bahan tutorial 1

SINUSITIS
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.Sinusitis
didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus parasanal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis
sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus
parasanal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan
sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka
infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya
karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan
asma yang sulit diobati (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

1.

Etiologi dan faktor predisposisi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis ormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti

deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi
gigi, kelainan imunologi, diskinesia silia seperti pada sindroma kartagener dan di luar negeri adalah
penyakit fibrosis kistik (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu
dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya.
Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering
serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).

2.

Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mokosiliar (muccociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial
dan zat-zat yang bersifat sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa

yang berhadapan akan saling bertemu seingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis
akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Jika terapi ini tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut
terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan ini merupakan
rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
polipoid, atau pembentuka polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
3.

Klasifikasi dan Mikrobiologi

Konsesus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai 8
minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan
batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan

(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan dengan lanjutan dari
sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor predisposisi
harus dicari dan diobati secara tuntas (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah
Streptococcus Pneumonia (30-50%). Hemophylus Influenzae (20-40%) dan Moraxella Catarhallis
(4%). Pada anak, M. Catarhallis lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik, faktor
predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri negatif
gram dan anaerob (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

4.

SINUSITIS DENTOGEN

Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga
sinusmaksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa
tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflasi jaringan
periodontal muda menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi
arus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga
perlu dilakukan irigasi sinus maksila (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

5.

Gejala Sinusitis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersembut disertai nyeri/rasa tekanan pada
muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan (post nasal drip). Dapat disertai
gejalah sistemik seperti demam dan lesu (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Keluhan nyeri dan rasa tekanan di daera sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis
akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan
sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke dua bola mata menandakan sinusitis etmoid,
nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan
di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang
adalah nyeri alih ke gigi dan telinga (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Gejala lain adalah sakit kepala, hipossmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang

menyebabkan batuk dan sesak napas pada anak (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosisi. Kadang-kadang hanya 1 atau
2 dari gejala-gejala di bawa ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorokan, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru
seperti bronkitis (sino-bronkitis) bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang
meningkat sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
6.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskoi
sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus
medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis
etmoid posterior dan sfenoid) (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan
dan kemerahan di daerah kantus medius (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi

waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus
maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau
penebalan mukosa (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
CT scan sinus merupakan gold standartd diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi
hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Namun karema hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusits kronik yang tidak membaik
dengan pengobatan dan pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan
suda jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari
meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotikyang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil
sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi yang menembus dinding medial sinus maksila melalui
meatus inferior, dengan alat endoskop, bisa dilihat kodisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya
dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

7.

Terapi


Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat pertumbuhan 2) mencegah komplikasi dan 3)
mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga
drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan embengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik
yang dipilih adalah golongan pinisilin seperti amoksisislin. Jika diperkirakan kuman telah resisten
atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis
sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selam 10-14 hari meskipun gejala klinik
sudah hilang (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob.Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika perlukan seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan
(diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan
sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi
sinus maksila atau Proesz displacement therapy juga merupaknan terapi tambahan yang dapat
bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
8.


Tindakan Operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis
kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus
terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tindakan
radikal (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis
kronik disertai kista aau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta
sinusitis jamur (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

9.

Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi
berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa
komplikasi orbita atau intrakranial (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Kelainan orbita

Kelainan intrakranial.

Osteomielitis dan abses
subperiostal.

disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).
Yang paling sering ialah sinusitis etmoid kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat
terjadi trombosis sinus kavernosus (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral

Kelainan paru

aau fistula pada pipi (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain
itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar

dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Rusmarjono, Soepardi,
2007).

RINITIS
Rhinitis dikenal juga sebagai Common cold, Coryza, Cold atau selesma adalah salah satu
penyakit IRA-atas tersering pada anak. Anak-anak lebih sering mengalami rhinitis daripada dewasa.
Rata-rata mereka mengalami 6-8 kali rhinitis per tahun, sedangkan orang dewasa 2-4 kali per tahun.
Selama tahun pertama kehidupan, anak laki-laki lebih sering mengalami rinitis daripada anak
perempuan. Penyakit ini juga merupakan penyebab terbanyak yang menyebabkan anak tidak dapat
pergi kesekolah.
Rinitis dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi insidensinya tergantung pada musim. Di belahan
bumi utara, insidens rinitis meningkat. Rinitis tetap tinggi selama musim dingin, dan menurun pada
musim semi, sedangkan di daerah tropis, rinitis terutama terjadi pada musim hujan.
Rinitis adalah penyakit infeksi virus akut yang sangat menular. Rinitis ditandai dengan pilek,
bersin, hidung tersumbat, dan iritasi tenggorokan, serta dapat disertai dengan atau tanpa demam.
Hampir semua rinitis disebabkan oleh virus. Virus penyebab tersering adalah Rhinovirus, sedangkan
virus lain adalah virus parainfluenza, respiratory syncytial virus (RSV), dan Coronavirus. Dengan
demikian antibiotik tidak diperlukan dalam tatalaksana rinitis. Hanya dalam keadaan tertentu saja
bakteri berperan dalam rinitis, yaitu jika merupakan bagian dari faringitis seperti pada rinofaringitis
(nasofaringitis).


Definisi
Rinitis merupakan istilah konvensional untuk infeksi saluran pernapasan atas ringan dengan
gejala utama hidung buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri tenggorok, dan batuk. Infeksi ini
terjadi secara akut, dapat sembuh spontan, dan merupakan penyakit yang paling sering diderita
manusia. Di Amerika serikat, lebih kurang 25 juta pasien per tahun datang ke dokter karena infeksi
saluran pernapasan atas tanpa komplikasi.
Rinitis merupakan penyakit akut yang sangat infeksius, dan biasanya disebabkan oleh virus.
Salah satu virus penyebab rinitis adalah virus influenza, sehingga terdapat salah pengertian
penyebutan rinitis dengan flu, yang merupakan nama lain dari influenza. Pada kenyataannya, ada
banyak jumlah virus yang dapat menyebabkan rinitis, misalnya Rhinovirus, Adenovirus, virus
parainfluenza, respiratory syncytial virus (RSV), dan lain-lain.
Kumpulan gejala yang terdapat pada penyakit ini adalah hidung tersumbat, bersin, coryza
(inflamasi mukosa hidung dan pengeluaran sekret). Iritasi faring, serta dapat pula dijumpai demam
yang tidak terlalu tinggi. Melihat kumpulan gejala tersebut, maka terminologi selesma lebih sesuai
daripada rinitis, coryza, atau nasofaringitis 9terminologi yang bisa dipakai di literatur). Terminologi
rinitis terlalu berfokus pada kelainan hidung, terminologi nasofaringitis seakan-akan lebih mengarah

pada gejala dihidungdan infeksi pada faring, walaupun pada keadaan sebenarnya bukan hanya itu
yang terjadi. Akan tetapi, beberapa literatur masih menggunakan nasofaringitis untuk membicarakan
rinitis.

Etiologi
Beberapa virus telah teridentifikasi sebagai penyebab rinitis. Rhinovirus, RSV, virus
influenza, virus parainfluenza, dan Adenovirus merupakan penyebab rinitis tersering pada anak usia
rasekolah. Persentase virus-virus ini sebagai penyebab rinitis bervariasi antara penelitian yang satu
dengan yang lainnya. Hal ini mungkin dikarenakan perbedaan waktu dilakukan penelitian, metode
pengambilan sampel, dan pemeriksaan, serta usia subjek penelitian. Meskipun demikian, Rhinovirus
merupakan penyebab rinitis tersering pada semua usia, apapun metode pemeriksaannya. Rhinovirus
yang mempunyai lebih dari 100 serotipe merupakan penyebab 30-50% rinitis per tahun, dan dapat
mencapai 80% selama musim semi.
Meskipun jarang, rinitis dapat juga disebabkan oleh enterovirus (echovirus dan
Coxsackievirus) dan Coronavirus. Coronavirus ditemukan pada 7-18% orang dewasa dengan infeksi
saluran pernapasan atas. Human metapneumovirus, virus yang relatif baru ditemukan, selain diketahui
menyebabkan pneumonia dan bronkiolitis, dapat juga menyebabkan infeksi saluran pernapasan-atas
ringan. Pada sekitar 5% pasien dengan rinitis, ditemukan dua atau lebih virus pada saat yang
bersamaan; sedangkan 20-30% rinitis tidak diketahui penyebabnya. Etiologi rinitis berdasarkan
kekerapannya dapat dilihat pada tabel berikut:

Katagori
Penyebab rinitis terbanyak

Dapat menyebabkan rinitis

Jarang menyebabkan rinitis

Klasifikasi
Rinitis Alergi

Mikroorganisme
Rhinovirus
Virus parainfluenza
RSV
Coronavirus
Adenovirus
Enterovirus
Virus influenza
Virus parainfluenza
Reovirus
Myocoplasma pneumoniae
Coccidioides immitis
Histoplasma capsulatum
Bordatella pertussis
Chlamydia psitacci
Coxiella burnetti

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alregen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986)
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE

Klasifikasi Rinitis Alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis
alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya
spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah
polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung
dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi)
2. rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau
terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi karena lebih persisten maka komplikasimya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2.
sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Rinitis vasomotor
Adalah suatu keadaan idpatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia,
perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, betablocker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan.

Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE
spesifik serum)
Kelainan ini disebut juga Vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor
instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis.
Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan
untuk menerangkan patofisiologi rinitis vasomotor :
1.
2.
3.
4.

Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Neuropeptida
Nitrik Oksida
Trauma

Rinitis medikamentosa
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respons normal
vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot
hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).

Patofisiologi
Rhinitis vasomotor
Perangsangan saraf parasimpatis  melepaskan asetilkolin  dilatasi pembuluh darah dalam
konka, peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar  rhinitis
Rhinitis alergi
Paparan berulang allergen  release mediator kimia (histamine), dilatasi pembuluh darah,
peningkatan permeabilitas kapiler, aktivasi sel – sel kelenjar  rhinitis
Rhinitis medikamentosa
Pemakaian obat terus menerus  dilatasi berulang  obstruksi  peningkatan mukosa
jaringan  sumbatan menetap  rhinitis

Diagnosis dan gejala klinis
Rhinitis akut


ANAMNESIS

Pada anamnesis dijumpai keluhan sesuai dengan stadium yang dialami pasien,
pasien bias datang dengan stadium apapun, dan berbagai macam gejala seperti demam,
bersin – bersin, mialgia dll.


PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik, dapat dilakukan evaluasi terhadap warna sputum
pasien.



PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jarang dilakukan tetapi, pada rhinitis akut dapat dilakukan kultur secret ataupun
swab mukosa.

Rhinitis vasomotor


ANAMNESIS
Pasien biasanya datang dengan keluhan hidung tersumbat, kadang bersin,
sering mengalami kekambuhan apabila udara dingin, namun tidak memiliki riwayat
alergi.



PEMERIKSAAN FISIK dan PENUNJANG
a. Rinoskopi anterior (pada saat serangan) menunjukkan edema cavum nasi, konka
terlihat merah dan gelap atu terkadang pucat.
b. Tes adrenalin untuk membedakan dengan jenis medikamentosa
c. Tes kulit untuk membedakan dengan jenis alergi
d. Swab secret didapatkan eosinifil
e. Transiluminasi

Rhinitis alergi


ANAMNESIS
Pasien dapat datang dengan salah satu gejala seperti berikut, rasa gatal di
hidung, mata, palatum molle, bersin – bersin (paroksismal dominan  >5x serangan
dengan secret encer dan hidung buntu), gangguan pembau, mata berair, sakit kepala,
gejala demam, dengan disertai riwayat keluarga (+).



PEMERIKSAAN FISIK dan PENUNJANG
a. Rinoskopi anterior didapatkan konka edema dan pucat, secret seromucin
b. Test kulit, ditemukan eosinofil secret hidung (positif bila > 25%), eosinofil darah
(positif bila >400/mm3), IgE total serum (positif bila > 200IU)
c. X foto water jika dicurigai sinusitis

Rhinitis medikamentosa


ANAMNESIS
Didapatkan gejala berupa hidung tersumbat terus menerus, dan berair



PEMERIKSAAN FISIK dan PENUNJANG
a. Rinoskopi anterior didapatkan konka edema (hipertrofi), banyak secret yang
dihasilkan
b. Tes adrenalin didapatkan hasil negative (edema konka tidak berkurang)

Terapi
Rhinitis akut
a.
b.

c.

Local  diberikan uap hangat atau tetes hidung (dekongestan)
Umum  istirahat, Terapi simptomatik (antipiretik, antihistamin, mukolitik), antibiotic
Atau dapat dengan mengobatai sesuai stadium yang dialami pasien. Stadium prodormal
dan hiperemis dapat diatasi dengan istirahat, tetapi jika gejala berat dapat diberikan obat
simtomatik. Apabila pasien dalam stadium infeksi sekunder perlu diberikan antibiotic.
Tambahan  imunisasi

Rhinitis vasomotor
a.
b.
c.

Hindari factor predisposisi
Peningkatan kondisi tubuh dengan olahraga, gizi baik, istirahat.
Simtomatik, seperti dengan memberikan antihistamin dan dekongestan oral, sebelum
tidur malam/serangan atau dengan tetes hidung kaustik konka inferior, konkotomi, dan
konka inferior.

Rhinitis alergi
a.
b.
c.
d.
e.

Hindari penyebab
Meningkatkan kondisi tubuh
Simtomatis dengan antihistamin, dekongestan atau steroid.
Imunoterapi
Terapi komplikasi

Rhinitis medikamentosa
a.
b.
c.
d.

hentikan pemakaian obat pemicu
kortikosteroid
dekongestan oral
operatif jika tidak ada perbaikan selama 3 minggu

Komplikasi
Rhinitis akut  sinusitis paranaslis, occlusion tubae (otitis media), faringitis, bronchitis, pneumonia
Rhinitis alergika  sinusitis paranasales, polip hidung, otitis media

POLIP NASI
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan polip berwarna
putih bening atau keabu – abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip
edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah –
merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).
Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang
berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan
disebut polip koanal.
Polip nasi muncul seperti anggur pada rongga hidung bagian atas, yang berasal dari dalam kompleks
ostiomeatal. Polip nasi terdiri dari jaringan ikat longgar, edema, sel-sel inflamasi dan beberapa
kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis epitel, terutama epitel pernafasan
pseudostratified dengan silia dan sel goblet.
Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3% (Drake Lee 1997, Ferguson et
al.2006). Polip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi
biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih
sering terjadi pada pria. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3%
di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1.
Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi
pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui
dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal
seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan
lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke
dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan
sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah.
Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak –
anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi
konka.
Patofisiologi
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di
daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga
mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab
makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk
tangkai, sehingga terbentuk polip.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering
adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama
dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi

ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama
polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus
membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan
pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai
riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak
terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat
sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa
menyebabkan obstruksi di meatus media.
Gejala Klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada
sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini
menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan
keluhan nyeri kepala dan rinore.
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di
hidung.
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung
yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka polipoid
ialah :
Polip :
- Bertangkai
- Mudah digerakkan
- Konsistensi lunak
- Tidak nyeri bila ditekan
- Tidak mudah berdarah
- Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis polip nasi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior,
pemeriksaan nasoendoskopi.
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus namun dapat bervariasi
tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar ingus encer dan post nasi drip. Anosmia dan
hiposmia juga menjadi ciri dari polip nasi. Sakit kepala jarang terjadi pada polip nasi.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa polipoid, licin, berwarna
pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi
tidak sensitif terhadap palpasi dan tidak mudah berdarah.
Pemeriksaan nasoendoskopi memberikan visualisasi yang baik terutama pada polip yang kecil di
meatus media.
Polip nasi hampir semuanya bilateral dan bila unilateral membutuhkan pemeriksaan histopatologi
untuk menyingkirkan keganasan atau kondisi lain seperti papiloma inverted. Pada pemeriksaan
histopatologi, polip nasi ditandai dengan epitel kolumnar bersilia, penebalan dasar membran, stoma
edematous tanpa vaskularisasi dan adanya infiltrasi sel plasma dan eosinofil. Eosinofil dijumpai
sebanyak 85% pada polip dan sisanya merupakan neutrofil.

Penatalaksanaan
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :
1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian
dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap 5 – 7
hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk rinitis
alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn kortikosteroid per
oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi)
dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan
drenase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus
paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu,
pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya
perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan.
Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah pemberian
dekongestan dan anestesi lokal.
Pada kasus polip yang berulang – ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh
karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada dua cara, yakni :
1. Intranasal
2. Ekstranasal
Prognisis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi
adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak.
Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat
dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan
apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
ANATOMI SALURAN NAPAS

1.

Hidung






Hidung meliputi bagian eksternal yang menonjol dari wajah dan bagian internal berupa rongga
hidung sebagai alat penyalur udara. Hidung bagian luar tertutup oleh kulit dan disupport oleh
sepasang tulang hidung. Rongga hidung terdiri atas :
Vestibulum yang dilapisi oleh sel submukosa sebagai proteksi
Dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai penapis udara
Struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar karena strukturnya yang
berlapis
Sel silia yang berperan untuk mlemparkan benda asing ke luar dalam usaha untuk
membersihkan jalan napas (Seeley,2004)

Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung kanan dan
kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Masing-masing rongga hidung dibagi
menjadi 3 saluran oleh penonjolan turbinasi atau konka dari dinding lateral. Rongga hidung dilapisi
dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung.
Lendir di sekresi secara terus-menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung
dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. (Seeley,2004)
Rongga hidung dimulai dari Vestibulum, yakni pada bagian anterior ke bagian posterior yang
berbatasan dengan nasofaring. Rongga hidung terbagi atas 2 bagian, yakni secara longitudinal oleh
septum hidung dan secara transversal oleh konka superior, medialis, dan inferior. (Seeley,2004)
Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru. Jalan napas ini
berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirupkan
ke dalam paru-paru. Hidung bertanggung jawab terhadap olfaktori atau penghidu karena reseptor
olfaksi terletak dalam mukosa hidung. Fungsi ini berkurang sejalan dengan pertambahan usia.
(Seeley,2004)
Terdapat 3 fungsi Rongga Hidung, antara lain :
a.

Dalam hal pernafasan, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung akan menjalani tigs proses
yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan pelembaban. Penyaringan dilakukan oleh
membran mukosa pada rongga hidung yang sangat kaya akan pembuluh darah dan glandula
serosa yang mensekresikan mukus cair untuk membersihkan udara sebelum masuk ke
Oropharynx. Penghangatan dilakukan oleh jaringan pembuluh darah yang sangat kaya pada
ephitel nasal dan menutupi area yang sangat luas dari rongga hidung. Dan pelembaban
dilakukan oleh concha, yaitu suatu area penonjolan tulang yang dilapisi oleh mukosa.
(Seeley,2004)

b.

Epithellium olfactory pada bagian meial rongga hidung memiliki fungsi dalam penerimaan
sensasi bau. (Seeley,2004)

c.

Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukkan suara-suara fenotik dimana ia
berfungsi sebagai ruang resonansi. (Seeley,2004)

2.

Faring

Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm yang menghubungkan
nasal dan rongga mulut kepada larynx pada dasar tengkorak.

nasofaring

orofaring



ada saluran penghubung antara nasopharinx dengan telinga bagian
tengah, yaitu Tuba Eustachius dan Tuba Auditory



ada Phariyngeal tonsil (adenoids), terletak pada bagian posterior
nasopharinx, merupakan bagian dari jaringan Lymphatic pada
permukaan posterior lidah

Merupakan bagian tengah faring antara palatum lunak dan tulang hyoid.
Refleks menelan berawal dari orofaring menimbulkan dua perubahan,
makanan terdorong masuk ke saluran pencernaan (oesephagus) dan secara
simultan katup menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam
saluran pernapasan (Seeley,2004)

laringofaring

3.

Merupakan posisi terendah dari faring. Pada bagian bawahnya, sistem
respirasi menjadi terpisah dari sistem digestil. Makanan masuk ke bagian
belakang, oesephagus dan udara masuk ke arah depan masuk ke laring.

Laring

Laring tersusun atas 9 Cartilago ( 6 Cartilago kecil dan 3 Cartilago besar ). Terbesar adalah
Cartilago thyroid yang berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami penonjolan
membentuk “adam’s apple”, dan di dalam cartilago ini ada pita suara. Sedikit di bawah cartilago
thyroid terdapat cartilago cricoid. Laring menghubungkan Laringopharynx dengan trachea,
terletak pada garis tengah anterior dari leher pada vertebrata cervical 4 sampai 6. (Seeley,2004)

Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga
melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk. Laring sering
disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas:

Epiglotis

daun katup kartilago yang menutupi ostium ke arah laring selama
menelan

Glotis

ostium antara pita suara dalam laring

Kartilago Thyroid

kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari kartilago ini membentuk
jakun ( Adam’s Apple )

Kartilago Krikoid

satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring (terletak di
bawah kartilago thyroid )

Kartilago Aritenoid

digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartilago thyroid

Pita suara

ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi
suara; pita suara melekat pada lumen laring. (Seeley,2004)

Ada 2 fungsi lebih penting selain sebagai produksi suara, yaitu :
a.

Laring sebagai katup, menutup selama menelan untuk mencegah aspirasi cairan atau benda padat
masuk ke dalam tracheobroncial

b.

Laring sebagai katup selama batuk

4.

Trakea

Trakea merupakan suatu saluran rigid yang memeiliki panjang 11-12 cm dengan diametel
sekitar 2,5 cm. Terdapat pada bagian oesephagus yang terentang mulai dari cartilago cricoid masuk ke
dalam rongga thorax. Tersusun dari 16 – 20 cincin tulang rawan berbentuk huruf “C” yang terbuka
pada bagian belakangnya. Didalamnya mengandung pseudostratified ciliated columnar epithelium
yang memiliki sel goblet yang mensekresikan mukus. Terdapat juga cilia yang memicu terjadinya
refleks batuk/bersin. Trakea mengalami percabangan pada carina membentuk bronchus kiri dan
kanan. (Seeley,2004)

PERBEDAAN SALURAN NAPAS ANAK DAN DEWASA

Tuba Eustachius
Tuba eutachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi, drenase secret dan menghalangi masuknya secret
dari nasofaring ke telinga tengah. Bila tuba terbuka maka terasa udara masuk ke dalam rongga telinga
tengah yang menekan membran timpani ke arah lateral. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen diperlukan masuk
ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap.gangguann fungsi tuba dapat
terjadi oleh beberapa hal, seperti tuba terbuka abnormal yang memungkinkan infeksius bisa masuk.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizotal dari tuba orang
dewasa. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 17,5 mm.
Perbedaan inilah yang memungkinkan lebih cepat terjadinya infeksi pada anak dibawah 9 bulan
karena secret lebih cepat masuk ke tuba eutachius dari hidung sehingga kemungkinan anak untuk
terkena infeksi telinga lebih besar seperti otitis media. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laring
Ukuran laring bayi sama pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi lebih kecil
perbandingannya dengan ukuran tubuh daripada laring dewasa. Pada bayi, kerangka tulang rawang
laring lebih lunak, dan ligamen yang menyangganya lebih longgar, membuat laring lebih mudah
mengempis jika mendapat tekanan negatif di bagian dalam. (Ballenger,1994)

Bagian laring

Anak

Pubertas

Dewasa
Pria

Wanita

Pita suara



Glotis

Panjang
Bag. Membran
Bag. Kartilago


Lebar istirahat

Maksimum
Infraglotis



Sagital
Transversal

6-8 mm

12-15 mm

17-23 mm

12,5-17 mm

3-4 mm

7-8 mm

11,5-16 mm

8-11,5 mm

3-4 mm

5-7 mm

5,5-7 mm

4,5-5,5 mm

3 mm

5 mm

8 mm

6 mm

6 mm

12 mm

19

13 mm

5-7 mm

15 mm

25 mm

18 mm

5-7 mm

15 mm

24 mm

17 mm

Jaringan epithel krang padat, lebih banyak dan lebih bervaskuler pada bayi, yang cendrung
mengakumulasi cairan jaringan. Hal ini merupakan faktor penting penyebabterjadinya obstruksi
daerah infraglotik dan supraglotik akibat edem inflamasi pada anak kecil. (Ballenger,1994)
Beberapa struktur laring mempunyai perbedaan bentuk pada bayi. Epiglotis cendrung
berbentuk huruf omega, maka akan cendrung lebih besar untuk menutup vestibulum bila terjadi
edema. Tepi epiglotis yang berbentuk huruf omega kurang menopang plika ariepiglotik dibandingkan
tepi epiglotis yang rata pada orang dewasa yang dapat membantumenahan plikaariepiglotik tersebut
pada posisi lateral. (Ballenger,1994)