istilah “jaksa” atau “kejaksaan” sebagai institusi dalam bahsa Indonesia tidaklah mudah untuk dipersamakan dengan istilah yang sama dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris dibedakan antara

“attorney general” (jaksa agung) dengan “public prosecutor” (penuntut umum). Demikian pula dalam Bahasa Belanda, dibedakan antara “officer van justitie” untuk istilah “jaksa” dan “openbaar aanklager” untuk “penuntut umum”. Sementara dalam bahasa Melayu Malaysia digunakan istilah “peguam negara” untuk jaksa, dan “pendakwa negara” untuk penuntut umum, yang kesemuanya berada dibawah Jabatan Peguam Negara. Jabatan ini adalah semacam Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Dalam Negeri.101

Sebelum masa reformasi istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu

101 http//yusril.ihzamahendra.com/2010/08/20/kedudukan-kejaksaan-dan-posisi-jaksaagung-dalam-sistem-presidensial, terakhir diakses pada tanggal 22 November 2012


(5)

pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan, istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam bahasa sansekerta.102

Dalam doktrin kejaksaan ‘Trikarma Adhyaksa’ mengatakan bahwa kejaksaan ialah Satya Adhi Wicaksana yang berarti bahwa ‘Satya’ adalah kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia, ‘Adhi’ adalah kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pada rasa yang bertanggungjawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga dan sesame manusia, dan ‘Wicaksana’ adalah bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.103

Seorang peniliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam siding pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.104

Kesimpulan tersebut didukung oleh peneliti lainnya, yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrechter). Sementara itu, Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti

102 http//kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, terakhir diakses 12 Januari 2012

103 Ibid., 104 Ibid.,


(6)

Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang ‘adhyaksa’. Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan Hoogerechtshof (Mahkamah Agung) dibawah perintah langsung dari Residen / assisten Residen. 105

Lalu Belanda mengambil alih Lembaga Penuntut Umum dari Prancis dan memasukkannya dalam Undang Undang Hukum Acara Pidananya (1838) yang berdasarkan IR (1848) ditetapkan pula di Indonesia, khususnya Jawa dan Madura. IR ini kemudian diperbaharui dengan Staatsblad 1941 No. 44 sehingga menjadi HIR. HIR inilah yang kemudian didasarkan pada Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, sedapat mungkin dijadikan pedoman Hukum Acara Pidana seluruh Indonesia.106

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan,

105 Ibid.,

106 Djoko Prakoso S.H, I Ketut Murtika S.H, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara, 1987, hal.18


(7)

yakni sejak Saaiko Hooin (pengadilan agung), Kootoo Hooin (pengadilan tinggi) dan

Tihooo Hopoin (pengadilan negeri).107

Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara dan menjalankan putusan pengadilan dalam perkara criminal, serta mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Secara yuridis formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak kemerdekaan diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktut Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.108

Namun pada masa reformasi lembaga Kejaksaan hadir di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang Undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991.109

107 Ibid.,

108 Ibid., 109 Ibid.,


(8)

2. Visi dan Misi Kejaksaan Republik Indonesia

Kehadiran Undang Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan disambut gembira oleh banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pihak lainnya.

Setelah mengalami proses dinamika yang sangat panjang, akhirnya lembaga Kejaksaan Republik Indonesia mempunyai visi dan misi sebagai landasan institusi.

Adapun yang merupakan visi misi kejaksaan ialah sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, akuntanbel, untuk dapat memberikan pelayanan prima dalam mewujudkan supremasi hukum secara professional, proporsional dan bermartabat yang berlandaskan keadilan, kebenaran, serta nilai-nilai kepatutan.110

Selain itu, kejaksaan juga memeiliki beberapa misi yaitu; (a) Mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas penanganan perkara seluruh tindak pidana, penangan perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, serta pengoptimalan kegiatan Intelijen Kejaksaan, secara professional, proposional dan bermartabat melalui penerapan Standard Operating Procedure (SOP) yang tepat, cermat, terarah, efektif dan efisien; (b) Mengoptimalkan peranan bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas bidang-bidang lainnya, terutama terkait dengan upaya

110 Peraturan Jaksa Agung No: 011/A/JA/01/2010/Tentang Rencana Strategis Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2010-2014 Tanggal 28 Januari 2010


(9)

penegakan hukum; (c) Mengoptimalkan tugas pelayanan publik di bidang hukum dengan penuh tanggung jawab, taat azas, efektif dan efisien, serta penghargaan terhadap hak-hak publik; (d) Melaksanakan pembenahan dan penataan kembali struktur organisasi Kejaksaan, pembenahan sistem informasi manajemen terutama pengimplementasian program quickwins agar dapat segera diakses oleh masyarakat, penyusunan cetak biru (blue print) pembangunan sumber daya manusia Kejaksaan jangka menengah dan jangka panjang tahun 2025, menerbitkan dan menata kembali manajemen administrasi keuangan, peningkatan sarana dan prasarana, serta peningkatan kesejahteraan pegawai melalui tunjangan kenerja atau remunerasi, agar kenerja Kejaksaan dapat berjalan lebih efektif, efisien, transparan, akuntanbel dan optimal; (e) Membentuk aparat kejaksaan yang handal, tangguh, professional, bermoral dan beretika guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan wewenang, terutama dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan serta tugas-tugas lainnya yang terkait.111

B. Struktur Organisasi Kejaksaan RI

Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus-menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung.

111 http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=8, terakhir diakses pada tanggal 25 Januari 2012


(10)

Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia dan Undang Undang Dasar 1945, kedudukan dan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia juga mengalami perubahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.

Hal itu juga ditandai dengan perubahan undang undang tentang kejaksaan dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 menjadi Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004, sehingga secara langsung mengubah tentang struktur organisasi kejaksaan.

Maka dari itu, Presiden sebagai kepala pemerintahan telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dengan susunan organisasinya dalam melaksanakan fungsinya di dalam wilayah hukumnya masing-masing yaitu;112

a. Kejaksaan Agung b. Kejaksaan Tinggi; dan c. Kejaksaan Negeri.


(11)

Hierarki Struktur Organisasi Kejaksaan RI113

a. Kejaksaan Agung114

Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang terdiri dari; 1 (satu) orang Jaksa Agung; 1 (satu) orang wakil Jaksa Agung; 1 (satu) orang Jaksa Agung Muda Pembinaan; 1 (satu) orang Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen; 1 (satu) orang Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan; 1 (satu) orang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum; 1 (satu) orang Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana

113 www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=8, diakses terakhir pada tanggal 17 Februari 2013


(12)

Khusus; 1 (satu) orang Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara; 1 (satu) orang Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan.

Selain itu, Kejaksaan Agung juga memiliki Badan Pendidikan dan Pelatihan yang dipimpin oleh Kepala Badan. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, Jaksa Agung juga dibantu oleh beberapa staf ahli sebanyak-banyaknya 6 (enam) orang.

Sementara itu, di lingkungan Kejaksaan dibentuk Pusat yang dipimpin oleh Kepala Pusat sebagai unsure penunjang tugas dan fungsi Kejaksaan, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.

b. Kejaksaan Tinggi115

Pembentukan Kejaksaan Tinggi ditetapkan dengan Peraturan Presiden atas usul Jaksa Agung. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Tinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

Kepala Kejaksaan Tinggi dibantu oleh satu orang Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi, dan sebanyak-banyaknya 6 (enam) Asisten. Masing-masing asisten terdiri dari 5 (lima) subbagian/Seksi/Pemeriksa. Sub Bagian terdiri dari sebanyak-banyaknya 3 (tiga) urusan.


(13)

Kejaksaan Tinggi juga dibantu oleh beberapa asisten (sebanyak-banyaknya 6 enam Asisten), serta juga Bagian Tata Usaha yang terdiri dari sebanyak-banyaknya 3 (tiga) subbagian. Subbagian terdiri dari sebanyak-banyaknya 3 (tiga) urusan.

Hierarki Struktut Organisasi Kejaksaan Tinggi116

116 http://kejati-sumut.go.id/struktur-organisasi.html, diakses terakhir pada tanggal 17 Februari 2013


(14)

c. Kejaksaan Negeri117

Pembentukan Kejaksaan Negeri ditetapkan dengan Peraturan Presiden atas usul Jaksa Agung. Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibu kota Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi daerah Kabupaten/Kota.

Kejaksaan Negeri dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. Namun dalam mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Kepala Kejaksaan Negeri dibantu oleh beberapa orang unsure pembantu pimpinan dan unsure pelaksana.

Mengenai tata kerja organisasi tersebut di atas, setiap pemimpin satuan organisasi bertanggung jawab memimpin dan mengoordinasikan bawahan masing-masing dan memberikan pengarahan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan. Sama halnya dengan struktur organisasi di kejaksaan tinggi, kejaksaan negeri di masing-masing daerah juga memiliki perbedaan struktur.


(15)

Struktur Organisasi Kejaksaan Negeri118

C. Wewenang Jaksa Agung dan Syarat Menjadi Jaksa Agung 1. Wewenang Jaksa Agung

Sesuai amanat Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (1) tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan adalah Lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.

118 http//www.kejari-medan.go.id/profil/struktur-organisasi, diakses terakhir pada tanggal 17 Februari 2013

KEPALA KEJAKSAAN NEGERI KASUBAG PEMBINAAN KAUR KEPEGAWAIA N KAUR KEUANGAN KAUR PERLENGKAPA N KAUR TATA USAHA NEGARA KAUR PERPUSTAKA AN KASI INTELIJEN KASUSBSI SOSIAL & POLITIK KASUBSI EKONOMI & MONETER KASUBSI PROOSARIN KASI TINDAK PIDANA UMUM KASUBSI PRA PENUNTUTAN KASUSBSI PENUNTUTAN KASI TINDAK PIDANA KHUSUS KASUBSI PENYIDIKAN KASUBSI PENUNTUTAN KASI PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA


(16)

Dalam menjalankan tugasnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung dan enam Jaksa Agung Muda yaitu; Jaksa Agung Muda Pembinaan, Jaksa Agung Muda Intelijen, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara dan Jaksa Agung Muda Pengawasan. Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan. Jaksa Agung Muda adalah unsure pembantu pimpinan.

Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang Undang No. 16 Tahun 2004 yaitu;119

a. Di Bidang Pidana;

b. Di Bidang Perdata, Tata Usaha Negara; serta c. Di bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum.

Tugas dan wewenang kejaksaan RI, secara normatif ditegaskan dalam Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004;120

a. Di Bidang Pidana

Adapun beberapa hal kewenangan Jaksa Agung di bidang Pidana antara lain; melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana bersyarat; putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat; melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan

119 Undang Undang No.16 Tahun 2004

120 Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakkan Hukum, Jakarta, Timpani Publishing, 2010, hal.32


(17)

untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

b. Di bidang Perdata

Dalam hal kewenangan Jaksa Agung di bidang perdata dan tata usaha negara mempunyai tugas dan wewenang melakukan penegakkan, bantuan, pertimbangan dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah dan negara di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan keweibawaan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

c. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum

Dalam hal kewenangan Jaksa Agung di bidang ketertiban dan ketentraman umum mempunyai tugas antara lain; dengan melakukan peningkatan kesadaran hukum masyarakat; pengamanan kebijakan penegakan hukum; pengamanan peredaran barang cetakan; pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.

Pelaksanaan tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di daerah dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi sesuai undang-undang dan kebijakan yang ditetapkan Jaksa Agung. Di Indonesia saat ini terdapat 31 Kejaksaan Tinggi yang berkedudukan di


(18)

Ibukota Propinsi dan Kejaksaan Negeri sejumlah 487 yang berkedudukan di Kota dan Kabupaten serta 89 Cabang Kejaksaan Negeri.121

Berdasarkan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, tugas dan wewenang Jaksa Agung menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.

Dalam hal mengefektifkan proses penegakkan hukum yang diberikan oleh undang undang Jaksa Agung dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Jaksa Agung juga berhak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara serta dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.122

Selain itu Jaksa Agung juga diberi kewenangan untuk mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal permohonan izin, Jaksa Agung dapat memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri. Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri

121 Ibid.,


(19)

diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.

Izin yang diberikan oleh Jaksa Agung juga atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.

2. Syarat Menjadi Jaksa Agung

Seorang Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung, dan seorang Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Namun demikian, adapun syarat-syarat menjadi seorang Jaksa Agung ditentukan oleh undang undang, antara lain; (a) warga negara Indonesia; (b) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (c) setia dan taat kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (d) berijazah paling rendah sarjana hukum; (e) berumur paling rendah 25 tahun; (f) sehat jasmani dan rohani; (g) berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.123

Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi, (a) pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturan perundang-undangan; (b) advokat; (c) wali, curator/pengampu; (d) pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/ atau daerah, atau badan usaha swasta; (e) notaris, atau notaries pengganti, atau


(20)

pejabat pembuat akta tanah; (f) arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan undang-undang; dan (g) pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.124


(21)

BAB IV

JAKSA AGUNG SEBAGAI PEJABAT PEMBANTU PRESIDEN

A. Penetapan Masa Jabatan Jaksa Agung dalam Sistem Penetapan Jabatan Pejabat Negara

Dalam praktik ketatanegaraan negara Republik Indonesia terdapat aturan-aturan yang tegas mengenai sistem penetapan masa jabatan pejabat negara. Istilah pejabat negara berdasarkan Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 yang menyatakan Penyelenggaraan Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudisial. Sementara itu, dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara istilah ‘Pejabat Publik’ yang memiliki makna similar dengan istilah “Pejabat Tata Usaha Negara”.

Dan dalam hal penetapan masa jabatan para pejabat Negara tersebut telah diatur di dalam undang undang. Berikut adalah beberapa penetapan masa jabatan Pejabat Negara;

1. Penetapan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden

Dalam perkembangan konstitusi Indonesia, sudah diatur mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan


(22)

sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.125

Penetapan masa jabatan presiden selama 5 (lima) tahun ini juga berlaku bagi kebanyakan negara-negara Eropa atau negara-negara di dunia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law), sementara bagi kebanyakan penganut sistem Anglo Saxon (common law) seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris dan negara-negara persemakmuran Inggris (Malaysia, Philipina, dan lainnya) menetapkan masa jabatan untuk presiden selama 4 (empat) tahun.126

2. Penetapan Masa Jabatan Anggota Komisi Yudisial

Masa Jabatan anggota Komisi Yudisial, diatur dalam Pasal 29 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (LN 2004 No. 89, TLN No. 4415) yang menegaskan bahwa anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Penetapan masa jabatan anggota Komisi Yudisial ini berbeda-beda untuk setiap negara yang konstitusinya mengadopsi lembaga Komisi Yudisial atau sejenisnya.

Di Eropa Selatan sebagaimana hasil penelitian Wim Voermans, Prancis menetapkan masa jabatan anggota KY (Conseil superiuer dela magistrature / CSM) selama 4 tahun, dan Spanyol menetapkan masa jabatan anggota Komisi Yudisial (El

125 Pasal 7 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

126 Titik Triwulan Tutik, Penetapan Masa Jabatan Jaksa Agung dalam Sistem

Penetapan Jabatan Pejabat Negara, Surabaya, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel,


(23)

Consejo General del Poder Judicial) untuk kurun waktu 5 (lima) tahun, dan Italia menetapkan masa jabatan anggota Komisi Yudisial (Consiglio Superiore della Magistrature) kecuali anggota tetap yaitu Presiden, Ketua MA dan Jaksa Agung diangkat untuk masa 4 (empat) tahun, negara-negara Eropa Utara rata-rata menetapkan masa jabatan anggota Komisi Yudisial, seperti Komisi Yudisial di Denmark (Domst ol sst y rel sen) untuk kurun waktu 4 (empat) tahun.127

3. Penetapan Masa Jabatan Hakim Konstitusi

Masa jabatan hakim konstitusi, diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN 2003 No. 98, TLN No. 4316) yang menyatakan bahwa masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya atau masa jabatan tersebut berakhir karena memasuki usia pensiun yaitu 67 tahun.

Penetapan masa jabatan hakim konstitusi ini berbeda-beda bagi beberapa negara yang dalam konstitusinya mengadopsi lembaga Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan. Misalnya, Republik Federal Jerman menetapkan masa jabatan hakim konstitusi pada lembaga Mahkamah Konstitusi (ver) selama 12 tahun dan setelahnya tidak dapat dipilih kembali, Prancis menetapkan masa jabatan hakim konstitusi pada Dewan Konstitusi selama 9 tahun dan setelahnya tidak dapat dipilih kembali. Di Afrika Selatan masa jabatan hakim ditetapkan 12 tahun dan memasuki


(24)

usi purna bhakti jika mencapai usia 70 tahun. Sementara itu, Korea Selatan menetapkan masa jabatan hakim konstitusi selama 9 tahun dan setelah itu tidak dapat dipilih kembali dan memasuki usia pensiun pada usia 70 tahun bagi Hakim Ketua (Ketua MK) dan 65 tahun bagi hakim anggota.128

4. Penetapan Masa Jabatan Hakim Agung

Masa jabatan hakim agung, diatur dalam Pasal 11 huruf b Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LN 2009 No.3, TLN. 4958) yang mengatur bahwa masa jabatan hakim agung ditentukan sampai usia pensiun, yaitu 70 tahun. Berbeda dengan Jerman jabatan hakim agung ditentukan diangkat untuk masa jabatan seumur hidup, tetapi undang-undang dapat menetapkan masa batas pensiun bagi hakim yang diangkat seumur hidup tersebut.129

5. Penetapan Masa Jabatan Jaksa Agung 130

Tugas utama kejaksaan sebagai institusi yang berwenang melakukan penuntutan, dimanapun di dunia ini memang tidak pernah dikategorikan sebagai tindakan yudikatif dan selalu menjadi tindakan eksekutif. Sejak Kejaksaan Republik Indonesia sepenuhnya ditempatkan di dalam ranah eksekutif di bawah UUD 1945

128 Ibid., hal.503

129 Ibid., 130 Ibid.,


(25)

setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Jaksa Agung selalu menjadi anggota kabinet, baik dengan status menteri atau pejabat setingkat menteri.

Semua undang-undang Kejaksaan yang pernah ada di bawah UUD 1945 tidak ada yang mengatur berapa lamakah jabatan Jaksa Agung. Oleh karena Jaksa Agung berstatus menteri atau pejabat setingkat menteri yang menjadi anggota kabinet, maka praktik ketatanegaraan menunjukkan bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sama dengan jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya.

Meskipun masa penetapan pejabat-pejabat negara (public) tersebut (selain penetapan Jaksa Agung) telah ditentukan oleh undang-undang, namun dalam rangka memberikan kepastian hukum maka seharusnya penetapan masa jabatan pejabat publik seperti halnya penetapan masa jabatan jaksa agung masih belum ditentukan secara definitive, dan limitative sebagaimana penetapan masa jabatan pejabat publik lainnya, sehingga perlu adanya Legislative Review mengenai Undang Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

B. Kedudukan Institusi Kejaksaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Dalam sejarah perkembangan institusi kejaksaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara Indonesia, Kejaksaan telah memiliki perkembangan yang signifikan. Hal itu ditandai dengan perubahan-perubahan secara mendasar, yang memiliki persepsi berbeda mengenai kedudukan institusi kejaksaan dimulai dari Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang No. 15 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia hingga pada Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang


(26)

Kejaksaan Republik Indonesia hingga pada Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Berikut adalah pemaparan kedudukan institusi kejaksaan yang dilihat berdasarkan undang undang yang telah berlaku di Indonesia;

1. Kedudukan Kejaksaan di bawah UUD 1945

Di dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak ditemukan satu katapun yang menyebut institusi kejaksaan, baik dalam Batang Tubuh maupun Penjelasannya. Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang Undang Dasar Sementara 1950 yang menganut sistem pemerintahan Parlementer, kata kejaksaan juga tidak ditemukan, kecuali kata “Jaksa Agung pada MAhkamah Agung” (Pasal 106 UUD Sementara 1950), tetapi hanya dalam konteks pejabat tinggi negara yang hanya dapat diwakili oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan pertama dan terakhir kalau didakwa dalam perkara pidana.

Ketentuan tersebut hanya mengatur “forum previlegiatum” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kedudukan kejaksaan dalam ranah kekuasaan negara. Sementara dalam UUD 1945 sebelum perubahan, hanya ada dua pasal saja yang mengatur badan Yudikatif ini, yakni ketentuan dalam Bab IX UUD 1945 tentang “Kekuasaan Kehakiman” yang mengatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.


(27)

Pada saat itu, pemerintah berupaya menata ulang institusi kejaksaan, untuk tidak lagi mengikuti tradisi kolonial Belanda yang rancu sehingga Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960, yang secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikannya sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian langsung dari kabinet. Inilah landasan hukum pertama yang menempatkan Kejaksaan sepenuhnya sebagai bagian dari ranah kekuasaan eksekutif.131

2. Kedudukan Kejaksaan Menurut UU Nomor 15 Tahun 1961

Undang Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan memposisikan kedudukan kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum, bahakan dalam konteks penyelesaian revolusi, kejaksaan bukan saja alat negara penegak hukum tetapi kejaksaan adalah alat revolusi.

Penegasan kedudukan kejaksaan dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 1961 mengandung dualitas makna bahwa jika dilihat dari penamaannya, sekalipun Kejaksaan sebagai alat penegak hukum bukan merupakan alat pemerintahan (eksekutif), namun jika dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU No. 15 Tahun 1961 ini bahwa penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan diatur dengan

131 http://yusril.ihzamahendra.com/2010/08/20/kedudukan-kejaksaan-dan-posisi-jaksaagung, terakhir diakses tanggal 21 Januari 2013


(28)

Keputusan Presiden, sehingga memperlihatkan posisi Kejaksaan berada di bawah lingkungan pemerintah.132

3. Kedudukan Kejaksaan Menurut UU Nomor 5 Tahun 1991

Berbeda dengan Undang Undang No. 15 Tahun 1961 menyebutkan bahwa dalam konsiderannya Kejaksaan adalah “alat negara” dan juga “alat revolusi”, Undang Undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam konsiderannya tidak lagi menyebutkan kejaksaan sebagai “alat negara” tetapi menyebutnya sebagai “lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tatanan susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan”.

Penegasan ini, lebih mempertajam dari rumusan UU No. 15 Tahun 1961, yang menempatkan Kejaksaan sepenuhnya berada dalam ranah eksekutif. Selanjutnya dikatakan bahwa Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan. Istilah Departemen Kejaksaan dan Menteri sebagai penyelenggaranya sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 1961 dihapuskan.

4. Kedudukan Kejaksaan Dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004

132 http://yusril.ihzamahendra.com/2010/08/20/kedudukan-kejaksaan-dan-posisi-jaksa-agung-dalam-sistem-pemerintahan-presidensial, diakses pada tanggal 21 Januari 2013


(29)

Perubahan terhadap undang undang tentang Kejaksaan terjadi pergolakan pada masa pemerintahan Presiden Megawati, yakni pada tahun 2004, ketika seluruh proses perubahan Undang Undang Dasar 1945 telah selesai. Pada awalnya di era pemerintahan Presiden Megawati, baik DPR maupun Pemerintah sama-sama berkeinginan untuk melakukan perubahan terhadap kedudukan kejaksaan yang berada di dalam kekuasaan eksekutif dan menjadikan sebagai lembaga negara yang berdiri sendiri.

Jika dilihat dari ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 belumlah menafsirkan bahwa Kejaksaan adalah “lembaga penegak hukum yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Sementara itu, dalam hal melaksanakan tugas penuntutan, Kejaksaan adalah badan yang secara fungsional dimana tugas dan wewenangnya berada di bawah kekuasaan kehakiman. Petugas Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan yang juga terkait dengan kekuasaan kehakiman, dalam konteks teori

criminal justice system.133

C. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 Sejak kejaksaan sepenuhnya ditempatkan di dalam ranah eksekutif di bawah UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Jaksa Agung selalu menjadi anggota kabinet, baik dengan status menteri atau pejabat setingkat menteri diletakkan

133


(30)

di bawah kekuasaan Presiden. Semua undang undang Kejaksaan yang pernah ada di bawah UUD 1945 tidak ada yang mengatur berapa lamakah jabatan Jaksa Agung.

Maka praktik ketatanegaraan menunjukkan bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sama dengan masa jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya. Tidak ada kebingungan terhadap masalah ini sepanjang sejarah ketatanegaraan RI, kecuali kasus Hendarman Supandji di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hendarman Supandji diangkat menjadi Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu berdasarkan Keppres No. 34/P Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007, menggantikan Abdul Rachman Saleh yang diangkat melalui Keppres No. 187/M Tahun 2004.

Semestinya jabatan Hendarman Supandji berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009, bersamaan dengan berakhirnya jabatan Susilo Bambang Yudhyono dan pembubaran Kabinet Indonesia Bersatu jilid I.

Memang tidak ada penjelasan secara limitatif dari ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Artinya, kapankah berakhirnya masa jabatan jaksa agung tersebut tidak ditentukan secara pasti.

Menurut Yusril Ihza Mahendra klausul huruf d Pasal 22 ayat (1) undang undang tersebut tidak jelas sehingga multitafsir (polyinterpretable) karena tidak menjelaskan dengan pasti kapan seseorang jaksa agung dianggap berakhir masa jabatannya. Klausul itu dapat saja ditafsirkan seumur hidup selama tidak diberhentikan dan sebagainya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechsonzekeirheid).


(31)

Dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 Erman Rajagukguk, Margarito Kamis dan Andi Muhammad Asrun yang ditunjuk sebagai saksi ahli dalam persidangan judicial review Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang Undang No. 16 Tahun 2004 berpendapat bahwa pada dasarnya jaksa agung sebagai pejabat negara setingkat menteri ataupun sebagai anggota kabinet berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota kabinet lainnya.134

Sementara itu, Bagir Manan berpendapat bahwa Jaksa Agung sebagai jaksa berakhir masa jabatannya karena memasuki usia pensiun. Sementara Jaksa Agung sebagai pejabat setingkat menteri negara dan anggota kabinet, maka jabatannya itu berakhir bersama-sama dengan anggota kabinet yang lain. Merujuk kepada Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 dan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007, maka jabatan Hendarman Supandji telah berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009. Sejak itu dia menduduki jabatan itu secara tidak sah. Segala tindakan yang dilakukan oleh pejabat yang tidak sah, tidaklah membawa akibat hukum.135

Selanjutnya menurut Laica Marzuki bahwa jaksa agung adalah publieke ambt atau jabatan politik. Jabatan adalah person pribadi hukum yang bersifat abstrak yang tidak dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya. Karena itu harus diwakili oleh pemegang jabatan atau ambtsdrager. Jabatan bersifat langgeng dan abadi, sementara pemegang jabatan atau ambtsdrager datang dan pergi silih berganti. Masa jabatan

134 Pendapat Erman Rajagukguk, Margarito Kamis dan Andi Muhammad Asrun ini disampaikan pada saat mereka menjadi saksi ahli dari pihak pemohon pada persidangan uji materi UU No. 16 Tahun 2004

135 Pendapat Bagir Manan yang disampaikan pada saat mereka menjadi saksi ahli dari pihak pemohon pada persidangan uji materi UU No. 16 Tahun 2004


(32)

Hendarman Supandji berdasarkan Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009. Namun sejak itu tidak pernah diangkat kembali, baik sebagai jaksa agung yang menjadi anggota kabinet maupun di luar kabinet.

Dengan demikian, Hendarman telah mewakili jabatan het ambt Jaksa Agung secara terus-menerus dengan masa jabatan yang tidak kunjung berakhir. Ini semua akibat multitafsir ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 yang mencederai asas kedaulatan rakyat dan asas kepastian hukum di dalam UUD 1945.136

Berbeda dengan pendapat para ahli lainnya, M. Fadjrul Falakh berpendapat bahwa UU No. 16 Tahun 2004 memang tidak mengatur masa jabatan jaksa agung sebagai pejabat negara. Jabatan jaksa agung tidak dapat dikaitkan dengan masa jabatan sebagai anggota kabinet, karena jaksa agung tidak boleh merangkap pejabat negara yang lain, termasuk merangkap jabatan menjadi menteri.

Jabatan jaksa agung termasuk jabatan publik sehingga mengenai pengangkatan dan pemberhentiannya bergantung kepada keputusan politik dari pejabat yang berwenang (Presiden). Menurut kaidah Tata Usaha Negara, tindakan tidak meneribitkan surat keputusan tentang sesuatu harus diartikan bahwa pejabat Tata Usaha Negera tersebut telah memutus sesuai tindakan yang tidak dituangkan

136 Pendapat H.A.S Natabaya yang disampaikan pada saat menjadi saksi ahli dari pihak pemohon pada persidangan uji materi UU No. 16 Tahun 2004


(33)

dalam suatu surat atau dokumen tertulis. Hal tersebut merupakan presumption of

legality. 137

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menerima pendapat saksi ahli, HAS Natabaya, bahwa UU No. 16 Tahun 2004 tidak memenuhi asas-asas umum pembentukan perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijkeregelgeving) yang sejalan dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijkebestuur, the general

principle of good administration),138 karena adanya inkonsistensi antara Pasal 19

Undang Undang No. 16 Tahun 2004 dan Pasal 22 ayat (1) huruf d. Pendapat MK menyatakan bahwa:

“Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara seharusnya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden berdasarkan kondisi yang pasti, yaitu jika ia meninggal dunia, atas permintaan sendiri, atau karena sakit jasmani dan rohani terus-menerus, namun demikian tentang kapan ‘berakhir masa jabatannya’ merupakan kondisi yang tidak menentu”.

Oleh karena itu, pokok masalahnya adalah pada proses pembentukan Undang Undang a quo Mahkamah Konstitusi berpendapat:

“….permasalahan penafsiran terhadap Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16 Tahun 2004 yang menyatakan “Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena… d. berakhir masa jabtannya, bukan masalah konstitusionalitas norma yang merupakan lingkup ranah judicial review yang menjadi wewenang Mahkamah, tetapi lebih merupakan lingkup ranah judicial review yang menjadi wewenang Mahkamah, tetapi lebih merupakan lingkup ranah legislatif review yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Presiden. Akan tetapi masalah konstitusionalitas timbul ketika

137 Pendapat M. Fadjrul Falakh yang diampaikan pada saat mereka menjadi saksi ahli dari pihak termohon (Pemerintah) pada persidangan uji materi UU No. 16 Tahun 2004


(34)

frasa ini bersifat multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk ketidakpastian hukum dalam hal kedudukan di hadapan hukum.” Artinya MK menyatakan tetap berwenang mengadili perkara ini. Selanjutnya menurut MK paling tidak ada empat alternatif untuk menentukan kapan mulai diangkat dan saat berhentinya pejabat negara menduduki jabatannya in casu Jaksa Agung, yaitu: (a) berdasar periodesasi Kabinet dan/atau periode masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, (b) berdasar periode (masa waktu tertentu) yang fixed tanpa dikaitkan dengan jabatan politik di kabinet, (c) berdasarkan usia atau batas umur pensiun, (d) berdasarkan diskresi Presiden/ pejabat yang mengangkatnya.

Mahkamah berpendapat pula bahwa karena ketidakpastian hukum itu bertentangan dengan konstitusi maka seharusnya pembentuk Undang Undang segera melakukan legislative review untuk memberi kepastian dengan memilih salah satu dari alternatif-alternatif tersebut.

Namun karena legislative review memerlukan prosedur dan waktu yang relatif lama, maka sambil menunggu langkah tersebut Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran sebagai syarat konstitusional (conditionally constitusional) untuk berlakunya Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut yang dinyatakan berlaku prospektif sejak selesai diucapkannya amar putusan.139

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa dalam praktik ketatanegaraan yang berlangsung selama ini, penetapan masa jabatan secara tegas telah digunakan dalam beberapa jabatan publik. Peraturan yang tegas tersebut dapat ditemukan


(35)

misalnya pada Pasal 7 UUD 1945, Undang Undang KY (Komisi Yudisial), Undang Undang MK (Mahkamah Konstitusi) dan Undang Undang MA (Mahkamah Agung).

Mempertimbangkan semua bukti-bukti persidangan dan keterangan-keterangan saksi ahli akhirnya dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi PUU/VIII/2010 menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI adalah sesuai dengan UUD 1945, oleh karena itu mempunyai kekuatan hukum mengikat, secara bersyarat (conditionally constitusional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan, artinya Jaksa Agung dapat diberhentikan sewaktu-waktu dalam masa tugas presiden.140

Dengan pemaparan para ahli terhadap amar Putusan tersebut memberikan dampak positif dan negatif dalam konvensi ketatanegaraan Indonesia. Dikhawatirkan, putusan tersebut dapat memberikan efek keleluasaan Presiden dalam menangani kasus hukum yang terjadi, misalnya dalam hal pengampunan terpidana, meskipun secara prerogatif kekuasaan presiden telah diberi kewenangan grasi, amnesti maupun abolisi oleh undang-undang.


(36)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bagian ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut:

1. Sejak awal instansi kejaksaan di Indonesia sudah dikenal sejak masa kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur yang dikenal dengan nama Satya Adhi Wicaksana, dimana dhyaksa adalah pejabat negara di zaman kerajaan majapahit yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan kejaksaan diganti dengan nama Openbaar Ministerie. Kemudian masa penjajahan Jepang, institusi ini dialihfungsikan menjadi badan peradilan Saaiko Hooin (pengadilan agung), Kooto Hooin (pengadilan tinggi), dan Tihoo Hooin (pengadilan negeri). Setelah Indonesia merdeka, institusi kejaksaan diletakkan ke dalam lingkungan Departemen Kehakiman, artinya berada di bawah kekuasaan eksekutif. Namun kini terjadi dualisme kedudukan kejaksaan, yaitu Institusi Kejaksaan berada dalam fungsi Yudikatif, sementara itu Jaksa Agung sebagai pemimpin kejaksaan diletakkan dalam kekuasaan Eksekutif karena sama kedudukannya dengan menteri dalam kabinet.


(37)

2. Jika dilihat dari hubungan kelembagaan antara Presiden dan Kejaksaan di negara kita yang menganut sistem Presidensial di bawah UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan, serta UU No. 16 Tahun 2004 bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif. Hal itu dapat dilihat dari kekuasaan Presiden selaku kepala pemerintahan yang mengatur struktur organisasi kejaksaan melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. 3. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara “the guardian of the constitusion”

dan sekaligus “the final interpreter of the constitution” yang putusannya bersifat final dan mengikat semua pihak di negara kita ini. Maka dalam amar putusan MK No. 49/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI mengenai kewenangan presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung memberi dampak bagi lembaga Presiden bertindak lebih leluasa dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung, karena Jaksa Agung merupakan pejabat setingkat menteri.

B. Saran-Saran

Sebagai rangkaian paling akhir dari tulisan ini, maka ada beberapa saran yang hendak disampaikan, sebagai berikut:

1. Perlu ketegasan Pemerintah dan DPR yang bersifat independen dan tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun.


(38)

2. Perlu pemisahan kekuasaan antara Presiden dan Kejaksaan, agar terciptanya hukum yang bersifat independen dan tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun.

3. Perlu legislative review mengenai aturan penetapan masa jabatan Jaksa Agung agar terciptanya kepastian hukum dan Presiden tidak dapat bertindak leluasa.


(39)

BAB II

KEDUDUKAN PRESIDEN

DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Sistem Pemerintahan Indonesia

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah dipilih sebagai bentuk pemerintahan, yaitu melalui sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau disebut juga dengan Dokuritsu Zyumbi Tyosakaai.

Ketentuan mengenai bentuk republik kemudian tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: ”Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.59 Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia tidak menganut suatu sistem negara manapun tetapi adalah suatu sistem yang khas menurut kepribadian bangsa Indonesia.60 Artinya bahwa negara Indonesia yang dikenal dengan keanekaragaman bangsa haruslah berdasarkan aliran pengertian Negara Persatuan (paham unitarismus) yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara.61

59 Ketentuan dalam pasal ini tetap dipertahankan walaupun telah dilakukan empat kali perubahan terhadap UUD 1945.

60 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1986, hal. 41.


(40)

Untuk mengetahui sistem pemerintahan selama Indonesia merdeka, maka konstitusi-konstitusi tersebut harus dianalisis satu per satu;

1. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) Tahun 1949;

Pasal 1 ayat 2 KRIS 1949 menyatakan: “Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan senat”. Lembaga-lembaga negara tersebut secara bersama-sama mempunyai kewenangan membentuk undang-undang yang menyangkut hal-hal khusus.62 Untuk undang-undang yang tidak bersifat khusus maka pembentukannya hanya dilakukan oleh pemerintah dan DPR saja, tidak melibatkan senat.63

Pemegang kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi RIS adalah Presiden dengan seseorang atau beberapa menteri.64 Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat diganggu gugat.65 Menteri-menterilah yang akan

62 Pasal 127 huruf a Konstitusi RIS berbunyi, “Pemerintah bersama-sama dnegan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat sekadar hal itu mengenai peraturan-peraturan mengenai hal khusus mengenai satu, beberapa atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannya, ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerah-daerah yang tersebut dalam Pasal 2.”

63 Pasal 127 huruf b Konstitusi RIS berbunyi, “Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam seluruh lapangan pengaturannya selebihnya.”

64 Pasal 68 Ayat (1) Konstitusi RIS berbunyi, “Presiden dan menteri-menteri bersama-sama merupakan pemerintah.”


(41)

mempertanggungjawabkan roda pemerintahan, baik secara bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.66

2. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950);

Dalam UUDS 1950, kedudukan presiden sebagai kepala negara jelas disebutkan pada Pasal 45 ayat (1) berbunyi: “Presiden ialah Kepala Negara.”67 Pasal 45 ayat (2) berbunyi: “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden.”68

Sedangkan Pasal 83 ayat (1) mengatakan: “Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.”69 Pasal 83 ayat (2) mengatakan: “Menteri-menteri bertanggung jawab seluruhnya maupun masing-masing untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.”70

Dari pemaparan pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan negara menurut UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Hal ini disebabkan karena menteri-menteri baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri yang mempertanggungjawabkan pemerintahannya. Sedangkan Presiden dalam hal ini selaku kepala negara tidak dapat diganggu gugat, karena

66 Pasal 118 Ayat (2) Konstitusi RIS berbunyi, “Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik secara bersama-sama, seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu.”

67 Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Pasal 45 ayat (1). 68 Ibid., Pasal 45 Ayat (2).

69 Ibid., Pasal 83 Ayat (1). 70 Ibid., Pasal 83 Ayat (2).


(42)

seorang kepala negara dianggap tidak pernah melakukan kesalahan (the king can do no wrong).

3. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Perubahan;

Menurut Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan menganut sistem pemerintahan campuran, karena mengandung unsur sistem parlementer dan unsur sistem pemerintahan presidensiil.71

Ada beberapa factor yang menyebabkan UUD 1945 dianggap menganut sistem pemerintahan campuran yaitu; karena Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR; MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi; Presiden adalah mandataris MPR; Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR; dan Presiden untergeordnet kepada Majelis.72

4. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Setelah perubahan UUD 1945

Setelah UUD 1945 mengalami perubahan dari yang hanya 37 pasal menjadi 73 pasal, banyak yang telah berubah. Begitu juga dalam sistem pemerintahan. Perubahan-perubahan tersebut ditandai pada perubahan Pasal-pasal mengenai

71 Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, Bandung, Tarsito, 1976, hal. 56.

72 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Neagra Maju, Jakarta, Kencana, 2009, hal. 5.


(43)

kekuasaan presiden yang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD.73

Selain itu Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.74 “Presiden dan Wakil Presiden terpilih memegang jabatan selama lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.75 Kemudian Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR karena sebelumnya ketentuan ini tidak ada diatur oleh Undang Undang Dasar.76

Presiden juga dapat memberi grasi dan rehabilitasi kepada para pelaku tindak pidana meskipun dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan Presiden berhak memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.77 Dalam perubahan tersebut juga menyatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.78

73 Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 74 Pasal 6A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Ketiga).

75 Pasal 7 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Ketiga).

76 Pasal 7C Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Ketiga).

77 Pasal 14 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Pertama).

78 Pasal 17 Ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Perubahan Pertama).


(44)

Menurut Dasril Radjab, dari pasal-pasal yang dianut oleh UUD 1945 setelah perubahan adalah sistem presidensial, karena:79

a. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus meraqngkap kepala pemerintahan yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.

b. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka tidak bertanggung jawab kepada parlemen baik kepada DPR maupun kepada MPR. c. Presiden dan DPR menempati kedudukan yang sejajar sehingga PResiden tidak

berwenang membubarkan Parlemen.

d. Presiden menagngkat dan memberhentikan menteri-menteri.

e. Presiden melaksanakan tugas dan wewenangnya selama 5 (lima) tahun atau dalam masa jabatan yang tetap (fixed term).

B. Tugas dan Kewenangan Presiden

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar.” Demikian bunyi Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yang menjadi dasar presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pasal tersebut sama sekali tidak mengalami perubahan.80

Menurut Bagir Manan, ditinjau dari teori pembagian kekuasaan yang dimaksud kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan presiden dapat

79 Firdaus, opcit., hal. 60.


(45)

dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus.81

1. Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersifat Umum

Bahwa Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan memiliki kekuasaan menyelenggarakan fungsi administrasi negara. Presiden adalah pimpinan penyelenggaraan administrasi negara tertinggi. Penyelenggaraan administrasi negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas, yaitu setiap bentuk perbuatan atau kegiatan administrasi negara. Lingkup tugas dan wewenang ini makin meluas sejalan dengan makin meluasnya tugas-tugas dan wewenang negara atau pemerintah, yaitu:82

a. Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari surat-menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain. Maksudnya adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki tugas dan wewenang memelihara, menjaga, dan menegakkan keamanan dan ketertiban umum yang merupakan tugas dan wewenang paling awal dan tradisional setiap pemerintahan. Bahkan dapat dikatakan bahwa asal mula pembentukan negara dan pemerintahan ditunjukkan pertama-tama ditujukan pada usaha memelihara, menjaga, dan menegakkan keamanan dan ketertiban umum. Tugas semacam ini terdapat juga

81 Bagir Manan, opcit., hal. 122. 82 Ibid., hal. 122-123.


(46)

dalam tujuan membentuk pemerintahan Indonesia merdeka, yaitu “melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

b. Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulaid ari surat-menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain. Maksudnya adalah tugas-tugas ketatausahaan ini termasuk salah satu tugas tradisional pemerintahan yang baik berupa surat-menyurat maupun pencatatan-pencatatan untuk mengetahui keadaan dalam bidang-bidang tertentu serta memberi pelayanan administratif kepada masyarakat.

c. Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan umum. Maksudnya adalah Presiden sebagai penyelenggara negara memiliki tugas dan wewenang melayani masyarakat secara umum. Tugas ini dianggap penting sehingga pekerjaan dan tugas administrasi negara yang lazim disebut sebagai public service. Melayani masyarakat, pada saat ini dipandang sebagai hakikat penyelenggaraan administrasi negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum, sehingga sering disebut the service state. Sebagai contoh pelayanan umum meliputi penyediaan fasilitas umum seperti jalan, taman, dan lapangan olahraga. Hal-hal seperti perizinan, pemberian dispensasi, dan semacamnya dapat juga digolongkan sebagai bentuk-bentuk pelayanan umum. Termasuk pula ke dalam tugas-tugas pelayanan adalah bantuan-bantuan seperti subsidi atau bentuk-bentuk bantuan lain, yang sekaligus mengandung pula fungsi pengawasan dan ketertiban. d. Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang penyelenggaraan


(47)

Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasan UUD 1945, yang terdapat berbagai ketentuan dan keterangan mengenai kewajiban negara atau pemerintah untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, membangun sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang bersendikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersifat khusus

Tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahn yang bersifat khusus adalah penyelenggara tugas dan wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada Presiden pribadi yang memiliki sifat prerogatif (di bidang pemerintahan). Tugas dan wewenang tersebut adalah Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan perang, hubungan luar negeri, dan hak memberi gelar dan tanda jasa.83

Meskipun tugas dan wewenang konstitusional Presiden bersifat “prerogatif”, tetapi ada dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan sehingga menjadi bagian dari objek administrasi negara, seperti halnya dalam kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik seringkali dianggap sebagai hak mutlak Presiden. Istilah yang biasa disebut untuk hal tersebut adalah Hak Prerogatif Presiden.

83 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jurnal Konstitusi. Volume 7, Nomor 5, Jakarta, Oktober 2010, hal. 19.


(48)

C. Presiden Sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan Republik Indonesia

Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia jabatan kepala negara dan kepala pemerintahannya hanyalah dijabat oleh satu orang yang sama, yaitu Presiden. Di dalam suatu negara pada umumnya kepala negara adalah simbol dari suatu negara, sedangkan kepala pemerintahan yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adlaah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan dan bentuk pemerintahannya adalah republik. Sehingga PResiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Hal tersebut mengikuti cirri-ciri yang dianut oleh negara-negara dengan sistem Presidensial. Dalam hal konsep presidensial itu, Presiden Republik Indonesia tidak dipilih oleh Parlemen, melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, karena presiden tidak dipilih oleh parlemen. Meskipun demikian, Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam mengambil keputusan atau kebijakan publik umumnya adalah hasil tawar menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.


(49)

Maka dari itu, dalam hal menjalankan fungsi Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan sudah diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 sesudah perubahan, yaitu;

a. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan84

b. Kekuasaan mengajukan RUU, dan membahasnya bersama dengan DPR85

c. Kekuasaan membentuk Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang Undang (Perppu)86

d. Kekuasaan menetapkan Peraturan Pemerintah87

e. Kekuasaan memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi88 f. Kekuasaan mengadakan perjanjian dengan negara lain89

g. Kekuasaan mengadakan perdamaian dengan negara lain90 h. Kekuasaan mengangkat dan menerima duta dan konsul91 i. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya92

j. Kekuasaan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata93 k. Kekuasaan memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya94

84 Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945

85 Pasal 5 UUD 1945 (Perubahan Pertama) 86 Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945

87 Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945

88 Pasal 14 UUD 1945 Perubahan Pertama, grasi dengan memperhatikan pertimbangan mahkamah agung. Amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR

89 Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) 90 Pasal 11 UUD 1945 (Perubahan Ketiga)

91 Pasal 13 UUD 1945 92 Pasal 12 UUD 1945 93 Pasal 10 UUD 1945


(50)

l. Kekuasaan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden95

m. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri96 n. Kekuasaan meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)97 o. Kekuasaan untuk menetapkan calon hakim agung98

p. Kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial99 q. Kekuasaan untuk mengusulkan dan menetapkan hakim konstitusi100

94 Pasal 15 UUD 1945 (Perubahan Pertama)

95 Pasal 16 UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dulunya adalah dewan pertimbangan agung

96 Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Pertama)

97 Pasal 23F UUD 1945 (Perubahan Ketiga), anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Sementara itu Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota

98 Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), usulan Komisi Yudisial yang telah disetujui DPR

99 Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dengan persetujuan DPR 100 Pasal 24C UUD 1945 (Perubahan Ketiga), sembilan hakim konstitusi; 3 calon usulan MA, 3 calon usulan DPR dan 3 calon usulan dari Presiden


(51)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang telah dilakukan sebanyak empat kali telah mempengaruhi secara substansial dan telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. Aturan dasar atau yang disebut dengan konstitusi ini, pada hakekatnya merupakan landasan eksistensi suatu negara sebagai organisasi kekuasaan, pembagian dan pembatasan kekuasaan. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sistem hukum yang berlaku tidak segera mengalami perubahan. Untuk mengatasi agar tidak terjadi situasi tersaebut, maka undang-undang maupun peraturan-peraturan yang ada sebelum kita merdeka tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.1

Konstitusi atau Undang Undang Dasar yang disusun dan ditetapkan untuk mencegah adanya kemungkinan menyalahgunakan kekuasaan. Dengan perkataan lain, dalam konstitusi berisi pembatasan kekuasaan dalam negara. Adapun pembatasan kekuasaan tersebut terlihat dengan adanya tiga hal dalam setiap konstitusi, yaitu (a) Bahwa Konstitusi atau Undang Undang Dasar harus menjamin hak-hak manusia atau warga negara; (b) Konstitusi atau Undang Undang Dasar juga harus memuat suatu ketatanegaraan pada suatu negara yang bersifat mendasar; (c)

1 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung, Fokusmedia, 2007, hal. 9


(52)

Konstitusi harus mengatur tugas serta wewenang dalam negara yang juga bersifat mendasar.2

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, konstitusi yang diberlakukan di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan dan masa berlakunya sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi yaitu; UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949); Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950); UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999); UUD 1945 ( 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999) UUD 1945 dan Perubahan Pertama ( 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000); UUD 1945 dan Perubahan Pertama, dan Kedua ( 18 Agustus 2000 – 10 November 2001 ); UUD 1945 dan Perubahan Pertama, Kedua dan Ketiga ( 10 November 2001 – 10 Agustus 2002); dan UUD 1945 dan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (10 Agustus 2002 – sekarang).3

Perubahan Pertama terjadi pada Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999, kemudian Perubahan Kedua berlangsung dalam Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga berlangsung pada Sidang Tahunan MPR tanggal 1-9 November 2001, dan Perubahan Keempat berlangsung pada Sidang Tahunan MPR dari tanggal 1-11 Agustus 2002.4 Salah satu gejala yang menandai perubahan tersebut

2 PadmoWahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1984, hal.4 3 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Prenada Media Group, 2010 hal. 15

4 Firdaus, Perubahan Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Bandung, Yrama Widya, 2007 hal.56


(53)

adalah adanya perubahan terhadap lembaga-lembaga negara. Ada yang dihapuskan, dan sebaliknya timbul pula beberapa lembaga baru.5

Secara kronologis substansi pengaturan kelembagaan negara dalam perubahan UUD 1945 terdapat pada setiap masa perubahannya.

Perubahan pertama, UUD 1945 memuat pengendalian kekuasaan presiden dan tugas serta wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam hal pembentukan undang-undang.6

Perubahan kedua, UUD 1945 menata ulang keanggotaan, fungsi, hak maupun cara pengisian lembaga negara.7

Perubahan ketiga, membahas ulang kedudukan dan kekuasaan MPR, jabatan Presiden yang berkaitan dengan tata cara pemilihan dan pemilihan secara langsung, pembentukan lembaga negara baru meliputi Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan (DPD), dan Komisi Yudisial (KY) serta pengaturan tambahan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan perubahan keempat, UUD 1945, meliputi keanggotaan MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden tahap kedua dan kemungkinan presiden/wakil presiden berhalangan tetap serta kewenangan presiden.8

Menurut Prof. Jimly Assidiqie ada beberapa lembaga-lembaga Negara Indonesia yang menjadi organ konstitusional dan subjek jabatan atau subjek hukum

5 Ibid., hal. 1-2

6 Titik Triwulan Tutik, posit., hal. 19. 7 Ibid.,


(54)

kelembagaan yang ditentukan oleh Undang Undang Dasar 1945 maupun undang-undang di luar UUD 1945 yaitu:9

1. Presiden

2. Wakil Presideen

3. Dewan Pertimbangan Presiden; 4. Kementerian Negara;

5. Menteri Luar Negeri; 6. Menteri Dalam Negeri; 7. Menteri Pertahanan; 8. Duta;

9. Pemerintahan Daerah Provinsi;

10. Gubernur/ Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi; 11. DPRD Provinsi;

12. Pemerintahan Daerah Kabupaten;

13. Bupati/ Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten; 14. DPRD Kabupaten;

15. Pemerintahan Daerah Kota;

16. Walikota/ Kepala Pemerintahan Daerah Kota; 17. DPRD Kota;

18. Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR); 19. Dewan Perwakilan Rakyat;

9 Ibid., hal. 14


(55)

20. Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri, yang diatur lebih lanjut dengan undang undang;

21. Bank Sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur lebih lanjut dengan undang undang;

22. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 23. Mahkamah Agung (MA);

24. Mahkamah Konstitusi (MK); 25. Komisi Yudisial (KY);

26. Tentara Nasional Indonesia (TNI);

27. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); 28. Angkatan Darat (AD);

29. Angkatan Laut (AL); 30. Angkatan Udara (AU);

31. Satuan Pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa;

32. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan sebagainya;

33. Kesatuan masyarakat hukum adat.

Oleh karena perubahan-perubahan sistem ketatanegaraan yang tidak menentu, maka dibentuklah lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru di bidang kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu perkembangan mutakhir ketatanegaraan Indonesia.


(56)

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan yang dimaksudkan untuk menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

Hal ini tercantum dalam perubahan konstitusi, khususnya Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:

“ Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”10

Fungsi Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai salah satu bentuk Judicial Control dalam kerangka sistem check and balances diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan 11yang pada hakikatnya mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitutions) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of constitutions).

Berdasarkan ketentuan Pasal 24C Ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 bahwa;

“Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi

yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh

Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.”12

Pengangkatan atau penetapan hakim konstitusi dilakukan oleh Presiden dengan menerbitkan Keputusan Presiden, tetapi bukan berarti para hakim konstitusi

10 Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945

11 Nurudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Prestasi Pustaka PUB, Jakarta, 2007, hal.xi

12 Ikhsan Rosyada P.D, Mahkamah Konstitusi: Memahamai Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hal.20


(57)

berada di bawah Presiden, melainkan dipandang sebagai salah satu tugas Presiden dalam kapasitasnya selaku kepala negara.13

Secara konsepsional ada empat pokok pikiran yang menjadi landasan Mahkamah Konstitusi dalam kerangka amandemen UUD 1945, antara lain: Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara saling melengkapi; Pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances; Pemurnian sistem Presidensial; dan Penguatan cita persatuan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.14

Jika kita melihat perkembangan sistem presidensial Indonesia yang dianut pada masa sebelum perubahan UUD 1945 terjadi pemusatan kekuasaan negara kepada satu lembaga yaitu Lembaga Kepresidenan dan Presiden tidak bertanggung jawab langsung kepada DPR. Pada masa ini pejabat-pejabat negara yang diangkat cenderung dimanfaatkan untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan kekuasaan presiden. Oleh karena hal tersebut, maka kekuasaan Presiden sebagai

kepala negara ‘tidak tak terbatas’ ditutupi oleh kekuasaan tertinggi negara yaitu di

tangan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Namun sistem presidensial pada masa tersebut berdampak positif bagi kelangsungan kinerja pemerintahan karena Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan karena konflik dan pertentangan antar pejabat negara dapat dihindari.

13 Ibid., hal.21

14 Jimly Assidiqie, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung Yrama Wijaya, 2007, hal.2


(1)

ABSTRAKSI

Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dilakukan sebanyak empat kali telah mempengaruhi secara substansial dan mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. Konstitusi atau Undang Undang Dasar disusun dan ditetapkan untuk mencegah adanya kemungkinan menyalahgunakan kekuasaan. Menurut Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4 disebutkan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Hal itu menimbulkan dualisme kedudukan institusi kejaksaan sebagai institusi yang berada di dalam ranah yudikatif, sementara jabatan Jaksa Agung berada di bawah kekuasaan eksekutif sebagai pejabat setingkat menteri. Maka dari itu penulis meneliti bagaimana sejarah perkembangan institusi Kejaksaan di Indonesia, hubungan kelembagaan Presiden dan Kejaksaan serta dampak Implementasi Kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung maka penulis melakukan pendekatan terhadap UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kepres Nomor 84/P tahun 2009 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 sehingga dapat diketahui hubungan kelembagaan negara tersebut.

Pada masa zaman kerajaan majapahit institusi kejaksaan (Satya Adhi Wicaksana) diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Pada masa pendudukan Belanda, istilah kejaksaan diganti dengan nama Openbaar Ministerie. Di masa penjajahan Jepang, institusi ini dialihfungsikan menjadi badan peradilan Saaiko Hooin , Kootoo Hooin, dan Tihoo Hooin. Setelah Indonesia merdeka, institusi kejaksaan diletakkan ke dalam lingkungan Departemen Kehakiman yang artinya berada di bawah kekuasaan eksekutif. Namun kini terjadi dualisme kedudukan kejaksaan, yaitu Institusi Kejaksaan berada dalam fungsi Yudikatif, sementara itu Jaksa Agung sebagai pemimpin kejaksaan diletakkan dalam kekuasaan Eksekutif. Jika dilihat dari hubungan kelembagaan antara Presiden dan Kejaksaan, Indonesia yang menganut sistem Presidensial di bawah UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan dan UU No. 16 Tahun 2004 bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif. Hal itu dapat dilihat dari kekuasaan Presiden selaku kepala pemerintahan yang mengatur stuktur organisasi kejaksaan melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam amar Putusan MK No. 49/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI mengenai kewenangan presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung memberi dampak buruk bahwa lembaga Presiden bertindak lebih leluasa dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung, karena Jaksa Agung merupakan pejabat setingkat menteri.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya yang telah memberikan pengetahuan dan kesehatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga Tugas Sarjana ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

Tugas Sarjana ini merupakan salah satu dari kurikulum dan suatu persyaratan dalam tugas akhir pada jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tugas sarjana ini penulis mengangkat judul mengenai suatu “Hubungan Jaksa Agung dan Presiden dalam Ketatanegaraan Indonesia”. Dimana Tugas Sarjana ini membahas tentang dampak implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tentang Kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung. Hal demikian menimbulkan dualisme kedudukan institusi kejaksaan yaitu di bawah ranah kekuasaan yudikatif atau di bawah ranah eksekutif.

Dalam penyelesaian Tugas Sarjana ini akan diuraikan bagaimana penyelesaian masalah tersebut secara hukum apabila dikaitkan dengan Undang No. 16 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, yakni kepada:


(3)

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang telah memberiku inspirasi dan kekuatan secara spiritual.

2. Kedua Orangtua Penulis, yaitu Bapak R. Edison Lumbanbatu S.H, dan Rosintan Br. Manullang yang telah memberikan dukungan moril dan materiil sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahannya. Begitu juga buat abang, kakak, yaitu; Pahala Shetya Lumbanbatu S.H, Huttal Paillohot Lumbanbatu S.H, Rudi Guntar Lumbanbatu, Ivanna Linda Lumbanbatu S.Sos, dan adik-adik saya yaitu; Nommensen Lumbanbatu, Pesta Parjagal Lumbanbatu.

3. Bapak Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum. 4. Bapak Pembantu Dekan I, Prof. Dr. Budiman Ginting S.H, M.Hum.

5. Bapak Pembantu Dekan II, Syarifuddin Hasibuan S.H., DFM, M.H. 6. Bapak Pembantu Dekan III, Muhammad Husni S.H., M.H.

7. Bapak Ketua Jurusan Hukum Tata Negara, Armansyah, SH, M.Hum. 8. Bapak Dosen Pembimbing I, Drs. Nazaruddin, SH, M.Hum.

9. Bapak Dosen Pembimbing II, Yusrin, SH, M.Hum.

10. Seluruh dosen/staf/karyawan di Fakultas Hukum USU yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11. Kepada rekan seperjuangan saya dan adik-adik saya ‘Natural Justice’ yang tidak tak berjuang melawan arus global warming.

12. Kepada sahabat terdekat saya “Selo Kau" Nanda Simangunsong, Zefri Zulfi, Iman Adiananda Hasibuan, Robert Maail, Anggia Fahmi Lubis dan yang tidak bisa saya sebut satu persatu.


(4)

13. Kepada komunitas anak jalanan ‘KOALA’ yang mengajarkan aku tentang status sosial

14. Kepada anak-anak Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Pertanian yang memberiku sinyal kekerabatan

15. Kepada Kekasih Hati yang belum sempat aku nyatakan.

Medan, April 2013 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

D. Tinjauan Pustaka ... 13

E. Keaslian Penulisan ... 26

F. Metode Penulisan ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II : KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA ... 31

A. Sistem Pemerintahan Indonesia ... 31

B. Tugas dan Kewenangan Presiden ... 36

C. Presiden Sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan Republik Indonesia ... 40

BAB III : JAKSA AGUNG SEBAGAI PEJABAT NEGARA ... 43

A. Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia ... 43

1. Sejarah Perkembangan Institusi Kejaksaan ... 43


(6)

B. Struktur Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia ... 49

C. Wewenang Jaksa Agung dan Syarat Menjadi Jaksa Agung 54 1. Wewenang Jaksa Agung ... 54

2. Syarat Menjadi Jaksa Agung ... 58

BAB IV : JAKSA AGUNG SEBAGAI PEJABAT PEMBANTU PRESIDEN ... 60

A. Penetapan Masa Jabatan Jaksa Agung dalam Sistem Penetapan Jabatan Pejabat Negara ... 60

B. Kedudukan Institusi Kejaksaan dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Negara ... 64

C. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 ... 68

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran-saran ... 76