TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN SURAT PEMBERITAHUAN
DIMULAINYA PENYIDIKAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
OLEH
ADITYO KUMORO

Pemberitahuan dimulainya penyidikan merupakan suatu proses penting dalam
rangka pelaksanaan penegakan hukum formil. Proses pemberitahuan dimulainya
penyidikan ini melibatkan pihak kejaksaan sebagai penyidik dan sebagai penuntut
umum. Untuk memperlancar pelaksanaan pemberitahuan dimulainya penyidikan
ini, diperlukan adanya koordinsi antara pihak-pihak yang terkait diatas. Karena
itulah proses koordinasi tersebut menjadi penting untuk dibahas. Dalam
melakukan koordinasi, pihak penyidik dengan penuntut umum terkadang
menemui permasalahan-permasalahan yang menjadi rangkaian dalam pelaksanaan
koordinasi tersebut. Permasalahan tersebut adalah terkait dengan waktu yang
ditentukan untuk melakukan penyidikan dan kendala dalam komunikasi dan
transportasi yang sulit sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama.
Dalam membahas permasalahan ini menggunakan pendekatan yuridis normatik
yang mengakomodasi ketentuan-ketentuan dalam literatur yang terkait dengan
pelaksanaan koordinasi pemberitahuan dimulainya penyidikan serta pendekatan

yuridis sosiologis sebagai bahan pertimbangan penilaian empiris. Sumber data
dari penulisan ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan, sedangkan
jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder.
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
koordinasi pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum adalah
hal yang harus dilakukan oleh penyidik, sekalipun harus dilakukan dengan
menggunakan alat komunikasi. Selain untuk, mencegah terjadinya penegakkan
hukum pidana yang salah seperti dengan menyelesaikan perkara pidana “di bawah
tangan” yang ternyata banyak terjadi, koordinasi juga dimaksudkan untuk saling
mempermudah tugas masing-masing pihak penegak hukum. Kalaupun ada
hambatan yang muncul dalam proses koordinasi tersebut, yang paling
menyulitkan bagi aparat penegak hukum adalah letak geografis yang sulit
dijangkau. Namun itu semua dapat diantisipasi dengan diperbolekannya penyidik
menggunakan peralatan komunikasi eletronik sebagai media penghubung untuk
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum yang kemudian

AdityoKumoro
harus diteruskan dengan mengirim surat pemberitahuan dimulainya penyidikan
(SPDP) secara resmi, sebab yang pokok dari proses koordinasi ini adalah agar
tidak terjadinya penyelewengan hukum yang sering dilakukan oleh aparat

penegak hukum sendiri.
Adapun yang menjadi saran pada penulisan ini adalah agar pihak penegak hukum
yang terlibat dalam proses penyidikan memahami dan mengimplementasikan
kewajiban melakukan pemberitahuan dimulainya penyidikan sesegera mungkin,
serta melakukan koordinasi secara institusional untuk mempermudah proses
penegakan hukumnya. Selanjutnya memberikan sosialisasi kepada masyarakat
terkait dengan kesadaran untuk membantu terlaksananya penegakan hukum secara
benar.
Kata kunci

: Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, Tindak Pidana

Korupsi, Penyidikan.

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN
SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN
PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh
Adityo kumoro

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN
SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN
PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

(Skripsi)

Oleh :
Adityo Kumoro


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

DAFTAR ISI
I.

Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah........................................................

1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ........................................

5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..........................................


6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ........................................

7

E. Sistematika Penulisan ............................................................

9

II. Tinjauan Pustaka
A. Hukum Acara Pidana ............................................................

11

1. Tujuan Hukum Acara Pidana ............................................

13

2. Asas-asas Hukum Acara Pidana .......................................


14

B. Hukum Acara Pidana Pada tindak Pidana Korupsi ...............

15

C. Tindak Pidana Korupsi .........................................................

18

1. Pengertian Tindak Pidana ................................................

18

2. Pengertian Korupsi.............................................................

18

3. Tindak Pidana Korupsi ................................................... .


22

D. Pengertian Kejaksaan .................................................... .......

35

E. Pengertian Penyidikan dan Penyidik Kejaksaan ..................

40

III. Metode Penelitian
A. Pendekatan Masalah ........................................... ................ .

43

B. Sumber dan Jenis Data ........................ ................ ..............

44


C. Penentuan Narasumber ......................................... ..............

45

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data...........

46

E. Analisis Data..........................................................................

47

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Karakteristik Responden………………………………....

48

B. Pelaksanaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
Pada Tindak Pidana Korupsi…………...........................


49

C. Koordinasi penyidik dengan penuntut umum dalam
Pelaksanaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan

pada Tindak Pidana korupsi …….........................................

54

V. PENUTUP
A. Simpulan........................................................................

59

B. Saran...............................................................................

60

DAFTAR PUSTAKA


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral
bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan
penyidikan sampai keakar–akarnya karena dapat mengakibatkan kerugian
dibidang keuangan negara, menghambat program pembangunan nasional, bahkan
dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penyelenggaraan
negara.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini serta harus didahulukan dari perkara lain
guna penyelesaian secepatnya.1

Penyidikan berdasar Pasal 1 Ayat (2) KUHAP Undang–Undang Nomor 8 Tahun
1981 adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang–undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti,
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.

Dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkapkan suatu tindak
pidana, maka penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana
yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 1 Ayat (1) KUHAP, dinyatakan
bahwa wewenang penyidik adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
Melakukan penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
Mengenai sidik jari dan memotret seseorang;
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
Mengadakan penghentian penyidikan;
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Penyidikan terhadap tindak pidana merupakan wewenang kepolisian atau pejabat
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang–undang untuk
melakukan penyidikan, hanya untuk tindak pidana yang sulit pembuktiannya baru
dapat dibentuk tim gabungan (sumber).maka hukum acara yang digunakan tetap
mengacu pada Pasal 1 butir 1 KUHAP.

Dalam praktik peradilan pidana terhadap tindak pidana korupsi, fungsi penyidikan
seringkali terjadi dualisme kewenangan yang ada pada polisi maupun jaksa yang
secara fungsional juga memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan,
terlebih lagi bahwa penyidikan terhadap tindak pidana korupsi merupakan tindak
pidana yang khusus, sehingga penyidikannya pun bersifat khusus yang berbeda
dengan penyidikan dalam tindak pidana umum.

Dalam mengatasi hal ini dibentuklah Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. nomor :
151/KMA/SKB/IX/2011, nomor : M.HH-08.HM.03.02 TH 2011, nomor :
B/24/IX/2011 tentang Koordinasi antar Aparat Penegak Hukum dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Bersama tersebut dinyatakan bahwa dalam hal Kepolisian dan
Kejaksaan melakukan penyelidikan Tindak Pidana Korupsi atas perkara yang
sama, untuk menghindari duplikasi dalam penyelidikan, maka penentuan instansi
yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan ialah instansi
yang lebih dulu mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan. Selanjutnya dalam
Ayat (3) dinyatakan bahwa hasil penyelidikan oleh instansi yang tidak
melanjutkan penyelidikannya lagi, wajib diserahkan kepada instansi yang
menindaklanjuti

penyelidikan,

guna

mempercepat

proses

penyelidikan

selanjutnya.

Suatu tindak pidana yang diketahui seorang penyidik, maka wajib segera
melakukan tindakan yang sesuai dengan kewenanganya kemudian membuat
laporan kejadian dan atau berita acara tindakan–tindakan guna penyelesaian
selanjutnya. Setelah diketahui bahwa suatu peristiwa yang

terjadi diduga

merupakan tindak pidana segera dilakukan penyidikan, kegiatan–kegiatan
pemberitaan, pemeriksaan, serta penyelesaian dan penyerahan berkas perkara.
Saat dimulainya penyidikan dalam hal penyidik telah mendapatkan dua alat bukti
yang cukup. Alat–alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAP terdiri
atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Pada saat penyidik akan memulai penyidikan, sebagai penyidik ia telah dapat
memastikan bahwa peristiwa yang akan disidik itu benar–benar merupakan suatu
tindak pidana dan terdapat cukup data dan fakta guna melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tersebut.

Permulaan penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan
kepada penutut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah
mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui
mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang sekurangkurangnya dilampiri laporan kejadian dan surat perintah tugas penyidikan. Hal
tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP.

Sehubungan dengan pengertian telah dimulainya penyidikan, PAF. Lamintang
mengemukakan :

“Seorang penyidik itu harus dipandang sebagai telah mulai melakukan
penyidikan, yaitu segera setelah ia menggunakan wewenang penyidikannya
seperti yang telah diberitakan oleh undang-undang (Pasal 7 KUHAP) kepada
dirinya, dalam hal tindakannya itu secara langsung telah melibatkan hak – hak
orang yang disangka melakukan tindak pidana, baik itu mengenai
kebebasannya, nama baiknya maupun mengenai kekayaannya”.2

Pengertian dimulainya penyidikan ini adalah jika sudah dilakukan tindakan atau
upaya paksa dari penyidik seperti pemanggilan, pemeriksaan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya yang dalam suratnya berisi untuk
keadilan.

!
'

#

(

"
(

#

$

"%
))

$

"&

"

*

Pelaksanaan SPDP diatur dalam Pasal 109 KUHAP, persoalan yang dirasa
menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya
penyidikan harus diberitahukan oleh penuntut umum. Berdasarkan latar belakang
diatas penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis
Pelaksanaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan pada Tindak Pidana
Korupsi.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan
a. Bagaimanakah Pelaksanaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP) pada Tindak Pidana Korupsi ?
b. Bagaimanakah koordinasi Antara penyidik dengan penuntut umum dalam
pelaksanaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada
Tindak Pidana Korupsi ?

2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini dibatasi dalam bidang ilmu hukum pidana,
kajian subtitusi mengenai Tinjauan Yuridis Pelaksanaan SPDP pada Tindak
Pidana Korupsi dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi
Lampung pada Tahun 2013.

+

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui pelaksanaan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan di
persidangan dankedudukan SPDP didalam persidangan Tindak Pidana
Korupsi..
b. Mengetahui Koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam
pelaksana SPDP pada Tindak Pidana Korupsi

2.Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Secara teoritis, yaitu untuk memperluas pengetahuan penulis di bidang
ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan SPDP
dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam proses peradilan pidana di
Indonesia.
b.

Secara praktis, kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan pemikiran
bagi aparat penegak hukum pada umumnya, dan khususnya Kejaksaan
Tinggi Lampung.

)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan
yang pada dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi
sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.3

Penyidikan adalah tindakan pengumpulan bukti-bukti yang dilakukan oleh
penyidik guna membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangka
pelakunya4.

Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa,
terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta
yang diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga
sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar suatu tindak pidana.

Permulaan penyidikan diberitahukan kepada penuntut umum dengan SPDP, yaitu
sekurang–kurangnya
Sehubungan

dilampiri

dengan

laporan

kewenangan

kejadian

jaksa

dan

surat

menurut

penyidikan.

Baharudin

Lopa,

dalampertimbangan positifjaksa harus melakukan atau terlibat dalam penyidikan
sebagai berikut :
1. Jika proses penyidikan terhadap kejahatan–kejahatan bersifat kompleks atau
pembuktiannya sulit (misalnya kejahatan di bidang keuangan dan HAM),
jaksa seharusnya terlibat karena memiliki pengetahuan yang memadai
tentang hukum maupun kemahiran menggunakan prosedur baku yang
sangat menentukan keberhasilan suatu penyidikan.

#, -, , #,
%
"
1

,

+
11

./ 2

0

,
," "

*
/

3&

2. Jaksa mempunyai tanggung jawab untuk mengambil keputusan guna
menuntut atau tidak menuntut berdasarkan alat bukti yang sah menurut
hukum acara pidana yang berlaku. Jadi jaksa memiliki kedudukan yang saat
tepat untuk menjalankan fungsi–fungsi tersebut. Keterlibatan jaksa, yang
memiliki pengetahuan dan kemahiran, dalam penyidikan akan mempercepat
proses penuntutan pada saat perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan
untuk diperiksa dan diadili serta diputuskan5.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep–
konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah
yang ingin diteliti atau diketahui6. Pengertian dasar dari istilah–istilah yang
dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan).
b. Korupsi adalah perbuatan yang secara melawan hukum memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
c. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang–
undang.
d. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang–
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang–undang.
e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
yang diatur dalam undang–undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

*
+

(
,&
#, -, , #,

11
,

+

, &"

, & "
./ -

0

,

1

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan pasangannya.
f. Penyidik Kejaksaan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan skripsi ini berdasarkan pada metode penulisan ilmiah
pada umumnya, yaitu :
I. Pendahuluan
Bab ini yang memuat latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan
kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi telaah kepustakaan sebagai berikut : Pengertian Hukum Acara
pidana, Hukum Acara Pidana pada Tindak Pidana Korupsi, Pengertian Tindak
Pidana Korupsi, Pengertian Kejaksaan, Pengertian Penyidikan dan Penyidik
Kejaksaan.

III. Metode Penelitian
Bab ini memuat tentang metode Penelitian yang digunakan, yang terdiri dari
pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan responden, prosedur
pengumpulan data, serta analisis data.

1

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini berisikan hasil-hasil penelitian yang dilakukan dan membahas hal-hal
yang menjadi permasalahan dari penulisan, seperti proses pemberitahuan
dimulainya penyidikan apakah ada pelanggaran terhadapnya, dan dampak-dampak
apa saja yang akan timbul bila prosestersebut tidak dilakukan.

V. Penutup
Bab ini merupakan bab penutup dari keseluruhan tulisan ilmiah ini, yang memuat
kesimpulan dari penulisan disertai dengan saran-saran yang dipandang perlu
sehubungan dengan hasil penelitian yang diperoleh.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Acara Pidana

1.

Pengertian Hukum Acara Pidana

a.

Menurut. J. M. Van Bemmelen

Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari serangkaian peraturan yang diciptakan
oleh negara, dalam hal adanya dugaan dilanggarnya Undang-Undang Pidana:1
1) Negara menyidik kebenaran adanya dugaan pelanggaran.
2) Sedapat mungkin menyidik pelakunya.
3) Melakukan tindakan agar pelakunya dapat ditangkap dan kalau perlu
ditahan.
4) Alat-alat bukti yang diperoleh dari hasil penyidikan dilimpahkan kepada
hakim dan dihadapkan terdakwa ke depan hakim tersebut.
5) Menyerahkan kepada hakim agar diambil putusan tentang terbukti
tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan tindakan atau
hukuman apakah yang akan diambil atau dijatuhkan.
6) Menentukan upaya hukum guna melawan putusan tersebut.
7) Melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan untuk dilaksanakan.

b.

Menurut Wirjono Prodjodikoro

Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan Hukum Pidana
merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jadi jika ternyata
ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk menuntut seorang guna
mendapat hukuman pidana, timbullah cara bagaimana hak menuntut itu dapat
dilaksanakan,

cara

bagaimana

akan

didapat

suatu

putusan

pengadilan

yang menjatuhkan suatu hukuman pidana harus dijalankan. Hal ini semua harus
diatur dan peraturan inilah yang dinamakan Hukum Acara Pidana.2

c.

Menurut S. M. Amin

Kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha
mencari kebenaran dan keadilan, bila terjadi perkosaan atas sesuatu ketentuan
hukum dalam hukum material, berarti memberikan kepada Hukum Acara ini,
suatu hubungan yang meng”abdi” terhadap Hukum Material.3

Maka berdasarkan pendapat doktrin di atas, pada asasnya Hukum Acara Pidana
itu adalah :
a. Peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan dan mempertahankan
eksistensi ketentuan hukum pidana material guna mencari, menemukan dan
mendapatkan kebenaran material atau yang sesungguhnya.
Tugas untuk mewujudkan dan menemukan kebenaran material ini
merupakan konsekuensi logis dari bagian Hukum Publik yang mengatur
kepentingan umum juga sedapat mungkin memberi perlindungan terhadap
hak asasi manusia.

b. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara dan proses pengambilan
putusan oleh hakim.
Mengenai aspek ini dimulai melalui tahap pemeriksan di persidangan yakni
mulai tahap pemeriksaan identitas terdakwa, pembacaan catatan/dakwaan
oleh

Jaksa/penuntut

Umum,

kemudian

diberikan

kesempatan

!
!
#

"
$ %

$

"

Terdakwa/Penasihat Hukumnya untuk mengajukan keberatan (eksepsi),
dilanjutkan acara pembuktian, acara tuntutan, pembelaan, replik dan duplik
serta pemeriksan dianggap selesai dan dilanjutkan musyawarah dalam
mengambil putusan oleh hakim (majelis) serta penjatuhan/pengucapan
putusan dalam sidang yang terbuka untuk umum.4

c. Pengaturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan putusan yang telah
diambil.
Terhadap hal ini, dapat dibedakan bahwa apabila putusan tersebut belum
”Inkracht Van Gewijsde” dapat dimungkinkan oleh terdakwa atau penasihat
hukumnya atau Jaksa /Penuntut umum melakukan banding, kemudian kasasi
dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung RI5, serta apabila putusan
tersebut telah “Inkracht Van Gewijsde” dilaksanakan oleh Jaksa dan
Lembaga Pemasyarakatan dengan pengawasan dan pengamatan oleh Ketua
Pengadilan Negeri.6

Dengan kata lain Hukum Acara Pidana meliputi aturan-aturan yang menetapkan
bagaimana negara dengan perantara alat-alat perlengkapannya melaksanakan
haknya untuk mengenakan pidana.

Hukum Acara Pidana ini merupakan aturan-aturan yang menjadi dasar bagi
penegak hukum untuk melaksanakan Hukum Pidana Materiil7

! & '() *
* + , "
* # -.
! & '())
! & '())) * ## * + , "
/
! & ')' *
* + , "
* 0# -.
1
*

*

/ -.

2. Tujuan Hukum Acara Pidana
Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidaktidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkata pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum
Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku
yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
memintakan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan.8

Menurut J. M. Van Bemmelem Hakikat kebenaran material yang ingin dicapai
oleh Hukum Acara Pidana ini merupakan manifestasi dari fungsi Hukum Acara
Pidana sebagai berikut :9
a. Mencari dan menemukan kebenaran.
b. Pemberian keputusan oleh hakim.
c. Pelaksanaan keputusan.

Fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini selaras dengan ketentuan Pasal 183
KUHAP, dan tujuan Hukum Acara Pidana adalah menemukan hakikat kebenaran
matertial sesungguhnya dan tidak tepat jika “mendekati kebenaran material” atau
terlebih lagi bukan “setidak-tidaknya mendekati kebenaran material”

0

,
%

, *
( !,

-.
,,

2

3. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Di dalam Hukum Acara Pidana terdapat beberapa asas-asas yang mengacu tentang
pelaksanaan Hukum Acara Pidana, sebagai berikut :10
a.

Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) terhadap setiap
orang yang disangka, ditahan, dituntut dan dihadapkan didepan sidang
pengadilan sampai adanya putusan,pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde);

b.

Asas adanya perlakuan sama terhadap diri setiap orang dimuka hukum/hakim
dengan tanpa perlakuan yang berbeda;

c.

Asas adanya penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus
berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi oleh undang-undang dan
hanya menurut cara yang diatur oleh undang-undang;

d.

Asas kepada seorang yang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan baik
mengenai orangnya atau penerapan hukum wajib diberi ganti kerugian dan
rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang
dengan sengaja atau kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut
dilanggar maka akan dituntut, dipidana dan atau dikenakanhukuman
administratif;

e.

Peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan;

f.

Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan adanya kehadiran terdakwa;

g.

Asas Oportunitas dan Dominus Litis dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum;

3$

$

! $ !

"

0

h.

Asas pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum
kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditentukan undang-undang dan ancaman
batal demi hukum apabila tidak dilakukan secara demikian;

i.

Asas bahwa setiap orang yang tersangkut perkara pidana wajib memperoleh
bantuan hukum dan didampingi oleh penasihat hukum dari tingkat penyidikan
sampai peradilan;

j.

Asas pemeriksaan hakim di sidang pengadilan secara langsung dan lisan
dalam bahasa indonesia yang dimengerti para saksi dan terdakwa;

k.

Asas pelaksanan putusan pengadilan oleh Jaksa/Penuntut Umum dan
pengawasan dan pengamatan pelaksanan putusan pengadilan dalam perkara
pidana oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

B.

Hukum Acara Pidana Pada Tindak Korupsi

Telah dinyatakan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang
ini”. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal tersebut harus dikaitkan dengan Pasal
39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan :

“Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan
berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini.”

Yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” baik dalam Pasal 26
maupun Pasal 39 Ayat (1) kedua undang-undang tersebut diatas sudah tentu
adalah hukum acara pidana untuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana.

Di antara 4 (empat) lingkungan peradilan, peradilan yang mempunyai wewenang
untuk memeriksa dan menuntut perkara tindak pidana termasuk pula perkara
tindak pidana korupsi adalah Peradilan Umum dan Peradilan Militer11. Dengan
demikian yang dimaksud dengan “hukum acara pidana yang berlaku” baik dalam
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 maupun Pasal 39 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah sebagai berikut :
a. Hukum Acara Pidana yang berlaku untuk Peradilan umum, yaitu seperti
yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau biasa disingkat dengan KUHAP.
b. Hukum Acara Pidana yang berlaku untuk Peradilan Militer, yaitu seperti
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer

Selanjutnya, dari adanya kalimat “kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini” baik dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 maupun Pasal 39
Ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, dapat diketahui bahwa yang
menjadi dasar utama untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan

*
.
"2.
" 4
1 5
$, $ " -, *
-,5
, , , ""
, *
,5
*,& "
*
*
*,& 5
5
5 " "
&
+,
" &,
& 7 5
+,
" "
+,
"
"
"
+,
+,
$ $ * 5 ,"
,5 *,& 5
5
5 - *$ $ * 8

,

$,

$
"
"

6
,5
"
"

pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah
sebagai berikut :
a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi.
b. Jika dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tidak terdapat
ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu kegiatan dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan,
maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan
dalam perkara tindak pidana korupsi.
c. Jika didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak terdapat
ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu kegiatan dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan
dalam perkara tindak pidana korupsi, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan yang terdapat dalam KUHAP atau Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sesuai dengan kompetensi absolutnya.

Dengan memakai peraturan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam KUHAP, yakni yang termuat dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 27

Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dikarenakan tindak pidana korupsi yang terdapat didalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 merupakan tindak pidana yang mempunyai ketentuan hukum acara
khusus (butir a dan b) yang digabungkan dengan hukum acara umum (butir c),
maka tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut diatas
merupakan atau termasuk tindak pidana khusus.

C. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana menurut Moeljatno yaitu :
“Perbuatan yang dilarangoleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai
sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan
tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa
larangan ditujukan pada perbuatannya, yaitu kejadian atau keadaan yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada
orang yang menimbulkan kejahatan”.

Dari pengertian tindak pidana yang diutarakan oleh Moeljatno diatas maka
terdapat unsur-unsur pidana sebagai berikut :
a. Perbuatan (manusia)
b. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
c. Bersifat melawan hukum (syarat materil), syarat formil harus ada,
karena asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP.

2. Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana, sejarah
membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi,
bahkan di Indonesia korupsi telah menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan.
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio yang artinya penyuapan,
corruptore yaitu merusak gejala dimana para pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta
ketidakberesan lainnya12. Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa :
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidak
jujuran13.
0
#

!

9:

$

%

$ $
,7
"
/

+
$ /

+*
+ $
* , " + ) "" * )

,*

)

,* ) "" *

*$

b. Perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya14
c. Korup (busuk;suka menerima uang sogok; memakai kekuasaan untuk
kepentingan pribadi dan sebagainya.
d. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok dan sebagainya.
e. Koruptor (orang yang korupsi).

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika
membicarakan korupsi maka akan menemukan suatu kenyataan karena korupsi
manyangkut segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang busuk, jabatan dalam
instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan,
faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam
kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya. Dalam arti hukum, korupsi adalah
tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan
orang lain, yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar
batas-batas hukum15.Korupsi dipandang dari kepentingan umum, menurut Carl J.
Friesrich adalah apabila seseorang yang memegang kekuasaan atau yang
berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu mengharapkan imbalan uang atau
semacam hadiah lainya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, membujuk
untuk mengambil langkah atau menolong siapa saja yang menyediakan hadiah
sehingga benar-benar membahayakan kepentingan umum.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya istilah korupsi
memiliki arti yang sangat luas yakni :
a.

Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk
kepentingan diri sendiri.

)&
5$$+;;

? 5
A
59

@

!
2
"

+

3$

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dijatuhkan.
b.

Penyalahgunaan Kewenangan/kekuasaan
Hal ini diatur dalam Pasal 3 Undamg – Undnag No.31 Tahun 1999, yang
berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling
sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Berdasarkan rumusan Pasal 3 di atas, maka dapat diketahui bahwa tindak pidana
korupsi penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan adalah dengan maksud :
i. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
ii. Menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan;
iii. Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.

c.

Memberi Hadiah dengan mengingat kekuasaan
Hal ini diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang
berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukannya tersebut, dipidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah).”

Pada dasarnya “hadiah” tidak mengharapkan “balasan” dalam hal ini karena diberi
dengan mengingat “jabatan” atau “kedudukan” berarti mengharapkan sesuatu
“imbalan”. Dengan demikian, istilah “hadiah” tidak tepat dalam pasal ini yamg
tepat adalah “memberikan sesuatu”.

d.

Percobaan/Pembantuan/Pemufakatan
Korupsi

Jahat

Melakukan

Tindak

Pidana

Hal ini diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
berbunyi sebagai berikut :
“setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal
14”.
“ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada
percobaan dan pembantuan tindak pidana peda umumnya dikurangi 1/3
(satu pertiga) dari ancaman pidana”.

“Percobaan” melakuan tindak pidana diatur oleh Pasal 35 KUHP, sedang
“pembantuan” diatur dalam Pasal 56 KUHP. Istilah “pemufakatan” dipergunakan
juga dalam Pasal 110 KUHP. Penjelasan istilah kata “pemufakatan” ada dimuat
pada Rencana Undang – undang (RUU) KUHP2013 penjelasan Pasal 171 (1-8).

Secara umum ”pemufakatan” dalam ilmu hukum pidana, masih termasuk
“perbuatan persiapan” dan belum merupakan perbuatan pidana kecuali terhadap
beberapa tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 22 RUUKUHP-2013, yang
berbunyi sebagai berikut:
“pemufakatan jahat (samenspanning, conspiracy) dapat dipidana meskipun
perbuatan yang dilarang belum terlaksana sama sekali, namun niat jahat dari
dua orang atau lebih itu, yang merupakan pemufakatan jahat yang dipidana

dibatasi hanya pada beberapa tindak pidana yang sangat serius dan
dinyatakan dalam perumusan tindak pidana”.

e.

Sengaja Mencegah/merintangi/Menggagalkan Penanganan Tindak Pidana
Korupsi

Hal ini diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
berbunyi sebagai berikut :
“setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana penjara
paling singkay 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Yang dihalangi/dirintangi/digagalkan tersebut adalah tersangka/terdakwa/saksi
dalam perkara korupsi. Hal ini berarti, jika tidak dalam perkara korupsi maka
Pasal 21 tidak dapat diterapkan atau jika masih penanganan perkara korupsi masih
dalam penyidikan.

f.

Dengan Sengaja tidak Memberi Keterangan yang Benar

Hal ini diatur dalam Pasal 22 yang berbunyi sebagai berikut:
“sebagai orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35,
atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3(tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Penjelasan resmi Pasal 22 tersebut berbunyi “cukup jelas” berdasarkan rumusan
Pasal 22, maka unsur-unsurnya adalah:
1) Setiap orang yang disebut Pasal 28,29,35,dan 56 ;
2) dengan sengaja;
3) tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.

g.

Menyebut Nama atau Alamat pelapor
Hal ini diatur dalam pasal 24, yang berbunyi sebagai berikut :
“saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau
denda peling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.

2.

Tindak Pidana Korupsi yang Berasal dari KUHP

Tindak pidana korupsi berasal dari KUHP, dapat diketahui antara lain dari :
a.

Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang rumusannya, antara lain sebagai
berikut :
“........ dengan tidak mengacu pasal-pasal....... tetapi langsung menyebutkan
unsur – unsur yang terdaoat dalam masing – masing pasal Kitab Undangundang Hukum Pidana yang mengacu......”.

b.

Pasal 43B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang antara lain berbunyi
sebagai berikut:
“Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, 210, 387, 388,
415, 416, 417, 418, 420, 423, 425, dan 435. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana......dinyatakan tidak berlaku”.

Berdasarkan rumusan tersebut, maka Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
jelas-jelas mengambil alih 13 (tiga belas) pasal Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana menjadi Tindak Pidana Korupsi.

Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas didalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian
besar pengertian korupsi didalam undang–undang tersebut dirujuk dari Kitab
Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka.
Namun, sampai dengan saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengertian
korupsi masih sangat kurang. Berdasarkan Un