1. Epidemiologi : Strain virus reaksi inang

commit to user 29 sebab itu, sel limofsit yang terinfeksi oleh EBV ini akan terhindar dari pemusnahan oleh sistim imun host. Oleh sebab itu, selama fase laten ini, akan terjadi peningkatan replikasi dan produktivitas EBV dalam sel untuk berinkubasi dan mempersiapkan fase selanjutnya. Saat ini LMP-2A telah diteliti sebagai target immunoterapi dengan menciptakan suatu vaksin yang dapat menginduksi CTL untuk dapat mengenali epitope dari LMP-2A, sehingga progresivitas dari keganasan dapat ditekan dan meningkatkan prognosis pasien Cyster, 2009.

C. 1. Epidemiologi : Strain virus reaksi inang

Virus Epstein-Barr menunjukkan beberapa perbedaan dalam sekuens DNA, dan beberapa tipe virus Epstein-Barr tertentu di beberapa area dimana virus Epstein-Barr terkait keganasan Tabel 2. Sebagai contoh virus Epstein-Barr tipe B dengan EBNA-2 di Afrika dimana Limfoma Burkitt merupakan endemik, dan virus Epstein-Barr tipe C dengan Ba mHI-I di Cina selatan, dan varian f dengan Ba mHI-F pada pasien karsinoma nasofaring di Cina selatan. Beberapa analisa keterkaitan virus Epstein-Barr dengan karsinoma gaster pada prevalensi strain virus Epstein-Barr tipe A, C dan F. Pada varian 30bp deletion of COOH terminal LMP-1 telah diketahui pada karsinoma nasofaring, limfoma Hodgkin dan beberapa tumor limfoid lainnya. Varian LMP-1 dengan 30bp deletion menginduksi transformasi sel epitelial lebih agresif. Polimorfisme Ba mHI-W1I1 dan Xhol restriction site LMP-1 berkorelasi terhadap insidensi karsinoma gaster di Amerika Selatan Chen, 2002. commit to user 30 Tabel 2. Genotip virus Epstein-Barr, distribusi regional dan malignansi Morrison, 2003 Gen Viral Genotip Prevalensi regional Penyakit terkait EBNA-2 AB A di Asia, Afrika utara, Amerika serikat, Perancis, dan Jerman. B di Afrika Tidak diketahui Ba mHI W1- I1 CD C di Cina selatan dan Jepang D di Amerika Tidak diketahui Ba mHI-W1I1 Ii Tidak diketahui ”i” pada keterkaitan virus Epstein-Barr dengan keganasan gaster Ba mHI F Ff F di Cina selatan F di jepang ”f” pada karsinoma nasofaring F pada mukosa normal di Cina Selatan F pada keganasan karsinoma nasofaring ras kaukasia EBNA-3C 1 2 Tidak diketahui Tidak diketahui LMP-1 30bp deletion Tidak diketahui Belum ada hubungan LMP-2 SNPs kodon 23, 348,444 Tidak diketahui Keterkaitan virus Epstein-Barr dengan karsinoma gaster commit to user 31 C.2. Gen virus dan karsinogenesis Pada infeksi laten virus Epstein-Barr mengalami replikasi partikel virus, dimana ekspresi gen virus Epstein-Barr terbatas pada berbagai gen tumor dalam fase laten. Tumor-tumor tersebut diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu laten I, II, dan III berdasarkan profil ekspresi gen virus Epstein-Barr Tabel 3. Virus Epstein-Barr terkait keganasan gaster dan kolorektal, seperti juga pada Limfoma Burkitt, tampak pada infeksi laten I dimana ekpresi gen virus pada fase laten terbatas tehadap EBNA1, EBERs, LMP-2A dan mengalami transkripsi dari Ba mHI A BARF0 dan BARF1. Fase laten II neoplasma termasuk keganasan kolorektal dan limfoma Hodgkin dengan terekspresinya LMP-1. EBNA-2, 3A dan 3C sangat berperan dalam immortalisasi sel limfosit B, ditambah dengan kurang efektifnya mekanisme imun pada pasien dengan fase III neoplasma seperti limfoma pada penyakit AIDS atau pasien dengan transplantasi organ Chao, 2006. Pada infeksi virus Epstein-Barr, yang menginduksi terjadinya karsinogenesis pada mukosa kolorektal, menurut penelitian Taeyo pada tahun 2009, akan memicu suatu proliferasi tidak terkontrol atas susunan sel di mukosa kolorektal, yang disebabkan oleh gangguan kontrol seluler dan meningkatnya produksi proto-onkogen. Hal ini salah satunya disebabkan oleh mekanisme infeksi EBV pada tingkat DNA yang mengganggu fungsi ikatan normal DNA sel, dan hal ini akan diperburuk oleh sifat infeksi EBV yang laten untuk menjaga episome virus tetap berada dalam DNA nukleus sel mukosa commit to user 32 kolorektal. Hal ini ditandai dengan meningkatnya ekspresi protein inti EBV EBNA, EBNA-LP, LMP-1, LMP-2 dan EBER Lo, 2001; Taeyo, 2009. Gambar 6. Mekanisme Ekspresi LMP-1dan LMP-2 pada mukosa kolon Taeyo, 2009 Kemudian berdasarkan penelitian Taeyo pada tahun 2007, yang dilakukan pada etnis Cina, secara histopatologis ditemukan bahwa infeksi EBV pada karsinoma kolorektal berhubungan dengan tipe karsinoma yang tidak berdiferensiasi baik. Tingginya ekspresi LMP-2 pada karsinoma kolorektal yang terinfeksi oleh EBV, menyebabkan protein LMP-2 yang dikenal sebagai “ tra nsforming fa ctor ” yang merusak mekanisme perbaikan sel, dihipotesiskan memiliki peranan yang luas dalam pembentukan lesi pra-kanker awal dan mempromosikan ke arah keganasan yang memiliki derajat tinggi yang ditandai dengan diferensiasi sel kanker yang buruk. Infeksi EBV selain menginisiasi terjadinya proses karsinogenesis juga akan mempromosikan keganasan yang terjadi ke arah yang lebih tinggi. Dimulai dari suatu lesi pra-kanker, kemudian commit to user 33 berkembang menjadi suatu tumor yang berdiferensiasi baik, infeksi EBV lebih lanjut akan dapat mempromosikan suatu tumor grade I low-gra de pre-invasive lesion yang akan berkembang dengan cepat menjadi suatu tumor tahap lanjut yang buruk diferensiasi selnya high gra de pre-inva sive lesion hingga akhirnya menjadi suatu tumor yang derajat keganasannya tinggi, suatu tumor yang tidak berdiferensiasi, bersifat invasif dan dapat bermetastasis ke jaringan lainnya. Tipe diferensiasi yang buruk memiliki sensitivitas yang lebih buruk terhadap kemoterapi. Akan tetapi penelitian sejauh mana EBV positif pada jaringan berespon terhadap kemoterapi masih belum pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan pedoman kemoterapi karsinoma koloreltal yang ada saat ini, melaporkan dengan penggunaan protokol Mayo, angka survival 5 tahun bervariasi mulai dari 40-80. Penggunaan immunoterapi imunoterapi dengan antibodi monoklonal yang dapat menargetkan mekanisme sel spesifik ditengarai akan dapat meningkatkan outcome kemoterapi. Ada beberapa agen yang diujicobakan saat ini, memiliki target mekanisme yang sesuai dengan peran infeksi EBV dalam menginisasi proses keganasan, sehingga diperkiran agen kemoterapi ini dapat memberikan hasil yang lebih menjanjikan Li, 2004; Taeyo, 2009. commit to user 34 Gambar 7. Mekanisme infeksi EBV pada karsoninoma kolorektal Taeyo, 2009 Tabel 3. Ekspresi gen virus pada pola ketiga fase laten dari infeksi virus Epstein- Barr. Morrison,2003 EBERs EBNA1 EBNA2,3s, LP LMP- 1 LMP- 2A BARFs Malignansi Laten 1 + + - - + + BL, GC dan HL Laten 2 + + - + + + NPC,NKT dan AIDS- limfoma Laten 3 + + + + + + PTLDs BL, Burkitt Lymphoma ; HL, Hodgkin lymphoma ; GC, gastric cancer; NPC, na sopharnyngea l ca rcinoma ; PTLDs, posttra nspla nt lymphoproliferative disorders. commit to user 35 C.3 Imunitas humoral terhadap infeksi virus Epstein - Barr Pemahaman terhadap elevasi titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr berkaitan dengan siklus hidupnya banyak digunakan sebagai dasar diagnosis, monitoring dan prognosis penyakit viral ini terhadap pasien-pasien KNF, MI, dan karsinoma kolorektal. Studi serologi terhadap kasus-kasus penyakit infeksi virus Epstein-Barr telah banyak dilakukan diantaranya dengan mengukur kenaikan titer IgA, Ig G atau Ig M anti EA,MA membra ne a ntigen , VCA, EBNA 1, EBNA 2, LMP 2, DNAse, dan a ntibody dependent cellula r cytoxity ADCC. IgG anti–EA dan anti-VCA lebih dapat menggambarkan prognosis penyakit KNF daripada IgA anti-EA dan anti-VCA. Kondisi ini disebabkan karena IgG muncul lebih awal dan lebih substantial dibandingkan IgA yang hadir pada imunitas sekunder terhadap reinfeksi atau reaktivasi virus. Terjadinya Karsinoma Nasofaring KNF berasosiasi secara kuat dengan EBV pada penelitian Yip pada tahun 1996 dan Moss, 1996. Studi awal terhadap serum pasien KNF menunjukkan tingginya dua jenis antibodi terhadap protein antigen siklus litik virus Epstein-Barr, yaitu VCA dan EA. Ea rly a ntigen EA merupakan kelompok protein antigen yang diproduksi pada fase awal siklus litik virus Epstein-Barr. Ea rly a ntigen terdiri atas paling sedikitnya 4 komponen protein, seperti timidin kinase TK, DNA polimerase DP, a lka lin deoksiribonuklea se DNAse, dan ribonukleotide redukta se RR ginsburg. Antibodi terhadap antigen fase litik awal sebagaimana anti ZEBRA dan anti EA bersifat lebih prognosif daripada antibodi fase litik seperti anti- commit to user 36 VCA dan anti-MA, atau antibodi antigen fase laten seperti anti LMP-2, anti- EBNA 1 dan anti EBNA 2 pada pasien KNF. Selama fase akut pasien Mononukleosis Infeksiosa MI memiliki titer IgM dan IgG terhadap VCA dan beberapa IgG terhadap early antigen diffuse EA-D yang tinggi. Bersamaan dengan hal tersebut anti–Magp85 menunjukkan angka lebih tinggi daripada antibodi anti gp350220 Henle, 1979. Antibodi anti gp350 sangat penting artinya dalam hal netralisasi virus terhadap infeksi akut MI Moss et al.1996. Pasien akut akan menghasilkan IgM terhadap antigen auto dan heterofil,serta satu IgG transient anti protein EBNA2 . Antibodi anti EBNA1 tidak selalu terdeteksi sampai dengan masa kesembuhan. Antibodi virus Epstein-Barr merespon berbagai antigen yang ditujukan pada infeksi mononucleosis. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa antibodi imunoglubulin A Ig A berespon terhadap antigen kapsid virus pada infeksi mononucleosis dan berhubungan juga dengan antibodi lainnya yang juga timbul pada infeksi mononukleosis. Infeksi virus Epstein-Barr biasanya didiagnosa dengan pendekatan metode serologi. Hal ini termasuk pada percobaan dengan guinea pig terinfeksi mononukleosis yang diberikan aglutinin heterofil atau antibodi spesifik virus Epstein-Barr terhadap VCA, EBNA, EA-D, EA-R dan MA. Pada infeksi primer, hubungan antara Ig M terhadap VCA, EBNA, EA dan antibodi heterofili serta keterkaitan dengan Ig A dan Ig G dapat terdeteksi Houlston, 2001; Budian i, 2006. commit to user 37

D. Kanker Kolorektal