Internet dan Orang orang Kesepian

Internet dan Orang-orang Kesepian1
Gilang Desti Parahita, SIP2

Loneliness is uncommon pain. Pain grows, the world shrinks.
But when loneliness grows, the world recedes.
—Elaine Scarry

PERKEMBANGAN teknologi dalam tradisi ilmu sosial dan humaniora secara garis besar selalu memicu
tanda tanya pada aspek-aspek sosial dan kultural mana sajakah perkembangan itu berpengaruh.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terutama internet saat ini juga dijustifikasi
oleh para akademisi telah berefek pada dinamika sosial. Meski semula teknologi internet diciptakan
demi kepentingan militer Amerika Serikat, efek perkembangan internet tak hanya dirasakan oleh
banyak masyarakat di penjuru dunia. Sedikit atau banyak gelombang perubahan yang dibawa
internet itu menerjang individu-individu, salah satunya dalam bentuk rasa kesepian.
Pada 2011, Susan Savage, penduduk sekaligus mantan aktris di Benedict Canyon suatu kali
curiga dengan sarang laba-laba dan kertas surat yang menguning di kotak surat Yvette Vickers,
mantan model Playboy, bintang film kelas-B di Amerika Serikat, sekaligus temannya itu3. Savage
memecah kaca untuk masuk ke rumah Vickers. Tumpukan surat menutupi jalur masuk. Di lantai dua,
Savage menemukan Vickers telah termumifikasi di depan sebuah pemanas yang masih menyala.
Komputernya juga masih berkedip-kedip di ruagan yang kosong dan gelap itu. Menurut dokter
koroner Los Angeles, Vickers telah meninggal setidaknya setahun sebelum ia ditemukan. Sebelum

meninggal, Vickers sempat berkomunikasi dengan para fansnya melalui komunikasi internet namun
ia tidak berkomunikasi dengan keluarga atau teman-temannya. Vickers mendapatkan perhatian
lebih banyak oleh fans, media dan pers setelah kematiannya daripada semasa ia hidup.
Apa yang dialami Vickers mungkin sebenarnya tak jauh dari yang tengah dialami banyak
orang. Komunikasi termediasi komputer (CMC) terutama internet telah memungkinkan orang untuk
memiliki lebih banyak teman (broader circles) namun hubungan-hubungan interpersonal dan sosial
mungkin justru menjadi lebih dangkal. Pengalaman Vickers pada masa akhir hidupnya tidaklah
semata terisolasi sebab ia masih menggunakan internet untuk berkomunikasi, melainkan kesepian.
1

Disampaikan pada Kelas Media Kontemporer IMPULSE, Jumat 13 Juni 2014.
Asisten Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Dapat dihubungi di parahita.gilang@gmail.com.
3
Disarikan dari http://www.theatlantic.com/magazine/archive/2012/05/is-facebook-making-uslonely/308930/ dan http://www.dailymail.co.uk/news/article-1382937/Yvette-Vickers-Ex-Playboy-modelmummified-Beverly-Hills-home.html.
2

1

Di Amerika Serikat, pada sepuluh tahun terakhir ini angka kematian akibat bunuh diri jauh lebih
tinggi daripada akibat kecelakaan mobil4. Hal itu disinyalir berkaitan dengan semakin lemahnya

ikatan sosial meski kesempatan berkomunikasi dengan orang lain semakin tinggi dengan hadirnya
CMC. Pada konteks masyarakat yang tersaturasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini,
pertanyaannya terletak pada bagaimana TIK berhubungan dengan fenomena kesepian dan isolasi
sosial.
Makalah ini bermaksud untuk membahas fenomena kesepian itu melalui perspektif
komunikasi. Secara umum, kesepian dilhat sebagai sebuah perasaan negatif individual yang muncul
pada situasi di

a a i dividu tersebut terpisah (separated) dari individu yang lain. Apabila tradisi

komunikasi memandang messages dan feedbacks merupakan elemen-elemen pembentuk
hubungan-hubungan (connections)

di antara peserta komunikasi, terpisah -dalam tradisi

sibernetika— berarti seorang individu tak terhubung melalui messages dan feedbacks dengan
individu lain. Lantas, apakah seseorang menjadi kesepian manakala ia tidak berkomunikasi (baca:
terpisah) dengan orang lain? Sebaliknya, apakah seseorang dengan sendirinya merasa terhubung
ketika ia berkomunikasi dengan orang lain?
Makalah ini mengajukan gagasan bahwa kesepian (loneliness) dapat terjadi pada individuindividu yang berkomunikasi langsung (tatap muka) maupun termediasi TIK. Kesepian maupun

anonimnya tidaklah khas pada masyarakat teknologis. Hanya saja, perkembangan teknologi saat ini
semakin menegaskan bahwa kesepian atau keterhubungan adalah pengalaman individual meski
fenomenanya dapat dilihat secara agregat sosial. Individu-individu kesepian dapat berkumpul di
pesta yang sama. Kita sering melihat muda-mudi duduk di meja yang sama di suatu kafe namun
mereka sibuk dengan gadget mereka masing-masing. Individu-individu terhubung dapat dipisahkan
oleh ratusan mil jarak satu sama lain. Anda maupun saya baru-baru ini mungkin merasakan
kedekatan emosional dengan individu-individu lain dalam milis Whatsapp yang beranggotakan
orang-orang sealmamater. Selain menegaskan individualitas kesepian, teknologi informasi dan
komunikasi memberi peluang bagi dua hal: munculnya kesepian atau tersembuhkannya kesepian.
Apakah itu kesepian? Meski tampaknya kesepian adalah pengalaman manusiawi yang
universal, tak mudah untuk memahami kesepian. Secara intuitif dan common sense, kesepian
(loneliness) berbeda dari kesendirian (solitude). Kesendirian merupakan sesuatu yang dapat dipilih
dan dinikmati. Seseorang dapat merasa cukup diri (self-fulfilled) saat sedang sendiri di sebuah
ruangan. Kesendirian bersifat temporer, spasial dan fisikal sehingga kesendirian bisa dideteksi secara
kasat mata sedangkan kesepian cenderung digunakan orang untuk menyimulkan pengalaman
masalah emosi dam behavioral mereka ketika mereka merasa sendiran (being alone). Perbedaan
4

http://www.nytimes.com/2013/05/19/opinion/sunday/douthat-loneliness-and-suicide.html?_r=0


2

terbesar kesepian dari kesepian dari kesendirian adalah adanya unsur ketidakbahagiaan pada saat
seseorang merasa kesepian. Orang zaman sekarang menggunakan kata kesepian dengan sewenangwenang untuk menggambarkan masalah emosionalnya padahal kesepian adalah gejala bukan
masalah utamanya (Andre, 2000).
Apakah kesepian adalah semata-mata masalah psikologis? Tentu saja tidak. Dalam nalar
strukturalis, kesepian seseorang bisa terbentuk oleh struktur-struktur sosial, kultural dan politik.
Suatu kelompok sosial atau komunitas dapat terisolasi dari komunitas yang lain karena secara
geografis tempat tinggal mereka terpencil atau tidak mudah diakses. Seseorang dapat menjadi
terkucil secara sosial karena faktor-faktor gender, ras, kelas, stigma, orientasi seksual, suku, cara
hidup. Dalam perpektif politik, Arendt melihat kesepian merupakan penghancuran ruang-ruang
sosial melalui penghapusan pembedaan publik/privat misalnya melalui totalitarianisme yang
berkapasitas menginvasi kehidupan sosial, mematikan aksi-aksi politik dan meleburkan batas
publik/privat (Dumm, 2008: 38).
Pada akhirnya, kesepian dirasakan oleh individu dan kumpulan individu. Individualitas
kesepian ditegaskan oleh Dumm. Pada level diri (self) itu kesepian mendapatkan ruang penjaranya
(confinement). Seorang anggota kelompok masyarakat terasing bisa merasa kesepian di kelompok
terasing tersebut, begitu pula seorang anggota kelompok pada sebuah masyarakat yang bebas dan
lebih besar. Kesepian meski secara agregat dapat dideteksi pada level masyarakat, gejalanya muncul
pada level individu. Secara tidak langsung Dumm juga menyebut kesepian adalah simtom, bukan

masalah inti. Dumm (2008) melihat kesepian timbul manakalah orang tidak merawat dan
merefleksikan dirinya sendiri. Ia menulis,
Merawat diri terkait dengan bagaimana seseorang mengenali dirinya, mengeksplorasi dan
memutuskan untuk menginvestigasi basis dari hidupnya serta menyadari bahwa ada
keterbatasan mengenai apa yang ia ketahui dan sembari melakukannya, ada hal-hal yang
belum diketahui yang harus dibiarkan tidak diketahui. (27)

Sebagai seorang makhluk hidup, suatu saat seseorang akan mati. Dengan adanya batasan
itu, seseorang tidak bisa mengalami hidup secara semuanya. Secara paradoksal, seseorang merasa
takjub dengan singularitas hidupnya sendiri tanpa perlu membandingkannya dengan hidup orang
lain. Alih-alih menghadapi teror bawah sadarnya (bahwa ada hal-hal belum dikenal yang perlu
direnungkan dan diputuskan untuk direlakan kehadirannya), ia memilih hal-hal yang familiar,
konvensi-konvensi sosial yang diturunkan, berulangkali menyatakan ke dirinya sendiri bahwa itulah
hidupnya, namun ia tak pernah benar-benar memikirkan dirinya dan hidup itu. Alhasil, ia justru
hidup dalam hidup yang parsial (partial) bukan keutuhan (wholeness) (Dumm, 2008: 25).
3

Parsialitas hidup itu membuat seseorang terjebak pada harapan-harapan dari dan
hubungan-hubungan dengan orang lain. Manusia ditakdirkan untuk mencari jaminan-jaminan
(assurances) dari orang lain. Manusia juga menjalani hidup tidak sendirian melainkan bersama orang

lain, baik yang berada jauh maupun dekat dengan diri kita. Ketika parsialitas itu dibiarkan,
jangkauan diri ke orang lain menjadi begitu terfragmentasi dan membingungkan sehingga
seseorang itu akhirnya menjumai dirinya yang tertawan, tergantung, atau malah terptus kontak
dengan ora g lai

aupu diri ya se diri (Dumm, 2008: 27). Hasil akhirnya dari proses itu adalah

kesepian. Lantas, orang itu terjebak untuk berpikir bahwa

kesepian adalah pengalaman

peminggiran dengan tidak menyenangkan dari hidup bersama dengan orang lain (Dumm, ibid.)
yang menurut Dumm tidaklah tepat.
Kesepian menurut Dumm adalah sebuah pengalaman atas ketiadaan (Dumm, 2008: 34) dan
lensa di mana kita dapat melihat dunia di sekitar kita sebagai sebuah kegagalan (Dumm, 2008: 36).
Sedangkan menurut Andre, kesepian adalah ketimpangan respon yang dialami seseorang atas
tindakan dan harapannya dengan respon yang diberikan orang lain di lingkungan sosialnya.
Pengertian Dumm dan Andre tersebut menunjukkan kesepian memilki unsur diri individu memaknai
dirinya sendiri, diri individu memaknai lingkungan sosialnya, dan adanya ketidakterpenuhan harapan
pada orang lain atau kekosongan-kekosongan yang dirasakan pada diri. Titik tekan keduanya adalah

pada diri individu. Andre menjelaskan kesepian bukanlah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan ketika
seseorang sedang sendiri; kesepian tidak serta merta diatasi dengan individu tersebut bertemu
dengan orang lain; dan manusia juga tidak selalu membutuhkan orang lain. Orang lain tidaklah
bertanggungjawab atas kesepian diri (Andre, 2000: 23-32). Menurut Andre, ketimpangan respon
yang dialami alih-alih diisi dengan hiburan seperti televisi maupun oleh orang-orang baru, melainkan
dapat diisi oleh diri sendiri (Andre, 2000: 37).
Kesepian sebagai masalah yang mulai mewabah semenjak kapitalisme berkembang dan titik
tekan kesepian pada individu itu menjadikan TIK bukanlah sebagai faktor pencetus fenomena
kesepian global saat ini. Internet justru dianggap memiliki beberapa potensi yang dapat melawan
kesepian. Pertama, membangun komunitas sebagaimana yang kita kenal dulu (Jones, 2009: 9-10).
Kedua, internet meleburkan hambatan ruang dan waktu untuk berkomunikasi (Jones, ibid.). Banyak
masalah yang timbul pada masyarakat modern ini disebabkan oleh kurangnya komunikasi. Dengan
adanya komunikasi yang lebih baik melalui internet, masalah tersebut bisa diatasi. Ketiga, internet
dianggap dapat membuat komunitas menjadi lebih baik sebagai hasil dari bebasnya komunitas dari
kekangan ruang dan waktu (Jones, ibid.). Komunitas terbentuk lebih banyak karena komunikasi,
bukan karena pendudukan (inhabitance) atau ke-Ada-an (being) yang justru belum tentu menjamin
komunikasi (Jones, ibid.).
4

Ketika internet dianggap sebagai teknologi anyar, riset awal mengenai hubungan internet

dengan kesepian dilakukan oleh Kraut pada 1990-an yang menyimpulkan bahwa internet
menyebabkan kesepian. Tiga tahun kemudian, orang-orang yang sama diteliti dan Kraut menemukan
tingkat kesepian itu telah berkurang meski kelompok tetap berkomunikasi via internet (Cotten,
et.al.: 2013). Akan tetapi secara tegas Amichai-Hamburger dan Ben-Artzi menyimpulkan hal yang
berbeda (Thurlow, et.al., 2004). Menurut mereka, internet menjadi sesuatu yang berbahaya bagi
individu-individu yang sejak semula sudah merasa sepi dan terisolasi yang lebih banyak
menghabiskan waktu online sedangkan bagi orang lain dengan karakter tertentu, jika digunakan
dengan benar, internet memiliki potensi untuk memperdalam rasa kebahagiaan diri (well-being)
(Thurlow, et.al., 2004: 155).
Hubungan TIK dan kesepian yang mana TIK dianggap sebagai penyebab kesepian sejauh ini
terbukti ketika seseorang telah mencandui perangkat TIK-nya. Hari ini salah satu bentuk TIK berada
di dalam genggaman yaitu telepon pintar berpotensi menyebabkan seseorang mencandui telepon
genggamnya. Aplikasi jejaring sosial pada telepon pintar cenderung membuat seseorang adiktif
dengan telepon pintarnya (Salehan dan Negahban, 2013). Beberapa riset menujukkan bahwa orangorang yang memiliki kecanduan lebih tinggi terhadap telepon pintar memiliki hubungan positif
dengan meningkatnya perasaan kesepian dan berkurangnya pertemanan atau interaksi sosial di
dunia nyata (Tana, et.al., 2013).
Internet menarik individu-individu yang sedang merasa tidak aman dan nyaman (insecure
and anxious) dengan dirinya sendiri. Komunikasi internet memiliki beberapa karakteristik (Phillipot &
Doulliez, 2011: 129-130):
1) Pola interaksi di internet memungkinan anonimus atau muncul dalam bentuk nama

panggilan. Anonimitas atau alias terbukti mengurangi kecemasan sosial (social anxiety) dan
sebagian studi lain justru menujukkan kepercayaan diri yang meningkat.
2) Tak perlu kehadiran fisik atau tatap muka. Tatap muka dengan pihak lain membuat pribadipribadi yang mudah cemas akan merasa dirinya terlalu telanjang di hadapan partner
interaksi mereka, misalnya terlihat melalui gerak-gerik canggung, wajah memerah, dan
sebagainya. Namun di internet, hal itu tidak perlu terjadi.
3) Budaya online mendukung pelemahan beban-beban sosial, peran, dan harapan-harapan
sosial. Pertukaran pesan menjadi jauh lebih informal dan kemungkinan berbasa-basi bisa
diminalisir.
4) Komunikasi internet memungkinkan pengendalian yang lebih baik atas interaksi sosial.
Individu dapat memilih dengan siapa dan kapan untuk berkomunikasi, juga memiliki waktu

5

untuk merancang pesan dan mereka merasa tidak mendapatkan tekanan untuk segera
menjawab pesan dari mitra komunikasi.
5) Komunikasi internet memerlukan keterampilan berkomunikasi lebih rendah daripada
interaksi di kehidupan nyata dan tatap muka, konfrontasi dari mitra komunikasi juga tidak
bersifat langsung.
Karakteristik komunikasi via internet tersebut kebanyakan dipelajari dari komunikasi melalui pesan
tertulis sedangkan komunikasi melalui video masih dianggap sebagai sesuatu yang membuat stres

pribadi-pribadi mudah cemas sebab video membuat mereka merasa berada di lingkungan tidak
dikenal, difilmkan, dan secara langsung dikonfrontasi melalui pesan-pesan nonverbal dari mitra
komunikasi (Phillipot & Doulliez, 2011: 134). Sama halnya dengan komunikasi internet berbasis
video, yang berbasis avatar juga masih perlu diteliti lebih lanjut efeknya pada pribadi-pribadi mudah
cemas.
Meski pribadi mudah cemas cenderung memilih berkomunikasi via internet –misalnya
melalui Facebook-- dengan orang-orang asing dan jauh dari lingkungan mereka daripada
berkomunikasi tatap muka dengan teman-teman yang ditemui sehari-hari, hal itu justru berpotensi
menjebak mereka ke dalam siklus tak terputus sebab pergaulan di dunia virtual menjadi kebutuhan
utama dan pergaulan nyata di tempat kerja dikesampingkan, alhasil individu bersangkutan semakin
merasa kesepian (Phillipot & Doulliez, 2011: 132-133). (ibid.). Sementara, komunikasi via internet
bagi pribadi-pribadi yang cukup diri digunakan untuk memperdalam kedekatan emosional dengan
individu-individu yang telah mereka kenal sebelumnya (Philipot & Doulliez, ibid).
Perdebatan mengenai hubungan kesepian dengan komunikasi melalui internet mau tidak
mau menyinggung titik sejauh mana emosi manusia terlibat dalam komunikasi tersebut. Emosi
seperti empati dapat tumbuh di antara orang yang saling mengenal maupun orang asing (Rooksby,
2002). Dengan begitu, kesepian mungkin dapat teratasi melalui komunikasi via internet yang mana
empati antar individu betul-betul terlibat. Fitur-fitur chat di internet memungkinkan peserta
komunikasi untuk bertukar emotikon untuk merepresentasikan emosi-emosi masing-masing. Meski
demikian, empati yang berlangsung melalui komunikasi internet tetap melibatkan upaya-upaya

interpretif dari para peserta komunikasi atas pernyataan dan aksi dari mitra komunikasinya
(Rooksby, 2002). Namun Strivers (2004) memperingatkan bahwa konteks masyarakat modern yang
tersaturasi teknologi saat ini telah membentuk masyarakat yang hanya peka pada stimuli audio dan
visual. Strivers (2004: 142) menulis:
How is the technological personality related to these psychological disorders? The
technological personality allows one to internalize some of the visual and auditory
stimuli of a technological society, thereby creating a kind of stimulus shield; but it is

6

no help with the problem of perpetual loneliness. Indeed it reinforces and deepens
loneliness because the technological personality militates against establishing
sincere relationships. One is left with role-playing and shallow emotions.
Bagaimana kepribadian teknologis terkait dengan gangguan-gangguan psikologis?
Kepribadian teknologis memungkinkan seseorang untuk menginternalisasi stimuli
visual dan auditori namun hal itu tidak mengatasi kesepian yang terus menerus,
malah

menguatkan

dan

mendalamkannya

karena

teknologi

tidak

mampu

mengakomodasi hubungan-hubungan yang tulus, menjadikannya hanya seperti
bermain peran dan menunjukkan emosi-emosi yang dangkal.

---

Daftar Pustaka

Andre, R. (2000), Positive Solitude: A Practical Program for Mastering Loneliness and
Achieing Self-Fulfillment, Bloomington: iUniverse Inc.
Cotten, S.R., Anderson, W.A., McCullough, B.M. (2013), ‘Impact of internet use on
loenliness and contact with others among older adults: cross-sectional analysis,’
Journal of Medical Internet Research.
Dumm, T.L. (2008), Loneliness as a Way of Life, Cambridge: Harvard University Press.
Jones, S.G. (2002), Virtual Culture: Identity and Communication in Cybersociety, London:
Sage Publications.
Philippot, P. Dan Douilliez, C. (2011), ‘Impact of social anxiety on the processing of
emotional information in video-mediated interaction,’ dalam A. Kappas dan N.C.
Kramer, Face-to-face Communication over the Internet: Emotions in a Web of
Culture, Language, and Technology, Cambridge: Cambridge University Press.
Rooksby, E. (2002), Email and Ethics: Style and ethical relations in computer-mediated
communication. London: Sage Publications.
Salehan, M. dan Negahban, A. (2013), ‘Social Networking on smartphones: when mobile
phones become addictive’, Computers in Human Behavior, 29, 2632-2639.
Strivers, R. (2004), Shades of Loneliness: pathologies of a technological society, Oxford:
Rowman & Littlefield Publishers, inc.
Tana, C., Pamuk, M., Donder, A. (2013), ‘Loneliness and Mobile Phone’, Procedia, Social
and Behavioral Sciences, 103, 606-616.
Thurlow, C.,Lengerl, L., Tomic, A. (2004), Computer Mediated Communication: Social
Interaction and the Internet, London: Sage Publications.

7