The effect of phosphorus and calcium fertilizers on nutrient uptake and productivity of two soybean genotypes under dry culture and saturated soil cultures.
PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN KALSIUM
TERHADAP SERAPAN HARA DAN PRODUKTIVITAS
DUA GENOTIPE KEDELAI PADA BUDIDAYA KERING DAN
JENUH AIR
TOYIP
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengaruh
Pemupukan Fosfor dan Kalsium terhadap Serapan Hara dan Produktivitas Dua
Genotipe Kedelai pada Budidaya Kering dan Jenuh Air adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Toyip
NIM A252100011
ABSTRACT
TOYIP. The Effect of Phosphorus and Calcium Fertilizers on Nutrient Uptake
and Productivity of Two Soybean Genotypes Under Dry Culture and Saturated
Soil Cultures. Under direction of MUNIF GHULAMAHDI and
TRIKOESOEMANINGTYAS
The objectives of this research were to study the effect rates of P and Ca fertilizers
on productivity and nutrient uptake of two soybean genotypes in dry culture and
saturated soil culture, and to compare the nutrient uptake and productivity in
soybean dry culture with saturated soil culture. The experimental design was split
split plot with three factors i.e. phosphorus, calcium and genotype planted in dry
culture and saturated soil culture.
Dry culture with phosphorus fertilizer
application (72 kg P2O5/ha) increases the number of filled pods and grain weight
per plot. Number of pods of Tanggamus variety was greater than Anjasmoro
variety. Liming had no effect on productivity. Path analysis showed that largest
direct effect to grain weight were plant height and leaf weight. Increased rate of P
and Ca fertilizer increased the uptake of P and Ca, but variety Tanggamus is more
responsive than variety Anjasmoro.
Saturated soil culture with phosphorus
fertilizer (72 kg P2O5/ha) and lime (1 ton/ha) increased the number of pods
content and grain weight per plot. Variety Tanggamus had higher number of pods
and grain weight per plot than variety Anjasmoro. Interaction of phosphorus
fertilizer 72 kg P2O5/ha with lime 1 ton/ha increased grain weight per plot.
Largest direct effect on increasing grain weight is plant height and the number of
branches. Phosphorus application (72 kg P2O5/ha) and liming (1 ton/ha) also give
highest uptake of P and Ca. Saturated soil culture technology can be applied to
increase soybean nutrient uptake and productivity than dry culture.
Keyword: soybean, productivity, dry culture, saturated soil culture
RINGKASAN
TOYIP. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Kalsium Terhadap Serapan Hara dan
Produktivitas Dua Genotipe Kedelai pada Budidaya Kering dan Jenuh Air.
Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan TRIKOESOEMANINGTYAS.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat,
maka kebutuhan kedelai nasional menunjukkan peningkatan yang pesat melebihi
produksi yang dapat dicapai.
Upaya untuk meningkatkan produksi agar
permintaan konsumsi dapat terpenuhi, maka pengembangan dapat dilakukan
dengan memperluas areal tanam dengan memanfaatkan lahan berpotensi (lahan
kering, lahan rawa dan lahan pasang surut) dan penggunaan teknologi yang tepat.
Pengelolaan lahan kering dapat dilakukan dengan menggunakan genotipe
toleran berdaya hasil tinggi dan teknologi input produksi yang efisien. Pada lahan
rawa dan lahan pasang surut serta lahan bekas sawah menggunakan teknologi
budidaya jenuh air yang di dukung dengan genotipe spesifik lokasi.
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh dosis pemupukan P dan Ca
terhadap serapan hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya
kering dan jenuh air, interaksi antara genotipe dengan dosis pemupukan P dan Ca
terhadap serapan hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya
kering dan jenuh air serta perbandingan produktivitas kedelai antara budidaya
kering dan budidaya jenuh air.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak petak
terpisah (split split plot design) 3 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama (Petak
Utama) adalah pemberian pupuk P terdiri atas 4 taraf, yaitu: 0, 36, 72, dan 108 P2O5
kg/ha. Faktor kedua (Anak Petak) adalah pemberian pupuk Ca terdiri atas 4
taraf, yaitu: 0, 0.5, 1.0, dan 1.5 CaCO3 ton/ha. Faktor ketiga (Anak-Anak Petak)
adalah genotipe kedelai yaitu: Varietas Anjasmoro dan Tanggamus.
Kedelai dengan budidaya kering menunjukkan bahwa pupuk fosfor dan
kapur dapat meningkatkan serapan hara P dan Ca. Respon varietas Anjasmoro
dan Tanggamus memiliki perbedaan yaitu varietas Tanggamus lebih responsif
dibanding varietas Anjasmoro.
Perlakuan dosis pupuk fosfor 72 Kg P2O5/ha memberikan jumlah polong
isi dan bobot per petak tertinggi.
Bobot terendah pada perlakuan tanpa
pemupukan fosfor. Perlakuan genotipe memberikan hasil yang berbeda yaitu
varietas Tanggamus memiliki jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi,
sedangkan varietas Anjasmoro memiliki bobot 100 butir tertinggi
Analisis sidik lintas menunjukkan bahwa pengaruh langsung terbesar
terhadap peningkatan bobot biji ubinan adalah tinggi tanaman (0.44), bobot daun
(0.24) dan bobot batang (0.16).
Kedelai dengan budidaya jenuh air menunjukkan bahwa berdasarkan hasil
analisis regresi serapan hara P dan Ca optimum pada dosis pupuk fosfor 72 Kg
P2O5/ha dan dosis kapur 1 ton/ha. Varietas Anjasmoro dengan pemupukan fosfor
memiliki serapan hara P yang lebih tinggi dibanding tanpa pemupukan fosfor.
Varietas Tanggamus memiliki serapan hara P dan Ca tertinggi dengan pemupukan
kapur.
Perlakuan dosis pupuk fosfor 72 Kg P2O5/ha memberikan jumlah polong isi
dan bobot per petak tertinggi. Bobot terendah pada perlakuan tanpa pemupukan
fosfor. Peningkatan jumlah polong isi mencapai 26.08% dan bobot per petak
sebesar 39.06% dibandingkan tanpa pemupukan. Selanjutnya dengan peningkatan
dosis pupuk fosfor menjadi 108 Kg P2O5/ha terjadi penurunan jumlah polong isi
sebesar 7.32% dan bobot per petak mencapai 24.87%.
Perlakuan pupuk kapur dengan dosis kapur 1 ton/ha memberikan hasil
jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi. Peningkatan jumlah polong isi
mencapai 16.36% dan bobot per petak sebesar 15.80% dibandingkan tanpa
pemupukan. Selanjutnya dengan peningkatan dosis pupuk kapur menjadi
1.5 ton/ha terjadi penurunan jumlah polong isi sebesar 3.01% dan bobot per petak
mencapai 8.87%. Perlakuan genotipe memberikan hasil yang berbeda yaitu
varietas Tanggamus memiliki jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi
daripada Anjasmoro, akan tetapi varietas Anjasmoro memiliki bobot 100 butir
tertinggi.
Interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kalsium berpengaruh nyata terhadap
bobot biji per petak. Bobot biji per petak tertinggi terdapat pada dosis pupuk
fosfor 72 Kg P2O5/ha dengan dosis kapur 1 ton/ha mengalami peningkatan
103.12% dibandingkan tanpa pemupukan fosfor dan 40.80% dibandingkan tanpa
pemupukan fosfor dan selanjutnya diikuti oleh dosis pupuk fosfor 72 Kg P2O5/ha
dengan dosis kapur 1.5 ton/ha mengalami peningkatan 39.05% dibandingkan
tanpa pemupukan kalsium. Interaksi pemupukan dengan peningkatan dosis pupuk
fosfor 108 Kg P2O5/ha dan dosis pupuk kapur 1.5 ton/ha mengalami penurunan
bobot per petak sebesar 24.87%.
Analisis sidik lintas menunjukkan bahwa pengaruh langsung terbesar
terhadap peningkatan bobot biji ubinan adalah jumlah cabang (0.42), tinggi
tanaman (0.31) dan bobot 100 butir (0.17).
Hasil analisis perbandingan dengan uji t menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata pada pertumbuhan, produksi dan serapan hara antara
budidaya kering dan budidaya jenuh air. Semua
peubah yang diamati pada
budidaya jenuh air memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
selisih nilai tengah dengan nilai negatif yang menandakan bahwa budidaya kering
lebih rendah dari pada budidaya jenuh air. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi
budidaya jenuh air merupakan teknologi yang lebih baik diterapkan untuk
peningkatan produksi kedelai.
Kata kunci : kedelai, produktivitas, budidaya kering, budidaya jenuh air
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar bagi IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN KALSIUM
TERHADAP SERAPAN HARA DAN PRODUKTIVITAS
DUA GENOTIPE KEDELAI PADA BUDIDAYA KERING DAN
JENUH AIR
TOYIP
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S.
Judul
: Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Kalsium Terhadap Serapan Hara dan
Produktivitas Dua Genotipe Kedelai pada Budidaya Kering dan Jenuh
Air
Nama
: Toyip
NIM
: A252100011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Ketua
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Pogram Studi Agronomi dan
Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 10 Agustus 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam
penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam yang telah
membawa umatnya ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Judul
penelitian ini adalah “Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Kalsium Terhadap
Serapan Hara dan Produktivitas Dua Genotipe Kedelai pada Budidaya Kering dan
Jenuh Air”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Munif
Ghulamahdi, MS dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc selaku pembimbing yang
telah memberikan arahan dan nasehat dalam penulisan Tesis ini. Rasa hormat dan
penghargaan penulis persembahkan kepada orang tua, isteri dan anak tercinta serta
keluarga atas keikhlasan, motivasi dan doa. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Sugiman, SP, Bapak Kepala Desa Tanjungsari dan
Krawangsari, Bapak Suwanto, Bapak Inon dan Mas Tri beserta keluarga atas
segala pengorbanan dan bantuannya. Kepada sahabat penulis Nofrianil dan rekanrekan FORSCA AGH-IPB dan seluruh mahasiswa Pascasarjana IPB, terima kasih
atas motivasi dan dukungannya.
Semoga Tesis ini bermanfaat dalam upaya
peningkatan produksi kedelai.
Bogor, Agustus 2012
Toyip
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Tolisu, Kecamatan Toili, Kabupaten LuwukBanggai, Propinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 25 Januari 1983 dari ayah
Sugianto dan Ibu Sunarti. Penulis merupakan anak tunggal.
Tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Tadulako,
Palu, Sulawesi Tengah melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN). Penulis diterima pada Program Studi Agonomi, Fakultas Pertanian.
Tahun 2005 penulis berhasil menyelesaikan studi S-1.
Tahun 2006 penulis mengawali karir Dosen di Fakultas Pertanian,
Universitas Sintuwu Maroso, Poso, Sulawesi Tengah.
Tahun 2009 penulis
diangkat menjadi PNS.
Tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Agronomi dan
Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah
Pascasarjana IPB yang di biayai oleh Beasiswa BPPS Direktorat Pendidikan
Tinggi, Kementerian Pendidikan RI.
Selama menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana IPB penulis aktif di
FORSCA AGH-IPB periode 2011-2012 sebagai Ketua Bidang Advokasi dan
Pengembangan Organisasi dan di Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB periode
2011-2012 sebagai Ketua Bidang Kerohanian.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………………..
xiv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….
xv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………..
xvi
PENDAHULUAN.............................................................................................
Latar Belakang…………………………………………………………..
Tujuan…………………………………………………………………...
Hipotesis…………………………………………………………………
1
1
4
5
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………
Fosfor dalam Tanah……………………………………………………..
Fosfor dalam Tanaman…………………………………………………..
Kalsium pada Tanaman………………………………………………….
Pengaruh Pengapuran Terhadap Tanah dan Tanaman…………………..
Genotipe Kedelai Adaptif Lahan Kering Masam……………………….
Respon Kedelai pada Cekaman Kekeringan…………………………….
Respon Kedelai pada Budidaya Jenuh Air………………………………
6
6
6
8
9
10
10
12
METODOLOGI……………………………………………………………….
Tempat dan Waktu………………………………………………………
Bahan dan Alat………………………………………………………….
Metode Percobaan……………………………………………………….
Pelaksanaan Percobaan………………………………………………….
Pemeliharaan…………………………………………………………….
Pengamatan………………………………………………………………
14
14
14
14
16
16
16
HASIL DAN PEMABAHASAN …………………………………………….
Budidaya Kering…………………………………………………………
Analisis Tanah…………………………………………………….
Serapan Hara P dan Ca ……………………………………………
Pertumbuhan Tanaman……………………………………………
Tinggi tanaman……………………………………………..
Jumlah daun trifoliate dan jumlah cabang………………….
Bobot kering akar…………………………………………...
Bobot kering batang………………………………………...
Bobot kering daun…………………………………………..
Jumlah bintil………………………………………………...
Produksi Tanaman………………………………………………...
18
18
18
20
23
23
24
25
28
30
31
32
Budidaya Jenuh Air...……………………………………………………
Analisis Tanah…………………………………………………….
Serapan Hara………………………………………………………
Serapan hara P………………………………………………
Serapan hara Ca……………………………………………..
Pertumbuhan Tanaman……………………………………………
Tinggi tanaman……………………………………………..
Jumlah daun trifoliate dan jumlah cabang…………………
Bobot kering akar, batang dan daun………………………...
Produksi Tanaman………………………………………………...
Perbandingan Antara Budidaya Kering dengan Jenuh Air………………
35
35
37
37
39
41
41
42
43
46
50
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………..
Kesimpulan………………………………………………………………
Saran……………………………………………………………………..
52
52
52
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
53
LAMPIRAN……………………………………………………………………
60
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Hasil analisis sifat fisik tanah percobaan budidaya kering……………
18
2
Hasil analisis sifat kimia tanah percobaan budidaya kering………….
19
3
Pengaruh pupuk fosfor dan genotipe terhadap rata-rata tinggi
tanaman pada berbagai umur pengamatan……………………………
23
Pengaruh pupuk fosfor dan genotipe terhadap rata-rata jumlah daun
trifoliate dan jumlah cabang pada berbagai umur pengamatan……….
24
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering akar pada berbagai umur 6 MST dan 8 MST…………...
26
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot kering akar…………………………………………………
27
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering akar……………………………………………………...
27
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering batang pada berbagai umur pengamatan………………..
28
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot kering batang………………………………………………
29
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering batang…………………………………………………...
29
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering daun pada umur 6 MST dan 8 MST…………………….
30
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot kering daun………………………………………………..
31
Pengaruh pupuk fosfor terhadap rata-rata jumlah bintil pada berbagai
umur pengamatan……………………………………………………..
32
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
Jumlah polong isi, bobot per petak dan bobot 100 butir……………...
33
Nilai koefisien korelasi antara karakter fenotipik kedelai pada
budidaya kering……………………………………………………….
33
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Koefisien lintasan beberapa sifat fenotipik terhadap hasil kedelai
pada budidaya kering………………………………………………….
34
17
Hasil analisis sifat fisik tanah percobaan budidaya jenuh air…………
35
18
Hasil analisis sifat kimia tanah percobaan budidaya jenuh air………..
36
19
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
tinggi tanaman pada berbagai umur pengamatan……………………..
41
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
jumlah daun trifoliate dan jumlah cabang pada berbagai umur
pengamatan……………………………………………………………
43
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering akar, bobot kering batang dan bobot kering daun pada
berbagai umur pengamatan……………………………………………
44
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering akar……………………………………………………...
45
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot kering daun………………………………………………..
45
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
jumlah polong isi, bobot per petak dan bobot 100 butir………………
46
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata
jumlah polong isi……………………………………………………...
47
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot per petak…………………………………………………...
47
Nilai koefisien korelasi antar karakter fenotipik kedelai pada
budidaya jenuh air…………………………………………………….
49
Koefisien lintasan beberapa sifat fenotipik terhadap hasil kedelai
pada budidaya jenuh air……………………………………………….
49
Perbandingan pertumbuhan, produksi dan serapan hara tanaman
kedelai antara budidaya kering dengan budidaya jenuh air…………...
50
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
Serapan hara P pada budidaya kering (a) dosis pemupukan fosfor dan
(b) dosis pemupukan kapur……………………………………………..
20
Serapan hara Ca pada budidaya kering; (a) dosis pemupukan fosfor
dan (b) dosis pemupukan kapur………………………………………...
22
Serapan hara P pada budidaya jenuh air; (a) dosis pemupukan fosfor
dan (b) dosis pemupukan kapur……………….......................................
38
Serapan hara Ca pada budidaya jenuh air; (a) dosis pemupukan fosfor
dan (b) dosis pemupukan kapur……………….......................................
40
Produktivitas (ton/ha) kedelai pada dosis kapur dan fosfor……………
48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1a
Deskripsi kedelai varietas anjasmoro…………………………………..
60
1b
Deskripsi kedelai varietas tanggamus………………………………….
61
2
Karakteristik fase tumbuh vegetatif dan generatif kedelai……………
62
3a
Rekapitulasi sidik ragam tanaman kedelai pada budidaya kering…….
63
3b
Rekapitulasi sidik ragam tanaman kedelai pada budidaya jenuh
air……………………………………………………………………….
64
4a
Denah petak percobaan pada budidaya kering…………………………
65
4b
Denah petak percobaan pada budidaya jenuh air………………………
66
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan salah satu komoditas tanaman
pangan yang penting bagi manusia karena sebagai sumber protein nabati dan
memiliki kadar kolesterol rendah yang berperan penting dalam meningkatkan gizi
masyarakat.
Adie dan Krisnawati (2007) mengemukakan bahwa kandungan
protein kedelai (30-40 %) lebih tinggi dibanding kacang tanah (20-30 %), lemak
(18 %) lebih sedikit dibanding kacang tanah (40-70 %) dan kandungan
karbohidrat 35 %.
Badan Pusat Statistik (2010) melaporkan bahwa produksi kedelai tahun
2009 sebesar 974.51 ribu ton biji kering, meningkat sebanyak 198.80 ribu ton
(25.63 %) dibandingkan tahun 2008. Peningkatan produksi tersebut terjadi di
Jawa sebesar 127.84 ribu ton dan di luar Jawa sebesar 70.96 ribu ton.
Produksi kedelai tahun 2012 (Angka Ramalan I) diperkirakan sebesar
779.741 ribu ton biji kering, menurun sebanyak 71.544 ribu ton (8.40 %)
dibandingkan tahun 2011.
Penurunan produksi kedelai tahun 2010 tersebut
diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 40.751 ribu ton dan di luar Jawa sebesar
30.793 ribu ton. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas
panen seluas 55.561 ribu hektar (8.93 %), sedangkan produktivitas diperkirakan
mengalami kenaikan sebesar 0.08 kuintal/hektar (0.58 %).
Kebutuhan
kedelai
meningkat
setiap
tahunnya,
seiring
dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk dan berkembangnya industri-industri
olahan.
Berdasarkan data BPS (2008) bahwa laju rata-rata pertumbuhan
penduduk Indonesia tahun 1978-2008 adalah 1.56 % per tahun.
Data dari
Departemen Pertanian menyatakan bahwa laju pertumbuhan konsumsi kedelai
tahun 1978-2008 adalah 7.22 % per tahun. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
tingkat konsumsi kedelai di Indonesia berkembang lebih cepat dari perkembangan
laju pertumbuhan penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 220
juta orang dan rata-rata konsumsi per kapita kedelai sebesar 10 kg/tahun maka
diperlukan kacang kedelai untuk kebutuhan pangan minimal 2.2 juta ton per
tahun.
Usaha pemenuhan kebutuhan kedelai ini menghadapi kendala berupa
semakin sempitnya lahan subur. Oleh karena itu pemenuhan dapat dilaksanakan
dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Usaha intensifikasi yang dapat dilakukan
adalah menanam kedelai setelah tanaman padi dan ekstensifikasi adalah dengan
cara penanaman pada areal baru. Areal baru tersebut adalah lahan marjinal/kritis.
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi
tanaman, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor genetik serta interaksi kedua
faktor (Chozin 2006).
Komponen teknologi dalam meningkatkan produksi
tanaman kedelai dapat dilakukan dengan penggunaan varietas yang adaptif dan
berdaya hasil tinggi serta modifikasi lingkungan tumbuh.
Modifikasi lingkungan tumbuh dimaksud yaitu peningkatan efisiensi input
produksi.
Pada lahan kering dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah
minimal, penggunaan pupuk yang tepat dan penggunaan genotipe yang toleran.
Pada lahan basah bekas sawah dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah
minimal, penggunaan pupuk yang tepat dan penggunaan genotipe yang toleran
dan teknik budidaya jenuh air.
Hardjowigeno (2003) mengungkapkan bahwa kendala yang dapat
membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman pada lahan kering adalah
rendahnya kesuburan disebabkan oleh reaksi tanahnya masam, kandungan
aluminium (Al) tinggi dan kandungan unsur hara rendah, terutama hara makro.
Tisdale et al. (1993) mengemukakan bahwa di lahan kering kandungan unsur hara
makro N, P, K, Ca dan Mg rendah, serta keracunan Al, Mn, dan Fe. Kandungan
Al dan Fe yang tinggi dapat memfiksasi fosfor (P) dalam membentuk Al-P dan
Fe-P yang tidak larut dengan air. Kondisi tersebut mengakibatkan P tidak tersedia
bagi tanaman (Leiwakabessy 1988) dan berdampak juga pada kandungan P
menjadi rendah (Sanchez & Salinas 1981; Marschner 1995; Subagyo et al. 2000).
Selain itu kapasitas fiksasi P yang tinggi pada tanah menyebabkan P tersedia
menjadi rendah (Sanyal et al. 1993; Ruaysoongnern dan Keerati-Kasikorn 1996).
Selanjutnya Mulyani (2006) berpendapat bahwa kendala lingkungan lainnya
adalah ketersediaan air rendah terutama di musim kemarau, sehingga indeks
pertanaman di lahan kering lebih rendah daripada di lahan sawah.
3
Samira (2003) menjelaskan bahwa mengelola P dalam tanah untuk produksi
tanaman menguntungkan sekaligus melindungi lingkungan dan merupakan salah
satu peluang dan tantangan para ilmuwan dan peneliti tanah saat ini. Hal tersebut
disebabkan oleh kandungan P total dalam tanah yang tinggi, akan tetapi
ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah. Mikanova dan Novakova (2002)
menyatakan bahwa tanaman hanya mengambil 10-25% P yang diberikan melalui
pemupukan, sebagian besar mengalami perubahan kimia dalam tanah menjadi
bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman.
Unsur hara yang ketersediannya terbatas di lahan marjinal dan
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah kalsium (Ca). Ca
merupakan salah satu unsur esensial dalam tanaman yang diperlukan untuk
berbagai peranan dalam struktur dinding dan membran sel. Hong-Bo (2008)
mengemukakan bahwa fungsi Ca yaitu penyeimbang kation untuk anion-anion
organik dan anorganik dalam vakuola (divalent Ca), dan konsentrasi Ca sitosolik
[(Ca2+)cyt].
Ca
mengkoordinasikan
sitosolik
adalah
respon
berbagai
mensenger obligat
isyarat
intraseluler
perkembangan
dan
yang
kondisi
lingkungan.
Tanaman tumbuh dengan Ca yang cukup pada lingkungan alaminya.
Konsentrasi Ca pada tunas pucuk berkisar antara 0.1-5% bobot kering (Supanjani
2006).
White (2001) melaporkan bahwa kalsium yang diperoleh oleh akar
tanaman dari larutan tanah dan ditranslokasikan ke tunas melalui xilem. Ca
diambil oleh akar pada ujung akar yang ekstrim, atau wilayah inisiasi akar lateral,
dan melintasi akar ke xilem melalui sitoplasma yang saling berhubungan atau
ruang ekstraseluler.
Faktor lainnya selain faktor unsur hara P dan Ca yang mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai yang merupakan faktor internal
adalah genotipe. Keragaman karakter lahan dan kendala di lahan marjinal maka
diperlukan varietas atau genotipe yang spesifik lokasi.
Purwantoro et al. (2009) memperoleh tiga galur kedelai dengan rerata hasil
lebih tinggi daripada varietas Tanggamus sebagai pembanding dalam identifikasi
galur-galur harapan yang adaptif lahan kering masam.
Ghulamahdi (2009)
memperoleh varietas Tanggamus sebagai varietas tahan lahan masam dengan
teknik budidaya jenuh air di lahan pasang surut dan berdaya hasil tinggi. Hal ini
disebabkan kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat dibandingkan
dengan kacang-kacangan lainnya dan cepat memperbaiki pertumbuhan setelah air
berkurang (Stanley et al. 1980). Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh
air berbeda-beda. Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai
pertumbuhan lebih baik dan produksi lebih tinggi daripada kedelai yang berumur
pendek (CSIRO 1983; Ghulamahdi et al. 1991; Ghulamahdi et al. 2006).
Pengembangan kedelai dapat dilakukan dengan teknologi budidaya kering
dan budidaya jenuh air. Budidaya kering merupakan budidaya pada lahan kering
yang sistem pengairannya tergantung dengan air hujan. Budidaya jenuh air adalah
penanaman dengan memberikan irigasi terus menerus dan membuat tinggi muka
air tanah tetap sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air (Ghulamahdi
et al. 2006).
Berdasarkan penjelasan di atas menjadi acuan dalam penelitian tentang
serapan hara dan produktivitas beberapa genotipe kedelai melalui pemupukan
fosfor dan kalsium pada budidaya kering dan budidaya jenuh air.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:
1.
Respon dua genotipe kedelai terhadap serapan hara dan produktivitas pada
budidaya kering dan jenuh air.
2.
Pengaruh dosis pemupukan P dan Ca terhadap serapan hara dan produktivitas
dua genotipe kedelai pada budidaya kering dan jenuh air.
3.
Interaksi antara genotipe dengan dosis pemupukan P dan Ca terhadap serapan
hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya kering dan jenuh
air.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Fosfor dalam Tanah
Fosfor diserap tanaman dalam bentuk ion H2PO4- atau HPO4-2, tergantung
pH larutan tanah. pH 7.22 jumlah ion H2PO4- sama dengan HPO4-2, di bawah pH
7.22 sebagian besar dalam bentuk ion H2PO4-, dan di atas pH 7.22 sebagian besar
dalam bentuk ion HPO4-2. Tanaman menyerap ion H2PO4- lebih cepat daripada
ion HPO4-2. Senyawa fosfat organik dapat diserap tanaman, akan tetapi dalam
jumlah kecil (Jain et al. 2007).
Keadaan air berlebih, kelarutan Mn dan Fe tinggi dan dapat menimbulkan
keracunan bagi tanaman. Penambahan P yang cukup dapat menurunkan kadar ion
Mn+2 dan Ca+2 dan ion lain pada jaringan tanaman (Crawford 1978).
Hardjowigeno (2003) menyebutkan bahwa pemupukan P tinggi dapat mengatasi
keracunan Fe pada padi.
Fosfor dalam tanah terutama dalam bentuk Al-posfat dan Fe-fosfat pada
pH rendah dan Ca-fosfat pada pH tinggi, juga diadsorpsi pada permukaan mineral
liat serta oksida Al dan Fe ( T u r n e r
2 0 0 7 ) . Selanjutnya Tan (1982)
menyatakan bahwa pada tanah masam terdapat ion-ion Al+, Fe+2 dan Mn+2 baik
larut maupun dapat dipertukarkan, sehingga fosfat dijerap pada komplek jerapan.
Blair (1993) menyatakan bahwa fosfat yang diikat dengan cara ini dapat
digunakan oleh tanaman.
Ketersediaan P di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah, kadar Al,
Fe, dan Mn terlarut, tersedianya kalsium (Ca), jumlah dan tingkat dekomposisi
bahan organik serta jenis dan populasi mikoorganisme tanah (Hardjowigeno
2003).
Fospor pada Tanaman
Fosfor diabsorpsi oleh akar-akar tanaman dan didistribusikan pada setiap
sel tanaman hidup. Fosfor dalam sel bersatu dengan karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen dan elemen lainnya dalam bentuk molekul-molekul organik yang
komplek. Unsur P juga merupakan bagian esensial dari material genetik pada inti
sel (Niklas 2008).
Peran P dalam sel tanaman yaitu menyimpan dan mentransfer energi
secara perlahan-lahan yang amat penting karena mempunyai
fungsi
mempengaruhi proses-proses motabolisme tanaman. Kehadiran P dibutuhkan
untuk reaksi biokimia esensial lainnya, transfer ion dan kerja osmotik, reaksireaksi fotosintesis dan glikolisis (Marschner 1995).
Fosfor merupakan komponen struktur esensial dalam banyak senyawasenyawa termasuk fosfolipid, asam nukleat, gula fosfat, nukleotida dan koenzimkoenzim. Peredaran P pada proses fotosintesis dan metabolisme menyediakan
energi untuk pertumbuhan tanaman dalam proses-proses reproduksi (Wallingford
1978). Rinsema (1988) berpendapat bahwa P berguna dalam pembentukan biji,
merangsang perkembangan akar lateral dan akar halus, serta sangat berguna bagi
pertumbuhan kacang-kacangan.
Pemupukan P meningkatkan bobot tajuk, tetapi tidak mempengaruhi
bobot akar pada tanaman kedelai umur 16 dan 21 hari (Halmark dan Barber
1984). Pemupukan P juga meningkatkan bobot bintil akar dan jumlah polong tiap
tanaman (Setiaatmaja 1974).
Fosfor adalah unsur hara makro kedua yang
mutlak diperlukan oleh
tanaman. P diserap tanaman hampir seluruhnya dalam bentuk ion hidrogen fosfat,
yaitu H2PO4-, dan di dalam tanaman P tidak direduksikan dalam sel menjadi
bentuk yang berada pada tingkat oksidasi lebih rendah sebagaimana halnya
dengan nitrat dan sulfat (Soepardi 1983).
Fosfor dalam tanaman mempunyai peranan
mengatur banyak reaksi
enzimatik. Adenosin diphosphate (ADP) menjadi Adenosin Triphosphate (ATP)
tergantung pada kepekatan P dalam sel tanaman. Kekurangan unsur P pada
umumnya
akan menghambat reaksi-reaksi sintesis dalam tanaman (Suseno
1974). Selanjutnya Hammond et al. (2004) mengemukakan bahwa selain sintesis
ATP dari ADP dan P anorganik, P berperanan dalam sebagai senyawa perantara
fotosintesis dan respirasi serta terdapat dalam semua asam nukleat.
Raven
(2008) menambahkan bahwa disamping sebagai penyusun asam nukleat dan
komponen utama inti sel, P juga berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan dan
pembentukan akar awal, membuat tanaman tegar serta merangsang pembungaan
dan membantu pembentukan biji.
7
Setiaatmadja (1974) mengemukakan bahwa pada tanaman leguminosa, P
secara tidak langsung merupakan hara yang mempengaruhi aktivitas fiksasi N
oleh bakteri rhizobium. Ini terlihat dari berkurangnya pembentukan bintil akar
oleh Rhizobium dengan menurunnya kandungan P dalam tanah.
Pemupukan P pada tanaman kedelai sangat nyata berpengaruh terhadap
kenaikan hasil. Ismunadji dan Partohardiono (1985) menyatakan bahwa
pemupukan P sebanyak 67.5 kg P/ha dapat menaikkan produksi kedelai hingga
mencapai 1.5 ton/ha. Hallmark dan Barber (1984) melaporkan bahwa dari hasil
percobaannya ternyata penambahan P menaikkan bobot tajuk, bobot akar dan
diameter akar primer tanaman kedelai.
Kalsium pada Tanaman
Kalsium (Ca) adalah salah satu unsur esensial dalam tanaman. Ca
diperlukan untuk berbagai peranan dalam struktur dinding dan membran sel,
penyeimbang kation untuk anion-anion organik dan anorganik dalam vakuola
(Marschner 1995).
Tanaman tumbuh dengan Ca yang cukup pada lingkungan alaminya,
konsetrasi Ca pada tunas pucuk berkisar antara 0.1-5% bobot kering (Supanjani
2006). Nilai ini menggambarkan ketersediaan Ca dari lingkungan dan keperluan
Ca setiap tanaman berbeda. Defiseinsi Ca di alam jarang terjadi, tetapi mungkin
terjadi dalam tanah bila saturasi basa rendah dan atau tingkat deposisi asamnya
tinggi (McLaughlin et al. 1999).
Meskipun demikian, toleransi terhadap
kelebihan Al, Mn dan Fe lebih membatasi tumbuhan di lahan masam dan
insensitivitas Fe serta defisiensi P membatasi pertumbuhan di lahan berkalsium
(Lee 1999).
Secara umum bila sesaat terjadi kehilangan Ca maka jaringan akan gagal
tumbuh. Hal ini terjadi karena Ca tidak dapat mobilisasi dari jaringan tua dan
didistribusikan kembali melalui phloem. Hal ini menebabkan jaringan tanaman
bergantung pada suplai Ca sesaat dari xilem yang sangat bergantung pada
transpirasi (Marschner 1995).
Menurut para ekologis, spesies tanaman dikelompokkan menjadi
calcifuges pada tanah dengan Ca rendah dan calcicoles pada tanah berkalsium.
Konsentrasi Ca pada tanaman calcifuges atau calcicoles sangat berbeda.
Calcifuges secara umum lebih baik tumbuh pada lahan dengan konsentrasi Ca 2+
rendah pada rhizosfer [(Ca2+)cyt] dan merespon sedikit [(Ca2+)cyt] yang dapat
menghambat pertumbuhan. Sebaliknya, mekanisme yang memungkinkan tanaman
calcicoles menjaga [(Ca2+)cyt] rendah dengan menginduksi defisiensi Ca (Lee
1999). Pada fenotipe tanaman yang ekspresi berlebih pada Ca2+-transporter dan
melepas Ca2+ dari sitoplasma ke vakuola yang memperlihatkan pada gejala
defisiensi Ca rendah [(Ca2+)cyt] (Marschner 1995).
Pengapuran dan Pengaruhnya terhadap Tanah dan Tanaman
Pengapuran menurut istilah pertanian adalah penambahan kalsium atau
bahan yang mengandung kalsium dan atau magnesium yang dapat mengurangi
kemasaman tanah. Istilah kapur pada awalnya berkaitan dengan kalsium oksida
(CaO), tetapi beberapa bahan seperti kalsium hidroksida Ca(OH) 2, kalsium
karbonat (CaCO3), kalsium-magnesium karbonat CaMg(CO3)2 dan terak kalsium
silikat juga digunakan sebagai bahan pengapuran dan bentuk CaCO3 lebih banyak
digunakan sebagai bahan pengapuran untuk pertanian (Iyamuremye 1996).
Secara umum pengaruh pengapuran terhadap sifat fisik, kimia dan biologi
tanah telah banyak dikemukakan, antara lain meningkatkan granulasi, struktur
tanah menjadi remah, meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd dan
merangsang kegiatan mikroorganisme tanah. Pengaruh pengapuran terhadap sifat
kimia tanah antara lain meningkatkan pH tanah, menurunkan erapan P
(lyamuremye et al. 1996), meningkatkan kejenuhan basa (Tan 1998),
meningkatkan kapasitas tukar kation (Philips, Black, dan Cameron 1988), dan
meningkatkan kelarutan Cu dan Zn (Salam et al. 1997).
Mekanisme
peningkatan
pH
tanah
akibat
pengapuran
meliputi
reaksi penetralan H+ dalam larutan tanah, dan penukaran kation Al serta H pada
kompleks pertukaran. Pertukaran anion
berlangsung
dan
menggambarkan
pentingnya pengapuran untuk membantu mempertahankan tingkat P tersedia yang
lebih tinggi (Soepardi 1983).
Perbaikan ciri-ciri tanah akibat pengapuran berpengaruh secara tidak
langsung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Sedangkan pengaruh
langsungnya antara lain merupakan sumber hara Ca dan Mg bagi tanaman.
9
Suwarno (1998) melaporkan
bahwa
pengapuran
dolomit
pada
Andisol
dapat meningkatkan kandungan Ca dan Mg bagian atas tanaman.
Genotipe Kedelai Adaptif Lahan Kering Masam
Upaya mengoptimalkan produktivitas kedelai di lahan masam melalui
pendekatan genetik dengan penyediaan varietas kedelai adaptif lahan masam
memiliki keuntungan yakni biaya murah dan mudah diadopsi oleh petani
(Purwantoro et al. 2009).
Spesies tumbuhan secara genetis sangat beragam dalam kemampuannya
untuk toleran atau tidak toleran terhadap unsur tidak essensial seperti aluminium
dalam konsentrasi tinggi yang menghambat pertumbuhan tanaman. Varietas
Sibayak memiliki kemampuan untuk mencegah berpindahnya Al +3 masuk ke
ruang bebas pada meristem yang lebih baik dibandingkan varietas lainnya, hingga
melindungi pembelahan sel. Hal ini memperlihatkan mekanisme pengikatan pada
dinding sel, akibatnya perkembangan akar dapat terjadi dengan sedikit hambatan
(Fitter & Hay 1998).
Tahun 2008 sudah banyak varietas unggul kedelai yang dilepas,
diantaranya tiga varietas dinilai adaptif lahan kering masam pH 5 dan kejenuhan
Al-dd 25-30%, yaitu Tanggamus, Sibayak, dan Nanti dengan produktivitas 1.4
hingga 1.5 ton/ha. Varietas Slamet dan Sandoro juga dinilai toleran terhadap
kemasaman tetapi produktivitas lebih rendah (1 ton/ha). Penggunaan varietas
toleran pada lahan masam merupakan salah satu alternatif teknologi untuk
meningkatkan produktivitas kedelai, selain pengapuran dan penggunaan pupuk
organik (Kuntyastuti dan Taufiq 2008).
Respon Kedelai pada Cekaman Kekeringan
Cekaman (stres) kekeringan merupakan salah satu bentuk stres yang sering
diteliti pada tanaman semusim.
Pada dasarnya tanaman memiliki dua sifat
ketahanan terhadap stres kekeringan yaitu toleran (drought tolerance) dan
penghindaran (drought avoidance) (Sopandie 2006).
Menurut Harjadi dan Yahya (1988) toleran terhadap kekeringan diartikan
sebagai kemampuan sel-sel tanaman untuk hidup dan berfungsi secara fisiologis
walaupun ada kerusakan jaringan atau berkurangnya tegangan air. Penghindaran
terhadap kekeringan menunjukkan kemampuan sel-sel tanaman menjaga tegangan
air tetap tinggi baik dengan cara menyerap air dan mengirimkannya ke batang dan
daun mampu mengurangi kehilangan air dengan penutupan stomata ataupun
pembentukan lapisan kutikula pada daun.
Tanaman yang mengalami cekaman kekeringan menunjukkan sintesis
ABA (asam absisi) dalam daun meningkat. ABA ini kemudian menyebabkan sel
penjaga mengempis sebelum terjadi penutupan stomata (Xiong et al. 1999).
Menurut Moore (1979) peranan ABA dalam proses penutupan stomata adalah
menyebabkan sel penjaga mengalami kebocoran K dan penurunan turgor,
sehingga stomata menutup. Dalam kondisi kekeringan, maka konsentrasi ABA di
dalam sel penjaga naik, sel penjaga kehilangan K dan turgor, stomata menutup,
yang selanjutnya melindungi tanaman terhadap kekeringan.
Sebaliknya jika
tanaman disirami dan kekeringan berkurang, maka konsentrasi ABA dalam sel
penjaga turun, K dan turgor naik kembali dan stomata akan terbuka sehingga
menyebabkan CO2 dapat masuk ke dalam daun dan fotosintesis dapat berjalan
normal kembali.
Ketahanan terhadap cekaman kekeringan bervariasi menurut jenis tanaman
(Hsiao dan Acevedo 1975). Telah diketahui juga bahwa tanaman C-4 lebih tahan
terhadap kekeringan daripada tanaman C-3 (Hsiao dan Acevedo 1975; Yamada
1984).
Hasil-hasil percobaan pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa
ketahanan kultivar-kultivar kedelai terhadap cekaman kekeringan adalah berbeda
(Brown et al. 1985; Korte et al. 1983; dan Sammons et al. 1979).
Menurut Pugnaire et al. (1999) bahwa bergantung responnya terhadap
kekeringan, tanaman dapat diklasifikasikan menjadi (1) tanaman yang
menghindari kekeringan (drought avoiders) dan (2) tanaman yang mentoleransi
kekeringan (drought tolerators).
Tanaman yang menghindari kekeringan
membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia atau akuisisi air maksimum
antara lain dengan meningkatkan jumlah akar dan modifikasi struktur dan posisi
daun. Tanaman yang mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi
atau mentoleransi dehidrasi. Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan
sensitivitas stomata dan perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi dehidrasi
mencakup penyesuaian osmotik.
11
Sivakumar dan Shaw (1978) menyatakan bahwa selain menggunakan
parameter potensial air daun, juga menggunakan daya hantar stomata (stomatal
conductance) dan peningkatan luas daun (leaf area expansion) sebagai indikator
ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada tanaman kedelai. Rata-rata harian
hambatan stomata dan potensial air daun dan laju peningkatan luas daun yang
diukur beberapa kali selama periode pertumbuhan sangat berhubungan dengan
perubahan potensial air tanah. Selain itu laju tumbuh relatif (Relative Growth
Rate) tanaman kedelai berkorelasi negatif dengan hambatan stomata, potensial air
daun dan laju peningkatan luas daun.
Hasil percobaan Brown et al. (1985)
menunjukkan bahwa cekaman kekeringan membatasi pertumbuhan akar tanaman
kedelai pada tanah lapisan atas, tetapi meningkatkan pada lapisan yang lebih
bawah.
Akibatnya hasil tanaman akan menurun apabila tanaman mengalami
cekaman kekeringan cukup berat terutama bila terjadi pada fase yang paling
kritis.
Respon Kedelai pada Budidaya Jenuh Air
Masalah kelebihan air sesaat merupakan keadaan umum yang terjadi pada
pola penanaman di daerah tropis dan sub tropis. Kelebihan air ini dapat terjadi
karena periode yang panjang dari cuaca basah dan curah hujan tinggi setelah
irigasi (Troedson et al. 1983). Di Indonesia masalah kelebihan air juga terjadi
pada lahan sawah yang akan dimanfaatkan untuk penanaman kedelai setelah padi
dipanen. Keadaan ini disebabkan adanya lapisan kedap air pada kedalaman 15-20
cm di bawah permukaan tanah. Sebaliknya jika air tidak cukup lapisan kedap air
membatasi penetrasi perakaran dan tanaman menjadi layu (Griffin et al. 1985).
Kelebihan air menurunkan suplai oksigen untuk respirasi, menghasilkan
senyawa racun, dan menurunkan kandungan N dalam jaringan tanaman (Crawford
1978). Pengamatan menunjukkan bahwa nitrat tanah akan direduksi menjadi
komponen gas seperti N2, dan N2O yang tidak tersedia bagi tanaman. Nitrogen
diangkut dari daun tua ke daun muda pada keadaan air berlebih (Drew dan
Sisworo 1978).
Kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat,
dibandingkan kacang-kacangan lainnya, dan cepat memperbaiki pertumbuhan
setelah air berkurang (Stanley, Kaspar dan Taylor 1980).
Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi
terus menerus, dan membuat tinggi muka air tetap, sehingga lapisan di bawah
perakaran jenuh air (Hunter et al. 1980).
Tinggi muka air, tetap akan
menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman,
karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki
pertumbuhannya (Troedson et al. 1983).
Pertumbuhan dan produksi kedelai
dengan budidaya jenuh air lebih tinggi daripada cara irigasi biasa (Hunter et al.
1980; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1984).
Budidaya jenuh air hampir sama dengan padi sawah. Perbedaannya pada
ketinggian muka air. Pada budidaya jenuh air tinggi muka air beberapa sentimeter
di bawah permukaan tanah, sedangkan padi sawah beberapa sentimeter di atas
permukaan tanah (Lawn 1985).
Irigasi biasanya dilakukan dengan cara alur
(Furrow Irrigation) untuk mencukupi kebutuhan evapotranspirasi, irigasi
diberikan berdasarkan angka yang diperoleh dari panel evaporasi dengan interval
tertentu sesuai kebutuhan tanaman (CSIRO 1983; Troedson 1983).
Pertumbuhan dan produksi kedelai pada cara irigasi biasa lebih rendah
dibandingkan budidaya jenuh air (CSIRO 1983), karena: (a)
Pemberian
irigasi
terjadinya
cekaman
setiap
air.
interval
tertentu tidak
cukup untuk mencegah
Tanaman mengalami cekaman
sebelum
irigasi
diberikan
lagi; (b) Perkembangan bintil akar berlangsung dalam waktu yang lebih
singkat dan jumlah serta aktifitasnya lebih rendah.
Hal ini disebabkan
keadaan lingkungan yang tidak stabil. Pada awal irigasi keadaan tanah
jenuh air, dan akhirnya kekeringan. Kelebihan air sesaat menyebabkan kematian
beberapa bintil akar yang terletak lebih dalam, dan kekeringan menyebabkan
kematian beberapa bintil akar di bagian atas.
13
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1.
Pemupukan P dan Ca meningkatkan serapan hara dan produktivitas kedelai.
2.
Genotipe kedelai Tanggamus memiliki serapan hara dan produktivitas lebih
tinggi.
3.
Terdapat interaksi antara genotipe, pemupukan P dan Ca pada serapan hara
dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya kering dan jenuh air.
4.
Serapan hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya jenuh air
lebih tinggi dibandingkan pada budidaya lahan kering.
METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Desa Krawangsari untuk budidaya kering dan
Tanjungsari untuk budidaya jenuh air Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung
Selatan, Propinsi Lampung, 110 m dpl. Analisis dilakukan di Laboratorium Pasca
Panen, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Tanah,
Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Bogor.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Maret 2012.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas
Anjasmoro dan Tanggamus (deskripsi disajikan pada Lampiran 1a dan 1b), pupuk
P (P2O5 36%), kapur (CaCO3), inokulan Rhizobium SP, pupuk kandang dan
karbufuran-36. Peralatan yang digunakan adalah yang digunakan adalah meteran,
cangkul, timbangan analitik, oven, dan termometer tanah.
Metode Percobaan
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yaitu percobaan I pada budidaya
kering dan percobaan II pada budidaya jenuh air yang pada masing-masing
percobaan diberikan perlakuan dan rancangan percobaan yang sama.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak-petak
terpisah (split split plot design) pola RAKL (rancangan acak kelompok lengkap) 3
faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pemberian pupuk P terdiri atas 4
taraf, yaitu: 0, 36, 72, dan 108 kg P2O5/ha. Faktor kedua adalah pemberian pupuk
Ca terdiri atas 4 taraf, yaitu: 0, 0.5, 1, dan 1.5 ton CaCO3/ha. Faktor ketiga adalah
genotipe kedelai yaitu: Anjasmoro dan Tanggamus.
Petak utama adalah dosis pupuk P, anak petak adalah dosis pupuk Ca dan
anak anak petak adalah genotipe kedelai. Model linear aditif dari rancangan
perlakuan ini adalah sebagai berikut :
Yijkl = µ + ρi + αj + εij +
k
+ (α )jk + εijk +
i
+ (αy)jl + ( y)kl + (α y)jkl + εijkl
15
Keterangan :
Yijkl
= Nilai pengamatan pada ulangan ke-i, perlakuan dosis pupuk fosfor
taraf ke-j, perlakuan dosis pupuk kalsium taraf ke-k dan perlakuan
genotipe taraf ke-l.
µ
= Rata-rata umum nilai pengamatan.
ρi
= Pengaruh ulangan pada taraf ke-i.
αj
= Pengaruh perlakuan dosis pupuk fosfor pada taraf ke-j.
εij
= Pengaruh galat ulangan ke-i dan dosis pupuk fosfor taraf ke-j.
k
(α )jk
= Pengaruh perlakuan dosis pupuk kalsium taraf ke-k.
= Pengaruh interaksi perlakuan dosis pupuk fosfor taraf ke-j dan
perlakuan dosis pupuk kalsium ke-k
εijk
= Pengaruh galat pada ulangan ke-i, perlakuan dosis pupuk fosfor taraf
ke-j dan dosis pupuk kalsium taraf ke-k.
i
(αy)jl
= Pengaruh perlakuan dosis pupuk kalsium pada taraf ke-l
= Pengaruh interaksi perlakuan fosfor taraf ke-j dan perlakuan dosis
pupuk kalsium taraf ke-l.
( y)kl
= Pengaruh interaksi perlakuan fosfor taraf ke-j, dan perlakuan genotipe
taraf ke-l
(α y)jkl = Pengaruh interaksi perlakuan fosfor taraf ke-j, perlakuan dosis pupuk
kalsium taraf ke-k, dan perlakuan genotipe taraf ke-l
εijkl
= Pengaruh galat pada ulangan ke-i, dosis pupuk fosfor taraf ke-j,
perlakuan dosis pupuk kalsium taraf ke-k, dan perlakuan genotipe
taraf ke-l
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam (Anova)
pada selang kepercayaan 95%. Apabila hasil analisis berpengaruh nyata, maka
data diuji lanjut dengan menggunakan Uji Wilayah Berganda Duncan (DMRT)
pada taraf 5% (Gomez & Gomez 1976).
Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh langsung dan tak langsung ant
TERHADAP SERAPAN HARA DAN PRODUKTIVITAS
DUA GENOTIPE KEDELAI PADA BUDIDAYA KERING DAN
JENUH AIR
TOYIP
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengaruh
Pemupukan Fosfor dan Kalsium terhadap Serapan Hara dan Produktivitas Dua
Genotipe Kedelai pada Budidaya Kering dan Jenuh Air adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Toyip
NIM A252100011
ABSTRACT
TOYIP. The Effect of Phosphorus and Calcium Fertilizers on Nutrient Uptake
and Productivity of Two Soybean Genotypes Under Dry Culture and Saturated
Soil Cultures. Under direction of MUNIF GHULAMAHDI and
TRIKOESOEMANINGTYAS
The objectives of this research were to study the effect rates of P and Ca fertilizers
on productivity and nutrient uptake of two soybean genotypes in dry culture and
saturated soil culture, and to compare the nutrient uptake and productivity in
soybean dry culture with saturated soil culture. The experimental design was split
split plot with three factors i.e. phosphorus, calcium and genotype planted in dry
culture and saturated soil culture.
Dry culture with phosphorus fertilizer
application (72 kg P2O5/ha) increases the number of filled pods and grain weight
per plot. Number of pods of Tanggamus variety was greater than Anjasmoro
variety. Liming had no effect on productivity. Path analysis showed that largest
direct effect to grain weight were plant height and leaf weight. Increased rate of P
and Ca fertilizer increased the uptake of P and Ca, but variety Tanggamus is more
responsive than variety Anjasmoro.
Saturated soil culture with phosphorus
fertilizer (72 kg P2O5/ha) and lime (1 ton/ha) increased the number of pods
content and grain weight per plot. Variety Tanggamus had higher number of pods
and grain weight per plot than variety Anjasmoro. Interaction of phosphorus
fertilizer 72 kg P2O5/ha with lime 1 ton/ha increased grain weight per plot.
Largest direct effect on increasing grain weight is plant height and the number of
branches. Phosphorus application (72 kg P2O5/ha) and liming (1 ton/ha) also give
highest uptake of P and Ca. Saturated soil culture technology can be applied to
increase soybean nutrient uptake and productivity than dry culture.
Keyword: soybean, productivity, dry culture, saturated soil culture
RINGKASAN
TOYIP. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Kalsium Terhadap Serapan Hara dan
Produktivitas Dua Genotipe Kedelai pada Budidaya Kering dan Jenuh Air.
Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan TRIKOESOEMANINGTYAS.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat,
maka kebutuhan kedelai nasional menunjukkan peningkatan yang pesat melebihi
produksi yang dapat dicapai.
Upaya untuk meningkatkan produksi agar
permintaan konsumsi dapat terpenuhi, maka pengembangan dapat dilakukan
dengan memperluas areal tanam dengan memanfaatkan lahan berpotensi (lahan
kering, lahan rawa dan lahan pasang surut) dan penggunaan teknologi yang tepat.
Pengelolaan lahan kering dapat dilakukan dengan menggunakan genotipe
toleran berdaya hasil tinggi dan teknologi input produksi yang efisien. Pada lahan
rawa dan lahan pasang surut serta lahan bekas sawah menggunakan teknologi
budidaya jenuh air yang di dukung dengan genotipe spesifik lokasi.
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh dosis pemupukan P dan Ca
terhadap serapan hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya
kering dan jenuh air, interaksi antara genotipe dengan dosis pemupukan P dan Ca
terhadap serapan hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya
kering dan jenuh air serta perbandingan produktivitas kedelai antara budidaya
kering dan budidaya jenuh air.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak petak
terpisah (split split plot design) 3 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama (Petak
Utama) adalah pemberian pupuk P terdiri atas 4 taraf, yaitu: 0, 36, 72, dan 108 P2O5
kg/ha. Faktor kedua (Anak Petak) adalah pemberian pupuk Ca terdiri atas 4
taraf, yaitu: 0, 0.5, 1.0, dan 1.5 CaCO3 ton/ha. Faktor ketiga (Anak-Anak Petak)
adalah genotipe kedelai yaitu: Varietas Anjasmoro dan Tanggamus.
Kedelai dengan budidaya kering menunjukkan bahwa pupuk fosfor dan
kapur dapat meningkatkan serapan hara P dan Ca. Respon varietas Anjasmoro
dan Tanggamus memiliki perbedaan yaitu varietas Tanggamus lebih responsif
dibanding varietas Anjasmoro.
Perlakuan dosis pupuk fosfor 72 Kg P2O5/ha memberikan jumlah polong
isi dan bobot per petak tertinggi.
Bobot terendah pada perlakuan tanpa
pemupukan fosfor. Perlakuan genotipe memberikan hasil yang berbeda yaitu
varietas Tanggamus memiliki jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi,
sedangkan varietas Anjasmoro memiliki bobot 100 butir tertinggi
Analisis sidik lintas menunjukkan bahwa pengaruh langsung terbesar
terhadap peningkatan bobot biji ubinan adalah tinggi tanaman (0.44), bobot daun
(0.24) dan bobot batang (0.16).
Kedelai dengan budidaya jenuh air menunjukkan bahwa berdasarkan hasil
analisis regresi serapan hara P dan Ca optimum pada dosis pupuk fosfor 72 Kg
P2O5/ha dan dosis kapur 1 ton/ha. Varietas Anjasmoro dengan pemupukan fosfor
memiliki serapan hara P yang lebih tinggi dibanding tanpa pemupukan fosfor.
Varietas Tanggamus memiliki serapan hara P dan Ca tertinggi dengan pemupukan
kapur.
Perlakuan dosis pupuk fosfor 72 Kg P2O5/ha memberikan jumlah polong isi
dan bobot per petak tertinggi. Bobot terendah pada perlakuan tanpa pemupukan
fosfor. Peningkatan jumlah polong isi mencapai 26.08% dan bobot per petak
sebesar 39.06% dibandingkan tanpa pemupukan. Selanjutnya dengan peningkatan
dosis pupuk fosfor menjadi 108 Kg P2O5/ha terjadi penurunan jumlah polong isi
sebesar 7.32% dan bobot per petak mencapai 24.87%.
Perlakuan pupuk kapur dengan dosis kapur 1 ton/ha memberikan hasil
jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi. Peningkatan jumlah polong isi
mencapai 16.36% dan bobot per petak sebesar 15.80% dibandingkan tanpa
pemupukan. Selanjutnya dengan peningkatan dosis pupuk kapur menjadi
1.5 ton/ha terjadi penurunan jumlah polong isi sebesar 3.01% dan bobot per petak
mencapai 8.87%. Perlakuan genotipe memberikan hasil yang berbeda yaitu
varietas Tanggamus memiliki jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi
daripada Anjasmoro, akan tetapi varietas Anjasmoro memiliki bobot 100 butir
tertinggi.
Interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kalsium berpengaruh nyata terhadap
bobot biji per petak. Bobot biji per petak tertinggi terdapat pada dosis pupuk
fosfor 72 Kg P2O5/ha dengan dosis kapur 1 ton/ha mengalami peningkatan
103.12% dibandingkan tanpa pemupukan fosfor dan 40.80% dibandingkan tanpa
pemupukan fosfor dan selanjutnya diikuti oleh dosis pupuk fosfor 72 Kg P2O5/ha
dengan dosis kapur 1.5 ton/ha mengalami peningkatan 39.05% dibandingkan
tanpa pemupukan kalsium. Interaksi pemupukan dengan peningkatan dosis pupuk
fosfor 108 Kg P2O5/ha dan dosis pupuk kapur 1.5 ton/ha mengalami penurunan
bobot per petak sebesar 24.87%.
Analisis sidik lintas menunjukkan bahwa pengaruh langsung terbesar
terhadap peningkatan bobot biji ubinan adalah jumlah cabang (0.42), tinggi
tanaman (0.31) dan bobot 100 butir (0.17).
Hasil analisis perbandingan dengan uji t menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata pada pertumbuhan, produksi dan serapan hara antara
budidaya kering dan budidaya jenuh air. Semua
peubah yang diamati pada
budidaya jenuh air memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
selisih nilai tengah dengan nilai negatif yang menandakan bahwa budidaya kering
lebih rendah dari pada budidaya jenuh air. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi
budidaya jenuh air merupakan teknologi yang lebih baik diterapkan untuk
peningkatan produksi kedelai.
Kata kunci : kedelai, produktivitas, budidaya kering, budidaya jenuh air
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar bagi IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN KALSIUM
TERHADAP SERAPAN HARA DAN PRODUKTIVITAS
DUA GENOTIPE KEDELAI PADA BUDIDAYA KERING DAN
JENUH AIR
TOYIP
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S.
Judul
: Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Kalsium Terhadap Serapan Hara dan
Produktivitas Dua Genotipe Kedelai pada Budidaya Kering dan Jenuh
Air
Nama
: Toyip
NIM
: A252100011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Ketua
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Pogram Studi Agronomi dan
Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 10 Agustus 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam
penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam yang telah
membawa umatnya ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Judul
penelitian ini adalah “Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Kalsium Terhadap
Serapan Hara dan Produktivitas Dua Genotipe Kedelai pada Budidaya Kering dan
Jenuh Air”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Munif
Ghulamahdi, MS dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc selaku pembimbing yang
telah memberikan arahan dan nasehat dalam penulisan Tesis ini. Rasa hormat dan
penghargaan penulis persembahkan kepada orang tua, isteri dan anak tercinta serta
keluarga atas keikhlasan, motivasi dan doa. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Sugiman, SP, Bapak Kepala Desa Tanjungsari dan
Krawangsari, Bapak Suwanto, Bapak Inon dan Mas Tri beserta keluarga atas
segala pengorbanan dan bantuannya. Kepada sahabat penulis Nofrianil dan rekanrekan FORSCA AGH-IPB dan seluruh mahasiswa Pascasarjana IPB, terima kasih
atas motivasi dan dukungannya.
Semoga Tesis ini bermanfaat dalam upaya
peningkatan produksi kedelai.
Bogor, Agustus 2012
Toyip
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Tolisu, Kecamatan Toili, Kabupaten LuwukBanggai, Propinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 25 Januari 1983 dari ayah
Sugianto dan Ibu Sunarti. Penulis merupakan anak tunggal.
Tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Tadulako,
Palu, Sulawesi Tengah melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN). Penulis diterima pada Program Studi Agonomi, Fakultas Pertanian.
Tahun 2005 penulis berhasil menyelesaikan studi S-1.
Tahun 2006 penulis mengawali karir Dosen di Fakultas Pertanian,
Universitas Sintuwu Maroso, Poso, Sulawesi Tengah.
Tahun 2009 penulis
diangkat menjadi PNS.
Tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Agronomi dan
Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah
Pascasarjana IPB yang di biayai oleh Beasiswa BPPS Direktorat Pendidikan
Tinggi, Kementerian Pendidikan RI.
Selama menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana IPB penulis aktif di
FORSCA AGH-IPB periode 2011-2012 sebagai Ketua Bidang Advokasi dan
Pengembangan Organisasi dan di Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB periode
2011-2012 sebagai Ketua Bidang Kerohanian.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………………..
xiv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….
xv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………..
xvi
PENDAHULUAN.............................................................................................
Latar Belakang…………………………………………………………..
Tujuan…………………………………………………………………...
Hipotesis…………………………………………………………………
1
1
4
5
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………
Fosfor dalam Tanah……………………………………………………..
Fosfor dalam Tanaman…………………………………………………..
Kalsium pada Tanaman………………………………………………….
Pengaruh Pengapuran Terhadap Tanah dan Tanaman…………………..
Genotipe Kedelai Adaptif Lahan Kering Masam……………………….
Respon Kedelai pada Cekaman Kekeringan…………………………….
Respon Kedelai pada Budidaya Jenuh Air………………………………
6
6
6
8
9
10
10
12
METODOLOGI……………………………………………………………….
Tempat dan Waktu………………………………………………………
Bahan dan Alat………………………………………………………….
Metode Percobaan……………………………………………………….
Pelaksanaan Percobaan………………………………………………….
Pemeliharaan…………………………………………………………….
Pengamatan………………………………………………………………
14
14
14
14
16
16
16
HASIL DAN PEMABAHASAN …………………………………………….
Budidaya Kering…………………………………………………………
Analisis Tanah…………………………………………………….
Serapan Hara P dan Ca ……………………………………………
Pertumbuhan Tanaman……………………………………………
Tinggi tanaman……………………………………………..
Jumlah daun trifoliate dan jumlah cabang………………….
Bobot kering akar…………………………………………...
Bobot kering batang………………………………………...
Bobot kering daun…………………………………………..
Jumlah bintil………………………………………………...
Produksi Tanaman………………………………………………...
18
18
18
20
23
23
24
25
28
30
31
32
Budidaya Jenuh Air...……………………………………………………
Analisis Tanah…………………………………………………….
Serapan Hara………………………………………………………
Serapan hara P………………………………………………
Serapan hara Ca……………………………………………..
Pertumbuhan Tanaman……………………………………………
Tinggi tanaman……………………………………………..
Jumlah daun trifoliate dan jumlah cabang…………………
Bobot kering akar, batang dan daun………………………...
Produksi Tanaman………………………………………………...
Perbandingan Antara Budidaya Kering dengan Jenuh Air………………
35
35
37
37
39
41
41
42
43
46
50
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………..
Kesimpulan………………………………………………………………
Saran……………………………………………………………………..
52
52
52
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
53
LAMPIRAN……………………………………………………………………
60
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Hasil analisis sifat fisik tanah percobaan budidaya kering……………
18
2
Hasil analisis sifat kimia tanah percobaan budidaya kering………….
19
3
Pengaruh pupuk fosfor dan genotipe terhadap rata-rata tinggi
tanaman pada berbagai umur pengamatan……………………………
23
Pengaruh pupuk fosfor dan genotipe terhadap rata-rata jumlah daun
trifoliate dan jumlah cabang pada berbagai umur pengamatan……….
24
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering akar pada berbagai umur 6 MST dan 8 MST…………...
26
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot kering akar…………………………………………………
27
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering akar……………………………………………………...
27
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering batang pada berbagai umur pengamatan………………..
28
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot kering batang………………………………………………
29
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering batang…………………………………………………...
29
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering daun pada umur 6 MST dan 8 MST…………………….
30
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot kering daun………………………………………………..
31
Pengaruh pupuk fosfor terhadap rata-rata jumlah bintil pada berbagai
umur pengamatan……………………………………………………..
32
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
Jumlah polong isi, bobot per petak dan bobot 100 butir……………...
33
Nilai koefisien korelasi antara karakter fenotipik kedelai pada
budidaya kering……………………………………………………….
33
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Koefisien lintasan beberapa sifat fenotipik terhadap hasil kedelai
pada budidaya kering………………………………………………….
34
17
Hasil analisis sifat fisik tanah percobaan budidaya jenuh air…………
35
18
Hasil analisis sifat kimia tanah percobaan budidaya jenuh air………..
36
19
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
tinggi tanaman pada berbagai umur pengamatan……………………..
41
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
jumlah daun trifoliate dan jumlah cabang pada berbagai umur
pengamatan……………………………………………………………
43
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering akar, bobot kering batang dan bobot kering daun pada
berbagai umur pengamatan……………………………………………
44
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata
bobot kering akar……………………………………………………...
45
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot kering daun………………………………………………..
45
Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata
jumlah polong isi, bobot per petak dan bobot 100 butir………………
46
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata
jumlah polong isi……………………………………………………...
47
Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap ratarata bobot per petak…………………………………………………...
47
Nilai koefisien korelasi antar karakter fenotipik kedelai pada
budidaya jenuh air…………………………………………………….
49
Koefisien lintasan beberapa sifat fenotipik terhadap hasil kedelai
pada budidaya jenuh air……………………………………………….
49
Perbandingan pertumbuhan, produksi dan serapan hara tanaman
kedelai antara budidaya kering dengan budidaya jenuh air…………...
50
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
Serapan hara P pada budidaya kering (a) dosis pemupukan fosfor dan
(b) dosis pemupukan kapur……………………………………………..
20
Serapan hara Ca pada budidaya kering; (a) dosis pemupukan fosfor
dan (b) dosis pemupukan kapur………………………………………...
22
Serapan hara P pada budidaya jenuh air; (a) dosis pemupukan fosfor
dan (b) dosis pemupukan kapur……………….......................................
38
Serapan hara Ca pada budidaya jenuh air; (a) dosis pemupukan fosfor
dan (b) dosis pemupukan kapur……………….......................................
40
Produktivitas (ton/ha) kedelai pada dosis kapur dan fosfor……………
48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1a
Deskripsi kedelai varietas anjasmoro…………………………………..
60
1b
Deskripsi kedelai varietas tanggamus………………………………….
61
2
Karakteristik fase tumbuh vegetatif dan generatif kedelai……………
62
3a
Rekapitulasi sidik ragam tanaman kedelai pada budidaya kering…….
63
3b
Rekapitulasi sidik ragam tanaman kedelai pada budidaya jenuh
air……………………………………………………………………….
64
4a
Denah petak percobaan pada budidaya kering…………………………
65
4b
Denah petak percobaan pada budidaya jenuh air………………………
66
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan salah satu komoditas tanaman
pangan yang penting bagi manusia karena sebagai sumber protein nabati dan
memiliki kadar kolesterol rendah yang berperan penting dalam meningkatkan gizi
masyarakat.
Adie dan Krisnawati (2007) mengemukakan bahwa kandungan
protein kedelai (30-40 %) lebih tinggi dibanding kacang tanah (20-30 %), lemak
(18 %) lebih sedikit dibanding kacang tanah (40-70 %) dan kandungan
karbohidrat 35 %.
Badan Pusat Statistik (2010) melaporkan bahwa produksi kedelai tahun
2009 sebesar 974.51 ribu ton biji kering, meningkat sebanyak 198.80 ribu ton
(25.63 %) dibandingkan tahun 2008. Peningkatan produksi tersebut terjadi di
Jawa sebesar 127.84 ribu ton dan di luar Jawa sebesar 70.96 ribu ton.
Produksi kedelai tahun 2012 (Angka Ramalan I) diperkirakan sebesar
779.741 ribu ton biji kering, menurun sebanyak 71.544 ribu ton (8.40 %)
dibandingkan tahun 2011.
Penurunan produksi kedelai tahun 2010 tersebut
diperkirakan terjadi di Jawa sebesar 40.751 ribu ton dan di luar Jawa sebesar
30.793 ribu ton. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas
panen seluas 55.561 ribu hektar (8.93 %), sedangkan produktivitas diperkirakan
mengalami kenaikan sebesar 0.08 kuintal/hektar (0.58 %).
Kebutuhan
kedelai
meningkat
setiap
tahunnya,
seiring
dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk dan berkembangnya industri-industri
olahan.
Berdasarkan data BPS (2008) bahwa laju rata-rata pertumbuhan
penduduk Indonesia tahun 1978-2008 adalah 1.56 % per tahun.
Data dari
Departemen Pertanian menyatakan bahwa laju pertumbuhan konsumsi kedelai
tahun 1978-2008 adalah 7.22 % per tahun. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
tingkat konsumsi kedelai di Indonesia berkembang lebih cepat dari perkembangan
laju pertumbuhan penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 220
juta orang dan rata-rata konsumsi per kapita kedelai sebesar 10 kg/tahun maka
diperlukan kacang kedelai untuk kebutuhan pangan minimal 2.2 juta ton per
tahun.
Usaha pemenuhan kebutuhan kedelai ini menghadapi kendala berupa
semakin sempitnya lahan subur. Oleh karena itu pemenuhan dapat dilaksanakan
dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Usaha intensifikasi yang dapat dilakukan
adalah menanam kedelai setelah tanaman padi dan ekstensifikasi adalah dengan
cara penanaman pada areal baru. Areal baru tersebut adalah lahan marjinal/kritis.
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi
tanaman, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor genetik serta interaksi kedua
faktor (Chozin 2006).
Komponen teknologi dalam meningkatkan produksi
tanaman kedelai dapat dilakukan dengan penggunaan varietas yang adaptif dan
berdaya hasil tinggi serta modifikasi lingkungan tumbuh.
Modifikasi lingkungan tumbuh dimaksud yaitu peningkatan efisiensi input
produksi.
Pada lahan kering dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah
minimal, penggunaan pupuk yang tepat dan penggunaan genotipe yang toleran.
Pada lahan basah bekas sawah dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah
minimal, penggunaan pupuk yang tepat dan penggunaan genotipe yang toleran
dan teknik budidaya jenuh air.
Hardjowigeno (2003) mengungkapkan bahwa kendala yang dapat
membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman pada lahan kering adalah
rendahnya kesuburan disebabkan oleh reaksi tanahnya masam, kandungan
aluminium (Al) tinggi dan kandungan unsur hara rendah, terutama hara makro.
Tisdale et al. (1993) mengemukakan bahwa di lahan kering kandungan unsur hara
makro N, P, K, Ca dan Mg rendah, serta keracunan Al, Mn, dan Fe. Kandungan
Al dan Fe yang tinggi dapat memfiksasi fosfor (P) dalam membentuk Al-P dan
Fe-P yang tidak larut dengan air. Kondisi tersebut mengakibatkan P tidak tersedia
bagi tanaman (Leiwakabessy 1988) dan berdampak juga pada kandungan P
menjadi rendah (Sanchez & Salinas 1981; Marschner 1995; Subagyo et al. 2000).
Selain itu kapasitas fiksasi P yang tinggi pada tanah menyebabkan P tersedia
menjadi rendah (Sanyal et al. 1993; Ruaysoongnern dan Keerati-Kasikorn 1996).
Selanjutnya Mulyani (2006) berpendapat bahwa kendala lingkungan lainnya
adalah ketersediaan air rendah terutama di musim kemarau, sehingga indeks
pertanaman di lahan kering lebih rendah daripada di lahan sawah.
3
Samira (2003) menjelaskan bahwa mengelola P dalam tanah untuk produksi
tanaman menguntungkan sekaligus melindungi lingkungan dan merupakan salah
satu peluang dan tantangan para ilmuwan dan peneliti tanah saat ini. Hal tersebut
disebabkan oleh kandungan P total dalam tanah yang tinggi, akan tetapi
ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah. Mikanova dan Novakova (2002)
menyatakan bahwa tanaman hanya mengambil 10-25% P yang diberikan melalui
pemupukan, sebagian besar mengalami perubahan kimia dalam tanah menjadi
bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman.
Unsur hara yang ketersediannya terbatas di lahan marjinal dan
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah kalsium (Ca). Ca
merupakan salah satu unsur esensial dalam tanaman yang diperlukan untuk
berbagai peranan dalam struktur dinding dan membran sel. Hong-Bo (2008)
mengemukakan bahwa fungsi Ca yaitu penyeimbang kation untuk anion-anion
organik dan anorganik dalam vakuola (divalent Ca), dan konsentrasi Ca sitosolik
[(Ca2+)cyt].
Ca
mengkoordinasikan
sitosolik
adalah
respon
berbagai
mensenger obligat
isyarat
intraseluler
perkembangan
dan
yang
kondisi
lingkungan.
Tanaman tumbuh dengan Ca yang cukup pada lingkungan alaminya.
Konsentrasi Ca pada tunas pucuk berkisar antara 0.1-5% bobot kering (Supanjani
2006).
White (2001) melaporkan bahwa kalsium yang diperoleh oleh akar
tanaman dari larutan tanah dan ditranslokasikan ke tunas melalui xilem. Ca
diambil oleh akar pada ujung akar yang ekstrim, atau wilayah inisiasi akar lateral,
dan melintasi akar ke xilem melalui sitoplasma yang saling berhubungan atau
ruang ekstraseluler.
Faktor lainnya selain faktor unsur hara P dan Ca yang mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai yang merupakan faktor internal
adalah genotipe. Keragaman karakter lahan dan kendala di lahan marjinal maka
diperlukan varietas atau genotipe yang spesifik lokasi.
Purwantoro et al. (2009) memperoleh tiga galur kedelai dengan rerata hasil
lebih tinggi daripada varietas Tanggamus sebagai pembanding dalam identifikasi
galur-galur harapan yang adaptif lahan kering masam.
Ghulamahdi (2009)
memperoleh varietas Tanggamus sebagai varietas tahan lahan masam dengan
teknik budidaya jenuh air di lahan pasang surut dan berdaya hasil tinggi. Hal ini
disebabkan kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat dibandingkan
dengan kacang-kacangan lainnya dan cepat memperbaiki pertumbuhan setelah air
berkurang (Stanley et al. 1980). Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh
air berbeda-beda. Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai
pertumbuhan lebih baik dan produksi lebih tinggi daripada kedelai yang berumur
pendek (CSIRO 1983; Ghulamahdi et al. 1991; Ghulamahdi et al. 2006).
Pengembangan kedelai dapat dilakukan dengan teknologi budidaya kering
dan budidaya jenuh air. Budidaya kering merupakan budidaya pada lahan kering
yang sistem pengairannya tergantung dengan air hujan. Budidaya jenuh air adalah
penanaman dengan memberikan irigasi terus menerus dan membuat tinggi muka
air tanah tetap sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air (Ghulamahdi
et al. 2006).
Berdasarkan penjelasan di atas menjadi acuan dalam penelitian tentang
serapan hara dan produktivitas beberapa genotipe kedelai melalui pemupukan
fosfor dan kalsium pada budidaya kering dan budidaya jenuh air.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:
1.
Respon dua genotipe kedelai terhadap serapan hara dan produktivitas pada
budidaya kering dan jenuh air.
2.
Pengaruh dosis pemupukan P dan Ca terhadap serapan hara dan produktivitas
dua genotipe kedelai pada budidaya kering dan jenuh air.
3.
Interaksi antara genotipe dengan dosis pemupukan P dan Ca terhadap serapan
hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya kering dan jenuh
air.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Fosfor dalam Tanah
Fosfor diserap tanaman dalam bentuk ion H2PO4- atau HPO4-2, tergantung
pH larutan tanah. pH 7.22 jumlah ion H2PO4- sama dengan HPO4-2, di bawah pH
7.22 sebagian besar dalam bentuk ion H2PO4-, dan di atas pH 7.22 sebagian besar
dalam bentuk ion HPO4-2. Tanaman menyerap ion H2PO4- lebih cepat daripada
ion HPO4-2. Senyawa fosfat organik dapat diserap tanaman, akan tetapi dalam
jumlah kecil (Jain et al. 2007).
Keadaan air berlebih, kelarutan Mn dan Fe tinggi dan dapat menimbulkan
keracunan bagi tanaman. Penambahan P yang cukup dapat menurunkan kadar ion
Mn+2 dan Ca+2 dan ion lain pada jaringan tanaman (Crawford 1978).
Hardjowigeno (2003) menyebutkan bahwa pemupukan P tinggi dapat mengatasi
keracunan Fe pada padi.
Fosfor dalam tanah terutama dalam bentuk Al-posfat dan Fe-fosfat pada
pH rendah dan Ca-fosfat pada pH tinggi, juga diadsorpsi pada permukaan mineral
liat serta oksida Al dan Fe ( T u r n e r
2 0 0 7 ) . Selanjutnya Tan (1982)
menyatakan bahwa pada tanah masam terdapat ion-ion Al+, Fe+2 dan Mn+2 baik
larut maupun dapat dipertukarkan, sehingga fosfat dijerap pada komplek jerapan.
Blair (1993) menyatakan bahwa fosfat yang diikat dengan cara ini dapat
digunakan oleh tanaman.
Ketersediaan P di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah, kadar Al,
Fe, dan Mn terlarut, tersedianya kalsium (Ca), jumlah dan tingkat dekomposisi
bahan organik serta jenis dan populasi mikoorganisme tanah (Hardjowigeno
2003).
Fospor pada Tanaman
Fosfor diabsorpsi oleh akar-akar tanaman dan didistribusikan pada setiap
sel tanaman hidup. Fosfor dalam sel bersatu dengan karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen dan elemen lainnya dalam bentuk molekul-molekul organik yang
komplek. Unsur P juga merupakan bagian esensial dari material genetik pada inti
sel (Niklas 2008).
Peran P dalam sel tanaman yaitu menyimpan dan mentransfer energi
secara perlahan-lahan yang amat penting karena mempunyai
fungsi
mempengaruhi proses-proses motabolisme tanaman. Kehadiran P dibutuhkan
untuk reaksi biokimia esensial lainnya, transfer ion dan kerja osmotik, reaksireaksi fotosintesis dan glikolisis (Marschner 1995).
Fosfor merupakan komponen struktur esensial dalam banyak senyawasenyawa termasuk fosfolipid, asam nukleat, gula fosfat, nukleotida dan koenzimkoenzim. Peredaran P pada proses fotosintesis dan metabolisme menyediakan
energi untuk pertumbuhan tanaman dalam proses-proses reproduksi (Wallingford
1978). Rinsema (1988) berpendapat bahwa P berguna dalam pembentukan biji,
merangsang perkembangan akar lateral dan akar halus, serta sangat berguna bagi
pertumbuhan kacang-kacangan.
Pemupukan P meningkatkan bobot tajuk, tetapi tidak mempengaruhi
bobot akar pada tanaman kedelai umur 16 dan 21 hari (Halmark dan Barber
1984). Pemupukan P juga meningkatkan bobot bintil akar dan jumlah polong tiap
tanaman (Setiaatmaja 1974).
Fosfor adalah unsur hara makro kedua yang
mutlak diperlukan oleh
tanaman. P diserap tanaman hampir seluruhnya dalam bentuk ion hidrogen fosfat,
yaitu H2PO4-, dan di dalam tanaman P tidak direduksikan dalam sel menjadi
bentuk yang berada pada tingkat oksidasi lebih rendah sebagaimana halnya
dengan nitrat dan sulfat (Soepardi 1983).
Fosfor dalam tanaman mempunyai peranan
mengatur banyak reaksi
enzimatik. Adenosin diphosphate (ADP) menjadi Adenosin Triphosphate (ATP)
tergantung pada kepekatan P dalam sel tanaman. Kekurangan unsur P pada
umumnya
akan menghambat reaksi-reaksi sintesis dalam tanaman (Suseno
1974). Selanjutnya Hammond et al. (2004) mengemukakan bahwa selain sintesis
ATP dari ADP dan P anorganik, P berperanan dalam sebagai senyawa perantara
fotosintesis dan respirasi serta terdapat dalam semua asam nukleat.
Raven
(2008) menambahkan bahwa disamping sebagai penyusun asam nukleat dan
komponen utama inti sel, P juga berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan dan
pembentukan akar awal, membuat tanaman tegar serta merangsang pembungaan
dan membantu pembentukan biji.
7
Setiaatmadja (1974) mengemukakan bahwa pada tanaman leguminosa, P
secara tidak langsung merupakan hara yang mempengaruhi aktivitas fiksasi N
oleh bakteri rhizobium. Ini terlihat dari berkurangnya pembentukan bintil akar
oleh Rhizobium dengan menurunnya kandungan P dalam tanah.
Pemupukan P pada tanaman kedelai sangat nyata berpengaruh terhadap
kenaikan hasil. Ismunadji dan Partohardiono (1985) menyatakan bahwa
pemupukan P sebanyak 67.5 kg P/ha dapat menaikkan produksi kedelai hingga
mencapai 1.5 ton/ha. Hallmark dan Barber (1984) melaporkan bahwa dari hasil
percobaannya ternyata penambahan P menaikkan bobot tajuk, bobot akar dan
diameter akar primer tanaman kedelai.
Kalsium pada Tanaman
Kalsium (Ca) adalah salah satu unsur esensial dalam tanaman. Ca
diperlukan untuk berbagai peranan dalam struktur dinding dan membran sel,
penyeimbang kation untuk anion-anion organik dan anorganik dalam vakuola
(Marschner 1995).
Tanaman tumbuh dengan Ca yang cukup pada lingkungan alaminya,
konsetrasi Ca pada tunas pucuk berkisar antara 0.1-5% bobot kering (Supanjani
2006). Nilai ini menggambarkan ketersediaan Ca dari lingkungan dan keperluan
Ca setiap tanaman berbeda. Defiseinsi Ca di alam jarang terjadi, tetapi mungkin
terjadi dalam tanah bila saturasi basa rendah dan atau tingkat deposisi asamnya
tinggi (McLaughlin et al. 1999).
Meskipun demikian, toleransi terhadap
kelebihan Al, Mn dan Fe lebih membatasi tumbuhan di lahan masam dan
insensitivitas Fe serta defisiensi P membatasi pertumbuhan di lahan berkalsium
(Lee 1999).
Secara umum bila sesaat terjadi kehilangan Ca maka jaringan akan gagal
tumbuh. Hal ini terjadi karena Ca tidak dapat mobilisasi dari jaringan tua dan
didistribusikan kembali melalui phloem. Hal ini menebabkan jaringan tanaman
bergantung pada suplai Ca sesaat dari xilem yang sangat bergantung pada
transpirasi (Marschner 1995).
Menurut para ekologis, spesies tanaman dikelompokkan menjadi
calcifuges pada tanah dengan Ca rendah dan calcicoles pada tanah berkalsium.
Konsentrasi Ca pada tanaman calcifuges atau calcicoles sangat berbeda.
Calcifuges secara umum lebih baik tumbuh pada lahan dengan konsentrasi Ca 2+
rendah pada rhizosfer [(Ca2+)cyt] dan merespon sedikit [(Ca2+)cyt] yang dapat
menghambat pertumbuhan. Sebaliknya, mekanisme yang memungkinkan tanaman
calcicoles menjaga [(Ca2+)cyt] rendah dengan menginduksi defisiensi Ca (Lee
1999). Pada fenotipe tanaman yang ekspresi berlebih pada Ca2+-transporter dan
melepas Ca2+ dari sitoplasma ke vakuola yang memperlihatkan pada gejala
defisiensi Ca rendah [(Ca2+)cyt] (Marschner 1995).
Pengapuran dan Pengaruhnya terhadap Tanah dan Tanaman
Pengapuran menurut istilah pertanian adalah penambahan kalsium atau
bahan yang mengandung kalsium dan atau magnesium yang dapat mengurangi
kemasaman tanah. Istilah kapur pada awalnya berkaitan dengan kalsium oksida
(CaO), tetapi beberapa bahan seperti kalsium hidroksida Ca(OH) 2, kalsium
karbonat (CaCO3), kalsium-magnesium karbonat CaMg(CO3)2 dan terak kalsium
silikat juga digunakan sebagai bahan pengapuran dan bentuk CaCO3 lebih banyak
digunakan sebagai bahan pengapuran untuk pertanian (Iyamuremye 1996).
Secara umum pengaruh pengapuran terhadap sifat fisik, kimia dan biologi
tanah telah banyak dikemukakan, antara lain meningkatkan granulasi, struktur
tanah menjadi remah, meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd dan
merangsang kegiatan mikroorganisme tanah. Pengaruh pengapuran terhadap sifat
kimia tanah antara lain meningkatkan pH tanah, menurunkan erapan P
(lyamuremye et al. 1996), meningkatkan kejenuhan basa (Tan 1998),
meningkatkan kapasitas tukar kation (Philips, Black, dan Cameron 1988), dan
meningkatkan kelarutan Cu dan Zn (Salam et al. 1997).
Mekanisme
peningkatan
pH
tanah
akibat
pengapuran
meliputi
reaksi penetralan H+ dalam larutan tanah, dan penukaran kation Al serta H pada
kompleks pertukaran. Pertukaran anion
berlangsung
dan
menggambarkan
pentingnya pengapuran untuk membantu mempertahankan tingkat P tersedia yang
lebih tinggi (Soepardi 1983).
Perbaikan ciri-ciri tanah akibat pengapuran berpengaruh secara tidak
langsung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Sedangkan pengaruh
langsungnya antara lain merupakan sumber hara Ca dan Mg bagi tanaman.
9
Suwarno (1998) melaporkan
bahwa
pengapuran
dolomit
pada
Andisol
dapat meningkatkan kandungan Ca dan Mg bagian atas tanaman.
Genotipe Kedelai Adaptif Lahan Kering Masam
Upaya mengoptimalkan produktivitas kedelai di lahan masam melalui
pendekatan genetik dengan penyediaan varietas kedelai adaptif lahan masam
memiliki keuntungan yakni biaya murah dan mudah diadopsi oleh petani
(Purwantoro et al. 2009).
Spesies tumbuhan secara genetis sangat beragam dalam kemampuannya
untuk toleran atau tidak toleran terhadap unsur tidak essensial seperti aluminium
dalam konsentrasi tinggi yang menghambat pertumbuhan tanaman. Varietas
Sibayak memiliki kemampuan untuk mencegah berpindahnya Al +3 masuk ke
ruang bebas pada meristem yang lebih baik dibandingkan varietas lainnya, hingga
melindungi pembelahan sel. Hal ini memperlihatkan mekanisme pengikatan pada
dinding sel, akibatnya perkembangan akar dapat terjadi dengan sedikit hambatan
(Fitter & Hay 1998).
Tahun 2008 sudah banyak varietas unggul kedelai yang dilepas,
diantaranya tiga varietas dinilai adaptif lahan kering masam pH 5 dan kejenuhan
Al-dd 25-30%, yaitu Tanggamus, Sibayak, dan Nanti dengan produktivitas 1.4
hingga 1.5 ton/ha. Varietas Slamet dan Sandoro juga dinilai toleran terhadap
kemasaman tetapi produktivitas lebih rendah (1 ton/ha). Penggunaan varietas
toleran pada lahan masam merupakan salah satu alternatif teknologi untuk
meningkatkan produktivitas kedelai, selain pengapuran dan penggunaan pupuk
organik (Kuntyastuti dan Taufiq 2008).
Respon Kedelai pada Cekaman Kekeringan
Cekaman (stres) kekeringan merupakan salah satu bentuk stres yang sering
diteliti pada tanaman semusim.
Pada dasarnya tanaman memiliki dua sifat
ketahanan terhadap stres kekeringan yaitu toleran (drought tolerance) dan
penghindaran (drought avoidance) (Sopandie 2006).
Menurut Harjadi dan Yahya (1988) toleran terhadap kekeringan diartikan
sebagai kemampuan sel-sel tanaman untuk hidup dan berfungsi secara fisiologis
walaupun ada kerusakan jaringan atau berkurangnya tegangan air. Penghindaran
terhadap kekeringan menunjukkan kemampuan sel-sel tanaman menjaga tegangan
air tetap tinggi baik dengan cara menyerap air dan mengirimkannya ke batang dan
daun mampu mengurangi kehilangan air dengan penutupan stomata ataupun
pembentukan lapisan kutikula pada daun.
Tanaman yang mengalami cekaman kekeringan menunjukkan sintesis
ABA (asam absisi) dalam daun meningkat. ABA ini kemudian menyebabkan sel
penjaga mengempis sebelum terjadi penutupan stomata (Xiong et al. 1999).
Menurut Moore (1979) peranan ABA dalam proses penutupan stomata adalah
menyebabkan sel penjaga mengalami kebocoran K dan penurunan turgor,
sehingga stomata menutup. Dalam kondisi kekeringan, maka konsentrasi ABA di
dalam sel penjaga naik, sel penjaga kehilangan K dan turgor, stomata menutup,
yang selanjutnya melindungi tanaman terhadap kekeringan.
Sebaliknya jika
tanaman disirami dan kekeringan berkurang, maka konsentrasi ABA dalam sel
penjaga turun, K dan turgor naik kembali dan stomata akan terbuka sehingga
menyebabkan CO2 dapat masuk ke dalam daun dan fotosintesis dapat berjalan
normal kembali.
Ketahanan terhadap cekaman kekeringan bervariasi menurut jenis tanaman
(Hsiao dan Acevedo 1975). Telah diketahui juga bahwa tanaman C-4 lebih tahan
terhadap kekeringan daripada tanaman C-3 (Hsiao dan Acevedo 1975; Yamada
1984).
Hasil-hasil percobaan pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa
ketahanan kultivar-kultivar kedelai terhadap cekaman kekeringan adalah berbeda
(Brown et al. 1985; Korte et al. 1983; dan Sammons et al. 1979).
Menurut Pugnaire et al. (1999) bahwa bergantung responnya terhadap
kekeringan, tanaman dapat diklasifikasikan menjadi (1) tanaman yang
menghindari kekeringan (drought avoiders) dan (2) tanaman yang mentoleransi
kekeringan (drought tolerators).
Tanaman yang menghindari kekeringan
membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia atau akuisisi air maksimum
antara lain dengan meningkatkan jumlah akar dan modifikasi struktur dan posisi
daun. Tanaman yang mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi
atau mentoleransi dehidrasi. Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan
sensitivitas stomata dan perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi dehidrasi
mencakup penyesuaian osmotik.
11
Sivakumar dan Shaw (1978) menyatakan bahwa selain menggunakan
parameter potensial air daun, juga menggunakan daya hantar stomata (stomatal
conductance) dan peningkatan luas daun (leaf area expansion) sebagai indikator
ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada tanaman kedelai. Rata-rata harian
hambatan stomata dan potensial air daun dan laju peningkatan luas daun yang
diukur beberapa kali selama periode pertumbuhan sangat berhubungan dengan
perubahan potensial air tanah. Selain itu laju tumbuh relatif (Relative Growth
Rate) tanaman kedelai berkorelasi negatif dengan hambatan stomata, potensial air
daun dan laju peningkatan luas daun.
Hasil percobaan Brown et al. (1985)
menunjukkan bahwa cekaman kekeringan membatasi pertumbuhan akar tanaman
kedelai pada tanah lapisan atas, tetapi meningkatkan pada lapisan yang lebih
bawah.
Akibatnya hasil tanaman akan menurun apabila tanaman mengalami
cekaman kekeringan cukup berat terutama bila terjadi pada fase yang paling
kritis.
Respon Kedelai pada Budidaya Jenuh Air
Masalah kelebihan air sesaat merupakan keadaan umum yang terjadi pada
pola penanaman di daerah tropis dan sub tropis. Kelebihan air ini dapat terjadi
karena periode yang panjang dari cuaca basah dan curah hujan tinggi setelah
irigasi (Troedson et al. 1983). Di Indonesia masalah kelebihan air juga terjadi
pada lahan sawah yang akan dimanfaatkan untuk penanaman kedelai setelah padi
dipanen. Keadaan ini disebabkan adanya lapisan kedap air pada kedalaman 15-20
cm di bawah permukaan tanah. Sebaliknya jika air tidak cukup lapisan kedap air
membatasi penetrasi perakaran dan tanaman menjadi layu (Griffin et al. 1985).
Kelebihan air menurunkan suplai oksigen untuk respirasi, menghasilkan
senyawa racun, dan menurunkan kandungan N dalam jaringan tanaman (Crawford
1978). Pengamatan menunjukkan bahwa nitrat tanah akan direduksi menjadi
komponen gas seperti N2, dan N2O yang tidak tersedia bagi tanaman. Nitrogen
diangkut dari daun tua ke daun muda pada keadaan air berlebih (Drew dan
Sisworo 1978).
Kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat,
dibandingkan kacang-kacangan lainnya, dan cepat memperbaiki pertumbuhan
setelah air berkurang (Stanley, Kaspar dan Taylor 1980).
Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi
terus menerus, dan membuat tinggi muka air tetap, sehingga lapisan di bawah
perakaran jenuh air (Hunter et al. 1980).
Tinggi muka air, tetap akan
menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman,
karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki
pertumbuhannya (Troedson et al. 1983).
Pertumbuhan dan produksi kedelai
dengan budidaya jenuh air lebih tinggi daripada cara irigasi biasa (Hunter et al.
1980; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1984).
Budidaya jenuh air hampir sama dengan padi sawah. Perbedaannya pada
ketinggian muka air. Pada budidaya jenuh air tinggi muka air beberapa sentimeter
di bawah permukaan tanah, sedangkan padi sawah beberapa sentimeter di atas
permukaan tanah (Lawn 1985).
Irigasi biasanya dilakukan dengan cara alur
(Furrow Irrigation) untuk mencukupi kebutuhan evapotranspirasi, irigasi
diberikan berdasarkan angka yang diperoleh dari panel evaporasi dengan interval
tertentu sesuai kebutuhan tanaman (CSIRO 1983; Troedson 1983).
Pertumbuhan dan produksi kedelai pada cara irigasi biasa lebih rendah
dibandingkan budidaya jenuh air (CSIRO 1983), karena: (a)
Pemberian
irigasi
terjadinya
cekaman
setiap
air.
interval
tertentu tidak
cukup untuk mencegah
Tanaman mengalami cekaman
sebelum
irigasi
diberikan
lagi; (b) Perkembangan bintil akar berlangsung dalam waktu yang lebih
singkat dan jumlah serta aktifitasnya lebih rendah.
Hal ini disebabkan
keadaan lingkungan yang tidak stabil. Pada awal irigasi keadaan tanah
jenuh air, dan akhirnya kekeringan. Kelebihan air sesaat menyebabkan kematian
beberapa bintil akar yang terletak lebih dalam, dan kekeringan menyebabkan
kematian beberapa bintil akar di bagian atas.
13
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1.
Pemupukan P dan Ca meningkatkan serapan hara dan produktivitas kedelai.
2.
Genotipe kedelai Tanggamus memiliki serapan hara dan produktivitas lebih
tinggi.
3.
Terdapat interaksi antara genotipe, pemupukan P dan Ca pada serapan hara
dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya kering dan jenuh air.
4.
Serapan hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya jenuh air
lebih tinggi dibandingkan pada budidaya lahan kering.
METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Desa Krawangsari untuk budidaya kering dan
Tanjungsari untuk budidaya jenuh air Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung
Selatan, Propinsi Lampung, 110 m dpl. Analisis dilakukan di Laboratorium Pasca
Panen, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Tanah,
Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Bogor.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Maret 2012.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas
Anjasmoro dan Tanggamus (deskripsi disajikan pada Lampiran 1a dan 1b), pupuk
P (P2O5 36%), kapur (CaCO3), inokulan Rhizobium SP, pupuk kandang dan
karbufuran-36. Peralatan yang digunakan adalah yang digunakan adalah meteran,
cangkul, timbangan analitik, oven, dan termometer tanah.
Metode Percobaan
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yaitu percobaan I pada budidaya
kering dan percobaan II pada budidaya jenuh air yang pada masing-masing
percobaan diberikan perlakuan dan rancangan percobaan yang sama.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak-petak
terpisah (split split plot design) pola RAKL (rancangan acak kelompok lengkap) 3
faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pemberian pupuk P terdiri atas 4
taraf, yaitu: 0, 36, 72, dan 108 kg P2O5/ha. Faktor kedua adalah pemberian pupuk
Ca terdiri atas 4 taraf, yaitu: 0, 0.5, 1, dan 1.5 ton CaCO3/ha. Faktor ketiga adalah
genotipe kedelai yaitu: Anjasmoro dan Tanggamus.
Petak utama adalah dosis pupuk P, anak petak adalah dosis pupuk Ca dan
anak anak petak adalah genotipe kedelai. Model linear aditif dari rancangan
perlakuan ini adalah sebagai berikut :
Yijkl = µ + ρi + αj + εij +
k
+ (α )jk + εijk +
i
+ (αy)jl + ( y)kl + (α y)jkl + εijkl
15
Keterangan :
Yijkl
= Nilai pengamatan pada ulangan ke-i, perlakuan dosis pupuk fosfor
taraf ke-j, perlakuan dosis pupuk kalsium taraf ke-k dan perlakuan
genotipe taraf ke-l.
µ
= Rata-rata umum nilai pengamatan.
ρi
= Pengaruh ulangan pada taraf ke-i.
αj
= Pengaruh perlakuan dosis pupuk fosfor pada taraf ke-j.
εij
= Pengaruh galat ulangan ke-i dan dosis pupuk fosfor taraf ke-j.
k
(α )jk
= Pengaruh perlakuan dosis pupuk kalsium taraf ke-k.
= Pengaruh interaksi perlakuan dosis pupuk fosfor taraf ke-j dan
perlakuan dosis pupuk kalsium ke-k
εijk
= Pengaruh galat pada ulangan ke-i, perlakuan dosis pupuk fosfor taraf
ke-j dan dosis pupuk kalsium taraf ke-k.
i
(αy)jl
= Pengaruh perlakuan dosis pupuk kalsium pada taraf ke-l
= Pengaruh interaksi perlakuan fosfor taraf ke-j dan perlakuan dosis
pupuk kalsium taraf ke-l.
( y)kl
= Pengaruh interaksi perlakuan fosfor taraf ke-j, dan perlakuan genotipe
taraf ke-l
(α y)jkl = Pengaruh interaksi perlakuan fosfor taraf ke-j, perlakuan dosis pupuk
kalsium taraf ke-k, dan perlakuan genotipe taraf ke-l
εijkl
= Pengaruh galat pada ulangan ke-i, dosis pupuk fosfor taraf ke-j,
perlakuan dosis pupuk kalsium taraf ke-k, dan perlakuan genotipe
taraf ke-l
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam (Anova)
pada selang kepercayaan 95%. Apabila hasil analisis berpengaruh nyata, maka
data diuji lanjut dengan menggunakan Uji Wilayah Berganda Duncan (DMRT)
pada taraf 5% (Gomez & Gomez 1976).
Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh langsung dan tak langsung ant