BAB II DASAR TEORI
BAB II
DASAR TEORI
2.1
Mula Jadi Emas
Terbentuk dalam berbagai kondisi geologi, endapan emas
tersebar dalam batuan–batuan berumur Tersier Akhir Pra Kambrium (2–
570 juta tahun) dan dapat dibedakan atas dua macam yaitu primer dan
skunder. Banyaknya gunung api dengan segala aktivitasnya serta iklim
tropis yang dimiliki Indonesia memungkinkan terdapatnya kedua jenis
endapan tersebut. Bijih (ore) emas terdapat dalam cebakan–cebakan
dengan bermacam–macam tipe di dalam batuan beku, sedimen, dan
malihan (metamorfik). Mineralisasinya terkait erat dengan adanya sumber
panas (heat source) dan batuan induk (hosted rock). Heat source
merupakan kegiatan magmatis yang berkembang kearah kegiatan
volkanisme, sedangkan batuan induk adalah batuan tempat
terendapkannya emas dan mineral bijih lainnya. Sebagian besar endapan
emas berasal dari proses magmatis atau pengkonsentrasian di
permukaan, beberapa endapan terbentuk karena proses metasomatisme
kontak dan larutan hidrotermal, sedangkan pengkonsentrasian secara
mekanis (faktor alam) menghasilkan endapan letakan (placer).
Secara regional Indonesia terbentuk akibat tumbukan dua
lempeng besar, yaitu lempeng pasifik di utara dan lempeng Australia di
selatan. Tumbukan tersebut mengakibatkan terbentuknya jalur gunung
api (volcanic arc). Diantara kedua lempeng tersebut terdapat jalur sesar
dan lipatan. Dibelakang jalur penunjaman (back arc subduction zone)
akan terbentuk rangkaian kegiatan magmatik dan gunung api serta
berbagai cekungan pengendapan. Pertemuan antara lempeng Indo–
Australia dan lempeng Eurasia menghasilkan jalur penunjaman di selatan
pulau jawa dan jalur gunung api Sumatra, Jawa, Nusatenggara, serta
cekungan lainnya seperti Cekungan Sumatra Utara, Sumatra Tengah,
Sumatra Selatan, dan cekungan jawa utara. Kondisi tatanan tektonik yang
lengkap tersebut menjadi pendukung bagi pembentukan mineralisasi
emas dan logam lainnya di Indonesia.
Pergerakan lempeng saling menjauh menyebabkan penipisan
dan perenggangan kerak bumi sehingga terjadi pengeluaran material
baru dari mantel membentuk jalur magmatik atau gunung api. Pada jalur
gunung api/magmatik biasanya akan terbentuk zona mineralisasi seperti
emas dan logam lainnya, sedangkan pada jalur penunjaman akan
ditemukan mineral yang lain pula. Setiap wilayah tektonik memiliki cirri
atau indikasi tertentu baik batuan, mineralisasi, struktur maupun
kegempaannya. Proses mineralisasi dapat terjadi karena kristalisasi
magma, sublimasi metasomatisme kontak dan sublimasi.
2.2
Karakteristik Emas
Warna emas alami bervariasi tergantung ukuran partikelnya.
Emas precipitated biasanya berwarna coklat, tetapi ada juga yang
mempunyai bayangan hitam, ungu, biru, dan merah muda (pink). Dalam
lembaran tipis, biasanya tembus cahaya dan memancarkan cahaya
kehijauan. Sebagai paduan, warna kuningnya bervariasi tergantung jenis
logam paduannya. Paduan emas–perak misalnya, membuat warna kuning
emas menjadi lebih muda, sedangkan dengan tembaga warna kuning
tersebut akan menjadi lebih tua atau agak kemerahan. Para ahli
perhiasan menyebut emas putih (monel) apabila emas dipadukan dengan
platinum sejumlah 25% atau 12% palladium.
Kemurnian emas diukur dengan karat, menunjukan seberapa
murni emas yang terkandung dalam suatu paduan. Satu karat sama
dengan 1/24 bagian emas atau 4,1667%, emas 24 karat berarti emas
murni, sedangkan 18 karat mengandung 18 bagian emas dan 6 bagian
paduan. Emas murni biasanya digunakan dalam industry karena sifatnya
yang lunak dan kuat tariknya 20.000 lb per inci kuadrat (encyclopedia
Britannica, 1768).
Sebagai logam bersifat lunak dan mudah ditempa (malleable),
emas memiliki kekerasan 2,5–3 skala mosh. Berat jenisnya bergantung
pada perlakuannya, jenis dan kandungan logam lain yang terpadu
dengannya. Sebagai contoh emas tuang mempunyai BJ 19.3, emas suling
19.26, drawn gold 19,25, cold rolled sheet 19.296 dan precipated gold by
CH2O 19,29. Titik leburnya adalah 1.045oC dan titik didihnya sekitar 2500
o
C (Mc Graw Hill Encyclopedia of science and technology). Dalam tabel
periodik , emas berada pada posisi kelompok B dari family I bersama
dengan perak dan tembaga. Posisi emas pada bagian bawah rangkaian
logam elektromotif mengindikasikan sifat unsur kimianya. Emas murni
biasanya mudah berlekuk, mudah dibengkokan, dan dapat ditempa
sampai dengan ketebalan 0,000001 mm.
Mineral pembawa emas yang penting adalah emas native dan
campuran, telurida, selenida, sulfide, dan antimonida. Mineral–mineral
pengotor yang umum dijumpai bersama bijjh emas adalah kuarsa selain
itu karbonat, turmalin dan flourit sering pula berasoisasi dengannya.
Emas umumnya terikat di dalam sulfida–sulfida logam dan hasil
pelapukannya. Sulfida yang dimaksudkannya antara lain pirit, kalkopirit,
galenit, stibnit, tetrahedrit, sfalerit, arsenopirit, dan molibdenit
2.3
Model dan jenis endapan emas di Indonesia
Model cebakan bijih merupakan pengetahuan tentang cebakan
bijih yang meliputi jenis, sifat, ganesa, karakteristik, dan proses–proses
yang berkaitan dengan pembentukannya, serta asosiasi tatanan
tektoniknya. Model cebakan bijih telah banyak dipelajari sejak lama. Salah
satu model yang disusun secara mudah dan menyeluruh dibuat oleh
Corbet dan Leach (1998). Model cebakan tersebut menggambarkan emas
yang berasoisasi dengan tembaga pada porifiri (batuan berbutir kasar
diakibatkan karena terbentuk jauh dibawah permukaan) dan skarn (jenis
endapan yang terjadi karena kontak dengan batuan yang bersifat reaktif),
emas berasosiasi dengan tembaga bersifat sulfida tinggi, emas sulfida
rendah (berhubungan dengan porifiri), emas berasoisasi dengan perak,
bersifat sulfida rendah, dan emas pada batuan sedimen. Model cebakan
emas Corbett dan Leach tersebut banyak ditemukan di Indonesia.
2.3.1 Emas Tembaga porifiri dan skarn
Emas–tembaga pada porifiri umumnya terletak dilingkungan
busur kepulauan (island arc) daerah tersebut mengalami penunjaman
(subduction) yang kuat sehingga terjadi pengendapan mineral porifiri
(kasar).
Skarn terbentuk pada daerah magmatisme yang mengintrusi
batugamping. Intrusi umumnya berhubungan dengan deposit–deposit
porifiri dari diorite, kuarsa, tonalit, monzoit, dan granodiorit. Intrusi ini
pada umumnya menjadi batuan beku dalam (stock) vertical (1-2 km).
Kebanyakan deposit emas–tembaga porifiri dan skarn terjadi pada sekitar
2 juta tahun yang lalu. Tatanan tektonik skarn banyak berhubungan
dengan sistem porifiri pada batas pemekaran lempeng (convergent plate
margin), terutama batas benua yang aktif bergerak (active continental
margin). Pada busur kepulauan, magma berkomposisi menengah
(intermediate)-basa yang berasosiasi dengan batugamping terumbu
sering menghasilkan skarn kaya magnetik.
Contoh cebakan emas yang berasosiasi dengan tembaga pada
porifiri dan skarn adalah Ertzberg, dan Grasberg (Papua), dan Batu Hijau
(NTB), Tambulilato (Sulawesi Utara) dan Kapatusan, Pulau Bacan, Kailaka,
Sayoang, Raiau, dan Pigaraja (Maluku), serta Tapanuli Selatan (Sumatra
Utara).
2.3.2 Emas Tembaga Sulfida Tinggi
Model endapan ini sama dengan endapan porifiri yaitu terdapat
di jalur gunung api dam hanya sedikit ditemukan di busur belakang. Emas
tembaga sulfida tinggi terbentuk ketika larutan asam panas yang
didominasi oleh gas reaktif yang berasal dari magma, uap, dan gas (H2O,
CO2, SO2, HCL, HF) naik dan berpindah secara vertikal dan lateral maupun
patahan/ struktur dan permeabilitas batuan dan bereaksi dengan batuan
serta pencampuran larutan. Endapan bijih emas ini berasoisasi dengan
batuan volkanik bersifat alkali. Jenis cebakannya adalah Lode emas
kuarsa dan epitermal.
Endapan emas epitermal berupa urat–urat hidrotermal kuarsa,
karbonat, barit, dan flourit yang mengandung emas native atau emas
telurida serta sejumlah perak. Endapan ini terbentuk sebagai akibat
pengisian rongga-rongga oleh larutan hidrotermal dan umumnya banyak
terjadi pada batuan–batuan volkanik tersier yang mengalami alterasi
kuat. Cebakan yang prospek untuk model mineralisasi ini terdapat di
Miwah, bagiam Kepala burung dan Bomberai (Papua), dan rinca dan
Watuasa (NTT).
2.3.3 Emas Sulfida Rendah
Emas kuarsa sulfida rendah terbentuk pada tatanan tektonik
yang sama dengan sistem porifiri yaitu (umumnya) di busur vulkanik dan
hanya sedikit ditemukan di busur belakang. Saat pembentukannya terjadi
pada tahap akhir sistem porifiri atau proses intrusi yang terdapat di
sekeliling intrusi (samping atau atas). Kenampakan di lapangan berupa
urat kuarsa maupun breaksi dengan tebal beberapa sentimeter sampai
beberapa meter. Kuarsa pada sistem ini biasanya kasar dan banyak
mengandung sulfida (> 1 %) seperti pirit, kalkiopirit, galena, sfalerit,
arenopirit, hematite, dan magnetit yang berpenampilan Kristal bagus.
Contoh cebakan jenis ini di Indonesia ada di Arinem (garut), Cikondang
(cianjur), Jampang (Jawa Barat), Bengkayang (Kalimantan Barat), dan
Kokap (Kulon Progo).
2.3.4 Emas Epitermal Emas – Perak – Kuarsa – Adularia Sulfida
Rendah
Emas pada umumnya diendapkan oleh proses pencampuran
larutan sisa magma dengan air meteoric, namun beberapa cebakan
mengindikasikan proses pemanasan. Emas umumnya muncul dalam
bentuk electrum, telurida, atau terikat oleh mineral sulfida. Jenis endapan
yang biasa terjadi pada model cebakan emas ini diantaranya adalah lode
emas kuarsa dan epitermal. Cebakan ini (terutama pada tipe urat)
biasanya berkadar emas tinggi (10 – 30 g/ton) dan banyak yang telah
ditambang. Contoh cebakan model ini di Indonesia terdapat di Gosowong
(Maluku selatan), Gunung Pongkor dan Tasikmalaya (Jawa Barat), Gunung
Muro (Kalimantan Timur), Mangani, Gunung Arum, Salida, Sungai Pagu,
dan Belimbing (Sumatra Barat), Bukit Kelian (Kalimantan Timur), Mamuju
(Sulawesi Selatan), Paleleh, Bolang Mou Palu, Topak, dan Sumalata
(Sulawesi Utara).
2.3.5
Emas Berinduk Batuan Sedimen
Disebut juga endapan tipe carlin yang terbentuk oleh interaksi
antara sistem hidrotermal dengan struktur dan litologi tempat
terendapkannya emas. Model ini endapan ini merupakan endapan emas
halus pada batuan sedimen dan telah diusahakan di Amerika Serikat pada
1960-an. Jenis endapan ini biasanya berkadar sangat rendah untuk
ditambang sehingga tidak ekonomis.
Prospek emas tipe ini yang dapat dikembangkan di Indonesia
diantaranya terdapat Cikotok, Bayah, dan Gunung Limbung (Jawa Barat),
Tanjung Balit (Riau) serta Paleleh (Sulawesi Utara) yang terbentuk dalam
host rock batuan sedimen. Model cebakan di daerah ini yang selama ini
diusahakan adalah model cebakan emas epitermal.
2.4 Penambangan dan pengolahan
Tambang Batu Hijau adalah operasi tambang terbuka di mana
semua mineral berharga (tembaga, emas dan perak) ditambang dari
permukaan tanah dengan menggunakan berbagai peralatan tambang
seperti alat muat (shovel) dan truk pengangkut.
Penambangan di Batu Hijau diawali dengan kegiatan pengeboran dan
peledakan untuk memudahkan pengambilan bijih. Dengan peledakan,
batuan terlepas dari tanah dengan diameter rata-rata 25 cm. Dengan
menggunakan beberapa shovel berukuran besar, batuan dimuat ke dalam
truk berkapasitas maksimal 240 ton dan kemudian diangkut menuju ke
dua buah crusher (mesin penghancur). Di crusher, ukuran bijih batuan
diperkecil hingga berdiameter rata-rata kurang dari 15 cm. Bijih kemudian
diangkut ke pabrik pemrosesan mineral, sedangkan batuan berkadar lebih
rendah diangkut ke tempat penampungan, untuk menunggu giliran
pemrosesan pada waktu mendatang.
Dari crusher, bijih batuan diangkut dengan ban berjalan
sepanjang enam kilometer ke pabrik pengolahan yang disebut
konsentrator. Di konsentrator, mineral berharga dipisahkan dari batuan
pembawa melalui proses penggerusan dan flotasi. Bijih batuan, setelah
dicampur dengan air laut, kemudian digerus menggunakan dua
penggerus yang disebut Semi Autogenous (SAG) mill dan empat buah ball
mill. Setelah keluar dari ball mill, partikel halus yang terkandung dalam
slurry kemudian dipompa ke seperangkat tangki cyclone untuk pemisahan
akhir partikel bijih. Bubur bijih halus dari tangki cyclone dialirkan ke
sejumlah tangki untuk diambil kandungan mineral berharganya. Tangki ini
disebut sel flotasi.
Proses flotasi ini tidak menggunakan bahan kimia secara
berlebihan sehingga aman dan membantu meminimalkan dampak
lingkungan. Secara fisika, proses ini memisahkan mineral berharga dari
batuan pembawa dengan menggunakan gelembung udara dan reagent
dalam jumlah kecil.Terdapat dua jenis reagent yang ditambahkan dalam
proses flotasi di tangki. Jenis pertama akan mengikat mineral berharga,
sedangkan jenis kedua berfungsi untuk menstabilkan gelembung yang
terbentuk oleh proses pengadukan. Saat gelembung udara naik, mineral
berharga atau konsentrat akan ikut terangkat ke permukaan. Lapisan
gelembung ini diselimuti oleh mineral berharga yang berbentuk seperti
pasir. Lapisan yang terapung di permukaan sel flotasi inilah yang disebut
konsentrat. Dari sel flotasi, konsentrat dikirim ke tangki penghilangan
kadar garam yang disebut CCD (counter-current decantation). Di dalam
tangki ini air laut dibuang dan konsentrat dikentalkan dengan cara
mengalirkan air tawar secara berlawanan arah. Air tawar menggantikan
air laut dan konsentrat mengendap di dasar tangki.Konsentrat kemudian
mengalir melalui pipa sepanjang 17,6 km menuju ke fasilitas filtrasi atau
penyaringan di Benete. Konsentrat cair ini ditampung dalam tangki besar
dan diaduk terus menerus untuk menghindari terjadinya pengendapan.
Konsentrat kemudian disaring untuk membuang kandungan air dalam
konsentrat sampai dengan 91%, menggunakan udara bertekanan.Setelah
proses penyaringan, konsentrat akan berupa bubuk batuan halus atau
pasir dan disimpan dalam gudang untuk menunggu pengapalan.
Pemuatan konsentrat ke kapal menggunakan fasilitas ban berjalan.
Konsentrat akhirnya dikapalkan ke sejumlah pabrik peleburan
dalam negeri yakni ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur maupun ke luar
negeri (Jepang, Korea Selatan, India, Eropa) untuk menjalani proses
pemisahan dan pengambilan logam berharga, yaitu tembaga, emas dan
perak.
DASAR TEORI
2.1
Mula Jadi Emas
Terbentuk dalam berbagai kondisi geologi, endapan emas
tersebar dalam batuan–batuan berumur Tersier Akhir Pra Kambrium (2–
570 juta tahun) dan dapat dibedakan atas dua macam yaitu primer dan
skunder. Banyaknya gunung api dengan segala aktivitasnya serta iklim
tropis yang dimiliki Indonesia memungkinkan terdapatnya kedua jenis
endapan tersebut. Bijih (ore) emas terdapat dalam cebakan–cebakan
dengan bermacam–macam tipe di dalam batuan beku, sedimen, dan
malihan (metamorfik). Mineralisasinya terkait erat dengan adanya sumber
panas (heat source) dan batuan induk (hosted rock). Heat source
merupakan kegiatan magmatis yang berkembang kearah kegiatan
volkanisme, sedangkan batuan induk adalah batuan tempat
terendapkannya emas dan mineral bijih lainnya. Sebagian besar endapan
emas berasal dari proses magmatis atau pengkonsentrasian di
permukaan, beberapa endapan terbentuk karena proses metasomatisme
kontak dan larutan hidrotermal, sedangkan pengkonsentrasian secara
mekanis (faktor alam) menghasilkan endapan letakan (placer).
Secara regional Indonesia terbentuk akibat tumbukan dua
lempeng besar, yaitu lempeng pasifik di utara dan lempeng Australia di
selatan. Tumbukan tersebut mengakibatkan terbentuknya jalur gunung
api (volcanic arc). Diantara kedua lempeng tersebut terdapat jalur sesar
dan lipatan. Dibelakang jalur penunjaman (back arc subduction zone)
akan terbentuk rangkaian kegiatan magmatik dan gunung api serta
berbagai cekungan pengendapan. Pertemuan antara lempeng Indo–
Australia dan lempeng Eurasia menghasilkan jalur penunjaman di selatan
pulau jawa dan jalur gunung api Sumatra, Jawa, Nusatenggara, serta
cekungan lainnya seperti Cekungan Sumatra Utara, Sumatra Tengah,
Sumatra Selatan, dan cekungan jawa utara. Kondisi tatanan tektonik yang
lengkap tersebut menjadi pendukung bagi pembentukan mineralisasi
emas dan logam lainnya di Indonesia.
Pergerakan lempeng saling menjauh menyebabkan penipisan
dan perenggangan kerak bumi sehingga terjadi pengeluaran material
baru dari mantel membentuk jalur magmatik atau gunung api. Pada jalur
gunung api/magmatik biasanya akan terbentuk zona mineralisasi seperti
emas dan logam lainnya, sedangkan pada jalur penunjaman akan
ditemukan mineral yang lain pula. Setiap wilayah tektonik memiliki cirri
atau indikasi tertentu baik batuan, mineralisasi, struktur maupun
kegempaannya. Proses mineralisasi dapat terjadi karena kristalisasi
magma, sublimasi metasomatisme kontak dan sublimasi.
2.2
Karakteristik Emas
Warna emas alami bervariasi tergantung ukuran partikelnya.
Emas precipitated biasanya berwarna coklat, tetapi ada juga yang
mempunyai bayangan hitam, ungu, biru, dan merah muda (pink). Dalam
lembaran tipis, biasanya tembus cahaya dan memancarkan cahaya
kehijauan. Sebagai paduan, warna kuningnya bervariasi tergantung jenis
logam paduannya. Paduan emas–perak misalnya, membuat warna kuning
emas menjadi lebih muda, sedangkan dengan tembaga warna kuning
tersebut akan menjadi lebih tua atau agak kemerahan. Para ahli
perhiasan menyebut emas putih (monel) apabila emas dipadukan dengan
platinum sejumlah 25% atau 12% palladium.
Kemurnian emas diukur dengan karat, menunjukan seberapa
murni emas yang terkandung dalam suatu paduan. Satu karat sama
dengan 1/24 bagian emas atau 4,1667%, emas 24 karat berarti emas
murni, sedangkan 18 karat mengandung 18 bagian emas dan 6 bagian
paduan. Emas murni biasanya digunakan dalam industry karena sifatnya
yang lunak dan kuat tariknya 20.000 lb per inci kuadrat (encyclopedia
Britannica, 1768).
Sebagai logam bersifat lunak dan mudah ditempa (malleable),
emas memiliki kekerasan 2,5–3 skala mosh. Berat jenisnya bergantung
pada perlakuannya, jenis dan kandungan logam lain yang terpadu
dengannya. Sebagai contoh emas tuang mempunyai BJ 19.3, emas suling
19.26, drawn gold 19,25, cold rolled sheet 19.296 dan precipated gold by
CH2O 19,29. Titik leburnya adalah 1.045oC dan titik didihnya sekitar 2500
o
C (Mc Graw Hill Encyclopedia of science and technology). Dalam tabel
periodik , emas berada pada posisi kelompok B dari family I bersama
dengan perak dan tembaga. Posisi emas pada bagian bawah rangkaian
logam elektromotif mengindikasikan sifat unsur kimianya. Emas murni
biasanya mudah berlekuk, mudah dibengkokan, dan dapat ditempa
sampai dengan ketebalan 0,000001 mm.
Mineral pembawa emas yang penting adalah emas native dan
campuran, telurida, selenida, sulfide, dan antimonida. Mineral–mineral
pengotor yang umum dijumpai bersama bijjh emas adalah kuarsa selain
itu karbonat, turmalin dan flourit sering pula berasoisasi dengannya.
Emas umumnya terikat di dalam sulfida–sulfida logam dan hasil
pelapukannya. Sulfida yang dimaksudkannya antara lain pirit, kalkopirit,
galenit, stibnit, tetrahedrit, sfalerit, arsenopirit, dan molibdenit
2.3
Model dan jenis endapan emas di Indonesia
Model cebakan bijih merupakan pengetahuan tentang cebakan
bijih yang meliputi jenis, sifat, ganesa, karakteristik, dan proses–proses
yang berkaitan dengan pembentukannya, serta asosiasi tatanan
tektoniknya. Model cebakan bijih telah banyak dipelajari sejak lama. Salah
satu model yang disusun secara mudah dan menyeluruh dibuat oleh
Corbet dan Leach (1998). Model cebakan tersebut menggambarkan emas
yang berasoisasi dengan tembaga pada porifiri (batuan berbutir kasar
diakibatkan karena terbentuk jauh dibawah permukaan) dan skarn (jenis
endapan yang terjadi karena kontak dengan batuan yang bersifat reaktif),
emas berasosiasi dengan tembaga bersifat sulfida tinggi, emas sulfida
rendah (berhubungan dengan porifiri), emas berasoisasi dengan perak,
bersifat sulfida rendah, dan emas pada batuan sedimen. Model cebakan
emas Corbett dan Leach tersebut banyak ditemukan di Indonesia.
2.3.1 Emas Tembaga porifiri dan skarn
Emas–tembaga pada porifiri umumnya terletak dilingkungan
busur kepulauan (island arc) daerah tersebut mengalami penunjaman
(subduction) yang kuat sehingga terjadi pengendapan mineral porifiri
(kasar).
Skarn terbentuk pada daerah magmatisme yang mengintrusi
batugamping. Intrusi umumnya berhubungan dengan deposit–deposit
porifiri dari diorite, kuarsa, tonalit, monzoit, dan granodiorit. Intrusi ini
pada umumnya menjadi batuan beku dalam (stock) vertical (1-2 km).
Kebanyakan deposit emas–tembaga porifiri dan skarn terjadi pada sekitar
2 juta tahun yang lalu. Tatanan tektonik skarn banyak berhubungan
dengan sistem porifiri pada batas pemekaran lempeng (convergent plate
margin), terutama batas benua yang aktif bergerak (active continental
margin). Pada busur kepulauan, magma berkomposisi menengah
(intermediate)-basa yang berasosiasi dengan batugamping terumbu
sering menghasilkan skarn kaya magnetik.
Contoh cebakan emas yang berasosiasi dengan tembaga pada
porifiri dan skarn adalah Ertzberg, dan Grasberg (Papua), dan Batu Hijau
(NTB), Tambulilato (Sulawesi Utara) dan Kapatusan, Pulau Bacan, Kailaka,
Sayoang, Raiau, dan Pigaraja (Maluku), serta Tapanuli Selatan (Sumatra
Utara).
2.3.2 Emas Tembaga Sulfida Tinggi
Model endapan ini sama dengan endapan porifiri yaitu terdapat
di jalur gunung api dam hanya sedikit ditemukan di busur belakang. Emas
tembaga sulfida tinggi terbentuk ketika larutan asam panas yang
didominasi oleh gas reaktif yang berasal dari magma, uap, dan gas (H2O,
CO2, SO2, HCL, HF) naik dan berpindah secara vertikal dan lateral maupun
patahan/ struktur dan permeabilitas batuan dan bereaksi dengan batuan
serta pencampuran larutan. Endapan bijih emas ini berasoisasi dengan
batuan volkanik bersifat alkali. Jenis cebakannya adalah Lode emas
kuarsa dan epitermal.
Endapan emas epitermal berupa urat–urat hidrotermal kuarsa,
karbonat, barit, dan flourit yang mengandung emas native atau emas
telurida serta sejumlah perak. Endapan ini terbentuk sebagai akibat
pengisian rongga-rongga oleh larutan hidrotermal dan umumnya banyak
terjadi pada batuan–batuan volkanik tersier yang mengalami alterasi
kuat. Cebakan yang prospek untuk model mineralisasi ini terdapat di
Miwah, bagiam Kepala burung dan Bomberai (Papua), dan rinca dan
Watuasa (NTT).
2.3.3 Emas Sulfida Rendah
Emas kuarsa sulfida rendah terbentuk pada tatanan tektonik
yang sama dengan sistem porifiri yaitu (umumnya) di busur vulkanik dan
hanya sedikit ditemukan di busur belakang. Saat pembentukannya terjadi
pada tahap akhir sistem porifiri atau proses intrusi yang terdapat di
sekeliling intrusi (samping atau atas). Kenampakan di lapangan berupa
urat kuarsa maupun breaksi dengan tebal beberapa sentimeter sampai
beberapa meter. Kuarsa pada sistem ini biasanya kasar dan banyak
mengandung sulfida (> 1 %) seperti pirit, kalkiopirit, galena, sfalerit,
arenopirit, hematite, dan magnetit yang berpenampilan Kristal bagus.
Contoh cebakan jenis ini di Indonesia ada di Arinem (garut), Cikondang
(cianjur), Jampang (Jawa Barat), Bengkayang (Kalimantan Barat), dan
Kokap (Kulon Progo).
2.3.4 Emas Epitermal Emas – Perak – Kuarsa – Adularia Sulfida
Rendah
Emas pada umumnya diendapkan oleh proses pencampuran
larutan sisa magma dengan air meteoric, namun beberapa cebakan
mengindikasikan proses pemanasan. Emas umumnya muncul dalam
bentuk electrum, telurida, atau terikat oleh mineral sulfida. Jenis endapan
yang biasa terjadi pada model cebakan emas ini diantaranya adalah lode
emas kuarsa dan epitermal. Cebakan ini (terutama pada tipe urat)
biasanya berkadar emas tinggi (10 – 30 g/ton) dan banyak yang telah
ditambang. Contoh cebakan model ini di Indonesia terdapat di Gosowong
(Maluku selatan), Gunung Pongkor dan Tasikmalaya (Jawa Barat), Gunung
Muro (Kalimantan Timur), Mangani, Gunung Arum, Salida, Sungai Pagu,
dan Belimbing (Sumatra Barat), Bukit Kelian (Kalimantan Timur), Mamuju
(Sulawesi Selatan), Paleleh, Bolang Mou Palu, Topak, dan Sumalata
(Sulawesi Utara).
2.3.5
Emas Berinduk Batuan Sedimen
Disebut juga endapan tipe carlin yang terbentuk oleh interaksi
antara sistem hidrotermal dengan struktur dan litologi tempat
terendapkannya emas. Model ini endapan ini merupakan endapan emas
halus pada batuan sedimen dan telah diusahakan di Amerika Serikat pada
1960-an. Jenis endapan ini biasanya berkadar sangat rendah untuk
ditambang sehingga tidak ekonomis.
Prospek emas tipe ini yang dapat dikembangkan di Indonesia
diantaranya terdapat Cikotok, Bayah, dan Gunung Limbung (Jawa Barat),
Tanjung Balit (Riau) serta Paleleh (Sulawesi Utara) yang terbentuk dalam
host rock batuan sedimen. Model cebakan di daerah ini yang selama ini
diusahakan adalah model cebakan emas epitermal.
2.4 Penambangan dan pengolahan
Tambang Batu Hijau adalah operasi tambang terbuka di mana
semua mineral berharga (tembaga, emas dan perak) ditambang dari
permukaan tanah dengan menggunakan berbagai peralatan tambang
seperti alat muat (shovel) dan truk pengangkut.
Penambangan di Batu Hijau diawali dengan kegiatan pengeboran dan
peledakan untuk memudahkan pengambilan bijih. Dengan peledakan,
batuan terlepas dari tanah dengan diameter rata-rata 25 cm. Dengan
menggunakan beberapa shovel berukuran besar, batuan dimuat ke dalam
truk berkapasitas maksimal 240 ton dan kemudian diangkut menuju ke
dua buah crusher (mesin penghancur). Di crusher, ukuran bijih batuan
diperkecil hingga berdiameter rata-rata kurang dari 15 cm. Bijih kemudian
diangkut ke pabrik pemrosesan mineral, sedangkan batuan berkadar lebih
rendah diangkut ke tempat penampungan, untuk menunggu giliran
pemrosesan pada waktu mendatang.
Dari crusher, bijih batuan diangkut dengan ban berjalan
sepanjang enam kilometer ke pabrik pengolahan yang disebut
konsentrator. Di konsentrator, mineral berharga dipisahkan dari batuan
pembawa melalui proses penggerusan dan flotasi. Bijih batuan, setelah
dicampur dengan air laut, kemudian digerus menggunakan dua
penggerus yang disebut Semi Autogenous (SAG) mill dan empat buah ball
mill. Setelah keluar dari ball mill, partikel halus yang terkandung dalam
slurry kemudian dipompa ke seperangkat tangki cyclone untuk pemisahan
akhir partikel bijih. Bubur bijih halus dari tangki cyclone dialirkan ke
sejumlah tangki untuk diambil kandungan mineral berharganya. Tangki ini
disebut sel flotasi.
Proses flotasi ini tidak menggunakan bahan kimia secara
berlebihan sehingga aman dan membantu meminimalkan dampak
lingkungan. Secara fisika, proses ini memisahkan mineral berharga dari
batuan pembawa dengan menggunakan gelembung udara dan reagent
dalam jumlah kecil.Terdapat dua jenis reagent yang ditambahkan dalam
proses flotasi di tangki. Jenis pertama akan mengikat mineral berharga,
sedangkan jenis kedua berfungsi untuk menstabilkan gelembung yang
terbentuk oleh proses pengadukan. Saat gelembung udara naik, mineral
berharga atau konsentrat akan ikut terangkat ke permukaan. Lapisan
gelembung ini diselimuti oleh mineral berharga yang berbentuk seperti
pasir. Lapisan yang terapung di permukaan sel flotasi inilah yang disebut
konsentrat. Dari sel flotasi, konsentrat dikirim ke tangki penghilangan
kadar garam yang disebut CCD (counter-current decantation). Di dalam
tangki ini air laut dibuang dan konsentrat dikentalkan dengan cara
mengalirkan air tawar secara berlawanan arah. Air tawar menggantikan
air laut dan konsentrat mengendap di dasar tangki.Konsentrat kemudian
mengalir melalui pipa sepanjang 17,6 km menuju ke fasilitas filtrasi atau
penyaringan di Benete. Konsentrat cair ini ditampung dalam tangki besar
dan diaduk terus menerus untuk menghindari terjadinya pengendapan.
Konsentrat kemudian disaring untuk membuang kandungan air dalam
konsentrat sampai dengan 91%, menggunakan udara bertekanan.Setelah
proses penyaringan, konsentrat akan berupa bubuk batuan halus atau
pasir dan disimpan dalam gudang untuk menunggu pengapalan.
Pemuatan konsentrat ke kapal menggunakan fasilitas ban berjalan.
Konsentrat akhirnya dikapalkan ke sejumlah pabrik peleburan
dalam negeri yakni ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur maupun ke luar
negeri (Jepang, Korea Selatan, India, Eropa) untuk menjalani proses
pemisahan dan pengambilan logam berharga, yaitu tembaga, emas dan
perak.