KEANEKARAGAMAN JENIS AMFIBI (Ordo Anura) PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI YOUTH CAMP DESA HURUN KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai pemangsa konsumen primer seperti serangga atau hewan invertebrata lainnya (Iskandar, 1998) dan juga sebagai komponen penting dalam rantai makanan juga dapat dijadikan sebagai bio-indikator terhadap perairan, seperti sungai (Oliver dan Welsh, 1998). Secara ekonomis amfibi dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani, hewan percobaan, hewan peliharaan dan bahan obat-obatan (Stebbins dan Cohen, 1997).

Indonesia memiliki dua dari tiga Ordo amfibi yang ada di dunia, yaitu Gymnophiona dan Anura. Ordo Gymnophiona dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya, sedangkan Ordo Anura merupakan yang paling mudah ditemukan di Indonesia mencapai sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh jenis Anura di dunia. Ordo Anura (tidak mempunyai ekor) terdiri dari katak dan kodok yang merupakan hewan amfibi yang tersebar hampir diseluruh dunia, termasuk Indonesia yang memiliki sekitar 450 jenis spesies. Iklim tropis Indonesia merupakan habitat alami yang cocok bagi katak dan kodok untuk mempertahankan hidup dan menjaga metabolisme tubuhnya (Purnama 2003).


(2)

Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar, 2003). Umumnya amfibi dijumpai pada malam hari atau pada musim penghujan. Iskandar (1998) menyatakan bahwa amfibi selalu hidup berasosiasi dengan air sesuai namanya yaitu hidup pada dua alam (di air dan di darat). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian besar amfibi didapatkan hidup di kawasan hutan karena di samping membutuhkan air juga membutuhkan kelembaban yang cukup tinggi (75-85%) untuk melindungi tubuh dari kekeringan.

Penelitian tentang amfibi di Indonesia kurang mendapat perhatian dan terbatas. Pulau Sumatera sebagai salah satu pulau besar, tetapi belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi. Hal ini antara lain karena kurang dikenalnya hewan ini di masyarakat umum maupun di kalangan peneliti, seperti yang ditengarai oleh Iskandar dan Erdelen (2006). Adanya persepsi negatif bahwa katak beracun atau menjijikan (Kusrini, Mardiastuti dan Harvey, 2003) membuat amfibi dijauhi oleh masyarakat. Salah satu catatan mengenai diabaikannya amfibi secara politis adalah tidak adanya amfibi di Indonesia yang masuk ke dalam daftar satwa liar yang dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika lokasi-lokasi penting bagi spesies atau komunitas amfibi menjadi rusak atau berubah karena tidak ada yang tahu mengenai hewan yang hidup di dalamnya. Maka dari itu untuk mengenalkan amfibi kepada masyarakat harus dibutuhkan data keanekaragaman jenis amfibi pada berbagai tipe habitat di Youth Camp sebagai upaya konservasi agar tetap mempertahankan kondisi lingkungan dan habitat amfibi.


(3)

B. Rumusan Masalah

Bagaimana keanekaragaman jenis amfibi (Ordo Anura) yang aktif pada malam hari yang terdapat di Youth Camp dan membandingkan keanekaragaman spesies berdasarkan tiga tipe habitat (hutan, perkebunan dan sungai).

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman jenis amfibi (Ordo Anura) yang aktif pada malam hari yang terdapat di Youth Camp dan membandingkan keanekaragaman spesies berdasarkan tiga tipe habitat (hutan, perkebunan dan sungai).

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi masyarakat umum dan sebagai upaya konservasi agar tetap mempertahankan lingkungan dan habitat amfibi di Youth Camp Desa Hurun Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran.

E. Kerangka Pemikiran

Indonesia memiliki dua dari tiga Ordo amfibi yang ada di dunia, yaitu Gymnophiona dan Anura. Ordo Gymnophiona dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya, sedangkan Ordo Anura merupakan yang paling mudah ditemukan di Indonesia mencapai sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh jenis Anura di dunia. Namun saat ini terjadi penurunan populasi amfibi diseluruh dunia termasuk Indonesia. Pada penelitian kali ini dilakukan di Youth Camp pada


(4)

habitat hutan, perkebunan dan sungai yang sesuai dengan karakteristik habitat spesies amfibi. Di tiga habitat ini juga dilakukan pengukuran komponen habitat, yaitu tipe vegasi, suhu, cuaca, kelembaban, dan ketinggian untuk mendukung data.

Penelitian ini dilakukan dengan metode VES (Visual Encounter Survey/Survei Perjumpaan Visual) dengan Transect dan Metode Identifikasi. Kedua metode ini digunakan untuk mencari spesies amfibi (jumlah, jenis, famili) yang beraktifitas di malam hari di Youth Camp. Data pengamatan yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriftif, sehingga indeks keanekaragaman jenis amfibi dari ketiga habitat tersebut digunakan untuk memperkirakan keanekaragaman spesies amfibi di tiga habibat tersebut serta untuk menentukan perbandingan keberadaan spesies perhabitat. Informasi ini digunakan sebagai bahan informasi untuk masyarakat serta menjadi salah satu upaya konservasi dalam perlindungan dan pelestarian amfibi dan tetap mempertahankan kondisi lingkungan yang menjadi habitat bagi spesies amfibi di lokasi tersebut. Untuk bagan alir dapat dilihar pada Gambar 1 di bawah ini.


(5)

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo

Anura) Pada Berbagai Tipe Habitat di Youth Camp Desa Hurun Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran

Keanekaragaman Amfibi

Habitat: - Sungai - Hutan - Perkebunan

Komponen Habitat:

Tipe Vegasi, Suhu, Cuaca, Kelembaban, Ketinggian

Metode Penelitian

Transek dan VES - Jumlah Amfibi - Komponen Habitat - Nocturnal

Identifikasi - Spesies - Famili

Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (Divesity index) Indeks Kemerataan (Evennes)

Indeks Kesamaan (Similarity index)


(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika Amfibi

Menurut Goin dan Goin (1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah sebagai berikut: Kingdom Animalia, Filum Chordata, Sub-filum Vertebrata, Kelas Amphibia, serta Ordo Gymnophiona, Caudata dan Anura (Fauna dan flora, 2011). Amfibi adalah satwa bertulang belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar 4,000 jenis. Walaupun sedikit, amfibi merupakan satwa bertulang belakang yang pertama berevolusi untuk kehidupan di darat dan merupakan nenek moyang reptile (Halliday dan Adler, 2000). Amfibi meliputi katak, toad, caecilian, newt dan salamander. Amfibi adalah keturunan vertebrata pertama untuk membuat perpindahan dari kehidupan di air menuju kehidupan di tanah. Kolonisasi awal habitat daratan, garis zaman amphibian tidak pernah secara penuh mengikatkan hubungan mereka dengan habitat air (Budhaya, 2011). Amfibi merupakan salah satu kelas dari vertebrata yang terdiri dari tiga Ordo, yaitu Ordo Caudata, Ordo Gymnophiona, dan Ordo Anura (Simon dan Schuster’s, 1989). Dari ketiga Ordo tersebut yang dijumpai di Indonesia adalah Ordo Gymnophiona dan Ordo Anura. Klasifikasi amfibi sebagai berikut: Ordo Urodela (Caudata), terdiri dari:


(7)

a. Famili Hynobiidae (meliputi salamander yang hidup di dataran Asia) b. Famili Cryptobranchidae (meliputi salamander yang hidup di sungai) c. Famili Ambystomidae

d. Famili Salamdridae e. Famili Amphiumidae f. Famili Plethodonthidae

g. Famili Proteidae (selalu dalam stadium larva)

h. Famili Serenidae (selalu dalam stadium larva tanpa ektremitas posterior) Ordo Anura (Salientia) terdiri dari:

a. Famili Liopelmidae (meliputi katak yang primitif, aquatik dan teresterial) b. Famili Pipidae (meliputi katak yang bertubuh pipih, merupakan katak yang

melakukan penyesuaian terhadap lingkungan perairan) c. Famili Discoglossidae

d. Famili Pelobatidae e. Famili Brevicivitadae

f. Famili Ranidae (katak sejati) g. Famili Rachoporidae

h. Famili Mycrohylidae

i. Famili Pseudidae (meliputi katak-katak aquatik dari Amerika Selatan) j. Famili Bufonidae

k. Famili Hylidae

l. Famili Leptodactylidae


(8)

B. Tinjauan Umum tentang Amfibi

Amfibi seperti kata harfiahnya yaitu: amphi ganda, bios hidup artinya adalah hewan yang hidup di dua alam yaitu di air dan darat. Amphibia adalah salah satu hewan bertulang belakang (vertebrata) yang suhu tubuhnya tergantung pada suhu lingkungan atau ectoterm (Mistar, 2008). Sebagaimana jenis hewan lainnya, amfibi pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, tanah, topografi dan vegetasi, baik dalam areal sempit maupun luas, akan saling berhubungan dan membentuk komunitas biotik (Kurniawan, 2005). Amfibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang yang suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan, mempunyai kulit licin dan berkelenjar serta tidak bersisik. Sebagian besar mempunyai anggota gerak dengan jari (Liswanto, 1998). Amfibi terdiri dari tiga bangsa yaitu: Pertama, Caudata atau salamander merupakan satu-satunya amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Daerah terdekat yang di huni salamander adalah Vietnam, Laos dan Thailand Utara. Kedua, Gymnophiona atau sesilia, adalah amfibi seperti cacing, kepala dan mata yang tanpak jelas. Ketiga, Anura yang paling umum dijumpai dan dikenal dengan nama katak atau kodok (Mistar, 2008).

Menurut Verma dan Srivastava (1979) amfibi mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut:

a. Berdarah dingin (poikiloterm)

b. Kulit halus dan kasar serta banyak mengandung kelenjar c. Sisik-sisik bila ada tersembunyi di dalam kulit

d. Tengkorak berartikulasi dengan tulang atlas melalui dua condylus occipitalis e. Tungkai bila ada bertipe fentadactyla


(9)

f. Eritrosit bikonveks, oval, dan bernukleus

g. Jantung terdiri atas dua atrium, satu ventrikel dan satu konus h. Arcus artat simetris

i. Pada stadium awal, pernafasan melalui insang j. Telur-telur amfibi dibungkus oleh bahan gelatin

Ciri-ciri lain pada amfibi yaitu mempunyai dua pasang kaki dan pada setiap kakinya terdapat selaput renang yang terdapat diantara jari-jari kakinya, berfungsi untuk melompat dan berenang, matanya mempunyai selaput tambahan yang disebut membrana niktitans yang sangat berfungsi waktu menyelam. Alat pernafasan pada saat dewasa berupa paru-paru dan kulit. Hidung amfibi mempunyai katup yang mencegah air masuk ke dalam rongga mulut ketika menyelam, dan berkembang biak dengan cara melepaskan telurnya dan dibuahi oleh yang jantan di luar tubuh induknya (Inger dan Stuebing, 2005).

C. Tinjauan Umum tentang Anura

Umumnya Ordo Anura memiliki selaput (webbing) walaupun sebagian didapatkan tidak berselaput seperti genus Leptobrachium dan Megophrys. Ada tidaknya selaput sangat sesuai dengan habitat yang ditempatinya. Ordo Anura memiliki warna bervariasi berdasarkan familinya seperti famili Rhacophoridae cenderung berwarna terang sedangkan famili Megophrydae cenderung berwarna gelap sesuai habitatnya di serasah (Mistar, 2003).

Bangsa Anura merupakan bangsa amfibi yang terbesar dan sangat beragam, mencakup 16 famili. Ordo Anura mempunyai ciri-ciri umum yakni ukuran tubuh


(10)

pendek, lebar dan kaku. Tungkai depan lebih kecil dan lebih pendek daripada tungkai belakang, kepala dan badan bersatu, serta tidak mempunyai ekor (Iskandar dan Tjan, 1996;Nasaruddin, 2000).

1. Morfologi

Kodok dalam bahasa inggrisnya frog dan katak/bangkong toad termasuk dalam bangsa Anura dan merupakan hewan amfibi yang paling dikenal orang di Indonesia. Meski mirip, katak dan kodok berbeda dari ciri katak yang memiliki kulit tipis dan halus, tubuh ramping, dan kaki yang lebih kurus dan panjang. Kodok memiliki tubuh yang lebih pendek dan gemuk dengan kulit kasar dan tertutup bintil-bintil. Warna katak bervariasi, dari hijau, coklat, hitam, merah, oranye, kuning dan putih. Ukuran SVL (Snout Vent Length) Anura berkisar dari 1-35 cm, tetapi kebanyakan berkisar antara 2-12 cm (Taufik, 2010). Pada beberapa jenis katak, sisi tubuhnya terdapat lipatan kulit berkelenjar mulai dari belakang mata sampai di atas pangkal paha, yang disebut lipatan dorsolateral. Katak mempunyai mata berukuran besar, dengan pupil mata horisontal dan vertikal. Pada beberapa jenis katak, pupil matanya berbentuk berlian atau segi empat, yang khas bagi masing-masing kelompok (Kerinci, 2011). Pada kebanyakan jenis, binatang betina lebih besar daripada yang jantan. Ukuran katak dan kodok di Indonesia bervariasi dari yang terkecil hanya 10 mm, dengan berat hanya satu atau dua gram sampai jenis yang mencapai 280 mm dengan berat lebih dari 1500 gram (Iskandar, 1998).


(11)

2. Perkembangbiakan

Kodok dan katak mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa, atau di tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodok pegunungan menyimpan telurnya di antara lumut-lumut yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutan yang lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembab, yang akan selalu menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil. Katak mampu menghasilkan 5000-20000 telur, tergantung dari kualitas induk dan berlangsung sebanyak tiga kali dalam setahun. Telur-telur kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong yang bertubuh mirip ikan gendut, bernafas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru.

Kodok dan katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat bulan mati atau pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu kodok-kodok jantan akan berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa jenisnya, seperti kodok tegalan (Fejervarya limnocharis) dan kintel lekat alias belentuk (Kaloula baleata), kerap membentuk ‘grup nyanyi’, dimana beberapa hewan jantan berkumpul berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara keras kodok dihasilkan oleh kantung suara yang terletak disekitar lehernya, yang akan menggembung besar manakala digunakan (Manurung, 1995). Pembuahan pada kodok dilakukan diluar tubuh. Kodok jantan akan melekat dipunggung betinanya dan memeluk erat ketiak betina dari belakang. Sambil


(12)

berenang di air, kaki belakang kodok jantan akan memijat perut kodok betina dan merangsang pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan kodok jantan akan melepaskan spermanya ke air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina.

3. Habitat

Amfibi hidup diberbagai lingkungan. Namun, sebagian besar spesies amfibi membutuhkan habitat air tawar seperti rawa, kolam, sungai atau lingkungan basah untuk pembibitan. Beberapa spesies katak mengandalkan kolam air yang di- kumpulkan sesuai dengan dasar cangkir berbentuk tanaman atau pohon hollow (Infobebas, 2011).

Menurut Alikodra (2002), habitat satwaliar yaitu suatu kesatuan dari faktor fisik maupun biotik yang digunakan untuk untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Sedangkan Odum (1971) mengartikan habitat suatu individu sebagai tempat dimana individu tersebut hidup. Definisi lain dinyatakan oleh Goin dan Goin (1971) bahwa habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme melainkan tentang dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat hidup. Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada daerah pemukiman manusia, pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran sungai atau air yang mengalir, serta pada hutan primer dan sekunder (Iskandar, 1998). Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar, 2003). Kebanyakan dari amfibi hanya bisa hidup di air tawar, namun jenis seperti Fejervarya cancrivora diketahui mampu hidup di air payau (Iskandar, 1998). Sebagian katak beradaptasi agar dapat hidup di pohon.


(13)

Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan menyimpan telurnya di vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu katak akan jatuh ke dalam air (Duellman dan Heatwole, 1998). Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, dipunggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman dan Trueb, 1994). Amfibi juga bisa hidup di dalam gua-gua yang lembab dan para aktivis pelestarian lingkungan tadinya memperkirakan hutan yang kering karena penebangan besar-besaran, membuat spesies amfibi banyak yang punah (Bbc, 2011).

Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi tiga grup besar yaitu:

1). Jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan tergantung pada manusia,

2). Jenis yang dapat berasosiai dengan manusia tapi tidak tergantung pada manusia,

3). Jenis yang tidak berasosiai dengan manusia.

Habitat herpetofauna di Sumatera Selatan dibagi berdasarkan ada dan tidaknya modifikasi lingkungan yang disebabkan oleh manusia maupun yang terjadi secara alami, diantaranya: hutan primer, hutan bekas tebangan, camp/bekas camp, jalan sarad, bekas kebun, kebun karet, sawah dan pemukiman. Salah satu penyebab penurunan jenis amfibi di dunia adalah kerusakan habitat hutan dan fragmentasi. Hutan yang mengalami sedikit gangguan atau hutan dengan tingkat perubahan sedang memiliki jumlah jenis yang lebih kaya daripada kawasan yang sudah


(14)

terganggu seperti hutan sekunder, kebun dan pemukiman penduduk (Gillespie Howard , Lockie , Scroggie, dan Boeadi, 2005).

Penurunan kualitas habitat dari spesies amfibi yang sangat memperihatinkan adalah pencemaran terhadap lingkungan, yang kerap dilakukan oleh masyarakat misalnya tempat pembuangan, penampungan dan pengakumulasi bahan pencemar. Hal ini sangat rentan terhadap senyawa-senyawa seperti logam berat, produk petroleum, herbisida dan pestisida (Sparling, Linder dan Bishop, 2000). Penelitian laboratorium secara konsisten menunjukkan berudu lebih rentan terhadap pestisida daripada ikan, meskipun ikan merupakan organisme uji akuatik standar. Ribuan senyawa baru pertanian dan industri muncul di pasar dan lingkungan. Uji toksisitas terhadap tanaman dan hewan kurang cukup untuk menentukan dampak senyawa tersebut kepada lingkungan. Selain itu kombinasi antara kemasaman perairan dan radiasi UV-B seringkali meningkatkan toksisitas kontaminan (Linder, Krest dan Sparling, 2003).

4. Mekanisme Pertahanan

Amfibi tidak mempunyai alat fisik untuk mempertahankan diri. Pada beberapa jenis katak mempunyai geligi seperti taring di bagian depan rahang atas sebagai alat pertahanan diri dengan cara menggigit musuhnya. Katak dan kodok juga mempunyai kaki belakang yang lebih panjang daripada kaki depan, yang berfungsi untuk melompat dan menghindar dari bahaya (Elib, 2011). Alat lain yang efektif sebagai pertahanan diri adalah kulit yang beracun. Banyak jenis Bufonidae dan Ranidae mampunyai kelenjar racun yang tersebar di permukaan kulit dan tonjolan-tonjolan (Robertstyn, 2011), misalnya Dendrobates pumilio.


(15)

Beberapa jenis dari suku Microhylidae mempunyai kulit yang sangat lengket sehingga predator menjauhinya (Hwulan, 2011). Karena amfibi hidup dalam berbagai habitat yang bervariasi, mereka telah mengembangkan cara-cara bervariasi membela diri. Cara yang paling umum pertahanan diri antara amfibi adalah produksi ekskresi mencicipi beracun atau jahat kulit. Ini ekskresi (yang berkisar dari kulit yang sederhana untuk melembabkan penyemprotan) membantu melumpuhkan atau menangkal predator (Hicow, 2011).

5. Jenis-jenis Anura di Indonesia serta Ancaman Spesies

Bangsa Anura merupakan bangsa amfibi yang terbesar dan sangat beragam, terdiri dari lebih 4.100 jenis katak dan kodok. Sekitar 450 jenis telah dicatat dari Indonesia, yang berarti mewakili sekitar 11% dari seluruh Anura di dunia (Iskandar, 1998). Suku Anura yang terdapat di Indonesia adalah Bombinatoridae, suku yang paling sederhana untuk Indonesia, suku Megophrydae dengan 15 jenis dalam empat marga, suku Bufonidae dengan 35 jenis dan terdiri dari enam marga, Microhylidae merupakan suku terbesar di Indonesia. Suku Ranidae mempunyai sekitar 100 jenis terbagi dalam delapan marga, suku Pipidae dengan dua jenis yang diintroduksi ke Jawa, suku Rhacophoridae diwakili oleh lima marga dan 40 jenis, suku Lymnodynastidae yang diwakili oleh dua marga, suku Myobatrachidae yang diwakili oleh tiga marga, dan suku Pelodryadidae mempunyai sekitar 80 jenis yang tersebar di subwilayah Papua.

Indonesia adalah negara pengeskpor terbesar paha katak beku di dunia. Setiap tahun rata-rata sekitar 4 juta kg paha katak beku Indonesia diekspor ke berbagai negara terutama ke negara-negara di Eropa dimana lebih dari 80% merupakan


(16)

hasil penangkapan dari alam (Kusrini dan Alford, 2006). Sebelum Indonesia, India dan Bangladesh adalah negara pengekspor katak beku terbesar. Namun dengan makin berkurangnya populasi katak konsumsi di negara tersebut, katak-katak tersebut kemudian statusnya menjadi dilindungi dan dimasukkan dalam Appendix II CITES. Indonesia kemudian mengambil alih posisi sebagai pengekspor katak beku terbesar di dunia.

Data mengenai ekspor Indonesia hanya dalam ukuran volume, sehingga tidak diketahui dengan pasti jumlah katak yang ditangkap per tahun untuk kegiatan ini. Diperkirakan jumlah katak yang ditangkap untuk kepentingan ekspor mencapai tidak kurang dari 57 juta ekor pada periode tahun 1999-2002 (Kusrini dan Alford, 2006). Jumlah ini belum termasuk yang ditangkap untuk kepentingan konsumsi dalam negeri, diduga jumlahnya juga cukup besar. Walaupun penelitian terkini menunjukkan bahwa penangkapan katak konsumsi di Jawa yang berasal dari habitat persawahan masih di bawah batas penangkapan berlebih, namun selalu ada kekhawatiran bahwa suatu saat Indonesia akan melakukan penangkapan berlebih terutama untuk katak yang hidup di luar habitat persawahan (Kusrini, 2005). Turunnya populasi katak akibat penangkapan berlebih katak konsumsi di Amerika Serikat pada tahun 1800-an telah didokumentasikan dengan baik oleh peneliti di negara tersebut (Jennings dan Hayes, 1985).

Ancaman terbesar dari spesies amfibi yang paling marak adalah digunakan sebagai bahan makanan, amfibi diperjualbelikan antar negara sebagai binatang peliharaan (pet) dan juga digunakan sebagai binatang percobaan di laboratorium atau sebagai bahan percobaan di kelas serta kulitnya dimanfaatkan untuk


(17)

kerajinan, selain itu banyak faktor yang dapat menjadi penyebab menurunnya populasi jenis amfibi di alam. Ancaman utama (90%) terhadap populasi amfibi dunia adalah kerusakan habitat. Beberapa jenis amfibi sensitif terhadap fragmentasi hutan karena mempunyai kemampuan penyebaran yang terbatas. Oleh karena itu perubahan habitat hutan seperti adanya pembalakan liar atau aktifitas lainnya dapat mengurangi kemampuan satu jenis untuk bertahan hidup. Ancaman populasi lainnya adalah penyebaran penyakit, tekanan spesies introduksi, perubahan iklim, eksploitasi berlebihan (over exploitation), pencemaran lingkungan dan satu ancaman baru yaitu serangan Chytridiomycosis yang disebabkan oleh serangan jamur Batrachochytrium dendrobatidis atau lebih dikenal dengan nama jamur Chytrid (Uphie, 2011).

Amfibi juga banyak yang diperjualbelikan untuk hewan peliharaan umumnya merupakan jenis-jenis amfibi yang berwarna cerah dan cenderung jinak. Saat ini jenis-jenis yang laris diperjualbelikan di pasar adalah salamander dan katak dendrobatid dari Amerika Selatan (Spellerberg, 1971;Gorzula, 1996). Walaupun memelihara amfibi mungkin tidak populer bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, namun ada juga jenis-jenis amfibi Indonesia yang diekspor keluar negeri untuk kepentingan pet. Beberapa kali tim peneliti dari IPB menjumpai pengumpul katak di lapang yang mencari katak bukan untuk konsumsi melainkan untuk pet. Jenis yang ditangkap umumnya katak pohon yang berwarna indah dan relatif besar seperti Rhacophorus reinwardtii, R. javanus, Nictyxalus margaritifer dan katak serasah yang berbentuk unik semisal Megophrys montana. Whitten, Soeriaatmadja dan Afiff (1996) mencatat bahwa pasar utama katak peliharaan adalah Jepang, Amerika Utara dan Eropa. Sayangnya saat ini data tentang jenis


(18)

dan volume amfibi yang diekspor dari Indonesia untuk kepetingan peliharaan sangat minim. Sejauh ini Soehartono dan Mardiastuti (1995) melaporkan bahwa jumlah jenis amfibi yang diekspor dari Indonesia tahun 1992-1995 meningkat empat kali yaitu dari 10 jenis tahun 1992 menjadi 40 jenis pada tahun 1995. Kebanyakan jenis yang diambil berasal dari sawah dan hutan di sekitar Jawa dan pulau-pulau besar lainnya seperti Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

6. Manfaat dan Peranan

Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagi kehidupan manusia, yakni peranan ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi memiliki peranan penting dalam rantai makanan sebagai konsumen sekunder. Amfibi memakan serangga sehingga dapat membantu keseimbangan ekosistem terutama dalam pengendalian populasi serangga. Selain itu, amfibi juga dapat berfungsi sebagai bio-indikator bagi kondisi lingkungan karena amfibi memiliki respon terhadap perubahan lingkungan (Stebbins dan Cohen, 1997).

Berkurangnya amfibi atau pertumbuhan mereka yang terganggu merupakan pertanda lingkungan yang buruk. Faktor penyebab penurunan populasi amfibi adalah penangkapan lebih, hilangnya hutan dan lahan basah, pencemaran, penyakit, spesies introdusir dan kecatatan pada katak (Kusrini, 2007). Peranan Amfibi dari segi ekonomis dapat ditinjau dari pemanfaatan Amfibi untuk kepentingan konsumsi. Beberapa jenis amfibi dari Ordo Anura diketahui memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti Fejervarya cancrivora, Fejervarya limnocharis, dan Limnonectes macrodon (Kusrini, 2003).


(19)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitiana

Penelitian dilaksanakan di Youth Camp Tahura WAR pada bulan Maret sampai April 2012, pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada malam hari mulai dari pukul 18.00 WIB sampai dengan 20.00 WIB.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan

2. Kantong plastik, wadah spesimen 3. Kamera untuk alat dokumentasi

4. Jam tangan untuk mengukur waktu penelitian 5. Headlamp dan Senter, untuk alat penerangan

6. Buku Panduan Borneo (Inger dan Stuebing, 2005) dan Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar, 1998) untuk mengidentifikasi spesies amfibi

7. Timbangan digital, untuk mengukur berat spesies (gr) 8. Tally Sheet, untuk pengumpulan data morfometri spesies

9. Higrotermometer untuk mengukur kelembapan udara dan suhu lingkungan °C 10. Global Positioning System (GPS) untuk pengambilan titik koordinat


(20)

11. Kaliper untuk mengukur panjang sampel (mm)

12. Karet jepang warna merah untuk penandaan spesies yang ditemukan (Tagging) C. Batasan Penelitian

Adapun batasan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Jenis Amfibi (Ordo Anura) yang ditemukan diidentifikasi sampai tingkat genus 2. Jenis Amfibi (Ordo Anura) yang diteliti adalah yang aktif dimalam hari

3. Batas pengamatan 2 Meter kiri dan kanan Transek

4. Apabila pada saat pengamatan ditemukan spesies yang doubel maka yang dihitung cuma satu spesies yang pertama setelah ditandai

D. Jenis Data

1. Data Primer

Data primer meliputi jenis-jenis amfibi yang dijumpai di kawasan pengamatan dan perjumpaan dengan amfibi serta data habitat meliputi: tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan tempat ditemukan, tipe vegetasi, ketinggian, suhu pada lokasi penelitian, cuaca, kelembaban udara, dan data fisik lainnya (Heyer, Donnelly, Diarmid dan Foster,1994).


(21)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian (Sumber: UPTD Tahura, 2009) 2. Data Sekunder

Data sekunder meliputi studi literatur yang mendukung penelitian, seperti: a. Keadaan umum lokasi penelitian meliputi letak dan kondisi fisik

b. Literatur yang berhubungan dengan penelitian ini serta literatur penunjang lainnya sebagai bahan referensi

E. Metode dan Cara Kerja

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VES (Visual Encounter Survey/Survei Perjumpaan Visual) dengan Transek dan Metode Identifikasi. Metode transek adalah metode pengamatan dengan cara berjalan perlahan terus menerus dan mencatat semua kontak disepanjang kedua sisi jalur perjalanannya sedangkan metode identifikasi adalah metode untuk menentukan


(22)

jenis spesies amfibi yang sudah tertangkap dengan menggunakan buku panduan amfibi. Penelitian ini berdasarkan panjang transek yaitu dengan panjang transek 1 KM pada masing-masing habitat, sedangkan survei lokasi dilakukan pada sore hari sebelum pengamatan.

Cara kerja penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Melakukan observasi pendahuluan ke lokasi penelitian 2. Menentukan titik hitung disepanjang transek

3. Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian 4. Mengukur komponen lingkungan: suhu, kelembaban, vegetasi dan cuaca 5. Melakukan proses pengambilan sampel penelitian pada setiap titik 6. Memasukkan hewan sampel yang ditemukan ke dalam kantong plastik 7. Menghitung jumlah hewan sampel yang didapat

8. Mendokumentasikan hewan sampel yang ditemukan

9. Mengidentifikasikan hewan sampel yang ditemukan dengan tabel identifikasi sesuai dengan literatur buku A Field Guide to the Frogs of Borneo (Inger dan Stuebing, 2005) dan Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar, 1998) F. Analisis Data

1. Analisis Keanekaragaman Amfibi

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (Odum, 1971 dikutip oleh Fachrul, 2007), dengan rumus sebagai berikut:


(23)

Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu seluruh jenis

Kriteria nilai indeks keanekaragaman Shannon–Wiener (H’) adalah sebagai berikut:

H’< 1 : keanekaragaman rendah 1<H’≤3 : keanekaragaman sedang H’> 3 : keanekaragaman tinggi 2. Indeks Kemerataan

Indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan setiap spesies dalam setiap komunitas yang dijumpai, dengan mengunakan rumus:

J = H’/ H max atau J = -∑Pi ln (Pi)/ ln(S) Keterangan:

J = Indeks kesamarataan S = Jumlah spesies

Rumus ini digunakan karena nilai H’ sudah diperoleh sebelumnya sehingga lebih mudah dalam perhitungannya. Kriteria indeks kemerataan (J) menurut Daget (1976) dikutip oleh Solahudin (2003) adalah sebagai berikut:

0 < J ≤ 0,5 : Komunitas tertekan 0,5 < J ≤ 0,75 : Komunitas labil 0,75 < J ≤ 1 : Komunitas stabil


(24)

3. Analisis Kesamaan Spesies Antar Habitat

Indeks kesamaan (Similarity index) diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan komposisi spesies antar dua habitat, dihitung dengan menggunakan rumus (Odum, 1993 dikutip oleh Indriyanto, 2006).

IS = 2C/(A+B) Keterangan:

C = jumlah spesies yang sama pada kedua komunitas A = jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 1 B = jumlah spesies yang hanya dijumpai pada lokasi 2 Kriteria nilai indeks kesamaan (IS) adalah sebagai berikut:

IS mendekati angka 1 maka tingkat kesamaan komunitasnya tinggi.

IS mendekati angka 0 maka tingkat kesamaan komunitasnya rendah/ketidak samaannya tinggi/makin berbeda.

4. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan dalam penggunaan habitat dan vegetasi oleh amfibi, ditabulasikan dan diuraikan secara deskriptif berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan.


(25)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1`. Jenis Anura

Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian di Youth Camp terdapat 15 Jenis Anura, terdiri dari 5 Famili (Famili Bufonidae, Famili Megophryidae, Famili Microhylidae, Famili Ranidae dan Famili Rhacophoridae) dengan jumlah total 105 individu. Jenis-jenis amfibi Ordo Anura yang ditemukan selama penelitian dapat dilihat pada Table 1 yang disertai dengan lokasi tempat dari penelitian.

Tabel 1. Jenis-jenis Amfibi (Ordo Anura) yang Berhasil ditangkap dan diidentifikasi Pada Berbagai Tipe Habitat di Youth Camp.

No Famili Jenis Lokasi Jumlah

Total

Sungai Hutan Perkebunan

1 Bufonidae Ansonia leptopus 1 0 0 1

Bufo melanostictus 0 7 0 7

Ingerophrynus divergens 1 0 0 1

2 Megophryidae Megophrys nasuta 0 1 2 3

3 Microhylidae Microphyla annectens 0 3 3 6

Microhyla butleri 0 2 2 4

4 Ranidae Fejervarya limnocharis 2 4 0 6

Limnonectes blythii 3 0 0 3

Limnonectesmalesianus 0 0 2 2

Rana chalconota 9 0 0 9

Rana erythraea 16 0 0 16

Rana hosii 38 0 0 38

Rana nicobariensis 0 2 0 2

5 Rhacophoridae Polypedates leucomystax 0 1 4 5

Polypedates macrotis 0 2 0 2


(26)

2. Tingkat Keanekaragaman Spesies

Tabulasi hasil perhitungan indeks keanekaragaman spesies amfibi dan nilai indeks kemerataan pada berbagai tipe habitat di Youth Camp dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Kemerataan

(J) Spesies Amfibi yang ditemukan di Youth Camp No Youth Camp Jumlah

Spesies

Indeks

Keanekaragaman (H’)

Indeks Kemerataan (J)

1 Sungai 70 1,291 0,477

2 Hutan 22 1,881 0,695

3 Perkebunan 13 1,565 0,578

Tabulasi hasil perhitungan indeks kesamaan spesies amfibi pada berbagai tipe habitat di Youth Camp dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Indeks Kesamaan (Similarity Index) Pada Beberapa Tipe Habitat

Habitat HS HH HP

HS - 0,133 0

HH - 0,615

HP -

Keterangan:

HS : Habitat Sungai HH : Habitat Hutan HP : Habitat Perkebunan

Tabulasi hasil perhitungan suhu, kelembaban, ketinggian dan cuaca di Youth Camp dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Keadaan Suhu, Kelembaban, Ketinggian dan Cuaca Pada Saat Penelitian di Youth Camp.

NO Habitat dan Jalur Suhu

Relatif (°C) Kelembaban Relatif (%) Ketinggian (mdpl) Cuaca 1 Sungai jalur 1 24,1-27,6 81-98 60-194 Cerah 2 Hutan jalur 2 25,5-28,9 81-90 56-222 Cerah 3 Perkebunan jalur 3 26,1-27,9 81-98 78-265 Cerah


(27)

B. Pembahasan

1. Keanekaragaman Spesies Amfibi (Ordo Anura)

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan selama 9 hari efektif di Youth Camp Desa Hurun Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran ditemukan 5 famili terdiri 15 spesies, antara lain adalah famili Bufonidae (Ansonia leptopus, Bufo melanostictus, Ingerophrynus divergens) dari famili Megophryidae (Megophrys nasuta) dari famili Microhylidae (Microphyla annectens, Microhyla butleri) dari famili Ranidae (Fejervarya limnocharis, Limnonectes blythii, Limnonectes malesianus, Rana chalconota, Rana erythraea, Rana hosii, Rana nicobariensis) dan dari famili Rhacophoridae (Polypedates leucomystax, Polypedates macrotis).

a. Famili Bufonidae (Kodok Sejati)

Famili Bufonidae menempati habitat yang beragam dari permukiman penduduk, rawa, hutan sekunder, hutan primer, dari permukaan laut sampaipegunungan. Bila dilihat dari ukurannya Famili Bufonidae mempunyai ukuran yang beragam, mulai dari 25 mm sampai dengan 250 mm (Mistar 2003). Famili Bufonidae atau bangkong tersebar luas di seluruh dunia, pada daerah iklim sedang dan tropic kecuali Austaralia dan Papua di belahan bumi selatan serta di Indonesia suku ini diwakili oleh 6 marga (Iskandar, 1998). Indonesia memiliki 6 genus dan menurut Mistar (2003), lima genus yaitu Bufo, Leptophryne, Pedostibes, Pelophryne, Pseudobufo terdapat di pulau Sumatera.


(28)

Semua anggota suku ini bertubuh kasar, berpenampilan kekar dan pada beberapa jenis tubuhnya tertutup oleh bintil-bintil (Iskandar, 1998). Kondisi fisik yang demikian dapat mempermudah untuk membedakan dengan anggota Ordo Anura lainnya. Selain itu kodok ini mempunyai ciri-ciri pupil yang horizontal, memiliki gigi dan memiliki kelenjar paratoid yang terletak dekat mata (Sartono, 2007), kelenjar ini umumnya digunakan untuk melindungi diri dari hewan predator. Pada penelitian yang dilakukan di kawasan wisata Youth Camp ditemukan 3 spesies yaitu Ansonia leptus, Bangkong kolong (Bufo melanostictus), Ingerophrys divergensis.

a.1. Ansonia leptus

Kodok berukuran 30-65 mm, jari-jari seluruhnya berujung bulat, jari kaki belakang berselaput hingga tigaperempat bagian. Jantan mempunyai satu baris duri kecil dibagian dagu berwarna oranye atau coklat, bagian sisi biasanya dengan warna lebih gelap. Hidup di hutan primer sampai hutan sekunder pada ketinggian dibawah 600 mdpl. Saat musim berbiak sangat mudah dijumpai di sungai-sungai kecil, jantan bersuara dalam kelompok dari tepi sungai atau bebatuan ditengah sungai. Sangat umum dijumpai pada malam hari, menjelang bulan purnama dan bersuara sepanjang malam. Persebaran kodok ini meliputi Kalimantan (BOSF; Bukit 515), Sungai Buan, Sungai Nakan, Sebuku-Sembakung, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya.


(29)

a.2. Bangkong Kolong (Bufo melanostictus)

Bangkong kolong memiliki nama ilmiah Bufo melanostictus. Bangkong ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti kodok buduk (Jkt), kodok berut (Jw), kodok brama (Jw, yang berwarna kemerahan) dan Asian black-spined toad (Inggris). Kodok ini menyebar luas mulai dari India, Cina Selatan, Indonesia badian Barat. Kodok ini berukuran sedang, yang dewasa berperut gendut, berbintil-bintil kasar dikulit luarnya. Bangkong kolong memiliki panjangnya (dari moncong keanus) 55- 80 mm sedangkan betina 65-85 mm sedangkan yang di temukan pada saat penelitian ukurannya 71,58 mm sampai dengan 101,66 mm. Lokasi ditemukannya kodok tersebut pada habitat hutan dengan subtrat serasah dan tanah.

a.3. Ingerophrynus divergens

Kodok berukuran panjang antara 28-55 mm, kelenjar paratoid berbentuk batang dibelakang mata dan biasanya diikuti dengan sebaris bintil-bintil kasar dan keras. Panjang kelenjar ini kurang dari 3 kali lebarnya. Jari-jari kaki belakang tidak berselaput. Warna tubuh biasanya coklat kemerahan dengan garis putih memanjang dari ujung mulut hingga bagian atas anal tepat ditengah tubuh bagian atas. Tersebar luas dari pinggiran sungai sampai punggungan bukit, aktif di lantai hutan dataran rendah primer maupun sekunder hingga ketinggian 700 mdpl. Individu dewasa berbiak di sungai kecil yang dangkal atau kolam-kolam air hujan di tengah hutan.


(30)

Pada saat penelitian di Youth Camp kodok ini berukuran 51,75 mm dan hanya terdapat 1 ekor saja. Kodok ini ditemukan pada habitat sungai yang berada di pinggiran sungai, tidak ditemukan pada habitat lain. Warna kodok yang ditemukan berwarna coklat kemerahan dengan garis putih memanjang dari ujung mulut hingga bagian atas anal tepat ditengah tubuh bagian atas.

b. Famili Megophrydae (Katak Serasah)

Genus ini akhir-akhir ini sebagian dipisahkan dari Pelobatidae, berdasarkan analisis filogenetik yang didukung oleh penyebarannya yang terbatas di Asia Tenggara, dari India ke Indonesia dan ke arah utara sampai ke Cina Selatan. Biasanya tertutup di antara serasah dedaunan, katak-katak ini kebanyak tersaru di daerah-daerah yang banyak pohonnya, dari permukaan laut sampai hampir 1500 mdpl. Kakinya relatif pendek, membuat katak ini sangat lambat bergerak. Katak ini melompat dari satu tempat ke tempat yang lain dan bergantung terutama pada kemauan menyaru untuk bertahan hidup (Iskandar, 1998).

Khususnya di Indonesia suku ini diawali oleh empat marga, salah satunya adalah Leptobrachella (tujuh jenis) merupakan salah satu marga dengan anggota katak terkecil di dunia dan endemik Kalimantan. Yang terdapat di Sumatera adalah marga Megophrys dan pada penelitian yang saya lakukan di Youth Camp menemukan 3 ekor berukuran sedang (Iskandar, 1998).

b.1. Megophrys nasuta

Katak yang besar, kepala dan tubuh kekar, moncong meruncing, mata dengan perpanjangan dermal yang jelas menyerupai tanduk. Panjang katak ini 60 mm


(31)

keatas sedangkan yang di temukan di Youth Camp berjumlah 3 ekor dengan panjang 67,66 sampai 69,22 mm. Ketiga ekor katak ini terdapat di habitat perkebunan dan hutan, aktifitas pada saat ditemukan katak tersebut terdiam di atas serasah. Warna spesimen muda mungkin berwarna merah bata (merah marun muda), tetapi yang tua biasanya coklat, coklat kemerahan sampai coklat tua dan jarang berwarna coklat kekuningan, sedangkan pada penelitian warna katak yang penulis peroleh berwarna coklat kemerahan dan satu ekor berwarna merah marun. Suatu bercak segitiga berwarna lebih gelap terdapat dibelakang mata. Biasanya terdapat sepasang benjolan atau bercak gelap dibelakang dekat lekukan lengan. Bagian bawah campuran antara coklat dan kream kotor.

Habitat dari katak ini biasanya terdapat di hutan dan diam tanpa bergerak di antara serasah dedaunan dan menyaru daun-daunan dengan sempurna. Katak tidak akan bergerak jika tidak disentuh atau diganggu. Sebarannya Jawa, Sumatera dan yang terbaru penulis temukan di Youth Camp Desa Hurun Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Tahura Wan Abdul Rachman.

c. Famili Microhylidae (Katak Mulut Sempit)

Genus ini mencakup dua puluh lima jenis katak kecil katak ini panjangnya jarang melebihi 25 mm, kepala sempit, bermulut kecil tympanum tersembunyi di bawah kulit, vokalisasi seperti jangkrik (Iskandar, 1998), dan menurut Mistar (2003), ada tambahan biasanya bewarna kontras antara bagian atas dan dengan isi tubuh berwarna gelap. Dalam bahasa jawa katak ini sering disebut persil karena ukurannya jarang mencapai 25 mm (Mistar, 2003). Oleh sebab itu spesies ini sukar ditemukan dan bahkan sering dianggap sebagai anak katak. Katak ini


(32)

merupakan spesies katak semi-fussorial (hidup dalam lubang tanah), sering ditemukan dimalam hari aktif di sekitar air. Di Sumatera diwakili oleh sekitar tujuh spesies dan lima diantaranya terdapat di kawasan ekositem Leuser (Mistar, 2003).

c.1. Microhyla annectens

Katak kecil dengan kepala dan mulut sempit dan mata kecil, sepasang garis gelap terdapat di punggung. Jari kaki setengah berselaput renang. Warna tubuh coklat kekuningan dengan garis-garis kehitaman, dan sisi lebih gelap kadang-kadang terdapat garis vertebral tipis dan kecil. Tekstur kulit halus tanpa berbintil-bintil. Ukuran jantan dewasa sekitar 20 mm, betina sampai 25 mm, sedangkan yang diketemukan di Youth Camp berukuran antara 14,41 mm sampai 21, 82 mm yang terdapat pada habitat perkebunan dan hutan dan berjumlah 6 ekor. Aktifitas saat dijumpai adalah berdiam di atas subtrat serasah.

Microhyla annectens yang dijumpai di Youth Camp berjumlah 6 ekor dengan lokasi habitat hutan terdapat 3 ekor dan habitat perkebunan 3 ekor, semua katak di temukan berada di atas serasah. Habitat katak ini adalah terestrial di hutan primer, penyebaran katak ini Thailand, Peninsular Malaysia, Sumatera, dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ul-Hasanah (2006) ternyata katak ini diketemukan pula di Way Canguk (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan).

c.2. Microhyla butleri

Katak ini sama saja dengan Microhyla annectens hanya saja perbedaannya terdapat pada corak warna tubuh serta panjang tubuh. Microhyla butleri memiliki


(33)

corak warna tubuh dominan kemerahan. Selama penelitian berlangsung Cuma ditemukan 4 ekor masing-masing ditemukan di habitat perkebunan 2 ekor dan di habitat perkebunan 2 ekor dengan panjang antara 18,25 mm sampai dengan 21,24 mm. Katak ini ketika sangat berukuran kecil, sangat susah untuk menemukannya ketika malam hari membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi untuk mencarinya. Aktifitas saat dijumpai adalah diam berada pada subtrat serasah dedaunan dan apabila manusia mendekat atau diganggu maka katak tersebut akan melompat. d. Famili Ranidae (Katak Sejati)

Suku katak yang luas penyebarannya ini di Indonesia diwakili oleh sepuluh marga dan lebih kurang seratus jenis. Lima marga dan 15 jenis dikenal dari jawa. Dengan satu pengecualian, semua jenis yang tercatat dari Jawa tergolong atau pada suatu saat ke dalam marga Rana yang tersebar sangat luas (Iskandar, 1998). Marga Rana merupakan marga katak yang banyak anggotanya, terbesar diseluruh dunia, tipe spesies ini mempunyai ujung jari yang membesar, lipatan dorsal lateral. Terdapat 300 spesies yang termasuk ke dalam marga ini, dan di Sumatra sedikitnya diwakili sekitar 19 spesies, 12 spesies terdapat dalam kawasan Ekosistem Leuser. Katak dari marga ini menempati habitat yang beragam dari hutan rawa, hutan sekunder, hutan primer, bahkan dekat dengan pemukiman penduduk dan sampai hutan pegunungan dataran tinggi (Mistar, 2003).

d.1. Katak Tegalan (Fejervarya limnocharis)

Katak berukuran panjang antara 32-58 mm, jenis ini mirip dengan Fejervarya cancrivora satu hal yang membedakan adalah F. limnocharis mempunyai dua


(34)

bintil metatarsal dan F. cancrivora hanya satu bintil metatarsal bagian dalam, selain ukuran yang lebih kecil dan kepala yang lebih lancip. Jenis ini menempati habitat yang telah terganggu pada daerah dataran rendah sampai pegunungan dataran rendah (Mistar, 2008). Katak ini merupakan katak kecil, bertubuh pendek dan berkepala meruncing. Fejervarya limnocharis yang ditemukan di Youth Camp berukuran 31,83 mm sampai 43,48 mm. Katak ini selama penelitian hanya dijumpai 6 ekor yang ditemukan 4 ekor pada subtrat serasah dedaunan di habitat hutan dan 2 ekor di habitat sungai pada subtrat batu. Punggung bewarna cokelat lumpur, dengan bercak-bercak gelap simetris, terkadang mambentuk huruf W atau H di sekitar belikat. Pada beberapa hewan bercampur dengan warna hijau atau kehijauan, kemerahan, keemasan, atau memiliki garis vertebral putih dan Perut dan sisi bawah tubuh putih. Pada kodok jantan, kerap terdapat pola huruf M kehitaman di dagu, di atas kantung suara yang berwarna daging. Sisi samping tubuh dan sisi samping belakang paha dengan bercak-bercak hitam serupa loreng dan tangan dan kaki dengan coreng-coreng hitam.

Kulit punggung dengan lipatan-lipatan memanjang tak beraturan, seperti pematang seperti deretan bintil panjang, atau seperti bukit-bukit kecil memanjang. Sepasang lipatan kulit berjalan dari belakang mata, melewati atas timpanum (gendang telinga), hingga kebahu. Kaki berselaput setengahnya, setidaknya satu (pada hari keempat), dua ruas paling ujung bebas dari selaput renang. Pada kenyataannya katak ini ditemukan sendiri-sendiri alias terpisah.


(35)

d.2. Bangkong Batu (Limnonectes blythii)

Katak yang sangat besar dengan kepala besar, terutama pada spesimen jantan, kulit halus dengan beberapa bintil kecil disana sini, bagian belakang pelupuk mata terdapat bintil-bintil, jari kaki berselaput sampai ujungnya. Ukuran dewasa bervariasi dari 100 mm sampai 150 mm sedangkan ukuran yang didapatkan di Youth Camp mulai dari 34, 83 mm sampai dengan 54,62 mm. Jumlah katak yang ditemukan 3 ekor yang berada pada habitat sungai. Aktifitas katak pada saat dijumpai sedang bersuara dan berada di atas subtrat batu.

Secara seragam katak ini berwarna coklat kemerahan sampai coklat kehitaman. Habitat jenis ini dilaporkan terdapat di sepanjang sungai atau sungai-sungai kecil yang jernih. Bangkong dewasa dapat ditemukan di sepanjang tepi sungai, dan siap melompat apabila diganggu atau ada aktivitas manusia. Katak ini dianggap endemik di Jawa, juga terdapat di Lampung dan Sumatera Selatan.

d.3. Limnocharis malesianus

Katak berukuran panjang antara 70-150 mm, kaki besar dan mantap, kaki belakang berselaput renang sampai jari ketiga dan keempat, bergelombang pada bagian ujungnya. Tekstur, kulit halus, beberapa bintil-bintil tumpul pada bagian belakang dan sisi. Warna biasanya kemerahan, terdapat garis coklat gelap menutupi separuh dari timpanum, kadang-kadang terdapat bintil-bintil di atas mata, tenggorokan dan kepala berbintik hitam. Menempati habitat beragam dari hutan rawa, hutan dataran rendah primer maupun sekunder (Mistar, 2008).


(36)

Katak berukuran besar, kaki belakang berselaput renang tidak penuh, timpanum jelas, warna coklat kemerahan. Terdapat garis tipis dari moncong sampai kloaka. Habitat dari katak ini terdapat di hutan primer, hutan sekunder dan pinggiran sungai pada ketinggian 50- 300 mdpl. Penyebaran katak yang sudah diketahui mulai dari Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Sumatera dan Kalimantan) (Darmawan, 2008). Sedangkan pada saat penelitian ditemukan 2 ekor Limnocharis malesianus yang ditemukan pada habitat perkebunan dan memiliki warna merah kecoklatan dengan fostur badan kekar dan besar. Aktifitas saat di jumpai pada malam hari adalah berdiam di atas subtrat batu. Jenis katak ini sangat sedikit ditemukan dan hanya terdapat disatu habitat saja yaitu di habitat perkebunan.

d.4. Kongkang Kolam (Rana chalconota)

Kongkang kolam adalah sejenis kodok dari suku Ranidae. Nama ilmiahnya adalah Rana Chalconota Schlegel pada tahun 1837. Orang Jawa Barat meyebutnya bangkong kole. Dalam bahasa inggris katak ini bernama white-lipped frog atau copper-cheeked frog. Katak ini berukuran kecil sampai agak besar, pnjang tubuhnya antara 33-59 mm SVL (snout-to-vent, dari ujung moncong hingga ke anus) (Iskanda, 1998). Rana chalconota yang di ketemukan di Youth Camp berukuran antara 47,1 mm sampai dengan 61,63 mm. Kodok jantan lebih kecil dari yang betinanya, kepala meruncing, gendang telinga sangat jelas berwarna coklat, jari kaki belakang berselaput penuh kecuali jari keempat. Ujung jari kaki belakang dan depan sedikit melebar berbentuk cakram bulat (Mistar, 2008).


(37)

Warna tubuh berubah-ubah. Dorsal (fase terang) sering berwarna krem kekuningan, atau kehijauan. Sisi tubuh (lateral) keputihan, kekuningan atau hijau kekuningan terang. Pada fase gelap, kebanyakan berwarna coklat atau coklat gelap berbintik-bintik hitam bulat 1-2 mm diameter, dengan letak tak beraturan. Terdapat sepasang lipatan dorsolateral yangagak samar di punggung. Ventral (sisi bawah tubuh) putih telur berbintik atau brnoda kecoklatan, terutama di sekitar dagu. Kulit ventral halus licin, sedangkan kulit dorsal berbintil-bintil halus. Rana chalconota yang ditemukan di Youth Camp bewarna fase gelap, kebanyakan berwarna coklat atau coklat gelap berbintik-bintik hitam. Bibir atas perak kekuningan, dilanjutkan dengan satu atau beberapa bintik perak hingga di atas lengan. Pipi dengan warna coklat gelap, yang makin muda ke belakang, timpanum coklat muda. Kaki sering dengan warna kemerahan pada sisi bawah, sekitar persendian, dan pada selaput renang.

Katak ini aktif terutama malam hari, katak ini juga dijumpai di sekitaran kolam, selokan, saluran air atau sungai kecil. Katak jantan kebanyakan bertengger di semak belukar yang merimbuni tepi air, hingga 1,5 m di atas tanah, sambil berbunyi sesekali untuk memikat betinanya. Bunyinya, ..cuit, ..cuit.. mirip siulan burung, meski tidak terlalu keras. Chalconota berarti banyak bersuara, katak betina kerap didapati dimalam hari di atas batu, dan kadang-kadang pula di semak-semak, dekat badan air. Katak ini memangsa serangga dan laba-laba. Rana Chalconota di Youth Camp seringkali dijumpai pada bebatuan sekitar air terjun Tingkat Tujuh yang mempunyai air jernih dan agak deras bersamaan dengan dijumpainya Rana hosii.


(38)

Rana chalconota yang dijumpai sebanyak 9 ekor, yang hanya ditemukan di habitat sungai di sekitar air terjun Tingkat Tujuh dan keberadaannya di atas subtrat ranting dan batu. Berudu kongkang kolam bewarna kehijauan, kekuningan, dan kadang-kadang jingga, dengan tiga garis hitam yang berpusat di mata (Iskandar, 1998). Pada sisi bawah tubuh, terdapat sederetan kelenjar kecil bewarna putih pada masing-masing sisi perutnya (Inger dan Stuebing, 1999). Berudu ini tinggal pada air tenang atau yang menggenang. R. chalconota menyebar di Sumatra Selatan, Lampung, Jawa dan Bali (Iskandar, 1998). Katak ini dapat ditemui dari daratan rendah sampai ketinggian 1200 mdpl (Iskandar, 1998).

d.5. Kongkang gading (Rana erythraea)

Katak hijau berukuran sedang, dengan lipatan dorsolateral yang besar dan jelas dengan warna kuning gading, kadang-kadang dibatasi oleh pinggiran warna hitam. Jari kaki dan tangan memiliki piringan yang jelas. Selaput terdapat hampir di seluruh bagian, kecuali bagian luar dari jari kaki. Jantan biasanya lebih kecil dari betina. Tekstur kulit licin dengan lipatan dorsolateral yang jelas dan menonjol serta lebar, lipatan supratimpanik lemah, permukaan bawah licin. Ukuran katak ini antara 30 mm – 75 mm, sedangkan yang ditemukan di Youth Camp panjangnya mulai dari 46,18 mm – 98,94 mm berjumlah 16 ekor di temukan pada habitat sungai letaknya pada sungai air terjun tingkat tujuh. Aktifitas saat di jumpai bersuara, diam, melompat dan subtrat yang sering digunakan katak ini adalah batu serta ranting.


(39)

Katak ini berwarna hijau zaitun dengan sepasang daerah dorsolateral kuning dan lebar. Spesimen muda mungkin hijau kekuningan. Garis ini mungkin dikelilingi oleh warna hitam pada beberapa spesimen. Kaki-kaki dengan corak garis-garis yang tidak beraturan. Habitat dari katak ini hanya bias ditemukan dalam genangan seperti danau, telaga, sawah di daratan rendah (biasanya kurang dari 250m), tapi dapat juga sampai ketinggian 1100 m. Penyebarannya Indo-Cina sampai ke Filipina dan kemungkinan sampai ke Sulawesi.

d.6. Kongkang racun (Rana hosii)

Kongkang racun adalah nama sejenis kodok dari suku Ranidae. Nama ilmiahnya adalah Rana hosii Boulenger, 1891. Orang sunda (Jawa Barat) menyebutnya kole hejo. Namanya dalam bahasa inggris adalah poisonous rock-frog. Diberi nama demikian karena kulitnya mengandung kelenjar racun yang mampu membunuh hewan-hewan kecil. Sementara nama ilmiahnya diberikan untuk mengenang Charles Hose, seorang naturalis dari inggris (Iskandar, 1998). Racun kodok ini tidak berbahaya bagi manusia sepanjang tidak tertelan. Rana hosii di Youth Camp ditemukan di sekitar air terjun Tingkat Tujuh. Rana hosii yang ditemukan berjumlah 38 ekor dengan persebaran di sekitar air terjun Tingkat Tujuh.

Katak yang cantik ini berukuran sedang sampai besar, bertubuh kekar. Panjang tubuh antara 45-100 mm SVL (snout-to-vent, dari ujung moncong hingga ke anus) (Mistar, 2008). Rana hosii yang diketemukan di Youth Camp memiliki ukuran panjang antara 44,28 mm – 98,65 mm, dengan aktifitas diam, dan bersuara, dimungkinkan antara katak jantan yang bersuara dan betina yang berdekatan sedang melakukan pendekatan untuk berpasangan. Kodok jantan lebih kecil dari


(40)

yang betinanya. Kulit dorsal (bagian punggung) berbintil halus dan rapat, umumnya hijau terang, hijau lumut samai hijau tua, ada pula yang kebiruan. Rana hosii yang dijumpai di Youth Camp bewarna hijau terang. Sisi tubuh hijau kekuningan. Sebuah garis gelap, coklat tembaga hingga kehitaman, dan putus-putus tidak beraturan berjalan disisi tubuh dari ujung moncong, pipi, sebelah atas timpanum (gendang telinga), sebelah bawah lipatan dorsolateral, memanjang hingga ke pinggang. Di sana-sini, garis gelap ini bercampur dengan bercak kehijauan, kekuningan atau keemasan.

Bibir atas bewarna keemasan, bibir bawak kecoklatan. Iris mata keemasan, selain di bibir dan moncong, warna dan bercak kuning atau keemasan sering pula terdapat di tangan, lipatan dorsolateral bagian belakang dan pangkal paha. Jari-jari tangan dan kaki dengan ujung yang melebar membentuk piringan. Selaput renang penuh mencapai pangkal piringan pada jari laki, coklat gelap atau kehitaman warnanya. Sisi bawah tubuh (ventral) berkulit halus, putih bersemu keemasan. Sisi bawah paha coklat merah daging, sisi atasnya berbelang-belang coklat sampai gelap kehitaman.

Katak yang berasosiasi dengan sungai berbatu. Jarang ditemui jauh dari sungai, Rana hosii menyukai aliran air yang deras dengan jernih, seperti kondisi yang di jumpai di sekitar air terjun Tingkat Tujuh Youth Camp. Rana hosii terutama dijumpai hidup di hutan primer, hutan sekunder, sampai hutan terganggu, dijumpai pada ranting semak atau bebatuan dipinggiran sungai beraliran sedikit deras dengan dasar sungai berbatu dan jernih (Mistar, 2008). Pada malam hari, katak ini kerap ditemui di tepian sungai berbatu atau di atas tetumbuhan dekat


(41)

aliran air. Pada musim kawin, belasan hingga puluhan katak jantan biasa berkumpul berdekatan di atas batu di tepi air yang berarus deras. Rana hosii di- ketahui terbesar cukup luas, mulai dari Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa hingga Borneo.

d.7. Kongkang Jangkrik (Rana nicobariensis)

Kongkang jangkrik adalah kodok dari suku Ranidae. Nama ilmiahnya adalah Rana nicobariensis Stolizka, 1870, sedangkan namanya dalam bahasa inggris adalah Cricket frog. Katak berukuran panjang antara 37-53 mm, kepala terlihat ramping, tubuh berbentuk oval, jari kaki belakang berselaput separuh bagian. Tekstur, tubuh bagian atas mempunyai lipatan-lipatan kulit yang terputus-putus kearah belakang. Warna tubuh biasanya coklat keabu-abuan hingga coklat dengan noktah-noktah hitam pada bagian punggung (Mistar, 2008). Sedangkan Rana nicobariensis yang ditemukan di Youth Camp berukuran antara 26 ,25 mm- 39,85 mm, umumnya katak jantan bersuara dan berada di rerumputan dan dedaunan di genangan air atau tepian sungai tetapi pada saat penelitian jenis katak ini terdapat pada habitat hutan dengan subtrat lantai hutan (serasah dan tanah).

Katak ini hanya ditemukan sebanyak 2 ekor yang dapat dilihat langsung. Rana nicobariensis yang ditemukan di Youth Camp umumnya pada areal yang terbuka dengan vegetasi tumbuhan bawah (rumput atau semak). Katak ini dapat dijumpai di atas permukaan tanah lembab atau berair dan bahkan di atas semak/dedaunan dengan ketinggian maksimal yang di jumpai di Youth Camp 50 cm di atas permukaan tanah.


(42)

Habitat Rana nicobariensis umumnya terdapat pada habitat yang telah terganggu, pemukiman, di sekeliling air yang mengalir lambat atau menggenang, hidup dari daratan yang rendah sampai 1.500 mdpl (Mistar, 2008). Persebaran katak ini di kawasan ekosistem Leuser (Soraya: Aceh singkil, Bohorok Bukit Lawang: Langkat stasiun penelitian Ketambe, Waihni Geret, Aceh Tengah), Pulau Simalur, Mentawai, Nias, Pulau Nicobar, Jawa, dan Semenanjung Malaysia (Mistar, 2003), Thailand, Sumatra, Bali, Palawan dan Kalimantan (Iskandar, 1998).

e. Famili Rhacophoridae (Katak Pohon)

Genus Polypedates terdiri dari 13 spesies dan empat spesies terdapat di Indonesia yaitu: Polypedates leucomystax, Polypedates macrotis, Polypedates colletii, dan Polypedates otilaphus. Genus ini biasa ditemukan di hutan sekunder sampai hutan primer dataran rendah. Satu spesies Polypedates leucomystax merupakan satu-satunya yang dapat berasosiasi dengan kerusakan habitan bahkan sering ditemukan mendekati lampu untuk memangsa serangga. Persebaran Genus Polypedates sangat luas, keempat spesies hampir terdapat diseluruh wilayah Indonesia termasuk Maluku dan Irian Jaya yang diintroduksi.

e.1. Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax)

Katak pohon bergaris termasuk kedalam Genus Polypedates sejenis katak dari suku Rhacophoridae. Nama ilmiahnya adalah Polypedates leucomystax. Namanya dalam bahasa inggris adalah Striped Tree Frog. Katak pohon ini berukuran sedang, jari kaki depan dan belakang melebar dengan ujung rata. Kulit kepala menyatu dengan tengkorak, jari kaki depan setengah berselaput, jari kaki


(43)

belakang hamper sepuhnya berselaput. Tekstur kulit halus tanpa indikasi adanya bintil-bintil atau lipatan, bagian bawah berbintil halus. Warna coklat kekuningan satu warna atau dengan bintik hitam atau dengan empat atau enam garis yang jelas memanjang dan kepala sampai ventral, bagian bawah kuning dengan bintik-bintik coklat dagu coklat tua.

Polypedates leucomystax memiliki ukuran tubuh 37 mm sampai 75 mm (Mistar, 2008), sedangkan Polypedates leucomystax yang dijumpai di Youth Camp berukuran antara 36, 60 mm sampai dengan 56,96 mm. Polypedates leucomystax di Youth Camp selama penelitian hanya dijumpai didua lokasi yaitu habitat hutan 1 ekor dan habitat perkebunan 4 ekor jadi jumlah yang ditemukan selama penelitian terdapat 5 ekor, sedangkan untuk sutrat (serasah, daun, ranting dan tanah). Menurut mistar (2003), habitat sering diketemukan pada tumbuhan di sekitar rawa, hutan sekunder bahkan mendekati hunian manusia, karena tertarik dengan serangga disekeliling lampu, hidup di daratan rendah sampai 1.400 mdpl. e.2. Polypedates macrotis

Katak pohon berukuran panjang antara 45-85 mm, kepala segitiga, mata relatif besar. Tubuh berwarna coklat kayupada bagian punggung dan coklat pada bagian kepala, mempunyai garis coklat tua mulai dari belakang mata menutupi timpanum, dan menipis kearah belakang terus memanjang tepi punggung. Kadang-kadang mempunyai sepasang garis hitam pada bagian punggung. Hidup dalam hutan primer maupun hutan sekunder. Umum dijumpai pada habitat kolam-kolam kecil dalam jumlah banyak, di hutan sekunder pada vegetasi bagian bawah, berasosiasi dengan Rhacophorus pardalis, Polypedates otilophus.


(44)

Polypedates macrotis yang ditemukan di Youth Camp selama penelitian terhitung sangat jarang, katak jenis ini yang berhasil ditemukan berjumlah 2 ekor di jumpai pada habitat hutan dengan panjang antara 44, 71 mm-47,11 mm, subtratnya ketika dijumpai adalah serasah dan ranting.

Berdasarkan hasil pengukuran dilapangan diperoleh suhu relatif yang berkisar antara 24-28°C, sedangkan kelembaban relatif berkisar antara 81-98%. Kondisi cuaca saat pengamatan pada umumnya adalah cerah (cerah cahaya bulan dan bintang) yang memudahkan dalam pengamatan sehingga perjumpaan lebih sering. Menurut Susanto (1999) dalam Yuliana (2000), bahwa secara umum katak bisa hidup di air yang suhunya berkisar antara 2-35°C sesuai dengan habitatnya, selain itu amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup tinggi (75-85%) untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998). Hal ini menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban seperti di Youth Camp spesies amfibi masih dapat melaksanakan aktivitasnya. Data pengamatan keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4. Selain itu menurut Yuliana (2000), suhu udara berpengaruh secara nyata terhadap perkembangan dan pertumbuhan amfibi, serta seringkali mengatur siklus perilaku dan reproduksi. Amfibi merupakan jenis satwa yang poikiloterm, tidak dapat mengatur suhu tubuh sendiri sehingga suhu tubuhnya sangat tergantung pada kondisi lingkungannya.

Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi penelitian di Youth Camp lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Sartono (2007) di Youth Camp, untuk hasil perbandingan penemuan spesies amfibi di Youth Camp dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.


(45)

Tabel 5. Perbandingan Hasil Penelitian di Youth Camp antara Ariza, Dewi dan Arief, 2012 dengan Sartono, 2007.

No Famili Spesies Hasil Penelitian

Sartono Ariza

1 Bufonidae Ansonia leptopus - 1

Bufo melanostictus 19 7

Bufo quadriporcatus 5 -

Ingerophrynus divergens - 1

Pelophryne brevives 9 -

2 Megophryidae Megophrys nasuta - 3

3 Microhylidae Microphyla annectens 2 6

Microhyla butleri - 4

4 Ranidae Fejervarya limnocharis 3 6

Limnonectes blythii - 3

Limnonectes macradon 11 -

Limnonectes malesianus - 2

Rana chalconota 17 9

Rana erythraea - 16

Rana hosii 4 38

Rana nicobariensis 35 2

5 Rhacophoridae Polypedates Leucomystax 13 5

Polypedates macrotis - 2

Jumlah Total 18 Jenis 118 105

Hasil perbandingan tabel diatas, hasil penelitian oleh Sartono menghasilkan 4 Famili terdiri dari 10 jenis yaitu: Famili Ranidae (Rana chalconata, Rana hosii, Rana nicobariensis, Limnonectes macrodon, Fejervarya limnocharis), Famili Bufonidae (Bufo melanostictus, Bufo quadriporcatus, Pelophryne brevipes), Famili Rhacophoridae (Polypedates leucomystac) dan Famili Microhylidae (Microhyla annectens). Sedangkan yang penulis temukan terdapat 5 Famili terdiri dari 15 jenis yaitu Famili Bufonidae terdiri dari beberapa jenis antara lain (Ansonia Leptopus, Bufo Melanostictus, Ingerophrynus Divergens), Famili Megophryidae (Megophrys Nasuta), Famili Microhylidae (Microphyla Annectens, Microhyla butleri), Famili Ranidae (Limnonectes blythii, Limnonectes Malesianus, Rana chalconota, Rana erythraea, Rana Hossi, Rana Nicobariensis) Famili Rhacophoridae (Polypedates Leucomystax, Polypedates macrotis).


(46)

Pada penelitian yang penulis lakukan terdapat penambahan 1 Famili dan 8 jenis amfibi yang sebelumnya tidak ditemukan oleh Sartono (2007) antara lain Famili Megophryidae (Megophrys Nasuta), Ansonia Leptopus, Ingerophrynus Divergens, Microhyla butleri, Limnonectes blythii, Limnonectes Malesianus, Rana erythraea dan Polypedates Leucomystax. Sedangkan ada 3 jenis yang tidak ditemukan dari hasil penelitian Sartono (2007) pada penelitian yang dilakukan penulis adalah Limnonectes macrodon, Bufo quadriporcatus, Pelophryne brevipes. Tetapi untuk jumlah total keseluruhan individu amfibi hasil tahun ini mengalami penurunan, Tahun ini ditemukan 105 individu sedangkan untuk penelitian Sartono (2007) lebih besar yaitu 118 individu.

Perbedaan penemuan ini terjadi dikarenakan pembagian habitat, penulis melakukan di 3 habitat yang lebih sesuai dengan karakteristik habitat dari spesies amfibi sedangkan pada penelitian Sartono (2007) dilakukan pada 6 habitat yaitu, area kolam Abah Bewok, genangan air di belakang Gedung Serba Guna (GSG) Youth Camp, genangan air dekat bendungan, di belakang bangker penampungan air, disekitar Camp, di jalan-jalan dibawah tegakan pohon. Sedangkan waktu pengamatan juga berbeda, pada penelitian Sartono (2007) pengamatan dilakukan pada pagi hari dan malam hari sedangkan penulis hanya pada malam hari saja dan usaha dalam pencarian akan sangat menentukan penemuan spesies amfibi ketika penelitian.

2. Indeks Keanekaragaman Jenis Amfibi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui indeks keanekaragaman pada ketiga habitat tergolong keanekaragaman sedang (1>H’<3), dengan nilai indeks


(47)

keanekaragaman pada habitat sungai sebesar 1,291, habitat hutan sebesar 1,881, dan pada habitat perkebunan sebesar 1,565. Sedangkan hasil penemuan spesies amfibi ada 15 spesies amfibi yang tersebar dibeberapa habitat, antara lain habitat sungai dengan jumlah 7 spesies, habitat hutan 8 spesies dan habitat perkebunan 5 spesies, untuk hasil spesies yang ditemukan di tiga habitat dapat dilihat pada Tabel 2. Hal tersebut disebabkan jenis dan jumlah yang ditemukan disetiap lokasi berbeda-beda yang berpengaruh pada tingkat keanekaragaman jenis amfibi. Sedangkan pada penelitian sebelumnya oleh Sartono (2007) tidak menggunakan pembagian tipe habitat tetapi hanya melihat indeks keanekaragaman di Youth Camp dengan H’=2,048 sedangkan pada penelitian penulis tidak jauh berbeda dengan H’=2,160 yang diktegorikan sedang.

Keanekaragaman jenis di habitat hutan lebih tinggi dikarenakan habitatnya lebih beranekaragam, dari genangan air, di bawah tegakan yang sangat bervariasi. Hal tersebut memungkinkan dihuni oleh jenis katak atau kodok yang beragam serta disebabkan karekteristik habitat yang khas atau berbeda sehingga habitat ini menjadi favorit bagi sejumlah spesies amfibi, ini dibuktikan dengan menghasilkan penemuan 8 spesies dan 22 individu. 8 spesises antara lain Bufo melanostictus 7 ekor, Fejervarya limnocharis 4 ekor, Megophrys nasuta 1 ekor, Microhyla annectens 3 ekor, Microhyla butleri 2 ekor, Polypedates leucomystax 1 ekor, Polypedates macrotis 2 ekor, dan Rana nicobariensis 2 ekor.

Habitat perkebunan tidak jauh berbeda dengan habitat hutan tetapi lebih didomiasi oleh tumbuhan kakau (Theobroma cacao), secara tidak langsung di habitat ini pada lantai hutannya terdapat banyak serasah dedaunan dari tanaman kakau


(48)

(Theobroma cacao) menyebabkan habitat ini ditemukan beberapa jenis katak serasah. Hasil spesies yang ditemukan di habitat ini adalah 5 spesies dan 13 individu, yaitu Limnonectes malesianus 2 ekor, Megophrys nasuta 2 ekor, Microhyla butleri 2 ekor, Microphyla annectens 3 ekor, dan Polypedates leucomystax 4 ekor.

Sedangkan keanekaragaman yang paling rendah terdapat di habitat sungai, dikarenakan banyaknya jumlah individu yang sangat mendominasi di habitat ini. adapun spesies yang mendominasi adalah Rana Hosii. Jenis ini suka hidup di tempat air yang jernih dan memiliki aliran sungai yang deras dan jumlah spesies yang di temukan adalah 7 spesies dan 70 individu yaitu Ansonia leptopus 1 ekor, Fejervarya limnocharis 2 ekor, Ingerophrynus divergens 1 ekor, Limnonectes blythii 3 ekor, Rana chalconota 9 ekor, Rana erythraea 16 ekor, dan Rana hosii 38 ekor.

3. Indeks Kemerataan Amfibi

Nilai indeks kemerataan spesies dapat menggambarkan kestabilan suatu komunitas, menurut Daget (1976) dikutip oleh Solahudin (2003) bila angka nilai kesamarataan 0 < J ≤ 0,5 maka dikatakan komunitas tertekan, nila kesemerataan 0,5 < J ≤ 0,75 dikatan komunitas stabil dan bila nilai kesemerataan 0,75 < J ≤ 1 maka dikatakan komunitas stabil.

Nilai indeks kemerataan pada berbagai tipe habitat di Youth Camp dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kemerataan jenis amfibi diberbagai tipe habitat memiliki nilai kurang dari 1 (satu). Hal tersebut


(49)

menunjukkan bahwa di semua lokasi terdapat dominasi satu atau beberapa spesies, artinya satu atau beberapa spesies memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies yang lain (Setiawan, Alikodra, Gunawan, dan Darnaedi, 2006). Pada saat penelitian ada dua habitat yang dikategorikan labil yaitu di habitat perkebunan (J=0,578) dan hutan (J=0,695), ini terjadi dikarenakan tipe habitat diantara keduanya tidak jauh berbeda dan saling berdekatan. Habitat sungai dikategorikan tertekan (J=0,477) disebabkan pada lokasi habitat ini ada satu spesies yang mendominasi yaitu Rana hosii yang berjumlah 38 individu. Menurut Alikodra (2002) Penyebaran satwaliar mempunyai pembatas-pembatas fisik seperti samudera dan gunung serta pembatas ekologis seperti batas tipe hutan dan jenis pesaing yang telah lebih lama beradaptasi di wilayah tersebut, Menurut Primack, Primack, Supriatna, Indrawan dan Kramadibrata (1998) bahwa satwaliar akan semakin beranekaragam bila struktur habitatnya juga beranekaragam. Sedangkan pada saat penulis melakukan pembagian habitat tidak adanya pembatas diantara habitat dikarenakan lokasi penelitian masih berada dalam satu tempat serta jarak antar habitat yang berdekatan dan untuk struktur habitat tidak jauh berbeda, sehingga tingkat persebaran spesies amfibi banyak yang ditemukan pada berbagai habitat di Youth Camp.

4. Tingkat Kesamaan Spesies Amfibi (Similarity Index)

Nilai indeks kesamaan pada beberapa habitat di Youth Camp semuanya memiliki nilai mendekati angka 1. Nilai indeks kesamaan yang paling rendah terdapat di habitat sungai dengan hutan dengan nilai 0,133, spesies yang sama pada kedua habitat ini adalah Fejervarya limnocharis, hal ini karena pada kedua habitat


(50)

memiliki kondisi yang berbeda sehingga memiliki komposisi spesies amfibi yang berbeda pula. Selain itu, spesies amfibi mempunyai karakteristik habitat yang berbeda sesuai dengan morfometri tubuh spesies amfibi.

Nilai indeks kesamaan yang paling tinggi terdapat di habitat habitat hutan dengan perkebunan dengan nilai 0,615 spesies yang sama pada kedua habitat ini ada 4 spesies (Megophrys nasuta, Microhyla annectens, Microhyla butleri dan Polypedates leucomystax). Hal ini dikarenakan tipe vegetasi antara kedua habitat memiliki kesamaan yaitu kebanyakan didominasi oleh tanaman kakau (Theobroma cacao). Sedangkan untuk perbandingan indeks kesamaan yang berhasil adalah antara habitat sungai dengan perkebunan dengan nilai 0, artinya tidak adanya spesies yang sama diantara kedua habitat.

5. Keberadaan Jenis Amfibi Pada Beberapa Tipe Habitat

Pengelompokan lokasi penelitian dibagi menjadi tiga, yaitu habitat hutan, habitat perkebunan dan habitat sungai. Pembagian ini dikarenakan amfibi memiliki karakteristik habitat yang berbeda. Menurut Mistar (2003) berdasarkan kebiasaan hidupnya amfibi dapat dikelompokkan kedalam empat kelompok, yakni: Teresterial, Arboreal, Aquatik, Fossorial. Hasil penelitian yang dilakukan, menunjukan bahwa di habitat hutan merupakan kelompok yang memiliki kesamaan dengan habitat perkebunan, sehingga ditemukan jenis-jenis amfibi yang relatif sama. Sedangkan untuk habitat akuatik bisa dikategorikan sangat berbeda dengan habitat teresterial. Untuk gambaran keberadaan amfibi yang ditemukan pada berbagai tipe habitat, dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.


(51)

Gambar 3. Keberadaa Pada Gambar 3 di ata amfibi, habitat perkeb ditemukan 70 spesies individu dari 15 jenis individu terbanyak ( Bufonidae (9 %), Fam Sedangkan spesies ya

hosii sedangkan jeni Ansonia leptopus dan satu individu.

Perbedaan penemuan antara habitat sungai d sama diantara kedua h

0 20 40 60 80 Hutan 7 J u m la h S p es ie s T Famili Bufonidae Megoph

daan Jenis Amfibi dibeberapa Tipe Habitat atas menunjukkan bahwa, habitat hutan ditem kebunan ditemukan 13 spesies amfibi dan pad ies amfibi. Persentase hasil penelitian yang di

nis amfibi yang ditemukan, Famili Ranidae m (72 %), setelah itu Famili Microhylidae Famili Rhacophoridae (7 %) dan Famili Meg yang memiliki jumlah individu yang terbany enis yang memiliki jumlah individu paling dan Ingerophrynus divergens jenis tersebut ha

an spesies dari ketiga habitat, yang paling m ai dengan habitat perkebunan dengan tidak adan

a habitat, ini dibuktikan dengan perhitungan in Perkebunan Sungai 0 2 1 2 0 5 5 0 6 2 68 3 4 0 Tipe Habitat

phryidae Microhylidae Ranidae Rhacophoridae

mukan 22 spesies ada habitat sungai di dapat dari 105 memiliki jumlah ae (9 %), Famili egophryida (3%). nyak adalah Rana

ng sedikit adalah hanya ditemukan

menonjol adalah anya spesies yang indeks kesamaan


(52)

dengan nilai 0. Hal ini menunjukkan bahwa amfibi sangat membutuhkan habitat yang spesifik untuk bertahan hidup. Menurut Mistar (2008) amfibi mempunyai daerah persebaran yang sangat luas di dunia, menempati semua benua kecuali Antartika, dapat dijumpai dari dari laut, sungai, darat, tepi pantai, hutan dataran rendah sampai pegunungan, namun demikian bukan berarti setiap jenis amfibi dan reptil dapat dijumpai di semua tempat. Beberapa jenis amfibi memiliki daerah sebaran yang sempit dan terbatas, kadang hanya dijumpai pada tipe habitat spesifik, sehingga jenis-jenis yang mempunyai habitat spesifik sangat baik digunakan sebagai jenis indikator terjadinya perubahan lingkungan.

Hasil penelitian penulis ternyata persebaran amfibi terdapat juga ditempat yang lain secara spesifik di sumatera. Daftar penemuan amfibi yang ditemukan di Sumatera dapat di lihat pada Tabel 6 di bawah ini:

Tabel 6. Daftra Penemuan Amfibi yang ditemukan di Sumatera

No. Nama Peneliti dan

Tahun

Tempat Penelitian Spesies yang ditemukan

1 Ariza, Dewi dan Darmawan (2012) UNILA

Youth Camp Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran

Menemukan 5 Famili (Bufonidae, Megophryidae, Microhyidae, Ranidae dan

Rhacophoridae) yang terdiri dari 15 jenis amfibi

2 Sartono (2007) UNILA Youth Camp Tahura WAR Menemukan 4 Famili (Bufonidae, Microhyidae, Ranidae dan Rhacophoridae) yang terdiri dari 10 jenis amfibi 3 Darmawan (2008) IPB Eks-HPH PT Rimba Karya

Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi

Menemukan 5 Famili (Bufonidae, Megophryidae, Microhyidae, Ranidae dan

Rhacophoridae) yang terdiri dari 37 jenis amfibi

4 Ul- Hasanah (2006) IPB Bukit Barisan Selatan National Park, Lampung – Bengkulu

Menemukan 5 Famili (Bufonidae, Megophryidae, Microhyidae, Ranidae dan

Rhacophoridae) yang terdiri dari 44 jenis amfibi 5 HIMAKOVA (2004) IPB Sukaraja TNBBS 13 jenis amfibi 6 HIMAKOVA (2006) IPB Seksi Way Kanan TNWK 18 jenis amfibi


(1)

PERSEMBAHAN

PERSEMBAHAN

PERSEMBAHAN

PERSEMBAHAN

Dengan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil ini

untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta serta adikku

tersayang tak pernah berhenti memberikan do’a dan

kasih sayang serta tak pernah lelah menanti

keberhasilanku

Saudara-saudaraku angkatan 2008 (Sylvester)

terima kasih atas semua semangat, motivasi, do’a

serta kebersamaan yang tak terlupakan di Kehutanan


(2)

RIWAYAT HIDUP

Dengan rahmat Allah SWT penulis dilahirkan di Kota Besi Kecamatan Batu Brak Kabupaten Lampung Barat pada tanggal 19 November 1989. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Yusmadi (Alm) dan Ibu Sarwati. Jenjang pendidikan penulis dimulai pada tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri 1 Kota Besi, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Belalau pada tahun 2002 hingga tamat pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Liwa dan menyelesaikannya pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagi mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur PKAB.

Penulis pernah melakukan Kuliah Lapang Kehutanan di Bogor (Kebun Raya Bogor, Semeo Biotrop, Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan), Jakarta (Kementerian Kehutanan), Cagar Alam Anak Krakatau, Tahura WAR, Taman Nasional Way Kambas, Praktik Umum di KPH Purwakarta BKPH Pangkalan dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Untuk


(3)

menambah pemahaman keilmuan penulis pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Analisis Keanekaragaman Flora dan Fauna (AKFF). Selain itu penulis juga aktif mengikuti berbagai seminar antara lain, Seminar Konferensi Nasional Sylva Indonesia (KNSI) 2010, Seminar Lingkungan Hidup 2011, Seminar Pengetahuan dan Teknologi 2011, Seminar Karya Tulis Ilmiah 2012, Seminar Hutan Kemasyarakatan (HKm) 2012, Seminar Kukang 2012, Seminar Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) 2012 dan Seminar Kehutanan 2012.

Pada bidang organisasi penulis pernah menjadi pengurus Lembaga Kampus antara lain, Anggota Bidang I (Rumah Tangga) Himasylva periode 2009-2010, Sekretaris Pansus Pemira Fakultas Pertanian 2009-2010, Anggota Bidang II (Pengkaderan dan Penguatan Organisasi) Himasylva periode 2010-2011, Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Pertanian periode 2010-2011, Kabid Bidang I (Rumah Tangga) Himasylva periode tahun 2011-2012 dan inisiator komunitas TWEETER (Tahura WAR Exploration Ecosystem for Ecotourism and Research).


(4)

SANWACANA

Asslamu’alaikum War. Wab.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) Pada Berbagai Tipe Habitat di Youth Camp Desa Hurun Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran” skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW, dengan harapan di hari akhir akan mendapatkan syafaatnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna langkah penulis berikutnya yang lebih baik. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan skripsi ini akan bermanfaat bagi pembaca.

Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan saran berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Hj. Bainah Sari Dewi, S.Hut, M.P selaku pembimbing utama dan pembimbing akademik penulis serta Bapak Dr. Arief Darmawan, S.Hut, M.Sc.


(5)

sebagai pembimbing kedua, atas bimbingan, arahan, dan motivasi yang telah diberikan hingga terselesainya penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si. selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung sekaligus dosen penguji atas saran dan kritik yang telah diberikan hingga terselesainya penulisan skripsi ini.

3. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas ilmu yang telah diberikan.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

5. Bapak Ir. Warsito selaku Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Lampung.

6. Bapak Ir. Wiyogo selaku Kepala UPTD Tahura WAR yang telah memberikan

izin lokasi penelitian, fasilitas dalam penelitian dan bantuan pemberian data yang menunjang penelitian penulis.

7. Polisi Hutan dan Bang Adi atas bantuannya kepada penulis di lokasi penelitian. 8. Teristimewa penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu tercinta, Yusmadi (Alm)

dan Sarwati untuk setiap tetes keringat dan air mata dan selalu berdo’a untuk keberhasilan penulis serta adik penulis Yoki Musfika, Yeko Sino dan Putri Ulan Dari yang selalu dapat membuat penulis bersemangat.

9. Saudara penulis Daus, Boby, Bondan, Dedy dan Rio yang telah banyak membantu penulis dalam pengambilan data.

10.Teman-teman angkatan 2008 (Sylvester) atas kebersamannya mulai dari langkah awal di kehutanan hingga sekarang, penulis sangat menyayangi kalian serta terima kasih atas canda dan tawa yang akan selalu terkenang manis oleh penulis.


(6)

11. Saudara dan sahabat Himasylva FP Unila yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu atas kebersamaannya yang selama ini terbina, semoga akan tetap selalu bersama.

12. Adik-adik tingkat penulis, yang selalu memberikan motivasi.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamu’alaikum War. Wab.

Bandar Lampung, 11 Januari 2013 Penulis,