Sectoral Effects Of Monetary Policy

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER
TERHADAP EKONOMI SEKTORAL

SULTHONI ASHIDDIIQI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kebijakan Moneter terhadap
Ekonomi Sektoral adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, September 2013


Sulthoni Ashiddiiqi
NIM H151114234 

RINGKASAN
SULTHONI ASHIDDIIQI. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Ekonomi
Sektoral. Dibimbing oleh IMAN SUGEMA dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi jalur transmisi
moneter mana yang paling efektif; (2) menganalisis apakah mekanisme transmisi
moneter pada tingkat sektoral konsisten dengan tingkat agregat; (3) menjelaskan
kenapa dan bagaimana jalur transmisi tersebut bisa efektif. Analisis yang
digunakan adalah impulse response function (IRF) yang merupakan bagian dari
metode vector autoregression (VAR). Ada tiga jalur transmisi moneter yang
diteliti yaitu jalur suku bunga, kredit dan nilai tukar.
Hasil IRF menunjukkan bahwa jalur nilai tukar adalah satu-satunya jalur
yang efektif mempengaruhi agregat output riil. Kesimpulan ini diperkuat dengan
analisis IRF pada tingkat sektoral. Pada jalur nilai tukar, lima dari sembilan sektor
terpengaruh secara signifikan yaitu sektor industri pengolahan; sektor bangunan;
sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi;
serta sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan kedua jalur
yang lain tidak efektif baik pada taraf agregat maupun sektoral. Temuan ini

menunjukkan bahwa ada beberapa bentuk konsistensi antara efek agregat dan efek
sektoral.
Hasil lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah efek depresiasi
nilai tukar riil cenderung kontraktif. Hasil ini mendukung gagasan Krugman dan
Taylor (1976). Penurunan output tampaknya berkaitan dengan inflasi yang
diakibatkan oleh depresiasi nilai tukar riil. Kondisi ini sejalan dengan teori
demand side tipe Keynesian yang menyatakan bahwa depresiasi nilai tukar riil
akan diikuti oleh melemahnya daya beli sehingga permintaan agregat menurun.
Kata kunci: mekanisme transmisi moneter, sektoral, IRF

SUMMARY
SULTHONI ASHIDDIIQI. Sectoral Effects of Monetary Policy. Supervised by
IMAN SUGEMA dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.
The purposes of this study are three folds: (1) identifying which channels
are effective for transmission of monetary policy; (2) assessing whether the
transmission mechanisms at industry level are consistent with that at aggregate
level; and (3) explaining why and how a channel becomes effective. The analyses
are facilitated impulse response function (IRF) derived from a vector
autoregression (VAR) model. Three channels are identified in this study: interest
rate, real credits and exchange rate channels. The IRF results show that exchange

rate is the only effective channel in affecting aggregate output and at least in five
industries (the manufacturing industry; the construction industry; the trade, hotel,
and restaurants industry; the transport and communication industry; and the
finance, real estate, and business services industry). Meanwhile, the other two
channels are not effective at aggregate and all industry. This finding suggests that
there is some form of consistency between aggregate effects and industry effects.
Moreover, the effect of real depreciation tend to be contractionary and thus
supporting the idea of Krugman and Taylor (1976) among others. Output
contraction seems to be associated with inflationary effect of the depreciation.
This is a truly Keynesian type demand side story: following a real currency
depreciation, purchasing power tends to weaken which then soaks the aggregate
demand.

Keywords: transmission of monetary policy, industry level, IRF

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER
TERHADAP EKONOMI SEKTORAL

SULTHONI ASHIDDIIQI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:Prof. Dr. Noer Azam Achsani, M.S

Judul Tesis

: Darnpak

'ama
:\1\1

: Sulthoni Ashiddiiqi
: HI:'lli.+23.+

Kebijakan

vloneter terhadap Ekonorni

Sektoral

Diserujui oleh

Komisi Pcrnbimbing

. 1r Irnan Sugcma, \1 Ec

Dr Lllbtawati

;\lH!gracni. SP. MSi
A n g g o la

I\. e t lIJ

Diketahui

oleh

Kctua Program Studi
Ilrn u E ko n o rn i

T anggal


L 'j ian: 30 A gustus

2013

Tanggal l.ulus:
v

I

''''T 2C13 zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUT
zyxwvutsrqponmlk

PRAKATA
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Dampak
Kebijakan Moneter terhadap Ekonomi Sektoral ini berhasil diselesaikan. Tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master pada Program Studi
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Iman Sugema, MEc dan
Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi selaku pembimbing. Disamping itu,

penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh jajaran pimpinan BPS yang telah
memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan program Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada semua dosen yang telah
membagikan ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan dan seluruh rekanrekan BPS Batch 4 atas semua diskusi dan masukannnya. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada kedua orang tua, Bapak Abdul Ghoffar dan Ibu Nurin
Niswatin yang selalu memberikan doa dan restu. Ucapan terima kasih saya
ucapkan kepada istri tercinta Dewi Kartika Megasari dan anakku tersayang
Aldevaro Zaidan Ashiddiiqi yang telah memberikan bantuan dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Sulthoni Ashiddiiqi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Model Penelitian
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Estimasi Model
Pembahasan
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN


vi
vi
vi
1
1
2
3
4
4
5
5
13
15
17
17
18
23
26
26

27
30
30
30
31
33

DAFTAR TABEL
1 Proporsi hutang dari bank umum dalam negeri dan swasta luar negeri
(non-bank) masing-masing sektor ekonomi tahun 2012
2
2 Variabel dan sumber data dalam penelitian
17
3 Ringkasan Kumulatif IRF output riil masing-masing sektor ekonomi
terhadap guncangan tak terduga suku bunga SBI, kredit riil dan nilai tukar
riil selama 25 periode.
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Proporsi ekspor dan impor menurut sektor ekonomi tahun 2012
Kurva money demand
Kurva money stock dan money demand
Penyimpangan ekuilibrium money demand dan money stock
Batas penyimpangan ekuilibrium money demand dan money stock (range
suku bunga lebih kecil dibandingkan range high-powered money)
Batas penyimpangan ekuilibrium money demand dan money stock (range
high-powered money lebih kecil dibandingkan range suku bunga)
Model Mundel Fleming saat kebijakan moneter kontraksi dengan kondisi
floating exchange rate
Kerangka pemikiran
Tahapan Analisis Penelitian
Kumulatif IRF GDP riil terhadap guncangan tak terduga suku bunga SBI,
kredit riil dan nilai tukar riil (sebesar satu standar deviasi)
Kumulatif IRF inflasi terhadap guncangan tak terduga nilai tukar riil
(sebesar satu standar deviasi)

3
6
8
9
10
10
13
16
19
27
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Regresi suku bunga deposito 3 bulan terhadap suku bunga SBI 3 bulan
Hasil uji stasioneritas menggunakan ADF
Kandidat lag Optimal
Hasil uji stabilitas roots of characteristic polinomial
Sistem persamaan model VAR
Koefisien estimasi sistem persamaan VAR agregat
Koefisien estimasi sistem persamaan VAR pada masing-masing sektor
Hasil LR test

33
34
35
36
37
38
39
48

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diskusi mengenai apakah kebijakan moneter dapat mempengaruhi
ekonomi riil (pertumbuhan ekonomi dan harga) dan bagaimana mekanisme
transmisinya selalu menjadi topik yang hangat dikalangan ahli makroekonomi dan
otoritas moneter. Tanpa pemahaman yang baik tentang mekanisme transmisi
moneter maka otoritas moneter akan kesulitan dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter (Warjiyo dan Agung 2002). Secara teori
mekanisme transmisi kebijakan moneter terbagi menjadi tujuh jalur yaitu agregat
moneter, suku bunga, kredit, nilai tukar, harga aset, neraca perusahaan dan
ekspektasi (Mishkin 1996, Ireland 2005, Goeltom 2008). Masing-masing jalur
memiliki pengaruh yang berbeda antar negara dan waktu, tergantung pada pasar
finansial, struktur ekonomi dan kondisi makroekonomi.
Indonesia telah mengalami sejumlah penyesuaian struktur ekonomi sejak
merdeka sampai dengan sekarang, sehingga pengaruh masing-masing jalur
transmisi moneter juga telah berubah antar waktu. Sebelum krisis tahun 1997,
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (yaitu mencapai 6
persen pertahun) dan arus modal asing yang cukup deras. Pada masa ini
diterapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali untuk memberikan kepastian
return bagi investor asing. Kondisi perekonomian tersebut membuat jalur suku
bunga lebih efektif dalam mempengaruhi perekonomian dibandingkan jalur kredit
dan nilai tukar. Pada jalur kredit, kebijakan moneter kontraktif (peningkatan suku
bunga ataupun peningkatan giro wajib minimum) tidak dapat mempengaruhi
cadangan bank karena bank bisa mensubstitusi cadangan wajibnya dengan
menerbitkan surat hutang di pasar internasional. Artinya kredit yang disalurkan
bank tidak berkurang walaupun giro wajib minimum ditingkatkan. Pada jalur nilai
tukar, penggunaan sistem nilai tukar mengambang terkendali membuat berapapun
shock yang diberikan pada nilai tukar tidak akan mengubah nilainya.
Setelah krisis tahun 1997, Indonesia beralih pada sistem nilai tukar
mengambang bebas dan mulai menerapkan inflation targeting framework.
Perubahan ini membuat jalur nilai tukar menjadi lebih efektif dibandingkan
sebelum krisis karena otoritas moneter tidak ada kewajiban untuk menjaga nilai
tukar pada suatu nilai tertentu. Jalur ekspektasi juga menjadi bagian yang penting
dalam transmisi moneter karena inflasi di Indonesia masih dipengaruhi oleh
ekspektasi (Goeltom 2008).
Masing-masing jalur transmisi bukanlah bagian yang saling terpisah.
Semua jalur dapat berjalan secara simultan dan harmoni dalam mencapai target
kebijakan moneter. Ketika otoritas moneter ingin menerapkan kebijakan moneter
ekspansi (dengan memperbanyak jumlah uang beredar), otoritas moneter dapat
menurunkan suku bunga, meningkatkan jumlah kredit dan sekaligus
mempengaruhi nilai tukar supaya terdepresiasi. Semakin banyak jalur yang
berpengaruh maka semakin mudah mempengaruhi perekonomian.

2

Perumusan Masalah
Perbedaan pendapat mengenai jalur transmisi moneter mana yang paling
efektif masih menjadi bahan yang menarik untuk didiskusikan. Ada pendapat
yang menyatakan jalur jumlah uang beredar dan suku bunga efektif dalam
mempengaruhi output (Seprillina 2013), tetapi ada juga yang menyatakan hanya
jalur suku bunga yang efektif (Julaihah dan Insukindro 2004). Beberapa penelitian
lain juga memberikan hasil yang berbeda-beda pada masing-masing jalur
transmisi moneter (Haryanto 2007, Basith 2007, Natsir 2009).
Jalur transmisi moneter yang efektif pada tingkat agregat belum tentu
efektif pada tingkat sektoral maupun regional. Asymmetric effect kebijakan
moneter pada taraf sektoral bisa terjadi karena masing-masing sektor punya
karakter yang berbeda-beda1. Adanya asymmetric effect kebijakan moneter telah
terjadi di Jerman, Australia dan Pakistan (Hayo dan Uhlembrock 1999,
Vespignani 2013, Alam dan Waheed 2006). Salah satu penyebabnya adalah
karena perbedaan kemampuan akses kredit. Jalur transmisi moneter suku bunga
dan kredit bekerja dengan cara mempengaruhi suku bunga pinjaman dan jumlah
kredit yang disalurkan bank komersial. Oleh karena itu, sektor dengan
ketergantungan tinggi pada pinjaman bank komersial lebih sensitif terhadap
kebijakan moneter. Tabel 1 membandingkan besarnya sumber investasi antara
bank umum dalam negeri dan pinjaman luar negeri swasta non-bank pada tahun
2012. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan perbandingan antara sumber
investasi dari bank komersial domestik dan pasar modal.
Tabel 1 Proporsi hutang dari bank umum dalam negeri dan swasta luar negeri
(non-bank) masing-masing sektor ekonomi tahun 20122.
Bank umum
Swasta luar negeri
Sektor Ekonomi
dalam negeri
non-bank
(%)
(%)
(1)

1. Pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan
2. Pertambangan dan penggalian
3. Industri pengolahan
4. Listrik, gas dan air minum
5. Bangunan
6. Perdagangan, hotel dan restoran
7. Pengangkutan dan komunikasi
8. Keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan
9. Jasa-jasa
Sumber: BI (2013), diolah.
1

(2)

(3)

88.24

11.76

49.45
88.21
15.75
99.70
73.10
86.41
73.23

50.55
11.79
84.25
0.30
26.90
13.59
26.77

98.64

1.36

Asymmetric effect disini diartikan sebagai perbedaan respon baik signifikansi maupun arah
hubungan.
2
Data hutang dalam negeri diambil dari jumlah kredit yang disalurkan bank umum domestik (Seki
tabel 1.7), sedangkan hutang luar negeri diambil dari data posisi pinjaman luar negeri swasta
(Seki tabel 6.6).

3

Selama tahun 2012, sumber investasi utama hampir semua sektor berasal
dari pinjaman bank umum domestik kecuali sektor listrik, gas dan air minum serta
sektor pertambangan dan penggalian. Sumber investasi utama sektor bangunan
dan jasa-jasa berasal dari bank umum domestik yaitu masing-masing sebesar
99.70 persen dan 98.64 persen, kemudian diikuti oleh sektor pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan; industri pengolahan; pengangkutan dan komunikasi.
Perbedaan proporsi ekspor dan impor juga dapat menimbulkan asymmetric
effect kebijakan moneter. Semakin besar sektor ekonomi yang terlibat dalam
ekspor impor maka semakin sensitif terhadap kebijakan moneter yang
ditransmisikan melalui nilai tukar. Gambar 1 membandingkan proporsi ekspor dan
impor masing-masing sektor ekonomi pada tahun 2012. Sektor industri
pengolahan masih dominan baik dalam ekspor maupun impor dengan proporsi
lebih dari 60 persen. Pada sisi ekspor, sektor pertambangan dan penggalian (32.77
persen) lebih dominan dibandingkan sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan (2.96 persen). Sebaliknya, kondisi ini berkebalikan pada sisi impor.

Ekspor

Impor

80

100

93.01

62.77
80

40

Persen

Persen

60
32.77

20
2.96

1.50

0

60
40
20

5.52

0.77

0.70

Pertambangan

Lainnya

0
Industri
Pertambangan
Pengolahan

Pertanian

Lainnya

Industri
Pengolahan

Pertanian

Sumber: BI (2013) Seki tabel 5.10 dan 5.22, diolah.
Gambar 1 Proporsi ekspor dan impor menurut sektor ekonomi tahun 20123.
Di Indonesia sudah ada penelitian mengenai dampak kebijakan moneter
terhadap regional dan didapati adanya asymmetric effect kebijakan moneter antar
provinsi (Ridhwan et al. 2011). Sedangkan penelitian mengenai dampak kebijakan
moneter terhadap ekonomi sektoral hanya dilakukan terhadap dua sektor ekonomi
yaitu pertanian dan industri pengolahan (Lena 2007). Untuk itulah dalam
penelitian ini peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai:
1. Jalur transmisi mana yang paling efektif?
2. Apakah mekanisme transmisi moneter pada tingkat sektoral konsisten dengan
tingkat agregat?
3. Kenapa dan bagaimana jalur transmisi tersebut bisa efektif?
Tujuan Penelitian
1.

3

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mengidentifikasi jalur transmisi kebijakan moneter mana yang paling efektif.

Dari sumber yang ada hanya tiga sektor yang tersedia datanya.

4

2.
3.

Menganalisis apakah mekanisme transmisi moneter pada tingkat sektoral
konsisten dengan tingkat agregat.
Menjelaskan kenapa dan bagaimana jalur transmisi tersebut bisa efektif.
Manfaat Penelitian

1.

2.

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
Memberikan gambaran kepada BI selaku pemegang otoritas moneter dan ahli
ekonomi mengenai dampak kebijakan moneter pada tingkat sektoral,
sehingga dapat menjadi masukan dan pertimbangan dalam memutuskan
kebijakan moneter.
Memperkaya penelitian dalam bidang moneter dan memberikan sudut
pandang yang berbeda terhadap kebijakan moneter.
Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini ada sembilan sektor ekonomi yang diteliti yaitu sektor
pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian;
industri pengolah; listrik, gas dan air minum; bangunan; perdagangan, hotel dan
restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan
jasa
perusahaan; dan Jasa-jasa. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data
triwulanan mulai triwulan 1 tahun 1990 sampai triwulan 4 tahun 2012. Variabel
kebijakan moneter yang digunakan adalah suku bunga sertifikat Bank Indonesia
(SBI) 3 bulanan, jumlah kredit dan nilai tukar.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori

Kebijakan moneter pada dasarnya adalah kebijakan untuk memanipulasi
jumlah uang beredar sehingga mampu mempengaruhi perekonomian. Sebelum
membahas peran uang dalam perekonomian, perlu terlebih dahulu memahami
permintaan uang (money demand/Md) dan uang beredar (money supply/Ms ).
Permintaan Uang
McCallum (1989) mengatakan bahwa Motif orang memegang uang ada
tiga yaitu untuk transaksi, berjaga-jaga (precautionary) dan spekulasi. Apabila
motif seseorang memegang uang semata-mata hanya untuk transaksi maka
besarnya permintaan uang hanya tergantung pada besarnya transaksi. Semakin
banyak transaksi yang terjadi maka semakin tinggi permintaan uang. Quantity
theory of money merumuskan hal ini dalam persamaan 1.
Md = y.P

(1)

dimana
Md = money demand
y = output riil
P = harga
y.P adalah nilai transaksi yang dilakukan. Sebuah uang bisa digunakan lebih dari
sekali transaksi dalam suatu kurun waktu. Semakin banyak transaksi dilakukan
dengan jumlah uang beredar yang tetap maka uang tersebut semakin cepat
berputar dalam transaksi. Oleh karena itu diperkenalkanlah konsep velocity atau
laju perputaran uang untuk mengembangkan teori diatas. Sehingga rumus 1 dapat
berkembang menjadi:
Md.V= y.P

(2)

dimana
V

= velocity of money atau laju perputaran uang

Dalam rumus 2 jumlah uang yang beredar bisa lebih kecil dari nilai
transaksi. Apabila jumlah money demand dan money supply sama (Md = Ms),
velocity of money diasumsikan nilainya tetap, dan perekonomian sudah mencapai
full employment maka perubahan money supply hanya akan mempengaruhi harga.
Sehingga rumus 2 dapat diubah menjadi:
(3)
dimana
Ms = money supply
= velocity of money yang nilainya tetap
yf = output riil dalam kondisi full employment (nilai y tetap)
Memegang uang hanya untuk berjaga-jaga (precautionary) memiliki biaya,
yaitu sebesar bunga atau return yang akan didapatkan jika uang tersebut disimpan
di bank atau digunakan untuk membeli saham. Sehingga permintaan uang juga

6

dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Cambridge model merumuskan hal ini ke
dalam persamaan 4.
(4)
dimana
atau bisa ditulis
R

= suku bunga

Persamaan 4 menunjukkan bahwa velocity of money tergantung pada suku
bunga. Fungsi k(R) mempunyai makna bahwa jika suku bunga meningkat ada
kecenderungan masyarakat menjadi lebih tertarik menabung atau membeli saham
untuk mendapatkan return yang lebih tinggi dimasa mendatang. Semakin banyak
masyarakat menabung maka jumlah uang yang beredar semakin menurun.
Apabila diasumsikan jumlah transaksi tetap maka penurunan suku bunga akan
berdampak pada kenaikan velocity.
John Maynard Keynes memperluas Cambridge model dengan
menambahkan motif spekulasi. Menurut Keynes bahwa motif transaksi dan
berjaga-jaga sensitif terhadap tingkat pendapatan, sedangkan motif spekulasi
sensitif terhadap suku bunga. Teori Keynes dirumuskan dalam persamaan yang
dikenal sebagai Keynesian demand for money seperti dalam persamaan 5.
(5)
dimana
real balance)
y

= output riil atau pendapatan riil

Suku bunga (R) berhubungan negatif dengan permintaan uang riil, dan
sebaliknya permintaan uang riil berhubungan positif dengan pendapatan riil (y).
Persamaan ini menyatakan bahwa jika harga meningkat dua kali lipat, maka untuk
mendapatkan barang yang sama dibutuhkan uang sebanyak dua kali lipat, tetapi
sebenarnya keseimbangan riilnya sama. Dari semua penjelasan diatas maka dapat
digambarkan hubungan antara permintaan uang, harga, suku bunga dan output
seperti Gambar 2.
R
(%)

Md
[yt,Pt]

Sumber: McCallum (1989)
Gambar 2 Kurva money demand.

M (rupiah)

7

Apabila suku bunga meningkat, maka uang yang beredar di masyarakat
akan berkurang, perubahan ini digambarkan sepanjang kurva Md. Kurva Md dapat
bergeser ke kanan apabila output riil meningkat atau harga turun, dan berlaku juga
sebaliknya.
Uang Beredar
McCallum (1989) menggunakan istilah money stock (M) untuk
menyatakan jumlah uang yang ada. Money stock sebagian dipegang masyarakat
(currency) dan sebagian disimpan di bank (checkable deposit). Masyarakat yang
menentukan berapa yang ingin mereka pegang secara tunai dan berapa yang
disimpan, sehingga rasio currency dan checkable deposit ditentukan oleh
masyarakat.
M=C+D
M = cr.D + D
M = (cr + 1).D

(6)

dimana
M = money stock
C = currency, mata uang yang dipegang masyarakat non perbankan
D = checkable deposit, simpanan masyarakat di bank yang dapat diambil
kapan saja
cr = = rasio currency dan checkable deposit
Bank sentral hanya dapat mengendalikan high-powered money. Highpowered money terdiri dari currency dan total reserve (total cadangan bank).
Hubungan ketiga variabel tersebut adalah:
H = C + TR
H = cr.D + rr.D
H = (cr + rr).D

(7)

dimana
H = high-powered money
TR = total reserve (total cadangan bank), baik yang berada di bank sentral
maupun di bank itu sendiri
rr = = rasio total reserve dan checkable deposit
Apabila persamaan 6 dan 7 digabung maka akan didapatkan hubungan
money stock dan high-powered money seperti persamaan 8.

(8)
Total reserve terdiri dari cadangan wajib (required reserve) dan kelebihan
cadangan (excess reserve). Required reserve disimpan di bank sentral dan nilainya
ditentukan oleh bank sentral. Sedangkan excess reserve ditentukan oleh bank
sendiri untuk melayani nasabah yang hendah menarik dana dalam jumlah besar.
Kedua cadangan ini tidak memberikan keuntungan (bunga atau interest), sehingga
bank berusaha mengecilkan jumlah excess reserve. Tetapi excess reserve yang

8

kecil akan membahayakan likuiditas bank. Apabila bank kekurangan cadangan,
bank dapat meminjam uang dari bank lain dengan bunga harian atau dapat juga
meminjam dari bank sentral dengan tingkat bunga tertentu. Hubungan total
reserve, required reserve dan excess reserve dirumuskan dalam persamaan 9.
TR = R + ER
TR = k.D + ER
rr.D = k.D + e(R).D
rr = k + e(R)

(9)

dimana
R
ER
k

= cadangan wajib (required reserve)
= kelebihan cadangan (excess reserve)
= persentase dari simpanan deposito milik bank yang harus disimpan
sebagai required reserve di bank sentral
e(R) = persentase dari simpanan deposito milik bank yang digunakan
sebagai excess reserve
R
= suku bunga nominal bank umum
Apabila persamaan 8 dan 9 digabung maka hubungan antara money stock,
high-powered money dan variabel-variabel lain yang mempengaruhinya dapat
ditulis dalam persamaan 10.
(10)
Apabila persamaan 10 ditulis dalam fungsi maka akan menjadi:
(11)
Hubungan variabel pada persamaan 11 dapat digambarkan dalam Gambar 3.
R
(%)

Ms[H, k, cr]

Md
[ , ]
M (rupiah)

Sumber: McCallum (1989)
keterangan:
M = jumlah uang beredar
R = suku bunga
= sasaran money stock bank sentral
= sasaran suku bunga bank sentral
= perkiraan nilai output riil (karena nilainya output riil belum diketahui)
= perkiraan harga (karena harga belum diketahui)

Gambar 3 Kurva money stock dan money demand.

9

Gambar 3 menjelaskan hubungan kurva money stock dan money demand.
Bank sentral menghitung perkiraan nilai output riil dan harga pada periode t untuk
mendapatkan bentuk kurva Md. Untuk mempengaruhi jumlah uang beredar di
masyarakat, bank sentral berusaha menggeser kurva Ms sampai pada titik tertentu
(misal di
dan ).
Apabila nilai k dan cr diasumsikan konstan maka persamaan 11 akan
berubah menjadi:
= µ(R; ̅ ; ̅ )
= ̅(Rt)

Rt = ̅ -1( )

(12)

Apabila persamaan 12 dihubungkan dengan persamaan 5 pada money demand
maka hubungannya dapat ditulis dalam persamaan 13 berikut:
= L[

̅

]

(13)

Apabila Pt dan yt belum diketahui nilai pastinya maka digunakan nilai
perkiraannya. Sehingga persamaan 13 dapat diubah menjadi:
̅

(14)

Mt = ̅(R)+ ζt

(15)

=L

Bank sentral dapat mencoba mengendalikan money stock untuk mencapai sasaran
melalui high-powered money atau suku bunga, walaupun tidak memiliki
kendali secara langsung terhadap money stock.
Beberapa masalah dalam mengendalikan money stock yaitu nilai perkiraan
output riil dan harga yang belum tentu akurat. Hal ini dikarenakan data yang
digunakan memiliki lag. Selain itu perilaku perbankan juga sulit ditebak sehingga
penargetan money stock memiliki random distrubance. Persamaan money supply
yang memiliki random disturbance dapat ditulis dalam persamaan 15.
dimana

ζt = random disturbance

Ketidak sempurnaan perkiraan money demand dan money stock menjauhkan Mt
dari sasarannya sehingga ekuilibrium money demand dan money stock menjadi
seperti Gambar 4.
(%)

(rupiah)

Sumber: McCallum (1989)
Gambar 4 Penyimpangan ekuilibrium money demand dan money stock.

10

Adanya kemungkinan penyimpangan membuat bank sentral harus
menentukan bagaimana cara mengendalikan money stock yang paling akurat. Ada
dua alternatif pengendalian money stock yaitu melalui high-powered money dan
suku bunga. Untuk mengetahui mana yang lebih efektif dari kedua cara tersebut
dapat dilakukan dengan mengobservasi rentang nilai
hingga
yang
paling kecil seperti pada Gambar 5.

(%)

(rupiah)

Sumber: McCallum (1989)
Gambar 5 Batas penyimpangan ekuilibrium money demand dan money stock
(range suku bunga lebih kecil dibandingkan range high-powered
money).
Pada Gambar 5 rentang nilai penyimpangan target suku bunga (M2 sampai
M3) lebih kecil dibandingkan dengan rentang penyimpangan target high-powered
money (M1 sampai M4), sehingga dalam kondisi ini pengendalian money stock
melalui suku bunga akan lebih efektif dibandingkan high-powered money. Karena
apabila menyimpang dari target maka nilainya tidak terlalu jauh. Berbeda halnya
apabila kurva money deman dan money stock berbentuk seperti Gambar 6.
(%)

(rupiah)

Sumber (McCallum 1989)
Gambar 6 Batas penyimpangan ekuilibrium money deman dan money stock (range
high-powered money lebih kecil dibandingkan range suku bunga).

11

Pada Gambar 6 rentang nilai penyimpangan target suku bunga (M2 sampai M3)
lebih lebar dibandingkan dengan rentang penyimpangan target high-powered
money (M1 sampai M4), sehingga dalam kondisi ini pengendalian money stock
melalui high-powered money akan lebih efektif dibandingkan suku bunga.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Mekanisme bekerjanya kebijakan moneter sampai mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi ataupun inflasi sering disebut sebagai mekanisme transmisi
kebijakan moneter. Melalui mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat dilihat
proses kebijakan moneter bekerja mempengaruhi bagian-bagian dari ekonomi.
Sehingga apabila bagian-bagian tersebut disatukan akan mempengaruhi
makroekonomi secara keseluruhan. Miskhin (1996) menjelaskan bahwa ada enam
jalur transmisi kebijakan moneter yaitu suku bunga, nilai tukar, harga aset, kredit,
neraca perusahaan dan neraca rumah tangga. Dari jalur-jalur tersebut penjelasan
jalur suku bunga, kredit dan nilai tukar adalah sebagai berikut:
1. Jalur suku bunga. Keynesian menjelaskan dalam kurva IS-LM bahwa ketika
diterapkan kebijakan moneter ekspansi suku bunga nominal jangka pendek
bank umum akan terdorong turun. Penurunan ini juga akan menyebabkan
suku bunga nominal jangka panjang akan turun. Hal ini dijelaskan oleh
hipotesis ekspektasi yang menyatakan bahwa suku bunga jangka panjang
adalah rata-rata ekspektasi suku bunga jangka pendek, sehingga penurunan
suku bunga jangka pendek akan mendorong suku bunga jangka panjang untuk
turun. Apabila diasumsikan harga nominal sangat lambat penyesuaiannya
(inflasi tidak berubah), maka kenaikan suku bunga nominal berarti juga
kenaikan suku bunga riil. Perusahaan yang menyadari hal ini akan merasa
bahwa biaya untuk meminjam menurun, sehingga mereka dapat
meningkatkan belanja investasi dengan meminjam uang dari bank umum.
Begitu juga halnya dengan rumah tangga, menghadapi suku bunga pinjaman
yang menurun maka mereka akan meningkatkan pembelian barang kredit
seperti rumah, mobil dan barang tahan lama lainnya. Sehingga permintaan
barang meningkat dan output naik.
2. Jalur kredit. Bank mempunyai peran penting dalam memecahkan asymmetric
information dalam pasar kredit, karena beberapa peminjam tidak mempunyai
akses ke pasar modal. Saat kondisi ekspansi moneter, dimana suku bunga
menurun dan Giro Wajib Minimum (GWM) turun, jumlah cadangan dan
deposito bank akan meningkat, sehingga bank memiliki lebih banyak
cadangan kredit untuk disalurkan. Untuk meningkatkan keuntungan dari
kredit, bank akan berusaha untuk menyalurkan cadangan kredit yang
dimilikinya sebanyak-banyaknya dengan memberikan kemudahan dalam
kredit atau meningkatkan kapasitas kreditnya. Akibatnya jumlah kredit yang
disalurkan ke masyarakat dan perusahaan akan meningkat (investasi
meningkat dan konsumsi masyarakat juga bisa meningkat).
3. Jalur nilai tukar. Ketika suku bunga riil domestik turun, deposito dalam
rupiah menjadi kurang menarik dibandingkan deposito dalam mata uang
asing. Hal ini dapat menimbulkan penurunan permintaan rupiah relatif
terhadap mata uang asing, sehingga rupiah akan terjadi depresiasi. Penurunan
nilai mata uang rupiah membuat barang domestik menjadi lebih murah relatif

12

terhadap barang luar negeri, sehingga net export naik dan output juga akan
naik.
Setiap jalur memiliki lag dan pengaruh yang berbeda-beda. Efektif tidaknya
kebijakan moneter dapat dievaluasi dari jalur-jalur yang ada. Dalam penelitian ini
hanya jalur suku bunga, kredit dan nilai tukar yang akan digunakan dalam
analisis.
Faktor-faktor yang Menyebabkan Perbedaan Respon terhadap Kebijakan
Moneter pada tingkat sektoral
Vespignani (2013) menyatakan bahwa ada empat hal yang menyebabkan
perbedaan respon masing-masing sektor ekonomi terhadap kebijakan moneter
yaitu perbedaan ukuran usaha, perbedaan jenis barang yang diproduksi (barang
tahan lama atau tidak tahan lama), pangsa ekspor impor terhadap total output, dan
proporsi hutang. Penjelasan masing-masing faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan ukuran usaha. Bank-bank komersial merupakan sumber kredit
yang penting bagi perusahaan kecil dan menengah, karena perusahaan kecil
tidak mampu menjangkau kredit secara langsung dari pasar modal (Gertler
dan Hubbard, 1988). Saat moneter kontraksi, dimana suku bunga naik,
perusahaan kecil akan menanggung beban kredit yang lebih berat karena bank
komersial akan meningkatkan suku bunga kreditnya. Berbeda halnya dengan
perusahaan besar, perusahaan besar mempunyai akses kredit langsung ke
pasar modal, sehingga tidak akan terpengaruh.
2. Perbedaan jenis barang yang diproduksi (barang tahan lama atau tidak tahan
lama). Erceg dan Levin (2002) menemukan bukti bahwa kebijakan moneter
mempunyai dampak lima kali lebih besar terhadap perusahaan yang
memproduksi barang tahan lama dibandingkan dengan perusahaan yang
memproduksi barang tidak tahan lama. Dedola dan Lippi (2000) juga
menemukan bukti yang serupa. Mereka mengatakan bahwa kebanyakan
perusahaan yang memproduksi barang tahan lama sumber investasinya
berasal dari kredit bank komersial.
3. Perbedaan pangsa ekspor/impor terhadap total output. Dalam model Mundell
Fleming dengan kondisi floating exchange rate, pengaruh kontraksi moneter
terhadap perdagangan internasional dapat diringkas dalam Gambar 7. Sektor
ekonomi yang produk atau bahan bakunya tergantung pada perdagangan
internasional akan merasakan dampak kebijakan moneter melalui transmisi
nilai tukar rupiah. Peningkatan suku bunga akibat kontraksi moneter
membuat investasi dalam negeri menjadi lebih atraktif, karena suku bunga
yang tinggi berarti return yang didapatkan juga tinggi. Hal ini dapat
mendorong arus modal masuk ke dalam negeri sehingga permintaan rupiah
meningkat dan rupiah terapresiasi. Saat rupiah menguat harga barang-barang
luar negeri akan terlihat lebih murah bagi penduduk domestik. Hal tersebut
dapat memicu peningkatan impor. Sebaliknya, bagi penduduk luar negeri
harga barang-barang domestik terlihat relatif lebih mahal sehingga
permintaan ekspor domestik akan turun. Ketika impor meningkat dan ekspor
menurun maka terjadi trade balance deficit. Hal ini dapat berlaku kebalikan
saat terjadi kebijakan moneter ekspansi.

13

Peningkatan suku bunga

Meningkatkan arus modal ke dalam negeri

Nilai tukar domestik menguat

Harga-harga barang impor menjadi lebih murah
sehingga impor naik dan sebaliknya harga-harga
barang ekspor menjadi mahal sehingga ekspor turun

Trade balance deficit

Gambar 7 Model Mundel Fleming saat kebijakan moneter kontraksi dengan
kondisi floating exchange rate.
4.

Perbedaan proporsi hutang. Semakin besar proporsi hutang perusahaan
terhadap outputnya maka perusahaan tersebut akan semakin rentan terhadap
guncangan suku bunga. Saat suku bunga meningkat maka beban hutang yang
ditanggungnya akan semakin besar.
Tinjauan Empiris

Penelitian efektifitas jalur-jalur transmisi moneter memiliki hasil yang
berbeda-beda. Pada tahun 2004, Julaihah dan Insukindro mencoba mengevaluasi
dampak kebijakan moneter terhadap variabel makroekonomi selama periode
1983q1 – 2003q2. Variabel makroekonomi yang digunakan adalah pertumbuhan
ekonomi, inflasi dan nilai tukar rupiah. Dengan menggunakan data triwulanan dan
metode vector error correction model (VECM) mereka membangun dua model.
Model pertama menggunakan jumlah uang beredar sebagai sasaran operasi
moneter, sedangkan model kedua menggunakan suku bunga SBI. Hasil impulse
response function dan variance decomposition menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak merespon sama sekali saat terjadi perubahan (shock) dalam jumlah
uang beredar. Tetapi hal yang berbeda didapatkan saat shock yang dilakukan
terhadap suku bunga SBI, pertumbuhan ekonomi bergerak turun saat suku bunga
SBI meningkat satu standar deviasi. Besar kontribusi suku bunga SBI terhadap
perubahan pertumbuhan ekonomi sebesar 14 persen. Dari hasil penelitian Julaihah
dan Insukindro dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter melalui suku bunga
SBI dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Penelitian yang serupa juga telah dilakukan oleh Seprillina (2013) tetapi
dengan periode yang berbeda, yaitu mulai tahun 1999 – 2012. Variabel yang
digunakan yaitu suku bunga SBI, jumlah uang beredar, suku bunga deposito, suku
bunga kredit, investasi dan PDB. Dengan menggunakan metode VECM dan data
triwulanan didapatkan kesimpulan bahwa sasaran operasi jumlah uang beredar
dan suku bunga SBI dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi baik dalam

14

jangka pendek maupun jangka panjang. Tetapi apabila dibandingkan efektivitas
keduanya, suku bunga SBI lebih efektif dibandingkan jumlah uang beredar.
Agung (1998) meneliti tentang efektivitas jalur kredit pada periode
1983:01 – 1995:12. Dengan menggunakan metode vector autoregressive (VAR)
mendapatkan kesimpulan bahwa kebijakan moneter kontraksi tidak dapat
mempengaruhi jumlah kredit yang disalurkan bank-bank besar, hanya bank kecil
yang terpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa jalur kredit kurang efektif.
Penelitian mengenai efektivitas jalur nilai tukar telah dilakukan oleh Natsir (2009).
Dengan menggunakan data periode 1990:2-2007:1 dan metode VAR, Natsir
mendapatkan kesimpulan bahwa jalur nilai tukar terbukti efektif.
Penelitian mengenai dampak kebijakan moneter terhadap sektor-sektor
ekonomi telah dilakukan di beberapa negara. Hayo dan Uhlenbrock (1999)
menyelidiki kemungkinan adanya asymmetric effect transmisi moneter pada
sektor industri dan pertambangan di Jerman. Data yang digunakan adalah data
bulanan mulai Januari 1978 sampai Desember 1994 dan metode yang digunakan
adalah VAR. Mereka menemukan bahwa hampir setengah dari sub sektor industri
dan pertambangan memberikan respon yang berkebalikan dengan agregat sektor
industri dan pertambangan. Sub sektor logam non-ferrous; kimia; besi dan baja;
elektronik; dan industri mesin kantor memberikan respon negatif ketika ada shock
peningkatan suku bunga. Sebaliknya sub sektor pakaian, makanan, pertambangan,
minyak, percetakan, pembuatan kapal, industri perkakas dan industri barangbarang logam merespon positif.
Dedola dan Lippi (2000) menganalisis respon dua puluh satu industri
pengolahan terhadap shock kebijakan moneter di lima negara OECD yaitu
Perancis, Jerman, Itali, Inggris dan Amerika Serikat. Mereka menggunakan data
bulanan dari bulan Januari 1975 sampai dengan April 1997 dan mengolahnya
menggunakan metode VAR, kemudian mereka membandingkan hasilnya antar
kelima negara. Mereka menemukan bahwa dalam satu negara, respon masingmasing industri pengolahan sangat heterogen. Keragaman tersebut dikarenakan
perbedaan jenis barang yang diproduksi (barang tahan lama atau tidak) dan
pengeluaran investasi. Lebih lanjut mereka mengemukakan bahwa pengeluaran
investasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan mengakses kredit, ukuran
perusahaan dan beban hutang yang dimiliki. Dari masing-masing jalur transmisi
kebijakan moneter, jalur jumlah kredit memegang peran sangat penting dalam
menjelaskan perbedaan respon yang diberikan.
Vespignani (2013) melakukan penelitian yang serupa dengan Dedola dan
Lippi di Australia dengan menggunakan data triwulanan mulai dari triwulan
ketiga tahun 1990 sampai triwulan keempat tahun 2009. Vespignani memodifikasi
model yang digunakan oleh Dedola dan Lippi untuk disesuikan dengan kondisi
perekonomian Australia yang masih tergolong negara kecil dengan perekonomian
terbuka. Fokus utama penelitian ini hanya pada 6 sektor ekonomi (yaitu sektor
jasa keuangan dan asuransi; industri pengolahan; konstruksi; pertambangan; jasa
profesional, peneliti dan teknis; serta jasa layanan kesehatan dan sosial) dimana 6
sektor tersebut total output-nya mencapai 43 persen dari GDP pada tahun 2009.
Penelitian tersebut mendapatkan kesimpulan bahwa sektor konstruksi dan
industri pengolahan mengalami penurunan output yang signifikan setelah terjadi
shock peningkatan suku bunga. Hal ini disebabkan kedua sektor tersebut
memproduksi barang tahan lama dan sebagian besar perusahaan yang berada di

15

sektor tersebut termasuk perusahaan kecil menengah (dimana akses kreditnya
sangat tergantung dari pinjaman bank domestik). Sektor jasa profesional, peneliti
dan teknis juga mengalami penurunan output tetapi tidak sebesar dua sektor
sebelumnya. Sebaliknya sektor jasa keuangan dan asuransi, dan pertambangan
tidak terlalu terpengaruh dengan shock suku bunga. Kedua sektor memang sempat
menurun tetapi hanya dalam waktu singkat, kemudian keduanya malah
mengalami peningkatan output. Ukuran usaha yang besar serta kemampuan
mengakses kredit internasional menyebabkan kedua sektor tetap mampu bertahan
bahkan tetap terus meningkatkan output-nya. Sedangkan sektor jasa layanan
kesehatan dan sosial sangat kecil responnya terhadap gejolak suku bunga
dikarenakan sektor tersebut secara intensif selalu mendapatkan dukungan dana
dari pemerintah.
Ridhwan et al. (2007) meneliti dampak kebijakan moneter pada output
dua puluh enam provinsi di Indonesia pada periode triwulan pertama tahun 1990
sampai triwulan keempat tahun 2007 dengan metode VAR. Mereka menemukan
bahwa perbedaan respon antar provinsi dikarenakan perbedaan komposisi struktur
ekonomi (terutama share industri pengolahan) masing-masing wilayah. Selain itu
perbedaan respon dikarenakan perbedaan ukuran usaha dimana semakin besar
perusahaan maka semakin mudah mengakses kredit dari pasar modal.
Lena (2007) meneliti tentang dampak kebijakan moneter terhadap kinerja
sektor riil di Indonesia mulai triwulan pertama tahun 1984 sampai triwulan
keempat tahun 2005. Dua sektor utama yang menjadi pembahasan yaitu sektor
pertanian dan industri. Lena mengungkapkan bahwa sektor pertanian saat itu
memiliki tenaga kerja yang cukup banyak, peningkatan tenaga kerja di sektor
pertanian tidak dapat meningkatkan output-nya. Yang dibutuhkan sektor pertanian
adalah investasi modal, sehingga kebijakan moneter ekspansif dengan penurunan
suku bunga dan peningkatan jumlah kredit akan mampu meningkatkan output dan
ekspor sektor pertanian. Sedangkan di sektor industri, investasi masih banyak
dipengaruhi oleh suku bunga pasar. Alokasi kredit untuk sektor industri tidak
berpengaruh nyata, hal ini dikarenakan kredit yang didapat sebagian tidak
digunakan untuk modal usaha tetapi digunakan untuk konsumsi.
Kerangka Pemikiran
Kebijakan moneter yang diterapkan otoritas moneter ditransmisikan
melalui jalur suku bunga, kredit dan nilai tukar (serta jalur-jalur lainnya, tetapi
dalam penelitian ini tidak dibahas). Melalui jalur suku bunga dan kredit, BI
berusaha mempengaruhi keputusan investasi perusahaan dengan cara
mempengaruhi suku bunga dan jumlah kredit yang disalurkan bank komersial.
Melalui jalur nilai tukar, BI berusaha mempengaruhi nilai tukar sehingga ekspor
dan impor terpengaruh. Apabila investasi, ekspor dan impor berubah maka output
agregat akan berubah juga. Tetapi apakah benar apabila output agregat
terpengaruh maka output semua sektor ekonomi juga terpengaruh?
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi jalur transmisi moneter
mana yang paling efektif; (2) menganalisis apakah mekanisme transmisi moneter
pada tingkat sektoral konsisten dengan tingkat agregat; (3) menjelaskan kenapa
dan bagaimana jalur transmisi tersebut bisa efektif.

16

Kebijakan Moneter

Jalur kredit

Jalur suku bunga

Investasi perusahaan

Jalur nilai tukar

Ekspor dan Impor

Output agregat

Tetapi bagaimana yang terjadi pada
taraf sektor-sektor ekonomi?
Apakah output semua sektor bisa
terpengaruh?

Jalur transmisi mana
yang paling efektif?

Apakah mekanisme transmisi
moneter pada tingkat sektoral
konsisten dengan tingkat
agregat?

Implikasi Kebijakan

Gambar 8 Kerangka pemikiran

Kenapa dan bagaimana
jalur transmisi tersebut
bisa efektif?

3

METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data triwulanan mulai
triwulan satu tahun 1990 sampai triwulan empat tahun 2012, sehingga jumlah
total ada 92 triwulan. Variabel dan sumber data yang digunakan untuk penelitian
ini secara ringkas disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Variabel dan sumber data dalam penelitian.
Variabel
Keterangan
Sumber
(1)

GDP

(2)

(3)

PDB riil nasional triwulanan (seasonally PDB atas dasar harga
adjusted).
konstan menurut
lapangan usaha , BPS
SECit
Output triwulanan riil sektor ekonomi PDB atas dasar harga
(seasonally adjusted).
konstan menurut
lapangan usaha , BPS
ROEit
The rest of the economy. PDB riil PDB atas dasar harga
nasional triwulanan dikurangi output riil konstan menurut
sektor ekonomi ke-i, sebagai pendekatan lapangan usaha , BPS
kondisi agregat ekonomi (seasonally
adjusted).
INFt
Inflasi (perubahan dari indeks harga BPS
konsumen selama tiga bulan) (seasonally
adjusted).
IRt
Suku bunga SBI 3 bulanan sebagai BI
pendekatan kebijakan moneter.
CREDt
Jumlah kredit riil yang disalurkan*.
BI
RERt
Nilai tukar rupiah riil.
BI
TOTt
Term of Trade sebagai pendekatan tingkat Indeks harga
kemakmuran suatu negara.
perdagangan besar, BPS
US_GDPt PDB triwulanan Amerika Serikat, sebagai US Bureau of economic
pendekatan kondisi agregat ekonomi analysis
dunia (seasonally adjusted).
US_INFt Inflasi
Amerika
Serikat,
sebagai US Bureau of Labor
pendekatan inflasi dunia (seasonally Statistics
adjusted).
US_IRt
Suku bunga Amerika Serikat (3-month The Federal Reserve, US
Treasury bill secondary market rate).
COMt
Perubahan indeks harga perdagangan Indeks harga
besar selama tiga bulan.
perdagangan besar, BPS
Dummy
Dummy krisis 1997
*) Dibagi dengan indeks harga konsumen.
i: menunjukkan series data berdasarkan sektor ekonomi (ada sembilan sektor).
t: menunjukkan series data berdasarkan waktu.
Series data PDB atas dasar harga konstan yang diperoleh dari BPS terdiri
dari dua series, yang pertama seriesnya terdiri dari data periode 1990q1-2003q4

18

dengan tahun dasar 1993 dan yang kedua seriesnya terdiri dari data periode
2000q1-2012q4 dengan tahun dasar 2000. Untuk menggabung kedua data tersebut
maka data series pada periode 1990q1-2003q4 diubah tahun dasarnya menjadi
tahun 2000.
Dalam penggunaan data time series triwulanan, efek musiman biasanya
selalu muncul. Adanya efek musiman dalam time series dapat memberikan
pemahaman yang salah mengenai perilaku data. Untuk menghilangkan efek
tersebut maka dilakukan suatu teknik analisis data yang disebut seasonal
adjustment. Pada variabel GDP, SECit dan ROEit seasonal adjustment dilakukan
dengan bantuan software Demetra+ menggunakan metode TRAMO/SEATS,
sedangkan US_GDPt sudah dihilangkan efek musimannya oleh US Bureau of
economic analysis.
Data suku bunga SBI pada periode 1993q1, 1994q3-1996q3 dan 2010q42012q4 tidak tersedia. Untuk mengisi data yang missing tersebut maka dilakukan
interpolasi dan ekstrapolasi data dengan cara meregresikan suku bunga deposito 3
bulan bank umum terhadap suku bunga SBI 3 bulan (lampiran 1). Berdasarkan
hasil regresi didapat nilai R-squared yang cukup tinggi yaitu 94,38 persen. Hasil
uji F menunjukkan bahwa model tersebut signifikan, sedangkan hasil uji t
menunjukkan hanya koefisien SBI 3 bulan yang signifikan. Sehingga untuk
mengisi data SBI yang missing digunakan data suku bunga deposito 3 bulan bank
umum dikalikan koefisien SBI 3 bulan hasil regresi.
Untuk mengubah data jumlah kredit nominal menjadi riil maka data
jumlah kredit nominal dibagi dengan indeks harga konsumen (IHK). Sedangkan
untuk mengubah data nilai tukar rupiah nominal menjadi riil maka digunakan
rumus sebagai berikut:
(16)

Data nilai tukar nominal, IHK Amerika Serikat dan IHK Indonesia
diperoleh dalam frekuensi bulanan. Sehingga setelah data nilai tukar rupiah riil
dihitung maka untuk mengubahnya menjadi triwulanan, data tersebut dirataratakan per triwulanan.
Data Term of Trade dihitung dengan cara membagikan data indeks harga
ekspor terhadap indeks harga impor. Kedua data tersebut ada dalam publikasi
Indeks Perdagangan Harga Besar (IHPB) yang dikeluarkan BPS, tetapi keduanya
dalam frekuensi bulanan. Sehingga untuk mengubahnya ke triwulanan maka
diambil nilai rata-rata tiga bulanan.
Untuk menormalkan sebaran data maka variable GDP, SEC, ROE, CRED,
RER, TOT dan US_GDP di buat dalam bentuk logaritma. Penulisan variabel yang
di buat logaritma adalah l_GDP, l_SEC, l_ROE, l_CRED, l_RER, l_TOT dan
l_US_GD.
Metode Analisis
Metode analisis yang ingin digunakan dalam penelitian ini adalah
structural vector autoregressive (SVAR). Langkah-langkah yang ditempuh dalam
analisis ini adalah seperti pada Gambar 9. Apabila seluruh variabel stasioner di
level maka analisisnya akan menggunakan SVAR, sedangkan apabila ada salah
satu variabel tidak stasioner di level maka menggunakan SVAR first difference.
Sebelum masuk dalam SVAR maupun SVAR first difference maka terlebih dahulu

19

ditentukan lag yang optimal dan stabil. Kemudian seluruh model diuji
menggunakan likelihood ratio test (LR test) untuk menguji apakah restriksi yang
diterapkan dalam model bisa digunakan atau tidak. Apabila lolos LR test maka
model tersebut dapat digunakan dalam analisis, tetapi apabila tidak maka
analisisnya menggunakan vector autoregressiev (VAR) atau VAR first difference.
Analisis terakhir yang dilakukan adalah impulse response function (IRF).
Data (level)
Tidak
Stasioner

Uji
Stasioneritas
Stasioner

Lag Optimal

Lag Optimal
Tidak
Stabil

Uji
Stabilitas

Uji
Stabilitas
Stabil

Stabil

SVAR First Difference

SVAR
Tidak
Lolos

LR
Test

Tidak
Lolos

LR
Test
Lolos

Lolos
VAR

SVAR

Innovation
Accounting

Keterangan:

Tidak
Stabil

SVAR First Difference

IRF

Tidak
Lolos
VAR
First Diff

Tujuan

Tindakan

Pengambilan keputusan
Gambar 9 Tahapan Analisis Penelitian.
Uji Stasioneritas
Untuk mencegah hasil regresi semu (spurious) maka dalam regresi data
yang digunakan harus stasioner. Suatu variabel disebut stasioner jika memiliki

20

rata-rata, varians dan kovarians yang konstan atau time invariant, sedangkan
error-nya bersifat white noise (memiliki rata-rata nol, varians yang konstan dan
tidak ada autokorelasi).
Untuk menguji apakah suatu data stasioner atau tidak dapat menggunakan
augmented dickey fuller (ADF) test. Persamaan ADF yang digunakan adalah
sebagai berikut:



dimana:

(17)

= pure white noise error term
= =
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0: = 0 (data tidak stasioner atau mengandung unit root)
H1: < 0 (data stasioner atau tidak mengandung unit root)
Selanjutnya menghitung t-statistik dari dan membandingkannya dengan
MacKinnon critical value. Apabila hasilnya lebih besar dari MacKinnon critical
value maka data tersebut tidak stasioner, sebaliknya apabila lebih kecil maka data
tersebut stasioner. Apabila didapatkan hasil tidak stasioner maka data tersebut
data diubah ke dalam bentuk first difference (
kemudian mengujinya lagi
dengan ADF test. Apabi