Determinant of junior secondary school enrollment rate in West Java

DETERMINAN ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH SMP
DI JAWA BARAT

KHAIRUNNISA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Determinan Angka Partisipasi
Sekolah Sekolah Menengah Pertama Di Jawa Barat adalah benar karya saya
denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013
Khairunnisa
NRP H151114144

RINGKASAN
KHAIRUNNISA. Determinan Angka Partisipasi Sekolah SMP di Jawa Barat.
Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Pembangunan manusia dapat diartikan sebagai peluasan akses masyarakat
terhadap sektor pendidikan, kesehatan, dan pendapatan.Kepedulian dunia
internasional terhadap pendidikan diwujudkan dalam Tujuan Pembangunan
Milenium (Millennium Development Goals-MDGs). Terkait pendidikan dasar,
target MDGs adalah pada 2015 diharapkan semua anak laki-laki dan perempuan
usia 7-15 tahun di seluruh dunia dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun.
Pada 2011, BPS mencatat bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi
dengan capaian APS terendah pada semua jenjang pendidikan, termasuk jenjang
SMP, yaitu 85.69%. Adapun alokasi dana BOS (Bantuan Operasional
Sekolah)Provinsi Jawa Barat merupakan yang terbesar sepulau Jawa. Di sisi lain,
Jawa Barat berperan sebagai agent of development (agen pembangunan) bagi
pertumbuhan nasional yang diantaranya dapat dilihat dari jumlah penduduknya
yang terbesar dan penyumbang PDRB ketiga terbesar di Indonesia pada 2011.

Untuk itu, penelitian ini bertujuan memberi gambaran tentang perkembangan APS
tingkat SMP di Jawa Barat dan menganalisis faktor determinannya.
Data yang digunakan berasal dari Badan Pusat Statistik, Kementerian
Pendidikan Nasional, dan sumber lainnya. Periode yang diteliti adalah antara
2007–2011. Data yang digunakan antara lain data angka partisipasi sekolah usia
13–15 tahun, alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS), angka kemiskinan,
PDRB perkapita, dan rasio murid terhadap sekolah. Faktor sosial, seperti
persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas SMP dan anak usia
13-15 tahun yang bekerja, diolah menggunakan data SUSENAS tahun 2007–
2011. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi data
panel.
Pada 2007, APS Jawa Barat baru mencapai 80.36% dan meningkat
menjadi 85.69% pada tahun 2011. Dilihat dari proporsi jenis kelamin, sejak 2009,
persentase anak perempuan yang bersekolah SMP lebih banyak dibanding
persentase anak laki-laki.
Hasil regresi data panel menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh
positif terhadap peningkatan APS adalah PDRB per kapita dan tingkat pendidikan
kepala rumah tangga. Adapun variabel rasio murid terhadap sekolah, kemiskinan,
dan anak usia 13–15 tahun yang bekerja berpengaruh negatif terhadap APS.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi sekolah SMP terutama anak

dari keluarga miskin, pemerintah diharapkan lebih intensif meningkatkan
pendapatan masyarkat dan menurunkan tingkat kemiskinan. Selain itu,
peningkatan anggaran pendidikan diharapkan lebih pro-masyarakat miskin dengan
meningkatkan ketersediaan sekolah.
Kata kunci:pendidikan, sekolah menengah pertama, angka partisipasi sekolah,
kemiskinan

SUMMARY
KHAIRUNNISA. Determinant of Junior Secondary School Enrollment Rate in
West Java. Supervised by SRI HARTOYO andLUKYTAWATI ANGGRAENI.
Human development can be interpreted as the expansion of people's access
to education, health and income. It becomes an international’s concern on
education implemented in Millennium Development Goals (MDGs). Related to
basic education, MDGs targeted by the end of 2015 that all boys and girls in the
whole world,aged 7–15 years old, will have the access to 9-year basic education.
In 2011, BPS (Statistics Indonesia) noted that West Java Province is the
province with the lowest enrollment rate in all level of education, including junior
secondary school level, whichis equal to 85.69%. Although its school operational
grant (Bantuan Operasional Sekolah–BOS) allocation from the government is the
highest among other province in Java island. On the other hand, West Java has

become agent of development in national growth. It has the biggest population
andwas the third largest contributor to GDP in Indonesia in 2011. Therefore, this
study aims to provide an overview of West Java’s junior secondary school
enrollment rate improvement and to see the determinant factors for it.
The data used in this study taken from Statistics Indonesia (BPS), Ministry
of National Education and other sources between 2007–2011period of time.
Itcovers school enrollment for 13–15 years of age, the allocation of school
operational grant (BOS), the poverty rate, GDP per capita, and students per school
ratio. Social factors, such as the percentage of household heads with high
schooleducation level and working 13–15 years old children, are processed using
SUSENAS data between 2007–2011 period of time. This study uses derived
analysis and regression analysis of panel data.
In 2007, West Java enrollment rate up to 80.36% and increased to 85.69%
in 2011. Based on the proportions of gender, since 2009, the percentage of girls
enrolled in school is higher than boys.
The result of panel data regression indicates that GDP per capita and
education level of the household head has a positive effect on increasing the
enrollment rate. While the variable students per school ratio, poverty and working
13–15 years old childrenhas a negative affect.
This study suggests,in order to improve the enrollment rate, West Java

Government should increase local revenue to enablethe people to have sufficient
income for attending school, especially for the poor. The government is also
expected to increase the education budget that can be used for the availability of
schools.
Keywords: education, junior secondary school, enrollment rate, poverty

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DETERMINAN ANGKA PARTISIPASI SMP DI JAWA BARAT

KHAIRUNNISA


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi

Judul Tesis : Determinan Angka Partisipasi Sekolah SMP Di Jawa Barat
Nama
: Khairunnisa
NIM
: H151114144

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Ketua

Dr Lukytawati Anggraeni SP, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

5 September 2013

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Determinan Angka Partisipasi Sekolah SMP Di Jawa Barat
Nama
: Khairunnisa
NI M
: HI 511 14144

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr [r Sri Hartoyo, MS
Ketua

Dr Lukytawati Anggraeni SP, MSi
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Stud i
IImu Ekonomi

Tanggal Ujian:
5 September 2013

Tanggal Lulus:

D 1 NOV 2013

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah pendidikan, dengan judul Determinan Angka
Partisipasi Sekolah SMP Di Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo selaku ketua
komisi pembimbing dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni SP, MSi selaku anggota
komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu dan
kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat

bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada
Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi dan Dr Ir Sri Mulatsih MSc Agr atas saran dan
masukannya demi perbaikan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Jawa Barat, dan Kepala
BPS Kota Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di
Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. Terima kasih juga disampaikan kepada staf BPS
Pusat dan staf BPS Kota Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr. Ir.
R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi
Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. Tak lupa
ucapan terima kasih untuk teman-teman BPS IPB batch 4 atas segala bantuannya
selama di IPB.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada mama dan bapak yang
senantiasa mendoakan dan mendukung penulis hingga akhir hayatnya. Tak lupa
ungkapan terima kasih terdalam untuk suami, anak-anak, dan seluruh keluarga
tercinta, atas segala doa, kasih sayang dan kesabarannya. Jazakumulloh khair
untuk semuanya.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna

karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan
tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Allah
SWT. Meskipun demikian, penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan
kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi para pembaca
sekalian.

Bogor, Oktober 2013
Khairunnisa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA

1
1
2
5
5
5
6

Tinjauan Teori

6

Ekonomi Pendidikan

6

Pendidikan dan PDRB per Kapita

6

Pendidikan dan Investasi

7

Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan

8

Kemiskinan dan Pendidikan

9

Tinjauan Empiris

9

Kerangka Pemikiran

11

Hipotesis Penelitian

12

3 METODE PENELITIAN

13

Jenis dan Sumber Data

13

Analisis Deskriptif

13

Analisis Regresi Data Panel

13

Pemilihan Model dalam Pengujian Data Panel

14

Definisi Variabel Operasional

16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

17

Perkembangan APS SMP di Jawa Barat

17

Determinan APSdi Jawa Barat

24

PDRB Per Kapita

26

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

26

Kemiskinan

27

Pekerja Anak

28

Rasio Murid terhadap Sekolah

29

5 SIMPULAN DAN SARAN

30

Simpulan

30

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

43

DAFTAR TABEL
1 Peranan PDRB atas dasar harga berlaku, alokasi dana bos dan APS
SMP Provinsi di Pulau Jawa tahun 2011
2 Penelitian terdahulu
3 Kerangka identifikasi autokorelasi
4 Partisipasi Sekolah anak usia 13-15 tahun Provinsi Jawa Barat tahun
2007-2011
5 Persentase anak usia 13-15 tahun yang pernah/masih bersekolah
menurut tipe daerah dan jenis kelamin di Jawa Barat tahun 2011
6 Alokasi dana BOS per tahun per murid jenjang SMP tahun 20072011
7 Faktor-faktor yang memengaruhi APS SMP di Jawa Barat

3
9
15
18
19
22
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

APS jenjang SD dan SMP di Indonesia tahun 2000–2011
APS SMP kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011
Kerangka Pemikiran
Tingkat partisipasi sekolah anak usia 13-15 tahun menurut jenis
kelamintahun 2007-2011
Peta Jawa Barat berdasarkan APS SMP tahun 2007
Peta Jawa Barat berdasarkan APS SMP tahun 2011
Peningkatan rata-rata APS SMP Provinsi Jawa Barat
Angka kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2002-2011
Alasan anak usia 13-15 tahun tidak bersekolah pada tahun 2011

2
4
12
18
20
20
21
23
29

DAFTAR LAMPIRAN
1 APS SMP kabupaten /kota di Jawa Barat tahun 2007-2011
2 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2011
3 Desa yang tidak memiliki SMP dan Jarak ke SMP terdekat
4 Persentaseanak usia 13-15 tahun yang tidak/belum pernah
sekolah/tidak bersekolah lagi menurut alasan, tipe daerah dan jenis
kelamin, di Jawa Barat tahun 2011 APS SMP kabupaten /kota di
Jawa Barat tahun 2007-2011
5 Tahapan pengujian model terbaik

33
34
35

36
37

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan manusia dapat diartikan sebagai peluasan akses masyarakat
terhadap sektor pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. Pendidikan merupakan
salah satu unsur penting dalam proses pembangunan manusia karena
pembangunan manusia melalui peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai
penggerak utama pembangunan merupakan salah satu faktor penting pertumbuhan
ekonomi suatu negara.Menurut Todaro dan Smith (2006), pendidikan memiliki
peran utama dalam membentuk kemampuan suatu negara berkembang untuk
menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta
pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan.
Kepedulian dunia internasional terhadap pendidikan diwujudkan dalam
gerakan global Pendidikan untuk Semua (PUS / Education for All) pada tahun
1990 dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development GoalsMDGs) pada tahun 2000. Delapan tujuan yang tertuang dalam kesepakatan MDGs
yakni terkait dengan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dasar, kesetaraan
gender, kesehatan, dan lingkungan hidup. Terkait pendidikan dasar, target MDGs
adalah pada 2015 diharapkan semua anak laki-laki dan perempuan usia 7-15 tahun
di seluruh dunia dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun.Tujuan MDGs
menganggap bahwapenyelesaian pendidikan dasar, bersama dengan pencapaian
MDGs lainnya, akan membantu mewujudkan tujuan mengurangi separuh jumlah
orang yang hidup dalam kemiskinan pada tahun 2015.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010–2014,
disebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan manusia Indonesia adalah
tercapainya pendidikan dasar bagi seluruh anak di Indonesia dan penurunan
kesenjangan pendidikan antarwilayah. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pun menjamin hak atas pendidikan dasar bagi
warga negara Indonesia yang berusia 7–15 tahun.
Program perluasan dan pemerataan kesempatan belajar di Indonesia telah
dilakukan sejak awal 1970-an yang dituangkan dalam program Wajib Belajar
Sekolah Dasar pada tahun 1984 dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada
tahun 1994. Program ini bertujuan agar setiap anak dapat menikmati pendidikan
dasar 9 tahun, yaitu pendidikan setingkat SD selama 6 tahun ditambah pendidikan
SMP selama 3 tahun.
Data Badan Pusat Statistik 2011 menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah
penduduk umur 15 tahun ke atas di Indonesia baru mencapai 7.9 tahun.Hal itu
berarti masih ada selisih 1.1 tahun dari target pendidikan dasar 9 tahun. Dilihat
dari Angka Partisipasi Sekolah (APS), pencapaian di jenjang SD hampir
mendekati target MDGs yaitu sebesar 95.50% pada tahun 2000 menjadi 97.49%
pada 2011. Namun, pencapaian di jenjang SMP baru mencapai 87.58% pada
2011. Perbedaan itu terjadi karena wajib belajar untuk jenjang SD telah dimulai
sejak 1984, sedangkan untuk jenjang SMP baru dimulaipada 1994.

2
100.00

97.14

97.49

95.50
95.00
90.00

87.58
84.02

85.00
80.00

79.58

75.00
70.00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
APS SD
APS SMP

Sumber: BPS, 2012
Gambar 1APS jenjang SD dan SMP di Indonesia tahun 2000–2011

Data BPS tentang pencapaian jenjang pendidikan SD juga menunjukkan
angka putus sekolah yang lebih baik, yaitu 0.67%.Untuk tingkat SMP,angka putus
sekolahnya lebih tinggi, yaitu 2.21%. Seiring dengan tingkat APS jenjang SMP
yang masih rendah dan angka putus sekolah yang masih tinggi, hal itu menjadi
tantangan bagi pemerintah agar memberikan perhatian dan upaya yang lebih baik
dengan memberi akses yang lebih luas untuk jenjang SMP agar tercapai tujuan
wajib belajar 9 tahun dan 100% anak usia 7–15 tahun mendapatkan pendidikan
dasar pada tahun 2015 sesuai dengan target MDGs.

Perumusan Masalah
APS yang masih rendah pada jenjang SMP merupakan indikator yang jelas
bahwa upaya yang lebih kuat sangat diperlukan untuk meningkatkan akses pada
jenjang pendidikan ini. Selain itu, tingkat pengembalian sosial (social rates of
return) pada pendidikan menengah lebih tinggi daripada tingkat pengembalian
untuk pendidikan dasar. Perkiraan tingkat pengembalian investasi pendidikan
didefinisikan sebagai tingkat diskonto yang menyeimbangkan arus manfaat yang
diperoleh dari tingkat pendidikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
menyediakan layanan pendidikan pada jenjang yang berbeda dan pada kurun
waktu yang berbeda pula. Pendidikan SMP menerima tingkat pengembalian yang
tinggi yaitu sebesar 25%, sedangkan pendidikan SD hanya sebesar 4% (Bank
Dunia, 2007).
Pada tahun 2011, BPS mencatat rata-rata APS SMP untuk pulau Jawa dan
luar pulau Jawa berbeda secara signifikan, yaitu untuk wilayah Jawa sebesar
90.35% dan untuk wilayah luar Jawa sebesar 87.18%. Hal ini dapat
menggambarkan ketersediaan sarana pendidikan yang lebih baik di pulau Jawa
dibanding di luar pulau Jawa. Namun diantara provinsi yang ada di pulau Jawa,

3
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan capaian APS terendah pada
semua jenjang pendidikan termasuk jenjang SMP yaitu sebesar 85.69%.
Jawa Barat berperan sebagai agent of development (agen pembangunan)
bagi pertumbuhan nasional. Hal itu dapat dilihat dari jumlah penduduk terbesar
se-Indonesia yaitu sebanyak 43 juta jiwa dan penyumbang PDRB ketiga terbesar
di Indonesia pada tahun 2011 setelah provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Selain itu letak provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan pusat kekuasaan
dan perekonomian, yaitu Provinsi DKI Jakarta, diasumsikan memiliki akses yang
lebih baik bagi pendidikan. Namun selain APS SMP yang rendah, rata-rata lama
sekolah penduduk 15 tahun ke atasnya hanya sebesar 7.9 tahun. Hal ini tentu akan
menghambat program wajib belajar 12 tahun yang sedang dirintis provinsi Jawa
Barat.
Tabel 1 Peranan PDRB atas dasar harga belaku, alokasi dana BOS dan APS SMP
provinsi di Pulau Jawa tahun 2011
Provinsi

Peranan PDRB
Alokasi Dana
APS SMP
(%)
Migas(%) Tanpa Migas(%) BOS (juta rupiah)
DKI Jakarta
16.3
17.7
689 750
92.01
Jawa Barat
14.3
15.0
3 311 261
85.69
Banten
3.2
3.5
747 929
88.36
Jawa Tengah
8.3
8.0
2 742 641
88.39
DIY
0.9
0.9
295 677
97.59
Jawa Timur
14.7
16.0
2 594 107
90.04
Sumber: BPS, 2012 dan Kemdikbud, 2013
Sejak bulan Juli 2005, pemerintah telah melaksanakan program
BantuanOperasional Sekolah (BOS) yang merupakan Program Kompensasi
Pengurangan Subsidi-Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan dan
terkait dengan program wajar dikdas 9 tahun. Program ini dimaksudkan untuk
meningkatkan akses ke pendidikan dasar, khususnya bagi rakyat miskin. Dilihat
dari alokasi dana BOS, Jawa Barat memiliki anggaran terbesar se pulau Jawa.
Sejalan dengan hal itu, APS SMP Jawa Barat pun mengalami peningkatan dari
76.44% pada tahun 2005 menjadi 85.69% pada tahun 2011. Namun masih
rendahnya APS SMP menggambarkan masih banyaknya anak usia 13-15 tahun
yang tidak bersekolah di SMP. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan
pendidikan bagi anak usia 7-15 tahun di Jawa Barat sebagaimana target MDGs
belum dapat tercapai.
Selain itu, disparitas APS SMP yang tinggi merupakan tantangan bagi
pemerintah daerah agar tercapai tujuan pendidikan dasar 9 tahun untuk semua.
Purwanto (2010) menemukan bahwa terjadi disparitas partisipasi sekolah antara
kabupaten kota di Indonesia. Hal ini terjadi pula di Jawa Barat, seperti terlihat
pada gambar 2. APS tertinggi di Jawa Barat adalah Kota Cirebon yaitu sebesar
95.71% diikuti oleh Kota Bekasi sebesar 94.56%. Sedangkan untuk kabupaten
terendah adalah kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bogor, dan kabupaten
Purwakarta yaitu masing-masing sebesar 76.20%, 76.95% dan 78.40%.

4
98.00
94.00
90.00
86.00
82.00
78.00
74.00
Kab. Bandung Barat
Kab. Bogor
Kab. Purwakarta
Kab. Sukabumi
Kab. Cianjur
Kab. Sumedang
Kab. Bandung
Kab. Cirebon
Kab. Tasikmalaya
Kab. Subang
Kab. Karawang
Kab. Garut
Kab. Kuningan
Kab. Indramayu
Kab. Majalengka
Kota Bogor
Kota Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Bekasi
Kota Bandung
Kota Banjar
Kota Depok
Kota Cimahi
Kota Sukabumi
Kota Bekasi
Kota Cirebon

70.00

Sumber: BPS, 2012
Gambar 2 APS SMP kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011

Beberapa penelitian tentang capaian pendidikan telah dilakukan di
berbagai negara. Glewwe dan Kremer (2005) meneliti tentang partisipasi sekolah
di negara-negara berkembang. Temuan yang penting dari penelitiannya adalah
bahwa partisipasi sekolah sangat dipengaruhi oleh sisi permintaan diantaranya
kesejahteraan keluarga. Anak dari keluarga miskin tidak dapat bersekolah karena
orangtuanya tidak mampu membiayai sekolah, terutama di negara-negara yang
pengeluaran pendidikannya sedikit sehingga tidak mampu meringankan biaya
pendidikan. Selain itu tingkat pendidikan orang tua dan harapan tingkat
pengembalian di masa depan serta jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap
partisipasi pendidikan.
Handa (1999) dalam penelitiannya di Afrika menemukan bahwa kebijakan
pemerintah untuk memastikan bahwa orangtua berpendidikan dan berpenghasilan
memadai sangat memengaruhi partisipasi sekolah anak. Sementara Faguet dan
Sanchez (2008) dalam penelitiannya di Bolivia dan Kolombia menemukan bahwa
variabel desentralisasi yaitu pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan
berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah selain variabel politik, sosial
ekonomi dan geografi.
Penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia diantaranya adalah penelitian
Suryadarma et al. (2006), Granado et al. (2007), Purwanto (2010) dan
Listianawati (2012). Suryadarma et al. (2006) menemukan bahwa tingkat
kesejahteraan keluarga dan banyaknya sekolah yang dibangun berpengaruh
signifikan terhadap partisipasi sekolah. Sedangkan Granado et al.(2007)
menemukan bahwa kemiskinan dan tenaga kerja usia sekolah berpengaruh
signifikan terhadap partisipasi sekolah. Dilihat dari variabel desentralisasi,
Purwanto (2010) menemukan variabel yang berpengaruh pada parisipasi SMP
adalah rasio murid terhadap guru dan sekolah.
Sementara Listianawati (2012) dalam penelitiannya di Sulawesi Utara
menemukan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan terhadap partisipasi
sekolah SMP adalah dana BOS, pengeluaran riil pendidikan dasar, PDRB per

5
kapita, pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga serta rasio
murid terhadap guru dan sekolah. Variabel kemiskinan dalam penelitian
Listianawati (2012) tidak berpengaruh terhadap partisipasi sekolah SMP. Hal ini
berbeda dengan temuan Suryadarma dan Suryahadi (2009) dan Granado et al.
(2007) yang menyimpulkan bahwa kemiskinan berpengaruh secara signifikan.
Berdasarkan pemaparan diatas, banyak faktor yang dapat memengaruhi
capaian pendidikan di suatu wilayah, baik dari segi ketersediaan fasilitas
pendidikan maupun kondisi sosial ekonomi. Ketersediaan fasilitas pendidikan dan
kondisi sosial ekonomi Provinsi Jawa Barat yang beragam memberikan tantangan
yang beragam bagi pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat dalam mencapai
tujuan tuntas Wajar Dikdas 9 tahun sekaligus mencapai tujuan MDGs kedua pada
tahun 2015. Oleh karena itu, menarik untuk dilakukan penelitian tentang
perkembangan capaian pendidikan dalam hal ini APS untuk jenjang SMP dan
determinannya di wilayah Jawa Barat, sehingga permasalahan dalam penelitian
ini, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan APS SMP di Jawa Barat?
2. Faktor apa saja yang menjadi determinan APS SMP di Jawa Barat?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka secara umum
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perkembangan APS SMP di Jawa barat
2. Mengidentifikasi determinan APS SMP di Jawa Barat

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan
informasi mengenai perkembangan dan determinan pendidikan dasar jenjang SMP
di kabupaten kota di provinsi Jawa Barat sehingga dapat dijadikan acuan bagi
kebijakan pemerintah kabupaten kota di provinsi Jawa Barat agar tercapai tujuan
tuntas Wajar Dikdas 9 tahun dan tujuan MDGs kedua pada tahun 2015.
Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa
Barat yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota dalam kurun waktu 2007-2011.
Data yang digunakan berupa data sekunder, yaitu data partisipasi sekolah untuk
usia 13-15 tahun,
Alokasi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
kemiskinan, PDRB perkapita, dan rasio murid terhadap sekolah. Faktor sosial
seperti persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas SMP dan anak
usia 13-15 tahun yang bekerja diolah dengan menggunakan SUSENS KOR 20072011. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan dan sumber-sumber lainnya. Dalam penelitian ini tidak memasukkan
unsur faktor kualitas mutu pendidikan dasar dan faktor kultural di masing-masing
kabupaten/kota karena keterbatasan data.

6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
EkonomiPendidikan
Studi ekonomi pendidikan didasarkan pada penerapan konsep fungsi
produksi pada proses pendidikan. Konsep Education Production Function (EPF)
dikembangkan oleh ekonom-ekonom yang menekuni applied economics
khususnya education economics. Sekolah dapat diperlakukan secara analitis
sebagai unit produksi di sisi penawaran dengan beberapa pengecualian, sekolah
tidak memaksimalkan keuntungan perusahaan seperti pada fungsi produksi pada
umumnya, kebanyakan dari sekolah menjadi barang publik atau swasta nirlaba
(Boissierre, 2004). Ide dasar dari menggunakan input modal, tenaga kerja, dan
lainnya untuk menghasilkan output tertentu dapat dimodifikasi untuk
menganalisis input dari pendidikan untuk menghasilkan output tertentu dari
pendidikan. Glewwe (2002) dalam Boissierre (2004) memformulasikan EPF dari
fungsi produksi Cobb Douglass yaitu:
H = k * Sx *Ay *Qz

(1)

Dimana
H
: human capital dengan pendekatan menggunakan skor nilai tes
S
: School, lamanya waktu sekolah
A
:Ability, serangkaian kemampuan individu siswa dan kapasitas belajar,
seperti IQ
Q
: faktor kualitas sekolah, seperti ukuran kelas, kualifikasi pengajar, dll
x,y,z : dampak dari input yang memengaruhi output
Model ini kemudian dikembangkan untuk meneliti berbagai input
pendidikan yang menghasilkan suatu output pendidikan. Outputnya adalah
pencapaian dari hasil pendidikan seperti hasil skor suatu tes atau hasil ujian
kelulusan suatu wilayah (Boissierre, 2004). Dalam perkembangannya, banyak
faktor yang dapat digunakan untuk melakukan pendekatan menghitung outcomes
dari pendidikan. Input dari model diatas bisa dimodifikasi sebagai variabelvariabel yang dapat digunakan untuk menghitung suatu outcomes tertentu yang
menjadi target suatu pemerintahan. Faguet dan Sanchez (2008) menggunakan
kenaikan partisipasi sekolah sebagai indikator outcomes, Akaiet al. (2007)
menggunakan skor dari tes yang diuji kepada murid sekolah setingkat SD dan
SMP, sedangkan Purwanto (2010) dan Listianawati (2012) menggunakan angka
partisipasi sekolah.
Pendidikan dan PDRB per kapita
Pendapatan per kapita dapat mencerminkan kemampuan masyarakat untuk
membiayai pendidikan, sehingga pendidikan masyarakat akan terus meningkat
saat pendapatan masyarakat meningkat. Menurut Todaro dan Smith (2006) ada
dua biaya pendidikan, yaitu: biaya pendidikan individual dan biaya pendidikan
tidak langsung. Biaya pendidikan langsung individual ini yang kemudian
berkenaan langsung padapendapatan perkapita masyarakat. Biaya pendidikan

7
langsung individual adalah biaya yang harus ditanggung oleh siswa dan
keluarganya untukmembiayai pendidikan. Biaya ini meliputi uang iuran sekolah,
buku-buku, pakaian seragam, ongkos transportasi ke sekolah dan biaya lainnya.
Tingkat permintaan terhadap pendidikan berbanding terbalik dengan besarnya
biaya langsung ini, artinya semakin tinggi jenjang pendidikan yang diterima
seorang anak maka semakin besar biaya pendidikan langsung individual yang
ditanggung (orangtua) murid. Bagi pendudukyang berpenghasilan rendah, biayabiaya langsung dari penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar saja sudah
membebankan mereka dan menghabiskan sejumlah besar pendapatan rill mereka.
Sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya oportunitas yang ditanggung karena
memilih untuk sekolah, bukan alternatif lain, misalnya bekerja.
Pendidikan dan Investasi
Dalam perspektif ekonomi, pendidikan merupakan bentuk investasi sumber
daya manusia yang akan memberi keuntungan di masa mendatang, baik kepada
masyarakat atau negara, maupun orang-orang yang mengikuti pendidikan itu
sendiri. Investasi publik di bidang pendidikan akan memberikan kesempatan
pendidikan yang lebih merata kepada masyarakat sehingga sumber daya manusia
(SDM) handal menjadi semakin bertambah. Meningkatnya pendidikan akan
mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan
produktivitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan
masyarakat. Dengan demikian diharapkan kondisi ini akan memajukan
perekonomian masyarakat dengan bertambahnya kesempatan kerjaserta
berkurangnya kemiskinan (Widodo, et al. 2011).
Salah satu bentuk investasi sumber daya manusia adalah investasi
pendidikan yang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu private investment
dan public investment. Private investment merupakan investasi pendidikan pada
level mikro atau tingkat individu. Bentuk dari private investment adalah individu
yang mengenyam bangku pendidikan formal maupun nonformal. Sedangkan
public investment merupakan investasi yang dilakukan oleh masyarakat maupun
pemerintah dalam bentuk penyediaan gedung sekolah, lembaga pendidikan, guru,
dana pendidikan, penyediaan infrastruktur pendidikan, dan lain sebagainya
(Todaro dan Smith, 2006).
Kualitas modal manusia yang ditunjukkan melalui tingkat pendidikan dan
angka partisipasi sekolah dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh
perpaduan antara kekuatan permintaan dan penawaran, sama halnya dengan
barang ataupun jasa ekonomi lainnya. Todaro dan Smith (2006) menjelaskan
bahwa pada sisi penawaran (oleh negara) pendidikan dibatasi oleh tingkat
pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Sedangkan permintaan terhadap
pendidikan merupakan suatu “permintaan tidak langsung” atau permintaan turunan
(derived demand), yakni permintaan terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan
berpenghasilan tinggi di sektor modern. Lebih lanjut Todaro dan Smith (2006)
mengatakan bahwa permintaan itu ditentukan oleh kombinasi pengaruh dari empat
variabel yaitu:
1. Selisih atau perbedaan upah atau pendapatan antara sektor modern dengan
sektor tradisional.
2. Probabilitas untuk mendapatkan pekerjaan di sektor modern dengan adanya
pendidikan.

8
3. Biaya pendidikan langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya.
4. Biaya tidak langsung atau biaya oportunitas dari pendidikan
Selain itu, ada beberapa variabel penting lainnya yang bersifat
nonekonomi seperti: pengaruh tradisi budaya, gender, status sosial, pendidikan
orang tua dan besarnya anggota keluarga, yang sangat memengaruhi tingkat
permintaan terhadap pendidikan (Glewwe, 2002). Dengan kata lain, permintaan
terhadap pendidikan akan membandingkan biaya-biaya pendidikan (butir 3 dan
4) yang harus dikeluarkan dengan keuntungan yang diperoleh (butir 1 dan 2).
Perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan
dengan total manfaat atau pendapatan yang akan diperoleh dari para lulusannya
di masa depan dihitung sebagai tingkat pengembalian dari investasi pendidikan
(rate of return to education). Tingkat pengembalian dari investasi pendidikan ini
dapat bersifat sosial maupun individu. Tingkat pengembalian yang bersifat sosial
berupa semakin meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat akan
meningkatkan produktivitas sehingga output perekonomian suatu wilayah juga
meningkat. Sedangkan tingkat pengembalian yang bersifat individu, berupa
peningkatan upah yang diterima individu sesuai jenjang pendidikan yang
ditempuhnya. Peningkatan upah ini akan meningkatkan tingkat kesejahteraannya.
Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan
Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave (Mangkoesoebroto, 1997) yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap
pembangunan ekonomi membedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan
tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi
pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus
menyediakan prasarana, seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan
sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah
tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal
landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin membesar.
Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, karena peranan swasta yang
semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan
pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih
banyak.
Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi
pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut,
Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi
beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas
sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat,
dan sebagainya.
Pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan merupakan bagian dari
pengeluaran pemerintah yang memacu kesejahteraan masyarakat dan pada
akhirnya memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Intervensi pemerintah dalam
bidang pendidikan juga dalam kerangka penanaman nasionalisme serta nilai-nilai
kebangsaan lainnya. Untuk itu pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan
cenderung diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung, misalnya pendirian
sekolah negeri. Harapannya dengan menyuplai pelayanan pendidikan secara
langsung, pemerintah lebih dapat mengontrol kurikulum dan standar pendidikan.

9
Pengeluaran pemerintah ini berupa pembangunan sarana dan prasarana
pendidikan, penyediaan tenaga pendidik, akses ke sarana pendidikan, dan lain
sebagainya.
Kemiskinan dan Pendidikan
Gunnar Myrdal mengemukakan bahwa kemiskinan bukan terletak pada
persoalan modal semata sebagaimana yang diutarakan kaum liberal, akan tetapi
lebih karena kurangnya gizi, pendidikan, dan basic need lainnya. Menurut Myrdal,
keadaan miskin bermula dari pendapatan yang rendah sehingga kualitas gizi
menjadi kurang. Rendahnya kualitas gizi akan menyebabkan rendahnya kualitas
kesehatan yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas. Produktivitas
yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan yang pada gilirannya
menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan ini akan menyebakan manusia tidak dapat
memenuhi basic need seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan
yang kemudian akan menyebabkan kemiskinan pada generasi selanjutnnya
(Damanhuri 2010).
Tinjauan Empiris
Tabel 2 Penelitian terdahulu
Peneliti dan
Wilayah
Penelitian
Listianawati
(2012)
Di
Sulawesi
Utara

Metode dan Variabel
yang digunakan

Simpulan penelitian

• Panel Statis
• APS, Jumlah Anak usia 7-15
tahun, Pengeluaran Riil
Pendidikan Dasar,
Dana
BOS, PDRB Perkapita,
Jumlah ART, Pendidikan
KRT, Kemiskinan, Rasio
Murid terhadap Guru, Rasio
Guru terhadap Sekolah

APS SMP secara signifikan
dipengaruhi oleh dana BOS,
pengeluaran riil pendidikan
dasar,
PDRB
perkapita,
pendidikan kepala rumah tangga,
jumlah anggota rumah tangga,
rasio murid guru dan rasio murid
sekolah. Variabel yang tidak
signifikan untuk APS SMP
adalah kemiskinan.

Purwanto
• Estimated GLS
(2010)
• APK SMP, DAU, DAK,
Di Indonesia
PAD, karakteristik daerah,
rasio murid guru dan rasio
murid
sekolah,
PDRB
perkapita, kemiskinan dan
angka melek huruf (proxy
pendidikan kepala rumah
tangga).
Suryadarma • Probit
dan
• Pendidikan anak, kemampuan
Suryahadi
akademik, tingkat kemiskinan
(2009)
Di

DAK dan DAU berpengaruh
signifikan terhadap APS SD
namun kurang mempengaruhi
APS
SMP.
Sedangkan
karakteristik daerah berbeda
secara signifikan, rasio guru
murid
dan
rasio
sekolah
signifikan.
kemiskinan berpengaruh negatif
dan
signifikan
terhadap
penyelesaian sekolah jenjang
SMP, sedangkan untuk jenjang
SMA efeknya sangat kecil,

10
Peneliti dan
Wilayah
Penelitian
Indonesia

Metode dan Variabel
yang digunakan
keluarga

Sanchez dan • Regresi Logistik
Sbrana(2010) • Keputusan bersekolah,
Di Yaman
wilayah, pendidikan kepala
rumah tangga, pendidikan
ibu, kesehatan siswa, jenis
kelamin, pendapatan per
kapita, jumlah guru dan
sekolah, dan infrastruktur.

Simpulan penelitian

sedangkan
kemampuan
akademik
siswa
tidak
berpengaruh
terhadap
penyelesaian
jenjang
SMP,
namun memperluas kesempatan
menyelesaikan jenjang SMA.
Keputusan bersekolah atau tidak
bersekolah di pendidikan dasar
dipengaruhi oleh pendapatan
rumah tangga, pendidikan kepala
rumah tangga, kesehatan anak,
pendapatan per kapita, jumlah
guru
dan
sekolah,
dan
infrastruktur. Namun wilayah
hanya mempengaruhi keputusan
bersekolah anak perempuan.
Variabel
yang berpengaruh
signifikan adalah pengeluaran
pendidikan
per
murid,
pendapatan
daerah,
jumlah
sekolah
negeri,
pendapatan
rumah tangga, jumlah orang kulit
hitam, indeks korupsi lembaga
pendidikan, dan rasio sekolah
murid. sedangkan rasio murid
guru berpengaruh negatif, namun
tidak signifikan.

Akai, et al.
(2007)
Di
Amerika
Serikat

• Regresi data panel
• Nilai
tes
matematika,
pengeluaran pendidikan per
murid, pendapatan daerah,
rasio murid guru, jumlah
sekolah negeri, lembaga
pendidikan,
pendapatan
rumah tangga, jumlah
orang kulit hitam, indeks
korupsi.

Granado et
al. (2007)
di
Indonesia

• Fixed Effect
• Pengeluaran
pendidikan,
kemiskinan, jarak, akses
jalan, bencana, tenaga kerja
usia sekolah, jumlah sekolah

Variabel
yang berpengaruh
signifikan terhadap partisipasi
pendidikan adalah pengeluaran
pendidikan, kemiskinan dan
tenaga kerja usia sekolah.

Faguet dan
Sanchez
(2008)
di
Kolombia
dan Bolivia

• 2SLS panel data
• Kenaikan partisipasi
sekolah, variabel
desentralisasi, variabel
sumber daya, variabel
politik, dan variabel sosial
ekonomi dan geografis

persentase
penerimaan
dan
pengeluaran daerah terhadap
pengeluaran
pendidikan
berpengaruh signifikan terhadap
kenaikan tingkat partisipasi
murid di sekolah pemerintah.
Variabel sumber daya, politik,
sosial ekonomi dan geografis
juga
berpengaruh
terhadap
partisipasi sekolah.

11
Peneliti dan
Metode dan Variabel
Simpulan penelitian
Wilayah
yang digunakan
Penelitian
Semua variabel berpengaruh
Glewwe dan • Regresi Logit
positif dan signifikan terhadap
Zhao (2009) • Lama sekolah anak, status
lama sekolah anak.
Di
kesehatan anak, pendapatan
China
rumah tangga, pendidikan ibu,
fasilitas sekolah, pengalaman
guru.
Black et al.
(2003)
di
Jerman

• 2SLS
• Lama sekolah anak,
pendidikan orangtua, umur
anak, jenis kelamin anak,
umur orang tua dan wilayah

Pendidikan anak dipengaruhi
oleh pendidikan orangtua dan
wilayah
yang
memberikan
perhatian lebih pada pendidikan.

Kerangka Pemikiran
Target MDGs pada tahun 2015 adalah mewujudkan pendidikan dasar
untuk semua anak usia 7-15 tahun. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun yang
dicanangkan sejak tahun 1994 hingga saat ini belum dinikmati seluruh anak di
Provinsi Jawa Barat terlihat dari rata-rata lama sekolah yang baru mencapai 7.9
tahun. Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di
Indonesia sekaligus penyumbang PDRB ketiga terbesar setelah DKI dan Jawa
Timur, ternyata memiliki APS terendah untuk semua jenjang pendidikan diantara
provinsi yang terletak di pulau Jawa. Rendahnya tingkat partisipasi suatu jenjang
pendidikan akan menyebabkan makin rendahnya partisipasi pada jenjang di
atasnya. Jawa Barat sampai tahun 2011 dengan angka APS usia 13-15 tahun
sebesar 85.69% . Angka ini menunjukkan APS SMP yang lebih rendah dari angka
nasional sebesar 87.56% dan tidak akan dapat mencapai target MDGs tahun
2015. Hal ini menarik untuk diteliti sehingga diperoleh informasi mengenai
determinan capaian pendidikan khususnya pendidikan dasar jenjang SMP di Jawa
Barat agar tercapai tuntas wajib belajar 9 tahun sehingga seluruh anak usia 7-15
tahun dapat mengenyam pendidikan sesuai target MDGs tahun 2015. Berdasarkan
pemikiran di atas maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran penelitian
sebagai berikut:

12

Wajib Belajar 9 tahun belum tuntas

Tujuan pendidikan MDGs sulit tercapai

APS jenjang SMP Provinsi Jawa Barat:
• masih rendah (85.69%)
• rata-rata kenaikan per tahun 2%
• terendah sepulau Jawa
Determinan APS SMP

Faktor ketersediaan pendidikan
• Alokasi dana bantuan
operasional sekolah
• Rasio murid terhadap sekolah






Faktor Sosial Ekonomi
Pendapatan per kapita
Pendidikan kepala rumah tangga
Kemiskinan
Pekerja anak usia 13–15 tahun

Rekomendasi Kebijakan
Gambar 3 Kerangka Pemikiran

HipotesisPenelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
1. Faktor ketersediaan sarana pendidikan yaitu alokasi dana BOS berpengaruh
positif terhadap partisipasi sekolah SMP, sedangkan rasio murid terhadap
sekolah berpengaruh negatif terhadap partisipasi sekolah SMP.
2. Faktor sosial ekonomi yaitu PDRB perkapita dan persentase kepala rumah
tangga yang berpendidikan diatas SMP berpengaruh positif terhadap partisipasi
sekolah SMP, sedangkan kemiskinan dan jumlah pekerja anak usia 13-15
tahun berpengaruh negatif terhadap partisipasi sekolah SMP.

13
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
berasal dari berbagai instansi pemerintah. Data bersumber dari Badan Pusat
Statistik, Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Kementrian Pendidikan
Nasional dan sumber-sumber lainnya. Data yang digunakan antara lain data angka
partisipasi sekolah untuk usia 13-15 tahun, alokasi dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), kemiskinan, PDRB perkapita dan rasio murid terhadap sekolah.
Faktor sosial seperti persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas
SMP dan anak usia 13-15 tahun yang bekerja yang diolah menggunakan data
SUSENAS Kor tahun 2007-2011. Wilayah yang diteliti adalah seluruh
kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Barat yaitu terdiri dari 17 kabupaten
dan 9 kota. Periode yang diteliti adalah tahun 2007-2011.

Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan
mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan membaca
tabel, grafik dan peta. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk
melihat dinamika pendidikan dasar khususnya jenjang SMP di Jawa Barat selama
periode penelitian. Analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik agar dapat
dipahami dengan mudah oleh pembaca, sedangkan peta disajikan dalam bentuk
gradasi 5 warna dengan warna yang paling gelap sebagai wilayah yang telah
memiliki capaian APS SMP tertinggi. Gradasi ini dimaksudkan untuk melihat
perbedaan capaian APS SMP antar wilayah sehingga dapat dengan mudah
teridentifikasi wilayah mana saja yang capaian APS SMP-nya masih rendah.

Analisis Regresi Data Panel
Data panel digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
pendidikan dasar. Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu)
dan waktu (Gujarati, 2004). Dalam data panel, data cross section yang sama
diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah
observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total
jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap
unit cross section maka disebut unbalanced panel. Baltagi (2005)
mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan,
diantaranya sebagai berikut:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Estimasi yang dilakukan dapat
secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu.
2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah,
meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.

14
3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan
observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam
mempelajari perubahan dinamis.
4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana
tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.
Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga
memiliki keterbatasan diantaranya adalah:
1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data.
Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse,
kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara.
2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors
umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.
3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:
a. Self-selectivity : permasalahan yang muncul karena data-data yang
dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap
fenomena yang ada.
b. Nonresponse : permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada
ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel
rumahtangga).
c. Attrition : jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei
lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia
atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi
4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya
mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.
5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit
analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan
cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah
(misleading inference).
Analisis data panel secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu
statis dan dinamis. Pada analisis data panel dinamis, regressor-nya mengandung
variabel lag dependent-nya, sedangkan pada analisis data panel statis tidak. Secara
umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect
Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan
berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah
bebas.Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen
error yang merupakan efek dari individu. Pada two way telah memasukkan efek
dari waktu ke dalam komponen error.
Pemilihan Model dalam Pengujian Data Panel
Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan
berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan
yang efisien.
Untuk memutuskan apakah akan menggunakan fixed effect atau random
effect menggunakan uji Hausman. Hausman test dilakukan dengan hipotesis
sebagai berikut:
H0: E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1: E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat

15
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman,dengan
membandingkan nilaiChi square. Jika nilai χ2 statistik hasil pengujian lebih besar
dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga
pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya.
Uji Asumsi
Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan
digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu
(FEM atau REM) berdasarkan HAUSMAN Test, maka kita dapat melakukan uji
terhadap asumsi yang digunakan dalam model, yaitu:
1.Uji Homoskedastisitas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah
bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier
Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua
residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan
homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah
disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas
dapat menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu
dengan membandingkan sum square residual pada Weighted Statistics dengan
sum square residual unweighted Statistics. Jika sum square resid pada weighted
statistics lebih kecil dari sum square residual unweighted statistics, maka terjadi
heteroskedastisitas.
2.Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu
peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang.Uji
autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang
digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya.Untuk
mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson
(DW). Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.Untuk
mengetahui ada/tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan
DW-statistiknya dengan DW-tabel. Korelasi serial ditemukan jika error dari
periode waktu yang berbeda saling berkorelasi.Hal ini bisa dideteksi dengan
melihat pola random error dari hasil regresi.
Tabel 3 Kerangka identifikasi autokorelasi
Nilai DW
4-dL < DW < 4

Hasil
Terdapat korelasi serial negatif

4-dU < DW < 4-dL

Hasil tidak dapat ditentukan

2 < DW < 4-dU

Tidak ada korelasi serial

dL< DW < 2

Tidak ada korelasi serial

dL < DW < dU

Hasil tidak dapat ditentukan

0 < DW < dL

Terdapat korelasi serial positif

Sumber: Gujarati, 2004

16
Spesifikasi Model Penelitian
Model yang digunakan untuk mengestimasi determinan pendidikan dasar
dikembangkan dengan beberapa asumsi dasar yaitu sekolah diperlakukan sebagai
unit produksi pada fungsi penawaran.Tidak seperti unit produksi pada fungsi
produksi pada umumnya, sekolah diasumsikan sebagai unit yang bukan
memaksimalkan keuntungan (Boissierre, 2004). Sebagian besar studi tentang
efektivitas pendidikan mengikuti pendekatan Education Productio