Pulp Kraft Kayu Jabon sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
E/ THH
ABSTRACT
Kraft Pulp of Jabon-wood as Raw Material
For Producing Bioethanol
By
1)
Rospita Br Pelawi, 2)I Nyoman J. Wistara,
3)Widya Fatriasari
INTRODUCTION Fast growing species such as Jabon-wood can be a potential
lignocellulosic raw material for bioethanol production. Jabon is characterized by
its high cellulose content, relatively low lignin content, fast growing species,
and unsuitable for contruction materials due to its low strength and durability.
This research was intended to evaluate the potential of bioethanol production
from jabon-wood. Determination of the most appropriate lignin content and
freeness level of pulp that will produce the highest conversion degree of wood
into ethanol were also carried out.
MATERIALS AND METHODS Jabon-wood chips were cooked by Kraft
method with different alkali active and temperature to achieved kappa number
0, 10, 20, 30, 40, and 80. Oxygen delignification and bleaching are used for
kappa number 15 to achieved kappa number 0. Pulp with adjusted kappa
number was beaten with PFI mill to achieved freeness level 400, 300, 200, and
100 mL CSF (Canadian Standard Freeness). Simultaneous Saccharification and
Fermentation (SSF) method is used to produce ethanol. Medium volume is 10
mL, where 3% cellulose (w/v), 0.04% NPK (w/v), 0.15% ZA (w/v), 20%
Saccharomyces cerevisiae filtrate (v/v) of the medium volume, cellulase
enzyme (activity 4.5-7 IU/mL) three times from the amount of cellulose (v/w)
and citric acid 1M 0,5 mL as buffer. Water bath shaker is used to medium
incubation for three days (72 hours) with temperature 40 0C. Reducing sugars is
determined by using Somogyi-Nelson with spectrophotometer, while ethanol
content is determined by compare between samples area and ethanol standard
chromatogram with gas chromatography.
RESULT The result showed that lignin and freeness level influenced sugars
and ethanol production. Much lower kappa number and freeness of produced
pulp, will tend to resulting as more higher yield on converted reducing sugars to
ethanol, ethanol content, and cellulosic convertion. Pulp with kappa number 0
(bleached pulp) and 10 with freeness level 100 mL CSF had highest percentage
of reduced sugars that converted to ethanol (8.36% and 7.32%), ethanol content
(0.52% dan 0.47%), cellulosic convertion (24.15% and 22.12%), and ethanol
yield (16.39% and 14.35%). Based on the data, jabon-wood was potential as raw
material for producing bioethanol.
Keywords: Bioethanol, Anthocephalus cadamba Miq, lignin, freeness, SSF
1) Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University
2) Lecturer of Forest Products Department, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University
3) Researcher of Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of
Science
3
PENDAHULUAN
Semakin menipisnya ketersediaan bahan bakar berbasis fosil dan meningkatnya
dampak negatif penggunaan bahan bakar ini terhadap perubahan iklim, telah
mendorong pencarian energi alternatif yang bersifat terbarukan. Salah satu
energi alternatif tersebut adalah bioetanol. Bioetanol adalah etanol berbahan
dasar biomassa terbarukan yang merupakan bahan bakar bersih karena
pembakarannya tidak menyebabkan tambahan emisi karbon dioksida di atmosfir
(Demirbas 2005), yang dengan demikian tidak berdampak pada peningkatan gas
rumah kaca (Sun & Cheng 2002). Bioetanol dapat dicampur dengan bahan
bakar petrol dan memiliki keuntungan dalam hal nilai oktan yang relatif lebih
tinggi (Balat et al. 2008, Saifuddin & Hussain 2011). Selain itu, penggunaan
bioetanol berbasis biomasa yang bersifat terbarukan dianggap dapat menjaga
keamanan energi nasional (Nzelibe & Okafoagu 2007). Keunggulan bahan
bakar berbasis bioetanol dari bahan bakar berbasis fosil diharapkan akan
menyebabkan permintaan dan penggunaan bioetanol meningkat (Zheng et al.
2009), sehingga biaya produksi dapat ditekan.
Biomassa bahan baku etanol dapat diklasifikasi ke dalam tiga jenis, yaitu
biomassa bergula, berpati dan berselulosa. Tetapi dewasa ini sebagian besar
bioetanol diproduksi melalui fermentasi glukosa jagung (Lin & Tanaka 2006)
dan jagung adalah salah satu bahan pangan utama dunia. Penggunaan bahan
pangan sebagai bahan baku etanol akan menyebabkan harga makanan semakin
meningkat, demikian pula dengan harga bioetanol (Erdei et al. 2010).
Pilihan terbaik untuk bahan baku etanol adalah biomassa berselulosa karena
ketersediannya yang melimpah dan harganya yang relatif terjangkau. Jenis
biomassa berselulosa alami paling melimpah adalah kayu. Jabon
(Anthocephalus cadamba Miq) merupakan salah satu jenis kayu potensial untuk
dikembangkan sebagai bahan baku etanol karena jabon memiliki kadar selulosa
kayu yang relatif tinggi (±52,4%), kadar lignin relatif rendah (±25,4), umur
panen yang singkat dengan riap diameter 7-10 cm/tahun (Mansur & Tuheteru
2010), kayu jabon memiliki riap rata-rata tahunan 10-20 m3/hektar dan tidak
cocok dijadikan sebagai bahan baku kontruksi karena memiliki kelas kuat IV
dan kelas awet V (Sapulete & Kapisa 1994). Oleh karena itu, salah satu
alternatif pemanfaatan paling tepat untuk kayu jabon adalah sebagai bahan baku
bioetanol.
Dalam konversi kayu menjadi bioetanol, lignin perlu dihilangkan karena
menjadi halangan fisik bagi proses hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana
(Dawson & Boopathy 2008). Kedua penulis ini selanjutnya menyatakan bahwa
hidrolisis maksimum terhadap selulosa akan berlangsung apabila 50% atau lebih
lignin dihilangkan. Selain memberikan hambatan fisik terhadap hidrolisis, lignin
1
diduga bersifat biosida terhadap fermipan akibat struktur dasarnya yang bersifat
fenolik (Chirkova et al. 2011). Lignin dapat dihilangkan dengan memberikan
perlakuan alkali terhadap kayu (Han et al. 2011).
Dalam produksi bioetanol dari bahan berlignoselulosa, praperlakuan sebelum
proses hidrolisis harus dilakukan untuk menghilangkan atau memodifikasi
matrik lignin dan hemiselulosa yang melingkupi selulosa (Zheng et al. 2009).
Proses hidrolisis yang dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatik berperan
untuk membuka struktur selulosa dan mendegradasi hemiselulosa dan selulosa
menjadi gula tunggal sehingga dapat difermentasi menjadi etanol (Demirbas
2008). Hidrolisis enzimatik dianggap lebih baik dari hidrolisis kimia karena
enzim bersifat sangat spesifik, memerlukan kondisi reaksi lebih ringan dan
kebutuhan energi yang rendah (Sun & Cheng 2002).
Enzim yang digunakan dalam proses hidrolisis adalah enzim selulase yang
secara spesifik menyerang selulosa dan menghasilkan gula pereduksi glukosa
(Sun & Cheng 2002). Fase hidrolisis menghasilkan unit-unit gula secara
bertahap, sehingga efektifitas proses hidrolisis dapat diukur melalui tingkat gula
pereduksi yang dihasilkan (Panagiotou et al. 2004).
Di dalam dinding sel, molekul selulosa membentuk suatu lapisan yang terdiri
dari daerah kristalin dan daerah amorf. Tingkat kristalinitas selulosa dapat
mencapai 50 – 90 % (Foyle et al. 2007). Daerah kristalin sulit dipenetrasi oleh
agen penghidrolisis karena adanya ikatan intra dan antar rantai selulosa yang
sangat kuat melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Dadi et al. 2006;
Yoshida et al. 2008). Dengan demikian, daerah kristalin selulosa memegang
peran menentukan sehubungan dengan laju hidrolisis oleh enzim selulase,
sebagaimana dilaporkan oleh Hall et al. (2010) untuk selulosa avicel murni.
Agen penghidrolisis berberat molekul rendah hanya memiliki akses penetrasi
terbatas pada daerah dengan tingkat kristalinitas tinggi, dan umumnya hanya
berpenetrasi ke dalam bagian non-kristalin (Ioelovich 2009; Zuchairah 2005).
Sebagaimana telah disebutkan (Hall et al 2010), bahwa kristalinitas berperan
penting dalam menentukan laju hidrolisis selulosa. Dengan demikian perlakuan
awal yang dapat menurunkan kristalinitas bahan berlignoselulosa sangat penting
untuk mempermudah hidrolisis selulosa secara lebih sempurna (Mishra et al.
2011) sehingga hal tersebut dapat diikuti dengan peningkatan rendemen etanol
(Orchidea et al. 2010). Penggilingan pulp telah dilaporkan menyebabkan
pembukaan struktur serat, hidrasi polisakarida dan pengembangan serat
(Lecourt et al. 2010). Pengembangan pulp kemungkinan dapat memfasilitasi
penetrasi agen penghidrolisa ke dalam serat dan mengoptimalkan hidrolisis
selulosa, seperti yang telah dilaporkan oleh Wistara et al. (2010). Tingkat
2
penggilingan pulp dapat dinyatakan sebagai CSF (Canadian Standar Freeness)
(Smook 1992; Kerekes 2004).
Perlakuan awal perlu dilakukan terhadap pulp agar kristalinitas pada selulosa
dapat diubah menjadi amorf sehingga diperoleh rendemen glukosa yang lebih
tinggi (Mishra et al. 2011; Orchidea et al. 2010). Salah satu perlakuan awal
terhadap pulp adalah proses penggilingan (beating) pulp. Penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa penggilingan pulp dapat menyebabkan hidrolisis selulosa
berjalan secara optimal (Wistara et al. 2010). Proses hidrolisis yang dapat
berjalan optimal tersebut disebabkan oleh penggilingan pulp yang dapat
meningkatkan porositas selulosa, meningkatkan jumlah fine serat, dan
menurunkan derajat polimerisasi (Lecourt et al. 2010). CSF (Canadian Standar
Freeness) atau biasa disebut sebagai freeness adalah nilai yang digunakan untuk
menentukan tingkat kekuatan penggilingan pulp (Smook 1992; Kerekes 2004).
Sampai dengan nilai freeness tertentu, nilai freeness pulp akan semakin rendah
seiring dengan meningkatnya kekuatan penggilingan.
Bioetanol adalah produk yang terbentuk melalui proses fermentasi. Fermentasi
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu jenis mikroorganisme dan substrat.
Saccharomyces cerevisiae sering digunakan sebagai fermipan karena khamir
tersebut cukup toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu bertahan hidup
pada suhu tinggi dan pH rendah, stabil selama kondisi fermentasi, dan penghasil
etanol yang tinggi (Hector 2011). Dalam kondisi pertumbuhan aerobik, khamir
Saccharomyces lebih menyukai substrat yang berasal dari gula heksosa
(glukosa, manosa, galaktosa) daripada substrat yang berasal gula xylosa (Millati
et al. 2008).
Konversi biomasa berlignoselulosa menjadi etanol dapat dilakukan dengan
metode SSF (Simultaneous Saccharification and Fermentation). Dalam metode
ini hidrolisis bahan menjadi gula tunggal dan fermentasi gula sederhana menjadi
etanol berlangsung secara simultan. SSF menjadi pilihan karena fermentasi
simultan produk hidrolisis secara signifikan menurunkan hambatan proses
hidrolisis (Sun & Cheng 2002), dapat memperbaiki kinetika fermentasi dan
biaya produksi, serta meningkatkan efisiensi konversi selulosa menjadi etanol
25% lebih baik dibanding dengan sakarifikasi dan fermentasi
yang
dilangsungkan pada reaktor terpisah (Koesnandar 2001).
Penjelasan sebelumnya dari bagian bab pendahuluan menunjukkan bahwa kayu
jabon potensial sebagai bahan baku etanol, kristalinitas selulosa berperan
penting dalam menentukan laju hidrolisis dan lignin memberikan hambatan fisik
dan kimia terhadap hidrolisis. Dengan demikian adalah penting untuk
menentukan kelayakan pulp kayu jabon sebagai bahan baku bioetanol. Selain itu
adalah sama pentingnya untuk menentukan kadar lignin dan freeness
kristalinitas) optimal pulp kayu jabon agar diperoleh tingkat konversi
maksimum dari pulp menjadi etanol.
3
BAHAN DAN METODE
Kayu jabon berberat jenis 0.36 dengan umur sekitar 12 tahun (berasal dari
daerah Basrah, Riau) dicacah menjadi serpihan dengan menggunakan mesin
chipper, lalu disaring dengan menggunakan chip screener. Serpihan dengan
ukuran diameter sekitar 3-7 mm tersebut dimasak dengan menggunakan metode
Kraft. Kondisi pemasakan yang digunakan berbeda, bergantung pada lignin
Klason yang diinginkan. Kondisi pemasakan serpih untuk mendapatkan setiap
bilangan kappa (lignin Klason) yang diinginkan tercantum di dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi pemasakan untuk mendapat lignin Klason (LK) yang
diinginkan.
LK
1,5%
6
LK
2,3%
LK
3,0%
LK
4,5%
LK
6,0%
LK
12,0%
6
6
6
6
6
Pemasakan pada suhu 30-
90 0C
30
30
30
30
30
30
Pemasakan pada suhu 90-
140 ⁰C, menit
45
Parameter
Rasio LW
Pemanasan dari suhu 140
⁰C - suhu pemasakan,
menit
45 45 45 45 45
50 50 50 50 50 50
Waktu Pemasakan pada
suhu maksimum, menit
65
65
65
65
65
65
Suhu Pemasakan
maksimum, ⁰C
165
165
165
160
160
160
Pemakaian AA, % Na₂O
27
21
16
16
15
10
Sulfiditas WL, %
30
30
30
30
20
20
Kekuatan WL, gr/L
110
110
110
110
744
744
Pemakaian WL pada
setiap pemasakan, mL
862
671
511
479
336
162
Air yang ditambahkan, mL
1217
1376
1536
1568
4346
3902
Berat chip, gr
403
403
403
403
918
803
Kadar Air, %
13
13
13
13
13
13
Chip OD, gr
350
350
350
350
800
700
Keterangan: LW = Liquor to wood (perbandingan antara cairan dengan kayu (v/w))
AA = Alkali aktif
WL = White liquor (cairan pemasak)
Pulp dengan lignin Klason 0,0% diperoleh dari pulp dengan lignin Klason 2,3%
(bilangan kappa 15) yang diberi perlakuan ODL (oxygen delignification) dan
bleaching dengan menggunakan bahan kimia klorin dioksida melalui tahap
4
D0ED1D2. Pulp yang melalui perlakuan ini disebut sebagai bleached pulp.
Kondisi bleaching yang digunakan untuk mendapatkan bleached pulp tercantum
di dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kondisi bleaching yang digunakan untuk mendapatkan bleached pulp
Spesifikasi Proses
D0
Konsentrasi ClO₂
2,0%
Konsentrasi NaOH
E
D1
D2
1,5%
1,5%
1,0%
Suhu (⁰C)
90
65
80
80
Waktu (menit)
90
60
180
180
Tekanan (atm)
atmosfer
atmosfer
atmosfer
atmosfer
10
10
10
10
Konsistensi (%)
Masing-masing jenis pulp digiling dengan PFI mill untuk mendapat pulp
dengan freeness 400, 300, 200, dan 100 mL CSF (Canadian Standard
Freeness). Kadar selulosa pulp diukur dengan metode Browning (1967).
Etanol dibuat dengan menggunakan metode SSF (Simultaneous
Saccharification and Fermentation), dimana sakarifikasi menggunakan enzim
selulase (aktivitas enzim 4,5-7 IU/mL) dan fermentasi menggunakan filtrat
Saccharomyces cerevisiae. Volume media adalah 10 mL dengan kadar selulosa
3%. Sebagai nutrisi bagi khamir dilakukan penambahan NPK 0,04% (w/v) dan
ZA 0,15% (w/v) ke dalam media, lalu penambahan 0,5 mL asam sitrat 1 M
dilakukan untuk menjaga stabilitas pH media. Enzim selulase (3 kali kadar
selulosa (v/w)) dan filtrat S. cerevisiae (20% volume media (v/v)) ditambahkan
secara simultan setelah perlakuan sterilisasi pada media dengan autoclave.
Penambahan enzim selulase dan filtrat S.cerevisiae ke dalam media dilakukan di
ruang laminar flow untuk mencegah kontaminasi media oleh mikroba dan media
dipastikan tertutup rapat sebelum masuk proses inkubasi. Kegiatan SSF
berlangsung di dalam waterbath shaker pada suhu 40 0C selama 3 hari (72 jam).
Media dipanaskan selama 5 menit dalam air mendidih setelah inkubasi untuk
mendormankan kerja khamir dan menonaktifkan enzim. Sebelum pengujian
kadar gula pereduksi dan etanol, sampel harus disimpan di dalam lemari
pendingin bersuhu 0-4 0C untuk mencegah kerusakan.
Kadar gula pereduksi ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-
Vis Hitachi U-2001 yang mengacu pada metode Nelson-Somogyi (1952) pada
panjang gelombang 500,00 nm dan diatur agar absorbansi yang terdeteksi
berada pada kisaran 0,2 – 0,8 (Ronald et al. 2005). Penentuan kadar etanol
dilakukan dengan memasukkan sampel yang telah diencerkan dan disaring
dengan membrane filter 0.45µm. Filtrat diuji memakai kromatografi gas (GC)
5
dengan auto inject. Tipe GC yang digunakan adalah GC 2014 Shimadzu. GC
tersebut menggunakan kolom RTX WAX pada suhu 150 0C, suhu injektor 180
0
C, suhu detektor 200 0C, tekanan injeksi 84,6 kPa, colomn flow 0,65 mL/menit,
dan total flow 55,5 mL/menit. Etanol akan terdeteksi pada kisaran waktu retensi
2,5-2,8 menit. Kadar etanol ditentukan dengan membandingkan luas area
kromatogram sampel dengan luas area etanol standar berkonsentrasi 0,5%.
Kadar etanol digunakan untuk menentukan rendemen etanol dan derajat
konversi selulosa. Rendemen etanol dan derajat konversi selulosa dihitung
menggunakan rumus berikut (Wistara et al. 2010).
Keterangan:
1,111 = konversi selulosa menjadi ekivalen glukosa
0,51 = faktor konversi untuk glukosa ke etanol berdasarkan stoikiometri
biokimia khamir
0,974 = BJ etanol
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 taraf yaitu bilangan kappa
dan level freeness pulp. Jenis sampel adalah pulp kayu jabon dengan lignin
klason 0,0%, 1,5%, 3,0%, 4,5%, 6,0%, dan 12,0%, yang terbagi dalam 5 level
freeness 100, 200, 300, 400 mL CSF dan unbeaten pulp dengan ulangan 2 kali.
Analisis data menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) faktorial dengan
model matematis sebagai berikut:
Yijn = μ + αi + βj + (αβ)ij + εij
Keterangan:
Yijn = Nilai respon pada taraf ke-i faktor bilangan kappa, taraf ke-j faktor level
freeness dan ulangan ke-n.
µ
= Nilai tengah populasi (rata-rata yang sebenarnya)
αi = Pengaruh penambahan taraf ke-i dari faktor bilangan kappa
βj = Pengaruh penambahan taraf ke-j dari faktor level freeness
(αβ)ij= Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor bilangan kappa dan taraf ke-j faktor level
freneess
εij = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-i yang memperoleh kombinasi
ij
Data kadar gula pereduksi dan etanol (kadar etanol, rendemen etanol dan
konversi selulosa) diolah dengan software SAS 9.1 for windows dengan uji lanjut
Duncan.
6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................i
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL............................................................................................ iv
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
METODOLOGI ............................................................................................... 4
HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................... 7
Karakteristik Bahan Baku..................................................................... 7
Kadar Gula Pereduksi ............................................................................. 7
Kadar Etanol dan Konversi Selulosa ...................................................... 10
Rendemen Etanol.................................................................................... 11
KESIMPULAN................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 14
iii
DAFTAR TABEL
1. Tabel kondisi pemasakan untuk mendapat lignin Klason yang diinginkan 4
2. Tabel kondisi bleaching yang digunakan untuk mendapatkan bleached
pulp ............................................................................................................ 5
3. Tabel komposisi karbohidrat pulp kayu jabon ............................................ 7
4. Tabel kadar gula pereduksi tersisa dan yang terkonversi menjadi etanol
dari pulp pada berbagai persentasi lignin dan freeness .............................. 8
5. Tabel kadar etanol dari pulp pada berbagai kandungan lignin dan freenes 10
6. Tabel konversi selulosa dari pulp pada berbagai kandungan lignin
dan freeness.................................................................................................. 11
7. Tabel Rendemen etanol dari uulp pada berbagai kandungan lignin
dan freeness ................................................................................................. 12
iv
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku. Sebelum hidrolisis dilakukan, kadar holoselulosa
dan selulosa-α pulp terlebih dahulu ditentukan. Hasil pengujian disajikan dalam
Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi karbohidrat pulp kayu jabon
Lignin Klason pulp (%)
Holoselulosa (%)
Selulosa-α (%)
0,0
98,4
96,7
1,5
96,7
94,0
3,0
95,7
92,3
4,5
94,3
90,7
6,0
92,4
88,7
12,0
83,8
79,9
Tabel 2 memperlihatkan kadar karbohidrat cenderung menurun dengan
meningkatnya kadar lignin klason. Kadar lignin Klason yang tinggi
menunjukkan kadar lignin sisa pulp yang tinggi pula, sehingga persentase
karbohidrat dalam setiap gram pulp menjadi lebih rendah. Bleached pulp
memiliki kadar selulosa tertinggi dan pulp dengan lignin Klason 12,0%
memiliki kadar selulosa terendah . Kadar karbohidrat untuk setiap level freeness
pada lignin Klason yang sama diasumsikan sama, karena perlakuan mekanis
hanya mempengaruhi panjang serat dan kadar fine dari pulp (Henriksson et al.
2007).
Kadar Gula Pereduksi. Gula pereduksi adalah gula sederhana yang dapat
dikonversi menjadi etanol dengan bantuan mikroba. Tingkat produksi gula
berkorelasi positif dengan tingkat hidrolisis selulosa oleh enzim selulase
(Panagiotou et al. 2004) sehingga nilai gula pereduksi dapat digunakan sebagai
penduga daya kerja enzim selulase pada proses hidrolisis. Dalam produksi
etanol menggunakan metode SSF sebagian gula langsung dikonversi menjadi
etanol. Dengan demikian, nilai pengukuran gula pereduksi dengan
spektrofotometer menunjukkan jumlah gula sisa dari hasil hidrolisis gula
kompleks yang belum terfermentasi. Nilai gula pereduksi tersisa dan yang
terkonversi menjadi etanol disajikan pada Tabel 4 berikut. Secara teoritis,
rendemen maksimum konversi gula pereduksi menjadi etanol adalah 0,51 g/g
(Erdei 2010; Demirbas 2005).
7
Tabel 4. Kadar gula pereduksi tersisa dan yang terkonversi menjadi etanol dari
pulp pada berbagai persentasi lignin dan freeness
LK
(%)
Freeness (ml CSF)
100 200 300 400 Unbeaten pulp
GPS GPT GPS GPT GPS GPT GPS GPT GPS GPT
0,0
2,72
8,36
2,36
3,56 2,80
3,36 2,46
2,69
2,95
3,06
1,5
2,69
7,32
3,00
2,86 3,06
2,75 2,49
2, 43
3,70
2,87
3,0
3,10
2,22 3,46
2,58 2,85
2,45 3,11
2,62
3,84
3,44
4,5
3,55
3,17 2,95
2,44 3,29
2,66 2,75
2,40
3,61
2,85
6,0
6,08
2,32 8,78
2,22 5,15
2,20 8,21
1,95
8,59
1,47
2,15 8,02
2,11 8,02
2,11 7,81
1,95
8,61
2,20
12,0 9,38
Keterangan : GPS= Gula pereduksi tersisa (%)
GPT= Gula pereduksi terkonversi menjadi etanol (%)
Kadar gula pereduksi dipengaruhi kadar lignin Klason dan freeness pulp. Hal ini
dikarenakan lignin yang berasosiasi secara kimia dan fisik dengan karbohidrat
(Dawson & Boopathy 2008) dapat mempengaruhi daya kerja enzim selulase
dalam menyerang selulosa (Studer et al. 2011). Perlakuan mekanis
(penggilingan) terhadap pulp dapat merusak struktur mikrofibril serat dan
menurunkan derajat kristalinitas dinding sel (Henriksson 2007). Perusakan
struktur mikrofibril dan penurunan derajat kristalinitas selulosa akan
menyebabkan pulp mengembang lebih baik sehingga enzim dapat masuk ke
dalam struktur serat dan lebih efisien dalam mendegradasi selulosa menjadi gula
sederhana. Data di dalam Tabel 4 menunjukkan hal ini. Jumlah gula sederhana
yang dhasilkan cenderung meningkat dengan meningkatnya derajat
penggilingan yang ditunjukkan oleh menurunnya nilai freeness pulp.
Tabel 4 menjelaskan bahwa secara umum semakin kecil kadar lignin Klason
dan nilai freeness maka kadar gula pereduksi yang terkonversi jadi etanol akan
cenderung semakin besar. Hal ini berawal dari sisa lignin pada pulp semakin
rendah yang berindikasi pada kadar fenolik lignin yang dapat menjadi biosida
pada khamir (Chirkova et al. 2011) semakin rendah sehingga terbentuk etanol
yang tinggi. Demikian juga dengan porositas selulosa yang semakin tinggi yang
akan memudahkan selulase untuk menyerang selulosa sehingga produksi gula
pereduksi terjadi dengan lebih mudah (Taherzadeh 2005; Wistara et al. 2010).
Semakin mudah gula pereduksi untuk diproduksi dapat semakin meningkatkan
jumlah gula pereduksi yang terbentuk dan selama tidak ada hambatan di dalam
proses fermentasi, etanol yang terbentuk akan semakin tinggi (Erdei 2010).
Uji lanjut Duncan berdasarkan kadar nilai gula pereduksi tersisa menunjukkan
bahwa pulp dengan lignin Klason 1,5%, 3,0%, dan 4,5% tidak saling berbeda
8
nyata, sedangkan pulp dengan lignin Klason 0,0%, 3,0%, 6,0%, dan 12,0%
masing-masing saling berbeda nyata. Hal ini berarti jenis pulp yang berlignin
Klason 1,5%, 3,0%, dan 4,5% tersebut akan menghasilkan jumlah gula
pereduksi tersisa yang sama jumlahnya. Fakta ini memberi suatu gambaran
bahwa akan lebih baik menggunakan pulp dengan lignin Klason 4,5% dibanding
3,0% dan 1,5%. Pada dasarnya untuk mendapatkan pulp dengan lignin Klason
lebih rendah memerlukan bahan kimia dengan konsentrasi, waktu atau suhu
pemasakan yang lebih besar. Oleh karena itu melalui pemilihan bahan baku
yang tepat diharapkan dapat menghemat biaya atau energi dalam proses
produksi etanol.
Nilai kadar gula pereduksi untuk unbeaten pulp berbeda nyata dengan kadar
gula pereduksi pulp yang digiling (beaten pulp), sedangkan pulp dari freeness
100 ml CSF, 200 ml CSF, 300 ml CSF, dan 400 ml CSF tidak saling berbeda
nyata. Hal ini berarti bahwa pulp yang digiling dan tidak digiling memiliki
pengaruh terhadap agen penghidrolisis, dimana pulp yang telah melalui proses
mekanis memiliki derajat kristalinitas selulosa yang lebih rendah dibanding pulp
yang tidak melalui proses mekanis (Taherzadeh 2005).
Nilai gula pereduksi tersisa tertinggi diperoleh pada pulp dengan lignin Klason
12,0% dan 6,0% yaitu sebesar 8, 4% dan 7,4%, namun nilai gula pereduksi yang
terkonversi menjadi etanol terkecil juga diperoleh dari kedua pulp dengan lignin
Klason tersebut. Kejadian ini diduga oleh keberadaan lignin yang dapat
mengganggu proses fermentasi alkohol di dalam media jika melewati ambang
batas tertentu. Adanya pendugaan tersebut diperkuat dengan pernyataan
Chirkova et al. (2011) bahwa senyawa fenol yang berasal dari lignin merupakan
biosida alami bagi organisme, sehingga diduga fermentor di dalam media
terbunuh oleh senyawa fenol tersebut.
Nilai pereduksi yang berhasil terkonversi jadi etanol tertinggi diperoleh dari
pulp berlignin Klason 0,0% (bleached pulp) dan 1,5% dengan freeness 100 mL
CSF, yang masing-masing sebesar 16,4% dan 14,3%. Perlakuan mekanis
berevolusi tinggi yang diberikan dengan kadar lignin yang sangat sedikit
menyebabkan kedua jenis pulp tersebut unggul dalam produksi etanol dibanding
jenis pulp lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh kekuatan mekanis terhadap
pulp yang menyebabkan kerusakan serat (Smook 1992) sehingga menjadi lebih
amorf, yang berefek pada kelancaran proses hidrolisis karena memudahkan
akses bagi agen penghidrolisis dalam menyerang selulosa sehingga diperoleh
peningkatan rendemen glukosa (Orchidea et al. 2010). Kadar lignin yang sedikit
juga menyebabkan kemudahan bagi enzim dalam menyerang selulosa karena
lignin yang berasosiasi dengan polisakarida dan sebagai penghambat akses bagi
9
enzim menuju selulosa hanya terdapat dalam jumlah kecil (Dawson & Boopathy
2008).
Jika dilihat dari nilai gula pereduksi total diperoleh bahwa pulp dengan lignin
Klason 6,0% dan 12,0% memiliki total gula pereduksi tertinggi yakni masing-
masing dengan nilai rataan 9,40% dan 10,40%. Hal ini diduga karena pada pulp
dengan lignin Klason lainnya terjadi produksi etanol dengan lebih cepat,
sehingga mengganggu proses hidrolisis. Hal ini diperkuat dengan pernyataan
Sun dan Cheng (2002) bahwa etanol pada media dapat menjadi penghambat
bagi aktivitas enzim selulase di dalam proses SSF.
Kadar Etanol dan Konversi Selulosa. Kadar etanol menyatakan banyaknya
gula yang terkonversi menjadi etanol, sebagai acuan untuk mengetahui kinerja
proses fermentasi. Sedangkan nilai konversi selulosa adalah sebagai indikasi
keberhasilan SSF. Kadar etanol berbanding lurus dengan konversi selulosa,
karena konversi selulosa merupakan perbandingan antara jumlah etanol yang
terbentuk dengan selulosa dalam media yang mungkin terbentuk menjadi etanol.
Tabel 5 dan 6 masing-masing menunjukkan kadar etanol dan konversi selulosa
yang dihasilkan.
Tabel 5. Kadar etanol dari pulp pada berbagai kandungan lignin dan
freeness
Kadar Etanol (%)
0,0
100
0,52
Freeness (mL CSF)
200
300
400 Unbeaten pulp
0,22
0,21
0,17
0,19
1,5
0,47
0,18
0,18
0,16
0,19
3,0
0,15
0,17
0,16
0,17
0,23
4,5
0,22
0,17
0,18
0,16
0,20
6,0
0,17
0,16
0,16
0,14
0,11
12,0
0,19
0,19
0,16
0,17
0,19
LK (%)
Tabel 5 dan 6 menjelaskan bahwa bleached pulp dan pulp berlignin Klason
1,5% dengan freeness 100 mL CSF memiliki nilai kadar etanol dan konversi
selulosa tertinggi dibanding jenis pulp lainnya. Kadar etanol dan konversi
selulosa untuk bleached pulp masing-masing sebesar
0,52% dan 24,15%
sedangkan untuk pulp dengan kadar lignin klason 1,5% masing-masing sebesar
22,1% dan 0,47%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nzelibe dan Okafoagu
(2007) dan Wistara et al. (2010) bahwa semakin sedikit kandungan lignin di
dalam pulp membuat proses hidrolisis enzim berjalan lebih optimal.
10
Tabel 6. Konversi selulosa dari pulp pada berbagai kandungan lignin dan
freeness
Konversi Selulosa (%)
LK (%)
Freeness (mL CSF)
200
300
400 Unbeaten pulp
10,27
9,70
7,76
8,84
0,0
100
24,15
1,5
22,12
8,64
8,30
7,35
8,66
3,0
6,90
8,02
7,63
8,15
10,71
4,5
10,19
7,83
8,53
7,70
9,14
6,0
7,76
7,42
7,36
6,53
4,93
12,0
8,82
8,66
7,29
8,00
9,01
Fragmentasi serat, perubahan struktur mikrofibril, pembentukan fines dan
penurunan derajat kristalinitas akibat penggilingan (Henriksson et al. 2007)
akan memfasilitasi penetrasi enzim ke dalam struktur selulosa dan
menyebabkan proses hidrolisis berlangsung lebih sempurna. Semakin tinggi
derajat penggilingan, maka dampaknya terhadap perubahan struktur dan fisik
serat semakin tinggi pula. Jika peningkatan derajat hidrolisis diikuti oleh
peningkatan derajat fermentasi, maka semakin tinggi derajat pengilingan (nilai
freeness semakin rendah) semakin tinggi pula kadar etanol dan konversi
selulosa dari proses SSF. Hal ini secara cukup jelas ditunjukkan oleh Tabel 5
dan 6.
Rendemen Etanol. Rendemen etanol adalah volume etanol yang dapat
dihasilkan oleh setiap berat kering bahan baku yang dinyatakan dalam persen.
Sama halnya dengan konversi selulosa, rendemen etanol juga berbanding lurus
dengan kadar etanol, dimana semakin besar kadar etanol maka rendemen etanol
yang dihasilkan semakin tinggi.
Kadar lignin klason dan freeness pulp memiliki pengaruh sangat nyata secara
statistik terhadap rendemen etanol yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan
menyatakan pulp dengan lignin klason 0,0% (bleached pulp) dan 1,5% berbeda
nyata dengan pulp berlignin klason lainnya, tetapi pulp dengan lignin klason
3,0% dan 4,5% serta pulp dengan lignin klason 6,0% dan 12,0% tidak saling
berbeda nyata. Kemungkinan bahwa keberadaan lignin pada konsentrasi tertentu
dapat menghambat proses SSF. Pada kadar 3,0% dan 4,5%, lignin mulai
menghambat proses fermentasi.
Uji lanjut Duncan juga menyatakan bahwa nilai rendemen etanol pada pulp
dengan freeness 100 ml CSF sangat berbeda nyata dengan pulp pada freeness
lainnya. Sedangkan pulp dengan freeness 200 ml CSF, 300 ml CSF, 400 ml
11
CSF, dan unbeaten pulp tidak saling berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan
bahwa perlakuan penggilingan pulp akan berpengaruh terhadap rendemen etanol
ketika pulp tersebut digiling dengan revolusi tinggi. Nilai rendemen etanol
untuk setiap jenis pulp yang diteliti disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rendemen etanol dari pulp pada berbagai kandungan lignin dan
freeness
LK (%)
Rendemen Etanol (%-v/w)
100
200
Level freeness (mL CSF)
300
400
Unbeaten pulp
0,0
16,39* + 6,97* 6,58* 5,27* 6,00
1,5
14,35*
5,60
5,39
4,77
5,62
3,0
4,35
5,06
4,81
5,14
6,75*+
4,5
6,22+
4,78
5,21
4,70
5,58
6,0
4,55+
4,34
4,31
3,83
2,89
12,0
4,22
4,14
3,49
3,83
4,31+
Keterangan: * Nilai rendemen etanol tertinggi berdasarkan bilangan kappa
+ Nilai rendemen etanol tertinggi berdasarkan level freeness
Tabel 7 memperlihatkan bahwa rendemen etanol tertinggi dihasilkan dari pulp
dengan lignin Klason 0,0% (bleached pulp) dan 1,5% dengan freeness 100 mL
CSF yaitu sebesar 16,39% dan 14,35%. Hal ini dikarenakan tingkat hidrolisis
akan semakin meningkat dengan semakin rendahnya kadar lignin (Linde et al.
2008). Keberadaan lignin yang sedikit akan memperluas ruang gerak enzim
untuk menyerang selulosa karena lignin yang berfungsi sebagai komponen
pengikat selulosa berada pada tingkat minimal. Hidrolisis yang berjalan optimal
jika diikuti dengan fermentasi yang optimal akan menghasilkan etanol yang
maksimal.
Secara umum, rendemen etanol dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat revolusi penggilingan yang semakin tinggi (freeness yang semakin
rendah) menyebabkan rendemen etanol yang dihasilkan semakin tinggi juga.
Nilai rendemen yang diperoleh dari pulp dengan lignin Klason 12,0% dan 3,0%
berbeda dengan nilai rendemen yang diperoleh dari pulp dengan lignin Klason
6,0%, 3,0%, 1,5%, dan 0,0%. Rendemen etanol tertinggi dari pulp dengan lignin
Klason 12,0% dan 3,0% diperoleh dari pulp tanpa perlakuan penggilingan,
sedangkan pada pulp dengan lignin Klason 6,0%, 3,0%, 1,5%, dan 0,0%
rendemen etanol tertinggi diperoleh dari pulp dengan freeness 100 ml CSF
(penggilingan dengan revolusi tertinggi). Hasil yang berbeda dari kedua jenis
pulp tersebut (pulp dengan lignin Klason 12,0% dan 3,0%) dapat disebut
sebagai penyimpangan karena berdasarkan pernyataan Wistara et al. (2010),
12
pulp yang melalui proses penggilingan (beaten pulp) seharusnya memiliki
rendemen etanol yang lebih tinggi dibanding pulp tanpa melalui proses
penggilingan (unbeaten pulp). Terdapatnya penyimpangan tersebut sulit diduga
penyebabnya karena belum ada penelitian yang mengkaji efektifitas unbeaten
dan beaten pulp dalam menghasilkan etanol. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian lanjut untuk mengkaji hal ini.
Secara teknis, kondisi paling optimal untuk mendapatkan rendemen etanol
tertinggi diperoleh saat bahan baku yang digunakan adalah jenis pulp berlignin
Klason 0,0% (bleached pulp) dengan freeness 100 mL CSF, kemudian diikuti
oleh pulp berlignin Klason 1,5% dengan freeness 100 mL CSF. Namun secara
ekonomis, produksi etanol dengan bahan baku bleached pulp tidak mungkin
diaplikasi mengingat mahalnya harga bahan kimia untuk proses bleaching.
Pulp dengan lignin Klason 12,0% (tingkat delignifikasi 52%) pada dasarnya
memiliki potensi menghasilkan rendemen etanol yang tinggi, mengingat kadar
gula pereduksi total yang diperoleh tinggi yaitu dengan rata-rata 18,75%
(penjumlahan dari rata-rata gula pereduksi tersisa dengan rata-rata gula
pereduksi terkonversi menjadi etanol). Hal ini membenarkan hal yang dikatakan
oleh Dawson dan Boopathy (2008) bahwa hidrolisis enzim masih dapat
berlangsung optimal ketika sebanyak 50% atau lebih lignin dihilangkan.
Namun, fakta menarik tersebut tidak diimbangi oleh proses fermentasi yang
optimal dikarenakan struktur dasar lignin seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya pada bagian pendahuluan dan pembahasan, memiliki sifat fenolik
yang berlaku sebagai biosida alami bagi khamir yang mulai menghambat proses
fermentasi pada kadar lignin Klason 3,0%. Berdasarkan data hasil penelitian
yang diperoleh, fermentasi optimal berlangsung pada tingkat delignifikasi 94%
atau lebih (kadar lignin Klason 1,5% atau lebih rendah).
KESIMPULAN
Kadar lignin dan perlakuan penggilingan pulp cenderung berpengaruh terhadap
produktifitas etanol. Semakin kecil kadar lignin Klason dan freeness pulp yang
digunakan dalam produksi etanol akan meningkatkan produktifitas etanol yang
dihasilkan. Kayu jabon berpotensi dijadikan sebagai bahan baku bioetanol
karena menghasilkan rendemen etanol dan persentase konversi selulosa yang
cukup tinggi pada bleached pulp dan pulp berbilangan kappa 10 (lignin Klason
1.5%) pada freeness 100 mL CSF. Proses hidrolisis enzim masih bisa
berlangsung optimal pada saat 50% atau lebih lignin dihilangkan, namun proses
fermentasi alkohol hanya bisa berlangsung optimal ketika tingkat delignifikasi
minimal 94%.
13
PULP KRAFT KAYU JABON
SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL
ROSPITA BR PELAWI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
DAFTAR PUSTAKA
Balat M, Balat H, Oz C. 2008. Progress in bioethanol processing. Progress
Energy Combustion Science. 34:551-573.
Browning BL. 1967. Method of Wood Chemistry. New York: Wiley
Interscience Publisher.
Chirkova J, Andersone I, Irbe I, Spince B, Andersons A. 2011. Lignins as
agents for bio-protection of wood. Biology, Chemistry, Physics, &
Technology of Wood. 65:497-502.
Dadi AP, Varanasi S, Schall CA. 2006. Enhancement of cellulose
saccharification kinetics using an ionic liquid pretreatment step. Wiley
Periodicals. Inc. Wiley Interscience. 95(5):904-910.
Dawson L, Boopathy R. 2008. Cellulosic Ethanol Production from Sugarcane
Baggasse without Enzymatic Saccharification. Bioresource. 3(2):452-460.
Demirbas A. 2005. Bioethanol from cellulosic material: a renewable motor fuel
from biomass. Energy Sources. 27: 327-337.
Erdei B, Barta Z, Sipos B, Reczey K, Galbe M, Zacchi G. 2010. Ethanol
production from mixtures of wheat straw and wheat meal. Biotechnology for
Biofuels. 3(16):1-9.
Foyle T, Jennings L, Mulcahy P. 2007. Compositional analysis of
lignocellulosic materials: evaluation of methods used for sugar analysis of
waste paper and straw. Bioresource Technology. 98:3026-3036.
Hall M, Bansal P, Lee JH, Realff MJ and Bommarius AS. 2010. Cellulose
crystallinity – a key predictor of the enzymatic hydrolysis rate. School of
Chemical and Biomolecular Engineering. 277:1571-1582.
Hector RE, Dien BS, Cotta MA, Qureshi N. 2011. Enginering industrial
Saccharomyces cerevisiae strains for xylose fermentation and comparison
for switchgrass conversion. Journal Industrial Microbiology Biotechnology.
38:1193-1202.
Henriksson M, Henriksson G, Berglund LA, Lindstorm T. 2007. An
enviromentally method for enzyme assisted preparation of microfibrillated
cellulose (mfc) nanofibers. European Polymer Journal. 43:3434-3441.
Ioelovich M. 2009. Accessibility and crystallinity of cellulose. Bioresources.
4(3):1168-1177.
14
Kerekes, RJ. 2004. Characterizing refining action in PFI mills. Tappi Journal.
4:9-13.
Koesnandar. 2001. Biokonversi selobiosa langsung menjadi etanol meggunakan
ko-imobilisasi sel Lipomyces starkeyi dan Saccharomyces serevisiae secara
Fed-Batch. Jurnal Mikrobilogi Indonesia. 6(1):15-18.
Lecourt M, Meyer V, Sigoillot JC, Petit-Conil M. 2010. Energy reduction of
refining by cellulases. International Journal of the Biology, Chemistry,
Physics, & Technology of Wood. 64:441-446.
Lin Y, Tanaka S. 2006. Ethanol fermentation from biomass resources: current
state and prospects. Applied Microbiology and Biotechnology. 69:627–642.
Linde M, Galbe M, Zacchi G. 2008. Bioethanol production from non-starch
carbohydrate residues in process streams from a dry-mill ethanol plant.
Bioresources Technology. 99:6505-6511.
Mansur I, Tuheteru FD. 2010. Kayu Jabon. Jakarta: Penebar Swadaya.
Millati R, Karimi K, Edebo L, Nikklasson C, Taherzadeh MJ. 2008. Ethanol
production fro