Inclusive Green Economy Di Provinsi Kalimantan Timur Trade Off Antara Pengurangan Emisi Dan Kinerja Ekonomi

INCLUSIVE GREEN ECONOMY
DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR: TRADE-OFF ANTARA
PENGURANGAN EMISI DAN KINERJA EKONOMI

YUSNIAR JULIANA NABABAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Inclusive Green
Economy di Provinsi Kalimantan Timur: Trade-off antara Pengurangan Emisi dan
Kinerja Ekonomi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Yusniar Juliana Nababan
NRP. H0162100101

RINGKASAN
YUSNIAR JULIANA NABABAN. Inclusive Green Economy di Provinsi
Kalimantan Timur: Trade-off antara Pengurangan Emisi dan Kinerja Ekonomi.
Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT, BAMBANG JUANDA dan SLAMET
SUTOMO.
Konsep inclusive green economy atau ekonomi hijau inklusif merupakan
pengembangan dari konsep ekonomi hijau, yang dipahami sebagai suatu cara yang
menyatukan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan (Poverty-Environment Partnership/PEP 2012).
Ekonomi hijau inklusif merupakan konsep pembangunan yang memberikan saran
agar pembangunan ekonomi perlu mempertimbangkan ekonomi yang ramah
lingkungan dan juga berimplikasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat, atau
yang disebut sebagai triple bottom line. Konsep kebijakan ekonomi hijau
diperkirakan mampu menciptakan peningkatan pengelolaan asset lingkungan
dengan mengurangi polusi dan degradasi lingkungan serta menjamin terjadinya

distribusi manfaat yang berkeadilan.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan ekonomi hijau tersebut telah
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut dikenal sebagai
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup (Makmun,
2011). Strategi dari kebijakan tersebut dituangkan dalam dokumen Indonesia
Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) yang diterbitkan oleh Bappenas,
yang memuat strategi sembilan sektor dalam menghadapi tantangan perubahan
iklim hingga tahun 2030 ke depan. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah
membuat perencanaan target penurunan emisi tersebut dalam dokumen Rencana
Aksi Nasional Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang diatur dalam
Peraturan Presiden (PerPres) No. 61 Tahun 2011.
Sebagai respon terhadap kebijakan nasional dalam mengurangi emisi,
maka Provinsi Kalimantan Timur memiliki komitmen guna berkontribusi secara
aktif. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyusun Rencana Aksi
Daerah untuk Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) pada tahun 2012.
Pengurangan emisi di Kalimantan Timur menjadi penting, karena Provinsi ini
termasuk dalam penghasil emisi terbesar ketiga di Indonesia. Kinerja ekonomi
Kalimantan Timur yang baik, diikuti dengan munculnya eksternalitas lingkungan
berupa emisi, serta masalah sosial seperti distribusi pendapatan.
Terkait dengan uraian dan permasalahan di atas, penelitian memiliki tiga

tujuan:(1) mengestimasi dampak kebijakan pengurangan emisi terhadap kinerja
ekonomi dan tingkat emisi di Kalimantan Timur; (2) mengestimasidampak
penerapan kebijakan pengurangan emisi terhadap distribusi pendapatan
masyarakat; dan (3) mengestimasi dampak kebijakan perdagangan emisi terhadap
kinerja ekonomi, tingkat emisi dan distribusi pendapatan.
Beberapa skenario kebijakan dilakukan dengan menggunakan berbagai data,
baik yang berasal dari Pemerintah Daerah maupun berbagai sumber data lainnya.
Target ekonomi dan sosial ditentukan berdasarkan data target pertumbuhan dan
penyerapan tenaga kerja yang berasal dari dokumen RPJMD Kalimantan Timur.

Target lingkungan ditentukan berdasarkan besaran target mitigasi emisi dari
dokumen RAD GRK Kalimantan Timur.
Tujuan pertama penelitian dijawab dengan menggunakan model Goal
Programming untuk memperoleh kinerja ekonomi yang optimal dengan adanya
penerapan kebijakan pengurangan emisi. Model Reduced Form SAM digunakan
untuk menganalisis dampak perubahan output yang disebabkan kebijakan
pengurangan emisi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Model Linear
Programming digunakan untuk mengestimasi manfaat ekonomi yang dapat
diperoleh dari penerapan kebijakan perdagangan emisi dalam rangka mencapai
target pengurangan emisi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:(1) terjadi perlambatan ekonomi
akibat penerapan kebijakan pengurangan emisi atau terdapat trade-off antara
pengurangan emisi dan kinerja ekonomi Kalimantan Timur, akibat adanya
transformasi struktur ekonomi; (2) penerapan kebijakan pengurangan emisi
berpotensi dalam menciptakan pemerataan pendapatan masyarakat, melalui
penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor yang lebih bersifat labour-intensive;
dan (3) perdagangan emisi dapat meminimalkan trade-off yang terjadi, bahkan
berpotensi dalam meningkatkan kinerja ekonomi wilayah Kalimantan Timur.
Kata kunci: ekonomi dan lingkungan, tradeoff, pengurangan emisi, pertumbuhan
ekonomi, distribusi pendapatan, perdagangan emisi

SUMMARY
YUSNIAR JULIANA NABABAN. Inclusive Green Economy in East Kalimantan
Province: Emission Reduction and Economic PerformanceTrade-off. Supervised
by YUSMAN SYAUKAT, BAMBANG JUANDA dan SLAMET SUTOMO.
Green economy concept has been improved into inclusive green economy.
Inclusive green economy is believed as a way in integrating social, economic and
environmental goals in order to achieve sustainable development (PovertyEnvironment Partnership/PEP 2012). It is a development concept which
recommends conserving the environment and considering the distributional
impact of income while developing the economy,or so called triple bottom line. It

is believed to be able in creating benefits for marginal and vulnerable group and
reducing inequality.
The inclusive green economy has been adopted in Indonesia. It is marked by
national planning documents, the Indonesa Climate Change Sectoral Roadmap
(ICCSR) which is developed by National Development Planning Agency
(BAPPENAS). The document contains various strategies that should be
implemented in nine sectors as responses to the global climate change. Moreover,
Indonesian Government also developed National Action Plan of Emission
Reduction of Greenhouse Gasses (RAN GRK) that is arranged in Presidential
Regulation (PerPres) No. 61 Year 2011.
As a response to the national policy of emission reduction, East Kalimantan
Government commits to take an active part. The Regional Government formulated
Regional Action Plan in Reducing Greenhouse Gas (RAD GRK) in 2012. For
East Kalimantan, emission reduction becomes important because the Province is
included into top-three emitter in Indonesia. It has excellent economic
performance. Yet there is also negative externalities, such as emission and
disparity, caused by its economic activities.
Based on the description, this study aims to: (1) estimate the impact of
emission reduction policy on economi performance and emission level; (2)
estimatethe impact of emission reduction policy on income distribution; and (3)

estimate the impact of emission trading on economic performance, emission level
and income distribution.
Some policy scenarios have been designed by using secondary data, which
is taken from official documents published by Regional Government. Target of
economic growth and social target is set from Regional Medium Development
Plan of East Kalimantan. Whereas environmental target is taken from mitigation
planning of RAD GRK.
First objective is analyzed by employing Goal Programming model to
measure an optimal economic level while implementing emission reduction
policy. Reduced Form SAM is employed to analyze the impact of output level
change, caused by implementing emission reduction policy, on income
distribution. Linear Programming model is used to estimate economic benefit of
emission trading.
The results showed that: (1) there is a slowdown in economic growth caused
by emission reduction policy, in other words, there is emission and growth tradeoff due to the transformation of economic structure; (2) emission reduction policy

may reduce income disparity in East Kalimantan through labour absorption of the
labour-intensive sectors; and (3) emission trading is able to minimize the trade-off
and it is considered to be potential in enhancing economic performance of East
Kalimantan Province.

Keywords: economic and environment, tradeoff, emission reduction, economic
growth, income distribution, emission trading

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INCLUSIVE GREEN ECONOMY
DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR: TRADE-OFF ANTARA
PENGURANGAN EMISI DAN KINERJA EKONOMI

YUSNIAR JULIANA NABABAN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.
Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.
Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc
Prof. Dr. Abuzar Asra, M.Sc

Judul Penelitian

: Inclusive Green Economy di Provinsi Kalimantan Timur:
Trade-off antara Pengurangan Emisi dan Kinerja Ekonomi


Nama

: Yusniar Juliana Nababan

NRP

: H 162100101

Program Studi

: Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.
Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS.
Anggota


Dr. Ir. Slamet Sutomo, MS.
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal ujian :

Tanggal lulus:

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas kasih dan
anugrahNya saya diberikan kesempatan untuk menjalani studi S3 di IPB, serta
atas penyertaanNya saya dapat menyelesaikan studi ini.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada
orang-orang yang telah sangat membantu selama penyelesaian disertasi ini.
Pertama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada komisi
pembimbing: Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. (ketua), Prof. Dr. Ir. Bambang
Juanda, MS (anggota), dan Dr. Ir. Slamet Sutomo, MS (anggota). Terimakasih
atas dedikasinya dalam membimbing dan mendukung sejak awal hingga
penyelesaian disertasi ini. Terimakasih atas upaya yang diberikan dalam
memberikan saran dan masukan, bagi penyempurnaan penelitian ini. Hal ini
merupakan kehormatan bagi saya untuk mendapatkan kesempatan dibimbing
selama penelitian berlangsung.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Akhmad Fauzi,
M.Ec. dan Dr. Ir. Rr. Endah Murniningtyas, M.Sc.yang telah memberi masukan
substansial, komentar yang bermanfaat, saran dan koreksi, sehingga meningkatkan
kualitas disertasi ini.
Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), yang telah menjadi
teman diskusi selama penelitian dan penulisan disertasi ini.
Terima kasih dan penghargaan yang tinggi tak lupa saya sampaikan
kepada semua dosen dan staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa
perkuliahan sampai selesainya disertasi ini.
Tentunya, sangatlah pantas ungkapan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada Mama dan keluarga besar. Terima kasih juga saya sampaikan kepada
suami, Saur Parsaoran Tampubolon dan anak-anak saya (Raphael Tobias,
Josephine Abigail, dan Jeremiah Aiden) yang selalu memberi dukungan dan
doasehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.
Terakhir, saya tidak merasa bahwa penelitian ini suatu pemikiran yang
orisinil. Apabila tidak didukung tulisan-tulisan para ahli yang tercantum di daftar
pustaka, barangkali disertasi ini tidak pernah ada. Dengan demikian, saya merasa
sangat berhutang budi kepada para ahli tersebut. Untuk itu saya menyampaikan
terima kasih yang setinggi-tingginya.
Bogor, Agustus 2015
Yusniar Juliana Nababan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
10
10

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Berkelanjutan
Inclusive Green Economy dan Pengurangan Emisi
Perdagangan Emisi dan Pengurangan Emisi

12
12
14
19

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teoritis
Kerangka Konseptual Penelitian

21
21
34

4 METODE
Data yang Digunakan
Prosedur Analisis Data
Model Input-Ouput
Linear dan Goal Programming
Sistem Neraca Sosial Ekonomi Bentuk Sederhana

37
38
38
39
46
54

5 GAMBARAN WILAYAH KALIMANTAN TIMUR
Gambaran Kondisi Sosial dan Lingkungan Wilayah Kalimantan Timur

56
60

6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengantar
Dampak Kebijakan Pengurangan Emisi Terhadap Kinerja Ekonomi
Dampak Kebijakan Pengurangan Emisi Terhadap Distribusi Pendapatan
Potensi Perdagangan Emisi Terhadap Kinerja Wilayah Kalimantan Timur

73
73
74
91
95

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran dan Implikasi Kebijakan

99
99
100

DAFTAR PUSTAKA

102

RIWAYAT HIDUP

131

DAFTAR TABEL
1.

Luas Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan
Berbagai Sumber Legalitas

6

Klasifikasi Sektor Ekonomi Tabel Input-Output Provinsi Kalimantan
Timur

46

Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Menurut
ProvinsiTahun 2006-2009

56

Kontribusi PDRB Kalimantan Timur Terhadap PDB Nasional Tahun 2000,
2005-20011

57

Laju Pertumbuhan PDRB ADHK Menurut Lapangan UsahaTahun 2000,
2009-2012 (Persen)

57

6.

PDRB per Kapita dan Pendapatan per Kapita

60

7.

Persentase Kemiskinan Menurut Lokasi Tahun 2010 - 2011

64

8.

Persentase Kemiskinan Berdasarkan Data PPLS Menurut Lokasi

65

9.

Emisi GRK Skenario Business As Usual (BAU) Menurut Sektor

68

2.
3.
4.
5.

10. Pertumbuhan Ekonomi, Emisi dan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan
Skenario Prioritas Maksimisasi Nilai Tambah

76

11. Output Tahun 2012, 2013 dan Output Optimal Menurut Sektor
Berdasarkan Skenario Prioritas Maksimisasi Nilai Tambah

78

12. Pertumbuhan Ekonomi, Emisi dan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan
Skenario Prioritas Minimisasi Emisi

81

13. Output Tahun 2012, 2013 dan Output Optimal Menurut Sektor
Berdasarkan Skenario Prioritas Minimisasi Emisi

82

14. Pertumbuhan Ekonomi, Emisi dan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan
Skenario Prioritas Maksimisasi Penyerapan Tenaga Kerja

84

15. Output Tahun 2012, 2013 dan Output Optimal Menurut Sektor
Berdasarkan Skenario Prioritas Maksimisasi Penyerapan Tenaga Kerja

85

16. Pertumbuhan Ekonomi, Emisi dan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan
Skenario Prioritas

88

17. Indeks Gini Menurut Skenario
Pertumbuhan 1,59 persen

Kebijakan

93

18. Indeks Gini Menurut Skenario
Pertumbuhan 5,00 persen

Kebijakan

dan
dan

Wilayah
Wilayah

Target
Target
94

19. Nilai Output Baseline dan Optimal Menurut Skenario Kebijakan

96

20. Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Gini Menurut Skenario Kebijakan

97

DAFTAR GAMBAR
1.

Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur tahun 2000 – 2013 (persen)

4

2.

Distribusi PDRB atas dasar harga konstan tahun 2008, emisi CO2e
tahun 2010 dan lapangan pekerjaan tahun 2008 menurut sektor

5

3.

Persentase kemiskinan di Kalimantan Timur tahun 2005 – 2011 (%)

4.

Inclusive green economy merupakan gabungan dari pertumbuhan
inklusif dan pertumbuhan hijau

16

5.

Inclusive green economy, pengurangan kemiskinan dan MDGs

6.

Pemerataan versus efisiensi pada model dua periode waktu

23

7.

Pertimbangan dinamis dalam analisis biaya manfaat sumberdaya yang
tidak dapat diperbaharui

24

Dampak kesejahteraan antar waktu akibat penggunaan sumberdaya
alam tidak terbarukan

25

Eksternalitas

27

8.
9.

10. Potensi gain kebijakan pengurangan emisi 26 persen

31

11. Potensi gain kebijakan pengurangan emisi 41 persen

31

12. Kerangka pemikiran

35

13. Ilustrasi Tabel Input Output (29 x 29 sektor)

40

14. Ilustrasi Sistem Neraca Sosial Ekonomi bentuk sederhana

54

15. Distribusi PDRB ADHB Kalimantan Timur menurut lapangan usaha
tahun 2009-2012 (persen)

58

16. Jumlah dan kontribusi
ESDMtahun2009-2013

59

penerimaan

pemerintah

dari

sektor

17. Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Timur tahun 2000-2012

61

18. Persentase kemiskinan di Provinsi Kalimantan Timur tahun 20052012

62

19. Indeks Gini Provinsi Kalimantan Timur tahun 2000-2012

63

20. Indeks Gini menurut kabupaten/kota tahun 2011-2013

64

21. Tingkat pengangguran di Provinsi Kalimantan Timur tahun 20002012

65

22. Jumlah tenaga kerja dan distribusi PDRB menurut sektor tahun 20102012

66

23. Indeks Kualitas Hidup Lingkungan (IKLH) tahun 2009 - 2012

67

24. Intensitas emisi GRK (dalam ton CO2e per kapita) tahun 2000 - 2012

69

25. Intensitas penggunaan energi batubara (dalam ton per kapita) tahun
2000 - 2012

70

26. Efisiensi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tahun 2000–
2012

71

27. Strategi transformasi ekonomi Provinsi Kalimantan Timur

71

28. Persentase perubahan output relatif terhadap kondisi baseline menurut
kabupaten/kota untuk kebijakan pengurangan emisi dengan prioritas
maksimisasi output

79

29. Persentase perubahan output relatif terhadap kondisi baseline menurut
kabupaten/kota untuk kebijakan pengurangan emisi dengan prioritas
minimisasi emisi

83

30. Persentase perubahan output relatif terhadap kondisi baseline menurut
kabupaten/kota untuk kebijakan pengurangan emisi dengan prioritas
maksimisasi penyerapan tenaga kerja

87

31. Trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan emisi yang dihasilkan

90

32. Elastisitas sektoral output terhadap emisi

91

33. Multiplier pendapatan masyarakat menurut wilayah

92

34. Proporsi output berdasarkan aktivitas

96

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1

Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Target Emisi
dan pertumbuhan serta Skenario Prioritas Kebijakan
111

Lampiran 2

Realisasi Capaian Emisi Menurut Target Emisi dan
Pertumbuhan serta Skenario Prioritas Kebijakan
113

Lampiran 3

Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja
Menurut Sektor Skenario Kebijakan: Prioritas Output dan
Target Pertumbuhan 1,59 Persen
114

Lampiran 4

Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja
Menurut Sektor Skenario Kebijakan: Prioritas Output dan
Target Pertumbuhan 5,00 Persen
115

Lampiran 5

Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja
Menurut Sektor Skenario Kebijakan: Prioritas Emisi dan
Target Pertumbuhan 1,59 Persen
116

Lampiran 6

Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja
Menurut Sektor dan Skenario Kebijakan
117

Lampiran 7

Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja
Menurut Sektor dan Skenario Kebijakan
118

Lampiran 8

Perubahan Struktur Ekonomi, Emisi dan Tenaga Kerja
Menurut Sektor dan Skenario Kebijakan
119

Lampiran 9

Kontribusi perubahan output menurut sektor

111

Lampiran 10 Kontribusi perubahan output menurut sektor

112

Lampiran 11 Kontribusi perubahan output menurut sektor

113

Lampiran 12 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor

114

Lampiran 13 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor

115

Lampiran 14 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor

116

Lampiran 15 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor

117

Lampiran 16 Elastisitas output dan tenaga kerja menurut sektor

118

Lampiran 17 Output perdagangan emisi

119

Lampiran 18 Tabel Input-Output
tahun 2013

Provinsi

Kalimantan

Timur
120

Lampiran 19 Sistem Neraca Sosial Ekomomi Bentuk Sederhana
Provinsi Kalimantan Timur tahun 2013
125

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Degradasi dan kelangkaan sumberdaya alam merupakan isu utama di
berbagai negara. Eksploitasi sumberdaya, baik yang terbarukan dan tidak
terbarukan, secara tidak bijaksana semakin memperburuk kualitas lingkungan
manusia. Sementara itu, potensi ancaman bencana yang mungkin ditimbulkan
oleh perubahan iklim dan pemanasan global semakin mengurangi kemampuan
bumi dalam menyediakan sumberdaya alam yang diperlukan untuk kelangsungan
kehidupan manusia. Oleh karena itu, membangun hubungan yang harmonis
dengan alam perlu terus diupayakan, sehingga konsepsi pembangunan hijau atau
pembangunan berkelanjutan tidak hanya untuk kepentingan alam namun juga bagi
keberlanjutan kehidupan manusia.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai peningkatan utilitas atau
kesejahteraan per kapita sepanjang waktu atau peningkatan dari sekumpulan
indikator pembangunan (Pearce dan Atkinson 1998). Terdapat tiga persyaratan
yang harus dipenuhi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Pertama,
jumlah agregat dari modal buatan manusia dan modal alam tidak boleh mengalami
penurunan dan terdapat kemungkinan substitusi antara modal buatan manusia dan
modal alami. Kedua, depresiasi modal lingkungan harus dihindari. Ketiga, total
stok lingkungan tidak boleh menurun. United Nations Environment Programme
atau UNEP (2011) menyatakan bahwa untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan maka dibutuhkan suatu „alat‟ atau konsep yang disebut sebagai
green economy atau ekononomi hijau. Ekonomi hijaudiartikan sebagai salah satu
cara untuk menciptakan peningkatan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial,
yang disertai dengan pengurangan resiko kerusakan lingkungan secara signifikan
dan kelangkaan ekologis.
Terdapat dua asumsi utama dalam ekonomi hijau (UNEP 2011), yaitu:
pertama, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan, dimana kemajuan ekonomi dicapai melalui penggunaan teknologi
yang bersifat ramah lingkungan; kedua, bahwa ekonomi hijau dapat diterapkan di
semua negara, baik negara maju maupun tidak maju, dimana umumnya aktivitas
transformasi menuju ekonomi hijau telah banyak dilakukan di negara berkembang
juga. Terdapat tiga kelompok utama dalam ekononomi hijau, yaitu (i) sektor
modal alam (pertanian, hutan, perikanan); (ii) modal buatan dan kondisi yang
memungkinan terbentuknya ekonomi hijau, seperti reformasi kebijakan, kebijakan
fiskal, perdagangan dan pengembangan kapasitas masyarakat.
Menurut Poverty-Environment Partnership atau PEP (2012) konsep green
economy atau ekonomi hijau kemudian berkembang menjadi konsep inclusive
green economy atau konsep ekonomi hijau yang inklusif. Ekonomi hijau inklusif
dapat dipahami sebagai suatu cara yang menyatukan tujuan sosial, ekonomi dan
lingkungan dari suatu pembangunan berkelanjutan yang dapat memberikan
manfaat bagi kelompok miskin dan rawan (vulnerable), serta mengurangi
ketimpangan.Ekonomi hijau inklusif diyakini mampu menyediakan potensi yang
cukup besar dalam memfasilitasi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang

2

menjamin penciptaan lapangan kerja dan perlindungan lingkungan serta inklusi
sosial, atau yang disebut sebagai triple bottom line. Konsep kebijakan ekonomi
hijau diperkirakan mampu menciptakan peningkatan pengelolaan asset lingkungan
dengan mengurangi polusi dan degrasi lingkungan serta menjamin terjadinya
distribusi manfaat yang berkeadilan. Oleh karena itu, suatu kebijakan ekonomi
hijau inkslusif yang bersifat rendah karbon dan memiliki daya tahan terhadap
perubahan iklim akan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya secara efisien,
menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan lebih berdaya tahan (resilient), serta
menciptakan kesempatan ekonomi yang lebih besar serta keadilan sosial bagi
kelompok miskin (PEP2012).
Dalam konteks Indonesia, kebijakan ekonomi hijau tersebut telah dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut dikenal sebagai pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup (Makmun2011). Strategi dari
kebijakan tersebut dituangkan dalam dokumen Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap (ICCSR) yang dikembangkan oleh Bappenas, yang memuat
strategi sembilan sektor dalam menghadapi tantangan perubahan iklim hingga
tahun 2030 ke depan. Kesembilan sektor tersebut adalah energi, industri,
transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan perikanan, sumberdaya air,
kesehatan, dan termasuk kehutanan. Pemerintah juga berkomitmen dalam
menurunkan tingkat emisi sampai dengan 26 persen hingga tahun 2020 atau
penurunan hingga 41 persen dengan bantuan pendanaan dari luarnegeri. Sebagai
konsekuensinya, Pemerintah akan menerima insentif dengan melakukan
perlindungan terhadap hutan sebagai upaya mengurangi emisi, melindungi
biodiversitas dan mendukung penduduk asli lokal. Pemerintah Indonesia bahkan
telah membuat perencanaan target penurunan emisi tersebut dalam dokumen
Rencana Aksi Nasional Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang
diatur dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 61 Tahun 2011.
RAN GRK merupakan dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai
kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung dapat menurunkan emisi gas
rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional. Dokumen tersebut
bermanfaat sebagai acuan pelaksanaan penurunan emisi GRK di beberapa bidang
prioritas baik di tingkat nasional maupun daerah. Selain itu, RAN GRK digunakan
sebagai acuan investasi terkait penurunan emisi GRK dan sebagai acuan
pengembangan strategi dan rencana aksi penurunan emisi GRK oleh daerahdaerah di Indonesia.
World Bank (2009) menyatakan bahwa perubahan iklim akan memberikan
dampak negatif bagi Indonesia dan memperkirakan besaran biaya ekonomi yang
dapat terjadi. Hingga tahun 2100, biaya ekonomi yang terjadi mencapai sebesar
antara 2,5-7,0 persen dari total PDB. Biaya ekonomi tersebut disebabkan oleh
adanya penurunan produksi hasil pertanian, peningkatan permukaan laut,
peningkatan resiko banjir, pengikisan batu karang, serta penyebaran penyakit yang
disebabkan oleh serangga atau nyamuk akibat kualitas lingkungan yang buruk.
Selain biaya ekonomi yang ditimbulkan, kerusakan lingkungan juga
berdampak terhadap distribusi pendapatan kesejahteraan (World Bank 2009).
Dampak negatif dari kerusakan lingkungan lebih dirasakan oleh penduduk miskin.
Hal ini disebabkan karena penduduk miskin pada umumnya memiliki akses yang
sangat minim untuk memperoleh jasa dan manfaat lingkungan, seperti air minum,
serta mereka pada umumnya berada di wilayah yang lebih rawan terhadap

3

bencana, baik alam atau lainnya. World Bank (2006) menyatakan bahwa sebesar
10 juta penduduk dari total 36 juta penduduk miskin Indonesia, sangat bergantung
pada hutan, sehingga kerusakan hutan berdampak negatif terhadap penduduk
miskin tersebut, menurunkan jasa lingkungan dan semakin mempersulit upaya
pencapaian pengurangan kemiskinan.
Sebagai respon terhadap kebijakan nasional dalam mengurangi emisi, maka
Provinsi Kalimantan Timur memiliki komitmen guna berkontribusi secara aktif.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyusun Rencana Aksi Daerah
untuk Penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) pada tahun 2012.
Kebijakan dalam RAD GRK bersifat menyeluruh, mencakup sektor berbasis
lahan, energi dan transportasi. Selain itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
juga menyusun Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ dan membentuk
kelompok kerja Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan
(REDD+) pada tahun 2010. Melalui penyusunan dokumen RAD GRK dan SRAP
GRK tersebut diharapkan bahwa kedua dokumen tersebut dapat memberikan
panduan bagi pemerintah daerah, baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota,
dalam melakukan upaya pengurangan emisi pada setiap sektor ekonomi yang ada
di wilayah. Lebih lanjut, Pemerintah Kalimantan Timur juga mendeklarasikan
gerakan Kaltim Hijau (Kaltim Green) pada Kaltim Summit tanggal 7 Januari
2010, yang bertujuan untuk melakukan pembangunan ekonomi secara simultan
dengan penyelamatan lingkungan dari kepunahan dan kerusakan sumberdaya
alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun terdapat beberapa
tantangan bagi Kalimantan Timur dalam melakukan upaya pengurangan emisi.
Data Bappenas dan Dewan Nasional Perubahan Iklim menyebutkan bahwa
pada tahun 2008 Provinsi Kalimantan Timur merupakan penghasil emisi terbesar
ketiga di Indonesia yaitu sebesar 255 juta ton CO2e, setelah Kalimantan Tengah
dan Riau. Emisi tersebut berasal dari bidang penggunaan lahan, energi dan
pertambangan. Pada sisi lain, sektor-sektor tersebut merupakan penyumbang
PDRB tertinggi dan berperan penting dalam perekonomian Provinsi Kalimantan
Timur. Hal ini menunjukkan bahwa isu degradasi lingkungan terutama sebagai
akibat dari aktivitas sektor ekonomi yang dominan, masih merupakan masalah
utama di Kalimantan Timur.
Tantangan lain yang dihadapi yaitu berupa data atau informasi terkait
transisi paradigma pembangunan dari konvensional ke ekonomi hijau. Provinsi
Kalimantan Timur minimnya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
secara langsung kinerja pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan.
Oleh karena itu, terkait dengan implementasi kebijakan pengurangan emisi, belum
dapat dilakukan pengukuran atas dampak yang mungkin ditimbulkan oleh
penerapan kebijakan tersebut bagi perekonomian dan juga kondisi sosial di
Kalimantan Timur.
Perumusan Masalah
Pada tahun 2013, nilai PDRB Kalimantan Timur atas dasar harga berlaku
adalah sebesar Rp425,4 triliun. Dilihat dari besaran PDRB tersebut menunjukkan
bahwa ekonomi Kalimantan Timur merupakan ekonomi terbesar keenam
dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Nilai PDRB yang tinggi tersebut
sebagian besar berasal dari sektor-sektor yang berbasis sumber daya alam, yaitu:

4

minyak, gas dan batubara, dan kehutanan. Diperkirakan hampir 69 persen dari
total ekonomi Kalimantan Timur berasal dari kegiatan eksploitasi sumber-sumber
daya alam, seperti pertambangan migas dan batubara. Dengan dominasi sektorsektor ekonomi tersebut, Kalimantan Timur secara konsisten mengalami
pertumbuhan ekonomi sepanjang periode 2000 hingga 2013, dengan rata-rata
pertumbuhan tahunan sebesar 3,3 persen (Gambar 1). Namun sektor-sektor
dominan tersebut, menyumbang sebagian besar emisi karbon di wilayah
Kalimantan Timur sehingga menempatkan Provinsi ini sebagai penyumbang emisi
terbesar ketiga di Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh tim DNPI (Dewan Nasional
Perubahan Iklim) dan Mc Kinsey Company yang bekerja sama dengan Provinsi
Kalimantan Timur (2011), sektor-sektor dominan, yaitu perkebunan kelapa sawit,
petanian, kehutanan, pertambangan dan batubara, serta minyak dan gas,
merupakan sektor-sektor pendorong utama emisi CO2. Pada tahun 2010, tercatat
bahwa dari total 251 juta ton CO2e, sebesar 90 persen emisi adalah berasal dari
sektor-sektor tersebut yang juga diidentifikasi sebagai sektor-sektor pengguna
lahan terutama lahan hutan (Gambar 2).
14.0
12.0

Persen

10.0
8.0
6.0
4.0
2.0
0.0
2000

2009
PDRB

2010

2011r)

2012*)

2013**)

PDRB Non Migas

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, berbagai tahun penerbitan

Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur tahun 2000 – 2013 (persen)
Kondisi penutupan lahan di wilayah Kalimantan Timur pada umumnya
berupa vegetasi hutan.Namun demikian, dibandingkan dengan periode-periode
sebelumnya potensi hutan-hutan tersebut termasuk jumlah pohonnya sudah
banyak berkurang karena sebagian besar sudah mengalami pembalakan. Menurut
data Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, sejak tahun 2004 hingga 2009
kerusakan hutan di Kalimantan Timur terus mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, yaitu mencapai 350.000 Ha per tahun atau 2,39 persen dari total lahan
hutan setiap tahunnya, dalam nilai moneter setara Rp 66,6 triliun. Pada tahun
2004 terdapat kerusakan kawasan sumber daya hutan seluas 6,4 juta Ha (43,68
persen dari total lahan hutan), dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 8,1 juta Ha
(55,28 persen dari total lahan hutan).

5

Sumber: Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 2009

Gambar 2 Distribusi PDRB atas dasar harga konstan tahun 2008, emisi CO2e
tahun 2010 dan lapangan pekerjaan tahun 2008 menurut sektor
Dalam Laporan Tim Terpadu Pengkajian Perubahan Kawasan Hutan Dalam
Usulan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur (2009)
disebutkan bahwa kawasan hutan produksi yang seharusnya berupa kawasan
hutan yang produktif pada kenyataannya di lapangan hanyalah berupa hutan-hutan
sekunder ataupun semak belukar. Begitu pula kawasan hutan mangrove yang
berlokasi di wilayah pesisir Kalimantan Timur seluas 405.000 hektar, sebagian
besar telah hilang dan berubah menjadi kawasan pertambakan. Kawasan hutan
yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian termasuk perladangan mencapai
luas 675.000 hektar sedang yang digunakan untuk pemukiman baik pedesaan
maupun perkotaan mencapai luas 110.000 hektar. Luas kawasan hutan di wilayah
Kalimantan Timur berdasarkan sumber legalitas disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa apabila usulan revisi RTRWP Kalimantan
Timur disetujui, maka akan terjadi pengurangan luas Kawasan Budidaya
Kehutanan (KBK) sebanyak 2.692.806 Ha dari luas KBK menurut SK Menhut No.
79/Kpts-II/2001. Pengurangan ini akan dapat berdampak terhadap pengurangan
potensi penyerapan karbon (CO2). Lebih lanjut, hutan produksi yang luasnya lebih
dari 60 persen dari total luas kawasan hutan, sudah diusahakan sejak tahun 1970an,
tren jumlah produksi kayu selama 10 tahun terakhir ini semakin menurun
(Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2012). Deforestrasi yang terjadi
mengakibatkan semakin meningkatnya lahan kritis di Kalimantan Timur.
Akibatnya, kerusakan sumber daya hutan tersebut juga menyebabkan kepunahan
berbagai jenis flora fauna endemik dan langka, sehingga potensi pelepasan emisi
karbon menjadi semakin meningkat sedangkan penyerapan emisi karbon menjadi
semakin berkurang.
Lebih lanjut, Data World Wild Fund atau WWF tahun 2009, dalam Prihatna
(2012), menunjukkan bahwa penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya hutan
yang ditunjukkan oleh laju deforestrasi adalah cukup signifikan sejak tahun 2004.
Pada tahun 2004, deforestrasi yang terjadi adalah seluas 219,17 ribu hektar, dan
ini merupakan tingkat deforestrasi yang tertinggi dalam periode 2004-2008.
Tahun 2005 dan 2006, terjadi deforestrasi masing-masing sebesar 134,8 ribu
hektar dan 119,53 ribu hektar. Pada periode tahun 2007-2008 terdapat
kecenderungan peningkatan deforestrasi di Kalimantan Timur. Pada tahun 2007,

6

deforestrasi yang terjadi adalah seluas 99,65 ribu hektar, meningkat di tahun 2008
menjadi 183,19 ribu hektar.
Tabel 1

No.

Luas kawasan hutan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur
berdasarkan berbagai sumber legalitas
Fungsi/Peruntukan Kawasan

Berdasarkan SK Menhut
No. 79/Kpts-II/2001

Usulan Pemprov Kaltim
dalam Revisi RTRWP
Kaltim (Dalam Proses)
% Luas
Luas (Ha)
Provinsi
1.610.746
8,14

Kawasan Konservasi
(KSA/KPA)
Hutan Lindung (HL)
Hutan Produksi Terbatas
(HPT)
Hutan Produksi (HP)

2.165.198

% Luas
Provinsi
10,88

2.751.702
4.612.965

13,83
23,19

3.350.939
4.238.393

16,94
21,42

5.121.688

25,74

2.758.669

13,94

Kawasan Budidaya Kehutanan
(KBK)

14.651.553

73,64

11.958.747

60,44

5.243.300

26,36

7.567.893

38,25

259.537

1,31

Luas (Ha)
1.
2.
3.
4.

5.

6.

Kawasan Budidaya Non
Kehutanan (KBNK)/Areal
Penggunaan Lainnya (APL)
Tubuh Air

Kawasan Budidaya Non Kehutanan
(KBNK)
TOTAL

5.243.300

26,36

7.827.429

39,56

19.894.853

100,00

19.786.177

100,00

Sumber: Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 2010-2020 Provinsi
Kalimantan Timur, 2012

Perubahan penggunaan lahan hutan, baik di kawasan hutan maupun non
hutan untuk kegiatan ekonomi seperti pertambangan batubara, minyak dan gas
serta perkebunan kelapa sawit menciptakan permasalahan emisi di Kalimantan
Timur (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur 2012). Hasil pembangunan yang
bersifat ekstraktif tersebut menciptakan emisi yang cukup besar, sehingga
menempatkan Kalimantan Timur sebagai provinsi penghasil emisi ketiga setelah
Kalimantan Tengah dan Riau. Selain itu, emisi juga dihasilkan oleh adanya
aktivitas perluasan kawasan untuk pembangunan dan sebagai dampak dari
kebakaran hutan dan lahan di tanah mineral dan di lahan gambut. Sumber emisi
lainnya di Kalimantan Timur adalah pembangkit listrik yang dioperasikan oleh
Pemda dan tidak terkoneksi PLN, pemakaian listrik serta konsumsi bahan bakar
fosil untuk alat-alat transportasi dan aktivitas industri kecil menengah, serta dari
sampah yang dihasilkan masyarakat.
Yusuf (2010) melakukan estimasi terhadap nilai Produk Domestik Regional
Hijau (Green/Eco Regional Domestic Product) dengan menggunakan data tahun
2005 untuk 30 provinsi di Indonesia. Ukuran tersebut merupakan suatu
pendekatan yang memberikan gambaran awal mengenai pembangunan
berkelanjutan di Indonesia (Yusuf 2010) dan merupakan proxy bagi indikator
genuine savings, yang merupakan ukuran keberlanjutan ditinjau dari ketersediaan
modal pembangunan (Hanley et al. 2014). Komponen pengurang dalam
penghitungan indikator tersebut adalah depresiasi, deplesi (yang dirinci menjadi

7

migas, non migas dan hutan) dan degradasi (terdiri dari polusi lokal dan polusi
global).
Penelitian Yusuf (2010) menunjukkan perkiraan bahwa dari nilai PDRB
sebesar Rp. 180,3 triliun pada tahun 2005, nilai PDR Hijau Kalimantan Timur
adalah sebesar Rp. 129,9 triliun atau menjadi hanya sekitar 72,05 persen dari nilai
total PDRB. Hal ini disebabkan oleh adanya depresiasi sebesar Rp. 7,8 triliun atau
sebesar 4,3 persen dari total PDRB Kalimantan Timur. Selain itu, terdapat
komponen deplesi yang juga menjadi pengurang, yaitu deplesi sumberdaya migas
sebesar Rp. 27,4 triliun (15,2 persen), deplesi sumber daya non-migas sebesar Rp.
11,3 triliun (6,3 persen) dan deplesi sumberdaya hutan sebesar Rp. 2,2 triliun
(1,24 persen). Selain itu, komponen pengurang lainnya adalah polusi, baik polusi
lokal (sebesar Rp. 916 milyar atau 0,5 persen) dan polusi global (sebesar Rp. 825
milyar atau 0,5 persen).
Dibandingkan provinsi lainnya, besaran relatif nilai komponen pengurang dalam
penghitungan PDR Hijau untuk Provinsi Kalimantan Timur cukup tinggi,
terutama komponen deplesi, yaitu sebesar 22,7 persen dari total PDRB (Lampiran
1). Akibatnya, Kalimantan Timur memiliki PDR Hijau terendah kedua, dengan
nilai rasio PDR Hijau terhadap PDRB sebesar 72,0 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan nilai stok sumber daya yang
berkurang cukup signifikan, akibat aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang
cukup tinggi.
Ditinjau dari aspek sosial, pemanfaatan sumber daya alam, seperti minyak
dan gas bumi, yang bersifat ekstraktif ternyata belum memberikan manfaat positif
bagi masyarakat perdesaan, khususnya perdesaan di sekitar kawasan hutan.
Padahal, secara spasial sumber daya penyusun PDRB Kalimantan Timur sebagian
besar berada di wilayah pedesaan.Salah satu penyebab kondisi tersebut adalah
karena sebagian besar masyarakat tersebut tidak memiliki akses ke sumber daya,
terutama hutan dan lahan hutan. Studi yang dilakukan oleh Justianto (2005)
menunjukkan bahwa penguasaan akses hanya diberikan kepada para pengusaha
atau swasta di sektor kehutanan, sehingga peran serta masyarakat lokal dalam
aktivitas ekonomi di sektor tersebut relatif sangat kecil.
Data kemiskinan BPS menunjukkan bahwa walaupun terdapat penurunan
pada persentase penduduk miskin di Kalimantan Timur, yaitu dari 10,57 persen
pada tahun 2005 menjadi 6,77 persen pada tahun 2011, proporsi penduduk miskin
lebih besar berada di wilayah perdesaan (Gambar 3). Pada tahun 2011, persentase
penduduk miskin di wilayah perkotaan hanya 4,06 persen, sedangkan di wilayah
perdesaan sebesar 11,21 persen. Pada periode yang sama nilai Poverty Gap Index
(P1) 1,352 dan Poverty Severity Index (P2)0,289, artinya kemiskinan di wilayah
perdesaan lebih tinggi dibandingkan di wilayah perkotaan. Hal ini menunjukkan
bahwa rata-rata pengeluaran dari penduduk miskin pedesaan relatif lebih rendah
dibandingkan penduduk miskin perkotaan. Pada saat yang sama, kesenjangan
pengeluaran antar penduduk miskin di perdesaan juga relatif lebih besar
dibandingkan perkotaan. Hal ini merefleksikan bahwa eksploitasi sumber daya
alam nampaknya tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi penduduk
miskin di wilayah perdesaan.
Secara umum, wilayah perdesaan di Kalimantan Timur merupakan wilayah
yang berdekatan atau berada disekitar hutan. Proporsi penduduk miskin wilayah
perdesaan yang lebih besar dapat diartikan bahwa sebagian besar penduduk

8

miskin berada di wilayah sekitar kawasan hutan. Padahal hutan di Kalimantan
Timur telah dimanfaatkan secara ekonomis, namun tampaknya kurang
memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitarnya.
20.00
18.00
16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
2005

2006

2007
Perkotaan

2008
2009
Perdesaan

2010

2011

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Timur, berbagai seri penerbitan
Gambar 3 Persentase kemiskinan di Kalimantan Timur tahun 2005-2011 (%)
Tim Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur (2011) melakukan analisis terkait strategi pembangunan
berkelanjutan untuk Provinsi Kalimantan Timur. Hasil analisis menunjukkan
bagaimana Kalimantan Timur dapat bertumbuh sekaligus melakukan konservasi
lingkungan melalui pengurangan emisi karbon. Pada sektor kehutanan, hingga
tahun 2030 terdapat potensi peningkatan nilai tambah sektor tersebut hingga Rp
16 triliun. Hal ini dapat dilakukan jika aktivitas ekonomi difokuskan kepada
kegiatan pengolahan hasil hutan. Selain itu, dengan memanfaatkan hasil hutan
kayu secara menyeluruh, seperti yang dilakukan oleh negara-negara di Eropa,
Amerika Utara dan Brazil, maka akan diperoleh potensi nilai tambah hingga Rp.
700 miliar. Batang kayu digunakan untuk kayu lapis, sedangkan cabang-cabang
dan sisaannya dapat digunakan untuk industri pulp dan kertas. Dengan
menjalankan prinsip ekonomi hijau pada sektor kehutanan, diyakini dapat
diperoleh potensi peningkatan nilai tambah. Seharusnya, potensi tersebut dapat
ditangkap untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.Namun
faktanya, kemiskinan di sekitar hutan masih merupakan masalah di Provinsi
Kalimantan Timur.
Selain menciptakan tambahan pendapatan, ekonomi hijau juga diyakini
dapat meningkatkan pemerataan (World Bank 2012). Pengelolaan lingkungan dan
sumberdaya alam yang baik, termasuk pengurangan emisi, berpotensi dalam
memberikan dampak sosial yang baik terhadap masyarakat, terutama bagi
masyarakat miskin yang sangat bergantung pada lingkungan dan paling terdampak
oleh adanya kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, penerapan praktik pertanian
yang ramah lingkungan di Uganda mampu mendorong produktivitas dan
meningkatkan akses pasar (PEP 2012). Lebih lanjut, untuk beberapa negara yang
masih memiliki wilayah hutan yang signifikan, penerapan skema pembayaran
seperti REDD+ atau jasa lingkungan dapat menciptakan pendapatan sekaligus

9

menjaga lingkungan (ILO/UNEP 2012). Studi menunjukkan bahwa investasi
internasional sebesar US$ 30 milyar setiap tahunnya untuk kegiatan REDD+
dapat menciptakan lapangan kerja hingga 8 juta di negara berkembang.
Namun demikian, beberapa studi empiris menunjukkan bahwa dalam jangka
pendek, kebijakan pengurangan emisi menciptakan trade-off dengan kinerja
ekonomi, berupa perlambatan ekonomi atau penurunan output (Boopen dan Harris
2012; Cristóbal 2012). Penelitian dengan menggunakan data Mauritius yang
dilakukan oleh Boopen dan Harris menunjukkan bahwa emisi CO2 berpengaruh
secara negatif terhadap besaran output, yang pada akhirnya mengakibatkan
perlambatan ekonomi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Cristóbal
dengan menggunakan data Spanyol menunjukkan bahwa tingkat output menjadi
lebih rendah jika kebijakan pengurangan emisi serta kebijakan peningkatan
penyerapan tenaga kerja sekaligus diterapkan dalam suatu ekonomi.
Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Grottera et al. (2013) di Brazil
menunjukkan bahwa terdapat dampak pengurangan emisi gas rumah kaca
terhadap ketimpangan pendapatan di Brazil. Kebijakan pengurangan emisi
direpresentasikan oleh penerapan pajak untuk setiap ton CO2e yang dihasilkan
dalam aktivitas ekonomi. Dampak kebijakan terhadap distribusi pendapatan
dianalisis dengan menggunakan model SAM. Hasil menunjukkan bahwa dampak
yang diberikan berbeda, bergantung kepada bagaimana pendapatan pajak tersebut
digunakan dalam perekonomian. Jika pajak tersebut digunakan dalam bentuk
pengurangan pajak tenaga kerja, akan terdapat kecenderungan peningkatan
ketimpangan pendapatan. Sebaliknya, jika pendapatan dari pajak digunakan dalam
bentuk transfer langsung ke rumahtangga, maka kebijakan pengurangan emisi
akan mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh
Cristóbal (2012) mengenai analisis kebijakan lingkungan dalam perekonomian
Spanyol. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan
pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan
secara simultan terhadap perekonomian Spanyol. Model Goal Programming
berbasis Tabel Input-Output Spanyol digunakan dalam menggambarkan
keterkaitan antar aspek ekonomi, energi, sosial dan lingkungan. Selain itu, model
juga digunakan dalam mengestimasi beberapa tujuan pembangunan yang
seharusnya diterapkan untuk mencapai keberlanjutan.
Penelitian tersebut memberikan gambaran mengenai kebijakan
pembangunan yang sebaiknya dilakukan, yang mencakup dimensi ekonomi, sosial
dan lingkungan, untuk mencapai keberlanjutan. Hasil penelitian menunjukkan
besaran tingkat output ekonomi, jumlah penyerapan tenaga kerja, tingkat emisi
serta penggunaan energi yang sebaiknya dicapai, untuk menjamin keberlanjutan
pembangunan dalam suatu perekonomian. Namun demikian, penelitian tersebut
belum dapat menjawab mengenai dampak kebijakan lingkungan terhadap
distribusi pendapatan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh penerapan kebijakan pengurangan
emisi gas rumah kaca terhadap kinerja ekonomi Kalimantan Timur?

10

2.

3.

Bagaimana dampak tidak langsung yang ditimbulkan oleh kebijakan
pengurangan emisi gas rumah kaca terhadap distribusi pendapatan
masyarakat perdesaan dan perkotaan di wilayah Kalimantan Timur?
Apakah kebijakan perdagangan emisi dapat mengatasi atau mengurangi
trade-off yang ditimbulkan oleh kebijakan pengurangan emisi?

Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi trade-off
yang terjadi antara pengurangan emisi dan kinerja ekonomi. Selain itu, penelitian
ini juga mengestimasi dampak tidak langsung dari kebijakan pengurangan emisi
terhadap distribusi pendapatan masyarakat di Kalimantan Timur.
Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengestimasi dampak yang ditimbulkan oleh penerapan kebijakan
pengurangan emisi gas rumah kaca terhadap kinerja ekonomi Kalimantan
Timur
2. Mengestimasi dampak tidak langsung yang ditimbulkan oleh penerapan
kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca terhadap distribusi pendapatan
masyarakat perkotaan dan perdesaan di wilayah Kalimantan Timur
3. Mengestimasi potensi ekonomi kebijakan perdagangan emisi dalam
mengatasi dampak kebijakan pengurangan emisi di Provinsi Kalimantan
Timur.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1 Bahan evaluasi dan masukan bagi Pemerintah Daerah Kalimantan Timur
terkait dengan kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca
2 Bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur dalam
menyusun perencanaan kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan
dengan memperhatikan pemerataan pendapatan masyarakat
3 Bahan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun kebijakan
alternatif untuk meminimalkan trade-off ekonomi akibat kebijakan
pengurangan emisi.

Kebaruan Penelitian
Penelitian empiris terkait dampak pengurangan emisi terhadap kinerja
ekonomi sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun cakupan wilayah yang
diteliti masih terbatas lingkup negara atau nasional. Penelitian ini menyajikan
bagaimana penerapan model dan analisis dampak pengurangan emisi untuk
wilayah yang lebih kecil atau sub nasional. Lebih lanjut, analisis trade-off yang

11

sifatnya lebih makro cakupan wilayah Provinsi dengan mempertimbangkan
keterkaitan antar sektor ekonomi, belum pernah dilakukan di Kalimantan Timur.
Lebih lanjut, penelitian ini menyajikan beberapa opsi skenario untuk dapat
mencapai ekonomi hijau. Melalui pengembangan skenario tersebut dapat
diperoleh gambaran sektor-sektor ekonomi dan wilayah-wilayah yang relatif lebih
terdampak akibat penerapan kebijakan ekonomi hijau. Hasil dari penelitian ini
dapat dijadikan dasar penentuan opsi kebijakan investasi Pemerintah Daerah
dalam upaya mencapai ekonomi hijau.
Penelitian empiris yang menyelidiki dampak pengurangan emisi terhadap
kinerja ekonomi sudah banyak dilakukan. Penelitian ini melakukan
pengembangan analisis, dengan melihat dampak pengurangan emisi terhadap
distribusi pendapatan masyarakat wilayah pedesaan dan perkotaan. Hal ini untuk
melihat dampak pengurangan emisi tidak saja melalui pendekatan sektoral, namun
juga dengan pendekatan wilayah.

12

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Berkelanjutan
Dalam buku yang berjudul Limits to Growth, Meadows et al. (2004)
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia adalah terbatas dengan
memperhitungkan lima faktor utama yaitu percepatan industri, pertumbuhan
penduduk yang tinggi, wabah malnutrisi, deplesi sumberdaya alam tidak
terbarukan dan penurunan kualitas lingkungan. Dengan menggunakan teori sistem
dinamis dan model yang disebut sebagai World3, buku tersebut menyajikan dan
menganalisa sebanyak 12 skenario yang memberikan gambaran mengenai pola
pembangunan dunia dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan. Model
tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk dan penggunaan
sumberdaya alam berinteraksi dan menciptakan keterbatasan bagi pertumbuhan
industri. Namun, pada saat itu kondisi perekonomian dan penduduk masih berada
dalam daya dukun