NN

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tentu saja memiliki hasrat dan keinginan untuk
selalu berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Manusia tidak akan
pernah dapat hidup sendiri di dunia ini,sehingga akan selalu membutuhkan orang
lain. Manusia pada dasarnya dilahirkan seorang diri, namun di dalam proses
kehidupan selanjutnya, manusia membutuhkan manusia lainnya. Seperti pendapat
Susanto (1979:63) dengan mengutip ucapan dari Aristoteles bahwa manusia
adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang menyukai hidup berkelompok
atau setidaknya lebih suka mencari teman untuk hidup bersama daripada hidup
sendiri.

Kehidupan manusia akan dapat berkembang apabila seseorang manusia dapat
berhubungan dengan manusia lainnya, dengan kata lain manusia itu disamping
hidup di tengah-tengah lingkungan alam, juga hidup di dalam lingkungan sosial,
tidak hanya secara pasif, akan tetapi secara aktif juga.


Menurut pendapat Soekanto (1990:27), bahwa di dalam diri manusia pada
dasarnya telah terdapat suatu keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekitar
lainnya berdasarkan atas keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungannya.

2

Untuk mencapai keinginan tersebut, manusia melakukan interaksi dengan manusia
lainnya atas dasar keinginan untuk hidup bersama. Akan tetapi, interaksi yang
terjalin tidak hanya semata-mata didasari untuk mencari teman hidup saja,
melainkan ada juga yang berdasarkan atas kepentingan-kepentingan yang hasilnya
saling menguntungkan.

Pada umumnya interaksi sosial yang dibangun oleh seseorang lebih didasari atas
berbagai kepentingan dengan maksud dan tujuan tertentu. Apabila interaksi yang
dibangun tidak menghasilkan sesuatu yang menguntungkan, seseorang bisa
memutuskan untuk tidak melanjutkan interaksi lagi. Hal itu tergantung dari
kedalaman seseorang dalam melakukan interaksi sosial yang diwujudkan pada
saat berinteraksi. Derajat interaksi atau kedalaman interaksi sosial umumnya
diukur melalui simbol-simbol makna atau penafsiran maksud dan tujuan yang
ingin disampaikan dan juga intensitas seseorang dalam melakukan interaksi.

Intensitas interaksi sosial juga merupakan faktor yang menunjang terjadinya
percampuran kebudayaan atau yang dikenal dengan istilah asimilasi. Adapun
bentuk dari interaksi sosial meliputi kerjasama, persaingan, pertikaian, dan
akomodasi.

Seperti diketahui, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, dalam arti
memiliki keanekaragaman SARA. Keanekaragaman ini semakin bertambah
manakala terjadi perpindahan penduduk antar provinsi/transmigrasi dan juga
imigrasi asing masuk ke wilayah Indonesia dan kemudian menetap di Indonesia.
Keanekaragaman SARA yang berbeda-beda, hendaknya tidak dijadikan jurang

3

pemisah, yakni dengan pengkotak-kotakan etnis yang satu dengan etnis yang
lainnya, karena hal itu akan menyebabkan disintegrasi.

Provinsi Lampung merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh berbagai
ragam suku bangsa. Keanekaragaman itu tidak lain karena Provinsi Lampung
sebagai daerah perlintasan antara Pulau Sumatra dan Pulau Jawa sehingga
memungkinkan Lampung sebagai daerah tujuan transmigrasi. Adapun etnis yang

bermukim di Lampung di antaranya Bali, Jawa, Sunda, Tionghoa, Ogan, dan
Semendo yang semuanya dengan karakteristik kesukuan dan latar budaya
berbeda.

Masyarakat Bali di Lampung pada umumnya menganut agama Hindu. Agama
Hindu banyak mengandung unsur lokal yang telah terjalin di dalamnya sejak dulu
kala. Di berbagai daerah di Lampung, terdapat variasi lokal dari para penganut
agama Hindu. Namun variasi tersebut mulai berkurang dengan adanya proses
modernisasi dan pengaturan oleh Jawatan Agama Bagian Hindu serta Majelis
agama yang disebut Parisada Hindu Dharma. Dalam kehidupan keagamaannya,
orang Bali yang beragama Hindu percaya akan adanya satu Tuhan, dengan konsep
Trimurti (simbolisasi TYE dalam tiga wujud), yaitu:
a. Wujud Brahmana, yakni yang menciptakan.
b. Wujud Wisnu, yakni yang melindungi serta memelihara.
c. Wujud Siwa, yakni mengembalikan segala yang ada ke asalnya.

Disamping itu, masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu juga memiliki konsep
yang mereka anggap penting yaitu:

4


1. Atman, yakni mengenai roh abadi.
2. Karmapala, yakni adanya buah dari setiap perbuatan.
3. Punarbawa, yakni kelahiran kembali dari jiwa.
4. Moksa, yakni kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali.

Tempat melakukan ibadat bagi masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu
disebut Pura. Tempat ibadat ini berupa kompleks bangunan-bangunan suci yang
sifatnya berbeda-beda, seperti:
1. Pura Besakih, sifatnya umum untuk semua golongan.
2. Pura desa, khusus untuk kelompok masyarakat setempat, organisasiorganisasi, dan kumpulan-kumpulan.

Selain itu, juga terdapat bangunan suci yang terdapat di masing-masing halaman
rumah (dikenal dengan sanggah atau merajan). Di Bali ada beribu-ribu pura dan
sanggah. Masing-masing pura dan sanggah ini memiliki hari-hari perayaan
dengan tanggal sendiri-sendiri. Perhitungan tanggalan menurut Hindu didasarkan
pada kedua bagian bulan, yaitu purnama dan panglong. Misalnya tahun baru Saka
atau Nyepi yang jatuh pada tanggal satu bulan kesepuluh (sehari sebelum tahun
saka lama berakhir), sedangkan perayaan dengan menggunakan perhitungan
tanggalan Bali seperti Galungan dan Kuningan, jatuh pada hari Rabu dan Sabtu

dari wuku Dungulan dan wuku Kuningan.

Masyarakat etnis Bali yang beragama Hindu memiliki lima macam upacara
(Panca Yadnya), yakni:
a. Manusia Yadnya, yang terutama meliputi upacara siklus hidup manusia
dari masa kanak-kanak sampai dewasa.

5

b. Pitra Yadnya, yang merupakan upacara-upacara yang ditujukan kepada
roh-roh leluhur dan yang meliputi upacara-upacara kematian sampai pada
upacara penyucian roh leluhur.
c. Dewa Yadnya, yang terutama berkenaan dengan upacara-upacara pada
pura umum dan keluarga.
d. Resi Yadnya, yang merupakan upacara-upacara berkenaan dengan
pentahbisan pendeta (mediksa).
e. Buta Yadnya, yang merupakan upacara-upacara yang ditujukan kepada
kala dan buta yaitu roh-roh yang dapat mengganggu.

Berdasarkan pengamatan sementara yang penulis lakukan di RT 04 Lingkungan

III Labuhan Ratu, penduduk yang bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan
Ratu terdiri dari beberapa suku bangsa. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penduduk RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu berdasarkan Asal
Daerah, Tahun 2009
No
1
2
3
4
5

Asal Daerah
Bali
Cina
Jawa
Lampung
Palembang

Total

Sumber: Ketua RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu

Jumlah/KK
5
1
28
63
14
111

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa penduduk yang tinggal di RT 04
Lingkungan III Labuhan Ratu lebih didominasi oleh etnis Lampung yang
berjumlah 63 KK, kemudian diikuti oleh etnis Jawa berjumlah 28 KK, lalu etnis
Palembang 14 KK, etnis Bali 5 KK, dan etnis Cina 1 KK.

6

Adapun nama-nama Penduduk etnis Bali yang bermukim di RT 04 Lingkungan
III Labuhan Ratu disajikan pada Tabel 2.


Tabel 2. Daftar Nama Penduduk Etnis Bali Di RT 04 Lingkungan III
Labuhan Ratu, Tahun 2009
No Nama

Status

Usia
(tahun)
52
52
28
25
18
24
54
25
21
47
46


Pekerjaan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

I Ketut Lindih
Nengah Sukardiani
I Wayan Lastikayasa
I Made Yoga Setiawan
Ni Nyoman Tirto Arysanty
Mahda Sari

I Nyoman Merdana
Putu Oka Lestari
Made Dwity M
Nyoman Sumantra
Nyoman Senati

KK
Istri
Anak
Anak
Anak
Menantu
KK
Anak
Anak
KK
Istri

12
13


Wayan Oka Putra
Rd Sayu Dwi Yani

Anak
Anak

21 Mahasiswa
12 Pelajar

14
15

I Putu Ardika
Sulasmi

KK
Istri

42 Wiraswasta
39 Ibu RumahTangga

16
17

I Putu Indra SG
Ni Made Hapsari

Anak
Anak

19 Pelajar
9 Pelajar

18

Ni Nyoman Sekar

Anak

7 Pelajar

19
20

Nengah Priana
Made Ariani

KK
Istri

44 Wiraswasta
44 Ibu RumahTangga

21

Putu Eka Aditya

Anak

20 Mahasiswa

Brimob
Guru
Wiraswasta
Wiraswasta
Pelajar
Ibu RumahTangga
Wiraswasta
Mahasiswa
Mahasiswa
Wiraswasta
Wiraswasta

Sumber: Ketua RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk etnis Bali yang
bermukim di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu adalah sebanyak 21 orang
dengan jenis pekerjaan yang beranekaragam mulai dari PNS, wiraswasta, pelajar,
mahasiswa, hingga ibu rumahtangga.

7

Masyarakat etnis Bali yang tinggal RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu tetap
menjalankan peribadatannya sesuai dengan ajaran yang ada dalam kitab Weda.
Hal itu terlihat pada saat perayaan-perayaan keagamaan, seperti Tahun Baru Saka
atau Nyepi, Galungan, dan Kuningan yang mana masyarakat etnis Bali yang
tinggal di RT 04 Lingkungan III menyambut perayaan tersebut dengan penuh
sukacita.

Perayaan Tahun Baru Saka atau Nyepi, Galungan, dan Kuningan merupakan
upaya untuk melakukan refleksi diri dan mendekatkan manusia kepada Sang
Pencipta. Dalam Tri Hita Karana yang merupakan falsafah hidup masyarakat Bali
dijelaskan bahwa manusia terikat pada tiga hubungan, yakni hubungan dengan
sesama manusia (pawongan), hubungan dengan alam sekelilingnya (palemahan),
dan hubungan dengan ketuhanan (parahyangan). Perayaan tersebut di atas adalah
wujud dari Tri Hita Karana dalam hubungan antara manusia dengan tuhan.
Hubungan manusia dengan Tuhan hendaknya dilandasi oleh kesadaran bahwa
”Tuhan adalah kebenaran pengetahuan yang tak terbatas (Sat Citta Ananda
Brahman) dan Ia adalah darimana semua ini berasal (Janmadhyasya Yatah)”
(http://www.parisada.org.id).

Sedangkan hubungan manusia dengan sesama, disebutkan antara lain adanya
karma pala (setiap tindakan ada pahalanya). Hubungan manusia dengan sesama
manusia tidak lain merupakan bentuk interaksi manusia yang dituangkan dalam
pola tingkahlaku, misalnya ikut acara gotong-royong, siskamling, dan lain
sebagainya. Terkait dengan hubungan antara manusia dengan alam semesta, Tri
Hita Karana mengajarkan seluruh isi alam semesta, termasuk manusia dan

8

lingkungan hidup, sama-sama tunduk pada hukum yang ditentukan Sang Hyang
Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Praktik Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari dikontekstualkan dalam
beberapa tindakan, diantaranya adalah Desa Kala Patra, yaitu melaksanakan
hubungan sosial dan kultural sesuai dengan tempat, keadaan, dan waktu. Desa
Kala Patra ini, tidak lain dimaksudkan agar masyarakat Bali dapat menyesuaikan
diri dengan keadaan di sekitar tempatnya bermukim.
Dalam masyarakat Bali dikenal pula adanya ajaran Tat Twam Asi, yakni “kamu
adalah aku dan aku adalah kamu”. Inti dari ajaran ini yakni menjaga
keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan Tuhan, termasuk
di dunia ini. Hal ini berarti apabila kamu menyakiti orang lain, berarti kamu
menyakiti diri sendiri karena pada dasarnya setiap manusia adalah saudara dari
manusia lainnya dan teman dari insan ciptaan-Nya. Tat Twam Asi juga dijadikan
landasan etik dan moral bagi masyarakat Bali di dalam menjalani hidupnya
sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya di dunia ini dengan harmonis
(http://ekakj.blog.friendster.com/2008/02/).

Setiap masyarakat dan daerah sudah tentu memiliki budaya masing-masing yang
tentu berbeda satu sama lain. Antara etnis Bali dan etnis Lampung misalnya, tentu
mempunyai perbedaan budaya. Masyarakat Lampung pada umumnya menganut
agama Islam dan hanya beberapa saja yang menganut agama lainnya. Selain itu
masyarakat etnis Lampung juga memiliki falsafah hidup yang mengatur
masyarakat etnis Lampung dalam bertingkahlaku dengan masyarakat etnis lainnya
yang tertuang dalam Piil pesenggiri. Piil pesenggiri terdiri atas enam unsur yaitu:

9

a. Negah nyampur, yaitu tata pergaulan masyarakat etnis Lampung dengan
cara membuka diri dalam pergaulan masyarakat.
b. Nemui nyimah, yaitu keharusan bermasyarakat.
c. Bejuluk buadek, yaitu keharusan berakhlak terpuji, berjiwa besar, dan
berkepribadian mantap.
d. Mufakat, yakni keharusan bermusyawarah dalam menetapkan keputusan
yang berlaku dalam masyarakat.
e. Sakai sambayan, yaitu kegiatan gotongroyong saling membantu satu sama
lainnya.
f. Carem ceragem, yaitu keharusan menegakkan dan menjaga persatuan dan
kesatuan.

Berbicara mengenai budaya Lampung, Lampung memiliki dua golongan adat,
yaitu:
1. Adat Lampung Pepadun, yakni adat yang digunakan oleh penduduk Abung,
Menggala/Tulang Bawang, Way Kanan, Sungkai, dan Pubiyan. Sistem adat
pepadun ini meliputi:
a. Sistem Pepadun Mego, terdiri dari kebuaian Anak Tuho, Nunyai, Beliyuk,
Selagai, dan Kunang.
b. Sistem Pepadun Bandar, terdiri dari Buai Subing Terbanggi, Subing
Labuhan, Unyi Buyut/Gunung Sugih, Unyi Sukadana, Nuban Bumi Ratu,
Nuban Bumi Tinggi, dan Nyerupa Komering.
c. Sistem Pepadun Sukeu, terdiri dari Buai Pubiyan Padang Ratu, Pubiyan
Putih Doh, Pubiyan Bukeu Jadi, Pubiyan Ketibung, Pubiyan Balau, Nuban
Bumi Tinggi, dan Nyerupa Komering.

10

d. Sistem Sumba, terdiri dari Buai Pemuka Way Kanan, Babuya, Nyerupa
Komering, dan Aji Tulang Bawang.

2. Adat Lampung Saibatin (Lampung Pesisir Saibatin)

Masyarakat Lampung Saibatin adalah kelompok yang berusaha menjaga
kemurnian darah dalam mendudukkan seseorang pada jabatan adat, yang oleh
masyarakat Lampung lazim disebut kepenyimbangan. Seseorang tidak boleh
menduduki jabatan kepenyimbangan walaupun ia sebenarnya memiliki potensi
untuk itu, umpama memiliki kharisma, pandai, kreatif, dan sebagainya, kalau ia
bukan memiliki darah aliran berdarah biru. Kedudukan yang dikenal dalam adat
Saibatin adalah Dalem Raja, Batin, dan seterusnya. Seseorang tidak boleh
menduduki jabatan sebagai Dalem selain anak keturunan seseorang yang
berkedudukan sebagai Dalem juga, begitupun untuk jabatan Raja, Batin, dan
seterusnya.

Antara adat Saibatin dan adat Pepadun, terdapat sedikit perbedaan, yakni adat
Saibatin tetap mempertahankan kemurnian darah biru, sedangkan dalam adat
Pepadun, setiap orang mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan status adat
yang dimiliki yakni melalui cakak pepadun dengan syarat membayar uang yang
disebut dau dan menyembelih kerbau. Makin tinggi tingkat adat yang akan
dicapai, maka semakin banyak juga uang yang harus dibayar. Kalau seseorang
menaikkan statusnya sebagai penyimbang atau pemimpin adat, maka harus
terlebih dahulu disahkan dan diakui oleh penyimbang-penyimbang yang setingkat
di lingkungan kekerabatannya.

11

Masyarakat etnis Lampung dilihat dari segi bahasanya dapat dibedakan menjadi
dua bahasa atau dialek, yaitu:
a. Dialek “Api”: bahasa dialek api digunakan oleh masyarakat etnis
Lampung Saibatin atau Peminggir. Adapun wilayah yang menggunakan
bahasa Lampung Dialek Api yakni: Belalau, Peminggir, Teluk Semangka,
Teluk Lampung Tulang Bawang Ulu (Way Kanan), Komering, Krui
Melinting, dan Pubiyan.
b. Dialek “Nyow”: bahasa Dialek Nyow digunakan oleh masyarakat etnis
Lampung Pepadun. Adapun wilayah yang menggunakan bahasa Lampung
Dialek Nyow ini yakni Abung dan Tulang Bawang.
Masyarakat Lampung juga memiliki slogan “Sang Bumi Ruwa Jurai” yang kini
berganti nama menjadi “Sai Bumi Ruwa Jurai”. Namun pada hakikatnya makna
dari slogan tersebut di atas tetap sama walaupun kini telah berganti nama yakni
mengenai kerukunan hidup penduduk asli dan pendatang dalam satu rumahtangga.
Hal itu menandakan bahwa masyarakat Lampung menerima atau membuka diri
terhadap masyarakat pendatang.

Kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat etnis Bali sudah tentu berbeda dengan
kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat etnis Lampung. Dilihat dari cara
berbicaranya saja, masyarakat etnis Lampung dalam berbicara biasanya sedikit
lantang. Sedangkan masyarakat etnis Bali dalam bertutur kata lebih sedikit
lembut. Hal itu menunjukkan bahwa masing-masing etnis memiliki karakteristik
atau pembawaan diri yang berbeda-beda.

12

Keinginan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa menjadi penting di
Indonesia mengingat masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk.
Kenyataan tersebut di atas merupakan kekayaan bagi bangsa Indonesia dan
sekaligus menciptakan tantangan. Tantangan-tantangan tersebut dimungkinkan
hadir dalam pergaulan masyarakat karena kecenderungan dari setiap individu dan
suku bangsa apapun juga, biasanya melihat kebudayaannya sebagai yang terbaik.
Hal ini, dikenal sebagai etnosentrisme (Kartodirdjo, 1987:88).

Selain etnosentrisme, tantangan lainnya yang dapat menghambat kokohnya
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah sikap prasangka dan diskriminasi
yang sering muncul dalam diri anggota masyarakat. Prasangka dan diskriminasi
biasanya ditandai dengan sikap negatif kepada anggota kelompok tertentu yang
semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam berkelompok.
Prasangka dan diskriminasi tidak akan menimbulkan konflik sosial apabila
didukung oleh pengendalian sosial yang tinggi dan upaya-upaya yang dapat
mendorong terciptanya pembauran bangsa di segala bidang kehidupan, baik di
bidang ekonomi maupun sosial budaya, dalam rangka memperkokoh kesatuan dan
persatuan bangsa serta memantapkan ketahanan sosial.

Masyarakat Indonesia yang multikultur secara demografis maupun sosiologis,
memiliki keragaman kultural dan sangat rentan sebagai pemicu konflik SARA
(suku, agama, ras, dan antar golongan). Pelbagai peristiwa konflik berbau SARA
telah terjadi hampir di semua wilayah Indonesia dan beberapa diantaranya terjadi
antarsuku. Seperti tragedi Sampit yang terjadi di Kalimantan Tengah. Pihak yang
berkonflik yakni antara masyarakat suku Madura dan Dayak. Latar belakang

13

terjadinya konflik di antara dua suku ini yakni terbunuhnya perempuan Dayak
oleh pria Madura hingga akhirnya konflik itu meluas ke berbagai daerah di
Kalimantan.
Ini merupakan bukti bahwa persoalan interaksi sosial sangatlah berpengaruh
terhadap proses pembangunan suatu bangsa. Interaksi sosial juga merupakan awal
bagi masyarakat untuk melebur dengan masyarakat lain tanpa membeda-bedakan
SARA sehingga terciptalah keadaan harmonis dan seimbang yang merupakan
salah satu ciri terwujudnya masyarakat ideal tanpa perselisihan dan konflik yang
menjurus kepada kehidupan rimba, dimana yang kuat bisa melecehkan yang
lemah.

Permasalahan bentuk dan intensitas interaksi sosial antara masyarakat etnis Bali
dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis adalah masalah yang
menarik untuk dilakukan penelitian. Ini persoalan latar budaya yang berbeda dapat
menimbulkan prasangka dan kecemburuan sosial, kendatipun pada hakikatnya
manusia sebagai makhluk Tuhan diciptakan dalam kodrat yang sama, namun
perbedaan latar belakang budaya mampu melatarbelakangi terjadinya konflik.

Terkait dengan pemaparan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui bentuk dan intensitas interkasi sosial masyarakat
etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang akan diteliti adalah “Bagaimana bentuk
dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis
Lampung dalam pembauran etnis”.

14

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk dan
intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung
dalam pembauran etnis.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna dengan
memberikan informasi bagi masyarakat mengenai bentuk dan intensitas
interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung
dalam pembauran etnis.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam
mengkaji lebih lanjut tentang bentuk dan intensitas interaksi sosial
masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam
pembauran etnis.

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Interaksi Sosial

Manusia senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan
sesamanya. Hal itu dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan
mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Gejala yang demikian
menjadikan manusia cenderung hidup berkelompok, saling menyesuaikan diri satu
sama lain dengan keadaan di sekitarnya.

Proses penyesuaian diri untuk mempertahankan kehidupan berkelompok ini
dinyatakan sebagai suatu proses yang menjurus menjadi proses sosialisasi
(Susanto, 1997:10). Sosialisasi menurut Buhler (dalam Susanto, 1997:23) adalah
proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana
cara hidup, dan bagaimana cara berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan
berfungsi dalam kelompoknya.

Proses ini dapat berjalan dengan serasi dan dapat pula terjadi melalui
pertentangan, akan tetapi selama individu merasa memerlukan kelompoknya,
maka ia bersedia untuk mengadakan beberapa kompromi terhadap tuntutan
kelompok. Proses sosialisasi yang dimaksud di atas, terjadi melalui interaksi
sosial yaitu hubungan-hubungan dinamis menyangkut hubungan antara individu
dengan individu, antara individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan

16

kelompok dalam bentuk kerjasama, persaingan, ataupun pertikaian (Soekanto,
1990:67).

Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi
tidak mungkin ada kehidupan sosial. Interaksi sosial juga menyangkut pemenuhan
berbagai kebutuhan, baik kebutuhan dasar (seperti sandang, pangan, dan papan),
kebutuhan akan keselamatan jiwa dan harta benda (seperti ketertiban dan
keamanan), kebutuhan akan harga diri (seperti martabat dan kehormatan),
kebutuhan akan pengembangan potensi diri (seperti pendidikan dan kesehatan),
dan kebutuhan akan kasih sayang. Untuk mencapai semua kebutuhan tersebut,
maka manusia melakukan aktivitas-aktivitas sebagai bentuk interaksi.

Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 1990:77), terdapat empat bentuk
interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat yaitu:
1. Kerjasama (cooperation)
Kerjasama

timbul

karena

orientasi

orang

perorangan

terhadap

kelompoknya (yaitu in-groupnya) dan kelompok lainnya (yang merupakan
out-groupnya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada
bahaya luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang
menyinggung kesetiaan yang secara tradisonal atau institusional telah
tertanam di dalam kelompok, dalam diri seorang atau segolongan orang.
Ada lima bentuk kerjasama, yaitu:
a. Kerukunan yang mencakup gotongroyong dan tolong-menolong.
b. Bergaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barangbarang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.

17

c. Ko-optasi (co-optation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur
baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu
organisasi (sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya
kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.
d. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih
yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama.
e. Join-venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek
tertentu, misalnya pemboran minyak, pertambangan, eksploitasi
batubara, perfilman, perhotelan, dan seterusnya.

2. Persaingan (Competititon)
Persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu
atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan
melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi
pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia)
dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam
prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau
kekerasaan.

3. Akomodasi (Accomodation)
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk
pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi
yang menunjuk pada suatu keadaan berarti adanya suatu keseimbangan
dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok
manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial

18

yang berlaku di dalam masyarakat, sedangkan sebagai suatu proses,
akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.

4. Pertentangan atau pertikaian (Conflict)
Adapun yang menjadi sebab-musabab atau akar-akar dari pertentangan
yakni:
a. Perbedaan antara individu-individu, dalam hal ini yakni perbedaan
pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan di antara
mereka.
b. Perbedaan kebudayaan, dalam hal ini perbedaan kepribadian dan
orang-perorangan tergantung dari pola-pola kebudayaan yang menjadi
latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut.
Secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyak juga akan terpengaruh
oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian dari kelompoknya
sehingga menyebabkan terjadinya pertentangan antara kelompok
manusia.
c. Perbedaan kepentingan, dalam hal ini perbedaan kepentingan
antarindividu maupun kelompok merupakan sumber lain dari
pertentangan. Wujud kepentingan dapat bermacam-macam ada
kepentingan ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
d. Perubahan sosial, dalam hal ini perubahan yang berlangsung dengan
cepat dapat mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan
menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendirian
hingga akhirnya mengakibatkan terjadinya disorganisasi pada struktur.

19

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat, yaitu:
1. Adanya kontak sosial
Kata kontak berasal dari bahasa latin yaitu con atau cum (yang artinya
bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh). Jadi secara harfiah
adalah bersama-sama menyentuh. Kontak sosial adalah hubungan antara
satu orang atau lebih melalui percakapan dengan saling mengerti maksud
dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Kontak sosial
yang terjadi secara langsung adalah kontak sosial melalui suatu pertemuan
dengan tatap muka dan dialog di antara kedua belah pihak. Kontak sosial
secara tidak langsung adalah kontak sosial yang menggunakan alat atau
perantara, misalnya melalui telepon, radio, dan surat.

2. Adanya komunikasi sosial
Kata komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu communis yang berarti
“sama”, commmunico, communication atau communicare yang berarti
“membuat sama”. Jadi secara harfiah adalah membuat kesamaan atau
membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi sosial
menurut Roger dan D Lawrence Kincaisd (dalam Hafied Cangara, 2007),
bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih
membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama
lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang
mendalam.

20

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain
yaitu:
a. Imitasi, yakni suatu proses belajar dengan cara meniru atau mengikuti
perilaku orang lain.
b. Sugesti, merupakan cara pemberian suatu pandangan atau pengaruh oleh
seseorang kepada orang lain dengan cara tertentu.
c. Identifikasi,

adalah

kecenderungan-kecenderungan

atau

keinginan-

keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain.
d. Simpati, merupakan perasaan “tertarik” yang timbul dalam diri seseorang
dan membuatnya merasa seolah-olah berada dalam keadaan orang lain.
e. Empati, yakni sesuatu yang bisa dirasakan oleh hati atau hal yang
dimasuki dalam jiwa.

Menurut Santoso (2004:12), ada beberapa faktor yang menentukan berhasil atau
tidaknya seseorang dalam berinteraksi, yakni:
a. The nature of social situation
Yakni situasi sosial yang memberi bentuk tingkahlaku terhadap individu
yang berada dalam situasi tertentu.
b. The norms prevailing in any given social group
Yakni norma-norma kelompok yang berpengaruh terhadap terjadinya
interaksi sosial antar individu.
c. Their own personality trends
Yakni masing-masing individu memiliki tujuan kepribadian sehingga
berpengaruh terhadap tingkahlaku.
d. A person transitory tendencies
Yakni setiap individu berinteraksi dengan kedudukan dan kondisinya yang
bersifat sementara.
e. The process of perceiving and interpreting a situation
Yakni setiap situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga hal ini
mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut.

21

Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan interaksi sosial adalah kontak antara individu yang menghasilkan adanya
hubungan saling pengaruh mempengaruhi dan nampak dalam hubungan aksi
reaksi. Interaksi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah interaksi antara
masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung

B. Pengertian Etnis

Berbicara mengenai konsep etnis, maka akan berbeda dengan konsep etnik
maupun suku bangsa. Menurut Barth (dalam Suparlan, 2002:4), sukubangsa
merupakan sebuah kategori atau golongan sosial, maka sukubangsa adalah sebuah
pengorganisasian sosial mengenai jatidiri yang deskriptif dimana anggota
sukubangsa mengaku sebagai anggota sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan
berasal dari suatu daerah tertentu. Berbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang
diperoleh dalam berbagai struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat dibuang atau
diganti. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan ini tetap melekat dalam diri
seseorang sejak kelahirannya. Jatidiri sukubangsa atau kebangsaan dapat disimpan
atau digunakan dalam interaksi tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.

Lebih lanjut, Barth mendefinisikan etnik yang pada dasarnya adalah sama dengan
suku bangsa, dipergunakan untuk menunjuk pada suatu kelompok tertentu karena
kesamaan SARA ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem
nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu
populasi yang:
a. Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan
kelompok dengan berkembang biak.

22

b. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa
kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.
c. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
d. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain
dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Sementara definisi etnik menurut Koentjaraningrat, etnik tentu berbeda dengan
sukubangsa. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah
sukubangsa atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnik). Konsep
yang tercakup dalam istilah sukubangsa adalah suatu golongan manusia yang
terikat oleh kesadaran dan identitas tadi, serta seringkali (tetapi tidak selalu)
dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Pada kenyataannya, sukubangsa lebih
kompleks daripada apa yang diuraikan di atas, ini disebabkan karena dalam
kenyataan, batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri serikat oleh
keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit tergantung pada
kesatuan teritorial.

Apabila mereka menetap di suatu kawasan dalam jangka waktu cukup lama, maka
karena alasan tertentu, misalnya konflik, sebagian komunitas akan mengadakan
kontak dengan suku lain. Seiring dengan berjalannya waktu, proses komunikasi
ini menyebabkan persebaran yang cukup luas ke segala penjuru dunia. Pada
kondisi modern ini, batas-batas teritorial kenegaraan kemudian terbentuk.
Komunitas yang berhijrah tidak akan dibatasi oleh sekat-sekat kenegaraan. Dari
latarbelakang tersebutlah, suku kemudian beralih menjadi etnik.

23

Menurut Koentjaraningrat (dalam Made Saputra, 2001:1), identitas etnis yang
dituangkan dalam kesatuan kebudayaan bukan suatu hal yang ditentukan oleh
pihak luar, melainkan oleh etnis bersangkutan sebagai pendukung kebudayaan itu
sendiri. Dengan demikian, konsep yang tercakup dalam istilah etnis atau
sukubangsa berarti kesatuan manusia atau kolektiva-kolektiva yang terikat oleh
kesadaran akan kesatuan kebudayaan, kesadaran-kesadaran itu sering dikuatkan
(tetapi tidak selalu) oleh kesatuan bahasa (http://smartpsikologi.com). Etnis yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah antara etnis Bali dengan etnis Lampung.

C. Pengertian Asimilasi atau Pembauran

Istilah pembauran adalah istilah yang sama dengan apa yang disebut dengan
asimilasi. Kata asimilasi berasal dari similas (Inggris: similar) atau sama, jadi
asimilasi itu berarti sama, menjadi serupa dan dalam sosiologi dimaksudkan
sebagai proses atau perkembangan ke arah menjadi sama (Desiree, 1974:149).

Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya
usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang
perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha
untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Apabila
orang-orang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok manusia atau
masyarakat, maka kelompok manusia atau masyarakat tersebut tidak lagi
membedakan dirinya dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan bahwa
mereka dianggap sebagai orang asing.

24

Menurut Yahya (1983:18), asimilasi mempunyai dua pengertian yaitu:
a. Umum, yakni dengan asimilasi dimaksudkan sebagai proses penyatuan, atau
gabungan golongan yang mempunyai sikap mental, adat istiadat, dan
kebudayaan yang berbeda-beda menjadi satu kebulatan sosiologis yang
harmonis, dalam hal ini berarti Bangsa Indonesia.
b. Khusus, yakni untuk masyarakat etnis Bali, asimilasi dalam hal ini berarti
masuk dan diterimanya masyarakat etnis Bali ke dalam masyarakat etnis
Lampung sehingga menjadi satu dalam rangka Building Indonesia.

Dalam

proses

asimilasi,

seseorang

mengidentifikasikan

dirinya

dengan

kepentingan-kepentingan serta tujuan kelompok. Apabila dua kelompok manusia
mengadakan asimilasi, batas-batas antara kelompok-kelompok tadi akan hilang
dan keduanya lebur menjadi satu kelompok. Proses asimilasi tersebut timbul bila
ada:
1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaan.
2. Orang perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara
langsung dan intensif untuk waktu yang lama.
3. Kebudayaan-kebudayan dari tiap kelompok manusia tersebut masingmasing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Pada dasarnya asimilasi merupakan bentuk dari interaksi sosial, dalam hal ini
interaksi yang bersifat asimilatif. Menurut Soekanto (1990:89), ada beberapa
bentuk interaksi sosial yang memberikan arah ke suatu proses asimilasi, yakni:
1. Interaksi tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain, dimana
pihak yang lain juga berlaku sama. Misalnya seorang mahasiswa yang
jujur dan baik tata lakunya tidak akan mungkin hidup bersama-sama
dengan rekannya yang licik dalam satu kamar di asrama mahasiswa.
Mahasiswa yang jujur dan baik tersebut walaupun berusaha untuk bersikap
toleran terhadap rekannya, akan tetapi tidak akan terjadi suatu
persahabatan karena pihak yang lain bersikap sebagai musuh.
2. Interaksi tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau pembatasanpembatasan. Proses interaksi sosial yang asimilatif akan berhenti apabila
mengalami halangan-halangan yang mematikan atau apabila ada

25

pembatasan-pembatasan, seperti halangan untuk melakukan perkawinan
campuran, pembatasan-pembatasan untuk memasuki lembaga pendidikan
tertentu, dan sebagainya.
3. Interaksi tersebut bersifat langsung dan primer. Misalnya upaya untuk
membentuk sebuah organisasi multilateral atau bilateral, akan terhalang
oleh adanya kesukaran melakukan interaksi langsung dan primer antar
negara bersangkutan. Bisa saja masalahnya menyangkut keamanan,
kepentingan ekonomi atau kedaulatan. Sebagai langkah pertama, biasanya
sering diusahakan pertukaran wisatawan, mahasiswa, sarjana, dan ahli-ahli
lain.
4. Frekuensi interaksi sosial tinggi dan tetap, serta ada keseimbangan antara
pola-pola asimilasi tersebut. Artinya stimulans dan tanggapan-tanggapan
dari pihak-pihak yang mengadakan asimilasi harus sering dilakukan dan
suatu keseimbangan tertentu harus dicapai dan dikembangkan. Interaksi
sosial asimilatif sangat sulit diadakan pada masyarakat-masyarakat
tradisional Indonesia yang masih terasing, karena masyarakatnya kurang
mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain
seperti masyarakat di daerah perkotaan.

Di Indonesia, asimilasi sering dihubungkan dengan soal perkawinan antara
golongan etnis. Hal sedemikian hanyalah salah satu aspek dari konsep asimilasi,
yakni adanya perkawinan campuran dan dikenal dengan amalgamasi. Amalgamasi
atau perkawinan campuran merupakan salah satu faktor yang mempermudah
terjadinya suatu asimilasi. Adapun faktor lain yang mempermudah terjadinya
asimilasi adalah:
1. Toleransi terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang
berbeda dengan kebudayaan sendiri hanya mungkin tercapai dalam suatu
akomodasi. Apabila toleransi tersebut mendorong terjadinya komunikasi,
maka faktor tersebut mempercepat asimilasi.
2. Adanya kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi bagi
pelbagai golongan masyarakat dengan latarbelakang kebudayaan yang
berbeda dapat mempercepat proses asimilasi.

26

3. Sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukung oleh
masyarakat yang lain dimana masing-masing mengakui kelemahankelemahan, atau kelebihan-kelebihannya akan mendekatkan masyarakatmasyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan-kebudayaan tersebut,
apabila ada prasangka, maka hal demikian akan menjadi penghambat bagi
berlangsungnya proses asimilasi.
4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa di dalam masyarakat juga
mempercepat proses asimilasi. Hal ini misalnya dapat diwujudkan dengan
memberikan kesempatan yang sama bagi golongan minoritas untuk
memperoleh pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penggunaan tempattempat rekreasi, dan seterusnya.
5. Pengetahuan akan persamaan-persamaan unsur pada kebudayaankebudayaan yang berlainan juga akan lebih mendekatkan masyarakat
untuk mendukung kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.
6. Adanya musuh bersama dari luar cenderung memperkuat kesatuan atau
golongan masyarakat yang mengalami ancaman musuh tersebut. Bersamasama dalam hal ini antara golongan minoritas dengan golongan mayoritas
menghadapi

ancaman-ancaman

luar

yang

membahayakan

seluruh

masyarakat.

Untuk memperkuat konsep ini menurut Soekanto (1981:113) terdapat tujuh
macam asimilasi, yaitu sebagai berikut:
1. Asimilasi kebudayaan atau perilaku yang bertalian dengan perubahan dalam
pola-pola kebudayaan guna penyesuaian diri dengan kelompok mayoritas.
2. Asimilasi struktural yang bertalian dengan masuknya golongan-golongan
minoritas secara besar-besaran dalam perkumpulan-perkumpulan pada
kelompok primer dari mayoritas.

27

3. Asimilasi perkawinan yang bertalian dengan perkawinan antargolongan secara
besar-besaran.
4. Asimilasi identifikasi yang bertalian dengan perasaan nasional berdasarkan
mayoritas.
5. Asimilasi sikap yang bertalian dengan tidak adanya prasangka.
6. Asimilasi perilaku yang bertalian dengan tidak adanya diskriminasi.
7. Asimilasi civic yang bertalian dengan adanya bentrokan mengenai nilai
dengan pengertian kekuasaan.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, asimilasi bisa saja terjadi oleh faktorfaktor tersebut, namun asimilasi juga akan sulit terjadi apabila terdapat
penghalang, seperti terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam
masyarakat (biasanya golongan minoritas). Contohnya adalah orang Indian di
Amerika Serikat yang diharuskan bertempat tinggal di wilayah-wilayah tertentu
(reservation). Mereka seolah-olah disimpan dalam kotak tertutup, sehingga
hampir tidak mungkin melakukan hubungan bebas yang intensif dengan orangorang kulit putih, sebaliknya orang kulit putihpun kurang mengetahui tentang
seluk beluk masyarakat Indian, sehingga antara kedua belah pihak timbul
prasangka-prasangka.

Prasangka tersebut timbul dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai
kebudayaan yang dihadapi dan sehubungan dengan itu juga ada perasaan takut
terhadap kekuatan kebudayaan yang lain. Selain itu, perbedaan kepentingan yang
kemudian ditambah dengan pertentangan-pertentangan pribadi juga ikut andil dan
menghalangi terjadinya asimilasi.

Dikaitkan dengan penelitian yang dibahas, asimilasi yang dimaksudkan adalah
proses penyatuan masyarakat etnis Bali yang mempunyai sikap, mental, adat
istiadat dan kebudayaan yang berbeda, menjadi satu dan harmonis dengan

28

masyarakat etnis Lampung tanpa menghilangkan ciri khas budaya daerah masingmasing. Asimilasi dalam penelitian ini merujuk pada interaksi sosial yang bersifat
asimilatif yaitu dilihat dari frekuensi interaksi sosial.

29

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Moleong (2003:3), penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata, tulisan dari
orang-orang, dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif juga dapat
menggali informasi sebanyak mungkin dan sedalam mungkin sehingga akan
didapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang apa yang diteliti.

Penelitian kualitatif merupakan cara mengkaji dan melihat gejala sosial dan
kemanusian dengan memahaminya, yaitu dengan cara membangun suatu
gambaran yang utuh dan holistik yang kompleks, dimana gejala-gejala yang
tercakup dalam kajian itu dilihat sebagai sesuatu yang terkait satu dengan yang
lainnya dalam hubungan-hubungan fungsional sebagai suatu sistem (Suparlan,
2001:1).

B. Fokus Penelitian

Pada penelitian kualitatif hal yang perlu diperhatikan adalah fokus penelitian.
Menurut Moleong (2003:63), tujuan membuat fokus penelitian adalah:
1. Untuk membatasi studi sehingga tidak melebar.
2. Secara efektif berguna untuk menyaring informasi yang mengalir masuk.

30

Adapun yang menjadi fokus penelitian ini yakni mengenai intensitas interaksi
sosial dan bentuk-bentuk interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat
etnis Lampung.
1. Aspek-aspek interaksi sosial yang akan diamati dalam penelitian ini antara
lain adalah sebagai berikut:
c. Cara berinteraksi, yang meliputi


Media berinteraksi
Yakni sarana atau alat yang dipergunakan sebagai perantara dalam
melakukan interaksi sosial.



Tatacara berinteraksi
Yakni aturan yang mengandung nilai dan norma dalam melakukan
interaksi sosial.

b. Tempat berinteraksi
Tempat berinteraksi yang dimaksud adalah forum atau wadah tempat
biasanya masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung
melakukan interaksi.
c. Frekuensi Interaksi
a) Kualitas pertemuan
Yakni rata-rata lamanya pertemuan yang dilakukan antara masyarakat
etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung.
b) Kualitas pesan
Yakni materi atau wacana apa yang sering dibahas pada saat bertemu.

31

2. Bentuk-bentuk interaksi sosial


Kerjasama

a. Segi ekonomi
Bentuk interaksi dari segi ekonomi antara lain dilihat dari transaksi jual
beli dalam hal pembelian barang untuk kebutuhan rumahtangga antara
masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung. Selain itu ada
juga dalam bentuk penggunaan tenaga kerja, seperti tenaga pengelola
kebersihan, membangun rumah, mengolah, merawat dan mengelola usaha,
baik di sektor pertanian atau non pertanian.
b. Segi sosial
Bentuk interaksi dari segi sosial antara lain dilihat dari keikutsertaan atau
partisipasi masyarakat etnis Bali dan Lampung pada saat acara
gotongroyong, siskamling (kerjasama), mengundang atau diundang dalam
hajatan, dan lain sebagainya.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di RT 04 Lingkungan III Labuhan Ratu. Pemilihan
lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa jalinan sosial antara masyarakat etnis
Bali dengan masyarakat etnis Lampung berlangsung harmonis dalam kehidupan
bermasyarakat, serta atas pertimbangan efisiensi waktu dan biaya.

D. Penentuan Informan

Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive, yaitu teknik penentuan sampel (informan) yang disesuaikan dengan

32

kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Adapun
kriteria-kriteria pemilihan informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat asli etnis Bali yang bermukim di RT 04 Lingkungan III.
2. Masyarakat asli etnis Lampung yang bermukim di RT 04 Lingkungan III.
3. Lamanya bermukim atau menetap di RT 04 Lingkungan III.
4. Kepala rumahtangga.

Mengacu pada kriteria di atas, maka jumlah informan yang diambil adalah 10
orang, yakni 5 kepala keluarga masyarakat etnis Bali dan 5 kepala keluarga
masyarakat etnis Lampung.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a) Data Primer
1. Wawancara mendalam (indepth interview)
Yaitu melakukan wawancara langsung dengan informan mengenai pokok
bahasan penelitian. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan
menggunakan

pedoman

wawancara

dengan

tujuan

mendapatkan

keterangan secara mendalam dari permasalahan yang diteliti. Hal ini
dimaksudkan agar pertanyaan yang diajukan dapat terarah tanpa
mengurangi kebebasan dalam mengembangkan pertanyaan, serta suasana
tetap terjaga agar terkesan dialogis dan tampak informal. Peneliti juga
mempersiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan untuk melakukan

33

wawancara, diantaranya pena, buku, perekam gambar, perekam suara, dan
lain-lain.
Wawancara dalam penelitian ini bersifat terbuka sehingga informan tahu
bahwa mereka sedang diwawancarai dan juga tahu pula maksud
wawancara. Sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan wawancara,
peneliti terlebih dahulu memulai wawancara dengan obrolan ringan agar
tercipta suasana akrab dengan informan.

2. Observasi
Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung, seksama,
dan sistematis melalui pengamatan terhadap obyek penelitian. Teknik
observasi ini berguna untuk menjelaskan gejala yang terjadi dan
berhubungan dengan masalah yang dikaji. Observasi dalam hal ini yakni
mengamati bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali
dalam membaur dengan masyarakat etnis Lampung, yakni melalui
aktivitas yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Observasi ini dilakukan pada saat kegiatan gotongroyong, rapat-rapat,
aktivitas ekonomi antara masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis
Lampung, acara keagamaan seperti perayaan hari raya Idul Fitri, Idul
Adha, Galungan, Kuningan, Nyepi, dan lain-lain. Observasi ini juga
dimaksudkan untuk melihat keadaan yang sesungguhnya apakah telah
sesuai dengan hasil wawancara, sehingga dapat teruji kebenarannya.

34

b) Data sekunder

1. Studi Kepustakaan
Yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
menghimpun dan menelaah sumber-sumber atau bahan-bahan pustaka,
seperti dokumen, buku, jurnal, modul, makalah, dan hal yang sifatnya
tertulis yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

2. Dokumentasi
Yaitu cara mengumpulkan data dengan melakukan pencatatan terhadap
dokumen-dokumen, seperti arsip-arsip, peraturan-peraturan, dan dokumen
lain yang berkenaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.

F. Teknik Pengolahan data

Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah berupa pengolahan data
yang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu:
a. Tahap pemeriksaan data atau editing, yakni proses pemeriksaan kembali
terhadap data yang diperoleh dan yang sesuai dengan penelitian. Data
tersebut berhubungan dengan bentuk dan intensitas interaksi sosial antara
masyarakat etnis Bali dengan masyyarakat etnis Lampung. Tahap
pemeriksaan data dilakukan dari data hasil wawancara, observasi, maupun
yang diperoleh melalui studi pustaka.
b. Klasifikasi data atau koding yakni pengelompokan data menurut kerangka
bahasan yang telah ditentukan dalam penelitian ini.

35

c. Interpretasi data, yakni melakukan penafsiran atau pandangan teoritis
terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian setelah diklasifikasikan
secara sistematis untuk mempermudah pemahaman.

G. Teknik Analisis Data

M. Nasir (1983:405) mengartikan analisa data sebagai kegiatan mengelompokkan,
membuat suatu ukuran, dan memanipulasi data sehingga mudah dibaca. Proses
analisa data kualitatif menurut Matthew B. Millies dan A. Michael Huberman
(1992:17) akan melaui proses sebagai berikut:
1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian, dan
penyederhanaan data yang diperoleh dari catatan-catatan di lapangan kemudian
direduksi untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang
tidak perlu, dan mengorganisir data dengan cara sedemikian rupa sehingga
kesimpulan finalnya bisa ditarik.

2. Display/Penyajian Data

Dsplay merupakan kumpulan informasi yang tersusun rapih dan biasanya
disajikan dalam bentuk matrik, tabel, atau bagan. Pada penelitian ini, penyajian
data dilakukan melalui cara penampilan tabel dan juga narasi berdasarkan hasil
wawancara yang kemudian disajikan atas dasar penggolongan jawaban atas
pertanyaan sejenis sehingga memungkinkan penarikan kesimpulan secara
menyeluruh untuk setiap topik yang menjadi tema pertanyaan dari penelitian ini.

36

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Kelurahan Labuhan Ratu

Pada tahun 1876 yang lalu, beberapa keluarga penduduk asli Lampung Abung
datang ke suatu tempat yang belum ramai dihuni oleh penduduk campuran, dan
hanya terdapat penduduk keturunan Buay Tegak yang berasal dari sebuah
kampung yang bernama Pulau Jwo yang terletak di pinggir Way Sekampung di
sebelah hilir (lebih kurang 12 km) dari kampung Rulung Hellok Tegineneng
Negeri Buku. Tujuan kedatangan penduduk asli Lampung Abung ini tidak lain
adalah ingin mendirikan suatu perkampungan baru dan menetap untuk selamanya
hingga ke anak cucu. Kini perkampungan baru tersebut diberi nama Kelurahan
Labuhan Ratu.

Pemberian nama Kelurahan Labuhan Ratu menurut cerita para tetua adat adalah
untuk mengenang sejarah di masa lampau sewaktu Sultan Banten berkunjung ke
Lampung menuju Buyut melalui Way Sekampung dan singgah di Pulau Jwo di
sekitar abad ke 17. Peristiwa kunjungan Sultan Banten itu, menurut cerita sangat
meriah karena mengundang para tetua adat Kampung Pulau Jwo untuk
menyambut tamu dari kesultanan Banten tersebut. Atas kesepakatan penduduk
setempat, maka tetua adat dan penyimbang sepakat memberi nama daerah
tersebut dengan Labuhan Ratu. Kelurahan Labuhan Ratu merupakan wilayah yang

37

termasuk ke dalam Kecamatan Kedaton Bandar Lampung. Kelurahan Labuhan
Ratu terbagi menjadi dua yaitu Kelurahan Labuhan Ratu dan Kelurahan Labuhan
Dalam.

B. Letak dan Kondisi Geografis

Secara geografis, Kelurahan Labuhan Ratu terletak di bagian Barat dari
Kecamatan Kedaton, memiliki luas wilayah 317 Ha dengan ketinggian 122 M dari
permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2000-3000 mm. Kondisi geografis di
Kelurahan Labuhan Ratu akan dijelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut:

1. Tata Guna Lahan

Kelurahan Labuhan Ratu yang memiliki permukaan tanah sedikit tinggi dengan
warna tanah yang kehitam-hitaman menunjukka