Badan Usaha Milik Desa

REVITALISASI LOCAL SELF GOVERNMENT MELALUI BADAN USAHA MILIK
DESA (BUMDES)
Jauh sebelum bangsa Indonesia memerdekaan diri dari kungkungan penjajah 70 tahun
silam, desa-desa seantero nusantara sudah ada jauh sebelum itu. Desa mendahului negara
dalam keberadaannya secara riil dalam masyarakat. Bahkan untuk urusan demokratisasi
dan pelayanan kepada masyarakat, desa telah mendahului peran tersebut. Hal tersebut
adalah salah satu alasan yang mengilhami terwujudnya UU no. 6 tahun 2014 tentang Desa.
Penguatan desa sebagai entitas yang mandiri, demokratis dan sejahtera menjadi cita-cita
bangsa ini sejak lahir. Namun problem tentang desa seperti tidak ada usainya karena
tantangan baru yang muncul mengharuskan jalan baru atas penyelesaiannya.
Setelah digulirkannya secara nasional UU tentang Desa no. 6 tahun 2014 yang beberapa
pasalnya mengatur tentang BUMDES, yaitu pasal 87, 88, 89 da 90. Dana besar dalam
bentuk Alokasi Dana Desa akan mengguyur desa secara nasional. Tahun 2016 ini
pemerintah melalui Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi memiliki
rencanan untuk mengguyurkan dana besar langsung ke rekening Pemerintah Desa tanpa
melalui Pemeritah Kabupaten yang dirasa selama ini telah menghambat penyaluran dana
desa. Pengelolaan dana desa tersebut diprioritaskan untuk pembentukan BUMDES atau
tambahan modal usaha untuk perbaikan ekonomi desa, terutama ditujukan untuk mengelola
sumber daya potensial di desa.
Merevitalisasi desa sebagai local self government menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan
di era desentralisasi. Penguatan utama yang coba diterapkan melalui UU Desa adalah segi

ekonomi melalui BUMDES, yang secara eksplisit akan memperkuat aspek pembelajaran
kewirausahaan dan kemandirian bagi desa.

Jawa Timur adalah provinsi terbanyak yang memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDES)
di seluruh Indonesia. Kabupaten Jember mencoba untuk mengembangkan desa-desa yang
terdapat di Jember untuk menyongsong kebijakan baru pemerintah pusat ini, salah satunya
dengan adanya proyek percontohan BUMDES di Desa Pancakarya Kecamatan Ajung 2015
lalu yang diberi apresiasi oleh Presiden Jokowi. Jember juga memiliki BUMDES yang jenis
usahanya paling beragam di Jawa Timur saat ini, yaitu BUMDES ‘Kembang’ di Desa
Kemiri Kecamatan Panti dengan bidang usaha meliputi Himpunan Masyarakat Penggguna
Air Minum (HIPPAM), Sistem Online Pembayaran Pelistrikan (SOPP), Pasar Desa dan
Toko Pertanian yang baru akan didirikan tahun ini.
Sayangnya saat ini aturan tentang BUMDES di Jember ditempatkan pada hal yang lebih
‘kecil’ yakni Perda tentang Keuangan Desa. Melihat BUMDES memiliki ruang lingkup
yang jauh lebih luas dibandingkan berbicara mengenai keuangan desa. Sehingga membuat
BUMDES seakan-akan dikerdilkan melalui Peraturan Daerah yang menaunginya. Idealnya
peraturan mengenai BUMDES di level kabupaten/kota harus berdiri sendiri dengan
merujuk pada aturan diatasnya.
Kabupaten Jember yang terdiri atas 81 kelurahan dan 167 desa yang tersebar di 31
kecamatan memiliki potensi yang besar beserta budaya dan kearifan lokalnya masingmasing. BUMDES dalam konteks ini akan memberikan ruang yang lebih besar bagi desa

untuk menguatkan local self government.
Pada dasarnya terdapat 3 tipe desa berdasarkan naskah akademik UU Desa no. 6 tahun
2014, yaitu local governing community (desa adat), local state government (desa
administratif) dan local self government (desa otonom). Sebagian besar desa di Jember
bertipe local self government, sehingga menjadi satu keharusan bagi desa untuk melakukan
kewenangan untuk mengatur daerahnya sesuai dengan karakteristik desa, membentuk

Peraturan Desa (Perdes) dan memperoleh desentralisasi keuangan dari pemerintahan
diatasnya.
Desa dalam konteks ideal local self government tidak hanya melakukan perencanaan atas
anggaran yang merupakan limpahan instansi diatasnya (pusat dan daerah). Lebih dari itu
desa dalam konteks local self government memberikan ruang kreasi yang lebih bagi desa
untuk menghasilkan pendapatannya sendiri melalui usaha-usaha mandiri atas potensi yang
ada.
Saat ini merupakan era dimana desa tidak lagi dilihat sebagai entitas yang kolot, sulit diatur
dan suka rusuh. Sebagaimana telah ditunjukkan melalui kebijakan-kebijakan baru seperti
yang telah disebutkan diatas, sudah sepantasnya kita memberikan dukungan dan apresisi
atas perkembangan yang telah dilakukan. Akan tetapi pengarahan bukan mendikte,
mengawasi bukan menakut-nakuti, perlu dikedepankan setelah ini agar BUMDES benarbenar bisa menjadi garda depan perbaikan bangsa.
Kita belum bisa menyimpulkan dana desa apakah berkah atau malapetaka? Sebagimana

beberapa tahun terakhir banyak Kepala Desa yang tersandung kasus korupsi dalam
pelaksanaan dana desa. Tapi, hemat penulis prasangka baik dan niatan yang baik akan
menghasilkan buah yang manis.
Awal kepemimpinan baru Jember dr. Faida-KH Muqit dengan jargon ‘Jember Baru Jember
Bersatu’ semoga mampu menghembuskan angin perubahan yang lebih baik kedepan bagi
masyarakat Jember. Jalan yang dapat ditempuh untuk ‘Jember Baru Jember Bersatu’ adalah
menguatkan integrasi pembangunan daerah melalui desa, yaitu BUMDES sebagai sarana
merevitalisasi peran desa sebagai local self government akan memiliki peran jangka

panjang yang baik bagi kemandirian, pendidikan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat
Jember yang sebagian besar tinggal di wilayah pedesaan. Wassalam.***
Faris Widiyatmoko
Mahasiswa Administrasi Negara Universitas Jember
Aktivis Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) dan
Peneliti di Politika Research Center (PRC)