ANALISIS SPASIAL POTENSI BAHAYA DAERAH P

 

1

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

ANALISIS SPASIAL POTENSI BAHAYA DAERAH PANTAI
TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
(STUDI KASUS: PULAU BALI)
Huda Bachtiar(1), Franto Novico(2)

2)Pusat

1) Balai Pantai, Puslitbang-SDA, Kementerian Pekerjaan Umum
Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), Kementerian ESDM

ABSTRAK
Percaya atau tidak, iklim pada saat ini merupakan salah satu faktor yang mengendalikan roda ekonomi. Latar belakang tersebut
menjadi dasar kajian analisis spasial potensi bahaya di daerah pantai ini dilakukan dengan Pulau Bali sebagai area kajian. Studi
ini diharapkan dapat memberikan informasi secara spasial daerah mana yang memiliki potensi bahaya berdasarkan hasil
simulasi. Dalam simulasi spasial tersebut merupakan gabungan data DEM (digital Elevation Model) sebagai peta dasar dan

perhitungan potensi bahaya untuk setiap parameter. Parameter potensi bahaya terdiri dari; 1)proyeksi kenaikan muka air dan
temperatur, 2) kejadian ENSO, 3) gelombang badai, serta parameter hidro-oseanografi berupa 4)gelombang angin, 5) data
MHWL dan LLWL hasil analisis pasang surut. Proyeksi kenaikan muka air laut dan temperatur merupakan suatu parameter yang
mengindikasikan terjadinya perubahan iklim. Proyeksi kenaikan muka air laut dari model IPCC yang direferensikan dengan data
historis pulau Bali (data tide gauge dan altimetri) menunjukan trend yang relatif sama, dimana berdasarkan skenario SRESa1b
untuk tahun 2030 menunjukan kenaikan yang bervariasi dari 10.5 cm sampai 24 cm terhdap kenaikan muka air di tahun 2000.
pada tahun 2080 akan mencapai 28 cm sampai 55 cm, dan pada tahun 2100 dapat mencapai 40 sampai 80 cm. Begitu pula
proyeksi kenaikan temperatur, dimana analisis SST menunjukan hasil simulasi dari skenario IPCC SRESa1b memiliki
kecenderungan nilai temperatur yang cenderung mendekati (nilai temperatur di Bali Utara 0.0159-0.0290C dan Bali Selatan
0.0169-0.03380C) dengan perhitungan data bulanan dari NOAA (National Oceanography and Atmospheric Agency) Optimum
Interpolation (OI) version 2 (Reynolds and Smith, 1994), yaitu nilai SST pada tahun 1981-2012 sekitar 0.0272 0C. . Hasil simulasi
skenario 1 yang diasumsikan kondisi eksisting berupa akumulasi data SLR, MHWL, dan gelombang angin. Hasil simulasi spasial
skenario 1 menunjukan Kab. Buleleng sebagai kabupaten yang memiliki nilai terluas untuk level bahaya yang sangat tinggi dapat
mencapai 20.67 km2, sedangkan area terendah dengan level bahaya tertinggi terdapat di Kab. Denpasar dengan estimasi luas
area mencapai 3.12 km2. Skenario 3 berupa akumulasi parameter bahaya pada kondisi ekstrim menghasilkan estimasi luas area
yang relatif lebih besar dibanding skenario 1, seperti luas area dengan level bahaya sangat tinggi di Kab. Buleleng mengalami
penambahan area dari 20.67 km2 menjadi 32.55 km2. Selain itu, akumulasi potensi bahaya sebagai fungsi dari waktu juga
mempengaruhi luasan area yang dihasilkan, dimana luas area Kab. Buleleng dengan level sangat tinggi pada tahun 2012
mengalami penambahan luas area dari 32.55 km2 menjadi 37.26 km2 pada tahun 2030.
ABSTRACT

ABSTRACT
Whether you believe it or not, climate becomes one of the most important factor that derives economic activity nowdays. This
reason is background why this research is conducted with Bali Island as study area.The intention of this activity is giving you
information spatially, which location is having potential of critical situation based on simulation result. The input of this spatial
simulation consists of DEM data and hazard parameters;1) sea level rise and temperature projection, 2)ENSO event, 3) storm
surge, 4)wind induce wave,5)tidal analysis (MHWL and HHWL). Both projection of sea level rise and tempeture show climate
change evidence. sea level rise Projection of IPCC SRESa1b scenario indicates the same value with observation data (tide
gauge data and altimetry), in which SRESa1b scenario increases around 10.5 cm to 24 cm in 2030 corresponds to sea level rise
in 2000.in 2080 will reach up to 28 cm to 55 cm, and in 2100 may reach around 40 cm to 80 cm. In addition, tempeture projection
of IPCC SRESa1b scenario yields nearly the same with observation data. First scenario which is assumed as existing scenario
shows that Buleleng district as the widest area of highest high hazard level (HHHL) may produce up to 20.67 km, nevertheless
the lowest district is Denpasar with HHHL may reach up to 3.12 km. Third scenario as the accumulation of hazard potential in
extreme condition shows that HHHL of Buleleng district may reach up to 32.55 km. In addition, hazard potential correspond to
time also will influence HHHL value, in which HHHL of Buleleng district will increase from 32.55 km in 2012 to 37.26 km in 2030.
Key words: climate change, hazard potential, spatial analysis.
Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

2


Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

PENDAHULUAN
Daerah pantai merupakan area yang dinilai memiliki nilai ekonomi tinggi, baik sebagai sarana transportasi laut,
aktivitas perdagangan, maupun potensi pariwisata. Namun, potensi bahaya di daerah pantai tetap ada, khususnya
potensi bahaya terhadap perubahan iklim di daerah pantai dan potensi terhadap kejadian tsunami. Adapun dampak
dari potensi bahaya tersebut dapat berupa genangan, meningkatnya laju erosi pantai, dan kerusakan yang dapat
bersifat masif (lihat Gambar 1). Selain parameter hidro oseanografi berupa data gelombang angin dan pasang surut,
dimasukan juga parameter potensi bahaya berupa proyeksi trend kenaikan muka air laut dan temperatur
berdasarkan skenario IPCC, kejadian badai (storm surge), estimasi genangan akibat kejadian tsunami, dan
penambahan muka air akibat cuaca ekstrim (ENSO dan kejadian badai).

Gambar 1 Potensi bahaya di daerah pantai
(sumber: Latief, 2010)
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan informasi secara spasial potensi bahaya yang dapat
terjadi di daerah pantai terhadap perubahan iklim dan potensi kejadian tsunami. Analisis spasial potensi bahaya ini
dilakukan di Pulau Bali sebagai daerah kajian, karena pulau tersebut dinilai memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi
khususnya potensi pariwisata di daerah pantai.


Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

3

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka dalam makalah ini berupa hasil kajian yang telah dilakukan terkait kerentanan pantai dan gelombang
badai, dimana dari hasil kajian tersebut juga dijadikan sebagai referensi input paramater dalam analisis spasial.
Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut
kenaikan muka air laut (SLR) karena pemanasan global merupakan salah satu parameter yang memberikan
kontribusi yang signifikan di daerah pantai (Ewing, 2009), dimana SLR merupakan salah satu faktor yang
mempercepat laju erosi, merubah garis pantai, dan memperluas area genangan di sepanjang daerah pantai (Latief,
2010). Selain itu, ketika kenaikan muka air laut dan kenaikan temperatur laut melebihi batas normal dari kemampuan
biota laut untuk beradaptasi maka dampak dari kenaikan tersebut dapat merusak akosistem laut dan ekosistem
pantai (Latief, 2010).
perhitungan proyeksi kenaikan muka air laut berdasarkan hasil kajian resiko dan adaptasi terhadap perubahan iklim
di Pulau Lombok yang telah dilakukan, dimana untuk menghitung trend dan laju kenaikan muka air laut di Pulau Bali

berdasarkan data historis, yaitu data pasang surut di Benoa dan data altimetri (lihat Gambar 2). Analisis hasil
perhitungan berdasarkan data historis menunjukan laju kenaikan muka air laut sekitar 3.5 mm/tahun sampai 8.0
mm/tahun.
Selain itu, ouput model IPCC menunjukan trend yang relatif sama. Data muka air berdasarkan hasil skenario model
IPCC-SRES menunjukan kenaikan muka air bervariasi dari 4mm/thn sampai 8 mm/thn sampai 2100, dimana
berdasarkan skenario SRESa1b untuk tahun 2030 menunjukan kenaikan yang bervariasi dari 10.5 cm sampai 24 cm
terhdap kenaikan muka air di tahun 2000. pada tahun 2080 akan mencapai 28 cm sampai 55 cm, dan pada tahun
2100 dapat mencapai 40 samapai 80 cm.

Gambar 2 proyeksi SLR sampai 2100 a) data pengamatan pasang surut Benoa
b) Distribusi SLR data altimetri (sumber: Latief, 2010)

Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

4

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air


Kenaikan Intensitas Gelombang Badai
Storm surge adalah surge (gelombang) yang disebabkan oleh badai, terutama badai tropis. Storm surge ini
merupakan bencana serius di daerah pantai khususnya di zona tropis dan sub tropis, dimana salah satu dampak dari
badai tropis adalah naiknya muka air ekstrim akibat angin dan tekanan dari siklon tersebut (Riandini, 2011). Storm
surges yang dibangkitkan oleh tropical cyclone di samudera Hindia sering menghantam perairan pantai Jawa, Bali,
dan Nusa Tenggara Barat dan dapat menyebabkan potensi bahaya, seperti tergenangnya insfrastruktur bangunan
pantai dan rumah, relokasi masyarakat ke daerah pengunsian, terganggunya aktivitas pariwisata, dan terganggunya
aktivitas ekonomi di pelabuhan (Nining., et al., 2008).
Berdasarkan hasil kajian simulasi kerentanan terhadap kejadian storm surge (Nining et al., 2009) menunjukan tinggi
maksimum di sepanjang pantai selatan Jawa, Bali, dan NTB terdapat di Nusa Kambangan (Jawa; 19.0 cm), Tuban
(Bali; 14.7 cm), Teluk Gumbang (Lombok; 12.2 cm), dan Tanjung Labulawah (Sumbawa; 12.5 cm). Jarak maksimum
area tergenang (Rmax) dan tinggi run up (H) terjadi di Teluk Penanjung (Java; Rmax = 835.2 m, H = 0.73 m), Tuban
(Bali; Rmax = 623 m, H = 1.02 m), Tanjung Ringgit (Lombok; Rmax = 1112.3 m, H = 1.03 m), and Teluk Cempi
(Sumbawa; Rmax = 4136.5 m, H = 1.0 m).

METODOLOGI
Metode yang dilakukan dalam analisis spasial ini secara sederhana dapat dijelaskan, dimana pembuatan peta
potensi bahaya dengan cara menggabungkan peta eksisting dan kondisi ekstrem. Peta eksisting merupakan peta
dasar yang didalamnya sudah menggambarkan kondisi hidro-oseanografi sepuluh tahun terakhir, sementara peta
potensi bahaya berisikan skenario dari masing-masing jenis kondisi ekstrem yang mungkin terjadi (lihat Gambar 3).


Gambar 3 diagram alir pembuatan peta potensi bahaya

Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

5

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Kondisi ekstrem yang digambarkan pada peta adalah run up ketinggian muka air laut yang akan melimpas ke
onshore. Sehingga dari masing-masing kombinasi scenario tersebut dapat diketahui seberapa jauh dampak
perubahan garis pantai yang akan terjadi di Pulau Bali.

PETA DASAR
Peta dasar dalam kajian ini menggunakan data elevasi secara spasial di Pulau Bali atau dikenal sebagai data DEM.
Data tersebut didapat dari GLCF dengan tingkat akurasi 90 meter (lihat Gambar 4).

Gambar 4 Peta dasar Pulau Bali

(sumber: GLCF, 2012)
POTENSI BAHAYA DAN PARAMETER HIDRO-OSEANOGRAFI
Proyeksi Kenaikan Temperatur
perhitungan analisis SST berdasarkan perhitungan data bulanan dari NOAA (National Oceanography and
Atmospheric Agency) Optimum Interpolation (OI) version 2 (Reynolds and Smith, 1994) sebagai referensi data dari
hasil simulasi model IPCC. Dari perhitungan tersebut didapat nilai SST tahun 1981-2012 sekitar 0.02720C.dari
skenario IPCC SRESa1b memiliki kecenderungan nilai temperatur yang cenderung mendekati dengan nilai
temperatur di Bali Utara 0.0159-0.029 0C dan Bali Selatan 0.0169-0.0338 0C (lihat Tabel 1). Selain itu, kenaikan SST
secara global antara 0.3-0.4 0C (Rayner, et al.,2003).

Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

6

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Tabel 1 model kenaikan temperatur SST skenario IPCC


No.
1
2
3

Temperatur Permukaan Laut (0C)
MODEL IPCC
A1B
A2
B1
 Bali Utara
 Bali Selatan
Bali Utara
Bali Selatan
Bali Utara  Bali Selatan
CCCMA
0.01591
0.01685
0.02831
0.02815

0.01072
0.01056
MIROC
0.01939
0.01981
0.02952
0.02906
0.01729
0.01740
MRI
0.02715
0.03375
0.03557
0.03430
0.01992
0.01985
Range
0.0159 ‐‐ 0.029 0.0169 ‐‐ 0.0338 0.0283 ‐‐ 0.036 0.0281 ‐‐ 0.0343 0.0107 ‐‐ 0.020 0.0105 ‐‐ 0.020

Analisis Anomali Muka Air Terkait ENSO

ENSO merupakan salah satu fenomena akibat adanya interaksi atmosfer-laut di daerah tropikal pasifik (Philander
1983; Suarez dan Schopf, 1988; Jin, 1998), dimana variabilitas ENSO ini merupakan salah satu sumber variabilitas
terbesar yang di bangkitkan karena coupled process antara laut dan atmosfer (Philander, 1983, 1990), yang
dampaknya terhadap perubahan sistem iklim global (Rasmusson dan Carpenter, 1982; Ropelewski dan Harpelt,
1987; Trenberth et al., 1998; Goddard dan Dilley, 2005). Kejadian ENSO ini dapat dideteksi dengan melihat anomali
temperatur di Pasifik Tengah dan di perairan Indonesia. Pada tahun La Niña suhu permukaan laut di Pasifik
mengalami penurunan dan sebaliknya di Indonesia mengalami kenaikan suhu permukaan laut. Ketika kondisi El Niño
suhu permukaan laut di Pasifik Tengah mengalami kenaikan dan sebaliknya di Indonesia mengalami penurunan
suhu permukaan laut (Indrawan, 2011).
Periode kejadian la nina selama tahun 1954-2011diperlihatkan tabel dan periode el nino 1957-2007 diperlihatkan
Tabel 2. Kenaikan ini dikarenakan oleh massa dari kolam air panas pada tahun La Niña terbawa menuju ke arah
Indonesia bagian timur akibat menguatnya Angin Timuran. Hal ini berdampak pada terjadinya penumpukkan massa
air di daerah Indonesia yang kemudian dapat menaikkan level muka air laut di perairan Indonesia. Selain itu,
meningkatnya level muka laut pada tahun La Niña adalah akibat adanya massa air bertemperatur lebih tinggi yang
dibawa dari Pasifik Timur berasosiasi dengan massa air di perairan Indonesia yang menyebabkan massa air memuai
dan meningkatkan level permukaan air pada tahun La Niña (Indrawan, 2011).

Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

7

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Tabel 2 periode kejadian La nina (sumber: BMKG, 2010)

Hasil perhitungan anomali muka air dari data uhscl perarian Bali menunjukan kenaikan muka air perioda la nina
sebesar 25 cm (lihat Gambar 5).

Anomali (mm)

Anomali Elevasi Perairan Bali
50
40
30
20
10
0
‐10
‐20
‐30
‐40
Sep‐05

La Nina Moderat 2007‐2008

BENOA
PRIGI
El Nino Lemah 2009

LAMBAR

El Nino Moderat  2006‐2007

Jan‐07

Jun‐08

Okt‐09

Feb‐11

Waktu

Gambar 5 hasil pengolahan anomali elevasi perairan Bali
Gelombang Angin
Data angin berupa kecepatan dan arah angin harian. Data ini didapatkan dari stasiun BMG Ngurah Rai di
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung-Bali dengan koordinat, '08° 44' 55" LS dan 115° 10' 09" BT. Berdasarkan
rekaman data sejak 1 Januari 2003 hingga 30 November 2010 maka dapat diketahui bahwa arah angin dominan
Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

8

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

berasal dari timur, tenggara dan barat. Peramalan gelombang dilakukan dengan menghitung pembentukan
gelombang di laut dalam dianalisa dengan rumus – rumus empiris yang diturunkan dari model parametrik
berdasarkan spektrum gelombang JONSWAP (Shore Protection Manual, 1984). Berdasarkan hasil peramalan dapat
diketahui bahwa kondisi gelombang ekstrem di lokasi Ngurah Rai memiliki ketinggian maksimum sebesar 3.46 m
untuk kala ulang 200 tahun (lihat Tabel 3).
Tabel 3. Nilai Kondisi Ekstrem Gelombang di Sta. Ngurah Rai

Analisis Pasang Surut
Pasang surut merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam analisis potensi bahaya, karena besarnya
suatu elevasi pasang surut di perairan dengan level tertentu akan memberikan elevasi yang signifikan ketika pasang
air tertinggi dari suatu nilai pasang surut diakumulasikan dengan fenomena lain di laut. Analisis pasang surut
dilakukan dengan melakukan pengukuran muka air selama 17 hari, yaitu pada tanggal 20 Januari-5 Februari 2011
(lihat Gambar 6). Pengukuran tersebut dilakukan untuk memperoleh karakteritik pasang surut pada saat kondisi
pasut purnama dan pasut perbani di Tanjung Benoa, Bali. Hasil pengukuran tersebut dijadikan sebagai referensi
dalam analisis pasang surut dalam kajian analisis spasial ini.
Hasil analisis pasang surut menunjukan karakteristik pasang surut di Tanjung Benoa cenderung semidiurnal hal ini
berdasarkan perhitungan nilai Formzal sebesar 0.54, dimana muka air di perairan tersebut cenderung terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut dalam satu hari. Selain itu, nilai pasang air tertinggi (HHWL) sebesar 3.796 m dan nilai
rata-rata muka air (MHWL) sebesar 2.047 m.

Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

9

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 6 Data hasil pengukuran muka air Tanjung Benoa, Bali
SKEMATISASI SKENARIO POTENSI BAHAYA
Skematisasi model dilakukan dengan membagi model menjadi tiga skenario pada tahun 2012 dan pada tahun 2030
(lihat Tabel 4). Pembagian skenario tersebut berdasarkan akumulasi setiap potensi bahaya yang digabungkan
terhadap peta dasar. Skenario pertama merupakan simulasi spasial kondisi eksisting, dimana parameter input
berupa nilai SLR, MHWL, dan gelombang angin cenderung berada dalam kondisi tidak ekstrim. Sedangkan, skenario
dua dan skenario tiga merupakan akumulasi parameter pada kondisi ekstrim.
Tabel 4 Skematisasi Model

No.

Potensi Bahaya

1
2
3
4
5
6
7

Sea Level Rise (A1B)
MHWL (Mean High Water Level )
HHWL (Highest High Water Level )
Gelombang Angin
Gelombang Angin (ekstrem)
La Nina
Gelombang Badai

Akumulasi

Skenario 

Skenario 1 (SLR + MHWL + Gelombang Angin)
(1)+(2)+(4)
Skenario 2 (SLR + HHWL + Gelombang Angin Ekstrem)
(1)+(3)+(5)
(1)+(3)+(5)+(6)+(7) Skenario 3 (SLR + HHWL + Gelombang Angin Ekstrem + La Nina + Badai)
Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

10

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

PETA POTENSI BAHAYA
Peta potensi bahaya berupa pemberian informasi secara spasial area yang berpotensi terkena dampak dari suatu
bencana berdasarkan input parameter bahaya. Analisis potensi bahaya berdasarkan pembagian cluster yang
merepresentasikan kondisi pantai Bali di setiap lokasi, yaitu Kab. Buleleng (Bali Utara), Kab. Karangasem (Bali
Timur), Kab. Denpasar (Bali Selatan), dan Kab. Jembrana (Bali Barat). Secara umum, hasil simulasi menunjukan
daerah dengan potensi bahaya sangat tinggi memiliki luas area yang sempit, karena daerah tersebut memiliki
karakteristik topografi yang relatif tinggi misal daerah Uluwatu di Bali Selatan. Begitu juga sebaliknya, daerah dengan
potensi bahaya sangat tinggi memiliki luasan area yang luas cenderung memiliki karakteristik topografi yang relatif
landai, seperti daerah Buleleng di Bali Utara (lihat Gambar 7). Selain itu, skenario 3 menunjukan potensi bahaya
pada kondisi ekstrim, dimana skenario tersebut merupakan akumulasi dari setiap parameter yang memiliki periode
ulang kejadian yang relatif panjang, seperti fenomena ENSO yang memiliki periode ulang 2-7 tahun. Hasil simulasi
menunjukan skenario 3 dengan potensi bahaya yang sangat tinggi memiliki luasan area yang lebih besar
dibandingkan skenario 1 (lihat Gambar 8).

Gambar 7 analisis spasial skenario satu tahun 2012

Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

11

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 8 analisis spasial skenario tiga tahun 2012

Kuantifikasi data menunjukan luasan daerah bahaya dengan klasifikasi bahaya dari level sangat bahaya sampai
level sangat rendah di setiap cluster (lihat Tabel 5). Hasil kuantifikasi data skenario 1 dengan potensi bahaya sangat
tinggi berada di daerah Buleleng (Bali Utara) dengan estimasi area 20.67 km2, sedangkan daerah terluas ke dua
dengan potensi bahaya yang sangat tinggi berada di daerah Jembrana (Bali Barat) dengan estimasi area 15.60 km2.
Hasil identifikasi lapangan menunjukan bahwa daerah Buleleng dan Jembrana cenderung memiliki karakter topografi
yang landai dibandingkan cluster lainnya. Selain itu, historikal data bencana di Pulau Bali pada tahun 2010 sampai
tahun 2012 menunjukan setiap tahun telah terjadi kerusakan akibat gelombang pasang di Pulau Bali. pada tahun
2010 telah terjadi kerusakan akibat gelombang pasang dengan frekuensi kejadian empat kali di Kab. Buleleng pada
bulan Januari (BKBPPM Provinsi Bali, 2010). Pada tahun 2011 telah terjadi kerusakan akibat gelombang pasang
dengan frekuensi kejadian enam kali di Kab. Buleleng pada bulan Januari dan Februari dan di Kab. Jembrana satu
kali di Bulan Juni (BKBPPM Provinsi Bali, 2011). Serta, pada bulan Maret 2012 telah terjadi akibat gelombang
pasang (BPBD-Kab. Buleleng, 2012). Sedangkan, area dengan potensi bahaya sangat tinggi yang memiliki nilai
terendah berada di Kab. Denpasar, karena karakteristik kabupaten tersebut cenderung memiliki karakter topografi
yang tinggi.

Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

12

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Tabel 5 kuantifikasi luas area terhadap potensi bahaya
TAHUN

SKENARIO
1
2
3
1
2
3

2012

2030

1
3.12
4.03
4.51
3.12
4.03
4.87

2
2.12
2.05
1.99
2.12
2.05
2.01

Denpasar
3
1.26
1.32
1.57
1.26
1.32
3.69

4
0.42
2.80
1.52
0.42
2.80
1.46

5
1.76
0.24
0.65
2.52
0.51
0.84

1
15.60
19.47
22.21
15.60
19.47
24.84

LUAS AREA BAHAYA (km2)
Jembrana
2
3
4
10.60
5.85
2.68
10.94
7.04
5.45
9.85
6.57
1.16
10.60
5.85
2.68
10.94
7.04
5.45
10.25
7.80
6.26

5
5.49
1.33
8.10
7.45
1.67
2.48

1
20.67
27.23
32.55
20.67
27.23
37.26

2
18.79
18.66
16.66
18.79
18.66
15.81

Buleleng
3
9.77
11.41
10.37
9.77
11.41
12.56

4
4.43
7.98
7.96
4.43
7.98
4.54

5
8.32
2.70
4.68
11.36
2.60
6.95

LUAS AREA BAHAYA (km2)
TAHUN

SKENARIO
1
2
3
1
2
3

2012

2030

1
11.78
13.77
15.21
11.78
13.77
16.55

Karangasem
2
3
5.41
2.99
5.55
3.51
4.98
3.14
5.41
2.99
5.55
3.51
4.64
4.04

4
1.36
2.41
2.18
1.36
2.41
1.84

5
2.52
0.25
1.75
3.46
0.56
1.65

keterangan:
1
2
3
4
5

sangat tinggi
tinggi
moderat
rendah
sangat rendah

Estimasi luas area yang berpotensi terhadap input parameter bahaya akan memberikan pengaruh yang sangat
signifikan ketika parameter potensi bahaya pada kondisi ekstrim berakumulasi dan penambahan trend besarnya nilai
parameter bahaya terhadap waktu seperti ditunjukan hasil simulasi skenario 3. Hasil simulasi skenario 3 pada tahun
2012 di Kab. Buleleng menunjukan potensi bahaya dengan level sangat tinggi dapat mencapai 32.55 km2, dengan
demikian terdapat penambahan luas area yang mencapai 11.88 km2. Selain itu, estimasi luas area dengan potensi
bahaya sangat tinggi setelah 18 tahun kemudian (tahun 2030) mengalami trend penambahan luas area, dimana hasil
simulasi skenario 3 pada tahun 2030 dapat mencapai 37.26 km2.

KESIMPULAN






Analisis spasial potensi bahaya dilakukan dengan menggabungkan peta dasar berupa data DEM (resolusi
90 m) yang digabungkan input parameter potensi bahaya , yaitu proyeksi trend kenaikan muka air laut dan
temperatur, gelombang badai, parameter ENSO, gelombang angin pada kondisi ekstrim. Serta, parameter
hidro-oseanografi berupa data MHWL dan HHWL hasil analisis pasang surut dan gelombang angin.
Proyeksi kenaikan muka air laut dari model IPCC yang direferensikan dengan data historis pulau Bali (data
tide gauge dan altimetri) menunjukan trend yang relatif sama, dimana berdasarkan skenario SRESa1b
untuk tahun 2030 menunjukan kenaikan yang bervariasi dari 10.5 cm sampai 24 cm terhdap kenaikan muka
air di tahun 2000. pada tahun 2080 akan mencapai 28 cm sampai 55 cm, dan pada tahun 2100 dapat
mencapai 40 samapai 80 cm. Begitu pula proyeksi kenaikan temperatur, dimana analisis SST menunjukan
hasil simulasi dari skenario IPCC SRESa1b memiliki kecenderungan nilai temperatur yang cenderung
mendekati (nilai temperatur di Bali Utara 0.0159-0.0290C dan Bali Selatan 0.0169-0.03380C) dengan
perhitungan data bulanan dari NOAA (National Oceanography and Atmospheric Agency) Optimum
Interpolation (OI) version 2 (Reynolds and Smith, 1994), yaitu nilai SST pada tahun 1981-2012 sekitar
0.02720C.
Hasil simulasi di skenario 1 yang diasumsikan kondisi eksisting menghasilkan estimasi luas area yang
cenderung sesuai dengan identifikasi kondisi lapangan dan data historis kebencananaan Provinsi Bali pada
tahun 2010 sampai tahun 2012, dimana Kab. Buleleng dengan potensi level sangat tinggi terluas dengan
luas area 20.67 km2 memiliki karakteristik topografi yang cenderung landai dan historis data bencana
Provinsi Bali menunjukan telah terjadi kerusakan akibat gelombang pasang dengan frekuensi kejadian
Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

13

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air



sebelas kali (data tahun 2010 s/d 2012). Sedangkan, area yang memiliki luas area terkecil dengan level
sangat tinggi terdapat di Kab. Denpasar dimana luas area potensi bahaya dapat mencapai 3.12 km2. Hal
tersebut, disebabkan Kab. Denpasar cenderung memiliki karakteristik topografi yang tinggi.
Skenario 3 menunjukan kondisi ekstrim dimana terjadi akumulasi parameter potensi bahaya, dimana terjadi
penambahan luas area dengan potensi sangat tinggi di Kab. Buleleng dari 20.67 km2 (skenario 1) menjadi
32.55 km2 (skenario 3). Selain itu, trend penambahan luas area juga dipengaruhi oleh kondisi parameter
bahaya sebagai fungsi dari waktu. Hal ini ditunjukan dengan estimasi luas area terhadap potensi bahaya
pada tahun 2030, dimana hasil simulasi terluas (Kab. Buleleng) dengan level potensi bahaya sangat tinggi
di skenario 3 menghasilkan penambahan luas area sekitar 4.71 km2 terhadap hasil simulasi skenario 3 di
Kab. Buleleng pada tahun 2012.

SARAN
• Penambahan parameter potensi bahaya di daerah pantai seperti tsunami akan lebih melengkapi data base
peta potensi bahaya.
• Hasil simulasi dengan data DEM yang memiliki resolusi lebih detail akan lebih merepresentasikan kondisi
spasial sebenarnya dengan kondisi lapangan, karena hasil simulasi yang ditunjukan lebih bersifat moderat.
DAFTAR PUSTAKA
BKBPPM Provinsi Bali (Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Bali)., 2010. Data
Kejadian Bencana Provinsi Bali 2010. Pusdalops PB Provinsi Bali.
BKBPPM Provinsi Bali (Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Bali)., 2011. Data
Kejadian Bencana Provinsi Bali 2011. Pusdalops PB Provinsi Bali.
BMKG., 2010. PREDIKSI LA NINA OLEH INSTITUSI INTERNASIONAL DAN BMKG (UPDATE 1 NOPEMBER
2010). Indonesia. (diakses dari: http://www.bmg.go.id/share/dokumen/update_nino_011110.pdf).
BPBD Kab. Buleleng., 2012. Laporan Data Bencana. Pemerintah Daerah, Bali.
Ewing, L., 2010. Sea Level Rise: Major Implications to Coastal Engineering and Coastal Management."In Hand book
of Coastal Engineering". World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., USA.
Goddard, L. and Dilley, M. 2005. El Ni˜no: Catastrophe or Opportunity.J. Climate 18, 651–665.
Indrawan, B., 2011. TUGAS AKHIR KAJIAN RISIKO KENAIKAN MUKA LAUT DI PULAU TARAKAN.Program Studi
Oseabografi, Bandung.
Jin, F.-F. 1997. An equatorial recharge paradigm for ENSO. Part I: conceptual model. J. Atmos. Sci. 54, 811–829.
Latief, H. et al, 2010.Synthesis Report Risk and Adaptation Assessment to Climate Change in Lombok Island, West
Nusa Tenggara Province. Ministry of Environment, Indonesia.
Latief,H., et al, 2007. Current Tsunami Research Activities in IndonesiaCurrent Indonesia "On Going Tsunami
Research in TRGOn TRG, ITB". ITB, Indonesia.
Philander, S. G. H. 1983. El Nino-Southern Oscilation phenomena. Nature 302, 295-301.
Philander, S. G. H. 1990. El Nino, La Nina and the Southern Oscillation. Academic Press, San Diego, USA, pp.293.
Rasmusson, E. M. and Carpenter, T. H. 1982. Variations in Tropical Sea Surface Temperature and Surface Wind
Fields Associated with the Southern Oscillation/ El Ni˜no. Mon. Wea. Rev. 110, 354–384.
Pusat Litbang Sumber Daya Air

 

14

Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Rayner, N. A., D. E. Parker, E. B. Horton, C. K. Folland, L. V. Alexander, dan D. P. Rowell, Global analyses of sea
surface temperature, sea ice, and night marine air temperature since the late nineteenth century, J. Geph.
Res., VOL. 108, NO. D14, 4407, 2003.
Ropelewski, C. F. and Halpert, M. S. 1987. Global and Regional scale precipitation patterns associated with the El
Ni˜no/Southern Oscillation. Mon. Wea. Rev. 115, 1606–1626.
Suarez, M. J. and Schopf, P. S. 1988. A delayed action oscillator for ENSO. J. Atmos. Sci. 45, 549–566.
Trenberth, K. E., Branstator, G. W., Karoly, D., Kumar, A., Lau, N.-C., and co-authors. 1998. Progress during TOGA
in understanding and modelling global teleconnections associated with tropical sea surface temperatures.
J. Geophys. Res. 103, 14 291–12 324.
UHSCL., 2011. Sea Level Center of Data. Hawaii, USA. (diakses dari http://uhslc.soest.hawaii.edu/data/fdd)

Pusat Litbang Sumber Daya Air