Menekan Konsumsi BBM Koran Jakarta 29.03

Kamis, 29 Maret 2012
6:49:20 WIB

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/87187, 29 Maret 2012

Gagasan
Kamis, 29 Maret 2012 | 02:59:04 WIB

Bagikan

Menekan Konsumsi BBM
Pembahasan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berjalan alot.
Bahkan, sempat terkesan DPR akan lepas tangan ketika pemimpin
Banggar DPR menyatakan, "Kami tidak menyetujui ataupun menolak
kenaikan harga BBM."
Hal itu seakan-akan menggambarkan bahwa legislatif sesungguhnya
paham dan mengerti situasi dan kondisi yang dihadapi eksekutif, namun
enggan menyetujui kebijakan yang disodorkan eksekutif. DPR tidak
tertarik ikut menanggung risiko politik dan ongkos sosial atas kenaikan
harga BBM.
Sesungguhnya perdebatan itu tidak hanya di level politis, melainkan juga

akademis. Di satu sisi, sebagian pengamat menilai bahwa pemerintah
tengah menutupi kondisi yang sebenarnya untuk melegitimasi kenaikan
harga BBM.
Menurut mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, pemerintah
sesungguhnya tidak rugi dari proses penjualan minyak, justru untung
hampir 98 triliun rupiah. Ada sebagian kalangan yang mengatakan
anggaran subsidi pemerintah tidak perlu jebol karena masih dapat
ditutupi melalui penambahan penerimaan negara bukan pajak. Bahkan

dengan mengambil langkah itu, pemerintah bisa surplus 3,9 triliun rupiah.
Di sisi lain, sebagian pengamat menyatakan dukungannya pada rencana
kenaikan harga BBM yang diusung pemerintah. Terdapat tiga alasan
utama yang kerap digunakan untuk melegitimasi pandangan tersebut.
Pertama, harga BBM perlu ditingkatkan guna mencegah penyelundupan
BBM ke luar negeri. Kedua, harga BBM perlu disesuaikan dengan kenaikan
harga minyak dunia pascakonflik Selat Hormutz. Ketiga, subsidi BBM
dianggap salah sasaran karena 70 persen pengonsumsi BBM adalah
masyarakat mampu.
Pemerintah berkeyakinan bahwa dengan menaikkan harga BBM, subsidi
dapat difokuskan untuk sektor lain dengan fokus masyarakat miskin.

Sanggah-menyanggah konsep berbasis data tadi perlu diapresiasi dan
dilestarikan. Namun, mengenai kebenaran dan validitasnya, biarlah
ahlinya (ekonom) yang menilai.
Yang jelas, menaikkan harga BBM bukanlah semata-mata urusan hitunghitungan ekonomi. Naik atau tidaknya harga BBM merupakan masalah
publik yang pemecahannya perlu dibantu ilmu kebijakan publik yang
bersifat multidisiplin. Menurut Whitehead, pendekatan multidisiplin dapat
meningkatkan keakuratan untuk mencari masalah dan jawaban yang
selama ini tampak kabur akibat pendekatan yang monodisipilin (Rasjidi
dan Putra, 2003).
Konsumsi
Kebijakan harga BBM tampak tidak jelas karena semua pihak berkutat
pada masalah harga BBM. Padahal, problem sesungguhnya terletak pada
besaran beban konsumsi nasional; semakin banyak konsumsi BBM
nasional, tambah berat pula beban subsidi.
Terkait dengan besaran konsumsi BBM nasional, terdapat lima masalah
internal yang membuat konsumsi BBM nasional membengkak. Akibatnya,
apa pun kebijakan yang dipilih pemerintah saat ini, apabila tidak
menyentuh kelima penyebab masalah itu, tidak akan tuntas
menyelesaikan masalah.


KORAN JAKARTA/GANJAR DEWA

Apa pun kebijakan yang dipilih pemerintah saat ini, apabila tidak menyentuh
kelima penyebab masalah itu, tidak akan tuntas menyelesaikan masalah.
Kelima masalah tersebut ialah (1) penambahan laju penduduk yang
hampir tidak terkendali, (2) kegagalan dalam mendesain, menerapkan,
dan menjaga rencana tata ruang wilayah, (3) kegagalan dalam
menyediakan transportasi publik, (4) budaya konsumerisme dan
hedonisme masyarakat Indonesia yang tinggi, serta (5) menganggap
bahwa keempat poin sebelumnya tidak berhubungan dengan kebijakan
pengelolaan energi nasional.
Tingginya laju penduduk Indonesia merupakan akar masalah dari berbagai
hal, termasuk energi. Cadangan energi yang tidak dapat diperbarui
menipis, semenara inovasi penciptaan sumber energi yang dapat
diperbarui berjalan lambat. Padahal kebutuhan atas pelayanan energi
semakin meningkat akibat ledakan penduduk.
Ledakan penduduk juga mengakibatkan masalah tempat tinggal.
Masyarakat berlomba-lomba mencari tanah di pinggiran kota sebagai
hunian. Pinggiran kota adalah pilihan yang logis karena harga tanah di
tengah kota sangat mahal. Akibatnya, terjadi peningkatan kebutuhan

bahan bakar masyarakat untuk menempuh perjalanan pergi-pulang dari
rumah ke kantor.
Tersebarnya lokasi hunian penduduk di berbagai tempat mengakibatkan
kesulitan tersendiri bagi pemerintah dalam menyediakan layanan
transportasi massal. Akibatnya, masyarakat menjadi semakin bergantung
pada kendaraan pribadi. Artinya, hal tersebut akan berakibat pada
peningkatan konsumsi BBM nasional.
Beban kebutuhan BBM nasional juga meningkat karena banyak
masyarakat yang terkena penyakit hedonisme dan konsumerisme. Mereka

memilih menggunakan kendaraan pribadi, bahkan yang ber-CC besar dan
boros konsumsi BBM, dengan alasan citra dan gengsi.
Mencermati aneka masalah itu, baik kiranya pemerintah tidak
"mengerdilkan" masalah energi nasional dengan hanya mengulas
mengenai naik atau tidaknya harga BBM. Pemerintah perlu mengambil
aneka kebijakan guna memastikan beban konsumsi BBM nasional
berkurang.
Beberapa kebijakan yang dapat digunakan antara lain (1)
mengoptimalkan kembali program keluarga berencana, (2) mendesain
tata ruang secara optimal dan mendorong pembangunan permukiman

secara vertikal, (3) menyediakan transportasi publik dengan baik,
termasuk subsidi agar biaya transportasi publik murah, serta (4)
merancang kenaikan pajak bagi pembelian dan kepemilikan kendaraan
boros energi.
Oleh Richo Andi Wibowo
Penulis adalah dosen hukum dan kebijakan publik pada Bagian Hukum
Administrasi Negara FH UGM