Isolasi dan Optimasi Flokulasi Mikrob Potensial Penghasil Bioflokulan dari Lumpur Aktif

1

PENDAHULUAN
Penggunaan berbagai jenis flokulan
(polimer organik sintetik) seperti turunan
poliakrilamid,
polivinilpirimidin,
polietilenimin,
dan
sodiumpoliakrilat
merupakan agen yang banyak digunakan
untuk pengolahan limbah cair (Yokoi 1998).
Polimer organik ini bersifat unbiodegradabel
sehingga tidak mudah pembuangannya dan
meninggalkan residu di lingkungan. Turunan
poliakrilamid paling banyak digunakan dalam
industri pengolahan limbah cair karena
merupakan agen flokulasi yang bersifat efektif
dan ekonomis (Kurane et al. 1986). Turunan
poliakrilamid membahayakan lingkungan
secara nyata dan merupakan sumber polusi

yang berbahaya juga berpengaruh buruk untuk
generasi mendatang. Monomer akrilamid juga
bersifat neurotoksik dan bersifat karsinogen
kuat pada tubuh manusia (Kurane et al. 1986).
Eksplorasi
dari
sumber-sumber
alami
terutama dari sumber-sumber mikrobiologi
seperti bakteri merupakan salah satu jalan
keluar untuk mendapatkan agen flokulan
alternatif yang disebut bioflokulan yang
bersifat lebih aman bagi manusia juga ramah
terhadap lingkungan.
Bioflokulan merupakan polimer esensial
yang diproduksi oleh mikroorganisme pada
masa pertumbuhannya dengan aktivitas
flokulasi yang bergantung pada karakteristik
dari flokulan. Dibandingkan dengan sintetis
flokulan, bioflokulan memiliki keuntungan

yang khusus seperti, aman, biodegradable,
dan tidak berbahaya bagi manusia juga
lingkungan, sehingga
berpotensi untuk
diaplikasikan dalam pengolahan limbah cair,
proses industri hulu dan proses fermentasi (Jie
et al. 2005).
Banyak
mikroorganisme
penghasil
bioflokulan termasuk bakteri, fungi, dan
aktinomisetes
yang
telah
dilaporkan
memproduksi substansi polimer ekstraseluler,
seperti polisakarida, protein, dan glikoprotein
yang berfungsi sebagai bioflokulan. Setiap
mikroorganisme
dapat

menghasilkan
bioflokulan yang berbeda sehingga dengan
perbedaan
tersebut
dapat
dihasilkan
bioflokulan yang dapat di manfaatkan dalam
industri secara luas. Flokulan yang diproduksi
Bacillus sp. Haloalkalofilik, Alcaligenes
cupidus, dan Bacillus substilis merupakan
bioflokulan polisakarida. Nocardia amarae,
Bacillus licheniformis, dan Rhodococcus
erythropolis
memproduksi
bioflokulan
protein, sedangkan Arcuaden sp. dan

Arachrobacter sp. memproduksi bioflokulan
glikoprotein (Jie et al. 2005).
Ditemukannya berbagai mikroorganisme

dengan aktivitas flokulasi yang tinggi dari
bioflokulan sangat menarik untuk digunakan
dalam industri secara luas. Penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan mikrob
potensial penghasil bioflokulan yang berasal
dari lumpur aktif.
Banyaknya dampak negatif (sumber
polusi) terhadap lingkungan dan kesehatan
manusia (karsinogen, neurotoksik) karena
penggunaan polimer sintetik di berbagai
industri, mendorong akan kebutuhan flokulan
yang bersifat biodegradable. Oleh karena itu
isolasi
mikroorganisme
yang
mampu
menghasilkan bioflokulan dan mempunyai
aktivitas dalam memflokulasi secara efisien
perlu dilakukan. Mikroorganisme tersebut
dapat diisolasi dari berbagai sumber seperti

lumpur aktif, tanah, perairan, serta limbahlimbah industri. Pada penelitian ini
mikroorganisme diisolasi dari lumpur aktif.
Seleksi diprioritaskan terhadap mikrob yang
dapat menghasilkan bioflokulan dengan
aktivitas flokulasi tinggi.
Penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan bioflokulan
yang memiliki aktivitas flokulasi tinggi
melalui proses isolasi mikrob, produksi dan
optimasi bioflokulan.
Bakteri hasil isolasi dari lumpur aktif
mampu menghasilkan bioflokulan yang
bersifat biodegradable dengan aktivitas
flokulasi tinggi. Bioflokulan yang dihasilkan
diharapkan dapat bermanfaat di industri
pengolahan limbah, sehingga penggunaan
flokulan sintetik dapat dihilangkan karena
sifatnya yang berbahaya. Juga dapat
bermanfaat
bagi

perkembangan
Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

TINJAUAN PUSTAKA
Proses Koagulasi
Koloid merupakan sistem yang partikelpartikelnya terdispersi secara merata di dalam
suatu medium pendispersi. Partikel koloid
memiliki beberapa sifat yang khas,
diantaranya adalah tidak dapat disaring, fasa
terdispersi tersebar secara merata dalam
medium pendispersi, serta dapat memberikan
suatu hamburan cahaya yang bergerak tidak
teratur jika terkena seberkas cahaya yang
dinamakan efek Tyndall (Benefield et al.
1982). Definisi koloid menurut Manahan

1

PENDAHULUAN

Penggunaan berbagai jenis flokulan
(polimer organik sintetik) seperti turunan
poliakrilamid,
polivinilpirimidin,
polietilenimin,
dan
sodiumpoliakrilat
merupakan agen yang banyak digunakan
untuk pengolahan limbah cair (Yokoi 1998).
Polimer organik ini bersifat unbiodegradabel
sehingga tidak mudah pembuangannya dan
meninggalkan residu di lingkungan. Turunan
poliakrilamid paling banyak digunakan dalam
industri pengolahan limbah cair karena
merupakan agen flokulasi yang bersifat efektif
dan ekonomis (Kurane et al. 1986). Turunan
poliakrilamid membahayakan lingkungan
secara nyata dan merupakan sumber polusi
yang berbahaya juga berpengaruh buruk untuk
generasi mendatang. Monomer akrilamid juga

bersifat neurotoksik dan bersifat karsinogen
kuat pada tubuh manusia (Kurane et al. 1986).
Eksplorasi
dari
sumber-sumber
alami
terutama dari sumber-sumber mikrobiologi
seperti bakteri merupakan salah satu jalan
keluar untuk mendapatkan agen flokulan
alternatif yang disebut bioflokulan yang
bersifat lebih aman bagi manusia juga ramah
terhadap lingkungan.
Bioflokulan merupakan polimer esensial
yang diproduksi oleh mikroorganisme pada
masa pertumbuhannya dengan aktivitas
flokulasi yang bergantung pada karakteristik
dari flokulan. Dibandingkan dengan sintetis
flokulan, bioflokulan memiliki keuntungan
yang khusus seperti, aman, biodegradable,
dan tidak berbahaya bagi manusia juga

lingkungan, sehingga
berpotensi untuk
diaplikasikan dalam pengolahan limbah cair,
proses industri hulu dan proses fermentasi (Jie
et al. 2005).
Banyak
mikroorganisme
penghasil
bioflokulan termasuk bakteri, fungi, dan
aktinomisetes
yang
telah
dilaporkan
memproduksi substansi polimer ekstraseluler,
seperti polisakarida, protein, dan glikoprotein
yang berfungsi sebagai bioflokulan. Setiap
mikroorganisme
dapat
menghasilkan
bioflokulan yang berbeda sehingga dengan

perbedaan
tersebut
dapat
dihasilkan
bioflokulan yang dapat di manfaatkan dalam
industri secara luas. Flokulan yang diproduksi
Bacillus sp. Haloalkalofilik, Alcaligenes
cupidus, dan Bacillus substilis merupakan
bioflokulan polisakarida. Nocardia amarae,
Bacillus licheniformis, dan Rhodococcus
erythropolis
memproduksi
bioflokulan
protein, sedangkan Arcuaden sp. dan

Arachrobacter sp. memproduksi bioflokulan
glikoprotein (Jie et al. 2005).
Ditemukannya berbagai mikroorganisme
dengan aktivitas flokulasi yang tinggi dari
bioflokulan sangat menarik untuk digunakan

dalam industri secara luas. Penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan mikrob
potensial penghasil bioflokulan yang berasal
dari lumpur aktif.
Banyaknya dampak negatif (sumber
polusi) terhadap lingkungan dan kesehatan
manusia (karsinogen, neurotoksik) karena
penggunaan polimer sintetik di berbagai
industri, mendorong akan kebutuhan flokulan
yang bersifat biodegradable. Oleh karena itu
isolasi
mikroorganisme
yang
mampu
menghasilkan bioflokulan dan mempunyai
aktivitas dalam memflokulasi secara efisien
perlu dilakukan. Mikroorganisme tersebut
dapat diisolasi dari berbagai sumber seperti
lumpur aktif, tanah, perairan, serta limbahlimbah industri. Pada penelitian ini
mikroorganisme diisolasi dari lumpur aktif.
Seleksi diprioritaskan terhadap mikrob yang
dapat menghasilkan bioflokulan dengan
aktivitas flokulasi tinggi.
Penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan bioflokulan
yang memiliki aktivitas flokulasi tinggi
melalui proses isolasi mikrob, produksi dan
optimasi bioflokulan.
Bakteri hasil isolasi dari lumpur aktif
mampu menghasilkan bioflokulan yang
bersifat biodegradable dengan aktivitas
flokulasi tinggi. Bioflokulan yang dihasilkan
diharapkan dapat bermanfaat di industri
pengolahan limbah, sehingga penggunaan
flokulan sintetik dapat dihilangkan karena
sifatnya yang berbahaya. Juga dapat
bermanfaat
bagi
perkembangan
Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

TINJAUAN PUSTAKA
Proses Koagulasi
Koloid merupakan sistem yang partikelpartikelnya terdispersi secara merata di dalam
suatu medium pendispersi. Partikel koloid
memiliki beberapa sifat yang khas,
diantaranya adalah tidak dapat disaring, fasa
terdispersi tersebar secara merata dalam
medium pendispersi, serta dapat memberikan
suatu hamburan cahaya yang bergerak tidak
teratur jika terkena seberkas cahaya yang
dinamakan efek Tyndall (Benefield et al.
1982). Definisi koloid menurut Manahan

2

(1994) adalah partikel-partikel yang memiliki
beberapa karakteristik dalam larutan juga
memiliki diameter yang berukuran 0.001-1
µm dan beberapa koloid ada yang sampai
berukuran 10 µm. Partikel koloid dapat
dipisahkan dari larutannya dengan cara
pendestabilisasian partikel koloid menjadi
agregat-agregat yang memiliki ukuran yang
lebih besar sehingga mudah diendapkan.
Proses pendestabilan koloid ini disebut
koagulasi.
Koagulasi secara umum didefinisikan
sebagai penambahan zat kimia (koagulan) ke
dalam air baku dengan maksud mengurangi
gaya tolak menolak antar partikel koloid,
sehingga partikel-partikel tersebut dapat
bergabung menjadi flok-flok halus (Mujiadi &
Karnaningroem 2001). Koagulasi terpenuhi
dengan penambahan ion-ion yang mempunyai
muatan yang berlawanan dengan partikel
koloid. Partikel koloid umumnya bermuatan
negatif oleh karena itu ion-ion yang
ditambahkan harus kation atau bermuatan
positif. Kekuatan koagulasi ion-ion tersebut
bergantung pada bilangan valensi atau
besarnya muatan. Ion bivalen (+2) 30-60 kali
lebih efektif dari ion monovalen (+1). Ion
trivalent (+3) 700-1000 kali lebih efektif dari
ion monovalen.
Proses koagulasi dipengaruhi oleh muatan
ion yang berasal dari larutan elektrolit yang
ditambahkan. Hal ini diperjelas dengan data
yang terdapat pada Tabel 1. Tabel tersebut
memberikan hubungan antara jenis elektrolit
dengan gaya koagulasinya pada koloid
bermuatan positif atau negatif. Efek
penambahan ion tersebut akan semakin
meningkat tergantung pada jumlah muatan
(jenis ion) yang dimilikinya (Sawyer et al.
1994).
Tabel

1 Perbandingan kekuatan koagulasi
relatif dari beberapa elektrolit

Elektrolit
NaCl
Na2SO4
Na3PO4
BaCl2
MgSO4
AlCl3
Al2(SO4)3
FeCl3
Fe2(SO4)3

Kekuatan koagulasi relatif
Koloid
Koloid
positif
negatif
1
1
30
1
1000
1
1
30
30
30
1
1000
30
> 1000
1
1000
30
> 1000

Proses Flokulasi
Proses koagulasi biasanya dilanjutkan
dengan proses flokulasi. Flokulasi adalah
proses penggumpalan koloid dan agregat yang
telah mengalami koagulasi membentuk bahanbahan padat (flok) yang cukup besar untuk
diendapkan. Proses flokulasi dilakukan
dengan menambahkan flokulan, yaitu
senyawa kimia berupa polimer. Polimer
disebut juga polielektrolit jika monomernya
mengandung gugus fungsi yang dapat
terionissi. Flokulan biasanya dibagi dalam tiga
kelompok besar yaitu, flokulan anorganik
seperti aluminium sulfat dan polialuminium
klorida, flokulan organik sintetik seperti asam
poliakril dan turunan poliakrilamid, dan
bioflokulan seperti sitosan, natrium alginate,
gelatin, dan polimer mikrob (Dermlim et al.
1999).
Proses flokulasi dapat terjadi dalam tiga
tahap (Gambar 1), yaitu (1) penyerapan
polimer pada permukaan partikel (2)
persilangan antara segmen polielektrolit untuk
membentuk jembatan antara partikel koloid
(3) pembentukan struktur tiga dimensi. Proses
pembentukan jembatan akan terjadi apabila
terjadi penggabungan antara molekul polimer
dengan partikel koloid (reaksi1). Apabila
polimer dan partikel koloid yang akan
bergabung berbeda muatan, maka proses
penggabungan akan dipengaruhi gaya
Coulomb. Sedangkan proses penggabungan
akan dipengaruhi oleh adanya pertukaran ion,
terbentuknya ikatan hidrogen atau gaya tarik
Van der Waals apabila molekul polimer dan
partikel koloidnya bermuatan sama. Ekor
polimer yang telah bergabung dengan partikel
koloid akan mengikat partikel koloid lain
sehingga terbentuk jembatan antar partikel
koloid. Proses pembentukan jembatan ini akan
dihasilkan partikel flok yang dapat
mengendap (reaksi 2). Apabila perpanjangan
segmen polimer tidak dapat berikatan dengan
sisi aktif partikel koloid lain, polimer tersebut
akan berbalik dan terikat pada sisi aktif
partikel koloid semula kemudian membentuk
partikel yang restabil (stabil kembali) seperti
yang digambarkan pada reaksi 3.
Proses flokulasi yang tidak efisien dapat
terjadi akibat dosis polimer yang berlebih atau
proses pengadukan yang terlalu cepat dan
lama. Jika hal ini terjadi molekul polimer akan
menutupi seluruh permukaan partikel koloid
sehingga tidak ada lagi situs aktif yang dapat
digunakan untuk membentuk jembatan (reaksi
4). Hal ini mengakibatkan partikel restabil
atau mungkin terjadi pembalikan muatan.

3

Pengadukan yang terlalu cepat dan lama akan
mengakibatkan putusnya jembatan yang telah
terbentuk sehingga terjadi restabilisasi pertikel
seperti yang digambarkan pada reaksi 5 dan 6
(Benefield et al 1982).

Gambar 2 Lumpur aktif pada pengolahan
limbah cair industri tekstil.

Gambar 1 Skema reaksi antara partikel koloid
dengan polimer.
Mikroorganisme dalam Lumpur Aktif
Lumpur aktif merupakan gabungan dari
flok-flok mikroorganisme, bahan orgnik dan
bahan anorganik. Umumnya lumpur aktif
mempunyai komposisi 70-90% bahan organik
dan 10% bahan anorganik. Struktur flok
lumpur akif cenderung bermuatan negatif
sebagai hasil interaksi kimia-fisika antara
mikroorganisme (khususnya bakteri), partikel
organik (oksida silikat, fosfat, besi), polimer
eksoseluler
dan
berbagai
kation
(Cheremisinoff 1987). Lumput aktif biasanya
digunakan pada pengolahan limbah cair
industri tekstil (Gambar 2).

Istilah lumpur aktif digunakan karena
mikrob
aerobik
umumnya
tampak
menggumpal seperti lumpur tanah. Lumpur
aktif terdiri dari berbagai jenis mikrob aerobik
yang terdiri dari 95% bakteri dan 5% adalah
fungi, alga, rotifera dan protozoa. Bakteri
aerobik yang mendukung keberhasilan unit
lumpur aktif harus memiliki keaktifan
metabolisme yang
tinggi. Keaktifan
metabolisme dapat dinilai melalui banyaknya
O2 yang dibutuhkan oleh bakteri, mampu
membentuk lumpur yang mudah mengendap.
Bakteri lumpur aktif dapat dikelompokkan
sebagai bakteri penggumpal (floc-foming
bacteria) dan bakteri filamen. Keberadaan
bakteri
filamen
sangat
menentukan
karakteristik pengendapan lumpur aktif.
Mikroorganisme yang terdapat dalam
lumpur aktif dibagi menjadi empat kelompok,
yaitu mikroorganisme pembentuk flok,
saprofit, predator dan organisme penghambat.
Organisme pembentuk flok merupakan
mikroorganisme yang paling berperan dalam
proses lumpur aktif. Bakteri merupakan
mikroorganisme yang termasuk dalam
kelompok pembentuk flok. Mikroorganisme
saprofit berfungsi mendegradasi senyawa
organik
melalui
metabolisme
selnya,
mikroorganisme yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah bakteri aerob.
Mikroorganisme
predator
merupakan
mikroorganisme yang memakan organisme
lain di dalam lumpur aktif. Mikroorganisme
yang termasuk dalam kelompok ini adalah
protozoa.
Mikroorganisme
penghambat
pembentuk flok, menghambat terjadinya
reduksi rapat massa dari flok yang telah
terbentuk adalah berbagai jenis jamur dan
alga.
Mikroorganisme yang hidup dalam
pengolahan limbah secara aerob adalah
kelompok bakteri, kapang, alga, dan protozoa.
Menurut Metcalf dan Eddy (1978) bahwa
bakteri heterotrof merupakan kelompok yang
mempunyai
peranan
penting
atas
kebutuhannya akan bahan organik sebagai
sumber karbon dan energi. Menurut Milano

4

(1998) di dalam proses lumpur aktif, bakteri
merupakan partikel biokoloid-hidrofilik yang
memiliki muatan permukaan elektronegatif.
Bakteri dominan dalam reaktor aerasi karena
mampu mendegradasi senyawa organik dan
mampu membentuk flok supaya biomassanya
mudah dipisahkan dari effluent serta
diharapkan mikroorganisme tersebut dapat
bertahan hidup dalam sistem pengolahan ini
(Jenkins 1993).
Pertumbuhan Mikroorganisme
Pertumbuhan
dan
pengendalian
mikroorganisme merupakan faktor yng sangat
penting dalam pengolahan limbah cair secara
biologi,
karena
aktivitas
bio-oksidasi
bergantung
pada
biomassa
populasi
mikroorganisme.
Berdasarkan
laju
pertumbuhannya,
mikroorganisme
dapat
dibagi menjadi empat fase (Gambar 3), yaitu
fase pertumbuhan lambat (lag phase), fase
eksponensial, fase stasioner, dan fase
kematian.
Fase lag merupakan periode aklimatisasi
mikroorganisme pada kondisi lingkungan
baru. Meskipun tidak terjadi perubahan
biomassa atau jumlah sel dalam periode ini,
namun banyak terjadi aktivitas metabolisme di
dalam mikroorganisme. Substrat diasimilasi
dan digunakan untuk sintesis enzim-enzim
baru dan untuk pertumbuhan sel sebelum
berkembang biak.
Fase
eksponensial,
mikroorganisme
berkembang biak secara meningkat karena
mikroorganisme telah mampu beradaptasi dan
melakukan aktivitas metabolismenya secara
optimum sampai medium tidak mampu
mendukung pertumbuhan mikroorganisme
tersebut. Akibat habisnya substrat, nutriant,
serta faktor lain yang esensial bagi
pertumbuhan
mikroorganisme,
adanya
ekskresi metabolisme menjadi penyebab
adanya perubahan pH medium akibat asam
yang terbentuk dari ekskresi metabolisme
mikroorganisme menyebabkan sejumlah selsel tidak mampu lagi berkembang biak dan
mati sehingga mikroorganisme memasuki fase
stasioner (Milono 1998).

Gambar 3 Kurva pertumbuhan mikroorganisme

Fase
stasioner
ini
terjadi
jika
perbandingan antara bakteri mati dengan yang
tumbuh berada dalam keadaan seimbang.
Pada fase ini, nutrien telah habis dan populasi
mikroorganisme berada pada konsentrasi
tinggi. Fase stasioner ini disebut juga fase
endogen. Mikroorganisme mengalami fase
kematian setelah mengalami fase stasioner.
Laju kematian meningkat pada fase ini dan
ada kemungkinan sel-sel hancur oleh
pengaruh enzim yang berasal dari sel itu
sendiri (Benefield 1980).
Bioflokulan
Beberapa tahun terakhir ini telah berhasil
diisolasi
mikrorganisme
yang
dapat
menghasilkan flokulan dan sering disebut
sebagai bioflokulan. Penggunaan bioflokulan
dianggap lebih aman dan lebih ramah
lingkungan karena bersifat biodegradable
dibandingkan
flokulan
sintetik.
Mikroorganisme yang berhasil diisolasi dari
lumpur aktif terbatas pada jenis bakteri seperti
Pseudomonas,
Zooglea,
Alcaligenes,
Flavobacterium dan Nocardia (Nakamura et
al. 1976). Bahan polimer ekstrasel yang
diisolasi dari kultur lumpur aktif memiliki
aktivitas yang hampir setara dengan flokulan
polielektrolit sintetik. Flokulan tersebut
menunjukkan akivitas flokulasi yang tinggi
terhadap bahan anorganik seperti kaolin
(kaolin clay).
Beberapa mikroorganisme penghasil
biofokulan yang telah dikenal antara lain
berbagai jenis bakteri seperti Rhodococcus
erythropolis S-1 dan Nocardia amarae YK-1
menurut Yokoi et al. (1995) dapat
menghasilkan protein flokulan. Polisakarida
flokulan dihasilkan oleh bakteri Alcaligenes
cupidus KT201. Nohata dan Kurane (1994)
menjelaskan biopolimer yang dihasilkan
Alcaligenes latus B-16 memiliki aktivitas
tinggi terhadap kaolin, limbah cair industri
kosmetik, serta emulsi minyak. Beberapa
strain fungi, bakteri dan aktionomisetes yang
telah ditemukan Nakamura et al. (1976)
sebagai
penghasil
bioflokulan
adalah
Aspergillus sojae, Anixiella reticulata,
Geotrichum
candidum,
Eupenicillium
crustaceus, Circinella sydowi, Monascus
anka, Sordaria fimicola, Pseudomonas
fluorescens,
Staphylococcus
aureus,
Corynebacterium brevicale, Brevibacterium
insectiphilum, dan Streptomyces vinaceus.
Dijelaskan
pula
bahwa
bakteri
Corynebacterium hydrocarboclatus berhasil
diisolasi dari minyak tanah yang dapat
memflokulasikan clay.

5

Bioflokulan dari Alcaligenes latus
merupakan super bioabsorben polisakarida
baru yang dapat menyerap air lebih dari 1000
kali bobotnya dan diperkirakan lima kali lebih
kuat dari polimer sintetik. Kurane et al. (1986)
menjelaskan bahwa bakteri Rhodococcus
erythropolis diketahui menghasilkan bahan
yang dapat memflokulasikan bahan organik
seperti mikroorganisme dan bahan anorganik
seperti arang aktif.
Kebutuhan Fisik dan Lingkungan
Mikroorganisme
Setiap mikroorganisme memerlukan
sejumlah syarat agar dapat tumbuh dan
berkembang biak dengan baik. Syarat tersebut
selain nutrisi adalah keasaman lingkungan
serta suhu. Keasaman suatu lingkungan
tempat tumbuhnya mikroorganisme sangat
penting bagi mikroorganisme dimana pH
diluar rentan pH minimal dan pH maksimal,
mikroorganisme tidak dapat tumbuh bahkan
dapat mengalami kematiaan. Hal ini
disebabkan karena lingkungan yang ekstrim
dapat merusak struktur dinding sel
mikroorganisme sehingga merusak sistem
metabolisme sel secara keseluruhan. Tingkat
keasaman
dari
lingkungan
tempat
mikroorganisme tumbuh tidak hanya berasal
dari peristiwa biokimia melainkan juga dapat
berasal dari produk akhir metabolisme
mikroorganisme
yang
terakumulasi
dilingkungan dimana produk akhirnya
cenderung bersifat racun bagi mikroorganisme
tersebut.
Semua pertumbuhan mikroorganisme
tergantung pada reaksi kimiawi dan laju
reaksi, maka pola pertumbuhan bakteri sangat
dipengaruhi oleh suhu. Keragaman suhu dapat
merubah proses-proses metabolik tertentu
serta morfologi sel. Setiap spesies bakteri
tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu
seperti psikrofil yang tumbuh pada 0-30 oC,
mesofil yang tumbuh pada suhu 25-40 oC, dan
termofil yang tumbuh pada suhu 50 oC atau
lebih (Pelczar & Chan 1986). Suhu inkubasi
yang memungkinkan pertumbuhan tercepat
adalah selama periode waktu yang singkat
(12-24 jam) dan dikenal sebagai suhu
pertumbuhan optimum.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Aktivitas Flokulasi
Beberapa faktor yang mempengaruhi
kerja flokulan agar terjadi flokulasi antara lain
adalah kecepatan dan lama pengadukan,
konsentrasi flokulan, pH, kekeruhan, serta

sifat flokulan (Novita 1997). Pengadukan
sangat mempengaruhi terbentuknya flok
setelah penambahan flokulan. Tujuan dari
pengadukan adalah untuk menyempurnakan
proses homogenisasi antara flokulan atau
koagulan dengan air limbah yang akan diolah.
Kecepatan pengadukan yang tidak efiaien
dapat menyebabkan pemborosan zat dan
lambatnya proses pembentukan agregat.
Penambahan flokulan serta pengadukan dapat
meningkatkan interaksi antarpartikel tetapi
pengadukan yang terlalu kuat dapat
menghancurkan flok yang telah terbentuk.
Namun pengadukan yang kurang kuat juga
menghasilkan flok yang kurang sempurna.
Konsentrasi flokulan yang digunakan
juga berpengaruh terhadap terbentuknya flok.
Kurangnya konsentrasi flokulan yang dipakai
menyebabkan flok mudah goyah sedangkan
jika jumlahnya terlalu banyak juga
menghalangi terbentuknya flok karena
jembatan antarpartikel tidak terjadi akibat
tidak adanya sisi aktif partikel yang tersedia.
Flokulasi optimum terjadi jika separuh
permukaan partikel ditempati oleh flokulan.
Faktor lain yang sangat berpengaruh
adalah pH. Tiap jenis flokulan memiliki
kisaran pH optimumnya masing-masing.
Umumnya sebagian besar kation multivalen
yang bereaksi membentuk hidroksida bekerja
pada pH alkali. Oleh karena itu, untuk jenis
flokulan tertentu kadang-kadang dalam proses
pengolahan ditambahkan bahan lain selain
flokulan seperti kapur atau soda kaustik untuk
menaikkan pH.
Kekeruhan juga ikut berpengaruh dalam
proses flokulasi secara tidak langsung.
Kekeruhan berbanding terbalik dengan efek
flokulasi. Semakin banyak flok yang
terbentuk, nilai kekeruhan semakin kecil
(dekolorisasi). Faktor ini menjadi salah satu
tolok ukur efektivitas flokulasi.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu labu
Erlenmeyer, mikropipet, pipet volumetrik,
gelas
ukur, termometer, pH
meter,
spektrofotometer, rotary shaker, laminar air
flow, homogenizer, tabung reaksi, batang
pengaduk, cawan petri, pemanas.
Bahan yang digunakan adalah lumpur
aktif, larutan fisiologis, pepton, NaCl, bakto
agar, glukosa, sukrosa, KH2PO4, HCl,
(NH4)2SO4,, urea, Yeast ekstract, aquades,
suspensi caolin clay (5,5 g/L), FeCl3, alkohol

5

Bioflokulan dari Alcaligenes latus
merupakan super bioabsorben polisakarida
baru yang dapat menyerap air lebih dari 1000
kali bobotnya dan diperkirakan lima kali lebih
kuat dari polimer sintetik. Kurane et al. (1986)
menjelaskan bahwa bakteri Rhodococcus
erythropolis diketahui menghasilkan bahan
yang dapat memflokulasikan bahan organik
seperti mikroorganisme dan bahan anorganik
seperti arang aktif.
Kebutuhan Fisik dan Lingkungan
Mikroorganisme
Setiap mikroorganisme memerlukan
sejumlah syarat agar dapat tumbuh dan
berkembang biak dengan baik. Syarat tersebut
selain nutrisi adalah keasaman lingkungan
serta suhu. Keasaman suatu lingkungan
tempat tumbuhnya mikroorganisme sangat
penting bagi mikroorganisme dimana pH
diluar rentan pH minimal dan pH maksimal,
mikroorganisme tidak dapat tumbuh bahkan
dapat mengalami kematiaan. Hal ini
disebabkan karena lingkungan yang ekstrim
dapat merusak struktur dinding sel
mikroorganisme sehingga merusak sistem
metabolisme sel secara keseluruhan. Tingkat
keasaman
dari
lingkungan
tempat
mikroorganisme tumbuh tidak hanya berasal
dari peristiwa biokimia melainkan juga dapat
berasal dari produk akhir metabolisme
mikroorganisme
yang
terakumulasi
dilingkungan dimana produk akhirnya
cenderung bersifat racun bagi mikroorganisme
tersebut.
Semua pertumbuhan mikroorganisme
tergantung pada reaksi kimiawi dan laju
reaksi, maka pola pertumbuhan bakteri sangat
dipengaruhi oleh suhu. Keragaman suhu dapat
merubah proses-proses metabolik tertentu
serta morfologi sel. Setiap spesies bakteri
tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu
seperti psikrofil yang tumbuh pada 0-30 oC,
mesofil yang tumbuh pada suhu 25-40 oC, dan
termofil yang tumbuh pada suhu 50 oC atau
lebih (Pelczar & Chan 1986). Suhu inkubasi
yang memungkinkan pertumbuhan tercepat
adalah selama periode waktu yang singkat
(12-24 jam) dan dikenal sebagai suhu
pertumbuhan optimum.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Aktivitas Flokulasi
Beberapa faktor yang mempengaruhi
kerja flokulan agar terjadi flokulasi antara lain
adalah kecepatan dan lama pengadukan,
konsentrasi flokulan, pH, kekeruhan, serta

sifat flokulan (Novita 1997). Pengadukan
sangat mempengaruhi terbentuknya flok
setelah penambahan flokulan. Tujuan dari
pengadukan adalah untuk menyempurnakan
proses homogenisasi antara flokulan atau
koagulan dengan air limbah yang akan diolah.
Kecepatan pengadukan yang tidak efiaien
dapat menyebabkan pemborosan zat dan
lambatnya proses pembentukan agregat.
Penambahan flokulan serta pengadukan dapat
meningkatkan interaksi antarpartikel tetapi
pengadukan yang terlalu kuat dapat
menghancurkan flok yang telah terbentuk.
Namun pengadukan yang kurang kuat juga
menghasilkan flok yang kurang sempurna.
Konsentrasi flokulan yang digunakan
juga berpengaruh terhadap terbentuknya flok.
Kurangnya konsentrasi flokulan yang dipakai
menyebabkan flok mudah goyah sedangkan
jika jumlahnya terlalu banyak juga
menghalangi terbentuknya flok karena
jembatan antarpartikel tidak terjadi akibat
tidak adanya sisi aktif partikel yang tersedia.
Flokulasi optimum terjadi jika separuh
permukaan partikel ditempati oleh flokulan.
Faktor lain yang sangat berpengaruh
adalah pH. Tiap jenis flokulan memiliki
kisaran pH optimumnya masing-masing.
Umumnya sebagian besar kation multivalen
yang bereaksi membentuk hidroksida bekerja
pada pH alkali. Oleh karena itu, untuk jenis
flokulan tertentu kadang-kadang dalam proses
pengolahan ditambahkan bahan lain selain
flokulan seperti kapur atau soda kaustik untuk
menaikkan pH.
Kekeruhan juga ikut berpengaruh dalam
proses flokulasi secara tidak langsung.
Kekeruhan berbanding terbalik dengan efek
flokulasi. Semakin banyak flok yang
terbentuk, nilai kekeruhan semakin kecil
(dekolorisasi). Faktor ini menjadi salah satu
tolok ukur efektivitas flokulasi.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu labu
Erlenmeyer, mikropipet, pipet volumetrik,
gelas
ukur, termometer, pH
meter,
spektrofotometer, rotary shaker, laminar air
flow, homogenizer, tabung reaksi, batang
pengaduk, cawan petri, pemanas.
Bahan yang digunakan adalah lumpur
aktif, larutan fisiologis, pepton, NaCl, bakto
agar, glukosa, sukrosa, KH2PO4, HCl,
(NH4)2SO4,, urea, Yeast ekstract, aquades,
suspensi caolin clay (5,5 g/L), FeCl3, alkohol

6

70%, CaCl2, MgSO4, AlCl3, FeCl3, dan
ZnSO4.

Metode
Penelitian ini dilakukan dalam enam
tahapan yang meliputi: (1). Isolasi bakteri
penghasil bioflokulan yang berasal dari
lumpur aktif; (2). Produksi bioflokulan; (3).
Pengujian aktivitas flokulasi; (4). Optimasi
produksi bioflokulan; (5). Karakterisasi
Bioflokulan; (6). Identifikasi bakteri
Isolasi Bakteri
Lumpur aktif diambil sebanyak 1 mL dan
ditambahkan ke dalam 9 mL akuades steril
kemudian dikocok menggunakan vortex.
Diambil sebanyak 1 mL dari larutan tersebut
kemudian dilakukan pengenceran bertingkat.
Sebanyak
100
µL suspensi
larutan
ditumbuhkan dalam media nutrient agar (NA)
dengan metode cawan sebar. Kemudian
diinkubasi selama 16 jam pada suhu 37o C.
Koloni yang muncul pada cawan diambil dan
diisolasi pada agar miring kemudian
diinkubasi kembali selama 16 jam pada suhu
37 oC (Shimizu & Odawara 1985).
Produksi Bioflokulan
Koloni yang telah dimurnikan kemudian
ditumbuhkan
pada
media
produksi
bioflokulan. Komposisi media produksi
bioflokulan sebagai berikut: glukosa 10 g,
sukrosa 10 g, yeast ekstrak 0.5, pepton 0,5 g,
urea 0.5 g, MgSO4 0.2 g, KH2PO4 5.0 g,
(NH4)2SO4 0.5 g, dan NaCl 0.1 g dalam 1L
akuades (Wang et al. 1995). Koloni terpilih
diinokulasi dalam 10 mL media dalam
Erlenmeyer 100 mL dan diinkubasi pada suhu
27 oC untuk persiapan inokulasi. Setelah 16
jam diremajakan, kultur cair digunakan
sebagai kultur biakan dan 1% dari kultur ini
diinokulasikan ke dalam 20 mL media dalam
Erlenmeyer 125 mL. Contoh medium diambil
pada jam ke-72 dan diuji aktivitas
flokulasinya.
Pengujian Aktivitas Flokulasi
Pengujian aktivitas flokulasi kultur
bakteri terhadap suspensi kaolin dilakukan
dalam gelas ukur 100 mL. Sebanyak 80 mL
suspensi kaolin (5.5 g/L) dicampur dengan 10
mL koagulan FeCl3 0.05% dan 1.0 mL cairan
kultur, ditambahkan air destilata hingga
volume total 100 mL. Campuran kemudian
diaduk pada suhu 27 oC dan dibiarkan tegak

selama 2 menit. Pembentukkan agregat
diamati untuk menentukan terbentuk atau
tidaknya flok dalam campuran reaksi. Dengan
mengukur penurunan turbiditas lapisan atas
campuran maka dapat dihitung derajat
flokulasi. Kerapatan optis (OD) lapisan atas
campuran setelah pengadukan dibiarkan tegak
selama 2 menit dan diukur pada panjang
gelombang
550
nm
menggunakan
spektrofotometer. Aktivitas flokulasi dihitung
menurut persamaan : (A-B)/A x 100% dimana
A adalah OD kontrol dan B adalah OD
sampel.
Optimasi Produksi Bioflokulan
Komposisi media untuk produksi
bioflokulan adalah sebagai berikut: glukosa 10
g, sukrosa 10 g, yeast ekstrak 0.5 g, pepton
0,5 g, urea 0.5 g, MgSO4 0.2 g, KH2PO4 5.0 g,
(NH4)2SO4 0.5 g, dan NaCl 0.1 g dalam 1L
akuades (Wang et al. 1995). Isolat yang telah
dipilih diremajakan di dalam 10 mL media
produksi didalam tabung 100 mL dan diaduk
(120 rpm) pada suhu 25 oC untuk persiapan
inokulasi. Setelah 16 jam diremajakan, kultur
cair dipakai sebagai kultur biakan dan 1%
dari kultur ini diinokulasikan ke dalam 50 mL
media yang berada di dalam tabung berukuran
100 mL. Kultur diambil pada interval waktu
12 jam sekali selama 96 jam kemudian
diamati pH, pertumbuhan sel, dan aktivitas
flokulasi.
Karakterisasi Bioflokulan
Karakterisasi meliputi penentuan pH,
suhu dan penambahan kation terhadap
aktivitas flokulasi. Pengaruh penambahan
kation terhadap aktivitas flokulasi dilakukan
dengan mencampurkan 80 mL suspensi kaolin
(5.5 g/L), 1.0 ml bioflokulan dan berbagai
larutan garam sebanyak 10 mL sebagai
sumber kation, yang meliputi larutan CaCl2,
MgSO4,
AlCl3,
FeCl3,
dan
ZnSO4.
Pengaruhnya dilihat dari pembentukan
sedimentasi terbesar dan penentuan OD
supernatannya. Pengaruh pH diberikan pada
range pH 4-10 pada saat pengujian
bioflokulan pada suspensi kaolin. Sedangkan
karakterisasi terhadap suhu dilakukan pada
suhu 30 oC – 70 oC.
Identifikasi Bakteri
Isolat potensial penghasil bioflokulan,
diremajakan dalam agar miring kemudian
dilakukan identifikasi di Balai Penelitian
Veteriner
(BALITVET).
Sebelum

7

diidentifikasi dilakukan pemurnian terhadap
isolat potensial dan dilakukan pengamatan
morfologi sel di bawah mikroskop, pewarnaan
Gram dan identifikasi genus. Hasil identifikasi
genus
dilanjutkan
dengan
pengujian
karakteristik biokimianya untuk melihat
tingkat taksonomi yang lebih rendah lagi
(spesies) dan hasil dari pengujian biokimiawi
kemudian
dicocokkan
dengan
kunci
taksonomi yang terdapat dalam Bergey’s
Manual of Determinative Bacteriology.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolat Bakteri Penghasil Bioflokulan
Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki banyak industri tekstil. Untuk
mengolah limbah yang dihasilkannya tidak
semua industri di Indonesia menggunakan
pengolahan limbah secara biologis. Pada
umumnya dalam pengolahan limbah secara
biologis digunakan lumpur aktif yang
merupakan gumpalan yang terdiri atas ribuan
jenis bakteri aerobik dengan komposisi
terbanyak adalah bakteri 95% dan 5%
merupakan campuran fungi, alga, rotifera, dan
protozoa. Proses pengolahan limbah dengan
metode lumpur aktif ini lebih aman karena
menggunakan campuran mikroorganisme.
Bakteri yang berada di dalam lumpur aktif
bertanggung jawab dalam mengoksidasi
bahan-bahan
organik,
dan
beberapa
diantaranya dapat membentuk flok. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa bakteri
yang diisolasi dari lumpur aktif yaitu Zooglea
ramigera merupakan bakteri pembentuk flok
(Shimizu & Odawara 1985).
Bakteri diisolasi dalam penelitian ini dari
lumpur aktif yang berasal dari industri tekstil
PT Indonesian Toray Synthetics (PT ITS),
Tangerang dan PT UNITEX, Bogor. Isolasi
bakteri dilakukan dengan metode cawan sebar
menggunakan media Nutrient Agar (NA)
kemudian diinkubasi selama 16 jam pada suhu
37 oC. Media ini digunakan karena sebagian
besar mikroorganisme lebih menyukai media
nutrien daripada media lengkap seperti ester
pthalate (Kurane et al. 1986). Koloni murni
yang memiliki morfologi yang berbeda secara
visual baik bentuk atau warna dipilih sebagai
bakteri yang akan diuji lebih lanjut kemudian
dikumpulkan dalam satu cawan petri yang
berisi media NA dan diinkubasi kembali
selama 16 jam pada suhu 37 oC (Gambar 4) .

Gambar 4 Isolat-isolat yang diisolasi dari
lumpur aktif.
Hasil percobaan diperoleh delapan isolat
bakteri dengan bentuk dan warna yang
berbeda yaitu lima jenis bakteri berasal dari
PT UNITEX dan tiga jenis bakteri berasal dari
PT ITS. Semua isolat yang didapat bentuknya
bulat, secara umum berwarna putih dan diberi
kode sesuai dengan nama sampel yang
diambil yaitu LA yang berarti lumpur aktif
(Tabel 2). Untuk menghindari terjadinya
kontaminasi, masing-masing isolat bakteri
yang terpilih ditumbuhkan pada media agar
miring (Gambar 5). Setelah ditumbuhkan pada
media agar miring, warna dari masing-masing
isolat terlihat lebih jelas dan terjadi perubahan
warna pada isolat LA-7 dan LA-8 yang
asalnya hasil isolasi berwarna putih tipis dan
putih bening menjadi hijau berpendar untuk
LA-7 dan hijau tua berpendar untuk LA-8.
Tabel 2 Jenis-jenis bakteri hasil isolasi dari
lumpur aktif
Jenis
isolat
LA-1
LA-2

Lokasi
pengambilan
sampel
PT UNITEX
PT UNITEX

LA-3
LA-4
LA-5
LA-6
LA-7
LA-8

PT UNITEX
PT UNITEX
PT UNITEX
PT ITS
PT ITS
PT ITS

LA ( 1

2

7

Bentuk/Warna

Bulat/kuning
Bulat/ merah
kecoklatan
Bulat/kuning tebal
Bulat/putih tipis
Bulat/putih tebal
Bulat/putih keruh
Bulat/putih tipis
Bulat/putih bening

8 3

4)

Gambar 5 Isolat-isolat yang diisolasi dari
lumpur aktif pada media agar
miring.

7

diidentifikasi dilakukan pemurnian terhadap
isolat potensial dan dilakukan pengamatan
morfologi sel di bawah mikroskop, pewarnaan
Gram dan identifikasi genus. Hasil identifikasi
genus
dilanjutkan
dengan
pengujian
karakteristik biokimianya untuk melihat
tingkat taksonomi yang lebih rendah lagi
(spesies) dan hasil dari pengujian biokimiawi
kemudian
dicocokkan
dengan
kunci
taksonomi yang terdapat dalam Bergey’s
Manual of Determinative Bacteriology.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolat Bakteri Penghasil Bioflokulan
Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki banyak industri tekstil. Untuk
mengolah limbah yang dihasilkannya tidak
semua industri di Indonesia menggunakan
pengolahan limbah secara biologis. Pada
umumnya dalam pengolahan limbah secara
biologis digunakan lumpur aktif yang
merupakan gumpalan yang terdiri atas ribuan
jenis bakteri aerobik dengan komposisi
terbanyak adalah bakteri 95% dan 5%
merupakan campuran fungi, alga, rotifera, dan
protozoa. Proses pengolahan limbah dengan
metode lumpur aktif ini lebih aman karena
menggunakan campuran mikroorganisme.
Bakteri yang berada di dalam lumpur aktif
bertanggung jawab dalam mengoksidasi
bahan-bahan
organik,
dan
beberapa
diantaranya dapat membentuk flok. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa bakteri
yang diisolasi dari lumpur aktif yaitu Zooglea
ramigera merupakan bakteri pembentuk flok
(Shimizu & Odawara 1985).
Bakteri diisolasi dalam penelitian ini dari
lumpur aktif yang berasal dari industri tekstil
PT Indonesian Toray Synthetics (PT ITS),
Tangerang dan PT UNITEX, Bogor. Isolasi
bakteri dilakukan dengan metode cawan sebar
menggunakan media Nutrient Agar (NA)
kemudian diinkubasi selama 16 jam pada suhu
37 oC. Media ini digunakan karena sebagian
besar mikroorganisme lebih menyukai media
nutrien daripada media lengkap seperti ester
pthalate (Kurane et al. 1986). Koloni murni
yang memiliki morfologi yang berbeda secara
visual baik bentuk atau warna dipilih sebagai
bakteri yang akan diuji lebih lanjut kemudian
dikumpulkan dalam satu cawan petri yang
berisi media NA dan diinkubasi kembali
selama 16 jam pada suhu 37 oC (Gambar 4) .

Gambar 4 Isolat-isolat yang diisolasi dari
lumpur aktif.
Hasil percobaan diperoleh delapan isolat
bakteri dengan bentuk dan warna yang
berbeda yaitu lima jenis bakteri berasal dari
PT UNITEX dan tiga jenis bakteri berasal dari
PT ITS. Semua isolat yang didapat bentuknya
bulat, secara umum berwarna putih dan diberi
kode sesuai dengan nama sampel yang
diambil yaitu LA yang berarti lumpur aktif
(Tabel 2). Untuk menghindari terjadinya
kontaminasi, masing-masing isolat bakteri
yang terpilih ditumbuhkan pada media agar
miring (Gambar 5). Setelah ditumbuhkan pada
media agar miring, warna dari masing-masing
isolat terlihat lebih jelas dan terjadi perubahan
warna pada isolat LA-7 dan LA-8 yang
asalnya hasil isolasi berwarna putih tipis dan
putih bening menjadi hijau berpendar untuk
LA-7 dan hijau tua berpendar untuk LA-8.
Tabel 2 Jenis-jenis bakteri hasil isolasi dari
lumpur aktif
Jenis
isolat
LA-1
LA-2

Lokasi
pengambilan
sampel
PT UNITEX
PT UNITEX

LA-3
LA-4
LA-5
LA-6
LA-7
LA-8

PT UNITEX
PT UNITEX
PT UNITEX
PT ITS
PT ITS
PT ITS

LA ( 1

2

7

Bentuk/Warna

Bulat/kuning
Bulat/ merah
kecoklatan
Bulat/kuning tebal
Bulat/putih tipis
Bulat/putih tebal
Bulat/putih keruh
Bulat/putih tipis
Bulat/putih bening

8 3

4)

Gambar 5 Isolat-isolat yang diisolasi dari
lumpur aktif pada media agar
miring.

8

Media Produksi Bioflokulan
Media produksi bioflokulan digunakan
untuk menstimulasi bakteri mengeluarkan
bioflokulannya yang merupakan polimer
esensial yang diproduksi oleh mikroorganisme
pada waktu masa pertumbuhannya (Jie et al.
2005). Komposisi media produksi bioflokulan
mengandung yeast ekstract yang bertujuan
dalam menstimulasi produksi bioflokulan dan
sebagai sumber nitrogen organik yang paling
baik
untuk
pembentukan
bioflokulan
dibanding sumber nitrogen organik lain.
Penambahan yeast ekstract yang paling sesuai
adalah pada konsentrasi 0.5 % (Nohata dan
Kurane 1994). Selain itu ditambahkan juga
urea yang berfungsi sebagai sumber nitrogen
anorganik. Senyawa KH2PO4 berfungsi
sebagai sumber energi dan mampu menjaga
pH media selama kultivasi agar selalu berkisar
pada kondisi pH netral. Glukosa dan sukrosa
selain sebagai sumber karbon atau substrat
pada media pertumbuhannya juga dapat
menstimulasi bioflokulan.
Produksi bioflokulan pada penelitian ini
dilakukan setelah propagasi tujuannya untuk
mempersiapkan dan mengaktifkan sel sampai
pada fase eksponensial sehingga dapat
mempercepat fase adaptasi (lag phase) pada
waktu produksi bioflokulan. Didalam
propagasi
tersebut,
mikroorganisme
melakukan pengaturan metabolisme sintesa
enzim dan aktivitas enzim sehingga mampu
tumbuh lebih efisien dalam kondisi baru.
Bakteri yang telah dipropagasi dinamakan
kultur bioflokulan. Kultur bioflokulan diambil
1% kemudian ditumbuhkan pada media
produksi bioflokulan dan dikocok dengan
kecepatan 180 rpm selama 72 jam pada suhu
27 oC. Waktu yang ditetapkan digunakan
sebagai screening untuk menghasilkan kultur
bioflokulan dan selanjutnya kultur bioflokulan
tersebut diuji aktivitas flokulasinya terhadap
suspensi kaolin clay. Penggunaan waktu
kultivasi yang lebih lama dimaksudkan untuk
memperoleh jumlah bioflokulan yang lebih
banyak, dikarenakan adanya kemungkinan
terdapatnya jenis bakteri yang lebih lambat
dalam mensintesis bioflokulan. Selain itu
lamanya waktu yang ditetapkan dikarenakan
kurva aktivitas flokulasi paralel dengan kurva
pertumbuhan sel dan aktivitas flokulasi
meningkat dengan meningkatnya umur biakan
( Jie et al. 2005).
Hasil Pengukuran Aktivitas Flokulasi
Kultur bioflokulan dari isolat bakteri
yang terpilih kemudian diuji kemampuan

flokulasinya terhadap suspensi kaolin clay
(5.5 g/L) yang merupakan bahan uji standar
dalam penentuan aktivitas flokulasi (Kurane et
al. 1986). Kedalam suspensi kaolin clay
tersebut ditambahkan kultur bioflokulan dari
masing-masing isolat sebanyak 1 mL. Selain
itu ditambahkan juga FeCl3 dengan
konsentrasi 0.05% (Susanti et al. 2007) dan
sisanya ditambah akuades sampai volume
akhir 100 mL.
Penentuan aktivitas flokulasi dilakukan
dalam dua waktu yaitu, pada lima dan dua
menit diawal saat terjadinya flokulasi. Hasil
yang diperoleh pada pengamatan lima menit
menunjukkan ada ketidaksesuaian
antara
pengamatan secara visual dengan hasil
persentase aktivitas flokulasi yang didapat
melalui pengukuran OD supernatan pada ë
550 nm. Hal ini terlihat pada isolat LA-7.
Hasil pengamatan secara visual, isolat LA-7
dapat membentuk flok yang lebih besar dan
dapat mengendap dengan cepat jika
dibandingkan dengan isolat lain khususnya
LA-6. Tetapi berdasarkan hasil pengukuran
OD supernatan, nilai kekeruhan dari isolat
LA-7 tidak jauh berbeda dengan isolat LA-6.
Hal ini dikarenakan jika dilihat secara visual
aktivitas flokulasi terjadi pada menit-menit
pertama sehingga dengan pengamatan yang
cukup lama tingkat kekeruhan antara sampel
dan kontrol dengan pengambilan supernatan
sebanyak 5 mL kurang memberikan
perbedaan yang signifikan (Tabel 3).
Pengamatan kedua dilakukan selama dua
menit, dengan tujuan untuk membandingkan
hasil pengamatan selama lima menit dan dua
menit. Hasil dari pengamatan menunjukkan
adanya perbedaan yang sangat signifikan dari
kedelapan isolat tersebut. Aktivitas flokulasi
kultur bioflokulan beberapa isolat cukup
bervariasi (Gambar 6). Pada pengamatan
selama dua menit, isolat LA-7 dan LA-2
mempunyai persentase aktivitas flokulasi
yang lebih besar jika dibandingkan isolat lain.
Selain itu diperoleh hasil yang sesuai antara
pengukuran OD dengan pengamatan visual
terhadap terbentuknya flok dan kecepatan
pengendapan (Tabel 4). Dengan mengetahui
penurunan
turbiditas
yang
diukur
menggunakan spektrofotometer pada ë 550
nm maka aktivitas flokulasi (AF) dapat
dihitung mengikuti persamaan AF = (A – B)
/A x 100%. Dalam hal ini A adalah optikal
densiti kontrol pada ë 550 nm dan B adalah
optikal densiti sampel pada ë 550 nm.
Berdasarkan penelitian diperoleh presentase
hasil uji flokulasi isolat LA-2 sebesar 71.23%
dan isolat LA-7 sebesar 70.87%.

9

Tabel 3 Aktivitas flokulasi dari delapan
isolat hasil pengamatan selama
lima menit
Aktivitas
No
Kode
OD550
supernatan
Flokulasi
isolat
(%)
1
LA-1
0.109
27.81
2
LA-2
0.062
58.94
3
LA-3
0.113
25.17
4
LA-4
0.092
39.07
5
LA-5
0.108
28.48
6
LA-6
0.088
41.72
7
LA-7
0.092
39.07
8
LA-8
0.127
15.89
9
Kontrol
0.151
Tabel 4 Aktivitas flokulasi dari delapan
isolat hasil pengamatan selama
dua menit
Aktivitas
No
Kode
OD550
supernatan
Flokulasi
isolat
(%)
1
LA-1
0.121
57.54
2
LA-2
0.082
71.23
3
LA-3
0.099
18.60
4
LA-4
0.112
60.70
5
LA-5
0.154
45.96
6
LA-6
0.137
14.80
7
LA-7
0.083
70.87
8
LA-8
0.184
35.44
9
Kontrol
0.285
-

Aktivitas Flokulasi (% )

80
70
60
50
40
30
20
10
0
LA-1

LA-2

LA-3

LA-4

LA-5

LA-6

LA-7

LA-8

Kode isolat

Gambar 6 Aktivitas flokulasi kultur bioflokulan
dari delapan isolat terhadap suspensi
kaolin pada pengamatan lima menit
(=) dan dua menit (=).

Optimasi Waktu Produksi Bioflokulan
Optimasi waktu produksi bioflokulan
dilakukan terhadap kultur yang memiliki
aktivitas flokulasi tinggi yaitu pada isolat LA2 dan LA-7. Tujuannya adalah untuk

mengetahui hubungan antara pola perubahan
kemampuan flokulasi dengan pola perubahan
dari beberapa karakteristik kulturnya seperti
pertumbuhan bakteri, pH kultur, dan aktivitas
flokulasi. Selain itu untuk mengetahui waktu
optimum kultur tersebut menghasilkan
bioflokulan. Pengamatan dilakukan dari jam
ke 0-96. Penetapan lamanya waktu tersebut
karena pada tahap screening produksi
bioflokulan dilakukan selama 72 jam selain
itu untuk mengetahui masih ada atau tidaknya
bioflokulan yang diproduksi setelah 72 jam.
Hal tersebut dapat diketahui dengan
melakukan pengujian aktivitas flokulasi.
Hasil pengamatan optimasi bioflokulan
terhadap isolat LA-7 dapat dilihat pada
Gambar 7 sedangkan untuk LA-2 dapat dilihat
pada Gambar 8. Dari gambar tersebut dapat
dilihat bahwa pertumbuhan bakteri dalam
kultur pada kedua isolat terus mengalami
peningkatan selama selang waktu kultivasi.
Pertumbuhan bakteri dari isolat LA-2 dan LA7 memiliki pola yang sama, yaitu pada awal
kultivasi meningkat dengan lambat diikuti
pertumbuhan yang makin pesat, kemudian
mencapai titik maksimum pada jam tertentu
dan cenderung menurun pada akhir kultivasi.
Laju pertumbuhan menurun akibat persediaan
substrat atau nutrien berkurang dan terjadi
akumulasi
zat-zat
metabolik
yang
menghambat pertumbuhan. Laju pertumbuhan
akan menurun terus menerus sampai nilainya
sama dengan nol (jumlah sel yang tumbuh
sama dengan jumlah sel yang mati).
Selanjutnya total massa sel akan konstan,
tetapi jumlah sel hidup akan berkurang dan
adanya lisis akan menyebabkan penurunan
massa sel (Wang et al. 1979).
Pertumbuhan
mikroorganisme
pada
media tertentu terbagi menjadi tiga fase
pertumbuhan yaitu, fase awal (lag phase)
yang diikuti dengan fase eksponensial atau
fase logaritmik, fase stasioner dan fase
menurun atau kematian (Wang et al. 1978).
Dari data hasil penelitian (Gambar 7 dan
Gambar 8) diketahui bahwa fase pertumbuhan
lambat tidak terjadi pada produksi mikrobial
karena isolat-isolat tersebut sebelum di
produksi dilakukan dulu propagasi. Propagasi
bertujuan untuk mempersiapkan sel sampai
pada fase eksponensial. Fase eksponensial
terjadi mulai jam ke 12 sampai jam ke 48
untuk LA-2 dan jam ke 60 untuk LA-7. Hal
ini dapat terlihat dari makin meningkatnya
OD bakteri pada pengukuran spektrofotometre
ë 550 nm. Fase stasioner dan fase kematian
terjadi apabila jumlah sel yang tumbuh sama
jumlahnya dengan sel yang mati. Fase

10

Pertumbuhan bakteri

1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0

12

24

36

48

60

72

84

96

Waktu inkubasi (Jam)

Gambar 7 Optimasi waktu produksi LA-7 dan
hubungannya terhadap pertumbuhan
bakteri.

0.3

Pertumbuhan bakteri

0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0

12

24

36

48

60

72

84

96

Waktu inkubasi (Jam)

Gambar 8 Optimasi waktu produksi LA-2 dan
hubungannya terhadap pertumbuhan
bakteri.

Aktivitas Flokulasi (%)

8
7
6
5
4
3
2
1
0
0

12

24

36

48

60

72

84

96

Waktu inkubasi (Jam)

Gambar 9 Optimasi waktu produksi LA-2 dan
hubungannya terhadap aktivitas
flokulasi (=) dan pH (=).

7

Aktivitas Flokulasi (%)

stasioner terjadi pada jam ke 60 untuk LA-2
dan jam ke 72 untuk LA-7 dan kemudian
diikuti oleh fase kematian. Hal ini dapat
dilihat dari nilai OD bakteri yang semakin
menurun. Fase kematian terjadi disebabkan
oleh terbatasnya jumlah substrat yang akan
digunakan
untuk
pertumbuhan
dan
terbentuknya metabolit sekunder yang
diperkirakan dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Hal ini juga dapat
disebabkan
oleh
menurunnya
produk
(bioflokulan) yang merupakan sumber
cadangan makanan untuk bakteri.
Optimasi waktu produksi bioflokulan dari
kedua
isolat
potensial
jika
dilihat
hubungannya terhadap pH terus mengalami
penurunan pada kulturnya hingga jam ke 96
dengan sedikit fluktuasi (Gambar 9 dan
Gambar 10). Penurunan pH kultur ini terjadi
karena terbentuknya asam-asam organik hasil
fermentasi glukosa dan sukrosa yang
digunakan sebagai sumber karbon dalam
medium pertumbuhannya. Selain itu turunnya
nilai pH dapat dijadikan indikasi bahwa
pertumbuhan
mikroorganisme
telah
mengalami fase stasioner. Pada fase stasioner
ini mikroorganisme tidak memproduksi
biomassa sehingga proses metabolismenya
menurun dan asam yang merupakan produk
sampingnya tidak dihasilkan lagi.
Aktivitas flokulasi diukur berdasarkan
tingkat kejernihan larutan yang mengandung
kaolin yang ditambahkan kultur bioflokulan.
Setelah didiamkan selama dua menit akan
terbentuk agregat-agregat yang lebih besar
yang mempercepat proses pengendapan.
Aktivitas flokulasi dari kultur bakteri LA-2
dan LA-7 meningkat selama selang waktu
kultivasi seiring dengan terus meningkatnya
pertumbuhan bakteri pada kulturnya. Aktivitas
flokulasi mencapai puncaknya pada awal fase
pertumbuhan
eksponensial.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
pembentukkan
bioflokulan terkait dengan pertumbuhan selsel bakteri dalam kultur. Penurunan aktivitas
flokulasi seperti yang terlihat pada grafik
dapat disebabkan oleh kultur bioflokulan yang
sedikit dan juga disebabkan oleh kultur
bioflokulan
yang
mempunyai
tingkat
kekeruhan tinggi yang mengakibatkan
bertambah keruhnya larutan.
Aktivitas flokulasi optimum untuk kedua
isolat dicapai pada jam ke 36 dengan
persentase sebesar 67.25% untuk LA-2 dan
64.04% untuk LA-7 pada pH 5.92 dan 5.19
dan OD bakteri 0.229 dan 0.729 (Gambar 9
dan Gambar 10).

6
5
4
3
2
1
0
0

12

24

36

48

60

72

84

96

Waktu inkubasi (Jam)

Gambar 10 Optimasi waktu produksi LA-7 dan
hubungannya terhadap aktivitas
flokulasi (=) dan pH (=).

11

Karakterisasi bioflokulan dilakukan untuk
mengetah